Novel Singkat Matahari di Dalam Es
Novel Singkat Matahari di Dalam Es

Novel Singkat: Matahari di Dalam Es

Eris adalah seorang pemburu relik di dunia yang telah membeku selama ratusan tahun, tempat di mana matahari hanya tinggal bayangan di langit kelabu. Ia menjalani hidup tanpa tujuan, sampai suatu hari ia menemukan seorang gadis hangat yang tertidur di dalam es—Solara, sosok misterius dengan tubuh bersuhu abnormal dan kutukan mematikan: semakin besar cinta yang ia rasakan, semakin cepat tubuhnya terbakar dari dalam.

Menurut legenda kuno, Solara adalah “anak matahari” yang bisa mencairkan dunia dengan cinta, namun dengan harga yang sangat mahal—nyawanya sendiri. Bersama Eris, ia melarikan diri dari para Penjaga Dingin, sekelompok pemburu yang ingin membekukan kembali dunia agar tetap stabil dalam kegelapan.

Di tengah pelarian, keduanya jatuh cinta. Tapi cinta mereka bukanlah penyelamat, melainkan awal dari kehancuran. Ketika Solara akhirnya menyerahkan dirinya untuk mencairkan dunia, Eris harus memilih antara menyelamatkan cinta hidupnya atau membiarkan dunia hidup kembali.

Sebuah kisah mengharukan tentang pengorbanan, cinta yang tak bisa diselamatkan, dan harapan yang lahir dari kehancuran.
Karena kadang, yang menyelamatkan dunia… adalah cinta yang harus dilepaskan.

Bab 1: Langit yang Tidak Pernah Terbit

Angin menggigit menampar wajah Eris ketika ia membuka pintu kabin kayu di pinggir jurang. Kabut pagi menyelimuti seluruh daratan, membuat semua yang terlihat tampak samar seperti mimpi. Salju turun perlahan, menutup jejak-jejak kaki yang ia tinggalkan kemarin. Di dunia ini, matahari hanya tinggal legenda. Langit tetap pucat setiap hari, tak pernah berubah, tak pernah menghangatkan.

Ia memanggul kapak es di punggungnya dan menatap barisan pohon beku di kejauhan. Hari ini, ia kembali berburu kristal es langka yang digunakan sebagai bahan bakar untuk desa. Tak banyak yang tersisa di sekitar sini, tapi ia tahu satu reruntuhan tua yang belum banyak dijamah. Kabarnya terkutuk. Tapi Eris tak pernah percaya pada kutukan. Hanya percaya pada dingin dan kelaparan.

Perjalanan ke reruntuhan itu memakan setengah hari. Sepanjang jalan, Eris melewati puing-puing kota lama yang tertutup es, seperti beku di tengah waktu. Gedung-gedung raksasa menjulang seperti tulang belulang dunia masa lalu. Ia menemukan tangga batu yang menjulur ke bawah, tertutup salju. Reruntuhan itu terletak di bawah tanah, terlindung dari cuaca. Ia menyalakan lampu kecil dan mulai menuruni tangga.

Suasana di dalam terasa jauh berbeda. Hangat. Aneh.

Langkahnya terhenti. Ia mengerutkan alis. Udara di sini… tidak menusuk. Tidak seharusnya seperti ini. Eris menurunkan kapaknya, berjaga. Ia menelusuri lorong-lorong gelap dengan perlahan, hingga ia melihat kilau air di ujung ruangan.

Kolam kecil. Tidak membeku.

Jantung Eris berdetak lebih cepat. Ia mendekat, lututnya bergetar. Air di dunia ini tak pernah dalam wujud cair. Mustahil. Tapi di tengah kolam itu, ada sesuatu. Tidak. Seseorang.

Seorang gadis, terbaring dalam posisi seperti tidur, dikelilingi oleh cahaya redup keemasan. Rambut panjangnya melayang di permukaan air, seperti benang-benang cahaya. Kulitnya pucat, tapi pipinya bersemu merah. Ia tampak damai, bahkan terlalu damai.

Eris mendekat. Udara semakin hangat. Tubuhnya terasa ringan. Ada rasa aneh di dadanya yang sudah lama ia lupakan. Ia menyentuh air itu—dan tidak beku. Panas, bahkan. Ia buru-buru menarik tangannya, jari-jarinya gemetar.

Gadis itu membuka mata.

Eris tersentak mundur, tangannya meraih kapak.

Namun gadis itu tidak menyerang. Ia hanya menatap Eris, matanya sehangat musim yang telah lama hilang.

“Kau…” suaranya serak, seperti suara yang baru dilahirkan kembali. “Apa kau datang untuk membangunkanku?”

Eris tidak menjawab. Ia tidak tahu harus berkata apa. Dunia telah membekukan emosinya terlalu lama.

“Aku… Solara,” ucap gadis itu lirih, tangannya bergerak menyentuh dadanya sendiri. “Aku tidak tahu kenapa aku masih hidup. Tapi aku ingat sesuatu…”

Eris tetap waspada. “Kau manusia?”

Solara mengangguk samar. “Aku… diciptakan untuk menjadi sesuatu. Aku tidak tahu apa tepatnya. Tapi tubuhku… panas. Aku… tidak boleh jatuh cinta.”

Kata-kata itu seperti membeku di udara, meskipun ruangan ini hangat.

“Apa maksudmu?” tanya Eris, suaranya terdengar kasar meski diucapkan pelan.

Solara memejamkan mata. “Aku tahu ini aneh. Tapi setiap kali aku merasa dicintai, tubuhku mulai… terbakar. Seperti ada api di dalam tulangku.”

Eris memutar otaknya. Ini gila. Tapi dunia sudah terlalu rusak untuk menyangkal keajaiban atau kutukan.

“Aku harus keluar dari sini,” gumam Eris. “Tempat ini tidak aman. Jika kau tetap di sini, kau akan ditemukan. Penjaga Dingin bisa saja—”

“Mereka mencariku?” potong Solara.

“Seluruh dunia membekukan dirinya untuk bertahan hidup. Kau… kau ancaman bagi tatanan itu.”

Solara tersenyum kecil. “Aku tidak ingin menyakiti siapa pun. Tapi aku tidak bisa mengubah siapa diriku.”

Eris menghela napas. Ia menatap langit-langit reruntuhan, lalu ke arah pintu keluar. Ia tahu ini gila. Tapi ia juga tahu, ada sesuatu dalam dirinya yang memaksa untuk tidak meninggalkan gadis itu sendirian. Ia tahu rasa itu. Ia mengenalnya dari cerita masa kecilnya yang telah ia kubur dalam salju.

“Aku akan membawamu pergi dari sini,” ucapnya akhirnya. “Tapi dengan satu syarat.”

“Apa?”

“Jangan pernah menyentuhku.”

Solara menunduk. “Baik…”

Eris meraih jaket tambahan dari tasnya dan menyelimuti tubuh gadis itu. Ia terkejut saat merasakan kehangatan menyusup lewat tangannya, merambat seperti musim semi yang hampir ia lupakan. Matahari mungkin telah membeku di langit, tapi hari ini, Eris tahu satu hal pasti:

Ia baru saja menemukan sesuatu yang bisa mencairkan semuanya. Dan mungkin… bisa menghancurkannya juga.

