Novel Singkat: Aku Isterimu, Bukan Bayangannya

Apa yang akan kamu lakukan jika orang yang kamu cintai sepenuh hati ternyata menyimpan cinta lamanya di balik diam?
Gayatri percaya ia hidup dalam rumah tangga yang utuh—hangat, setia, dan saling mencintai. Tapi semuanya berubah saat ia menemukan jejak masa lalu Raffi yang ternyata belum pernah benar-benar berakhir.
Dalam luka yang tak ia pilih, Gayatri berdiri di antara dua pilihan: mempertahankan atau melepaskan.
Apa yang akan kamu lakukan jika kamu berada di posisi Gayatri?
Tulis jawabannya di kolom komentar.

Bab 1 – Bayangan Bernama Laras

Hujan rintik turun pelan di luar jendela restoran bernuansa hangat itu. Di balik kaca yang mengembun, Gayatri tersenyum memandangi suaminya, Raffi, yang sedang menuangkan air putih ke gelasnya dengan penuh perhatian.

“Lima tahun, ya?” katanya pelan. Suaranya nyaris tenggelam oleh denting piano lembut yang mengisi ruangan.

Raffi menatapnya sambil tersenyum. “Dan masih terasa seperti tahun pertama.”

Gayatri tersipu, jantungnya menghangat. Di usianya yang ke-32, ia merasa hidupnya lengkap. Kariernya sebagai ilustrator lepas berjalan lancar, dan pernikahannya dengan Raffi—pria yang ia kenal sejak kuliah, lalu dinikahi di usia matang—terlihat tenang dan penuh cinta. Setidaknya, selama ini ia percaya begitu.

Saat mereka bersulang dengan gelas air, telepon Raffi bergetar di meja. Layar ponsel menyala. Sebuah nama muncul cepat, hanya sekilas, sebelum Raffi buru-buru membalik ponsel itu menghadap ke bawah.

Gayatri tidak sempat membaca namanya. Tapi ia menangkap nada gugup di wajah Raffi. “Penting?” tanyanya, mencoba bersikap biasa.

Raffi menggeleng cepat. “Cuma kerjaan. Bisa nanti.”

Mereka melanjutkan makan malam. Percakapan ringan mengalir—tentang kenangan awal menikah, tentang rencana liburan ke Lombok yang belum sempat terwujud. Tapi ada jeda di antara kata-kata Raffi. Seperti ruang kosong yang tidak diisi oleh kalimat, melainkan oleh sesuatu yang tidak ingin diucapkan.

Setelah makan malam, mereka pulang. Rumah mereka nyaman dan tertata. Gayatri yang mendesain sebagian besar interiornya. Dinding penuh rak buku dan lukisan. Ada aroma melati dari diffuser di pojok ruang keluarga. Keheningan yang biasanya menenangkan malam itu terasa berat, seperti menyimpan rahasia.

Saat Raffi masuk kamar mandi, Gayatri membereskan jaketnya. Ia merogoh saku dalam dan menemukan dua lembar kertas tebal berwarna biru tua.

Tiket konser.

Ia membalik salah satunya. Tanggalnya: dua hari lalu. Di bagian belakang tertulis dengan tulisan tangan kecil, feminin, miring ke kanan:
“Untuk kita, seperti dulu – L.”

Dadanya seperti ditusuk halus. Ia duduk di tepi tempat tidur, memandangi tiket itu. Raffi tidak pernah bilang akan menonton konser. Dua hari lalu ia bilang pulang terlambat karena meeting malam.

L. Siapa L?

Ia membuka ponselnya. Rasa penasaran yang awalnya ia tekan mulai tumbuh jadi kegelisahan. Ia membuka aplikasi media sosial, membuat akun baru agar tidak mencolok. Lalu ia mulai menelusuri.

Laras. Nama itu melintas seperti bisikan lama.

Ia mengetik: “Laras Putri”, lalu “Laras UI Arsitektur”. Beberapa profil muncul. Di antara semuanya, ada satu yang memajang foto pemandangan malam konser dengan caption:
“Terima kasih untuk malam yang membuatku merasa muda kembali.”

Dalam foto itu, terlihat siluet dua orang. Salah satunya—ia kenal betul dari bentuk tubuh dan cara berdirinya.

Raffi.

Tangan Gayatri gemetar. Ia membesarkan gambar, menggeser sedikit. Gambar itu buram, tapi jelas sekali tangan pria itu digenggam erat oleh wanita di sebelahnya.

