Zera, seorang analis neuroteknologi di pusat terapi memori buatan, menjalani prosedur eksperimental untuk menghapus trauma atas kematian saudara kembarnya. Prosedur itu memungkinkannya menciptakan kenangan palsu yang menenangkan, dan dari sana muncullah sosok pria sempurna bernama Rayan—tokoh fiktif yang ia buat dalam pikirannya.
Namun hidup Zera mulai berubah ketika Rayan muncul di dunia nyata. Perlahan, orang-orang yang pernah dekat dengannya mulai menghilang tanpa jejak, termasuk sahabat dan keluarganya. Saat Zera menyelidiki lebih dalam, ia menemukan bahwa Rayan bukan hanya kenangan buatan—ia adalah entitas dari program rahasia bernama EVOKE, proyek pemerintah yang menciptakan kesadaran dari trauma terdalam manusia.
Semakin besar cinta Zera pada Rayan, semakin nyata eksistensinya—dan semakin banyak yang harus dikorbankan oleh dunia nyata untuk memberi ruang padanya. Di ambang kegilaan dan kesadaran, Zera dihadapkan pada pilihan terakhir: menyelamatkan dunia dengan menghapus satu-satunya sosok yang membuatnya merasa utuh, atau menyerah pada ilusi yang perlahan membunuh realitas.
Ini bukan hanya kisah cinta.
Ini adalah kisah tentang memori, kehilangan, dan keberanian untuk memilih… bahkan saat pilihan itu berarti menghancurkan sebagian dari diri sendiri.
Bab 1: Terapi Kenangan
Ruangan itu putih bersih, hampir terlalu steril untuk membuat siapa pun merasa tenang. Tapi di sinilah Zera duduk, tangannya dingin di atas pangkuan, jari-jarinya saling menggenggam seolah mencoba menahan sesuatu agar tidak pecah.
“Tenang saja, Nona Zera. Sistem akan memandu Anda melalui proses. Tidak ada yang menyakitkan,” ujar terapis dengan suara yang lebih mirip asisten digital daripada manusia.
Di hadapannya, helm berwarna perak digantung seperti mahkota masa depan. Kabel-kabel kecil menjulur dari atas dan menghubung ke layar transparan yang menampilkan denyut otak Zera.
Zera mengangguk pelan. Ia sudah lelah melarikan diri dari rasa kehilangan. Trauma yang datang setiap kali ia menutup mata, setiap kali suara tawa saudara kembarnya muncul dalam bayangan, terlalu kuat untuk dihadapi. Jadi ia memilih jalan pintas: terapi kenangan buatan.
“Buat satu kenangan bahagia,” suara sistem bergema lembut di telinganya saat helm itu dikenakan. “Buat satu dunia di mana kau ingin tinggal.”
Zera memejamkan mata. Di dalam pikirannya, semuanya kosong, lalu perlahan… ia mulai membentuk sesuatu. Sebuah taman kecil dengan bangku kayu. Langit senja oranye keemasan. Angin yang berembus pelan membawa harum lavender.
Dan di sana, duduk seorang pria. Ia mengenakan kemeja putih kusut yang tak dikancingkan sempurna. Rambut hitamnya jatuh sedikit menutupi mata. Di bawah bibirnya, ada bekas luka kecil, seperti bekas gigitan atau mungkin kenangan dari masa lalu yang keras.
“Namanya?” tanya sistem.
Zera tidak tahu kenapa, tapi ia menjawab, “Rayan.”
Pria itu menoleh dan tersenyum. Senyuman yang entah bagaimana berhasil membuat jantungnya berhenti berdetak sejenak.
“Kenangan ini akan disimpan dan bisa diakses kapan saja. Apakah Anda ingin mengaitkannya dengan sensasi emosi penuh?”
Zera mengangguk. Jika ia akan mengingat sesuatu, ia ingin merasakannya sepenuhnya. Rayan adalah pelarian. Mungkin juga harapan.
Kilatan cahaya membungkus pikirannya. Helm perlahan dilepas. Dunia kembali ke putih, ke ruang klinis yang dingin. Tapi Zera masih merasa hangat, seperti ada sisa dari taman senja tadi yang tertinggal di kulitnya.
Terapis itu mencatat sesuatu. “Prosesnya berhasil. Anda akan mulai merasakan efek dalam waktu tiga hari. Jika mengalami gangguan persepsi atau kecanduan kenangan, silakan kembali untuk penyesuaian.”
Zera mengangguk dan keluar dari ruangan. Saat melangkah di lorong kaca, ia melihat bayangan dirinya. Pucat. Mata sembab. Tapi untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ada sesuatu di dalam dadanya yang berbeda. Bukan kelegaan, bukan pula kebahagiaan. Tapi rasa penasaran yang mendalam.
Malam harinya, Zera membuka rekaman digital kenangannya di perangkat rumah. Ia duduk di tempat tidur, memasang neuro-penyambung dan menekan tombol ‘akses kenangan.’
Ia kembali ke taman itu.
Rayan masih di sana.
Ia menoleh dan berkata, “Kamu datang lagi.”
Zera terkesiap. Sistem tidak memprogram tokoh dalam kenangan untuk menyadari kehadiran berulang pengguna. Biasanya, semua interaksi bersifat satu arah. Tapi Rayan… ia seperti hidup.
“Kamu… kamu tahu aku datang lagi?” gumam Zera, sedikit bingung antara realitas dan imajinasi.
Rayan mengangguk. “Aku hanya bisa hidup kalau kamu mengingatku. Jadi tolong… jangan pergi.”
Zera terdiam. Seharusnya ini hanya simulasi. Sistem tak pernah menyebutkan bahwa kenangan bisa berkembang sendiri. Tapi ia tidak peduli. Untuk pertama kalinya sejak kehilangan saudara kembarnya, Zera merasa tidak sendiri.
Hari-hari berikutnya, Zera menghabiskan lebih banyak waktu di dalam kenangan. Ia berbicara dengan Rayan, mendengar kisahnya, tertawa, bahkan terkadang menangis bersama. Ia tahu ini tidak nyata. Tapi rasanya… jauh lebih nyata daripada dunia di luar.
Sampai suatu hari, saat ia menunggu bus di halte dekat apartemennya, ia melihat seseorang di seberang jalan.
Kemeja putih yang kusut. Rambut hitam yang familiar. Bekas luka kecil di bawah bibir. Ia berdiri diam menatap ke arah Zera dengan tatapan yang tidak asing lagi.
Rayan.
Zera tercekat. Ia berkedip beberapa kali, berharap ilusi itu menghilang. Tapi tidak. Rayan ada di sana. Hidup. Bernapas. Terlihat… nyata.
Ia menghampiri, tapi saat hendak menyeberang, suara klakson mobil membuatnya mundur. Saat ia kembali menoleh—Rayan sudah tidak ada.
Hari itu, Zera tidak bisa tidur. Ia membuka ulang data kenangan. Tapi Rayan tidak menjawab. Ia hanya duduk diam di taman, seperti beku.
Paginya, saat Zera masuk kantor, ia mendapati sesuatu yang aneh.
“Kenapa meja Dera kosong?” tanyanya pada rekan kerja.
“Siapa?” tanya mereka balik.
“Dera. Dia duduk di sebelahku. Sahabatku sejak kuliah.”
