Pernikahan sering kali digambarkan sebagai puncak cinta—sebuah janji seumur hidup yang lahir dari perasaan yang tumbuh dan terawat. Tapi bagaimana jika pernikahan justru menjadi awal dari perjalanan mencari cinta itu sendiri?
“Cinta Setelah Akad” Novel Pernikahan Berlandaskan Kontrak atau kisah tentang dua orang asing yang dipertemukan bukan oleh takdir manis, melainkan oleh kewajiban dan perjanjian lama. Tanpa romansa, tanpa harapan, bahkan tanpa rencana untuk saling mengenal. Namun di balik pernikahan yang dingin dan rasional, tersembunyi ruang-ruang kosong yang perlahan diisi oleh perhatian, luka yang sembuh oleh kebersamaan, dan perasaan yang tumbuh tanpa suara.
Ini bukan kisah cinta yang sempurna. Tapi mungkin, justru karena ketidaksempurnaannya… ia terasa nyata.
Bab 1 – Akad yang Tak Direncanakan

Hujan turun deras sore itu, membasahi pekarangan rumah besar keluarga Arya dengan aroma tanah yang menyengat. Di dalam, suasana justru jauh lebih panas. Di tengah ruang tamu yang megah namun mencekam, dua keluarga duduk berhadapan. Wajah-wajah tegang, kata-kata tertahan di ujung lidah. Lalu, suara Pak Harun, ayah Arya, memecah kesunyian.
“Seperti yang sudah disepakati sejak dulu. Waktu kalian kecil, perjanjian itu dibuat bukan hanya atas dasar bisnis, tapi juga persahabatan. Kini saatnya menepati.”
Putri menunduk. Tangan mungilnya mengepal di atas pangkuan. Ia tidak menyangka hidupnya akan berubah hanya karena sebuah perjanjian tua yang bahkan tak pernah dia dengar sebelumnya. Arya, lelaki di sampingnya, juga tampak enggan. Dingin. Seolah semuanya hanyalah formalitas yang menyebalkan.
“Ayah, zaman sudah berubah. Kita nggak bisa menikah karena kontrak,” kata Arya pelan, tapi cukup tegas.
Pak Harun menatapnya lama. “Dan kamu tahu, bisnis keluarga bisa runtuh kalau perjanjian ini dibatalkan. Reputasi ayahmu, usaha bertahun-tahun, semua taruhannya di situ.”
Putri menelan ludah. Ia melirik ibunya, yang hanya bisa menggenggam tangannya erat dengan air mata menggenang. Sejak ayahnya meninggal, ibu sudah banyak berkorban. Rumah mereka kecil, tagihan datang bertubi-tubi, dan satu-satunya harapan ada pada beasiswa Putri yang tak kunjung turun. Ia merasa terpojok. Seperti dikurung dalam kandang emas yang terlihat indah, tapi tetap saja sebuah kurungan.
Arya berdiri. “Baik. Tapi hanya satu tahun. Setelah itu, kita bercerai. Saya punya hidup yang harus saya jalani.”
Putri mendongak, menatap mata laki-laki itu. Dingin. Rasional. Tak ada kelembutan. Tapi juga tak ada kebencian. Hanya kekosongan, seolah ia tak lebih dari kewajiban.
“Kalau itu bisa menyelamatkan semua, saya setuju,” jawabnya lirih.
Malam itu, tanpa pesta, tanpa pelaminan, mereka menikah dalam akad sederhana. Dua saksi, dua keluarga, dan dua hati yang belum pernah saling mengenal, apalagi saling mencinta.
Saat Arya mengucapkan ijab kabul, Putri hanya bisa menatap kosong ke arah sajadah. Hatinya kacau. Ia bukan gadis polos yang mendamba pernikahan dongeng. Tapi ia juga bukan wanita yang sanggup menanggalkan impian begitu saja. Pernikahan ini—adalah awal dari sesuatu yang tak pernah ia rancang.
