Novel Singkat Kamu Lagu Terakhir yang Tak Pernah Selesai
Novel Singkat Kamu Lagu Terakhir yang Tak Pernah Selesai

Novel Singkat: Kamu Lagu Terakhir yang Tak Pernah Selesai

Deno, seorang komposer muda yang tertutup sejak kehilangan tunangannya, Aira, hidup dalam bayang-bayang lagu cinta yang tak pernah selesai. Setiap kali ia mencoba menyentuh kembali melodi itu, ia dihantui oleh kenangan dan rasa bersalah yang tak kunjung reda. Hingga suatu malam, Raisa—seorang gadis misterius—datang ke rumahnya sebagai murid musik. Anehnya, Raisa memainkan lanjutan melodi yang bahkan belum pernah Deno ciptakan.

Pertemuan mereka membuka kembali luka lama, namun juga memunculkan harapan baru. Siapa sebenarnya Raisa? Apakah ia bagian dari masa lalu yang belum selesai, ataukah cinta yang dikirim semesta untuk menyembuhkan? Dalam alunan nada yang mengikat dua jiwa, Deno harus memilih: menyelesaikan lagu itu dan merelakan, atau mempertahankan seseorang yang mungkin tak pernah benar-benar ada. Sebuah kisah tentang kehilangan, keikhlasan, dan cinta yang tak pernah selesai karena ada lagu yang hanya bisa hidup… dalam keheningan.

Bab 1: Nada yang Hilang

Hujan turun deras di luar jendela, mengalun seperti irama minor yang tak selesai. Di dalam studio kecil yang remang-remang, Deno duduk terpaku di depan piano tua yang sudah lama tak ia sentuh. Jari-jarinya menggantung di udara, ragu untuk menekan tuts hitam-putih yang pernah menyimpan seluruh cintanya.

Sudah tiga tahun sejak Aira pergi. Tiga tahun sejak kecelakaan malam itu merenggut nyawa gadis yang paling ia cintai—dan juga melodi yang belum selesai. Lagu cinta mereka, yang dulu mereka ciptakan perlahan di sela tawa dan pelukan, kini terhenti di tengah-tengah. Tidak pernah ada penutup. Tidak pernah ada akhir. Hanya jeda panjang dan kesunyian yang membusuk dalam ruang musik mereka.

Setiap kali Deno mencoba menyambung melodi itu, sesuatu yang aneh terjadi. Suara Aira muncul di kepalanya, berbisik lirih. Kadang ia melihat bayangan di cermin. Aroma lavender yang biasa Aira pakai menguar begitu saja. Dan yang terparah—nada-nada yang ia mainkan berubah menjadi teriakan di dalam pikirannya.

Maka ia berhenti bermain.

Ia mengajar musik secara online, sesekali menerima proyek komposisi kecil, tapi tak pernah lagi duduk di depan piano mereka. Sampai malam itu.

Tok tok.

Pintu depan diketuk pelan. Deno melirik jam dinding—pukul 10 malam.

Ia tak menunggu siapa pun.

Dengan enggan, ia berdiri, berjalan ke pintu dengan langkah lambat. Ketika membukanya, seorang gadis berdiri di bawah payung bening, mengenakan jaket jeans yang sudah basah di ujungnya. Wajahnya muda, sekitar awal dua puluhan, dengan mata yang tampak seperti menyimpan sesuatu yang tak ingin diceritakan.

“Halo… Maaf sudah larut. Apa ini rumah Deno Atmadja?” tanyanya pelan.

Deno mengangguk pelan. “Iya. Ada apa?”

“Aku… Raisa. Aku lihat pengumuman lama tentang kursus musik. Masih bisa daftar?”

Deno ingin langsung menjawab tidak. Semua bagian dari dirinya ingin menutup pintu dan kembali pada sunyi yang sudah ia kenal. Tapi ada sesuatu dari suara gadis ini—getarannya, nada bicaranya—yang membuatnya diam.

“Kamu datang malam-malam begini hanya untuk tanya kursus?”

“Entah kenapa… aku merasa harus ke sini. Lagipula… aku cuma ingin belajar. Aku bawa lagu juga,” Raisa tersenyum kecil, mengeluarkan selembar partitur dari tas kanvasnya. Basah, tapi masih terbaca.