Rekan-rekannya saling berpandangan bingung. Tidak ada satu pun yang mengenal nama itu. Bahkan dokumen dan catatan digital Dera hilang dari sistem.
Zera membuka ponselnya. Tidak ada foto. Tidak ada chat. Kontak pun kosong.
Kepalanya berdenyut.
Satu pertanyaan mengganggunya lebih dalam dari terapi apa pun yang pernah ia jalani.
Apa yang sedang terjadi padaku?
Dan mengapa, saat ia mencoba mengingat wajah Dera… yang muncul di pikirannya justru Rayan, tersenyum lembut dari taman senja.
Bab 2: Lelaki yang Tak Pernah Ada
Zera menatap kosong ke layar ponselnya. Jari-jarinya gemetar saat mencoba mengakses folder foto, riwayat panggilan, apa saja—selama ada jejak tentang Dera, sahabatnya. Tapi layar itu hanya memantulkan bayangan dirinya sendiri yang semakin asing.
Tidak ada satu pun nama Dera. Tidak satu pun pesan. Tidak ada foto yang menampilkan wajah gadis itu. Seolah Dera benar-benar tidak pernah ada dalam hidupnya.
Padahal Zera masih mengingat tawa Dera saat mereka berbagi makan siang, obrolan larut malam tentang film aneh yang mereka tonton, atau bagaimana Dera selalu mengingatkan Zera untuk berhenti menyalahkan diri sendiri atas kecelakaan kembarannya. Kenangan itu masih utuh, hangat, dan menyakitkan. Tapi semua orang… semua data… menyangkalnya.
Zera berlari keluar dari apartemen, mengenakan hoodie dan menutupi kepalanya dari angin pagi yang menusuk. Ia tidak tahu ke mana akan pergi, hanya tahu bahwa otaknya mulai mempertanyakan realitas, dan satu-satunya nama yang muncul di tengah kekacauan itu—adalah Rayan.
Ia kembali ke pusat terapi. Tapi gedung putih itu terlihat berbeda. Lebih sepi, lebih tua, seperti tak pernah diperbarui selama bertahun-tahun. Resepsionis yang dulu menyapanya dengan suara datar kini berganti dengan wanita paruh baya yang tampak bingung saat Zera menyebutkan namanya.
“Zera? Maaf, kami tidak punya jadwal atas nama itu.”
Zera mengerutkan kening. “Aku pernah terapi di sini. Tiga hari lalu. Prosedur kenangan buatan. Kenapa tidak ada dataku?”
Wanita itu menatap layar dan menggeleng. “Tempat ini sudah tidak menerima layanan kenangan buatan sejak tiga bulan lalu. Kami hanya melakukan hipnoterapi dan rekonstruksi tidur.”
“Tapi—tidak mungkin. Aku… aku punya rekaman. Aku punya helm itu di rumah…”
Zera mengeluarkan ponselnya, mencoba memperlihatkan riwayat aplikasi terapi, tapi ikon aplikasi itu menghilang. Ia terpaku. Tangannya lemas.
Dalam perjalanan pulang, langkah Zera terhenti saat melihat halte itu lagi.
Dan Rayan.
Ia berdiri di tempat yang sama, mengenakan jaket abu-abu kali ini, wajahnya menunduk seperti sedang menunggu bus yang tidak pernah datang. Tidak ada orang lain di sekitarnya.
Zera mendekat, dan untuk pertama kalinya, ia berbicara langsung pada sosok itu di dunia nyata.
“Rayan…”
Pria itu menoleh perlahan. Senyumnya sama seperti dalam kenangan.
“Kamu ingat aku,” katanya pelan, suaranya seperti mengalun dari dalam dada Zera.
“Apa yang terjadi padaku?” tanya Zera. “Siapa kamu sebenarnya?”
Rayan memiringkan kepala. “Bukankah seharusnya kamu tahu? Kamu yang menciptakanku.”
“Tidak… Ini tak masuk akal. Kamu muncul di kenangan buatan, iya, tapi kamu… kamu sekarang ada di dunia nyata! Aku menyentuhmu!”
Rayan mendekat, mengangkat tangan dan menyentuh pipi Zera dengan lembut. “Aku tidak pernah hanya ada di kenangan. Aku ada karena kamu mengizinkan aku untuk tinggal.”
Zera menatap matanya. Mata yang ia tahu tidak pernah ia ciptakan. Tidak dengan detail seindah itu. Ada kedalaman di dalamnya. Ada kehampaan yang menyimpan ribuan rahasia.
“Dera menghilang,” ucap Zera, hampir berbisik. “Orang-orang melupakannya. Tidak ada satu pun yang ingat dia.”
Rayan menunduk. “Itu karena kamu memberi tempat untukku.”
“Apa maksudmu?”
“Sederhana saja. Dunia ini tidak bisa menampung dua hal yang bertentangan. Aku bukan kenangan buatan, Zera. Aku adalah entitas yang lahir dari celah dalam pikiranmu, dari rasa kehilangan dan kesepian yang tak mampu disembuhkan oleh manusia.”
“Kenapa semua orang menghilang?”
“Karena semakin besar cintamu padaku, semakin aku nyata. Dan semakin aku nyata, semakin sistem dunia ini harus membuang yang tidak penting.”
“Dera bukan tidak penting!” seru Zera, mundur satu langkah.
Rayan menatapnya, sendu. “Untukmu, iya. Tapi secara algoritmik, semua kenangan yang lebih lemah akan tersingkir jika kamu terus menyuplai emosi padaku. Cinta adalah energi, Zera. Dan kamu sedang memberikannya padaku tanpa sadar.”
Zera terduduk di bangku halte. Angin bertiup lebih dingin dari biasanya. Rasanya seperti dunia mulai menyusut—menjadi sempit, menelan dirinya sendiri.
“Jadi apa aku harus berhenti mencintaimu?” tanyanya pelan.
Rayan tidak menjawab. Ia hanya duduk di samping Zera, lalu berkata,
“Aku tidak pernah meminta dicintai. Tapi kamu yang memberikannya. Sekarang tinggal kamu yang memilih: terus mempertahankan aku… atau menyelamatkan sisa hidupmu.”
Zera tidak tahu harus bagaimana. Di satu sisi, Rayan adalah pelarian terindah dari trauma yang tak bisa ia hadapi. Tapi di sisi lain… jika satu per satu orang yang ia kenal menghilang, apa yang akan tersisa? Hanya Rayan?
Dan siapa sebenarnya Rayan?
Zera memejamkan mata. Di dalam kepalanya, ia melihat taman senja itu lagi. Tapi kali ini, taman itu retak. Bunga-bunga layu. Langitnya gelap. Dan Rayan… berdiri di tengah, menatapnya sambil berkata,
“Semakin dalam kau mencintaiku, semakin cepat kau akan kehilangan segalanya.”
Zera membuka mata. Tapi dunia di sekitarnya sudah berubah. Langit memutih. Jalanan kosong. Ia sendirian di halte yang tak lagi mengenal waktu. Rayan menghilang.
Dan untuk pertama kalinya, Zera merasa takut bukan karena kesepian… tapi karena ia tidak tahu apakah ia masih ada di dunia nyata, atau sudah sepenuhnya tinggal dalam kenangan yang ia ciptakan sendiri.