Dan meski mereka kini sah sebagai suami istri, keduanya tahu… hubungan ini dimulai dengan waktu yang berdetak mundur.
Bab 2 – Rumah yang Bukan Rumah
Langit pagi itu cerah, kontras dengan suasana hati Putri saat ia berdiri di depan sebuah rumah besar bercat abu-abu dengan gerbang hitam menjulang. Di sinilah ia akan tinggal, bersama seorang lelaki yang kini sah menjadi suaminya, meski rasanya lebih seperti tinggal bersama orang asing.
“Ini rumahmu sekarang,” ujar Arya singkat, membuka pintu pagar dengan remote di tangan.
Putri mengangguk pelan, menarik koper kecilnya sambil melangkah pelan ke dalam. Halaman depan dipenuhi tanaman tropis yang tertata rapi, tapi tak ada kesan hangat. Semuanya begitu kaku. Seperti pemiliknya.
Begitu pintu utama terbuka, aroma kayu dan kopi menyambut mereka. Interior rumah itu modern, elegan, dan mahal—namun terasa dingin. Tak ada foto keluarga, tak ada jejak kehidupan. Hanya furnitur-furnitur mahal yang ditata seperti galeri pameran.
“Kamar kamu di lantai dua, sebelah kanan. Kamar saya di ujung,” kata Arya tanpa menoleh.
“Baik,” jawab Putri datar.
Ia mengikuti arah yang ditunjukkan, naik tangga pelan-pelan, merasa seperti tamu yang tak diundang. Di kamar yang kini menjadi miliknya, Putri duduk di tepi ranjang, memandangi koper yang belum dibuka. Matanya menatap kosong ke arah jendela. Ada perasaan ganjil menguasai dirinya: bukan sedih, bukan marah—lebih seperti kosong. Seperti bagian dari dirinya tertinggal di rumah kecil ibunya kemarin malam.
Malam harinya, mereka makan bersama untuk pertama kali. Di meja makan panjang dengan enam kursi, hanya dua yang terisi.
“Kamu nggak harus masak. Ada asisten rumah tangga yang datang pagi sampai sore. Tapi malam biasanya rumah sepi,” ujar Arya, menyendok supnya tanpa banyak ekspresi.
Putri mengangguk lagi. “Baik.”
Diam kembali menyelimuti ruangan. Suara sendok dan piring menjadi satu-satunya yang terdengar.
Setelah beberapa menit, Arya akhirnya bersuara lagi. “Aku tahu ini aneh buat kamu. Tapi kita cuma perlu bertahan satu tahun. Kita jalani ini tanpa mengganggu hidup masing-masing.”
Putri menatap pria itu. Wajahnya tenang, seperti selalu. Datar, tanpa jeda. Tapi ada sesuatu di balik mata itu. Kelelahan, mungkin? Luka?
“Aku bisa jalani. Asal kita saling menghargai,” kata Putri lirih.
Arya mengangguk sekali. “Itu sudah cukup.”
Malam itu, ketika Putri berbaring di ranjang besar yang dingin, ia menatap langit-langit putih dan bertanya-tanya: apakah mungkin menemukan cinta dalam pernikahan yang lahir tanpa rasa? Atau justru, perasaan itu akan tumbuh pelan-pelan, seperti benih yang tak sengaja tertanam namun diberi cukup waktu untuk tumbuh?
Tak ada yang tahu. Tapi waktu satu tahun kini telah dimulai—dan setiap detiknya akan menguji janji yang tak pernah mereka ucapkan.
Bab 3 – Batas yang Perlahan Kabur
Tiga minggu telah berlalu sejak akad itu mengikat mereka. Waktu berjalan perlahan dalam rumah yang terlalu besar dan terlalu sunyi bagi dua orang yang nyaris tak saling bicara. Arya pergi pagi sebelum matahari terbit, pulang malam saat Putri hampir tertidur. Tak ada pesan, tak ada kabar. Hanya suara mobil yang menandai kedatangannya, lalu suara langkah kaki yang langsung menuju kamar ujung lorong.