Wanita yang bukan dirinya.

Ia mematung. Dunia yang tadinya teratur mulai retak, pelan-pelan. Ia tidak menangis. Tidak langsung marah. Hanya ada satu rasa yang muncul pertama kali—bingung.

Apakah selama ini ia hidup dalam cerita yang Raffi ciptakan untuknya?

Bab 2 – Dalam Diam yang Berisik

Novel Pendek Perselingkuhan
Novel Pendek Perselingkuhan

Pagi datang seperti biasa, tapi tak ada yang terasa biasa.

Gayatri menyiapkan sarapan. Tangannya cekatan, mulutnya bahkan sempat bersenandung kecil, tapi pikirannya jauh dari dapur. Di meja, Raffi membuka koran seperti biasanya, meminum teh sambil sesekali memeriksa ponselnya. Seolah malam tadi tidak pernah terjadi. Seolah dunia mereka tetap utuh.

Tapi Gayatri tahu, ada yang telah pecah.

“Sayang, weekend ini kita pergi, yuk,” ucap Raffi tiba-tiba.

Gayatri menoleh. “Pergi ke mana?”

“Nginep semalam dua malam. Nggak jauh. Aku ambil cuti. Kayaknya kita perlu waktu berdua.”

Itu hal yang jarang sekali Raffi lakukan: merencanakan sesuatu yang mendadak dan spontan. Apalagi selama setahun terakhir ia sibuk luar biasa. Bahkan ulang tahun Gayatri pun hanya dirayakan lewat pesan suara dan kiriman bunga.

Gayatri hanya mengangguk. “Boleh.”

Ia tak ingin memperlihatkan kecurigaan. Belum. Ada sesuatu yang ingin ia pastikan sendiri.

Hari itu, setelah Raffi berangkat ke kantor, Gayatri duduk di ruang kerja kecil di lantai dua. Komputer di depannya menyala, membuka program ilustrasi yang biasa ia pakai untuk menggambar proyek buku anak. Tapi ia tak menggambar. Yang bergerak justru jari-jarinya di atas touchpad, mengetik satu nama di mesin pencarian.

Laras Putri Handayani.

Profil yang semalam ia lihat ternyata publik. Laras adalah seorang arsitek interior, tinggal di Jakarta Selatan, tampak sukses, sering memposting foto desain, lokasi proyek, dan sesekali—kutipan melankolis.

Gayatri menggulir halaman demi halaman. Ia berhenti pada satu foto yang diambil beberapa bulan lalu. Laras berfoto di sebuah kafe sambil tertawa. Caption-nya berbunyi:
“Makan malam dengan seseorang yang membuatku lupa kalau aku pernah dilupakan.”

Tanda tanya di kepala Gayatri semakin banyak. Ia membuka kolom komentar. Salah satunya dari akun bernama @r_han.87, hanya emoji wajah tersenyum dan kopi.

R_Han. Raffi Hanif?

Ia menelan ludah. Wajah Raffi terasa semakin asing. Lima tahun menikah, ia pikir ia mengenal semua tentang suaminya. Tapi ternyata, ada ruang gelap yang tak pernah ia ketahui, dan dari sana muncul nama Laras—seperti bayangan yang pelan-pelan bergerak naik ke permukaan.

Malamnya, Raffi pulang lebih awal. Membawakan makanan favorit Gayatri. Membelai rambutnya sambil bertanya apakah ia lelah. Tapi semua itu terasa seperti naskah yang dipelajari terlalu baik—terlalu sempurna.

Di atas ranjang, mereka duduk bersisian. Gayatri menatap langit-langit kamar yang dulu ia pilih sendiri warna catnya. Sebelumnya, ia merasa kamar ini seperti pelukannya sendiri. Kini ia merasa menginap di tempat yang bukan miliknya.

“Raffi,” katanya pelan. “Aku mau tanya sesuatu.”

“Hm?” Raffi menoleh.

Gayatri menatap matanya dalam-dalam. “Apa kamu pernah mencintaiku sebesar kamu mencintai Laras?”

Sejenak, waktu seperti membeku. Raffi terdiam. Matanya bergerak, tapi bibirnya tak berkata apa-apa.

Gayatri menunggu. Tapi Raffi tidak menjawab.

Ia hanya berdiri perlahan. Mencium kening istrinya. Lalu berjalan keluar kamar tanpa sepatah kata pun.