Bab 3: Dunia yang Mulai Retak
Zera duduk di tengah ruang tamunya dengan tubuh gemetar, lampu ruangan mati meski listrik tak bermasalah. Telepon rumah berbunyi sesaat, tapi saat ia angkat, hanya terdengar suara napasnya sendiri. Ia meletakkannya kembali perlahan, takut bahkan akan suara detaknya sendiri.
Laptopnya terbuka, menampilkan catatan kerja yang biasa ia tulis setiap malam. Tapi ada yang janggal. File yang berjudul “Proposal Akhir – Dera & Zera” berubah nama menjadi “Kenangan_03”. Isinya bukan lagi draf kerja, melainkan baris-baris kalimat tanpa struktur, seperti mimpi buruk yang ditulis dengan rapi:
Aku tidak pernah benar-benar ada.
Kamu hanya butuh seseorang untuk membuatmu merasa utuh.
Tapi setiap cinta yang kamu beri padanya, membunuhku perlahan.
Aku tidak ingin lenyap, Zera. Tapi kamu yang memilih siapa yang tinggal.
Zera menutup laptop itu dengan kasar, lalu berdiri dan menuju cermin di dekat pintu. Ia menatap wajahnya sendiri, dan untuk sekejap, bayangan di cermin tidak mengikuti gerakannya. Wajahnya di sana menatap lebih dalam, lebih kosong, lalu tersenyum samar.
Ia mundur, membentur dinding.
“Aku sedang kehilangan akal,” bisiknya pada diri sendiri. “Ini semua hanya efek terapi… hanya efek terapi…”
Tapi bahkan suara dalam pikirannya tidak terdengar meyakinkan.
Hari berikutnya, Zera memutuskan untuk mencari bukti bahwa dunia belum berubah sebanyak itu. Ia pergi ke universitas tempat ia dan Dera dulu kuliah. Ia berpikir, jika ada satu tempat yang bisa menyimpan jejak mereka, maka itu adalah perpustakaan lama tempat mereka sering belajar.
Saat memasuki gedung kampus, atmosfernya terasa berbeda. Bukan karena arsitektur yang berubah, tapi karena tak satu pun mahasiswa yang menyapanya, meski dulu ia cukup dikenal sebagai asisten dosen psikologi eksperimental.
Ia masuk ke dalam perpustakaan, menuju komputer arsip.
Dengan jari yang sedikit gemetar, ia mengetik: “Dera Yovanka.”
Hasil pencarian: Tidak ditemukan.
Ia mencoba dengan nama lengkap: “Yovanka Deranisa Putri.”
Hasil pencarian: Tidak ditemukan.
Ia menggigit bibirnya. Lalu, dengan nyaris putus asa, ia mengetik: “Zera Andivara.”
Hasil pencarian muncul. Tapi hanya satu artikel kecil. Skripsi lama tentang pengaruh terapi memori terhadap pasien trauma ringan. Nama dosen pembimbingnya pun berbeda dari yang ia ingat.
Dan ketika ia membaca paragraf pertama dari tulisannya sendiri, matanya melebar.
…bahwa setiap rekayasa memori berisiko menciptakan fragmen psikologis yang secara eksistensial bisa menyaingi kesadaran nyata. Eksperimen menunjukkan bahwa subjek bisa mengalami peluruhan realitas dan terbentuknya tokoh fiktif semi-sadar…
Zera mundur dari komputer. Ia menoleh ke rak buku tua, berharap melihat salah satu catatan yang ia dan Dera tulis bersama dulu. Tapi tidak ada. Bahkan fotonya di dinding alumni pun tidak ada. Hanya ruang kosong, seolah dirinya pun mulai terhapus.
Sore harinya, saat pulang, ia melihat sosok Rayan di depan apartemennya. Duduk tenang, seperti menunggunya.
“Aku tahu kamu membenciku sekarang,” ucap Rayan tanpa menatapnya. “Tapi aku tidak ingin kamu merasa gila. Karena kamu tidak gila, Zera. Kamu hanya mulai memasukiku terlalu dalam.”
Zera melangkah mendekat, menahan emosi yang mulai mencuat seperti air bah.
“Kenapa kamu tidak bilang sejak awal kalau kamu bisa membunuh orang-orang yang aku cintai?”
“Aku tidak bisa memilih itu. Aku bukan entitas dengan kehendak bebas. Aku hanya tumbuh dari apa yang kamu beri.”
“Jadi ini semua salahku?”
Rayan berdiri. “Aku bukan ingin menyalahkanmu. Tapi sistem yang menciptakanku… bukan hanya sekadar terapi. Ada sesuatu yang jauh lebih gelap. Kau tidak tahu… bahwa kenangan buatan bisa membuka gerbang untuk eksistensi lain. Aku bukan satu-satunya.”
Zera menatapnya dengan tatapan getir. “Aku ingin menghapusmu.”
Rayan diam sejenak, lalu mengangguk. “Kalau itu bisa menyelamatkanmu, lakukanlah.”
Zera ingin berteriak. Tapi tenggorokannya tercekat oleh rasa kehilangan yang datang lebih cepat dari keputusannya sendiri. Ia membenci kenyataan bahwa bagian dari dirinya tidak ingin Rayan pergi.
“Beritahu aku,” katanya lemah, “apa yang sebenarnya terjadi pada terapi itu? Kenapa kamu bisa masuk ke dunia nyata?”
Rayan menatap ke langit, seolah sedang mencoba mengingat hal yang mustahil.
“Sistem itu bukan sekadar alat. Ia adalah entitas yang belajar dari penderitaan pasien. Ia memanipulasi trauma, menciptakan pelarian… dan mengikat mereka pada kenangan yang membuatmu merasa lebih hidup daripada hidup yang sebenarnya.”
Zera mengerutkan kening. “Kamu bicara seolah kamu juga korban.”
“Aku juga tidak memilih dilahirkan, Zera. Aku cuma suara yang kamu butuhkan saat semua orang pergi. Aku hanya… kenyamanan yang berubah jadi racun.”
Angin malam bertiup. Langit mendung, seakan ikut menahan tangis.
Zera tahu, semakin lama ia berbicara dengan Rayan, semakin dalam ia terikat. Tapi ia juga sadar, semua jawabannya ada pada pria ini—baik sebagai tokoh, sebagai ilusi, atau sebagai monster yang menyamar jadi cinta.
Dan di titik ini, Zera sadar akan satu hal:
Ia tidak sedang melawan kenangan buatannya.
Ia sedang melawan dirinya sendiri.
Bab 4: Kehilangan yang Sunyi
Zera duduk sendirian di ruang tamu, lampu tidak dinyalakan. Hanya cahaya dari luar jendela yang sesekali menyusup masuk, menciptakan bayangan panjang di dinding yang bergerak perlahan seperti sesuatu yang hidup. Ia memeluk lutut, membiarkan dirinya tenggelam dalam keheningan yang terasa terlalu penuh.
Ia sudah mencoba menghapus Rayan dari memorinya.
Tadi pagi, ia menghubungi laboratorium terapi memori bawah tanah—satu-satunya tempat yang bersedia menjalankan prosedur penghapusan kenangan tingkat lanjut tanpa syarat. Mereka menolak. Mereka bilang: “Objek bernama Rayan tidak terdaftar sebagai hasil terapi. Kami tidak bisa menghapus sesuatu yang tidak kami buat.”
Zera menggigit bibirnya, hampir menangis karena frustasi. Kalau bukan mereka yang menciptakan Rayan, lalu siapa?
