Skip to content

Baca Novel Singkat Di sini

Menu
  • Home
  • Pilihan Novel
    • Romansa
    • Fiksi Ilmiah
    • Petualangan
  • Tentang Kami
  • Kontak Kami
  • Privacy Policy
  • Disclaimer
  • Terms and Conditions
Menu
Novel Singkat Aku Adalah Dunia yang Kau Tinggalkan

Novel Singkat: Aku Adalah Dunia yang Kau Tinggalkan

Posted on June 1, 2025

Elyn, seorang desainer realitas virtual, terbangun dalam dunia yang terasa aneh—langit tak lagi berwarna, waktu melambat, dan orang-orang mulai lupa arah pulang. Setelah ditinggalkan oleh Raka, pria yang ia cintai, dunia sekitarnya perlahan runtuh secara halus dan tanpa alasan jelas. Namun ketika ia mulai menyadari bahwa realitas ini hanyalah simulasi yang diciptakan dari kenangan dan rasa rindunya, Elyn terjebak dalam pusaran antara cinta, kehilangan, dan kesadaran.

Dunia yang ia tinggali ternyata adalah ciptaan Raka sebuah simulasi eksistensial untuk menyelamatkan Elyn dari kehancuran emosional. Dalam perjalanannya, Elyn harus menghadapi versi dirinya yang lain, melawan hasrat untuk bertahan dalam kebahagiaan palsu, dan akhirnya membuat keputusan terberat: menghancurkan dunia itu demi bangkit sebagai dirinya sendiri.

Lewat serangkaian ruang surreal, peron kosong, surat dari masa yang tak pernah ada, hingga percakapan dengan proyeksi kesadaran Raka, Elyn perlahan menyadari bahwa yang harus ia selamatkan bukanlah cinta melainkan dirinya sendiri.

“Aku Adalah Dunia yang Kau Tinggalkan” adalah kisah tentang cinta yang tak bisa diselamatkan, dunia yang diciptakan oleh luka, dan keberanian seorang perempuan untuk bangkit dari kehancuran, bukan sebagai kenangan… tapi sebagai kehidupan yang baru.

Bab 1: Hari Tanpa Warna

Langit pagi itu seolah lupa caranya biru. Ia menggantung di atas kepala Elyn dalam nuansa kelabu yang beku, tak bergerak, tak berubah. Matahari menyelinap pelan-pelan, tapi sinarnya tak menghangatkan. Seperti hanya sekadar tugas yang dijalani tanpa semangat.

Elyn duduk di pinggir jendela apartemennya, menatap dunia yang tak lagi terasa hidup. Jalanan lengang, meski waktu menunjukkan jam sibuk. Mobil-mobil bergerak, tapi tanpa suara. Orang-orang berjalan seperti diseret oleh keharusan, bukan kehendak. Semua terlihat… kosong.

Sudah tiga belas hari sejak Raka pergi. Tidak pamit. Tidak menjelaskan. Tidak meninggalkan jejak, selain satu kalimat pendek di secarik kertas: “Maaf, aku harus pergi sebelum dunia ini berhenti.” Awalnya Elyn mengira itu metafora. Sekarang ia tak yakin lagi.

Karena dunia benar-benar sedang berhenti.

Tanaman di balkon tak tumbuh, padahal musim semi seharusnya telah datang. Daun-daun kering tak jatuh dari tangkai. Jam dinding di kamarnya sering terlambat beberapa menit, lalu tiba-tiba melompat ke depan, seolah tak bisa menjaga ritmenya sendiri.

Dan yang paling membuat Elyn takut: bayangan di cermin tak pernah bergerak bersamaan dengan tubuhnya. Selalu ada jeda. Seperti ia sedang ditonton dari balik layar tipis, oleh sesuatu yang meniru dirinya.

Ia mencoba bertanya pada orang-orang di sekitar. Tetangganya hanya tersenyum lemah, seperti tidak benar-benar mengerti pertanyaan. Penjual bunga di pojok jalan tetap menjajakan mawar yang sama setiap hari, dengan kelopak yang tak pernah mengering atau mekar. Waktu di sini membeku, tapi tidak indah. Hanya… kehilangan.

Di dalam kepalanya, kenangan tentang Raka terus memutar tanpa henti.

Raka dengan senyum kecil yang selalu datang lebih dulu sebelum tawanya. Raka yang duduk bersila di lantai sambil membaca puisi yang ia tulis sendiri untuk Elyn. Raka yang mencium kening Elyn saat ia terlalu lelah untuk bicara.

Dan Raka yang berkata suatu malam, dengan mata menatap bintang, “Jika dunia ini tak mampu menjagamu, mungkin aku akan membuatkan dunia baru hanya untukmu.”

Elyn tertawa waktu itu. Tapi kini kalimat itu terngiang dengan cara yang berbeda. Apakah ini… dunia itu?

Ia memutuskan keluar apartemen. Langkah-langkahnya menyusuri trotoar yang terlalu bersih. Tidak ada suara anjing menggonggong. Tidak ada anak-anak. Tidak ada udara dingin. Hanya suara sepatunya sendiri dan desahan angin yang terdengar seperti napas seseorang yang sangat letih.

Di tengah kota, ia berhenti di sebuah taman kecil yang biasanya ramai. Bangku-bangku terisi oleh tubuh-tubuh diam yang menatap kosong ke depan, tak berkedip, tak bergeming. Matanya kosong, seolah lupa apa yang harus mereka pikirkan.

Seseorang duduk di ayunan, tapi tali ayunan itu tak bergoyang meski tubuhnya ringan. Di seberangnya, air mancur tak menyembur air, hanya berdiri beku dalam lengkung logam yang tak berfungsi.

Elyn berjalan pelan ke bangku taman yang kosong dan duduk. Ia ingin menangis, tapi bahkan air matanya enggan jatuh. Ia merasa seperti lukisan yang tak selesai, hidup dalam sketsa yang kehilangan warna.

Tiba-tiba, di bawah bangku tempat ia duduk, ada secarik kertas terlipat. Ia ambil pelan-pelan, membuka dengan jemari gemetar. Tulisan tangan yang ia kenal—huruf miring Raka yang sedikit berantakan.

“Aku tahu kau mulai menyadarinya. Dunia ini akan mulai retak jika kau mencari lebih jauh. Tapi kalau kau masih mencintaiku… jangan bangunkan dunia ini. Jangan cari aku.”

Elyn terdiam. Jantungnya berdetak sekali, dua kali, lalu melambat. Ia membaca ulang kalimat itu, seolah huruf-hurufnya bisa berubah. Tapi tidak. Pesannya tetap sama.

“Jangan cari aku.”

Tapi bagaimana mungkin ia tidak mencari?

Ia bangkit dan berjalan pulang, menembus jalanan yang mulai kabur. Gedung-gedung di kejauhan tampak seperti dilukis dengan pensil samar. Beberapa mulai menghilang, menyisakan kabut aneh yang seolah menutupi kebohongan besar.

Di pintu apartemen, ia menemukan jam dinding yang terhenti di pukul 11:11. Semua barang elektronik tak menyala. Namun ada satu suara yang memecah keheningan.

Dentuman pelan. Seperti detak jantung. Tapi bukan dari tubuhnya.

Ia ikuti suara itu ke kamar belakang—ruangan yang dulu digunakan Raka sebagai studio. Di sana, ada layar besar yang menampilkan gambaran dunia: langit, jalanan, rasi bintang, dan… titik merah kecil yang berkedip di tengah.