Bab 2: Gadis yang Menghangatkan Salju

Solara berjalan tertatih di belakang Eris, jaket lusuh kebesaran membungkus tubuh mungilnya. Nafas mereka mengembun di udara, tapi di sekitar Solara, kabut beku seakan terurai lebih cepat. Salju yang menempel di bebatuan mencair sedikit demi sedikit setiap kali ia lewat. Hal itu membuat Eris semakin gelisah. Jejak mereka terlalu jelas. Terlalu panas.

“Langkahkan kakimu di bekas kakiku,” bisik Eris tanpa menoleh. “Jangan sampai mereka tahu kau bukan manusia biasa.”

Solara mengangguk, walau lututnya bergetar. Dunia luar terlalu terang, walau tanpa cahaya. Angin menusuk kulitnya, tapi tidak semenyakitkan tatapan Eris yang terasa dingin dan penuh curiga. Ia tahu, pria itu sedang menahan ketakutan. Bukan hanya karena Penjaga Dingin, tapi karena kehadirannya yang mengacaukan logika.

Perjalanan kembali ke desa memakan waktu lebih lama. Eris harus menghindari jalur utama dan mengambil rute curam di sepanjang lembah kabut. Saat mereka sampai di kabin kecil milik Eris, malam sudah turun. Langit tetap pucat, seolah waktu tak pernah benar-benar berubah.

“Masuk,” perintah Eris. “Tapi jangan sentuh apapun.”

Solara mengangguk pelan dan masuk ke dalam. Kabin itu sederhana, hanya satu ruangan besar dengan ranjang dari tumpukan bulu hewan, tungku kayu yang tak lagi dipakai, dan dinding batu yang hangat karena dilapisi pelindung suhu. Di pojok ruangan ada cermin retak yang memantulkan cahaya redup dari lentera.

Solara berdiri di tengah ruangan, bingung.

“Kau bisa duduk,” kata Eris sambil meletakkan tasnya. “Aku tidak akan menaruh racun di kursiku.”

Solara terkekeh kecil. Suara tawanya ringan seperti kelopak bunga yang tak pernah tumbuh di dunia ini.

“Aku hanya tak ingin merusak apapun,” katanya. “Sejak kecil, tubuhku selalu… membuat barang-barang hangus.”

Eris berhenti mengupas lapisan salju dari jaketnya. “Sejak kecil?”

Solara mengangguk. “Aku tidak tahu siapa orang tuaku. Aku bangun di dalam bola es besar, di ruangan itu… reruntuhan tempat kau menemukanku. Setiap kali aku merasa hangat di dalam hati, tubuhku jadi tak terkendali.”

Eris menyandarkan tubuhnya di dinding. “Jadi bukan cuma perasaan cinta yang memicu panas itu?”

“Tidak,” jawab Solara sambil menatap jemarinya. “Tapi cinta membuatnya… meledak. Aku hampir membakar diriku sendiri dulu. Itulah kenapa aku tidur di dalam es. Es itu bukan jebakan. Itu pelindung.”

Kata-kata itu menggantung di udara seperti embun yang tak jadi salju. Eris memandangi gadis itu dalam diam. Wajahnya terlihat terlalu tenang untuk seseorang yang menyimpan ancaman besar bagi dunia. Tapi justru karena itu, Eris tahu—Solara bukan musuh. Ia hanya makhluk yang tak pernah diminta untuk lahir dengan peran sebesar ini.

“Kenapa kau membawaku?” tanya Solara tiba-tiba.

Eris mendesah. “Karena aku bodoh.”

Solara tersenyum simpul. “Aku pikir karena kau baik.”

“Tidak ada orang baik yang menyelamatkan matahari berjalan dari reruntuhan demi menantang seluruh penjaga dunia.”

“Jadi… kau percaya aku adalah ‘matahari itu’?”

“Setelah melihat air mencair di sekitarmu? Tentu saja.”

Solara menatap lantai. “Kalau begitu… aku harus pergi sebelum kau ikut terbakar.”

Eris berdiri, menghampirinya. “Kau tidak ke mana-mana. Setidaknya bukan malam ini.”

Solara mendongak, mata mereka bertemu. Eris bisa melihat pantulan cahaya kecil dalam pupil cokelat keemasan itu—cahaya yang sama dengan langit yang sudah lama ia lupakan.

“Kau bisa tidur di pojok sana,” katanya sambil menunjuk tempat di dekat tungku. “Dan mulai besok, kita akan cari cara untuk keluar dari peta mereka.”

“Peta siapa?”

“Penjaga Dingin. Mereka akan tahu kau bangun. Mereka akan mencium bau cairan hangat dari jejakmu. Dan mereka akan mengirim orang untuk menangkapmu.”

Solara menggigit bibir bawahnya. “Apa mereka akan membunuhku?”

“Tidak,” jawab Eris pelan. “Mereka akan mengurungmu. Memaksamu tetap hidup, tapi dalam bekuan. Selamanya.”

Diam. Angin dari celah dinding mengalun seperti bisikan ketakutan.

Solara membaringkan tubuhnya perlahan. “Kau pernah jatuh cinta, Eris?”

Pertanyaan itu menghantam lebih keras dari badai salju.

Eris memejamkan mata. “Pernah.”

Solara tersenyum kecil, mengalihkan pandangan ke langit-langit. “Apa rasanya?”

“Hangat. Tapi menyakitkan. Seperti kau tahu dunia ini dingin, tapi tetap ingin merasakannya walau cuma sebentar.”

“Apakah… wanita itu masih hidup?”

“Dia membeku di tempat yang seharusnya hangat.”

Solara tidak bertanya lagi.

Dan malam itu, untuk pertama kalinya dalam bertahun-tahun, Eris membiarkan tungkunya menyala kembali.

Bukan karena butuh hangat. Tapi karena ia tahu, kehangatan itu kini punya wujud, dan sedang tidur hanya beberapa meter dari dirinya.

Bab 3: Dunia yang Membeku karena Dosa Manusia

Suara kayu terbakar di tungku menjadi satu-satunya irama malam itu. Eris tidak bisa tidur. Ia duduk di kursi tua dekat jendela, memandangi langit yang tidak pernah berubah. Warna pucat kebiruan, seperti kertas yang sudah dicuci hujan terlalu lama. Tidak ada bintang. Tidak ada bulan. Hanya cahaya dingin yang entah berasal dari mana.

Ia masih tidak mengerti kenapa ia membawanya pulang. Eris bukan tipe pria yang mudah tersentuh oleh cerita menyedihkan, apalagi makhluk berbahaya yang bisa mencairkan dunia. Tapi saat ia melihat Solara terbangun di tengah air yang tidak membeku… saat ia melihat wajah itu menatapnya dengan rasa takut yang tidak dibuat-buat… sesuatu dalam dirinya ikut retak.

“Eris?”

Suara lembut memecah malam. Ia menoleh. Solara duduk dengan selimut tebal melilit tubuhnya. Pipi gadis itu tampak memerah oleh kehangatan yang perlahan mengalir dari tubuhnya sendiri.

“Aku mengganggumu?” tanyanya lirih.

“Tidak,” jawab Eris pelan. “Aku memang tidak biasa tidur.”