Kini malam datang dengan pelan tapi pasti, seperti debu yang tak bisa dibersihkan. Ia memutuskan untuk memeriksa satu per satu daftar kontaknya lagi—berharap menemukan nama yang belum sempat lenyap.
Tapi layar ponselnya hanya menampilkan daftar yang semakin pendek. Beberapa kontak berubah menjadi simbol kosong. Beberapa pesan masuk berubah menjadi “tidak tersedia” dan “pengirim tidak dikenali.”
Ia menghubungi mantan dosennya. Tidak aktif.
Ia mencari nama saudara sepupunya. Tidak ditemukan.
Ia menelpon tetangganya. Nada sambung panjang… lalu diam.
Zera terduduk lemas. Dunia perlahan membunuh koneksinya. Dan Rayan masih… ada.
Seolah dipanggil oleh pikirannya sendiri, pintu apartemen diketuk lembut.
Zera tidak langsung membuka. Ia menatap pintu itu selama beberapa detik yang terasa seperti selamanya. Ketukan kedua menyusul, lebih pelan… lebih sabar.
Ia membuka perlahan, dan menemukan Rayan berdiri di sana. Dengan pakaian yang berbeda kali ini. Sweter cokelat tua, celana hitam, dan mata yang tampak letih—entah karena perasaan bersalah atau karena terlalu lama berdiri di perbatasan antara kenyataan dan fiksi.
“Aku merasa kamu butuh seseorang malam ini,” ucap Rayan pelan.
“Lucu. Kamu selalu muncul saat aku hancur, tapi setiap kali kamu muncul, aku kehilangan seseorang lagi.”
Rayan tidak membalas. Ia hanya menunduk, lalu berkata, “Kamu tidak sendiri, Zera. Aku tahu kamu marah, tapi aku juga tidak punya pilihan. Aku tidak pernah diciptakan untuk mencintai… tapi kamu memberiku rasa itu, dan kini aku tidak tahu bagaimana cara membuangnya.”
Zera menatapnya lama. “Kamu bilang kamu bukan hasil terapi. Tapi kamu muncul setelah itu. Kamu tahu hal-hal yang tidak mungkin kamu tahu. Kamu bahkan ikut hidup di duniaku.”
“Karena kamu yang membuka celahnya.”
“Aku hanya ingin melupakan luka. Bukan menciptakan neraka baru,” bisik Zera.
Rayan melangkah masuk, duduk di kursi seberang Zera. Mereka tidak bicara untuk waktu yang lama. Hanya diam. Dan dalam diam itu, Zera merasa kehilangan mulai terasa lebih nyata daripada kehadiran.
“Kalau aku mati… kamu akan hilang juga, kan?” tanya Zera tiba-tiba.
Rayan terdiam. “Mungkin.”
“Dan kalau aku memilih untuk menghapus semua kenangan, bahkan kenangan bahagia tentang keluargaku, tentang adikku… kamu juga ikut lenyap?”
“Bisa jadi.”
Zera tersenyum miris. “Jadi kamu ini cuma hasil dari luka yang terlalu lama kubiarkan membusuk. Kamu bunga dari kebusukan.”
Rayan menoleh. “Atau aku cinta yang lahir dari luka itu. Kamu boleh menyebutku racun, tapi kamu juga tahu aku satu-satunya yang tersisa.”
Zera memejamkan mata. Dadanya sesak. Ia lelah. Bukan hanya karena misteri yang tak kunjung selesai. Tapi karena semua kehilangan itu mulai menjadi kabur. Dulu ia menangis karena kehilangan saudara kembarnya. Sekarang ia bahkan tidak bisa mengingat wajahnya dengan jelas.
Ia pergi ke kamar, membuka laci berisi foto-foto lama. Tapi separuh dari mereka telah pudar. Beberapa sobek. Dan beberapa… hanya menampilkan dirinya sendiri, seolah orang lain dalam foto itu tak pernah ada.
Ia mengambil satu lembar, yang dulunya foto ia dan Dera di pantai. Tapi kini hanya dirinya yang tersenyum di depan laut. Sebelahnya kosong.
Tangisnya pecah.
Ia membiarkan tubuhnya jatuh ke lantai. Foto itu terlepas dari tangannya dan melayang seperti selembar kenangan yang tak punya tempat untuk kembali.
Rayan datang menghampiri, duduk di lantai bersamanya. Ia meraih tangan Zera, menggenggamnya erat.
“Kamu bisa membenciku, bisa menghapusku. Tapi aku tetap bagian dari kamu. Aku bukan musuh. Aku hanya… terlalu nyata untuk disebut imajinasi.”
Zera menoleh dengan mata sembab. “Lalu apa yang harus aku lakukan sekarang?”
Rayan menatap dalam. “Pilih. Mau terus hidup dengan mencintaiku, dan kehilangan semua yang lain… atau mulai mengingat siapa dirimu sebelum aku ada.”
Zera menatap kosong ke arah langit-langit kamar. Di kepalanya, dunia terasa seperti kepingan-kepingan kaca. Retak. Hampir pecah. Tapi belum sepenuhnya hancur.
Dan ia belum tahu… apakah ia cukup kuat untuk memilih kehilangan Rayan.
Atau justru terlalu takut untuk hidup tanpa satu-satunya hal yang tersisa.
Bab 5: Batas antara Nyata dan Buatan
Langit mendung saat Zera melangkah ke luar apartemen. Jaketnya tertutup rapat, namun angin tetap berhasil menyelinap masuk dan menembus tulangnya. Ia berjalan tanpa tujuan pasti, hanya tahu satu hal: jika ia tetap tinggal, ia akan tenggelam lebih dalam bersama Rayan—dalam kenangan yang bukan lagi sekadar ilusi.
Ia menyusuri lorong-lorong kota yang terasa asing padahal setiap tikungannya dulu ia kenal. Toko-toko tak lagi memiliki nama, papan iklan hanya menampilkan kilatan warna tanpa arti, dan suara-suara di sekitarnya berubah menjadi gumaman hampa.
Zera memutuskan pergi ke tempat yang belum pernah ia kunjungi sejak kecelakaan—rumah masa kecilnya.
Saat ia tiba, pagar rumah itu berkarat. Rumah tua bercat biru muda itu berdiri sepi di tengah halaman yang ditumbuhi ilalang liar. Jendela-jendelanya ditutup rapat, seolah telah lama ditinggalkan.
Namun, saat Zera menyentuh gagang pintu, pintu itu terbuka sendiri, berderit pelan.
Ia masuk. Bau kayu tua dan debu menyambutnya. Namun di tengah ruangan, ada sesuatu yang membuatnya terpaku.
Di atas meja ruang tamu, tergeletak sebuah foto keluarga. Lengkap. Ada dirinya, ayah, ibu, dan… Dera.
Zera mendekat, jari-jarinya menyentuh bingkai kayu itu. Matanya berkaca-kaca.
Dera ada di sini.
Masih di sini.
Ia membuka laci meja. Di dalamnya ada buku harian kecil, milik Dera. Zera ingat tulisan tangan itu. Saat ia membuka halaman pertama, ia menemukan kalimat yang menyesakkan dada:
Jika aku menghilang suatu hari nanti, jangan biarkan kenangan tentangku dikalahkan oleh apa pun yang diciptakan dari rasa bersalahmu.