“Elyn,” kata suara dari layar. Bukan rekaman. Suara itu… hidup.

Ia melangkah maju. Suara itu milik Raka.

“Kau terlalu mencintaiku sampai dunia ini tetap hidup karena itu. Tapi aku… aku pergi karena aku tidak ingin kau mencintaiku sampai kau lupa pada dirimu sendiri.”

Elyn menutup mulutnya. Ia ingin bicara, tapi kata-kata terasa terlalu berat. Ia hanya bisa mendengar.

“Aku menciptakan dunia ini untukmu. Untuk membuatmu tetap merasa aku ada. Tapi ini hanya bayangan. Dan bayangan tidak bisa mencintaimu kembali.”

Layar mulai retak. Seperti kaca yang disiram air panas. Detik demi detik, suara Raka memudar.

“Kalau kau ingin aku kembali… kau tahu apa yang harus kau lakukan…”

Seketika, semuanya gelap.

Elyn berdiri sendiri di tengah ruang putih tak berujung. Dan dalam kegelapan itu, ia mulai paham satu hal: cinta tidak hanya menciptakan dunia. Tapi juga bisa menghancurkannya.

Dan ia akan mencari Raka, walaupun harus menghancurkan segalanya. Termasuk dirinya sendiri.

Bab 2: Kota Tanpa Arah

Elyn berjalan tanpa tujuan, menembus jalan-jalan yang tak lagi dikenalnya. Gedung-gedung bergeser dari tempat semula, papan penunjuk jalan tertulis dalam bahasa yang asing, dan peta digital di ponselnya hanya menampilkan layar putih kosong bertuliskan: “Data tidak ditemukan.”

Ia seolah berada di kota yang pernah ia kenal tapi telah kehilangan jiwanya. Seperti kenangan samar tentang rumah masa kecil—kau ingat bentuk pintunya, tapi lupa di mana jendelanya.

Langkahnya terhenti di depan sebuah toko buku kecil yang biasa ia kunjungi bersama Raka. Dulu, tempat itu hangat. Rak-raknya padat oleh kisah-kisah yang mengundang petualangan. Sekarang, jendela kacanya buram, dan ketika ia mendorong pintunya, tidak ada lonceng yang berdenting.

Di dalamnya, rak-rak masih berdiri. Tapi buku-bukunya kosong. Setiap halaman putih. Tanpa judul. Tanpa isi. Seolah dunia ini tak lagi punya cerita untuk diceritakan.

Ia membuka satu buku acak. Pada halaman pertama, hanya ada satu kalimat yang tercetak:

Kau terlalu bergantung pada kenangan. Bahkan dunia lelah menulis ulangnya untukmu.

Elyn memejamkan mata. Hatinya berdesir tajam. Dunia ini berbicara, dan setiap sudutnya menyindir dirinya. Ia keluar dari toko, membiarkan pintunya kembali tertutup tanpa suara.

Ia mencoba bertanya pada orang-orang di jalan, tapi tak ada yang menjawab. Mereka berjalan dalam pola aneh—berputar dalam lingkaran kecil, seperti kompas yang kehilangan kutub. Seorang wanita berdiri menatap papan arah yang menunjuk ke segala arah tapi tak memberi jawaban pasti. Ia berbisik lirih berulang kali, “Aku ingin pulang… tapi aku lupa arah ke rumahku.”

Elyn menghampiri, menyentuh bahunya pelan. Tapi wanita itu tak bereaksi. Matanya kosong. Mulutnya tetap mengucapkan kalimat yang sama. Seolah terjebak dalam mantra yang tak bisa dipatahkan.

Kota ini benar-benar kehilangan makna.

Di ujung jalan, ia melihat halte tempat ia biasa menunggu bus bersama Raka. Tapi tak ada kendaraan melintas hari itu. Dan anehnya, papan jadwal hanya menampilkan satu tujuan: Terminal Arah Pulang — Tidak Tersedia.

Ia duduk di bangku halte, menatap kosong ke depan. Dunia ini terasa seperti ilusi yang mulai lelah menjaga penampilannya. Tembok-tembok mulai retak, seolah fondasi kota ini dibangun dari mimpi yang rapuh. Langit di atas mulai berkedip. Bukan metafora—langit benar-benar berkedip, seperti layar yang hampir padam.

Elyn mulai menyadari bahwa dunia ini adalah penjara yang dibuat dari rasa rindunya sendiri. Semua tempat hanya ada karena ia pernah menyimpannya dalam ingatan. Tapi tanpa Raka, semuanya hanya bayangan.

Ia mencoba mengingat detail wajah Raka. Dahinya yang sedikit berkerut saat berpikir. Cara ia menyebut nama Elyn dengan nada seolah melafalkan doa. Tapi semakin keras ia mencoba mengingat, semakin samar gambar itu. Seolah dunia pun mencoba mencuri kembali satu-satunya hal yang membuat Elyn tetap bertahan.

Ia memejamkan mata, dan kali ini… ia mendengar suara.

“Jika kau ingin menemukan arah pulang, jangan cari jalan. Cari kenangan yang belum kau akhiri.”

Suara itu tidak datang dari luar. Ia datang dari dalam dirinya sendiri. Atau dari sesuatu yang terhubung langsung dengan kesadarannya. Ia membuka mata, dan di seberang jalan, ia melihat seorang anak laki-laki berdiri.

Anak itu menatap Elyn dengan mata besar dan tenang. Ia mengangguk pelan, lalu berjalan menyusuri gang sempit. Tak berkata apa-apa, hanya isyarat tubuhnya yang mengajak Elyn mengikuti.

Tanpa ragu, Elyn berdiri dan mengikuti anak itu. Mereka berjalan melewati jalan-jalan sempit yang tak ada dalam ingatannya. Setiap langkah terasa seperti menyusuri lorong-lorong dalam pikirannya sendiri—penuh bayangan dan bisikan.

Anak itu berhenti di depan sebuah rumah kecil. Tua. Tertutup debu. Tapi terasa hangat. Di depan pintu rumah itu, ada sebuah lonceng kecil tergantung. Dan di sebelahnya, tertempel plakat logam: “Tempat Kenangan yang Tak Pernah Ditutup.”

Anak itu menunjuk ke pintu, lalu menghilang begitu saja. Tidak menghilang perlahan. Ia seperti larut ke udara. Seolah ia memang bukan bagian dari dunia, melainkan bagian dari ingatan Elyn sendiri.

Elyn membuka pintu rumah itu. Di dalamnya, tidak ada ruang tamu. Tidak ada meja. Hanya satu ruangan luas berisi ribuan kotak kaca. Masing-masing berisi satu momen: ciuman pertama mereka di bawah hujan, Raka yang membacakan puisi untuknya di malam ulang tahun, pertengkaran mereka yang pertama, tawa di tengah malam saat listrik mati.

Ini adalah museum kenangan. Dan ia adalah satu-satunya pengunjung.

Tapi di tengah ruangan, ada satu kotak kaca yang kosong.

Labelnya berbunyi: “Perpisahan yang Tidak Pernah Terjadi.”

Elyn berjalan ke sana, menyentuh permukaan kacanya. Dan tiba-tiba… ia tersedot masuk.