Putri mulai terbiasa dengan kesendirian. Ia menyibukkan diri dengan membaca buku, memasak makanan yang kadang tak disentuh, dan membersihkan rumah yang tak pernah benar-benar kotor. Tapi yang tak pernah ia sangka adalah… ia mulai penasaran pada sosok suaminya.
Satu malam, hujan kembali turun deras. Petir menyambar berkali-kali, membuat Putri terlonjak dari tidurnya. Ia turun ke dapur, berniat membuat teh. Saat itulah ia melihat Arya—duduk sendirian di ruang tamu gelap, hanya diterangi cahaya dari layar laptop.
Ia ragu mendekat, tapi suara Arya mengejutkannya. “Kamu belum tidur?”
Putri mengangguk pelan. “Petirnya terlalu kencang. Aku mau buat teh.”
Arya menutup laptopnya. “Kalau mau, bikinkan aku juga. Tapi teh tawar saja.”
Putri menatapnya sejenak. Itu pertama kalinya pria itu meminta sesuatu padanya. Tanpa banyak kata, ia kembali ke dapur. Saat dua cangkir teh siap, ia menghampiri Arya dan menyerahkan satu padanya. Mereka duduk bersebelahan, dalam diam.
“Kamu nggak kerja malam ini?” tanya Putri pelan.
Arya menghela napas. “Tadinya mau kerja, tapi otakku nggak bisa berhenti mikirin satu hal.”
Putri menoleh. “Apa?”
“Kenapa kamu begitu cepat setuju menikah denganku?”
Pertanyaan itu membuat Putri terdiam. Bukan karena tak tahu jawabannya, tapi karena ia tak menyangka Arya ingin tahu.
“Karena aku nggak punya pilihan. Aku butuh bantu ibu. Dan… mungkin, aku terlalu takut mengecewakan semua orang,” jawabnya jujur.
Arya mengangguk, tanpa ekspresi. “Sama.”
“Kamu juga?” tanya Putri heran.
“Aku juga nggak suka dipaksa. Tapi kadang, kita memang nggak bisa memilih jalan hidup sepenuhnya,” katanya, lalu menyesap tehnya. “Tapi satu tahun ini… mungkin nggak akan seburuk itu.”
Putri tersenyum tipis. Bukan senyum bahagia, tapi lebih seperti senyum karena akhirnya seseorang berbicara dengannya sebagai manusia, bukan sebagai kewajiban.
Malam itu mereka tak bicara banyak, tapi keheningan di antara mereka tak lagi terasa seperti dinding. Lebih seperti jeda. Sunyi yang memberi ruang. Dan untuk pertama kalinya, Putri merasa rumah itu tidak terlalu asing lagi.
Batas yang sebelumnya begitu jelas antara dua orang asing itu… perlahan mulai kabur.
Bab 4 – Bayangan di Antara Kita
Hari Sabtu itu, udara di rumah Arya lebih hangat dari biasanya. Putri, yang biasanya hanya mengenakan kaus rumah, hari ini berdiri di dapur mengenakan blus putih sederhana dan apron. Ia sedang mencoba resep masakan ibunya—ayam ungkep bumbu kecap. Bau harum memenuhi ruang makan. Tanpa sadar, ia mulai merasa nyaman dalam rutinitas ini.
Arya, yang biasanya pulang larut, kali ini datang lebih cepat. Pintu terbuka pelan, dan Putri menyambutnya dengan senyum canggung.
“Kamu lapar? Aku masak sedikit,” tawarnya.
Arya mengangguk kecil. “Boleh. Aku belum makan.”
Mereka duduk berhadapan di meja makan. Untuk pertama kalinya, mereka makan bersama tanpa diam yang tebal. Arya bahkan memuji masakan Putri, meski singkat. Putri tak bisa menahan senyum kecilnya. Hubungan mereka masih asing, tapi mulai terasa seperti… pertemanan. Atau awal dari sesuatu yang belum jelas bentuknya.