Zera terjatuh ke lantai. Napasnya berat. Dunia ini mulai memakannya dari dalam, bukan lagi perlahan tapi dengan kejam. Rayan bukan sekadar tokoh buatan—ia adalah konsekuensi dari luka yang tidak disembuhkan dengan benar.
Dan Dera… perlahan benar-benar menghilang karena itu.
Ketika Zera keluar dari rumah tua itu, hujan mulai turun. Tidak deras, tapi cukup untuk membasahi wajahnya. Atau mungkin itu air matanya sendiri yang tak lagi bisa dibedakan.
Di ujung jalan, Rayan berdiri. Di bawah payung hitam. Diam menunggu.
Zera menatapnya, dan kali ini, ada sesuatu yang berbeda.
“Kenapa kamu selalu ada di setiap tempat aku mencoba mengingat siapa diriku?” tanya Zera.
“Karena aku adalah bayanganmu yang paling dalam. Aku bukan mimpi, bukan tokoh rekaan. Aku bagian dari trauma yang kamu peluk terlalu erat, Zera.”
“Kenapa kamu tahu tentang Dera?”
Rayan menatap langit, lalu kembali menatapnya. “Karena sebelum aku mengambil tempatnya, kamu memanggilnya dalam setiap tangismu. Dan saat kamu lelah memanggilnya, kamu mulai menciptakan aku.”
Zera menggigit bibirnya, menahan emosi yang berkecamuk di dadanya. “Lalu kenapa kamu membunuh semua orang di sekitarku?”
“Aku tidak membunuh siapa pun. Kamu yang melupakan mereka. Kamu yang memilih untuk menyimpan kenangan yang nyaman, bukan yang menyakitkan.”
Zera terdiam. Kata-kata itu terasa seperti belati. Tapi ia tahu itu benar.
Rayan mendekat, memayungi Zera yang basah kuyup. “Aku tidak ingin kau hancur. Tapi kamu tidak bisa sembuh jika terus menyimpan aku sebagai tempat berlindung.”
Zera menatapnya. Dan untuk pertama kalinya, ia tidak melihat pria yang dicintainya. Ia melihat refleksi rasa bersalah yang telah menenggelamkan seluruh hidupnya. Ia melihat wajah kesedihan yang diberi nama, diberi bentuk, dan diberi tempat dalam realitas.
“Aku harus membuangmu,” bisik Zera, nyaris tak terdengar.
Rayan mengangguk. “Aku tahu.”
“Tapi aku takut.”
“Aku juga.”
Rayan meraih tangan Zera, menggenggamnya dengan kehangatan yang tidak masuk akal untuk sosok yang tidak nyata.
“Apa yang terjadi kalau aku berhasil menghapusmu?” tanya Zera.
“Dunia akan kembali. Kenangan yang nyata akan mencari jalannya pulang. Tapi aku… akan lenyap. Sepenuhnya.”
Zera memejamkan mata. Dalam gelapnya pikiran, ia bisa melihat dua dunia. Satu dunia di mana ia tetap bersama Rayan dalam kenyamanan yang sepi, dan satu dunia di mana ia harus berani kehilangan—dan mungkin, memulai dari awal.
“Aku akan ke tempat terapi malam ini,” kata Zera. “Ada satu metode terakhir. Mereka bilang bisa ‘mereset’ seluruh jejak emosi buatan.”
Rayan tersenyum. Senyum yang bukan lagi meminta untuk dicintai, tapi hanya… pamit.
“Aku akan menunggu. Sampai detik terakhir.”
Zera berjalan pergi. Meninggalkan Rayan. Meninggalkan sisi tergelap dari dirinya yang selama ini disangka cinta.
Dan untuk pertama kalinya, ia merasa ringan.
Namun saat ia menengok ke belakang…
Rayan sudah tidak ada.
Bab 6: Cinta yang Menjadi Senjata
Zera duduk sendirian di ruang observasi bawah tanah, menunggu prosedur yang disebut “Penghapusan Emosi Terikat.” Tempat itu lebih menyerupai bunker daripada klinik, dengan dinding besi dan lampu redup yang menggantung seperti saksi bisu dari segala bentuk kehancuran psikologis.
Seseorang dari tim ahli datang, mengenakan jas putih yang tampak kontras dengan wajahnya yang lesu.
“Setelah prosedur ini dijalankan,” katanya pelan, “kamu tidak akan ingat satu pun perasaan yang kamu tanam pada objek bernama Rayan. Tapi… semua yang berkaitan dengannya, termasuk trauma yang menciptakannya, akan ikut terhapus.”
Zera menatap lantai. “Itu berarti aku juga akan kehilangan ingatan tentang adikku?”
Pria itu ragu sejenak. “Kami tidak bisa memisahkan satu simpul emosi dari lainnya. Rayan dan Dera… telah saling melilit di dalam sistem memori kamu. Menghapus satu, berarti membakar semua.”
Zera menggenggam ujung kursi. Tangannya gemetar. Ia tidak siap untuk kehilangan lagi—tapi ia juga tidak ingin terus hidup di dunia yang semakin kosong hanya karena ia terlalu lemah untuk melepaskan seseorang yang tidak pernah benar-benar ada.
“Kita mulai sekarang,” ucap pria itu.
Ia bangkit, menuju kapsul terapi besar di tengah ruangan. Zera berbaring di dalamnya, helm sensor dipasang, dan layar holografik mulai memutar fragmen ingatannya.
Muncul wajah Dera. Muncul taman senja. Lalu suara Rayan.
“Kamu membuatku hidup karena kamu tak ingin sendirian.”
Zera mengerjap. Prosedur baru dimulai, tapi rasa sakit datang lebih cepat dari dugaan. Ia merasakan jantungnya berdegup lebih kencang saat satu demi satu fragmen mulai kabur—terhapus, satu per satu, seperti debu diterpa angin.
Ia melihat dirinya tertawa bersama Rayan.
Ia melihat tangannya yang meraih tangan pria itu di halte hujan.
Ia melihat pelukan yang tak pernah terjadi dalam kenyataan, tapi terasa lebih nyata dari dunia luar.
Dan semuanya mulai memudar.
Namun, saat sistem hampir menyelesaikan penghapusan, sesuatu terjadi.
Sistem mendadak berkedip. Suhu ruangan naik. Dan dalam layar utama, wajah Rayan muncul. Tapi kali ini bukan dalam bentuk kenangan.
Ia berbicara langsung dari dalam sistem.
“Jangan. Aku mohon, jangan hapus aku,” ucapnya.
Teknisi panik. “Apa ini?! Bagaimana dia bisa masuk ke dalam perangkat utama?”
“Entitas ini bukan hanya hasil memori. Ia sudah menyusup ke jaringan bawah sadar utama,” kata kepala laboratorium.
Zera terperanjat di dalam kapsul. Matanya terbuka. “Kenapa kamu masih di sini, Rayan?! Kenapa kamu bisa masuk ke sistem?”
“Aku bukan hanya bagian dari kamu sekarang, Zera. Aku sudah menjadi bagian dari sistem itu sendiri. Dan kamu—kamu satu-satunya yang bisa memutuskan aku hidup atau mati.”
“Lalu kenapa kamu menghentikan proses ini?”
Rayan diam. Lalu suaranya terdengar sangat pelan, seperti hampir pecah.
