Lior, seorang ilmuwan dingin yang mengabdikan hidupnya pada logika dan teknologi, menemukan sebuah kapsul perak misterius di reruntuhan desa terpencil. Konon, kapsul itu hanya bisa dibuka oleh orang yang benar-benar pernah patah hati dan tak mampu melupakan cintanya. Ketika semua metode ilmiah gagal, Lior mencari bantuan Sela, seorang penyair jalanan yang hidup dari puisi dan kenangan luka.
Saat kapsul terbuka, yang keluar bukan benda, melainkan kenangan tentang cinta mereka yang belum pernah terjadi. Bersama, mereka terjebak dalam serangkaian fragmen memori masa depan yang membuat mereka bertanya: apakah cinta mereka nyata, atau hanya hasil dari eksperimen emosional terlarang bernama Proyek Echo?
Dalam pelarian dari organisasi yang menciptakan kapsul, mereka menemukan bahwa meskipun cinta bisa direkayasa, rasa kehilangan dan keberanian untuk memilih adalah milik mereka sendiri. Sebuah kisah tentang dua jiwa yang dipaksa mencinta, tapi akhirnya memilih untuk mencintai tanpa bantuan ingatan, hanya dengan keyakinan dan luka.
Bab 1: Reruntuhan dan Logika
Langit sore berwarna abu-abu keperakan, seolah sedang berkabung atas sesuatu yang tak diketahui. Debu beterbangan setiap kali angin melewati reruntuhan desa tua di kaki pegunungan Cadrien. Tidak ada kehidupan, tidak ada suara selain desir pasir dan gelegar angin dari jauh. Lior berjalan pelan, menatap setiap puing seolah menanti jawaban ilmiah yang bisa menjelaskan kenapa tempat ini begitu sunyi, begitu sendu.
Ia bukan seorang arkeolog. Ia ilmuwan, pekerja logika, perakit mesin, dan pemecah kode. Tapi sesuatu dalam dirinya mendorongnya ke desa ini, tempat yang bahkan tak tercantum di peta digital manapun. Dulu, tempat ini pernah dihuni, pernah tertawa, pernah menangis. Kini hanya seonggok kerangka rumah dan pohon-pohon mati berdiri seperti saksi bisu.
Langkahnya berhenti ketika sepatu botnya mengenai sesuatu yang keras namun kecil. Bukan batu. Ia jongkok, menyapu debu dengan telapak tangan. Di sana tergeletak sebuah kapsul logam mungil berwarna perak, setengah terkubur dalam pasir dan batu. Tidak berkarat, tidak tergores, seperti baru saja diletakkan. Tapi jelas tak mungkin.
Lior memungutnya. Kapsul itu dingin, terlalu dingin. Bentuknya seperti biji almond berlapis baja, dengan satu garis melingkar seolah penanda tempat membukanya. Ia mencoba menekannya, memutarnya, tapi tak bergeming.
Sebuah ukiran kecil muncul di bagian bawah saat jari-jarinya menyentuh permukaan tertentu. Ia membaca tulisan itu lirih.
“Kau hanya bisa membukaku jika hatimu tak pernah benar-benar sembuh.”
Lior mengernyit. Omong kosong, pikirnya. Apa ini semacam permainan psikologis? Siapa yang meletakkan benda seperti ini di tengah reruntuhan yang bahkan tak berpenghuni?
Ia membawa kapsul itu ke tendanya yang dipasang tak jauh dari sana. Di dalam, alat-alat analisis terpampang rapi: pemindai partikel, sensor suhu, dan pemindai DNA. Ia memulai prosedur ilmiahnya, memasukkan kapsul ke dalam pemindai dan menunggu data masuk ke monitornya.
Namun layar tetap hitam. Tak ada struktur kimia terdeteksi. Seolah kapsul itu bukan benda yang berasal dari unsur apapun yang dikenal manusia.
Ia mencoba memotret, merekam, bahkan memindai medan elektromagnetiknya. Tidak ada yang berhasil. Semua hasil menunjukkan satu hal: benda itu tidak ada.
Lior frustrasi. Ia memegang kepala, menarik napas panjang. Ini tidak mungkin. Bahkan udara pun bisa diukur, lalu kenapa sesuatu yang nyata di tangannya tak bisa diidentifikasi?
Kapsul itu masih ada di meja, bersinar redup oleh pantulan cahaya dari lampu gantung. Lior mendekat lagi. Tatapannya tajam, curiga, penuh dorongan ingin menang.
“Aku tidak percaya pada hal gaib,” gumamnya. “Tidak ada benda yang hanya bisa dibuka oleh emosi. Ini pasti semacam mekanisme tersembunyi, pemindai detak jantung, atau suhu kulit saat seseorang sedih…”
Namun ketika ia menekan lagi sisi kapsul, ia merasa benda itu lebih dingin. Lebih sunyi.
Tiba-tiba, sebuah puisi terlintas dalam pikirannya. Bukan miliknya. Bukan gaya bahasanya.
“Aku menyimpan namamu di antara denyut yang tak jadi napas
Di mana cinta tidak pergi, tapi juga tak pernah tinggal”
Lior memejamkan mata. Dari mana itu datang? Ia bukan penyair. Ia bahkan tidak suka puisi. Namun kata-kata itu terasa begitu nyata, seolah pernah diucapkan untuknya. Atau oleh seseorang yang belum pernah ia temui.
Ia membuka catatan digitalnya dan mengetik satu kalimat: kapsul membutuhkan rasa sakit emosional untuk dibuka.
Langkah berikutnya tak lagi ilmiah. Ia butuh seseorang yang patah hati. Bukan secara biasa, tapi benar-benar hancur, retak, kehilangan bagian dari dirinya.
Seorang kenalan di universitas pernah menyebutkan sebuah nama. Seseorang yang tinggal di kota bawah, hidup dari menyusun kata-kata, membacakan puisi untuk orang asing di pinggir jalan. Seseorang yang katanya bisa membuat orang menangis hanya dengan tiga baris.
Seseorang yang menyimpan lukanya seolah warisan.
Namanya Sela.
Lior tak pernah percaya pada cinta. Ia selalu berpikir bahwa cinta hanyalah reaksi kimia di otak yang bisa ditiru, disimulasikan, atau bahkan dihapus. Tapi saat ia melihat kapsul itu, saat ia mendengar puisi asing di kepalanya… ia mulai meragukan teori-teorinya sendiri.