Solara duduk di samping tungku, menggosok-gosok tangannya sendiri. “Aku bermimpi aneh. Tentang dunia yang penuh cahaya. Tidak ada salju, tidak ada dingin. Semua orang tersenyum dan saling menyapa di jalan.”

Eris menatap api yang menari. “Itu bukan mimpi. Itu masa lalu.”

Solara meliriknya. “Dunia ini… memang pernah hangat?”

“Pernah. Tapi manusia merusaknya.”

Solara diam, menunggu Eris melanjutkan.

“Dulu, sebelum zaman beku dimulai, dunia punya musim. Musim semi, panas, gugur, dingin. Alam berputar sesuai waktunya. Tapi manusia jadi rakus. Mereka membuat mesin yang menyedot panas bumi. Mereka menciptakan perang untuk memperebutkan energi. Hingga akhirnya… langit marah.”

Solara mengernyit. “Langit?”

“Begitulah orang dulu menyebutnya. Langit marah, dan matahari berhenti memberi kehangatan. Ia tidak menghilang. Hanya… membeku di tempatnya, jauh di atas sana, hanya terlihat tapi tak lagi hidup.”

Solara menunduk. “Dan aku… disebut sebagai anak matahari?”

Eris mengangguk. “Ada ramalan kuno. Tentang seorang anak yang membawa matahari dalam tubuhnya. Yang bisa mencairkan dunia—tapi dengan harga besar.”

“Harga itu… aku?”

“Kalau legenda itu benar, maka ya. Dunia ini bisa hangat lagi… tapi kau akan menghilang bersama salju terakhir.”

Solara terdiam. Tatapannya kosong. Ia menatap tangannya sendiri seolah sedang memikirkan sesuatu yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata.

“Aku tidak ingin mati hanya karena dunia ini butuh diselamatkan,” katanya akhirnya.

Eris menatapnya lama. “Kau tidak harus. Kita bisa mencari tempat aman. Bersembunyi.”

Solara tersenyum kecut. “Kau yakin dunia ini masih punya tempat aman untuk orang sepertiku?”

Eris menghela napas. Ia tahu tidak ada. Tapi ia tak sanggup mengucapkannya.

Malam berlalu dengan lambat. Pagi tiba tanpa kehangatan. Langit tetap sama.

Ketika mereka keluar dari kabin keesokan harinya, salju sudah mulai menutupi jejak malam kemarin. Tapi Solara masih meninggalkan jejak lembab setiap kali menginjak tanah. Eris tahu mereka harus segera pergi. Terlalu lama di satu tempat, dan Penjaga Dingin pasti akan menemukan mereka.

Mereka berjalan menuju arah selatan—menuju Hutan Es Hitam, tempat yang dipercaya masih menyimpan perpustakaan kuno sebelum dunia beku. Tempat itu juga disebut-sebut menyimpan catatan tentang matahari dan cara mengembalikannya, tanpa harus mengorbankan siapa pun.

Sepanjang jalan, Solara banyak diam. Tapi Eris tahu pikirannya bekerja keras.

“Aku tidak pernah tahu dunia ini begitu sepi,” ucap Solara saat mereka melewati padang salju luas. “Terlalu diam untuk sesuatu yang disebut hidup.”

Eris menatapnya. “Karena dunia ini sudah menyerah sejak lama.”

“Kalau begitu, kenapa kau belum menyerah?”

Eris terdiam sejenak. “Karena aku masih berharap ada sesuatu yang bisa menghangatkan kembali hidup ini. Walau sedikit.”

Solara menatapnya. Lama. Tapi ia tak berkata apa-apa.

Di kejauhan, sebuah bayangan tampak bergerak di atas salju.

Eris langsung menarik lengan Solara dan menyuruhnya tiarap.

“Penjaga?” bisik Solara.

Eris mengangguk pelan. “Seekor pengintai. Robot salju. Mereka menyapu wilayah yang suhu udaranya berubah drastis. Mereka akan tahu kau lewat sini.”

Solara menggigit bibir. “Maaf. Aku tak bisa mengontrol panas tubuhku.”

“Kau harus belajar. Atau kita akan tertangkap sebelum sampai tujuan.”

Mereka menunggu hingga bayangan itu menghilang.

Ketika akhirnya aman, mereka melanjutkan perjalanan dengan lebih cepat.

Saat malam tiba, mereka beristirahat di dalam gua kecil yang tersembunyi di balik dinding es.

Solara duduk sambil mengusap luka kecil di kakinya. Darahnya berwarna merah muda dan menguap perlahan. Eris menatapnya, terpaku.

“Kau bukan manusia biasa, ya?” gumamnya.

“Aku tidak tahu apa aku ini,” jawab Solara pelan. “Tapi… aku mulai takut.”

Eris mendekat dan menyentuhkan obat salep pada lukanya.

“Kau tidak sendiri,” bisiknya. “Selama aku masih di sini, kau tidak akan sendiri.”

Solara menatapnya dengan mata berkaca-kaca.

Dan di luar gua, untuk pertama kalinya, setitik cahaya jingga muncul di balik kabut. Hanya sesaat. Tapi cukup untuk membuat langit kelabu itu bergidik.

Bab 4: Saat Cinta Mulai Menguap di Udara

Angin di sekitar hutan es menderu seperti nyanyian sedih yang tak pernah selesai. Pepohonan tinggi menjulang, daunnya membatu oleh embun beku, dan di atas sana, langit masih tampak seperti lukisan kelabu yang dilupakan waktu. Tak ada burung. Tak ada kehidupan. Tapi di tengah kehampaan itu, dua bayangan manusia berjalan pelan, saling menjaga jarak.

Eris berjalan di depan, matanya awas, tubuhnya tegang. Ia telah melewati tempat ini ratusan kali, namun kali ini berbeda. Kini, ia tak hanya membawa tubuhnya, tapi juga sebuah rahasia besar yang bisa mencairkan dunia… dan hatinya sendiri.

Di belakangnya, Solara tertatih namun tak pernah mengeluh. Napasnya pendek, tubuhnya terus memancarkan kehangatan yang samar. Ia mencoba menahan panasnya agar tidak terlalu mencolok, seperti yang Eris ajarkan. Tapi perasaan di dadanya semakin sulit dikendalikan.

“Berhenti sebentar,” kata Eris sambil mengangkat tangan.

Solara berhenti, bersandar pada pohon es, meski kulitnya langsung melelehkan lapisan tipis batang itu. Ia menunduk, mencoba mengatur napas.

“Ada yang mengikuti kita?” tanyanya pelan.

Eris menggeleng. “Belum. Tapi hawa hangatmu menyebar seperti aroma bunga di padang tandus. Mereka bisa merasakannya dari kilometer jauhnya.”

Solara tertawa kecil, getir. “Seandainya cinta bisa disembunyikan seperti itu juga.”

Eris menoleh, tatapannya tajam. “Apa maksudmu?”

Solara ragu. Tapi udara di antara mereka sudah terlalu penuh dengan kata-kata yang belum diucapkan.

“Aku… mulai takut dengan apa yang kurasakan,” katanya akhirnya. “Semakin dekat denganmu, tubuhku jadi lebih panas. Aku merasa… seperti ingin memelukmu. Tapi aku tahu, jika kulakukan, aku bisa menghancurkan segalanya.”

Eris membeku. Kata-kata itu menghantam dadanya lebih keras daripada badai salju mana pun. Ia memalingkan wajah, mencoba tetap rasional.