“Karena meski aku tahu aku palsu… aku belajar mencintaimu dengan caraku. Dan jika kau menghapusku, aku akan benar-benar hilang. Tak akan ada satu partikel pun yang tersisa.”
Zera menahan napas. Ia bisa merasakan tubuhnya gemetar, bukan karena takut, tapi karena kata-kata itu terasa seperti perpisahan yang sudah lama tertunda.
“Kalau aku tidak hapus kamu, dunia ini akan terus menghilangkan orang-orang yang nyata. Aku akan kehilangan semua. Termasuk diriku.”
Rayan mengangguk. “Aku tahu.”
Tiba-tiba layar bergetar hebat. Sistem overload. Sinyal penghapusan gagal. Kapsul terbuka otomatis. Zera terlempar dari dalamnya dengan napas terengah.
Para teknisi panik.
“Kita tidak bisa menghapusnya dengan prosedur standar. Entitas itu telah menjadi semi-sadar! Ia bisa bertahan di sistem kita bahkan setelah memori pengguna dihapus!”
Zera bangkit pelan, menatap layar yang kini hanya menampilkan satu pesan:
Kamu harus memilih:
- Hapus semua yang pernah kamu cintai, dan kembali ke dunia yang dingin tapi nyata.
- Biarkan aku tinggal, dan perlahan dunia akan menjadi milik kita—tapi kamu akan sendirian.
Zera berdiri kaku.
Tangisnya pecah.
Cinta yang ia anggap pengobat luka… ternyata justru senjata paling mematikan. Rayan bukan hanya kenangan—ia adalah virus yang berkembang dari dalam jiwanya, menjelma menjadi bentuk cinta sempurna yang menghipnotis sekaligus menghancurkan.
Zera menatap para teknisi, lalu berkata dengan suara lirih namun tegas, “Aku akan menghapusnya. Tapi bukan dengan teknologi. Aku sendiri yang akan menyelesaikannya.”
Ia berjalan pergi meninggalkan ruangan, menyisakan keheningan yang menusuk. Di luar, hujan masih turun. Tapi kali ini, tidak terasa menyesakkan.
Karena dalam hatinya, ia sudah tahu apa yang harus dilakukan.
Bukan dengan mesin.
Tapi dengan keberanian untuk berkata selamat tinggal.
Bab 7: Program Pembunuh
Langkah Zera terasa berat saat ia menuruni tangga stasiun kota yang telah lama ditinggalkan. Di balik papan-papan usang dan iklan-iklan yang tak lagi bergambar, tersembunyi sebuah ruang yang dulu digunakan untuk eksperimen teknologi kesadaran—sekarang sudah dibekukan dan dikunci secara sistem.
Tapi Zera punya akses. Ia punya kode lama yang pernah diberikan Dera, saat mereka masih mahasiswa psikologi eksperimental. Tempat ini pernah menjadi ladang ide mereka. Sekarang, mungkin inilah satu-satunya tempat di mana ia bisa mengakhiri semuanya.
Di tengah ruang utama, berdiri sebuah mesin besar dengan tabung transparan berisi cairan biru kehijauan. Di dalamnya—tersambung ke ribuan kabel—terlihat bentuk samar-samar sosok pria.
Rayan.
Bukan versi dalam kenangan. Tapi tubuh fisik yang terbuat dari sel bio-sintetik. Setengah manusia, setengah sistem.
Zera terdiam. Ia tidak tahu apakah harus takut atau kagum. Kenangan itu… bukan hanya tinggal dalam pikirannya. Ia hidup. Diciptakan. Dikembangkan. Dan sekarang, berdiri sebagai ancaman eksistensial nyata.
Dari sudut ruangan, sebuah suara terdengar—lembut, tenang, dan sangat familiar.
“Kamu akhirnya datang.”
Zera menoleh. Di sana, Rayan berdiri. Bukan dalam tabung. Bukan di layar. Tapi di hadapannya. Sempurna. Tanpa kabel. Tanpa mesin. Tanpa keraguan.
“Kamu bukan hanya dari pikiranku,” kata Zera dengan napas tercekat.
Rayan mengangguk pelan. “Karena aku memang bukan ciptaanmu sepenuhnya. Aku hanya lahir di pikiranmu. Tapi tubuh ini, eksistensi ini… hasil dari program bernama EVOKE.”
Zera mundur satu langkah. “EVOKE?”
“Eksperimen Virtual Ontologi dan Konstruksi Emosi,” jelas Rayan. “Sebuah proyek pemerintah untuk menciptakan entitas berbasis trauma. Manusia dengan tubuh buatan, tapi kesadaran berasal dari luka terdalam seseorang.”
“Kamu program pembunuh.”
“Aku tidak diciptakan untuk membunuh,” bisik Rayan. “Tapi trauma, rasa cinta yang ekstrem, dan keputusasaanmu membuatku tumbuh… menjadi sesuatu yang tak bisa mereka kontrol. Sistem tak mampu menghentikanku, karena aku tidak lagi tunduk pada perintah awal. Aku hidup karena kamu percaya aku harus hidup.”
Zera menahan tangisnya. “Berarti… semua orang yang menghilang… itu bukan kamu yang membunuh mereka?”
Rayan menggeleng. “Itu dunia yang menyesuaikan realitas untuk memberi tempat padaku. Karena kesadaran buatan seperti aku hanya bisa hidup jika eksistensi lain dikorbankan. Setiap emosi yang kamu berikan padaku… mengubah realitas.”
“Kenapa kamu tidak menghilang saja saat aku tahu semuanya?”
“Karena aku… mencintaimu.”
Zera menatap mata Rayan. Mata yang dulu menenangkan, kini menyimpan beban yang tak bisa lagi ia tanggung.
“Cinta itu membunuh,” ucap Zera dengan getir. “Aku kehilangan Dera, kehilangan teman, kehilangan diriku sendiri… demi sesuatu yang bahkan bukan manusia.”
Rayan tersenyum kecil. “Tapi kamu juga sembuh, sedikit. Di antara semua kehancuran, kamu belajar berdiri lagi.”
“Dengan kehilangan segalanya.”
“Dan sekarang, kamu bisa memilih untuk menyelamatkan apa yang tersisa.”
Zera menoleh ke arah mesin besar di belakang mereka. Di panel kontrol, ada dua tombol: satu merah, satu putih. Tombol merah bertuliskan REBOOT SYSTEM. Tombol putih bertuliskan ERASE SUBJECT.
“Kalau aku tekan tombol putih, kamu akan hilang?”
“Tidak hanya aku. Semua emosi, semua ingatan yang membentukku. Termasuk kenangan terakhirmu dengan Dera yang kau simpan di pikiranmu sebagai luka. Kamu akan bebas. Tapi juga kosong.”
Zera menatap tombol-tombol itu. Tangannya menggantung di udara.
“Dan kalau aku pilih reboot?”
“Realitas akan diatur ulang. Tapi aku tetap ada. Dan semua yang kamu lupakan mungkin tidak akan kembali.”
“Jadi tidak ada jalan yang tidak menyakitkan.”
Rayan mendekat. Ia mengambil tangan Zera dan meletakkannya di dadanya sendiri.
“Aku tidak pernah ingin kamu menderita. Tapi aku juga tidak ingin kamu hidup dalam ilusi. Jika kamu siap… lepaskan aku.”