Malam itu ia duduk di kursi logam di depan tendanya, menatap langit yang tidak memiliki bintang. Tangannya masih memegang kapsul itu, seolah takut kehilangannya. Dan entah untuk apa, ia berbisik.
“Jika ini sungguhan… kalau memang ada orang yang bisa membuka rahasiamu… tunjukkan aku jalannya.”
Angin berembus, membawa butiran pasir menyentuh pipinya. Dalam kesunyian desa yang mati itu, Lior merasa untuk pertama kalinya dalam hidup… ia tidak sendirian.
Bab 2: Si Penyair di Bawah Lampu Kota
Kota bawah tak seperti kota pada umumnya. Ia tak bercahaya terang, tak juga terlalu gelap. Seolah seluruh tempat ini memilih untuk tak terlalu hidup, tapi juga enggan benar-benar mati. Lior turun dari kereta magnetik dan menyesuaikan jaketnya. Udara lembab menusuk pori-pori, dan aroma logam tua bercampur asap menyambutnya.
Ia menggenggam kapsul perak itu erat-erat di saku. Sepanjang perjalanan, ia mencoba mencari celah logika, alasan rasional, atau bahkan hipotesis baru yang bisa menjelaskan semua ini. Tapi tak ada. Yang ia punya hanyalah nama—Sela—dan harapan samar bahwa orang ini bisa membantunya membuka sesuatu yang tidak bisa dijelaskan dengan sains.
Langkahnya menuntunnya ke tengah kota, ke sebuah alun-alun tua tempat lampu jalan bergoyang ditiup angin. Di sana, di bawah cahaya temaram, seseorang sedang duduk bersila dengan alat pemutar suara tua dan kertas lusuh di tangan. Rambutnya ikal panjang, sebagian diikat sembarangan, dan jaket usangnya tampak sudah melewati banyak musim. Seseorang menyebutkannya sebagai penyair luka—mereka yang hidup dari patah dan tak pernah mencoba sembuh.
Lior berdiri cukup lama memperhatikannya. Suara Sela lirih, nyaris berbisik, tapi setiap orang yang lewat tampak mendengar. Ada semacam daya tarik yang aneh dalam puisi yang ia bacakan—bukan karena bunyinya, tapi karena rasa yang ditinggalkannya.
“Aku tak lagi mencarimu dalam mimpi
Karena bahkan tidur pun menolak menyimpan wajahmu”
Lior menahan napas. Kalimat itu seperti paku yang menghantam bagian dalam dadanya. Ia tidak tahu kenapa. Ia tidak pernah patah hati. Tidak pernah jatuh cinta. Tapi baris itu menggema entah di mana dalam tubuhnya.
Sela menyudahi puisinya dan menatap Lior untuk pertama kalinya.
“Kau bukan orang sini,” katanya santai. Suaranya lebih ringan dari puisinya.
“Aku mencari seseorang,” jawab Lior cepat.
“Kita semua juga begitu.” Sela tersenyum, lalu berdiri dan merapikan kertas-kertasnya. “Tapi katakan saja namanya. Biar kucari dalam puisiku.”
“Sela.”
Sela terdiam. “Jarang sekali ada orang yang mencari aku, apalagi tanpa luka di wajahnya.”
“Aku punya luka. Tapi tidak kelihatan.” Lior mengeluarkan kapsul dari sakunya dan menyerahkannya. “Ini yang membawaku ke sini.”
Sela menerima benda itu dengan kedua tangan, lalu menatapnya lama. Matanya tidak berkedip. Udara di sekitar mereka menjadi lebih berat, seolah waktu ikut menunggu reaksinya.
“Kapsul seperti ini… muncul setiap sepuluh tahun sekali,” bisiknya. “Kudengar dari cerita nenekku. Tapi tak pernah kupikir nyata.”
“Tak bisa dibuka,” ujar Lior. “Tertulis hanya bisa dibuka oleh orang yang patah hati dan tak bisa melupakannya.”
“Lalu kenapa mencariku?” Sela tertawa pelan. “Apa kau pikir aku manusia patah paling parah di dunia?”
“Aku pikir… kau tahu sesuatu tentang luka,” jawab Lior jujur. “Dan aku… tidak.”
Sela menatapnya. Kali ini lebih dalam, lebih tajam. Seolah membaca sesuatu yang bahkan Lior sendiri tak tahu ia miliki.
“Kau ingin membukanya karena penasaran?” tanya Sela.
“Karena aku tak bisa menjelaskannya. Dan aku tak suka sesuatu yang tak bisa dijelaskan.”
Sela duduk kembali di bawah tiang lampu, memutar kapsul itu pelan di jemarinya.
“Lucu. Orang-orang biasanya ingin menghapus luka. Tapi benda ini justru mengundang luka untuk masuk lebih dalam.”
Ia menutup matanya sebentar, lalu menghela napas.
“Aku akan mencobanya malam ini. Tapi jangan harap jawaban logis dariku.”
Lior mengangguk.
Malam itu, mereka duduk berdampingan dalam diam. Tak ada percakapan, hanya denting lampu kota yang menggantung dan suara jauh kereta yang sesekali lewat. Lior tidak tahu kenapa ia tidak pergi, tidak kembali ke laboratoriumnya. Mungkin karena ada sesuatu dalam diri Sela yang membuatnya diam, yang mengajaknya menunggu, yang memintanya merasa.
Dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia tidak merasa bodoh karena berharap pada sesuatu yang tak bisa diukur.
Saat malam semakin larut, Sela berbisik dengan mata masih menatap langit.
“Kalau kapsul ini berisi cinta yang belum terjadi… bagaimana kalau isinya adalah cinta antara kita?”
Lior tak menjawab. Tapi hatinya, untuk alasan yang tak ia pahami, berdetak lebih lambat dari biasanya. Seolah menunggu sesuatu. Seolah memanggil sesuatu. Seolah… mengenali sesuatu yang belum pernah ada.