Deno menatap kertas itu. Matanya membesar. Irama pembuka… itu sangat mirip dengan lagu yang ia dan Aira tulis dulu.

Tapi… bagian selanjutnya tidak pernah ada.

Dan di kertas Raisa, bagian itu tertulis jelas. Nada demi nada. Tepat di tempat lagu itu selalu terhenti di kepalanya.

“Ini kamu yang buat?” tanya Deno pelan.

Raisa mengangguk, tapi tatapannya tampak bingung. “Aku… mimpi tentang melodi ini. Aku nggak tahu kenapa, tapi pas bangun, aku langsung menuliskannya.”

Deno menggenggam kertas itu erat. Hujan di luar mendadak terasa semakin keras. Dunia seperti mengecil. Jantungnya berdetak tak beraturan.

“Aku… nggak tahu kamu siapa,” katanya akhirnya. “Tapi masuklah. Kita bicara di dalam.”

Raisa mengangguk pelan dan masuk ke rumah itu. Aroma kayu dan debu menyambut mereka. Di ruang utama, piano tua menunggu—seakan sudah tahu akan dimainkan malam ini.

Deno meletakkan partitur itu di atas tuts. Raisa duduk di bangku, ragu-ragu.

“Kamu tahu cara mainnya?” tanya Deno, setengah berharap jawaban “tidak.”

Raisa mengangguk. “Aku nggak jago… tapi, melodi ini seperti sudah ada dalam tangan aku.”

Lalu jari-jarinya menekan tuts pertama.

Dan Deno merasa seluruh dunia berhenti berputar.

Melodi itu…

Itu adalah lagu mereka. Tapi juga bukan. Ada sentuhan baru, ada nyawa berbeda, dan… rasa yang sama.

Lagu itu hidup kembali. Tidak menyeramkan. Tidak menyakitkan. Tidak membuat suara Aira datang menghantui.

Malah, untuk pertama kalinya, Deno merasa damai.

Saat Raisa berhenti, seluruh tubuh Deno gemetar.

“Kamu… siapa kamu sebenarnya?”

Raisa tidak langsung menjawab. Ia hanya menatap Deno dengan mata yang nyaris berkaca-kaca.

“Aku juga nggak yakin,” bisiknya. “Tapi… aku rasa aku pernah mengenal kamu—jauh sebelum malam ini.”

Dan malam itu, untuk pertama kalinya sejak Aira pergi, Deno tahu: hidupnya tidak akan pernah sama lagi.

Bab 2: Suara yang Pernah Ada

Malam berubah sunyi. Hujan telah reda, menyisakan titik-titik air di jendela yang berkilau seperti air mata. Di dalam ruangan, Deno duduk diam, membiarkan suara Raisa bermain di benaknya. Ia bahkan tak sadar telah menatap gadis itu terlalu lama.

Raisa membereskan kertas partitur yang basah tadi, lalu tersenyum canggung. “Maaf… kalau aku terlalu lancang. Aku nggak bermaksud ganggu, Mas.”

Deno menggeleng. “Nggak… bukan begitu. Cuma… lagu tadi. Kamu yakin nggak pernah dengar sebelumnya?”

“Seratus persen yakin,” jawab Raisa. “Melodi itu muncul sendiri waktu aku bangun tidur. Rasanya kayak… bukan aku yang menciptakan.”

Kata-kata itu menusuk dada Deno. “Bukan aku yang menciptakan.”

Itu juga yang Aira pernah bilang, tepat sebelum mereka menciptakan awal lagu itu. “Seolah lagu ini sudah ada di udara, tinggal kita ambil dan turunkan ke piano,” katanya waktu itu, sambil tertawa kecil dan memeluk lengan Deno.

Raisa kini duduk di tempat yang sama Aira biasa duduki. Cara dia menunduk, cara jari-jarinya menyentuh pinggiran bangku… semua terasa seperti gema dari masa lalu.

“Ada sesuatu yang… aneh dengan lagu itu,” gumam Deno. “Setiap kali aku coba selesaikan, pasti muncul hal-hal aneh. Tapi waktu kamu mainkan… semuanya hening. Damai.”