Bab 3 – Perempuan yang Tak Pernah Pergi

Dari luar, kantor kecil itu tampak biasa. Sebuah ruko tiga lantai di kawasan Kemang, dengan plang putih elegan bertuliskan “LPH Interior Studio”. Gayatri berdiri di seberang jalan, menatapnya tanpa berkedip.

Ia tak tahu apa yang mendorongnya datang hari ini. Tapi sejak malam itu, sejak Raffi memilih diam ketimbang menjawab jujur, hatinya seperti kompas yang sudah menemukan arah: menemui bayangan itu sendiri.

Ia menyeberang, menekan bel pintu kaca. Suara lembut dari bel otomatis menyambut, dan seorang resepsionis muda mempersilahkannya duduk.

Beberapa menit kemudian, seorang wanita keluar dari ruangan dalam. Tingginya semampai, rambut panjangnya digerai, langkahnya ringan namun percaya diri.

“Selamat siang, saya Laras,” katanya ramah. “Saya dengar Ibu ingin berkonsultasi tentang desain rumah?”

Gayatri berdiri. “Iya. Saya Gayatri.”

Mereka bersalaman. Hangat. Wajar. Seperti dua orang asing yang belum pernah saling menyakiti. Padahal, hanya salah satu dari mereka yang sadar sedang berdiri di atas ladang ranjau.

Mereka berbincang selama hampir tiga puluh menit. Gayatri membawa denah rumah fiktif, pura-pura menunjukkan minat terhadap gaya desain Laras. Tapi sebenarnya, ia sedang membaca Laras—ekspresi, gerak mata, cara bicara.

“Kalau boleh tahu,” tanya Gayatri saat obrolan mengendur, “kenapa studio ini dinamai pakai nama lengkapmu?”

Laras tersenyum kecil. “Ada cerita panjang, sih. Tapi intinya, dulu seseorang pernah bilang nama lengkapku itu indah. Dia bilang… kalau suatu hari aku punya usaha sendiri, harus pakai nama itu.”

Gayatri mengangguk pelan. “Dan kamu masih mengingat orang itu?”

Laras menatapnya, lalu tersenyum tipis. “Aneh ya? Sudah lebih dari sepuluh tahun, tapi beberapa orang… seperti tidak pernah pergi.”

Gayatri menahan napas. Ia ingin bertanya langsung, Apakah orang itu bernama Raffi? Apakah kamu tahu dia suamiku? Tapi ia menahan diri. Belum saatnya.

Sebaliknya, ia memilih rute lain. “Kalau boleh tahu,” ucapnya seolah santai, “kamu sudah menikah?”

Laras tertawa pelan. “Belum. Sedang dekat dengan seseorang, tapi masih belum jelas juga arahnya. Dia… agak rumit. Kadang datang, kadang hilang.”

Gayatri mengangguk. Tidak ada cincin di jari Laras. Tidak ada nada bahagia di balik kalimatnya—hanya teka-teki dan harapan yang ditahan-tahan.

“Namanya siapa, kalau boleh tahu?” tanya Gayatri, suara setenang permukaan danau.

Laras ragu sejenak, lalu menjawab, “Raffi.”

Jantung Gayatri seperti terhempas ke lantai.

“Raffi Hanif?”

Laras tampak terkejut. “Kamu kenal?”

Gayatri tersenyum. “Sedikit.”

Laras mendadak gelisah. “Kamu… temannya?”

Gayatri menatapnya lekat-lekat. Lalu, dengan suara datar yang tak bisa ditebak nadanya, ia menjawab,
“Aku istrinya.”

Senyap. Dunia seperti berhenti.

Laras membeku di tempat duduknya. Matanya melebar, mulutnya sedikit terbuka, seolah tak yakin apakah ini mimpi buruk atau kenyataan.

Gayatri bangkit dari kursinya. “Terima kasih untuk waktunya. Soal proyek rumah tadi, sepertinya tidak jadi saja.”

Ia melangkah keluar tanpa menoleh. Begitu pintu kaca tertutup di belakangnya, dunia luar terasa terlalu terang. Tapi untuk pertama kalinya sejak menemukan tiket itu, ia merasa kuat.

Malam itu, Gayatri duduk di ruang tengah. Ia menyiapkan makan malam seperti biasa. Raffi pulang, membawa senyum, dan mencium keningnya.

“Wangi banget. Masak apa?”