Namun ketenangan itu tidak bertahan lama.
Saat mereka sedang membereskan meja, bel rumah berbunyi. Putri membuka pintu, dan di depannya berdiri seorang wanita cantik dengan balutan blazer elegan. Riasannya sempurna, senyumnya tipis, matanya tajam. Wanita itu tak menoleh ke arah Putri, tapi langsung menatap Arya yang baru saja keluar dari dapur.
“Aku butuh bicara,” katanya datar. “Empat mata.”
Putri menoleh ke Arya, menunggu penjelasan. Arya menghela napas dan berjalan mendekat.
“Putri, ini Clara,” katanya pelan. “Dia… mantan tunanganku.”
Putri membeku. Kata itu menggantung di udara seperti petir tanpa suara. Mantan tunangan.
Clara menatap Putri sekilas, dingin. “Jadi ini istrimu?”
Putri tersenyum kaku, menahan gelisah yang mulai menggerogoti perutnya. “Saya Putri,” ucapnya pelan.
Clara tidak menjawab. Ia kembali menatap Arya. “Kita harus bicara. Sekarang.”
Arya ragu sejenak, lalu menoleh ke Putri. “Aku akan bicara dengannya di luar. Nggak lama.”
Putri hanya mengangguk. Ia melangkah mundur, lalu menutup pintu perlahan, menyisakan keheningan yang jauh lebih dingin dari sebelumnya.
Di luar, suara hujan mulai turun lagi, samar-samar. Putri berdiri di balik tirai, tak berniat menguping, tapi tak mampu menahan diri untuk tidak melihat. Clara berdiri sangat dekat dengan Arya. Tangan wanita itu sempat menyentuh lengan Arya—dan Arya tidak langsung menolak.
Ada rasa aneh menusuk di dada Putri. Ia tahu mereka bukan pasangan sungguhan. Ia tahu pernikahan ini hanyalah kontrak. Tapi tetap saja, ada sesuatu yang terasa… salah.
Malam itu, Arya pulang lebih larut dari biasanya. Tak ada penjelasan. Tak ada permintaan maaf. Hanya sunyi. Dan untuk pertama kalinya sejak hari akad, Putri tidur dengan mata terbuka, memandangi langit-langit sambil bertanya dalam hati: apakah ini awal dari akhirnya?
Bab 5 – Luka yang Belum Pulih
Hari-hari setelah kedatangan Clara berubah jadi ruang hampa yang menyiksa. Arya kembali pada kebiasaan lamanya: pergi pagi sebelum Putri bangun dan pulang malam ketika rumah sudah sunyi. Tak ada ucapan, tak ada penjelasan. Seolah malam itu tak pernah terjadi.
Putri mencoba mengabaikan perasaannya. Ia meyakinkan diri bahwa tak seharusnya ia cemburu. Bahwa ia bukan siapa-siapa. Tapi setiap kali bayangan Clara muncul di benaknya—senyum tipisnya, sikap percaya dirinya, cara ia menyebut Arya tanpa ragu—dadanya kembali sesak.
Suatu malam, Arya pulang lebih cepat dari biasanya. Ia tampak lelah, wajahnya kusut dan langkahnya berat. Putri yang sedang menyirami tanaman di teras langsung berdiri.
“Kamu mau makan?” tanyanya, berusaha terdengar biasa.
Arya menatapnya sejenak, lalu mengangguk pelan. “Boleh.”
Mereka duduk di meja makan lagi, seperti dua orang asing yang terpaksa berbagi ruang. Tapi malam ini, Putri tak tahan diam lebih lama.
“Kamu nggak akan cerita soal malam itu?” tanyanya perlahan, tapi nadanya lebih tajam dari yang ia niatkan.
Arya meletakkan sendoknya. Wajahnya datar. “Nggak ada yang perlu diceritakan.”
Putri menatapnya, matanya mulai memerah. “Dia mantan tunanganmu, Arya. Kamu pergi berjam-jam sama dia. Dan kamu nggak pikir aku pantas tahu apa yang sebenarnya terjadi?”