“Jangan bicara soal itu,” katanya datar. “Kita punya tujuan. Bukan perasaan.”

“Tapi aku bukan batu es, Eris,” sahut Solara pelan. “Dan aku tahu… kau juga tidak.”

Mereka terdiam. Hanya suara angin yang bicara.

Setelah beberapa menit, mereka kembali berjalan. Tak satu pun dari mereka membuka percakapan lagi. Tapi udara di antara mereka sudah berubah. Lebih hangat. Lebih padat.

Menjelang senja, mereka sampai di tepi danau beku. Permukaannya datar seperti kaca, memantulkan bayangan langit abu-abu dan dua sosok kecil yang berdiri di pinggirnya.

“Kita harus menyeberangi ini,” kata Eris. “Perpustakaan kuno ada di sisi seberang.”

Solara menatap permukaan es yang luas. “Kau yakin aman?”

“Kalau kau tidak memanaskan kakimu, seharusnya cukup kuat untuk menahan berat badan kita.”

Solara mengangguk. Ia menutup matanya, memusatkan diri. Ia membayangkan dirinya sebagai bagian dari es, bukan api. Perlahan, suhu tubuhnya menurun.

Eris memperhatikan dari jauh. Ia terkagum-kagum melihat betapa cepatnya gadis itu belajar menahan dirinya. Tapi juga khawatir. Semakin ia melihat Solara berjuang, semakin jelas satu hal: perasaan itu tumbuh. Diam-diam. Liar. Tak terkendali.

Mereka mulai berjalan menyebrangi danau. Langkah demi langkah.

Setengah jalan, suara retakan terdengar.

Eris langsung menarik tangan Solara. “Jangan panik. Tetap tenang.”

“T-tubuhku memanas lagi…” desah Solara. “Aku tidak bisa mengontrolnya!”

Eris menatap wajahnya yang mulai merah. Peluh menetes di pelipis gadis itu, padahal udara di sekeliling mereka minus tiga puluh derajat.

“Lihat aku,” kata Eris tegas. “Jangan pikirkan rasa cintamu. Pikirkan rasa takut. Pikirkan rasa benci. Pikirkan… kesepian.”

Solara memejamkan mata, menggigit bibir. Ia mencoba mengingat masa-masa dingin dalam kesendiriannya. Tubuhnya gemetar. Tapi perlahan, suhu tubuhnya kembali normal. Retakan berhenti menyebar.

“Kau berhasil,” bisik Eris.

Solara membuka mata. “Aku benci ini…”

Eris tak tahu harus menjawab apa. Tapi tangannya masih menggenggam tangan Solara.

Keduanya menyadarinya dalam waktu bersamaan.

Eris buru-buru melepaskannya. “Maaf.”

Solara hanya tersenyum kecil. “Tak apa… Tapi aku merasa… hangat.”

Malam tiba sebelum mereka mencapai perpustakaan kuno. Mereka memutuskan untuk bermalam di gua kecil di kaki tebing, tak jauh dari danau.

Di dalam gua, Solara duduk dekat dinding batu, membungkus diri dengan mantel. Ia menatap api kecil yang dibuat Eris dari serpihan kristal es kering. Nyala api itu oranye pucat, seperti senja yang hampir padam.

“Kalau aku tidak bisa mengendalikan cinta ini,” ucap Solara pelan, “apa kau akan meninggalkanku?”

Eris menatap nyala api, lalu menatapnya. “Aku tidak tahu.”

Solara menunduk. “Aku takut suatu hari nanti aku akan mencairkan dunia hanya karena hatiku memanggil namamu.”

Eris berjalan pelan ke arahnya. Ia berlutut, duduk bersisian.

“Kalau kau mencairkan dunia… dan mati… aku tak tahu apakah dunia itu pantas tanpa kau di dalamnya.”

Solara menatapnya, terkejut.

Dan malam itu, meski tidak ada pelukan, tidak ada ciuman, cinta itu menguap perlahan ke udara—melebur bersama kabut, menggantung di langit kelabu yang seakan mulai berubah warna.

Namun mereka tak tahu, dari kejauhan, seekor pengintai udara milik Penjaga Dingin telah mencatat jejak panas tak wajar di daerah itu.

Dan salju mulai berbisik pada langit:
“Mereka telah jatuh cinta.”

Bab 5: Pemburu Bayaran dan Para Penjaga Dingin

Udara pagi menyentuh pipi Eris seperti pecahan kaca. Langit masih kelabu, tapi ada sedikit semburat merah muda di balik awan—seolah dunia mencoba mengingat cara untuk tersenyum. Tapi tak ada waktu untuk menikmati langit. Jejak panas yang ditinggalkan Solara di danau pasti sudah terlacak. Mereka harus bergerak lebih cepat dari pemburu.

Eris mengemasi perlengkapan mereka dengan terburu-buru. Solara masih terlelap, tubuhnya bersinar samar karena panas dalam yang belum sepenuhnya bisa ia kendalikan. Tapi wajahnya damai, dan Eris benci harus membangunkannya.

“Solara,” bisiknya sambil menyentuh bahunya perlahan. “Kita harus pergi.”

Gadis itu membuka mata, mata yang belum pernah bisa ia lupakan sejak hari pertama melihatnya di kolam. “Ada yang datang?” tanyanya pelan.

“Belum. Tapi mereka akan datang.”

Dalam perjalanan menuju perpustakaan kuno, jalan setapak mulai berubah. Dinding-dinding es tampak mencair sedikit, dan tanaman kering muncul dari dalam lapisan salju yang runtuh. Tanda-tanda pemanasan. Tanda bahwa kehadiran Solara benar-benar mengubah dunia—pelan, tapi pasti.

Namun perubahan kecil itu tidak luput dari perhatian dunia.

Di tempat lain, ratusan kilometer dari mereka, sebuah ruangan kaca besar dipenuhi layar hologram dan peta suhu global. Seorang pria tinggi berjas putih berdiri di tengah-tengah ruangan itu, matanya dingin seperti logam.

“Zona Es 6 menunjukkan peningkatan suhu sebesar 2 derajat dalam dua hari terakhir,” lapor seorang teknisi.

Pria itu mengangguk pelan. “Aktifkan semua unit pemburu. Kirim signal ke Divisi Bayangan. Siapkan Solenoid Satu.”

“Target ditemukan?”

“Belum,” jawabnya sambil menatap foto yang baru saja dikirim dari drone pengintai. “Tapi aku mencium aroma hangat yang mulai membusuk.”

Ia tersenyum tipis.

“Anak matahari itu akhirnya bangun.”


Eris dan Solara tiba di gerbang perpustakaan kuno sebelum tengah hari. Tempat itu tersembunyi di balik tebing es yang terlihat seperti dinding mati, tapi Eris tahu pintu rahasia yang hanya terbuka dengan suara tertentu. Ia mengetuk batu dua kali, lalu bersiul dengan nada rendah. Beberapa detik kemudian, suara mekanis terdengar dari balik salju. Pintu besi berkarat terbuka perlahan.

“Tempat ini… masih hidup?” bisik Solara.

“Tempat ini dilindungi oleh para pembelot,” jawab Eris sambil memandunya masuk. “Orang-orang yang percaya dunia ini harus mencair. Mereka menyebut diri mereka Penjaga Cahaya.”