“Sup ayam dan tahu kukus. Makanan yang ringan,” jawab Gayatri sambil mengaduk kuah.

Raffi duduk, membuka lengan kemejanya. “Besok kita ke puncak, ya. Aku sudah booking villa kecil. Nggak ada sinyal. Cuma kita berdua.”

Gayatri hanya tersenyum. Lalu, dengan tenang, ia berkata,
“Aku bertemu dia hari ini.”

Raffi mendongak, wajahnya perlahan berubah. “Siapa?”

“Wanita yang kamu pilih untuk kau cintai diam-diam,” jawab Gayatri. “Namanya Laras, kan?”

Bab 4 – Rumah yang Tidak Lagi Punya Jendela

Untuk pertama kalinya dalam lima tahun pernikahan mereka, Raffi tidak bisa berkata apa-apa.

Sejak Gayatri menyebut nama Laras malam itu, makan malam yang hangat berubah dingin. Suasana rumah tak lagi menyambut, hanya tembok dan kursi yang bisu.

“Aku bisa jelaskan,” kata Raffi akhirnya, pelan.

Gayatri mengangkat wajahnya perlahan. “Silakan.”

“Aku… aku ketemu dia di acara reuni kuliah. Iseng ngobrol. Aku nggak pernah nyari dia. Tapi setelah ketemu, semua kenangan itu balik. Aku pikir perasaan itu sudah selesai, tapi ternyata belum. Aku nggak niat menjauh darimu. Aku cuma…”

“Cuma menghidupkan kembali sesuatu yang pernah kamu anggap mati?” potong Gayatri.

Raffi tertunduk.

“Dia tidak tahu kamu sudah menikah, Raffi. Bahkan dia percaya kamu pria baik yang sedang membangun ulang hubungan lama. Kamu tahu apa artinya itu?” suara Gayatri mulai retak.

Raffi mengusap wajahnya. “Aku bingung. Aku tahu aku salah. Tapi aku nggak pernah ingin kehilangan kamu. Laras cuma…”

“Cuma tempat kamu menaruh kenangan yang belum selesai?” sambung Gayatri, lirih. “Dan aku, tempat kamu pulang dan berpura-pura lupa?”

Tak ada suara selama beberapa detik.

“Harusnya kamu memilih sejak awal,” lanjut Gayatri pelan. “Bukan membagi hatimu jadi dua.”

Keesokan harinya, Gayatri bangun lebih dulu. Ia membereskan tempat tidur, menyeduh teh, dan menyiapkan sarapan—semua seperti biasa. Tapi ia tahu, tidak ada yang ‘biasa’ lagi. Dalam diam, ia mulai membereskan pikirannya. Dan isi lemarinya.

Pikirannya kacau. Tapi tubuhnya tenang. Ia mulai mengemasi pakaian dalam koper kecil. Bukan untuk pergi selamanya. Tapi untuk keluar dari rumah yang tidak lagi punya jendela. Tempat di mana cahaya sudah tak bisa masuk.

Sore harinya, ibunya datang. Niat awalnya hanya menjenguk, tapi begitu melihat raut wajah Gayatri yang pucat dan tubuhnya yang lemah, ia langsung cemas.

“Kamu kenapa, Gay?” tanya sang ibu.

“Cuma kurang tidur,” jawab Gayatri.

Ibunya menghela napas. “Aku tahu kamu pintar menyembunyikan luka, tapi kamu lupa, aku ibumu.”

Akhirnya, dengan dorongan lembut, sang ibu membujuk Gayatri untuk ikut ke klinik. Hanya untuk periksa biasa, katanya.

Satu jam kemudian, Gayatri terduduk di ruang tunggu. Dokter perempuan yang memeriksanya tadi keluar dengan berkas di tangan, tersenyum.

“Selamat ya, Bu Gayatri. Usianya sekitar lima minggu.”

Gayatri terdiam. “Maaf… usia apa?”

“Kehamilannya. Anda sedang hamil lima minggu.”

Dunia kembali hening.

Malamnya, Gayatri duduk di ruang tamu. Lampu hanya menyala satu. Raffi baru pulang. Ia melihat koper di dekat sofa, wajahnya langsung berubah.

“Kamu mau ke mana?” tanyanya cepat.

Gayatri menatapnya. Lama.

“Aku mau keluar. Menjauh. Bukan karena aku marah. Tapi karena aku butuh mengingat siapa diriku sebelum semua ini terjadi.”