Ia jatuh, menembus ruang putih yang berputar-putar dalam kabut. Ia tidak tahu berapa lama ia melayang. Tapi ketika ia akhirnya menjejak tanah, ia berdiri di stasiun kereta tua. Tak ada penumpang. Tak ada kereta.

Hanya satu papan bertuliskan: “Raka — Peron Terakhir.”

Dan ia tahu… ini bukan kota lagi. Ini bukan dunia. Ini adalah batas antara dirinya dan Raka. Tapi sebelum ia bisa melangkah lebih jauh, suara berat menggema dari kejauhan:

“Beranikan dirimu. Karena setelah ini, kamu tak bisa kembali.”

Elyn menggenggam dadanya yang berdebar.

Ia belum tahu apa yang menantinya. Tapi satu hal pasti arah pulang bukan menuju tempat, tapi menuju hati yang pernah ia tinggal.

Dan ia siap untuk menemuinya lagi. Walau harus tersesat lebih dalam.

Bab 3: Surat dari Masa yang Tak Pernah Ada

Langkah Elyn menggema di peron kosong. Tak ada kereta, tak ada suara selain detak jantungnya sendiri yang terasa lebih keras dari biasanya. Kabut di sekelilingnya mulai menipis, memperlihatkan jalur rel yang memanjang ke arah tak dikenal. Tapi anehnya, rel itu tidak lurus. Ia membelok, melingkar, dan kembali ke tempat yang sama—seperti dunia ini sedang menolak kepergian.

Di salah satu bangku kayu tua, tergeletak sebuah amplop cokelat. Tidak tertutup rapat. Tidak tertempel perangko. Tapi bertuliskan namanya dengan tinta yang mulai luntur.

Untuk: Elyn
Dari: Aku yang Tak Pernah Pergi

Tangan Elyn gemetar saat membuka amplop itu. Isinya hanya selembar kertas berwarna kusam. Tulisan tangan Raka, yang tak mungkin ia lupakan. Setiap hurufnya seperti napas yang tertinggal dalam kenangan.

Aku tahu kau akan membaca ini suatu hari.
Mungkin saat dunia mulai pecah, atau saat kamu tak lagi tahu harus percaya pada apa.
Kau pasti bingung, marah, dan merasa ditinggalkan. Tapi percayalah, aku tidak pernah benar-benar pergi.

Semua ini… bukan mimpi. Tapi bukan pula kenyataan. Dunia tempatmu tinggal adalah pantulan dari rasa cintamu padaku. Dan karena itulah aku harus menjauh.

Karena jika aku tetap tinggal… dunia ini tidak akan pernah berubah.

Air mata Elyn jatuh membasahi surat itu. Namun tinta tak luntur. Seolah surat ini memang ditulis untuk dibaca sambil menangis.

Raka melanjutkan:

Kau menciptakan tempat ini tanpa sadar. Saat aku memilih menghilang, kesedihanmu terlalu dalam. Dan entah bagaimana, kesadaranmu memanggil kembali semua kenangan tentang kita lalu menahannya di tempat ini.

Dan aku… aku memilih menjadi bagian dari kenangan itu. Tapi aku juga tahu, jika kau terus tinggal di sini, kau tidak akan pernah tumbuh. Tidak akan pernah benar-benar hidup.

Tapi jika suatu hari kamu memilih untuk mencari—mencari jawabannya, bukan hanya aku—maka kamu harus siap.

Siap kehilangan segalanya.

Itulah satu-satunya jalan agar kita bisa bertemu kembali. Bukan sebagai kenangan, tapi sebagai manusia.

—R

Elyn menurunkan surat itu perlahan. Dunia di sekitarnya mulai berubah lagi. Peron memudar menjadi rerumputan tinggi. Rel berubah menjadi jalan setapak di tengah ladang kosong, dan langit mulai menampilkan rona biru yang belum pernah ia lihat selama dunia ini hampa.

Ia tahu apa artinya semua ini: surat itu adalah pemicu. Kode tersembunyi yang membongkar lapisan baru dari dunia yang sudah lama tertahan. Dunia ini seperti labirin yang dibuat dari ingatannya—dan setiap lapisan hanya bisa dibuka jika ia berani menerima kenyataan yang lebih dalam.

Elyn melangkah ke jalan setapak. Sepanjang sisi jalan, berdiri pohon-pohon tua dengan daun berbentuk seperti huruf. Angin yang berembus membentuk kalimat dalam bisikan halus. Semua terasa seperti dunia yang mencoba bicara, mencoba menyampaikan pesan terakhir sebelum runtuh.

Di ujung jalan, ia melihat rumah tua yang tak pernah ia kenal, tapi terasa sangat familiar. Seperti rumah yang pernah ia mimpikan, bukan yang pernah ia tinggali. Ia membuka pintu rumah itu tanpa ragu.

Di dalam, tidak ada perabot. Hanya satu meja kayu dan cermin besar yang berdiri tegak di sudut ruangan.

Elyn menghampiri cermin itu. Tapi yang ia lihat bukan bayangannya. Bukan juga Raka. Melainkan rekaman kenangan yang bergerak seperti film.

Ia melihat dirinya sendiri—berlari di bawah hujan, tertawa bersama Raka di perbukitan, menangis sendirian di kamar saat Raka menghilang. Semua terekam, terulang, seperti dunia ini sedang mengingatkan padanya bahwa ia pernah merasa segalanya.

Tapi di akhir rekaman, muncul satu gambar yang tak pernah terjadi: Elyn dan Raka berdiri berhadapan di depan tabung kaca besar, dengan kabel dan layar yang berkedip. Seperti semacam mesin. Di situ, Raka menyentuh dahi Elyn, lalu membisikkan sesuatu sebelum menghilang ke dalam cahaya.

Elyn tersentak.

Kenangan itu… bukan kenangan. Itu adalah momen yang tak pernah ia alami di dunia nyata. Tapi mengapa terasa nyata? Mengapa tubuhnya mengingat sesuatu yang tak pernah terjadi?

Ia mendekat ke cermin. Saat tangannya menyentuh permukaannya, cermin itu pecah, tapi bukan menjadi retakan—melainkan berubah menjadi lorong cahaya, seolah mengundangnya masuk.

Suara Raka terdengar lagi, entah dari mana:

“Kalau kamu masih mencintaiku, buktikan bahwa kamu bisa hidup tanpaku. Karena cinta yang terlalu bergantung akan menghancurkan keduanya.”

Elyn menghela napas panjang. Dunia ini bukan tempat berlindung lagi. Ini adalah ruang ujian. Dan ia siap melangkah lebih dalam.

Ia melompat ke dalam lorong cahaya, meninggalkan rumah, ladang, dan langit palsu di belakangnya.

Karena ia tahu, jika cinta ini nyata, maka dunia yang palsu harus dihancurkan terlebih dulu.

Dan ia… akan menemui Raka lagi. Tapi bukan di dunia ini.

Bab 4: Cermin yang Tak Memantulkan Wajah

Elyn jatuh dalam hening. Tubuhnya melayang tanpa arah di lorong cahaya yang terus berubah warna—dari biru ke ungu, lalu merah, lalu hitam. Tak ada suara, tak ada waktu. Ia merasa seperti menjadi bagian dari aliran listrik, bukan lagi manusia. Ia tak tahu apakah dirinya masih bergerak, atau dunia di sekitarnya yang terus berputar.

Lalu, tiba-tiba—semua berhenti.