Di dalam perpustakaan, ruangan luas menyambut mereka. Rak-rak penuh buku beku berdiri diam dalam barisan sempurna. Sebagian besar teks sudah tak bisa dibaca, tapi di bawahnya—jauh di ruang arsip bawah tanah—tersimpan manuskrip-manuskrip kuno yang dipercaya menuliskan asal-usul “anak matahari.”

Mereka dibawa ke ruang bawah oleh penjaga tua bernama Ival, seorang pria separuh robot yang dulunya adalah ilmuwan cuaca. Ia memeriksa Solara dalam diam.

“Jantungnya berbeda,” gumamnya. “Bukan hanya hangat. Ia memiliki pola denyut yang menyerupai inti bintang mini. Ini… luar biasa.”

“Apa benar dia bisa menyelamatkan dunia?” tanya Eris.

Ival menatap mereka dengan tatapan dalam. “Bisa. Tapi tidak dengan cara yang kalian harapkan.”

Solara menegakkan tubuh. “Maksudmu?”

Ival membuka gulungan kuno. Di atasnya tergambar sosok perempuan berdiri di tengah kobaran api, sementara dunia di sekitarnya mencair. Di bawah gambar itu, tertulis kata-kata kuno dalam bahasa tua.

“‘Agar dunia hidup kembali, matahari harus terbakar dari dalam dan tak boleh padam sampai tubuhnya lenyap,’” baca Ival. “Ramalan itu jelas. Cinta akan memicu api itu. Tapi jika ia terus menyala, tubuhmu akan menjadi pengorbanan terakhir.”

Eris mengepal. “Tidak ada cara lain?”

“Belum ditemukan,” jawab Ival. “Tapi kami percaya ada satu kemungkinan. Jika cinta itu… tidak selesai. Jika api itu menyala, tapi tidak sampai puncaknya. Dunia bisa mencair sebagian. Mungkin cukup untuk memulai musim baru.”

Solara terdiam. Ia tahu maksud kalimat itu. Ia tidak boleh mencintai Eris sepenuhnya.

Dan itu jauh lebih menyakitkan daripada mati.

Namun sebelum mereka bisa membahas lebih jauh, alarm berbunyi di seluruh ruangan. Lampu-lampu berkedip merah.

“Penyusup!” teriak salah satu penjaga.

Eris menarik Solara ke belakang rak buku. “Mereka datang.”

Dari lorong masuk, suara langkah kaki berat bergema. Seorang pria tinggi berjubah hitam muncul, membawa senjata yang tampak seperti tongkat es bercahaya. Wajahnya ditutupi topeng perak. Di belakangnya, dua robot pemburu mengikuti dengan langkah pasti.

“Berikan gadis itu,” ucap pria bertopeng dengan suara datar. “Dan kalian akan kubiarkan hidup.”

Eris berdiri di depan Solara. “Kau harus lewat tubuhku dulu.”

“Kalau begitu, mari kita mulai dengan memecahmu.”

Pertarungan pun pecah. Ival dan penjaga lain mencoba menahan robot, sementara Eris bertarung melawan pria bertopeng. Suasana perpustakaan berubah jadi medan perang beku—salju beterbangan, rak buku hancur, dan api kecil menyala di lantai akibat panas tubuh Solara yang tak lagi bisa dikendalikan.

Dalam kekacauan itu, Solara berteriak, “Berhenti! Jangan karena aku, tempat ini hancur!”

Tubuhnya mulai bersinar terang.

Semua orang terhenti.

Pria bertopeng menatap Solara dengan kagum dan ketakutan.

“Jadi ini kekuatan sebenarnya…” gumamnya. “Kau… adalah matahari.”

Solara menatapnya dengan mata berkaca-kaca. “Dan aku tidak akan jadi alat siapa pun.”

Dengan sekali hentakan, gelombang panas keluar dari tubuhnya, menghancurkan senjata pria bertopeng dan merobohkan robot-robot pemburu. Tapi tubuhnya goyah. Wajahnya pucat.

Eris berlari menghampirinya, menahan tubuhnya yang hampir jatuh. “Kau baik-baik saja?”

Solara mengangguk pelan. “Aku tidak bisa melawan perasaan ini, Eris… Aku takut…”

Eris memeluknya. “Kita akan cari jalan. Aku janji.”

Dan di tengah perpustakaan yang setengah hancur, dunia mulai sadar: matahari telah kembali.

Namun waktunya terbatas. Dan cinta itu… perlahan mulai membakar batas antara hidup dan pengorbanan.

Bab 6: Rahasia Tubuh yang Terbakar

Malam turun pelan-pelan seperti kabut yang lelah. Perpustakaan kuno kini menjadi reruntuhan separuh beku. Api kecil dari tubuh Solara masih tersisa di udara, menggantung seperti embun hangat di tengah musim dingin. Para penjaga cahaya yang tersisa sibuk membersihkan puing-puing, sementara Ival sibuk menutup celah-celah pintu masuk yang rusak.

Eris duduk di sudut ruang bawah tanah, memegangi tangan Solara yang dingin untuk pertama kalinya sejak ia temui.

“Kau kehilangan banyak energi,” bisik Eris. “Kau seharusnya tidak memaksa dirimu.”

Solara menggeleng pelan. “Kalau aku tidak melakukan itu, kau mungkin sudah tidak ada…”

“Dan kalau kau mati karena itu, apa artinya aku masih hidup?”

Solara tidak menjawab. Ia hanya menatap mata Eris dengan sorot yang tak sanggup lagi menyembunyikan ketakutan.

Beberapa menit kemudian, Ival masuk dengan sebuah tabung kaca kecil berisi cairan jingga yang berpendar lembut.

“Ini,” katanya sambil menyerahkan tabung itu pada Eris. “Ekstrak dari sisa energi matahari yang kami temukan puluhan tahun lalu. Kami menyebutnya ‘intisari fajar’. Seharusnya bisa sedikit menstabilkan api dalam tubuhnya… sementara.”

Solara menatap cairan itu dengan ragu. “Apa itu akan menyembuhkan aku?”

Ival menghela napas. “Tidak. Tapi itu bisa memperlambat proses terbakar dari dalam.”

Eris menatap Solara. “Apa kau mau mencobanya?”

Solara diam sejenak, lalu mengangguk. “Kalau itu bisa memberiku waktu lebih lama di dunia ini… bersamamu…”

Eris menyuntikkan cairan itu perlahan ke nadi Solara. Cahaya di tubuhnya meredup. Napasnya melambat. Dan untuk sesaat, ruangan itu kembali terasa seperti dunia nyata—hangat tapi tidak membakar, tenang tapi tidak mati.

Namun beberapa jam kemudian, saat semua tertidur, Solara duduk sendirian di ruang catatan kuno. Ia membuka lembaran tua yang mengisahkan tentang “Anak Matahari” pertama yang muncul seribu tahun lalu. Kisah itu tak pernah selesai, hanya berhenti di kalimat:

“Dan ketika ia mencintai terlalu dalam, ia pun menjadi matahari terakhir yang menyinari dunia selama seratus hari, sebelum menghilang ke dalam langit.”

Solara menutup buku itu dengan tangan gemetar.

Eris datang dari belakang, suara langkahnya pelan. “Apa yang kau temukan?”