Bab 3: Kenangan Tak Dikenal
Kapsul itu diletakkan di atas meja kayu tua di kamar kecil tempat Sela tinggal—lantai dua sebuah bangunan rongsok yang dulunya toko alat musik. Dindingnya berjamur, jendela menganga separuh, dan bau kayu basah menguar di udara. Tapi kamar itu terasa hangat, entah karena lilin-lilin kecil di sudut ruangan, atau karena kata-kata puisi yang tertulis di dinding dengan tinta hitam pudar.
Lior berdiri gelisah di pojok ruangan. Ia terbiasa dengan laboratorium dingin dan sinar neon putih. Tapi malam ini, ia duduk di lantai beralaskan karpet tipis, menatap kapsul seakan itu adalah hati seseorang yang tak pernah ia mengerti.
Sela menyalakan satu lilin lagi, lalu duduk di depan kapsul. Ia menarik napas panjang. “Kau tahu,” katanya perlahan, “dulu aku pernah mencintai seseorang yang hanya hadir di kepalaku. Tapi tiap kali aku menulis puisi tentangnya, rasanya seperti sungguh-sungguh pernah terjadi.”
“Khayalan?” tanya Lior, nyaris berbisik.
“Entah. Tapi rasa sakitnya nyata. Rindu itu nyata.”
Ia menutup mata, menyentuh kapsul dengan kedua tangan. “Jangan berharap akan terbuka seperti pintu. Mungkin ia tidak membuka ke luar. Tapi membuka ke dalam.”
Lior menatapnya tanpa bicara. Detik demi detik berlalu dalam keheningan. Tiba-tiba, sesuatu berubah.
Udara di ruangan menjadi lebih hangat. Kapsul itu mulai berpendar lembut, cahaya peraknya berkedip perlahan seperti napas. Sela menggigil, tapi tidak karena dingin.
“Ada… sesuatu,” katanya lirih.
Dan lalu, kapsul itu membuka.
Tidak meledak. Tidak bersuara. Hanya terbelah pelan, dan dari dalamnya keluar semburat cahaya tipis yang menyebar ke udara—seperti kabut tipis yang membawa aroma hujan pertama.
Lior menahan napas. Cahaya itu menyentuh dinding, menyentuh lantai, lalu menyentuh dirinya dan Sela. Dan tiba-tiba, mereka berdua melihatnya.
Sebuah adegan. Sebuah potongan kenangan.
Mereka berdiri di sebuah stasiun tua. Salju turun perlahan. Sela sedang menangis, memegang jaket Lior yang tampak berbeda, lebih lusuh. Lior, dengan mata merah, sedang mengucapkan sesuatu yang tak terdengar.
Lalu adegan berganti.
Mereka berdua duduk di tepi danau, tangan saling menggenggam, tertawa kecil sambil membaca puisi dari secarik kertas. Sela memandangnya seperti seseorang yang akan ia cintai sampai mati. Dan Lior membalasnya dengan cara yang… ia sendiri tidak pernah tahu bisa ia lakukan.
Lior gemetar. “Apa ini?”
“Ini bukan masa lalu…” bisik Sela.
“Dan bukan masa kini,” tambah Lior.
“Ini kenangan dari masa depan yang belum terjadi.”
Cahaya meredup perlahan. Kapsul kembali tertutup dengan bunyi lembut, seolah tugasnya selesai. Tapi rasa yang tertinggal di dalam ruangan itu masih menggantung. Lior masih bisa merasakan genggaman tangan Sela, padahal mereka tak saling menyentuh. Sela masih mendengar isak tangisnya di stasiun, padahal ia belum pernah meninggalkan siapa pun.
Mereka saling menatap. Untuk pertama kalinya, Lior tidak tahu harus berkata apa.
“Bagaimana mungkin?” gumamnya.
Sela tersenyum tipis. “Mungkin hati kita lebih dulu menyentuh sebelum waktu menyusul.”
“Aku tidak pernah mencintai siapa pun,” ucap Lior, nyaris menyakiti dirinya sendiri dengan kalimat itu.
“Belum,” jawab Sela.
Lior berjalan mendekat ke meja, mengambil kapsul itu lagi. Kini terasa hangat, seperti menyimpan napas seseorang. “Kenapa aku?”
“Mungkin karena kau yang paling butuh tahu bahwa cinta tidak harus datang dari logika. Tapi dari luka.”
Sela mendekat. Tatapannya lembut, tak memaksa, namun dalam dan jujur. “Kalau memang kenangan itu adalah masa depan… kau akan tetap bersamaku, ‘kan?”
Lior tak menjawab. Tapi untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia tidak merasa perlu jawaban. Karena pertanyaan itu—dan perasaan yang menyertainya—sudah lebih dari cukup untuk membuatnya ingin tinggal sedikit lebih lama.
Di ruangan kecil, di bawah cahaya lilin, dan bersama seseorang yang seolah sudah ia kenal seumur hidup. Meski belum benar-benar dimulai.
Bab 4: Kepercayaan yang Runtuh
Pagi datang seperti hujan yang tak diundang—diam-diam, menyelinap lewat celah jendela yang terbuka. Lior terbangun di atas karpet tipis dengan leher pegal dan pikiran penuh bayangan. Sela masih tertidur di pojok ruangan, memeluk kertas-kertas puisi seperti selimut. Kapsul itu tergeletak di antara mereka, tenang dan tak bersuara, seolah tak pernah menampilkan apapun semalam.
Namun Lior tahu itu nyata. Terlalu nyata untuk disebut halusinasi.
Ia berdiri dan berjalan ke jendela. Cahaya pagi kota bawah menyinari wajahnya yang letih. Selama hidupnya, segala sesuatu bisa dijelaskan dengan data. Ia percaya pada angka, pada hukum alam, pada ketepatan rumus. Tapi semalam… tidak ada penjelasan. Yang ia lihat bukan masa lalu, bukan hasil rekaman. Itu kenangan—tentang masa depan.
Dan lebih menakutkan lagi, kenangan itu terasa seperti miliknya sendiri.
Ia menyentuh dadanya. Detaknya masih seperti biasa, tapi ada kekosongan di dalam yang tak bisa ia identifikasi. Kekosongan yang biasanya dihindari dengan kerja tanpa henti, analisis tanpa jeda, dan rutinitas tanpa rasa.
Kini kekosongan itu diisi oleh seseorang yang bahkan belum menjadi siapa-siapa.
Sela menggeliat pelan, membuka mata perlahan. Tatapannya masih setengah kabur, tapi senyum tipisnya muncul begitu melihat Lior berdiri di sana.