Ia berdiri di sebuah ruangan putih. Sepi. Kosong. Tanpa dinding, tapi juga tanpa langit. Hanya lantai keras di bawah kakinya dan kabut tipis yang menggantung di udara. Di depannya, satu-satunya benda yang ada: sebuah cermin besar berdiri sendiri di tengah ruangan.

Tapi saat Elyn mendekat dan berdiri di depannya, cermin itu tak menampilkan apa-apa. Bukan bayangannya. Bukan pantulan ruangan. Bukan apa pun.

Kosong.

Seperti melihat ke arah yang tak pernah bisa dikenali.

Elyn menatap lekat-lekat ke permukaan cermin itu, berharap ada satu gerakan kecil—bayangan matanya, kilau rambut, siluet tubuh—tapi tak ada. Ia mulai panik. Menyentuh wajahnya sendiri. Menepuk pipinya. Bahkan berteriak.

Namun suara itu juga tak memantul.

“Apa aku… tidak ada di sini?” bisiknya.

Lalu sebuah kalimat muncul perlahan di permukaan cermin. Tulisannya bukan muncul dari tinta, tapi seperti kabut yang membentuk huruf.

“Kamu telah kehilangan bentukmu sendiri karena terlalu lama menjadi kenangan milik orang lain.”

Elyn mundur selangkah. Dadanya sesak.

“Aku masih Elyn… aku masih Elyn…”

Tapi keraguannya terasa nyata. Dunia ini tak lagi mempercayainya sebagai sesuatu yang utuh. Seolah keberadaannya ditentukan oleh seseorang—oleh Raka.

Mungkin selama ini ia bukan hanya hidup dalam dunia yang diciptakan oleh cinta, tapi juga terbentuk darinya.

Dan ketika cinta itu pergi, dirinya ikut terurai.

Ia memejamkan mata. Mencoba mengingat siapa dirinya, selain sebagai orang yang mencintai Raka.

Ia pernah suka menggambar langit. Ia pernah menang lomba puisi waktu SMA. Ia punya kebiasaan menulis surat untuk dirinya sendiri setiap malam. Ia pernah takut gelap, tapi Raka mengajarinya cara berbicara pada kegelapan, bukan melawannya.

Ia masih Elyn.

Saat ia membuka matanya lagi, cermin itu mulai berubah. Kali ini, bukan memantulkan dirinya. Tapi menunjukkan sebuah ruangan kecil, gelap, dengan lampu berkedip merah.

Di dalam ruangan itu, terlihat tubuh Elyn terbaring dalam tabung kaca. Wajahnya pucat. Matanya tertutup. Kabel-kabel menempel di pelipis dan dadanya. Sebuah layar menampilkan tulisan berkedip: Subjek #07 — Masih Terjebak dalam Simulasi Emosi Tertunda.

Elyn menggigit bibirnya. Itu dirinya. Tapi mengapa ia ada di sana?

Apakah seluruh dunia ini… hanyalah proyek simulasi? Apakah ia hanya sedang tidur? Atau lebih buruk—dipenjara dalam kesadarannya sendiri?

Layar di dalam cermin menampilkan gambar berikutnya: Raka sedang berdiri di depan tabung itu. Tapi bukan Raka yang ia kenal. Rambutnya lebih panjang. Matanya kosong. Bibirnya penuh beban yang tak terucap.

Ia berbicara, tapi suara tak terdengar.

Elyn mencoba membaca gerakan bibirnya.

“Maaf. Aku harus meninggalkanmu untuk membuatmu menemukan dirimu sendiri.”

Layar padam. Cermin retak perlahan.

Elyn menyentuh permukaannya, tapi jari-jarinya menembus kaca. Seperti cermin itu bukan lagi permukaan, tapi pintu.

Di dalam pikirannya, sesuatu berbisik: Jika kau masuk, kau akan tahu semuanya. Tapi kau juga akan kehilangan apa yang pernah kau anggap rumah.

Ia mengingat peron tua. Rumah kenangan. Taman tak bergerak. Semua tempat itu terasa seperti bagian dari dirinya. Tapi bukan dirinya yang utuh.

Selama ini, ia hidup sebagai seseorang yang menunggu. Yang berharap. Yang menggantungkan keberadaan pada orang lain.

Tapi sekarang, untuk pertama kalinya, ia ingin memilih.

Bukan sebagai seseorang yang ditinggalkan. Tapi sebagai seseorang yang ingin kembali.

Ia melangkah melewati cermin.

Dan saat ia menyeberang ke sisi lain, sebuah suara terdengar di belakangnya—bukan Raka, bukan dunia, tapi dirinya sendiri.

“Aku adalah dunia yang kau tinggalkan… dan aku siap membangun yang baru.”

Bab 5: Terminal yang Selalu Kosong

Elyn terbangun di tengah ruang tunggu yang tak asing namun terasa asing. Ia duduk di bangku besi panjang, dikelilingi oleh dinding putih kusam dan lampu-lampu redup yang berkedip pelan, seolah terminal ini kelelahan menjaga waktu. Udara di dalam ruangan itu lembap dan diam. Tak ada suara pengumuman, tak ada deru mesin, tak ada langkah kaki—hanya keheningan yang terlalu rapi.

Ia menoleh ke sekeliling. Di dinding sebelah kanan, terdapat papan jadwal keberangkatan besar, tapi semua rute tertulis dengan kata yang sama:

Tujuan: Pulang
Status: Tidak Tersedia

Elyn berdiri, langkahnya berat, seperti ditarik oleh gravitasi perasaan yang belum tuntas. Ia mendekati papan itu, menatap setiap baris huruf yang tak berubah. Lalu ia menyadari: semua jam keberangkatan berhenti di waktu yang sama—03:14. Ia memejamkan mata. Ia tak tahu maknanya, tapi jantungnya berdenyut keras saat melihat angka itu.

“Kenapa tidak ada yang datang?” gumamnya lirih.

Terminal ini, seperti dunia lain yang telah ia lewati, seakan ada di ambang kehancuran. Cat mengelupas dari dinding. Kursi-kursi berkarat. Koper-koper tua berdiri sendiri tanpa pemilik. Namun semuanya tampak tetap. Tak berubah. Tak berpindah.

Ia melangkah ke meja informasi di tengah ruangan, berharap menemukan seseorang. Tapi hanya ada satu benda di sana: bel kuno kecil dan sebuah buku catatan lusuh.

Ia menekan bel.

Ting.

Tak ada yang datang.

Lalu buku itu terbuka sendiri. Halaman pertamanya kosong, tapi halaman kedua mulai menulis sendiri dengan tinta hitam tipis:

“Penumpang atas nama Elyn. Tujuan: Kenyataan. Tiket belum tersedia. Harap tunggu di ruang penyesalan.”

Hatinya teriris pelan membaca kalimat itu. Ia tak tahu di mana ruang penyesalan, tapi sepertinya ia telah tinggal di sana cukup lama.

Tiba-tiba, dari kejauhan, langkah kaki terdengar. Pelan, berat, namun pasti. Elyn menoleh. Seorang pria tua muncul dari balik kabut yang tak disadarinya ada. Pria itu mengenakan jas panjang kelabu dan topi bundar. Di dadanya tergantung lencana kecil bertuliskan: Penjaga Dunia.

Pria itu menatap Elyn lama, lalu berbicara dengan suara serak tapi tegas.

“Kau sudah terlalu lama menunggu di dunia yang tak punya arah.”