Solara berbalik, senyum lelah di wajahnya. “Aku… mungkin bukan yang pertama.”

“Dan yang pertama itu—mati?”

Solara mengangguk. “Karena cinta.”

Eris menunduk. Tak ada kata yang bisa meredakan beban itu.

“Aku… tidak ingin membuatmu memilih,” ucap Solara pelan. “Tapi mungkin satu-satunya cara dunia ini hidup lagi adalah… kalau aku mati karena cinta itu. Dan aku tahu aku takkan sanggup membencimu, Eris. Aku tahu… aku mencintaimu.”

Hening. Bahkan angin pun menahan napasnya.

Eris memeluknya erat. “Kalau begitu, kita akan cari cara lain. Kita akan hidup cukup lama untuk menemukan akhir yang tidak seperti itu. Kita tidak harus membakar dunia untuk mencairkannya.”

Solara menutup mata. “Tapi tubuhku sudah mulai retak. Dari dalam. Aku bisa merasakannya setiap kali aku merindukanmu, bahkan saat kau hanya beberapa langkah dariku.”

Eris menggenggam tangan gadis itu lebih erat.

“Aku tidak akan membiarkanmu sendirian,” bisiknya. “Kalau kau harus mencairkan dunia… maka kita akan mencair bersama.”

Solara menahan air matanya. Bukan karena takut mati, tapi karena untuk pertama kalinya dalam hidupnya yang aneh dan penuh bahaya… ia merasa dicintai.

Dan itu… adalah rasa terindah sekaligus paling menyakitkan di dunia.

Sementara itu, jauh di balik kabut Es Hitam, sang pemimpin Penjaga Dingin berdiri di depan peta holografik yang terus berkedip merah.

“Intensitas suhu naik drastis di wilayah reruntuhan perpustakaan,” lapor seorang prajurit.

“Dia akan segera mencapai puncaknya,” kata sang pemimpin pelan.

“Dan saat api itu meledak… dunia akan mulai mencair.”

Ia tersenyum miring. “Dan di sanalah… kami akan menghentikannya.”

Mereka tidak ingin matahari kembali.

Karena kehangatan… bisa membuat manusia kembali ingat siapa mereka sebenarnya.

Dan bagi mereka, itu lebih berbahaya dari segala api.

Bab 7: Melarikan Diri dari Dunia yang Tak Ingin Hangat

Subuh tiba tanpa warna. Langit masih kelabu, tapi udara terasa berbeda. Sedikit lebih lembut. Lebih ringan. Seolah-olah dunia sedang menunggu sesuatu yang belum berani muncul.

Namun Eris tahu, itu bukan pertanda baik.

“Pergerakan mereka makin cepat,” kata Ival sambil menatap monitor suhu. “Penjaga Dingin tak akan berhenti sebelum kau—”
Ia menatap Solara, lalu melanjutkan, “…dipadamkan.”

Solara mengangguk pelan. Ia tidak bertanya lagi. Tidak menolak, tidak juga setuju. Hanya menerima kenyataan bahwa ia telah menjadi pusat dari pertarungan antara beku dan hangat, mati dan hidup.

Eris berjalan mondar-mandir di depan meja kayu tua. Ia tahu mereka harus pergi. Perpustakaan ini tak lagi aman, dan terlalu banyak mata di langit yang mengintai. Namun ke mana mereka bisa lari, jika setiap jejak panas bisa dilacak, setiap tarikan napas Solara menjadi penanda?

“Ada satu tempat,” kata Ival tiba-tiba. “Suku Pelindung Api di wilayah Selatan. Mereka tinggal di Lembah Merah—wilayah yang pernah hangus oleh letusan kuno. Tanahnya penuh retakan, dan suhu di sana tidak bisa dipetakan. Mereka bisa menyembunyikan kalian.”

“Kenapa baru bilang sekarang?” tanya Eris tajam.

“Karena perjalanan ke sana… memakan nyawa.”

Solara menatap Eris. “Aku mau ke sana.”

“Tidak. Terlalu berbahaya.”

“Tidak ada tempat yang aman bagiku, Eris. Tapi kalau aku bisa bertahan sedikit lebih lama, mungkin aku bisa—”

“Kau sudah cukup bertahan,” potong Eris. “Kau tidak harus membakar dirimu untuk menyelamatkan dunia ini. Dunia yang bahkan tidak tahu caranya mencintai kembali.”

Solara tersenyum tipis. “Tapi kau tahu. Dan itu cukup.”


Mereka meninggalkan perpustakaan saat matahari palsu di langit tertutup kabut. Eris membawa ransel berisi peralatan seadanya, sementara Solara membungkus tubuhnya dengan jaket yang direndam intisari fajar—agar panas tubuhnya sedikit teredam.

Mereka berjalan melewati sungai beku, gunung runtuh, dan dataran kosong yang dulunya pernah dihuni oleh manusia. Tidak ada jejak kehidupan. Hanya puing, es, dan langit yang tak pernah berubah.

Namun malam itu, mereka tiba di sebuah dataran luas, dipenuhi batu hitam dan kabut merah samar.

“Ini batas awal Lembah Merah,” gumam Eris. “Kita hampir sampai.”

Solara mengangguk, tapi tubuhnya mulai lemas. Panas dalam dirinya makin sulit dikendalikan. Setiap langkah membuat kulitnya berdenyut. Napasnya bergetar. Wajahnya pucat, tapi dadanya memancar cahaya samar. Ia tampak seperti obor yang nyaris padam… atau nyaris meledak.

Eris tahu waktunya semakin menipis.

Di tengah kabut, mereka mendengar suara derap langkah.

“Berhenti,” bisik Eris.

Dari balik bebatuan, muncul tiga sosok berjubah gelap. Salah satunya membawa senjata es, yang memancarkan cahaya biru.

“Penjaga Dingin,” gumam Solara.

“Kau dikejar seluruh dunia,” kata salah satu penjaga. “Kami diutus bukan hanya untuk menangkapmu. Tapi untuk membekukan hatimu sebelum ia membakar semuanya.”

Solara berdiri tegak. “Aku tidak minta dicintai. Tapi aku tidak bisa memadamkan rasa ini.”

“Kau bukan cinta,” kata penjaga itu. “Kau bencana.”

Saat mereka bersiap menyerang, Solara menutup mata.

“Maaf,” bisiknya.

Tubuhnya bersinar. Tapi kali ini, bukan karena cinta… melainkan ketakutan dan tekad.

Ledakan panas menghantam tanah.

Dua penjaga terhempas ke udara. Batu di sekitar mereka mencair dan langsung mengeras lagi. Tapi Solara jatuh berlutut, tubuhnya bergetar hebat.

Eris menangkapnya sebelum ia tumbang.

“Aku tak bisa lagi… menahannya,” ucap Solara, pelan, hampir tak terdengar.

“Kita harus lanjut. Tinggal sedikit lagi.”

Namun mereka tidak tahu, satu penjaga masih berdiri di kejauhan, mengamati dengan tatapan berbeda.

Ia membuka tudung jubahnya—seorang wanita. Wajahnya dingin, tapi matanya menyimpan sesuatu yang lain. Ia tidak menyerang. Hanya membisik pelan pada angin,

“Apa kau… benar-benar ingin mati demi cinta, Anak Matahari?”