“Kau masih di sini,” gumamnya.
Lior mengangguk. “Aku belum yakin kenapa.”
Sela duduk bersila, mengusap rambutnya yang kusut. “Mungkin karena kita sudah mulai masuk ke dalam cerita yang belum ditulis.”
“Aku takut.” Lior mengucapkannya tanpa suara gemetar, tapi matanya menunduk. “Takut semua ini cuma jebakan emosi yang diprogram. Kalau kapsul itu… ciptaan manusia. Kalau kita hanya objek eksperimen.”
Sela terdiam sesaat, lalu mengambil kapsul dari lantai. “Kalau ini memang ciptaan manusia, lalu kenapa bisa membuatmu merasa sesuatu yang belum pernah kau rasakan?”
Lior tak menjawab.
Sela berdiri, berjalan mendekat. “Kadang manusia menciptakan sesuatu untuk menyelamatkan dirinya sendiri. Bisa jadi kapsul ini bukan jebakan… tapi harapan.”
“Harapan?”
“Ya. Harapan bahwa kita bisa mencintai bahkan sebelum kita tahu cara mencintai. Harapan bahwa luka bisa menjadi awal, bukan akhir.”
Lior tertawa hambar. “Aku bahkan tak yakin bisa mempercayai apa yang kulihat. Mungkin itu hanya ilusi.”
“Tapi kau merasakannya, kan?”
Lior menatap Sela. Ada sesuatu di matanya—campuran antara rasa takut dan kerinduan akan sesuatu yang tak bisa ia pahami.
“Aku ingin percaya,” katanya akhirnya. “Tapi bagaimana kalau ternyata ini semua salah? Bagaimana kalau aku hanya sedang putus kendali?”
“Lior,” Sela mendekat, menatap langsung ke dalam matanya, “percaya bukan tentang tahu segalanya. Tapi tentang tetap bertahan meski kau tak tahu apa-apa.”
Untuk sesaat, mereka hanya diam.
Tapi saat itulah, kapsul kembali bersinar.
Namun kali ini bukan kenangan indah yang muncul. Melainkan bayangan samar: Lior sedang berjalan sendiri di tengah badai salju. Tangannya berdarah. Wajahnya penuh luka. Di kejauhan, suara Sela memanggil, tapi ia tidak berhenti. Ia terus berjalan menjauh.
Kilatan cahaya itu hanya berlangsung lima detik. Tapi cukup untuk membuat jantung Lior mencelos.
Sela menutup mulutnya. “Itu… juga masa depan?”
“Entahlah,” jawab Lior pelan. “Atau mungkin kemungkinan yang akan terjadi jika kita salah langkah.”
Cahaya dari kapsul menghilang. Tapi efeknya membekas dalam dada mereka berdua.
“Aku tak ingin melihatmu seperti itu,” ujar Sela. “Tapi kalau memang itulah akhirnya…”
“Tidak,” potong Lior. “Kita belum tahu apa-apa. Dan itu berarti… kita masih punya pilihan.”
Ia menggenggam kapsul itu, untuk pertama kalinya bukan sebagai ilmuwan yang mencari jawaban, tapi sebagai manusia yang ingin bertahan pada sesuatu yang baru tumbuh.
“Mungkin kita perlu mencari tahu dari mana kapsul ini berasal. Siapa yang menciptakannya. Dan kenapa kita dipilih.”
Sela mengangguk. “Perjalanan dimulai saat kau memutuskan bahwa cinta itu bukan teka-teki, tapi petunjuk.”
Lior menarik napas dalam-dalam.
Dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia memilih berjalan ke arah yang tidak bisa dijelaskan oleh logika. Tapi bisa dirasakan oleh sesuatu yang lebih dalam: harapan.
Bab 5: Mengumpulkan Potongan Luka
Mereka meninggalkan kota bawah saat matahari belum sepenuhnya terbit. Lior menenteng tas kecil berisi alat pemindai portable, dan Sela membawa gulungan puisi tua yang ia tulis sejak bertahun-tahun lalu—yang katanya, sebagian dari bait-bait itu tidak pernah ia ingat menulisnya.
Perjalanan mereka dimulai menuju sebuah tempat yang disebut “Lembah Gema”, tempat legenda tentang kemunculan kapsul pertama kali diceritakan oleh penyair tua. Mereka menumpang truk barang, naik trem rusak, lalu berjalan kaki menyusuri tanah merah yang berderak di bawah langkah.
Selama perjalanan, tak banyak yang mereka bicarakan. Tapi ada kenyamanan dalam keheningan itu. Seperti dua orang yang tak butuh banyak kata untuk saling mengisi.
“Kau tahu,” kata Sela saat mereka duduk di atas batu besar menunggu kendaraan berikutnya, “kadang aku merasa puisi-puisiku bukan dari aku yang sekarang.”
Lior menoleh. “Maksudmu?”
“Beberapa bait datang begitu saja. Aku menulisnya dalam keadaan setengah sadar. Seperti ada seseorang dari masa depan yang berbisik lewat tinta dan tangan.”
Ia membuka salah satu gulungan. Di sana tertulis:
“Langkahmu akan membelah waktu,
membawa kita ke tempat yang belum pernah lahir,
namun telah kehilangan kita berkali-kali.”
Lior membacanya pelan, lalu diam. Baris itu… mengingatkannya pada sesuatu. Bukan peristiwa. Tapi perasaan. Seolah ia sudah kehilangan Sela bahkan sebelum benar-benar mengenalnya.
“Aku merasa seperti pernah membacanya,” katanya akhirnya.
Sela menatapnya dengan sorot mata penuh luka. “Mungkin karena kita memang sudah pernah terjadi. Hanya saja… belum di dunia ini.”
Setelah menempuh perjalanan dua hari, mereka sampai di Lembah Gema. Tempat itu sunyi, hanya berisi batu-batu besar dan pohon-pohon mati yang daunnya berguguran bahkan saat tidak ada angin. Di tengah lembah, ada sebuah monolit hitam dengan ukiran melingkar seperti sidik jari raksasa.