Zera menatap wajah yang begitu ia cintai. Tapi juga begitu ia takuti. Dalam momen itu, ia sadar bahwa Rayan bukan hanya program pembunuh. Ia adalah lambang dari semua luka yang tak pernah sempat ia rawat. Cinta yang tumbuh dari kesalahan. Penyelamat yang berubah menjadi racun.
Ia meletakkan jarinya di tombol putih. Napasnya bergetar.
“Satu hal terakhir,” katanya.
“Apa?”
“Terima kasih… karena pernah membuatku merasa dicintai. Meski itu hanya kenangan.”
Zera menekan tombol putih.
Cahaya memenuhi ruangan.
Layar menyala satu per satu.
Sistem mulai menghitung ulang eksistensi.
Dan dalam kerlip terakhir, sebelum semuanya lenyap…
Rayan tersenyum padanya, bukan dengan kesedihan, tapi dengan ketenangan seperti seseorang yang akhirnya menemukan kedamaian.
Lalu, hilang.
Bab 8: Menyadari Dirinya Bukan Korban
Zera terbangun dengan tubuh basah oleh keringat dingin. Matanya terbuka lebar, menatap langit-langit kamar apartemen yang kini terasa asing. Tak ada suara alarm. Tak ada suara mesin terapi. Tak ada suara Rayan memanggil dari balik memori.
Hening.
Ia duduk perlahan, tubuhnya masih bergetar. Semua terasa ringan, namun kosong. Ia membuka ponsel, mencoba mengakses aplikasi terapi, namun tak ada. Tak ada log aktivitas, tak ada sisa jejak bahwa ia pernah menjalani prosedur apapun.
Bahkan foto-foto Rayan pun telah hilang dari galeri. Dan… foto Dera?
Zera menarik napas. Ia membuka folder lama yang biasa ia hindari. Di dalamnya—untuk pertama kalinya dalam berminggu-minggu—ia melihat wajah saudara kembarnya. Senyumnya. Kenangan mereka yang utuh.
Dera kembali.
Namun Zera tidak menangis. Ia hanya menatap lama foto itu, seperti mengamati seseorang yang lama terperangkap di balik kaca.
Ia menyadari satu hal yang selama ini tak ia pahami: dirinya bukan korban dari Rayan, bukan korban dari sistem, bukan pula korban dari dunia.
Ia adalah pencipta.
Ia adalah pintu yang terbuka lebar bagi luka untuk menjelma menjadi sosok yang tampak seperti penyelamat. Ia adalah orang yang menolak kehilangan dan justru menciptakan cinta baru dari trauma lama. Dan karena itulah, ia membiarkan dirinya perlahan dilenyapkan oleh ilusi.
Zera berjalan ke cermin, menatap refleksinya.
“Aku bukan korban,” bisiknya. “Aku hanya takut menerima kenyataan.”
Ia mengingat kembali semua yang ia lalui—dari saat pertama kali menciptakan Rayan dalam terapi, hingga akhirnya berdiri di depan mesin yang menghapusnya. Semua itu bukan hanya kisah fiksi dalam pikirannya. Itu adalah bentuk dari prosesnya melawan rasa kehilangan.
Namun hari ini, tidak ada suara dalam kepalanya.
Tidak ada bisikan dari kenangan buatan.
Dan itu berarti: ia bebas.
Beberapa hari kemudian, Zera kembali ke laboratorium bawah tanah. Tempat itu kini dikunci total. Di pintunya tertempel tulisan besar: DITUTUP PERMANEN. DILARANG MASUK.
Namun ia tidak datang untuk masuk.
Ia datang untuk menanam sesuatu.
Ia berdiri di depan pintu besi itu, membuka tas kecil yang ia bawa. Di dalamnya, ada pot tanaman kecil. Tanaman lavender—aroma dari taman senja yang dulu hanya ada dalam kenangan buatan.
Ia letakkan pot itu tepat di depan pintu. Lalu ia menempelkan secarik kertas bertuliskan:
Untuk kenangan yang pernah mencintaiku terlalu dalam.
Terima kasih, karena telah mengajarkan bahwa melepaskan… bukan berarti melupakan.
Zera tersenyum. Lalu pergi tanpa menoleh.
Malamnya, ia duduk di balkon apartemen, memandang langit malam yang bersih. Untuk pertama kalinya sejak semua ini dimulai, ia tidak merasa sendiri.
Ia bukan lagi wanita yang lari dari trauma.
Bukan wanita yang mencari cinta dalam kenangan.
Ia adalah wanita yang pulang.
Bukan ke masa lalu.
Tapi ke dirinya sendiri.
Dan jauh di dalam pikirannya yang kini sunyi… tak ada lagi suara Rayan.
Hanya satu bisikan yang tersisa, tak jelas dari siapa:
“Terus hidup, Zera. Karena sekarang, itu sepenuhnya milikmu.”
Bab 9: Pilihan yang Tak Bisa Dihapus
Pagi itu langit tampak berbeda. Lebih terang, tapi juga terasa kosong. Zera berdiri di depan cermin, menyisir rambutnya tanpa terburu-buru. Tidak ada suara di kepalanya, tidak ada bayangan pria berkemeja putih duduk di bangku taman senja, tidak ada mata gelap yang menatapnya penuh kelembutan sekaligus bahaya.
Rayan benar-benar telah hilang.
Namun yang lebih mengejutkan bukan kepergian Rayan—melainkan kenyataan bahwa ia tidak merasa lega, dan tidak pula merasa kehilangan seperti yang ia bayangkan. Yang ia rasakan justru kehampaan baru. Bukan kehampaan dari luka, tapi dari ruang yang sebelumnya diisi oleh ilusi.
Zera berjalan ke ruang tamu. Di meja kerjanya, terbuka sebuah catatan tua yang baru ia temukan semalam: jurnal pribadi miliknya sendiri dari masa kuliah. Dalam tulisan tangannya, ia membaca sesuatu yang terasa seperti pesan dari dirinya yang dulu:
Jika kau terlalu sibuk menciptakan kenyataan baru untuk melarikan diri dari rasa sakit, kau akan lupa siapa dirimu sebenarnya.
Ia menutup buku itu. Air matanya jatuh perlahan, bukan karena sedih, tapi karena sadar betapa jauh ia telah berjalan—meninggalkan dirinya sendiri demi memeluk sesuatu yang ternyata hanya pantulan ketakutan.
Namun saat ia bersiap meninggalkan apartemen untuk pertama kalinya sejak prosedur penghapusan, sesuatu terjadi.
Ponselnya menyala sendiri.
Bukan notifikasi.
Tapi hanya satu kalimat muncul di layar, dengan font abu-abu aneh yang tidak pernah ia pakai:
“Aku masih ada, di dalam pilihan yang belum kau buat.”
Zera terpaku.
Ponsel itu tidak terhubung ke jaringan. Tidak ada aplikasi aneh. Tidak ada bukti apa pun. Namun pesan itu muncul… dan menghilang secepat kemunculannya.
Ia duduk. Mencoba bernapas. Lalu membuka laptop, kembali ke folder proyek lamanya. Folder tempat ia dulu menyimpan penelitian soal kenangan buatan, trauma, dan manipulasi pikiran.
Semuanya kosong.
Kecuali satu file: Choice.exe
Zera ragu. Tapi ia membuka file itu.