Raisa memiringkan kepalanya. “Aneh ya? Mungkin karena aku nggak punya kenangan tentang lagu itu, jadi nggak ada rasa yang mengganggu?”

Deno menatapnya. “Atau justru karena kamu bagian dari lagu itu.”

Raisa tertawa kecil, lalu mengangkat bahu. “Kalau iya, mungkin aku adalah nada yang ketinggalan.”

Hening.

Kalimat itu terlalu pas. Terlalu puitis. Terlalu menyakitkan.

Deno berdiri dan berjalan menuju dapur. Ia membuat dua cangkir teh. Tangannya sedikit gemetar saat menuangkan air panas, tapi ia pura-pura tak peduli. Raisa menyusul beberapa menit kemudian, berdiri di ambang pintu dengan wajah penasaran.

“Kenapa berhenti bikin lagu itu?” tanya Raisa akhirnya.

Deno terdiam lama sebelum menjawab. “Karena dia pergi sebelum sempat menyelesaikannya.”

“Dia?” Raisa mengerutkan kening.

“Tunanganku. Namanya Aira.”

Suara itu keluar lirih, tapi menyayat. Deno merasa dadanya ditusuk berkali-kali hanya dengan menyebut nama itu. Masih terlalu asing untuk terdengar biasa, tapi terlalu akrab untuk diabaikan.

Raisa menggenggam cangkirnya erat. “Aku… nggak tahu harus bilang apa.”

“Nggak perlu bilang apa-apa,” potong Deno cepat. “Aku juga nggak cerita ini ke banyak orang. Tapi kamu… berbeda. Kamu bikin lagu itu hidup lagi. Aku cuma pengen tahu kenapa.”

Raisa menggigit bibirnya, seolah ingin berkata sesuatu—tapi mengurungkan niat.

Lalu ia membuka tas kanvasnya. Dari dalam, ia mengeluarkan sebuah buku tulis kecil. Kumal, sampulnya sudah mulai terkelupas. Ia membuka halaman tengah dan menunjukkannya pada Deno.

“Aku nemu ini di loteng rumah kontrakanku. Aku nggak tahu punya siapa, tapi di dalamnya… ada partitur awal lagu itu. Sama persis. Bahkan tertulis nama Deno & Aira di pojok.”

Deno meraih buku itu dengan tangan gemetar.

Benar. Tulisan tangan Aira.

Buku itu adalah jurnal musik mereka yang dulu hilang waktu pindahan. Deno pikir sudah terbakar atau tercecer entah di mana. Tapi sekarang… ada di tangan Raisa?

“Rumahmu sebelumnya milik siapa?” tanya Deno cepat.

Raisa menggeleng. “Nggak tahu. Kontrakannya tua. Tapi sejak tinggal di sana, aku sering mimpi tentang perempuan rambut panjang yang main piano. Kadang… dia duduk di sebelahku dan bilang, ‘Lanjutkan lagunya.’”

Deno nyaris tak bisa bernapas.

Itu Aira. Ia tahu itu.

Jiwanya belum tenang. Ia mencari jalan agar lagu itu bisa selesai. Lewat mimpi, lewat nada, lewat… Raisa?

“Raisa…” ucap Deno perlahan. “Mungkin ini akan terdengar gila. Tapi aku rasa kamu… dipilih Aira.”

“Untuk apa?”

“Untuk menyelesaikan lagu yang dia tinggalkan.”

Raisa menggigit bibir bawahnya. “Tapi kenapa aku? Aku bahkan nggak kenal dia.”

“Kadang yang ditinggalkan terlalu berat untuk menyelesaikan sesuatu. Jadi yang datang… dituntun untuk menuntaskannya.”

Mereka saling menatap dalam diam. Tidak ada musik, tidak ada hujan, hanya keheningan yang melarutkan waktu. Sampai akhirnya Raisa bertanya:

“Kalau aku bantu selesaikan lagu ini… apakah artinya aku harus menghapus jejak dia?”

Deno tak langsung menjawab.

Sebab jauh di dalam hatinya, ia juga belum tahu jawabannya.

Namun satu hal pasti: lagu itu belum selesai. Dan kini, ia tahu… ia tak sendiri untuk menyelesaikannya.