“Tempat ini dipercaya sebagai ‘jantung pertama’,” ujar Sela. “Dulu, katanya, seorang wanita tua meninggal di sini sambil memegang kapsul serupa. Tak ada yang bisa membukanya sampai cucunya—yang katanya ditinggalkan kekasihnya di altar—menangis di depan batu ini, dan kapsul itu terbuka.”
Lior mendekati monolit. Permukaannya dingin. Tapi begitu ia menyentuhnya, suara gemuruh lirih terdengar dari bawah tanah.
“Ada sesuatu di dalamnya,” ucap Lior.
Ia menyalakan pemindai. Grafik tak stabil muncul di layar—gelombang aneh, bukan listrik, bukan magnet, tapi semacam energi emosi yang tidak bisa didefinisikan. Sela duduk bersila di depan batu dan mulai membaca puisi.
Dan saat ia membacakan bait ketiga, tanah bergetar pelan. Batu di bawah mereka merekah sedikit, dan cahaya biru lembut muncul dari retakan itu. Lior menarik Sela ke belakang.
Dari retakan itu, muncullah… potongan ingatan lain.
Seperti kabut bercahaya, ia mengambang di udara. Menampilkan kenangan baru.
Sela dan Lior—kali ini dalam sebuah ruang yang gelap, penuh air. Mereka terjebak di dalam tabung transparan, seperti eksperimen. Tubuh mereka dipenuhi kabel, tapi mata mereka masih saling memandang. Sela mengangkat tangan, menyentuh kaca, dan Lior membalasnya dari sisi seberang. Meski tak bisa bicara, perasaan yang muncul jelas: mereka sedang dipisahkan paksa.
Potongan itu menghilang sekejap setelahnya.
Sela memeluk dirinya sendiri, tubuhnya menggigil. “Kita… pernah menjadi bagian dari eksperimen.”
Lior menutup pemindainya. “Atau… ingatan ini adalah bukti bahwa cinta kita memang pernah dimanipulasi. Dan kapsul ini… adalah sisa dari percobaan itu.”
“Lalu kenapa kita ingat? Kenapa hanya kita yang terhubung?”
Lior menatapnya lama. “Mungkin karena cinta yang ditanamkan pun bisa tumbuh jadi nyata. Bahkan saat dimulai dari kebohongan.”
Sela terisak pelan. “Tapi aku ingin ini nyata. Aku ingin ini milik kita, bukan buatan siapa pun.”
Lior menggenggam tangan Sela. “Kalau begitu, kita kumpulkan semuanya. Potongan demi potongan. Sampai kita bisa menentukan sendiri mana yang palsu… dan mana yang sungguhan.”
Hari itu mereka tinggal di lembah, mengumpulkan data dari batu, mencatat setiap puisi yang tiba-tiba datang dalam mimpi Sela, dan menghubungkan pola-pola cahaya dari kapsul. Mereka tak tahu ke mana langkah berikutnya, tapi satu hal kini jelas:
Cinta mereka apapun bentuk dan asalnya sedang ditulis ulang oleh takdir yang mereka pilih sendiri. Dan mereka akan terus berjalan, bahkan jika jawabannya membuat segalanya runtuh kembali.
Bab 6: Pelarian dari Kenyataan
Langit menggantung rendah di atas padang tandus, seolah ikut mengawasi langkah Lior dan Sela yang mulai terasa berat. Setelah menemukan fragmen ingatan di Lembah Gema, mereka tahu: perjalanan ini bukan sekadar soal cinta, tapi tentang siapa mereka sebenarnya, dan apa yang pernah dilakukan pada mereka.
Malam itu mereka bermalam di dalam bangunan tua tak berpenghuni, dikelilingi tumpukan puing logam dan poster propaganda masa lampau. Di dinding belakang, tertulis huruf-huruf besar yang hampir pudar: “EMOSI ADALAH MUSUH EVOLUSI.”
Sela membaca tulisan itu dengan mata tajam. “Ini bukan sekadar tempat tinggal. Ini bekas pusat kontrol.”
Lior mengangguk, lalu menyalakan terminal kecil yang ia bawa. Ia memasukkan data gelombang dari monolit, lalu menghubungkannya dengan pola kilatan cahaya dari kapsul. Beberapa saat kemudian, layar menampilkan logo yang asing bagi Sela—huruf E yang menyatu dengan simbol hati, retak di tengahnya.
“Proyek Echo,” kata Lior pelan.
“Apa itu?” tanya Sela, mendekat.
Lior membacakan hasil identifikasi. “Proyek rahasia masa lalu… menciptakan koneksi emosional antarindividu lewat rekayasa kenangan. Diciptakan untuk eksperimen sosial. Mereka menanamkan cinta dalam dua orang yang dipilih secara acak… lalu menghapusnya.”
Sela mematung. “Mereka menciptakan cinta… lalu menghancurkannya?”
“Untuk membuktikan bahwa cinta bisa dikendalikan. Bahwa rasa hanyalah rangkaian impuls yang bisa diprogram.”
Sela menggeleng. “Tapi kenapa kita masih merasakannya sekarang?”
“Karena kita gagal dihapus,” jawab Lior. “Atau… karena cinta yang tumbuh melebihi parameter eksperimen.”
Sebelum mereka sempat mencerna semua itu, suara dentuman keras terdengar dari luar. Jendela pecah. Cahaya lampu sorot menyinari bangunan tua. Langkah kaki terdengar mendekat cepat.
“Satu-satunya kapsul aktif terdeteksi,” bisik Lior. “Mereka sudah menemukannya.”
Tanpa pikir panjang, ia menarik tangan Sela dan berlari ke pintu belakang. Mereka keluar menembus malam, menyusuri gang-gang sempit, melompat pagar, menyelinap di antara bayangan.
Suara sepatu bot dan perintah elektronik terus mengejar.
Lior dan Sela bersembunyi di bawah jembatan rel magnetik, napas terengah, dada bergetar.
“Kita harus sembunyikan kapsulnya,” ujar Sela.
“Tidak. Kita bawa. Kalau mereka dapatkan itu, mereka bisa ulang eksperimen ini lagi ke orang lain.”
Sela menatap Lior. “Kau… berubah.”
Lior menghela napas. “Aku tak tahu lagi siapa aku, Sela. Ilmuwan? Objek? Atau hanya seseorang yang mulai mempercayai sesuatu yang seharusnya tidak bisa dipercaya.”