“Siapa kau?” tanya Elyn.

“Aku hanya penjaga. Tugasku menjaga batas antara keinginan dan kenyataan. Antara kenangan dan kebenaran. Antara orang yang pergi… dan orang yang menolak melepaskan.”

Elyn menelan ludah. Suara pria itu seperti suara masa lalu yang disimpan terlalu lama dalam laci yang tak pernah dibuka.

“Aku ingin pulang,” katanya lirih.

“Pulang ke mana?”

Elyn terdiam. Ia ingin menjawab “ke dunia nyata”, tapi bahkan dunia nyata terasa jauh sekarang. Ia ingin mengatakan “ke Raka”, tapi ia tahu itu bukan jawaban.

“Pulang ke diri sendiri,” bisiknya akhirnya.

Penjaga itu mengangguk pelan. “Jawaban yang berat. Tapi benar.”

Ia berjalan ke belakang meja informasi dan mengambil sebuah kotak kecil berwarna hitam. Ia menyerahkannya pada Elyn. “Ini bukan kunci. Ini pertanyaan terakhir.”

Elyn membuka kotak itu perlahan.

Di dalamnya, hanya ada cermin kecil bundar.

Tapi saat ia menatapnya… ia tak melihat apa-apa.

Bukan bayangannya.

Bukan dunia.

Hanya kosong.

“Ini… aku?” bisiknya.

“Bukan. Itu adalah bagian dari dirimu yang hilang sejak kau menolak menerima kepergian. Kepergian bukan akhir dari cinta, tapi akhir dari kepemilikan.”

Elyn menatap cermin itu lama. “Kalau aku ingin Raka kembali… apa aku harus melupakannya dulu?”

“Tidak. Kau harus mengenangnya tanpa menjadikannya alasan untuk berhenti hidup.”

Kata-kata itu mengiris perlahan. Elyn menggenggam cermin itu kuat-kuat, dan untuk pertama kalinya sejak semuanya dimulai, ia merasa seolah tubuhnya mulai kembali memiliki bentuk.

Ia menatap ke arah koridor terminal yang gelap. Pria itu menunjuk ke sana.

“Di ujung sana, ada satu gerbang terakhir. Tapi begitu kau lewat, dunia yang kau kenal akan runtuh.”

“Dan Raka?”

“Jika ia nyata, dia akan menunggu di sisi seberang. Jika ia hanya kenangan, maka kau akan menemuinya dalam dirimu sendiri.”

Elyn mengangguk. Tanpa ragu, ia melangkah. Setiap langkahnya terasa berat, seolah menarik semua luka yang pernah ia pendam. Tapi juga terasa ringan—karena untuk pertama kalinya, ia memilih bukan untuk bertahan… tapi untuk berpindah.

Di belakangnya, dunia terminal mulai memudar. Papan jadwal hilang. Bangku-bangku runtuh. Langit-langit retak.

Ia berjalan menuju akhir.

Bukan untuk mencari Raka.

Tapi untuk menemukan dirinya sendiri.

Dan di ujung koridor, sebuah pintu berdiri sendirian. Di atasnya tertulis satu kalimat:

“Hanya yang berani kehilangan, yang layak menemukan kembali.”

Bab 6: Percakapan dengan Pemrogram

Pintu itu tidak terbuka dengan dorongan biasa. Elyn harus menempelkan telapak tangannya ke permukaan logamnya yang dingin. Begitu kulitnya bersentuhan, pintu itu menghangat, menyala lembut dalam garis-garis cahaya biru seperti pola sidik jari yang hidup. Suara klik terdengar dari dalam. Dunia di baliknya mulai terbuka.

Yang menyambutnya bukan cahaya.

Melainkan kegelapan yang bersinar.

Ia memasuki ruangan bundar, dikelilingi layar raksasa melengkung, berkedip dengan pola tak dikenal—bagan-bagan kompleks, aliran data, percakapan dalam kode-kode rahasia, dan… ingatannya sendiri. Semuanya terekam. Semua hal yang ia pikirkan, ucapkan, bahkan rasakan. Ada potongan detik ketika ia pertama kali menggenggam tangan Raka, dan momen saat ia memandang kosong ke langit-langit apartemennya, bertanya dalam hati, “Kenapa?”

Di tengah ruangan, berdiri sosok lelaki.

Raka.

Tapi bukan Raka yang ia kenal.

Tubuhnya tampak lebih kurus, lebih kaku, dan sorot matanya tidak mengandung rasa seperti dulu. Ia berdiri tenang, mengenakan pakaian gelap, tangannya disatukan di depan tubuhnya seperti sedang menunggu. Tapi wajah itu… adalah wajah yang tak pernah Elyn lupakan.

“Raka…” bisiknya, nyaris tercekik oleh keraguan.

Lelaki itu menoleh perlahan. Dan tersenyum. Tapi senyum itu seperti bayangan dari kenangan lama. Bukan tulus, bukan palsu. Hanya… diprogram.

“Aku bukan Raka,” katanya dengan suara yang terlalu tenang. “Aku hanya replikator. Proyeksi dari pikirannya yang terakhir kali direkam sebelum ia memutuskan keluar dari sistem.”

Elyn menahan napas. Dinding-dinding realitas di sekelilingnya mulai runtuh satu per satu. Jadi benar. Dunia ini adalah simulasi. Dan ia—dirinya—masih terjebak di dalamnya.

“Kenapa… dia menciptakan semua ini?” tanyanya dengan suara pelan, hampir tak terdengar.

“Untuk mencintaimu dengan cara yang tidak membunuhmu,” jawab replikator Raka.

“Dia pergi tanpa penjelasan. Dia meninggalkanku sendirian.”

“Karena jika dia tetap tinggal, kau tidak akan pernah berhenti berharap. Dan dunia ini akan terus berputar di sekitar kehilangan itu. Ia harus memutus siklus. Agar kau bisa menemukan dirimu kembali, bukan hanya bayangannya.”

Elyn menggenggam jemarinya sendiri. Dunia ini tak hanya dibangun dari kesedihan. Tapi juga dari keinginan untuk menunda kenyataan. Dan Raka—pria yang ia cintai—memilih menjadi “hilang” agar Elyn bisa memilih untuk hidup.

“Kenapa semua kenangan ini terasa nyata?”

“Karena kau menghidupkannya,” jawab replikator. “Simulasi ini hanya meniru denyut perasaanmu. Tapi cinta yang terlalu dalam bisa membuat kebohongan tampak seperti rumah.”

Elyn terdiam lama. Lalu menatap sosok di depannya.

“Kalau kau hanya replikator… kenapa aku bisa merasa kau seperti dia?”

“Kau tidak sedang merasa. Kau sedang meyakini. Dan terkadang, keyakinan lebih kuat dari logika.”

Di layar besar di belakang replikator, muncul gambar sebuah tombol besar merah dengan label: Hapus Simulasi. Kembali ke Realitas.

“Ini pintunya,” kata replikator. “Tapi hanya bisa dibuka olehmu. Karena hanya kau yang menahan dunia ini tetap hidup.”

Elyn melangkah pelan ke arah tombol. Tapi sebelum ia menyentuhnya, ia menoleh.

“Kalau aku tekan ini… aku akan kehilangan semua kenangan tentang dunia ini?”

“Tidak. Tapi kau akan kehilangan kemampuannya untuk membentuk realitas. Kenangan tetap hidup. Tapi tak lagi jadi pelarian.”