Raffi melangkah mendekat. “Gay, jangan. Tolong. Aku tahu aku salah. Tapi kita masih bisa memperbaiki semua ini. Kita bisa mulai lagi. Dari awal.”

Gayatri berdiri, mengambil sesuatu dari tas kecilnya: secarik kertas hasil pemeriksaan klinik. Ia menyerahkannya ke tangan Raffi.

“Apa ini?” Raffi membukanya—dan tubuhnya kaku.

Gayatri menatapnya lurus. “Aku hamil.”

Bab 5 – Aku Istrimu, Bukan Bayangannya

Novel singkat
Novel singkat

Raffi menatap secarik kertas hasil pemeriksaan kehamilan itu selama beberapa detik—seolah tulisan yang tercetak di sana bukan hanya berita tentang anak, tapi juga cermin yang memaksa ia melihat wajahnya sendiri dengan jujur.

“Kenapa kamu nggak bilang dari awal?” suaranya pelan, hampir seperti bisikan.

Gayatri duduk, tidak menjawab seketika. Ia menatap jendela yang gelap. “Karena kamu masih sibuk mencintai masa lalu. Dan aku tidak mau kehadiran anak ini jadi alasan kamu berpura-pura kembali ke masa kini.”

Raffi mendekat, duduk di lantai di depan Gayatri. “Aku salah. Aku… kehilangan arah. Tapi sejak kamu bilang kamu tahu segalanya, rasanya seperti dibangunkan. Aku sadar aku nyakitin dua orang sekaligus, tapi yang paling aku hancurkan… kamu.”

Gayatri menghela napas. “Kamu tahu, aku nggak pernah minta pernikahan kita sempurna. Aku cuma ingin tahu bahwa saat aku berdiri di sampingmu, aku bukan bayangan orang lain.”

Hening. Rumah terasa penuh kata-kata yang tak jadi diucapkan.

Keesokan harinya, Gayatri bangun lebih pagi. Ia duduk di meja makan, menulis sesuatu di buku jurnal kecil yang selalu ia simpan sejak menikah. Bukan catatan harian, tapi lebih seperti daftar yang ingin ia sampaikan ke diri sendiri saat hari terasa gelap.

Kali ini, ia menulis kalimat yang pendek:

“Jika aku bisa memaafkan orang lain, aku juga bisa memeluk diriku sendiri.”

Ia menutup jurnal itu, lalu membuka koper kecil yang ia kemas kemarin. Ia masukkan beberapa tambahan: pakaian longgar, buku catatan, dan album foto kecil. Bukan untuk melupakan Raffi, tapi untuk mengingat betapa jauh ia telah melangkah sebagai dirinya sendiri.

Raffi bangun dan menemukan surat di meja ruang tamu. Tulisan tangan Gayatri rapi seperti biasa. Tapi isinya sederhana, tak lebih dari dua paragraf:

Raffi,

Aku tidak pergi karena membenci. Aku pergi karena akhirnya aku mencintai diriku sendiri lebih dari rasa takut ditinggalkan. Kamu tidak harus memilih antara aku dan Laras. Karena aku sudah memilih: untuk tidak jadi pilihan kedua siapa pun.

Aku akan baik-baik saja. Dan anak ini juga. Kami akan tumbuh dengan tahu bahwa keberanian itu bukan tentang menggenggam, tapi tentang berani melepaskan saat hati tak lagi jujur.

– Gayatri

Enam bulan kemudian
Di kota kecil di luar Jakarta, Gayatri hidup tenang. Ia menyewa rumah mungil dengan taman belakang. Setiap pagi ia berjalan kaki ke warung terdekat, menyapa tetangga, lalu duduk menggambar di beranda.

Perutnya sudah membesar. Ia sesekali meraba perut itu, lalu tersenyum kecil. Di malam hari, ia membaca buku sambil memutar lagu klasik pelan-pelan. Tidak ada lagi suara berat yang memintanya diam, tidak ada lagi keheningan yang menakutkan.

Suatu malam, ia membacakan cerita pada anak dalam kandungannya.

“Suatu hari nanti, kamu akan tahu,” bisiknya lembut,
“bahwa ibumu pernah memilih diam, tapi tidak pernah menyerah. Bahwa cinta tidak selalu berarti tinggal. Dan bahwa menjadi utuh itu bukan karena siapa yang datang… tapi karena siapa yang akhirnya kita temukan saat bercermin.”

Selesai.

Leave a Comment