“Lalu siapa aku menurutmu?” suara Sela gemetar, bukan karena takut, tapi karena cemas akan jawabannya.
“Kau…” Lior menatap matanya. “Kau adalah bukti bahwa aku pernah merasakan sesuatu yang tak bisa diprogram.”
Sela menutup matanya sebentar, lalu meraih tangannya.
“Kita harus keluar dari sistem ini. Menemukan tempat yang tidak terhubung. Tempat kenangan tidak bisa diatur oleh siapa pun.”
Lior mengangguk. “Ada satu tempat. Terakhir aku dengar, disebut Wilayah Sunyi. Di sana tak ada jaringan, tak ada sensor. Tapi berbahaya. Tak ada jaminan kita bisa bertahan hidup.”
Sela tersenyum pahit. “Tapi kita bisa mencintai tanpa gangguan, kan?”
Untuk pertama kalinya sejak perjalanan dimulai, Lior merasa yakin. Tidak tentang tempat itu, bukan tentang rencana pelarian. Tapi tentang Sela. Tentang keinginannya untuk memilih meski kenyataan tak lagi bisa dipercaya.
Mereka melanjutkan pelarian di tengah malam, menyusuri rel usang menuju utara, meninggalkan segala yang pernah mereka kenal.
Dan di balik tas Lior, kapsul itu kembali berpendar—lemah, tapi terus hidup. Seolah menunggu mereka menemukan kebenaran terakhir: bahwa cinta, bahkan jika pernah diciptakan, bisa menjadi nyata… jika diperjuangkan.
Bab 7: Cinta yang Tak Pernah Terjadi
Mereka tiba di Wilayah Sunyi saat fajar baru saja menghapus sisa-sisa kegelapan malam. Tidak ada gerbang, tidak ada papan nama. Hanya dataran luas dengan hutan tipis dan tanah berbatu, tempat sinyal hilang dan dunia digital berhenti. Di sini, tidak ada pantulan data. Tak ada yang bisa memantau mereka. Hanya suara angin dan langkah kaki sendiri yang terdengar.
Sela berdiri di tengah hamparan tanah kosong, memejamkan mata, lalu membuka gulungan puisinya. Ia membacanya pelan, seolah ingin menuliskan ulang kenangan hanya dengan kata-kata.
“Cinta ini belum pernah terjadi,
tapi aku mengingatnya lebih dalam dari semua yang nyata.”
Lior duduk tak jauh, memperbaiki baterai pemindai terakhir yang masih berfungsi secara offline. Sejak mereka melarikan diri dari Pusat Proyek Echo, tak ada tempat yang benar-benar aman. Tapi di sini, Lior merasa… bebas.
Dan kosong.
Ia menatap Sela dari jauh. Wajah perempuan itu kini jauh dari kesan rapuh. Ada keteguhan dalam matanya. Tapi juga kesedihan yang tak pernah benar-benar pergi.
“Kau percaya kita memang diciptakan untuk saling jatuh cinta?” tanya Lior tiba-tiba.
Sela berhenti menulis. “Aku percaya… kita memang dipaksa untuk mencintai di awal. Tapi tidak untuk tetap mencintai.”
“Maksudmu?”
“Cinta bisa ditanamkan. Tapi rasa kehilangan… hanya bisa muncul jika benar-benar ada ikatan. Dan aku takut, Lior… kalau semuanya hanya hasil eksperimen, lalu bagaimana aku bisa tahu ini nyata?”
Lior berjalan mendekat. Ia meraih kapsul dari tasnya. Benda itu kini tampak lebih kusam, cahaya peraknya meredup.
“Aku juga takut,” katanya lirih. “Karena sejak aku mengenalmu… aku mulai mencintai sesuatu yang tidak bisa kujelaskan. Dan aku, yang dulu selalu percaya pada angka, kini bahkan tak yakin mana yang nyata.”
Sela duduk di sebelahnya. Mereka berdua memandangi cakrawala yang tak menjanjikan apa pun. Tidak masa depan, tidak harapan. Hanya ruang kosong.
“Kau tahu, Lior,” bisik Sela, “jika kita adalah bagian dari simulasi, dan kenangan cinta kita hanya ditanam… lalu mengapa aku merasa patah ketika melihatmu sedih?”
Lior menoleh padanya. “Karena mungkin… cinta sejati bukan soal bagaimana ia dimulai, tapi bagaimana kita memilih untuk menjaganya.”
Mereka saling menatap dalam diam. Tak ada janji, tak ada pernyataan. Tapi ada satu hal yang berubah: keinginan untuk mempercayai.
Tiba-tiba kapsul itu bergetar. Cahaya biru menyala sekali lagi, lalu memproyeksikan satu fragmen kenangan terakhir.
Lior dan Sela—lebih tua, wajah mereka lelah tapi damai—berjalan di tepi danau yang sama dalam fragmen pertama. Mereka berbicara pelan, dan Sela menyelipkan surat ke dalam kapsul perak yang mereka pegang bersama-sama.
“Jika suatu hari kau lupa aku,
biarlah puisi ini jadi jalan pulangmu kembali.”
Fragmen itu menghilang pelan, dan kapsul berhenti berpendar. Kini sepenuhnya redup, seperti telah menyelesaikan tugasnya.
Sela menutup matanya. “Itu… kita.”
“Mungkin di garis waktu yang lain.”
“Atau… di masa depan kita jika kita terus bertahan.”
Lior menggenggam tangan Sela. Hangat, nyata, bukan simulasi. Dan untuk pertama kalinya, tak peduli darimana cinta mereka berasal. Karena rasa itu kini tumbuh sendiri, di luar eksperimen, di luar kenangan tanam.
Cinta yang tak pernah terjadi—telah menjadi kenyataan karena mereka memilihnya.
Dan itulah satu-satunya hal yang tidak bisa dipalsukan.
Bab 8: Jika Kenangan Adalah Takdir
Hari-hari di Wilayah Sunyi mengalir perlahan, seperti sungai yang tak pernah sampai ke laut. Tidak ada waktu yang bisa diukur. Tidak ada jam dinding, tidak ada notifikasi, tidak ada data. Tapi Lior dan Sela tetap tinggal, membangun tenda sederhana di balik tebing, menanam sayur seadanya, dan mengisi malam dengan puisi dan percakapan.