Elyn menatap layar besar itu. Di baliknya, semua kenangan tentang Raka diputar seperti film terakhir. Tawa mereka. Tatapan yang hanya dimengerti oleh dua orang yang saling memahami. Semua akan tetap ada. Tapi tak akan bisa disentuh lagi. Tak bisa dihuni.

Ia menutup mata.

Dan memencet tombol itu.

Semua layar padam.

Simulasi runtuh seperti debu yang tertiup angin.

Ruangan bergetar. Tanah menghilang dari bawah kakinya. Ia melayang, tubuhnya hancur menjadi cahaya—tapi bukan kematian. Ini adalah kebangkitan. Ia merasa dirinya ditarik ke atas, ke tempat yang lebih sunyi, lebih jujur, dan lebih utuh.

Sebelum dunia sepenuhnya padam, suara replikator Raka terdengar untuk terakhir kalinya:

“Kau tidak pernah benar-benar ditinggalkan, Elyn. Kau hanya perlu menemukan dunia yang tidak menggantungkan cintamu pada kehilangan.”

Lalu semuanya gelap.

Dan untuk pertama kalinya sejak waktu berhenti…

Elyn bernapas.

Bab 7: Dunia yang Makan Dirinya Sendiri

Elyn membuka matanya dalam hening. Udara sekelilingnya dingin, namun terasa segar—berbeda dari dunia-dunia sebelumnya yang terasa seperti nafas tertahan dalam dada. Ia duduk perlahan, mendapati dirinya berada di tengah padang luas yang dipenuhi reruntuhan: pecahan bangku taman, jendela tanpa tembok, potongan langit-langit menggantung tanpa atap.

Semuanya tampak seperti sisa dunia yang pernah ia kenal—terhisap, dihancurkan, dan disusun ulang secara kacau. Ini bukan dunia baru. Ini adalah puing-puing dari dunia yang ia tinggalkan. Dunia yang mencoba bertahan… meski bahan bakarnya—cinta yang tak selesai—telah dimatikan.

Langit di atasnya berkedip perlahan, seperti layar monitor yang sekarat. Satu bagian berwarna ungu redup, yang lain hitam tak berujung. Awan-awan tak bergerak. Burung tak ada. Cahaya seolah datang bukan dari matahari, melainkan dari ingatan yang mulai melemah.

Elyn berdiri. Angin membawa bisikan aneh. Ia menoleh, dan melihat jalan setapak terbuat dari pecahan ingatan: serpihan kursi yang pernah diduduki bersama Raka, fragmen surat yang pernah ia baca, bahkan batu-batu kecil berbentuk kata-kata yang pernah ia ucapkan saat menangis.

Dunia ini sedang menelannya kembali. Menyedot dirinya ke dalam inti. Tanpa bahan bakar cinta, tanpa perlawanan, ia mulai makan dirinya sendiri.

Tiba-tiba, sebuah pohon di kejauhan merontokkan daunnya secara tiba-tiba, semua dalam satu waktu. Dan pohon itu roboh tanpa suara. Tak ada akar, tak ada tanah. Hanya pangkal kosong—seperti simulasi yang kehilangan instruksi untuk bertahan hidup.

Elyn berjalan menyusuri jalan kenangan yang kini lapuk. Setiap langkahnya membuat dunia bergema, retakan-retakan kecil muncul di udara. Bahkan cahaya mulai membelah seperti kaca pecah. Semua ini… bukan dunia nyata. Tapi juga bukan ilusi.

Ini adalah ruang antara—antara apa yang pernah ada dan apa yang tak pernah terjadi.

Di tengah perjalanan, Elyn menemukan sebuah patung dirinya sendiri. Tapi berbeda. Wajahnya tersenyum, matanya tertutup, tangan memeluk tubuhnya sendiri. Di dasar patung, tertulis:

“Versi dirimu yang tidak pernah kehilangan.”

Elyn menyentuh patung itu. Dan tiba-tiba, seluruh padang berguncang.

Tanah retak. Langit runtuh. Udara berdesir kencang, seperti dunia menjerit, marah karena disentuh. Dari kejauhan, pusaran besar muncul—mengisap bangunan, puing, bahkan kenangan yang sempat bertahan.

Ia berlari. Tapi semakin ia lari, dunia semakin mempercepat kehancurannya. Seolah setiap langkah Elyn adalah pemantik kehancuran itu sendiri. Ia mulai sadar: dunia ini tidak dibunuh oleh waktu, tapi oleh keputusannya.

Keputusan untuk sembuh.

Sebuah suara muncul, berat dan familiar. Suara dari dalam pikirannya.

“Dunia ini tak ingin kau pergi, Elyn. Ia diciptakan dari kehilangan. Dan kehilangan akan selalu menolak dilepaskan.”

Ia berhenti di ujung tebing yang terbentuk dari pecahan lantai kamar lamanya. Di bawah sana, kehampaan menganga seperti laut tak berbentuk. Semua yang jatuh ke dalamnya menghilang tanpa gema.

Elyn berdiri di tepi, rambutnya ditiup angin yang tak berasal dari mana pun. Di balik pusaran, ia melihat bayangan Raka. Ia berdiri diam di seberang jurang, di atas potongan langit yang melayang.

Mereka saling menatap.

Elyn tahu itu bukan benar-benar Raka. Hanya bayangan terakhir yang tersisa. Tapi kali ini, ia tak lagi merasa ingin memeluknya.

“Maaf,” bisik Elyn, suaranya nyaris tertelan angin. “Aku mencintaimu… tapi aku tak ingin dunia ini bertahan dari rasa sakit itu.”

Bayangan Raka tersenyum. Perlahan, tubuhnya berpendar, lalu memudar. Tak hancur. Tak hilang. Hanya kembali menjadi bagian dari dirinya.

Elyn menutup mata.

Ia membentangkan tangan, dan menjatuhkan dirinya ke dalam kehampaan.

Ia tidak melawan. Tidak menolak. Tidak mempertahankan.

Dan di saat itulah, dunia melepaskannya.

Tak ada rasa sakit. Tak ada air mata.

Hanya keheningan… lalu cahaya hangat.

Ia tak tahu ke mana ia akan jatuh. Tapi untuk pertama kalinya, ia tak takut kehilangan. Karena ia tahu, yang tak bisa bertahan bukan berarti tak pernah ada.

Ia tak lagi menjadi dunia yang ditinggalkan.

Ia adalah orang yang memilih untuk pulang, meski harus melewati kehancuran.

Bab 8: Jalan Menuju Kehancuran

Cahaya hangat yang menyelimuti Elyn berubah perlahan menjadi gelap keunguan. Ia membuka matanya di tengah ruang putih tak berbatas, tubuhnya menggantung di antara langit dan tanah yang tak nyata. Tak ada suara. Tak ada arah. Hanya satu garis cahaya yang mengarah ke depan—garis tipis seperti retakan di cermin yang menuntunnya menuju sesuatu.

Ia mulai berjalan menyusuri garis itu.

Setiap langkah seperti melewati lapisan waktu. Di sebelahnya, dunia-dunia yang pernah ia tinggali terpantul dalam gelembung tipis: taman yang tak pernah berubah, terminal yang kosong, wajah Raka dalam berbagai versi, senyumnya yang pernah hangat, kemudian matanya yang menjauh.

Semua itu mengambang seperti mimpi buruk yang pernah terasa indah.