Kemudian ia menghilang dalam kabut, seperti bayangan yang menyimpan rahasia.


Beberapa jam sebelum fajar, Eris dan Solara akhirnya tiba di mulut Lembah Merah. Tanahnya retak, merah kecokelatan, dan udara menghangat secara alami.

Dari balik kabut, sosok-sosok bertudung merah muncul, membawa tongkat dan obor yang tak pernah padam.

Pemimpin mereka, seorang lelaki tua bermata emas, menyambut keduanya dengan lirih,

“Selamat datang… Matahari yang Menangis.”

Solara nyaris tak sanggup berdiri. Tapi ia menatap lelaki itu dan bertanya,

“Apa kau tahu… bagaimana caranya mencintai tanpa membakar?”

Lelaki itu tersenyum. “Di tempat ini, api diajarkan untuk menari… bukan membunuh.”

Dan di balik tatapan harapan itu, tak ada yang tahu bahwa tubuh Solara telah mulai retak dari dalam.

Karena bahkan cinta yang lembut pun… tetaplah api. Dan ia sedang menyala—di tempat yang tidak pernah menginginkannya kembali.

Bab 8: Cinta yang Tidak Bisa Diselamatkan

Udara di Lembah Merah berbeda. Tidak menusuk seperti salju, tapi juga bukan hangat yang nyaman. Rasanya seperti duduk di dekat perapian—kapan saja bisa membakar jika terlalu dekat, tapi mematikan jika terlalu jauh. Tanah di bawah kaki mereka hangat, dan uap merah tipis menari di udara.

Solara duduk di bawah pohon batu yang daunnya terbuat dari kristal merah. Tubuhnya bersandar pada dinding alam yang retak. Cahaya samar terus keluar dari kulitnya, kadang berdenyut pelan seperti jantung kedua. Nafasnya mulai pendek, dan matanya terlihat sayu.

Eris berdiri tak jauh, berbicara dengan pemimpin Suku Pelindung Api—lelaki tua bermata emas yang memperkenalkan diri sebagai Mahendra.

“Tubuhnya mulai hancur dari dalam,” kata Eris pelan. “Kau bilang kalian bisa mengajarkannya mengendalikan panas… tapi ia justru makin lemah.”

Mahendra mengangguk. “Karena api dalam dirinya bukan berasal dari kemarahan atau ketakutan. Itu berasal dari cinta. Dan cinta… tak bisa diajarkan.”

Eris mengepalkan tangan. “Lalu bagaimana aku bisa menyelamatkannya?”

Mahendra menatapnya dalam-dalam. “Kau tidak bisa. Tapi kau bisa memilih: membiarkannya terbakar perlahan karena cinta yang tumbuh… atau memadamkan api itu sebelum menjadi nyala penuh.”

Eris menunduk, jantungnya terasa seperti batu es yang mulai retak.

Malam datang. Langit di atas Lembah Merah tampak lebih hidup dari sebelumnya—kilau merah muda muncul samar, seolah langit mulai ingat caranya menyambut pagi. Tapi semua itu terasa hampa bagi Solara, yang kini terbaring lemah di balik tenda hangat, ditemani oleh Eris yang terus menggenggam tangannya.

“Kau ingat,” bisik Solara, “saat kau pertama kali menarikku keluar dari reruntuhan?”

Eris tersenyum lemah. “Aku tidak menarikmu. Kau bangun sendiri, dan aku… hanya orang yang terlalu bingung untuk meninggalkanmu.”

Solara tertawa kecil, lalu batuk—napasnya tersendat.

“Aku… senang,” katanya pelan. “Setidaknya sebelum semuanya berakhir, aku tahu rasanya dicintai.”

Eris memejamkan mata. “Jangan bicara seolah ini akhir.”

“Tapi ini memang akhir, kan?”

Eris tak menjawab.

Solara memalingkan wajah ke arah langit. “Tahu tidak? Aku selalu penasaran bagaimana rasanya disentuh tanpa takut membakar. Dipeluk tanpa harus mengontrol napas. Dicium tanpa memikirkan apakah itu akan membuat dunia mencair…”

Ia menoleh, matanya basah. “Tapi kalau aku harus memilih antara hidup tanpa cinta… atau mati karena dicintai… aku akan tetap memilih kamu, Eris.”

Hening.

Dan dalam keheningan itu, Eris akhirnya menyentuh pipinya.

Tangan yang selalu berhati-hati itu… kini menyingkirkan semua logika.

Ia mendekat. Napas mereka bertemu di tengah.

“Kalau ini akan membakar kita,” bisiknya, “biarlah dunia mencair bersama kita.”

Lalu bibir mereka bertemu.

Dan dunia pun retak.

Langit menguap. Salju di wilayah utara mulai mencair tanpa suara. Sungai-sungai yang telah lama membatu mulai mengalir pelan. Daun hijau pertama muncul dari bawah tumpukan es. Dunia yang membeku ratusan tahun akhirnya menemukan suhu tubuhnya kembali.

Tapi di dalam tenda itu, Solara menggeliat.

Tubuhnya bersinar terang, terlalu terang.

Kulitnya mulai retak, bukan seperti luka, tapi seperti cangkang cahaya yang akan pecah.

“Solara!” seru Eris panik.

Namun Solara hanya tersenyum, menatap wajah orang yang dicintainya.

“Aku tidak menyesal.”

Tubuhnya mulai terangkat, melayang perlahan dari tempat tidur, seolah dunia tak lagi bisa menahannya di sini.

Dan dalam ledakan cahaya lembut yang tak menyakitkan, Solara lenyap—meninggalkan seberkas hangat di udara, dan aroma manis seperti matahari pertama setelah musim salju panjang.

Eris berdiri diam, air matanya jatuh, tapi wajahnya tidak menoleh ke tanah.

Ia menatap langit.

Langit yang kini… perlahan berubah warna.

Dan seluruh dunia tahu:

Cinta itu tidak bisa diselamatkan.

Tapi dari kehancurannya… dunia bisa hidup kembali.

Bab 9: Keputusan Terhangat dalam Dunia yang Dingin

Hari pertama tanpa Solara terasa seperti dunia mengheningkan cipta. Tidak ada suara burung, tidak ada angin yang menggigit. Hanya suara air—air sungguhan—yang perlahan mengalir di celah bebatuan Lembah Merah.

Eris duduk di tepi tebing, menatap jauh ke cakrawala yang kini mulai berwarna jingga samar. Cahaya matahari sungguhan, bukan hanya bayangan beku di langit. Tapi bagi Eris, itu bukan kemenangan. Itu kehilangan yang terlalu terang.

Suku Pelindung Api telah mengadakan ritual perpisahan malam sebelumnya. Mereka menanam kristal merah di tempat Solara terakhir berbaring, sebagai penanda bahwa “api murni” pernah hidup di bumi ini.

“Dia bukan menghilang,” kata Mahendra, saat itu. “Dia berubah wujud. Menjadi cahaya. Menjadi awal dari sesuatu yang lebih besar.”

Tapi bagi Eris, Solara adalah sesuatu yang tidak bisa digantikan oleh filosofi. Ia adalah satu-satunya kehangatan yang tak ingin ia bagi dengan dunia. Dan dunia telah merenggutnya.

Sore itu, Mahendra kembali menghampirinya.