Arya menghela napas. “Kami hanya menyelesaikan yang belum selesai.”
“Yang belum selesai?” Putri mengulang, suaranya meninggi. “Jadi selama ini kamu masih menyimpan perasaan ke dia?”
Arya menatap Putri dalam-dalam, untuk pertama kalinya dengan emosi yang tak bisa ia sembunyikan. “Aku nggak tahu, Putri. Clara muncul begitu saja, saat aku bahkan belum paham apa yang sedang aku jalani sekarang.”
“Kalau kamu masih punya rasa, kenapa menikah denganku?” Putri berbisik, dan suaranya nyaris pecah. “Aku tahu ini pernikahan kontrak. Tapi aku tetap manusia, Arya. Aku juga bisa terluka.”
Arya terdiam lama. Lalu ia berkata pelan, “Aku menikah karena aku nggak punya pilihan. Sama seperti kamu.”
Kata-kata itu, walau jujur, terdengar seperti cambuk. Dan Putri merasa seperti gadis bodoh yang mulai berharap pada sesuatu yang memang sejak awal tak pernah dijanjikan.
Putri berdiri, menahan air mata. “Aku nggak akan ganggu hidup kamu. Tapi mulai sekarang, kita jalani kontrak ini… seperti yang kamu mau: tanpa campur urusan masing-masing.”
Ia berbalik, meninggalkan Arya sendirian di ruang makan. Punggungnya gemetar menahan tangis, tapi langkahnya tetap tegak. Di dalam kamar, ia mengunci pintu dan membiarkan air mata jatuh bebas—tanpa suara, tanpa pelukan, tanpa siapa pun yang tahu.
Dan untuk pertama kalinya, Putri benar-benar merasa sendirian dalam pernikahannya.
Bab 6 – Saat yang Tak Terduga
Sudah hampir seminggu sejak pertengkaran itu, dan Putri tetap pada ucapannya. Ia melakukan tugas rumah seperti biasa, namun tak lagi menunggu Arya pulang, tak menyapa, tak bertanya. Bahkan ketika mereka berpapasan di dapur atau lorong rumah, Putri hanya mengangguk singkat—senyum pun tak lagi ia sisakan.
Arya merasakannya. Sepi yang dulu nyaman, kini justru membuat langkahnya berat saat membuka pintu rumah. Ada ruang kosong di meja makan, dan bau masakan rumahan yang dulu hangat kini tak lagi menyambut. Ia menyadari, perlahan, kehadiran Putri telah mengisi kekosongan yang bahkan ia tak tahu pernah ada.
Malam itu, hujan kembali turun, deras seperti malam Clara datang. Arya baru pulang setelah rapat panjang dan tubuhnya nyaris ambruk karena kelelahan. Begitu melewati gerbang, pandangannya kabur. Kepalanya berdenyut hebat. Napasnya pendek.
Putri sedang menyeduh teh di dapur saat mendengar suara pintu dibuka—diikuti oleh bunyi tubuh jatuh menghantam lantai.
“ARYA?!”
Ia berlari, jantungnya seperti terhenti. Arya tergeletak di depan pintu, keringat dingin membasahi wajahnya, matanya nyaris tertutup.
“Demam…,” gumamnya lemah.
Tanpa pikir panjang, Putri membantunya bangkit dan membawanya ke kamar. Dengan susah payah, ia mengganti baju Arya yang basah, mengompres keningnya, dan menyuapkan obat ke mulut suaminya itu. Tangannya gemetar, tapi nalurinya berjalan cepat.
Malam itu, ia duduk di sisi tempat tidur, menggenggam tangan Arya yang panas membara.
“Kamu harus sembuh. Jangan bikin aku takut kayak tadi,” bisiknya.
Arya sempat membuka mata. “Kenapa kamu peduli?”
Putri terdiam. Lalu menjawab pelan, “Aku nggak tahu. Tapi… mungkin karena aku mulai terbiasa dengan kehadiran kamu.”