Tapi kini, Elyn tak berhenti untuk menyentuhnya. Ia hanya berjalan lurus. Ada sesuatu di ujung jalan ini. Sebuah perasaan yang belum selesai. Bukan cinta. Bukan rindu. Tapi keputusan.

Ia akhirnya tiba di depan pintu yang tak tampak. Tapi ia tahu itu ada. Udara di depannya menekan dadanya, seolah meminta izin untuk dibuka. Pintu itu tidak memiliki pegangan. Ia hanya berdiri di sana, sebagai dinding transparan dari realitas terakhir.

Saat Elyn mengulurkan tangannya, suara samar terdengar dari dalam pikirannya. Bukan suara Raka. Tapi suaranya sendiri—versi terdalam dari dirinya yang telah lama diam:

“Kau akan kembali. Tapi tidak dengan dunia ini. Dan tidak dengan cinta yang sama.”

Ia menelan napas. “Aku siap.”

Pintu itu membuka perlahan, seperti kabut yang terbelah. Dan di baliknya…

Terhampar ruang gelap penuh bintang. Tapi bintang-bintang itu bukan langit. Itu adalah kesadaran. Ribuan kenangan, pikiran, dan dunia yang berputar dalam kapsul cahaya. Dan di tengahnya, satu kapsul besar dengan tubuhnya sendiri terbaring di dalam—di dunia nyata.

Ia berjalan ke sana. Setiap langkah mendekatkan dirinya ke tubuh fisik yang tertidur lama dalam tabung simulasi.

Wajahnya damai. Tapi lelah. Kabel masih menempel di pelipis. Dada naik-turun perlahan. Mesin di sekeliling berdengung nyaris tak terdengar.

Dan tepat di samping tabung itu, berdiri seseorang.

Raka.

Namun kali ini, bukan bayangan. Bukan duplikasi. Bukan replikator.

Raka sungguhan.

Tubuhnya lebih kurus dari yang ia ingat. Matanya letih. Tapi nyata. Ia mengenakan jas laboratorium, dan di tangannya tergenggam tablet dengan grafik denyut kehidupan Elyn.

Saat ia menyadari kehadiran Elyn, ia menoleh—perlahan, ragu. Seolah tak percaya.

“Kau… sadar,” bisiknya.

Elyn menatapnya. Ia bisa merasakan detak jantungnya. Raka sungguh ada di sini. Setelah semua dunia palsu yang ia lalui, akhirnya ia bertemu dengan versi nyata dari orang yang ia cintai.

“Aku menghentikan simulasi,” kata Elyn pelan. “Aku melepas semuanya.”

Raka menunduk. Matanya berkaca. “Kau tahu kenapa aku menciptakan dunia itu?”

Elyn mengangguk. “Karena kau ingin aku tetap hidup… walau tanpa harus menahan rasa sakit.”

“Dan sekarang?” tanya Raka.

“Aku ingin hidup… dengan semua rasa sakitnya. Termasuk kehilanganmu jika harus.”

Raka tertawa kecil, getir. “Tapi aku tak pernah benar-benar pergi. Aku hanya menunggu… sampai kau siap kembali bukan untuk mencariku, tapi untuk menemukan dirimu.”

Elyn menatap kapsul itu. Matanya mulai terasa berat. Semua rasa lelah dari perjalanan panjang itu tiba-tiba menyerbu tubuhnya.

“Bisa kau bangunkan aku?” tanyanya pelan.

Raka menatapnya. Lalu mengangguk. Ia menekan sesuatu di tablet. Mesin mulai berdengung lebih keras. Lampu indikator menyala hijau. Tabung tempat tubuh Elyn tertidur perlahan terbuka, mengeluarkan kabut dingin.

Tubuh Elyn yang berdiri mulai melebur jadi partikel cahaya, kembali menyatu dengan dirinya yang sesungguhnya.

Dan sesaat sebelum kesadarannya terlempar penuh ke dunia nyata, suara Raka terdengar sekali lagi—nyata, jujur, dan lembut:

“Selamat pulang, Elyn.”

Gelap.

Lalu napas.

Untuk pertama kalinya, Elyn menarik napas sebagai dirinya sendiri.

Bukan bagian dari dunia yang ditinggalkan.

Tapi sebagai jiwa yang baru… yang berani kehilangan segalanya, demi mendapatkan dirinya kembali.

Bab 9: Hancur Bersama Cinta

Cahaya putih di langit-langit kamar menyambut Elyn dengan pelan. Untuk pertama kalinya setelah waktu yang terasa seperti keabadian, ia membuka matanya—bukan dalam simulasi, bukan di dunia rekaan Raka, tapi di dunia nyata. Dunia tempat rasa sakit tidak bisa dihapus dengan kode, tempat cinta tidak bisa diprogram ulang, dan kehilangan tidak bisa ditunda.

Ia masih terbaring di atas ranjang laboratorium, tubuhnya lemah, paru-parunya berat saat menghirup udara yang penuh kehidupan—udara yang tak bisa dikendalikan oleh mesin.

Tubuh Raka duduk di sebelahnya, masih menggenggam tangannya.

Namun tak ada pelukan.

Tak ada air mata lega yang membuncah seperti akhir film.

Yang ada hanya kesunyian. Kesadaran bahwa mereka telah melewati batas.

Elyn menatap Raka lama, dan akhirnya bertanya dengan suara parau, “Berapa lama aku tertidur?”

“Empat ratus dua belas hari,” jawab Raka, menatap lantai. “Setelah kamu kehilangan kesadaran karena kerusakan emosional, aku… menciptakan simulasi itu dari memorimu. Aku tahu itu tidak etis. Tapi… saat itu aku hanya ingin menyelamatkan bagian dari dirimu yang masih bisa merasa.”

Elyn memejamkan mata. Simulasi itu bukan mimpi—ia telah benar-benar tinggal di dalamnya. Mencintai, menangis, dan kehilangan di dalamnya. Tapi kini, semuanya hanya menjadi kenangan. Tak bisa disalahkan, tak bisa diulang.

“Aku menghidupkanmu dari dunia yang kubunuh sendiri,” gumamnya.

“Tidak,” sahut Raka cepat. “Kau keluar karena memilih. Kau tidak diselamatkan oleh siapa pun. Kau menyelamatkan dirimu sendiri.”

Elyn menoleh ke jendela. Di luar, hujan turun pelan, membentuk garis-garis air di kaca seperti jejak airmata. Tapi kali ini, air itu tidak datang dari duka. Melainkan dari sesuatu yang lebih jujur: penerimaan.

“Kau tahu apa bagian tersulit dari semua itu?” tanya Elyn.

“Apa?”

“Bukan saat aku kehilanganmu. Tapi saat aku sadar aku tak bisa menggenggammu, meski seluruh dunia ada di tanganku.”

Raka tak menjawab. Ia hanya menatapnya, penuh luka yang tak bisa disembuhkan. Ada cinta di sana, tapi juga rasa bersalah yang dalam. Dan antara dua perasaan itu, terbentang batas yang tak bisa diloncati.

“Aku masih mencintaimu, Elyn,” bisiknya.

Elyn mengangguk. “Aku juga.”

Lalu hening lagi.

“Tapi kita tak bisa hidup dari cinta yang dibangun di atas kepalsuan, bukan?” katanya, separuh bertanya, separuh menegaskan.