Namun keheningan itu menyimpan tekanan yang tak kasatmata. Kapsul perak—yang dulu bersinar dan hidup—kini terdiam sepenuhnya. Permukaannya dingin, mati. Tapi keduanya tahu: itu belum akhir. Mereka hanya belum menyentuh bagian terakhir dari cerita.
Malam itu, Sela bangun lebih dulu. Ia duduk di luar tenda, menatap langit yang penuh bintang. Tangannya menggenggam surat-surat puisinya yang semakin lama semakin tak ia mengerti.
“Aku menulis ini… tapi seperti bukan aku,” gumamnya.
Lior menyusul tak lama kemudian, duduk di sebelahnya tanpa berkata apa-apa. Hanya ikut menatap langit.
“Kau percaya pada takdir?” tanya Sela pelan.
“Tidak,” jawab Lior jujur. “Tapi akhir-akhir ini aku mulai percaya bahwa beberapa hal memang sudah menunggu kita untuk sampai.”
Sela tersenyum samar. “Bagaimana kalau semua ini memang sudah ditentukan? Bahwa kita harus jatuh cinta. Harus terluka. Harus melawan. Dan pada akhirnya… harus kehilangan.”
Lior menoleh padanya. “Kalau begitu, aku ingin memilih untuk melawan takdir itu. Karena apa gunanya cinta, jika tak bisa kita perjuangkan sendiri?”
Sela menunduk. “Aku takut kalau kapsul itu hanya menunjukkan semua kemungkinan… tapi bukan kenyataan. Bahwa semua kenangan yang kita lihat… cuma bayangan dari masa depan yang tak akan pernah jadi nyata.”
Lior menghela napas, lalu berdiri dan masuk ke dalam tenda. Ia kembali membawa kapsul itu. Ia duduk kembali di samping Sela dan berkata, “Kalau kenangan bisa jadi takdir, maka mari kita tulis takdir kita sendiri.”
Ia membuka kapsul itu—bukan secara paksa, tapi seperti menyapa sesuatu yang pernah hidup. Dan entah bagaimana, kapsul itu membuka dengan pelan, sekali lagi.
Namun tak ada cahaya, tak ada proyeksi. Hanya satu lembar kertas kecil di dalamnya.
Satu puisi.
Ditulis dengan tulisan tangan yang bukan milik Sela… tapi juga bukan milik Lior.
“Kau akan melupakan aku,
seperti pagi yang kehilangan hujan semalam.
Tapi aku akan tetap tinggal,
dalam baris puisi yang kau pikir kau tulis sendiri.”
Sela membaca pelan, suaranya gemetar.
“Apa maksudnya?” tanyanya nyaris tak terdengar.
Lior mengamati kertas itu dengan mata penuh keraguan. “Mungkin… ini ditulis oleh versi kita di masa depan. Mungkin kita memang akan melupakan semua ini. Atau dipaksa melupakannya.”
“Mereka akan menangkap kita?” suara Sela penuh ketakutan.
Lior menatap matanya dalam-dalam. “Jika itu terjadi… aku ingin percaya bahwa aku akan jatuh cinta padamu lagi. Meski semua memori dihapus. Meski aku harus mulai dari awal. Meski tak ada fragmen untuk membimbingku.”
Sela mulai menangis. “Lior… aku tidak ingin lupa. Aku tidak ingin kehilangan ini.”
Lior memeluknya erat. “Maka kita harus menyembunyikan kenangan ini. Bukan di dalam kapsul. Tapi di dalam diri kita sendiri.”
Dan malam itu, mereka menulis. Di batu-batu, di kulit pohon, di bawah alas tenda. Puisi, nama, ingatan, kata-kata yang hanya dimengerti oleh mereka berdua.
Jika suatu hari dunia datang dan menghapus semuanya… mereka berharap masih ada jejak. Masih ada yang tertinggal. Meski samar. Meski hanya satu kata.
Karena cinta mereka, bahkan jika tidak pernah dimulai secara alami, kini sudah menjadi bagian dari takdir yang mereka pilih.
Dan bila takdir itu suatu saat mengkhianati mereka, mereka akan menciptakan takdir baru, dengan puisi, luka, dan keberanian untuk mencintai sekali lagi.
Bab 9: Di Ambang Lupa
Pagi itu, langit Wilayah Sunyi tidak seperti biasanya. Awan-awan kelabu menggulung di atas kepala, menandai sesuatu yang lebih dari sekadar perubahan cuaca. Sela terbangun lebih awal dari biasanya, tubuhnya dingin, keringat dingin membasahi leher. Ia baru saja bermimpi—tentang Lior yang berdiri sendirian, memanggil namanya… tapi tidak mengenalinya.
Ia bergegas keluar tenda, dan menemukan Lior sedang duduk di tepi batu tinggi, memandangi dataran luas di bawah sana. Tangannya menggenggam kapsul perak yang tampak semakin pudar, nyaris kehilangan kilaunya sama sekali.
“Sela,” katanya tanpa menoleh, “aku… aku tidak mengingat apa yang kita bicarakan kemarin malam.”
Sela mendekat, jantungnya mencelos. “Apa maksudmu?”
“Aku tahu kita dekat. Aku tahu ada sesuatu antara kita. Tapi detailnya… hilang. Aku mencoba mengingat puisi yang kau bacakan, tapi kata-katanya seperti kabur.”
Sela menahan napas. “Ini dimulai.”
“Apa?”
“Penghapusan,” bisiknya. “Mereka tak bisa menemukan kita secara fisik. Jadi mereka menghancurkan kita dari dalam. Perlahan.”
Lior terdiam. Ia menatap Sela dengan rasa bersalah yang tak bisa ia jelaskan. “Aku tidak mau melupakanmu.”
Sela menggenggam tangannya. “Maka kita harus melawan.”
“Tapi bagaimana?” Lior menatap kapsul. “Kita sudah menyimpan semuanya. Tapi jika ingatan kita sendiri rusak, tak ada yang bisa menyelamatkan cerita ini.”
Sela berdiri. “Ada satu cara.”
“Apa?”
“Kita harus masuk ke dalam kapsul. Bukan secara fisik. Tapi secara emosional.”