Tak ada balasan. Arya sudah kembali terpejam. Tapi genggaman tangannya mengencang sesaat, cukup untuk membuat dada Putri bergetar.
Pagi harinya, demam Arya mereda. Ia membuka mata dan menemukan Putri tertidur di tepi ranjang, masih mengenakan pakaian semalam, dengan tangan menyentuh lengannya.
Dan saat itu Arya sadar: rumah itu tidak lagi kosong.
Bukan karena dindingnya, bukan karena perabotannya. Tapi karena seseorang telah mengisi ruang yang dulu tak pernah ia sadari begitu sunyi.
Seseorang yang mulai ia lihat… bukan lagi sebagai bagian dari kontrak, tapi sebagai bagian dari dirinya.
Bab 7 – Cinta Setelah Akad
Waktu berlalu cepat setelah malam itu. Arya pulih, tapi ada yang berubah dalam cara ia memandang Putri. Ia mulai pulang lebih awal, kadang diam-diam membawakan makanan, sesekali menawarkan tumpangan ke kampus. Perhatian kecil, tanpa kata besar. Tapi cukup untuk membuat hati Putri bimbang—dan berharap.
Putri pun berubah. Ia tak lagi menjaga jarak, namun juga tak menuntut lebih. Ia menyadari, meski rumah ini semakin terasa seperti rumah, ada batas yang belum mereka lewati. Batas yang tak ditentukan oleh perjanjian, tapi oleh kejujuran hati.
Lalu hari itu datang—hari di mana kontrak mereka genap satu tahun.
Putri berdiri di depan jendela, memandangi langit sore yang mulai memerah. Di tangannya, ada amplop putih berisi surat pernyataan perceraian yang sudah disiapkan oleh pengacara keluarga. Arya berdiri beberapa meter darinya, diam.
“Jadi… kita selesai?” tanya Putri pelan, tanpa menoleh.
Arya tidak menjawab langsung. Ia menatap punggung Putri lama, seperti ingin mengukir gambar itu dalam ingatannya.
“Aku kira, satu tahun akan cukup untuk kembali ke hidupku yang dulu. Tapi ternyata aku salah.”
Putri menoleh, matanya mulai basah.
“Salah bagaimana?”
Arya melangkah mendekat. “Karena aku nggak mau kembali ke hidup yang dulu. Hidup tanpa kamu.”
Putri menahan napas. Surat di tangannya bergetar. “Arya…”
“Aku tahu ini bukan awal yang sempurna. Bahkan mungkin jauh dari biasa. Tapi dalam setahun ini, kamu mengisi semua yang kosong dalam hidupku. Kamu bikin aku sadar bahwa rumah bukan tempat, tapi orang.”
Ia meraih surat itu pelan dan meletakkannya di meja.
“Aku nggak mau tanda tangan ini. Kecuali kamu memang ingin pergi.”
Putri menatapnya lama, mencoba memastikan ini bukan mimpi. “Jadi… kamu ingin pernikahan ini… dilanjutkan?”
“Bukan dilanjutkan,” Arya tersenyum tipis. “Aku ingin memulai yang baru. Kali ini tanpa kontrak. Tanpa syarat. Hanya kamu dan aku.”
Air mata Putri jatuh, tapi senyumnya tak bisa ditahan.
“Aku juga… nggak mau pergi,” bisiknya.
Arya mengulurkan tangan. Dan ketika Putri meraihnya, semua yang selama ini mengganjal perlahan menghilang. Tidak ada janji berlebihan, tidak ada kata-kata cinta yang berlebihan. Hanya dua orang yang memilih tetap tinggal, meski awalnya tak pernah berniat saling mencintai.
Pernikahan mereka mungkin dimulai dari kesepakatan di atas kertas.
Tapi cinta…
Cinta itu tumbuh setelah akad.
Selesai, Silahkan lanjut ke novel menikah karena berlandaskan kontrak lainnya.