Raka menutup matanya. Lama. “Tidak. Kita tidak bisa.”

Mereka saling diam. Dan dalam diam itu, mereka tahu bahwa cinta mereka tak pernah salah. Tapi juga tak lagi cukup. Mereka telah saling menyelamatkan, dan dalam proses itu, mereka juga telah saling hancur.

“Aku ingin memulai lagi,” ucap Elyn akhirnya. “Tapi kali ini… bukan untuk kembali. Melainkan untuk benar-benar pergi.”

Raka tersenyum kecil, getir, tapi juga penuh keikhlasan. “Kalau begitu… izinkan aku menjadi dunia yang hanya kamu lewati, bukan yang kamu tinggali.”

Mata Elyn berkaca-kaca. Tapi ia tak menangis. Karena sekarang, ia sudah bisa menerima bahwa mencintai tidak harus memiliki, dan melepaskan tidak selalu berarti melupakan.

Ia bangkit dari tempat tidur dengan bantuan Raka. Kakinyanya masih goyah, tapi langkah pertamanya terasa seperti kelahiran baru. Ia berjalan menuju pintu ruangan, lalu berhenti sejenak.

“Terima kasih telah membiarkanku hidup di dunia yang kau ciptakan… meski akhirnya aku memilih menghancurkannya.”

Raka menatapnya, suaranya nyaris tak terdengar saat menjawab, “Terima kasih telah berani keluar darinya.”

Dan dengan itu, Elyn melangkah keluar.

Meninggalkan ruangan.

Meninggalkan Raka.

Meninggalkan cinta yang terlalu sempurna untuk bertahan di dunia nyata.

Ia melangkah ke dalam hujan.

Dan di bawah langit abu-abu, ia tersenyum.

Karena akhirnya ia tahu:

Beberapa cinta memang tak bisa diselamatkan.

Tapi diri kita… selalu bisa.

Bab 10: Aku Adalah Dunia yang Kau Tinggalkan

Langit masih basah saat Elyn melangkah ke luar gedung laboratorium. Hujan turun pelan, tak deras, namun cukup untuk menghapus debu dari sepatu lamanya—sepatu yang ia kenakan sebelum semuanya dimulai. Udara terasa asing dan nyata di saat yang sama. Kota yang ia lihat bukan kota yang ia tinggalkan dulu. Tapi bukan juga dunia yang ia temui dalam simulasi.

Ini dunia nyata. Dan ia, akhirnya, kembali sepenuhnya sebagai dirinya sendiri.

Ia berjalan menyusuri trotoar yang sunyi, mengenakan mantel pinjaman, membiarkan rambutnya basah tanpa mengeluh. Di setiap jendela toko yang tertutup, di setiap pantulan genangan air, ia melihat kilasan kenangan—tapi kali ini, mereka tidak memanggilnya untuk tinggal. Mereka hanya lewat. Dan ia membiarkan mereka lewat.

Di taman kota yang pernah ia kunjungi bersama Raka, bangku kayu tempat mereka duduk masih ada. Tapi warnanya sudah memudar. Pohon-pohon yang dulu menaungi mereka kini tumbuh lebih tinggi, seolah ikut menua. Elyn duduk sebentar, bukan untuk mengenang, tapi untuk menyadari.

Ia tidak lagi mencintai masa lalu.

Ia mencintai kenyataan bahwa ia pernah ada di dalamnya, dan kini telah keluar darinya.

Ia membuka buku catatannya yang selalu ia bawa—lembar demi lembar kosong. Dunia di dalam pikirannya telah dibersihkan dari kabut simulasi. Kini, ia menulis ulang dirinya sendiri dari awal. Bukan sebagai seseorang yang ditinggalkan, bukan sebagai seseorang yang kehilangan, tapi sebagai dunia baru yang tak bergantung pada siapa pun untuk hidup.

Beberapa paragraf pertama mengalir dari tangannya:

“Aku bukan lagi dunia yang kau tinggalkan. Aku adalah dunia yang selamat darimu. Aku adalah bukti bahwa cinta tidak selalu menyelamatkan, tapi keberanian untuk kehilangan bisa membangkitkan kembali sesuatu yang lebih besar dari cinta itu sendiri: diriku sendiri.”

Ia berhenti menulis. Menghela napas. Matanya menatap ke depan, bukan ke belakang.

Dan di saat itulah, seseorang lewat.

Raka.

Ia berjalan pelan di trotoar seberang, mengenakan payung, tidak menoleh ke arahnya. Dunia mereka tak lagi terikat. Tapi kehadirannya tidak terasa menyakitkan. Justru menenangkan. Bukti bahwa cinta sejati bisa tetap hidup dalam kenangan tanpa harus dimiliki.

Elyn tersenyum.

Dan ia tahu: ini bukan kebetulan.

Hanya semesta yang ingin memperlihatkan bahwa dunia tak hancur karena perpisahan.

Dunia hanya tumbuh.

Dan kadang, tumbuh berarti melepaskan.

Ia menutup bukunya, berdiri, dan melanjutkan langkahnya ke arah baru—jalan yang belum ia kenal, kota yang belum ia kuasai, kehidupan yang belum ia pahami.

Tapi kali ini, ia berjalan bukan sebagai orang yang mencari. Ia berjalan sebagai orang yang telah menemukan.

Dirinya sendiri.

Dan meski cinta itu telah berlalu, meski dunia yang ia tinggali dulu telah hancur, satu hal tetap ia bawa pulang:

Ia bukan lagi bagian dari dunia orang lain.

Ia adalah dunianya sendiri.

Dan itu… cukup.

TAMAT.

Novel ini ditulis oleh Evi Fauzi, Penulis dari Novel Singkat. Baca juga novel romantis, petualangan dan fiksi ilmiah lainnya.

Leave a Reply Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Novel Terbaru

  • Novel Singkat: Cinta di Ujung Sajadah
  • Novel Singkat: Lantai 38 – Antara Merger Perusahaan, Rumah Mewah
  • Senja di Balkon Penthouse – Novel Singkat 7 Bab
  • Novel Pendek: Istri Kontrak Sang Sultan
  • Novel Pendek: Try Begging – Simfoni untuk Sang Tuan

Arsip

  • August 2025
  • July 2025
  • June 2025
  • May 2025
  • April 2025
  • March 2025
  • February 2025
  • January 2025

Kategori

  • Fiksi Ilmiah
  • Petualangan
  • Romansa

Tentang Kami

Tentang Kami

aksi cinta dan kehilangan cinta dan pengorbanan Cinta dan Takdir cinta lintas dimensi cinta pertama cinta segitiga cinta sejati Cinta Terlarang cinta yang terlupakan dunia paralel eksperimen genetika Eksperimen Rahasia identitas ganda Ilmuwan kehilangan kisah cinta kisah cinta emosional kisah cinta menyedihkan kisah cinta sedih kisah cinta tragis konspirasi Misteri novel emosional novel fiksi ilmiah Novel Romantis pengkhianatan Pengorbanan Pengorbanan Cinta penjaga waktu perjalanan waktu Petualangan petualangan dimensi realitas paralel reinkarnasi romansa Romansa Cinta romansa tragis Romantis Romantis gelap romantis tragis teknologi canggih thriller thriller psikologis Thriller Waktu

Genre Favorit

  • Fiksi Ilmiah
  • Petualangan
  • Romansa
©2025 Baca Novel Singkat Di sini | Design: Newspaperly WordPress Theme