“Salju di utara mulai mencair,” ucap Mahendra. “Matahari perlahan mengambil alih langit. Dunia mulai mengingat musim.”

Eris tidak menjawab.

“Kau punya pilihan, Eris,” lanjut Mahendra. “Kau bisa kembali ke dunia yang mulai hangat, menyaksikan peradaban bangkit… atau kau bisa tetap di sini, menjaga sisa cahaya yang pernah menjadi Solara.”

Eris menggenggam tanah hangat di sekitarnya. “Aku tidak tahu harus jadi siapa di dunia yang baru.”

Mahendra mengangguk. “Karena kau belum menemukan maknanya. Tapi kadang, makna itu datang bukan dari apa yang kau temui… melainkan dari siapa yang kau ingat.”

Beberapa hari kemudian, Eris berdiri di tengah danau kecil yang terbentuk dari lelehan es. Ia membawa sebuah benda: kalung kecil milik Solara, yang sempat ia simpan sejak malam terakhir.

Ia menatapnya lama.

“Dunia telah hidup kembali,” bisiknya. “Dan aku benci itu. Tapi aku tahu… kau ingin aku hidup.”

Ia menunduk. Mengikat kalung itu di sebuah batu kecil, lalu menjatuhkannya ke dasar danau.

Air itu hangat. Sehangat kenangan.

Dan saat ia berdiri kembali, cahaya di langit menyambutnya. Lembut. Tidak menyilaukan.

Langkah demi langkah, Eris berjalan kembali ke tanah yang mulai tumbuh. Ia melihat tunas pertama, dedaunan pertama, dan anak-anak kecil dari suku Pelindung Api yang bermain di air sungai pertama.

Ia tidak lagi membawa kapak. Tidak lagi membawa amarah. Hanya ingatan.

Dan sebuah keputusan:
Untuk hidup… meski cinta tak bisa diselamatkan.

Di reruntuhan utara, sebagian manusia yang selamat mulai membangun pemukiman baru. Tanah yang tadinya keras kini melunak. Cahaya matahari menembus kaca jendela pertama dalam dua abad. Tapi semua tahu: kehangatan itu bukan berasal dari langit. Ia berasal dari seseorang… yang memilih mencintai meski tahu akhir dari segalanya.

Dan di malam-malam tenang saat dunia tidur, langit tak lagi kelabu.

Ia menampakkan warna jingga keemasan, seperti senyum terakhir Solara yang tidak pernah benar-benar hilang.

Karena cinta yang tulus tidak menyisakan tubuh—ia meninggalkan dunia yang bisa tumbuh.

Bab 10: Matahari Terakhir di Mata Eris

Tahun pertama setelah dunia mencair terasa asing, bahkan bagi orang-orang yang pernah mengenal hangat. Bunga-bunga mulai tumbuh di tanah yang dulu mati, anak-anak berlarian tanpa mengenakan mantel tebal, dan danau-danau yang dahulu membeku kini memantulkan langit biru.

Tapi bagi Eris, setiap langkah di dunia baru terasa seperti menapak pada bayangan yang tak pernah kembali.

Ia tinggal di rumah kayu kecil yang dibangun dari reruntuhan perpustakaan kuno. Letaknya menghadap timur—ke arah matahari terbit. Di halaman depannya tumbuh sebatang pohon muda dengan daun merah keemasan, satu-satunya di seluruh lembah. Pohon itu tumbuh dari tempat Solara terakhir berdiri sebelum tubuhnya berubah menjadi cahaya.

Eris menyebutnya: Pohon Matahari.

Setiap pagi, ia duduk di bawahnya, menulis. Bukan untuk dibaca siapa-siapa, tapi untuk mengingat. Setiap lembaran berisi nama-nama yang hampir padam dalam pikirannya: suara tawa Solara, bau hangat tubuhnya, dan kalimat terakhir yang membuat dunia berhenti.

“Aku tidak menyesal.”


Pada hari yang tampak seperti hari biasa, seorang anak kecil dari suku Pelindung Api berlari menghampirinya.

“Paman Eris, langitnya aneh hari ini!” serunya riang.

Eris menoleh. Langit benar-benar tampak berbeda. Bukan karena badai, bukan karena awan. Tapi karena… bentuk.

Di tengah langit biru, samar-samar terbentuk bias cahaya yang menyerupai wajah. Wajah lembut dengan senyum kecil. Wajah yang begitu dikenalnya.

Solara.

Anak-anak menunjuk ke langit dan tertawa. “Itu siapa? Malaikat? Dewi api?”

Eris hanya menatap tanpa kata. Air matanya jatuh, tapi bibirnya tersenyum.

Matahari yang selama ini bersinar kembali akhirnya menunjukkan bentuknya—bukan hanya cahaya, tapi kenangan. Dan dunia menyadari: cinta tak pernah hilang. Ia hanya berubah bentuk.

Malam itu, Eris menulis surat terakhir dalam bukunya. Di halaman kosong, hanya ada satu kalimat:

“Jika suatu hari kau lihat matahari tersenyum… itu karena ia pernah mencintai.”


Beberapa tahun kemudian, buku-buku tulisan tangan Eris tersebar ke penjuru dunia. Ia tidak menyebut nama Solara secara langsung, hanya menyebutnya sebagai “Ia yang Membawa Cahaya.”

Orang-orang mulai mengenalnya sebagai legenda. Beberapa membangun kuil, sebagian menulis lagu, dan anak-anak tumbuh dengan cerita bahwa dahulu kala, dunia pernah dicairkan bukan oleh perang, bukan oleh senjata… tapi oleh cinta seorang gadis yang rela membakar dirinya sendiri agar orang lain bisa merasakan hangat kembali.

Eris sendiri tak pernah keluar dari lembah itu. Ia menjadi penjaga satu-satunya pohon matahari. Setiap pagi, ia menyapa langit. Dan setiap malam, ia menyalakan api kecil, menunggu bias cahaya yang terkadang muncul diam-diam di langit.

Hingga suatu senja, saat cahaya keemasan menyinari rumah kecilnya lebih lama dari biasanya, Eris duduk di kursi kayu sambil menggenggam sepotong kertas.

Ia menutup mata.

Dan tidak bangun lagi.


Beberapa orang menemukannya keesokan paginya. Di tangannya, ada secarik kertas lusuh yang bertuliskan:

“Aku telah hidup cukup untuk tahu… bahwa cinta yang tak bisa diselamatkan, justru yang menyelamatkan segalanya.”

Langit hari itu, untuk pertama kalinya sejak matahari kembali, memancarkan rona oranye yang lebih pekat dari biasanya.

Dan di tengah kabut tipis, dua sosok samar terlihat berdiri di bawah pohon—berpegangan tangan, tertawa dalam diam.

Solara dan Eris.

Dua jiwa yang pernah membakar dunia dengan cinta. Dan kini menjadi matahari terakhir, bukan di langit…

Tapi di mata semua yang pernah percaya, bahwa cinta tidak selalu harus dimenangkan kadang, cukup dikenang, untuk mengubah segalanya.

TAMAT.

Novel ini ditulis oleh Evi Fauzi, Penulis dari  Novel Singkat . Baca juga novel romantis dan fiksi ilmiah lainnya.

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

    Leave a Reply

    Your email address will not be published. Required fields are marked *