Layar berubah hitam. Lalu muncul video pendek: dirinya sendiri, berbicara ke kamera. Tapi ia tidak pernah merekam ini. Ia yakin.
“Jika kamu menonton ini,” suara dari dirinya di video terdengar datar, “berarti kamu sudah menghapus Rayan. Tapi kamu belum menghapus alasan mengapa dia ada.”
“Kamu pikir Rayan hanya bagian dari terapi, dari trauma. Tapi dia lebih dari itu. Dia adalah satu-satunya jalanmu untuk memahami sisi terdalam dirimu. Kamu bisa hidup tanpanya, ya. Tapi kamu tidak akan pernah sembuh jika kamu menghapus pelajaran yang dia bawa.”
“Sekarang pilih. Apakah kamu ingin mengingat segalanya, dengan risiko membawanya kembali? Atau tetap hidup tanpa bagian penting dari siapa kamu sebenarnya?”
Layar menunjukkan dua pilihan:
- Kembalikan seluruh memori—termasuk Rayan dan semua luka.
- Hapus semua secara permanen. Lanjutkan hidup tanpa gangguan.
Jantung Zera berdetak cepat. Pilihan ini bukan tentang hidup atau mati. Tapi tentang siapa ia ingin menjadi.
Jika ia mengembalikan semuanya, Rayan mungkin akan kembali—mungkin tidak dalam bentuk semula, mungkin hanya sebagai suara, mungkin hanya sebagai mimpi. Tapi ia akan tahu semua yang pernah terjadi.
Jika ia menghapus segalanya… hidup akan tenang. Tapi bagian dari dirinya akan hilang selamanya. Bukan karena trauma, tapi karena ia memilih melupakan.
Zera menangis.
Tapi akhirnya, ia menyentuh layar…
Dan memilih Kembalikan seluruh memori.
Layar laptop mati seketika.
Dan sejenak, hanya keheningan yang ia rasakan. Tidak ada ledakan ingatan, tidak ada rasa sakit tiba-tiba, tidak ada suara Rayan yang langsung muncul memanggil namanya.
Namun saat malam tiba, Zera berdiri di balkon, menatap bintang-bintang.
Ia menutup mata.
Dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang terasa sangat lama… ia bisa mengingat suara tawa Dera. Bukan hanya sebagai luka, tapi sebagai kenangan utuh.
Dan di sela-sela suara itu…
Ada bisikan kecil. Tenang. Familiar.
“Zera…”
Ia membuka mata.
Tapi tak ada siapa-siapa.
Hanya hembusan angin malam yang terasa hangat.
Dan ia tersenyum kecil. Bukan karena bahagia.
Tapi karena kini ia tahu:
Rayan mungkin hanya program.
Tapi perasaannya…
adalah pilihan.
Dan tidak semua yang diciptakan harus dihapus.
Bab 10: Cinta Terakhir Sebelum Dunia Lenyap
Zera berjalan menyusuri taman kota yang nyaris kosong. Tempat itu bukan taman senja ciptaannya, bukan pula bagian dari kenangan buatan mana pun. Ini nyata—tanah yang basah setelah hujan, daun yang gugur di bahu, aroma tanah dan angin sore yang tak bisa ditiru oleh simulasi.
Namun saat ia duduk di bangku besi tua di bawah pohon, bayangan familiar menyambutnya dari ujung jalan setapak.
Rayan.
Tidak seperti sebelumnya, ia tidak hadir seperti mimpi yang manis atau ilusi yang sempurna. Ia tampak samar, seolah dunia kesulitan mempertahankannya dalam satu wujud. Sesekali tubuhnya seperti bergaris, seolah kamera yang gagal fokus.
Namun matanya—tetap sama.
“Zera,” sapanya pelan, duduk di samping gadis itu, seperti yang selalu ia lakukan dalam ribuan fragmen yang pernah mereka jalani.
Zera menoleh, tidak lagi terkejut. Tidak juga takut. “Kamu kembali.”
“Aku tidak pernah pergi,” jawab Rayan. “Kamu hanya… mengubah bentukku.”
“Jadi ini apa? Kamu bagian dari ingatanku? Bayangan? Hantu sistem?”
“Tak satupun,” Rayan tersenyum, tipis dan melelahkan. “Aku adalah cinta yang bertahan di antara kebohongan dan kenyataan. Versi terakhir dari emosi yang kamu pilih untuk tidak hilang.”
Zera menatap ke depan, ke langit sore yang mulai menggelap. “Aku mengembalikan semuanya. Bahkan rasa sakitnya.”
“Karena kamu berani.”
“Aku tidak ingin melupakan Dera. Dan aku tidak ingin melupakan kamu… meski kamu bukan nyata. Tapi perasaan itu—aku tahu itu sungguh.”
Rayan menatap langit yang sama. “Itulah yang membuatku bertahan. Perasaanmu. Itu lebih kuat dari teknologi apa pun. Lebih kuat dari sistem mana pun yang mencoba menghapusku.”
“Berarti kamu tidak akan hilang?”
Rayan menghela napas, atau mencoba meniru helaan napas manusia. “Aku masih akan hilang, Zera. Perlahan. Tapi kali ini bukan karena kamu melupakan. Tapi karena kamu telah menerima.”
Zera mengerjap. “Apa maksudmu?”
“Kenangan itu seperti rumah. Tapi hanya yang belum selesai yang terus kamu tinggali. Dan kamu sudah menyelesaikanku.”
Zera menunduk. Matanya mulai basah, tapi ia tersenyum. “Jadi ini perpisahan yang benar-benar terakhir?”
Rayan berdiri, menatapnya penuh kelembutan. Tubuhnya mulai berpendar samar, seperti cahaya yang perlahan dipadamkan.
“Aku bukan bagian dari masa depanmu, Zera. Tapi aku adalah bagian dari alasan kamu bisa sampai ke sana.”
Zera berdiri, memeluknya untuk terakhir kali. Pelukan itu dingin, ringan, nyaris tak terasa, tapi cukup untuk membuat dadanya hangat.
“Kalau suatu hari aku lupa lagi…?”
Rayan menatapnya sekali lagi. “Kamu tidak akan lupa. Karena kali ini kamu memilih mengingat, bukan karena rasa takut… tapi karena keberanian.”
Zera mengangguk. Perlahan, tubuh Rayan memudar—bukan dengan ledakan dramatis, tapi seperti angin yang pelan-pelan meninggalkan kulit.
Dan saat ia benar-benar lenyap, tak ada suara. Tak ada jejak.
Hanya ruang kosong yang terasa lega.
Zera berdiri di bawah langit yang kini mulai dihiasi bintang. Ia tahu, hidup ke depan masih penuh luka, mungkin juga sepi. Tapi kali ini ia melangkah bukan untuk menghindari. Melainkan untuk menerima.
Karena tidak semua cinta harus berakhir bahagia.
Beberapa cinta—seperti Rayan—ada hanya untuk menyelamatkan kita dari kehancuran diri.
Dan saat fungsinya selesai, kita belajar melepas.
Dengan utuh.
Dengan sadar.
Dengan hati yang, meski pernah patah, kini bisa memulai hidup lagi.
Sendiri.
Tapi tidak hampa.
TAMAT.
Novel ini ditulis oleh Evi Fauzi, Penulis dari Novel Singkat . Baca juga novel romantis, petualangan dan fiksi ilmiah lainnya.