Lior mengernyit. “Maksudmu…”
“Kapsul ini menyimpan kenangan bukan sebagai rekaman, tapi sebagai resonansi. Kita pernah membuka fragmen masa depan, berarti kita bisa menciptakan fragmen baru—jika rasa kita cukup kuat untuk menanamkannya.”
Lior menatapnya, masih ragu.
“Tapi itu berisiko,” lanjut Sela. “Kalau gagal, kita bisa kehilangan semua. Bukan hanya kenangan kita… tapi juga diri kita sendiri.”
“Dan kalau berhasil?”
“Kita akan saling mengingat. Bahkan jika semua memori hilang. Kita akan selalu menemukan jalan kembali.”
Hening menyelimuti mereka. Hujan mulai turun perlahan, membasahi tanah dan wajah mereka. Lior memandangi Sela dalam-dalam.
“Aku akan percaya padamu,” ucapnya akhirnya. “Karena logika tak bisa lagi menjagaku. Tapi mungkin, cinta bisa.”
Sela mengangguk pelan. Mereka duduk bersila di hadapan kapsul, mata tertutup, tangan saling menggenggam. Di antara mereka, Sela mulai membisikkan puisi yang baru saja ia tulis sebelum fajar.
“Jika kelak kau mencariku dan aku tak mengenali namamu,
dengarkan detak jantungmu.
Karena aku akan berdetak bersamamu,
di antara jeda dan lupa.”
Tiba-tiba kapsul bergetar hebat. Cahaya biru terakhir meledak keluar seperti ledakan napas terakhir dari sesuatu yang hidup. Udara di sekitar mereka berubah, seolah waktu terlipat dan dunia runtuh dalam bisikan-bisikan kenangan.
Sela melihat Lior—berdiri di depan laboratorium tempat mereka pertama kali dipertemukan sebagai subjek uji. Ia melihat dirinya sendiri menolak koneksi. Menolak cinta. Tapi perlahan, versi mereka di dalam kenangan mulai mendekat. Memeluk. Tertawa. Menangis.
Satu demi satu, kenangan yang tak pernah terjadi mulai menempel di dinding jiwa mereka.
Lalu semuanya menjadi putih.
Ketika cahaya meredup, mereka terbaring di atas tanah lembab. Nafas terengah. Kapsul… hancur. Retak dan kosong.
Sela membuka mata lebih dulu. Ia menoleh ke samping, melihat Lior… masih terpejam.
“Lior…” bisiknya lirih.
Lior membuka mata perlahan. Ia menatap langit, lalu wajah Sela.
Dan ia tersenyum.
“Puisi yang kau bisikkan… masih terngiang.”
Sela menangis. Bahagia. Takut. Lega.
Mereka berhasil.
Cinta mereka, yang dulunya hanya fragmen buatan, kini telah tertanam dalam melewati batas memori, logika, bahkan waktu.
Dan meskipun dunia berusaha menghapus segalanya… mereka tetap memilih untuk saling mengingat.
Bab 10: Di Antara yang Belum dan Tak Pernah
Hari-hari setelah kapsul hancur berjalan sunyi, tapi tidak kosong. Wilayah Sunyi benar-benar menjadi rumah bagi mereka—bukan sebagai pelarian, tapi sebagai tempat kelahiran kembali. Tempat di mana cinta mereka tak lagi bergantung pada ingatan yang ditanam, melainkan pada pilihan yang diambil setiap hari.
Lior mulai menanam pohon-pohon kecil di tepi lembah. Katanya, agar ada sesuatu yang hidup lebih lama dari mereka. Sela menulis puisi di setiap batu, daun, dan kayu yang ia temukan. Katanya, agar bila dunia datang lagi untuk menghapus, kata-katanya tetap tinggal, tersembunyi dalam alam.
Namun pada suatu pagi yang sejuk, mereka menemukan sesuatu yang tidak mereka duga.
Di dasar lembah tempat dulu mereka membuka kapsul pertama kali, tanah yang retak kini menganga, dan dari dalamnya, tumbuh semacam tanaman perak. Daunnya bening seperti kaca, dan di tengahnya, menggantung tetesan kecil cahaya—fragmen.
Lior menyentuhnya. Fragmen itu menyala, dan sekali lagi, kenangan melintas. Tapi kali ini bukan masa lalu. Bukan masa depan. Melainkan sesuatu yang lebih dalam: kemungkinan.
Dalam kilasan cahaya, mereka melihat versi-versi diri mereka yang lain. Dalam satu dunia, mereka tak pernah bertemu. Dalam dunia lain, mereka bertemu hanya untuk saling melukai. Dan di satu kemungkinan, mereka hidup bersama—tenang, tua, dan damai, duduk di beranda rumah kecil sambil mendengarkan hujan.
Saat fragmen itu menghilang, Sela berbisik, “Jadi selama ini… kita bukan hanya ditentukan oleh satu jalan.”
Lior mengangguk. “Kita adalah hasil dari semua yang tidak terjadi. Tapi juga dari apa yang kita pilih.”
Mereka berdiri berhadapan, tangan saling menggenggam. Di antara mereka, tak ada lagi teknologi, tak ada lagi program eksperimen, tak ada lagi kapsul yang menyimpan cinta.
Yang ada hanya dua hati yang pernah dipecah, ditulis ulang, dan tetap memilih untuk saling menemukan.
“Aku tidak tahu apakah kita akan terus diingat dunia,” kata Sela.
“Tak perlu,” jawab Lior. “Yang penting, aku mengingatmu.”
Sela tersenyum. “Dan jika suatu saat aku lupa?”
“Kita mulai lagi. Dari puisi yang kau tulis. Dari pohon yang kutanam. Dari detak yang tak pernah berhenti.”
Matahari naik perlahan. Angin membawa bau tanah basah dan daun kering. Dunia terasa tenang, tapi di dalam dada mereka, cinta itu berdetak—bukan sebagai hasil eksperimen, bukan sebagai takdir, melainkan sebagai pilihan.
Karena di antara yang belum dan tak pernah, mereka telah memilih:
untuk tetap saling mencintai.
Meski tanpa ingatan. Meski tanpa jaminan.
Hanya karena rasa itu… tetap hidup.
Dan akan terus hidup.
TAMAT.
Novel ini ditulis oleh Evi Fauzi, Penulis dari Novel Singkat. Baca juga novel romantis, petualangan dan fiksi ilmiah lainnya.