Bab 3: Melodi yang Tertinggal di Mimpi

Hari mulai beranjak pagi, tapi Deno belum bisa tidur. Ia duduk di ruang tamu dengan secangkir teh yang sudah dingin, menatap buku musik Aira yang kini berada di pangkuannya. Di dalamnya ada banyak coretan tangan Aira—dengan catatan kecil seperti:

“Senar ketiga terlalu sendu, coba geser ke nada G minor.”
“Kalau Deno yang main bagian ini, pasti lebih terasa hangat.”
“Lagu ini harus punya akhir yang lembut. Seperti pelukan terakhir.”

Deno menutup matanya. Mendadak ia bisa mendengar suara Aira lagi, tertawa di belakangnya, menyender di bahunya sambil memutar-mutar pensil.

Tapi yang lebih mengganggunya sekarang… adalah Raisa.

Gadis itu tidur di kamar tamu setelah Deno menawarkan tempat menginap semalam. Tapi bahkan dalam tidurnya, Raisa membawa banyak tanda tanya. Kenapa ia bisa memimpikan Aira? Kenapa ia bisa melanjutkan lagu yang bahkan Deno tak sanggup sentuh? Dan yang paling mengusik: kenapa suara Raisa kadang terdengar sangat… familiar?

Ketika matahari sudah naik, Raisa keluar dari kamar, masih mengenakan sweater kebesaran yang ia pakai semalam. Rambutnya sedikit berantakan, tapi wajahnya tampak tenang.

“Pagi…” sapanya, sedikit ragu.

“Pagi,” balas Deno, berusaha terdengar santai meski pikirannya masih kacau.

“Aku mimpi lagi,” kata Raisa sambil duduk di sebelah Deno. “Tentang perempuan yang sama.”

Deno menoleh. “Apa yang dia lakukan?”

Raisa menarik napas pelan. “Dia bilang begini: ‘Lagu ini tidak akan pernah selesai kalau kamu terus menyangkal perasaanmu.’ Lalu dia hilang. Tapi sebelum pergi, dia mengelus rambutku… seperti ibu.”

Deno tercekat.

Aira tidak punya anak. Tapi dia selalu bicara soal anak perempuan yang ingin ia beri nama Raisa. Nama itu, dulu sempat mereka sebut-sebut berkali-kali saat bercanda tentang masa depan.

Raisa…

Itu bukan kebetulan.

Deno bangkit, lalu mengambil partitur lama mereka. Ia membuka lembar pertama—dan di pojok kanan bawah, tertulis samar dengan pensil:

Untuk Raisa, jika suatu saat kamu membaca ini… berarti aku tidak berhasil kembali.

Tangannya gemetar.

Ini bukan hanya tentang kehilangan. Ini… tentang warisan perasaan. Lagu itu bukan sekadar melodi. Tapi pesan. Sebuah pesan yang disimpan oleh cinta yang tak sempat utuh, dan disampaikan melalui seseorang yang datang dari arah tak terduga.

“Raisa…” Deno menatap gadis itu. “Kamu percaya reinkarnasi?”

Raisa mengangkat bahu. “Nggak tahu. Tapi akhir-akhir ini, aku mulai percaya kalau perasaan bisa hidup lebih lama dari tubuh.”

Deno tersenyum tipis. “Itu yang juga Aira percaya.”

Hening menyelimuti mereka. Hening yang tidak menakutkan, tapi membuat dada terasa penuh. Seolah dunia sedang menahan napas, menunggu sesuatu dimulai.

“Aku ingin kamu bantu aku selesaikan lagu ini,” ucap Deno akhirnya.

Raisa menatapnya. “Kamu yakin? Bukannya kamu bilang lagu ini… menghantuimu?”

“Justru karena itu,” jawab Deno. “Aku mau menghadapinya. Kalau Aira memang ingin lagu ini selesai, dan kamu yang bisa membantuku… aku nggak mau lagi lari dari rasa sakitnya.”

Raisa mengangguk pelan. “Tapi aku bukan dia.”

“Aku tahu,” bisik Deno. “Kamu bukan Aira. Tapi kamu juga bukan orang asing.”

Raisa menunduk, lalu berkata pelan, “Kalau suatu saat aku terluka karena semua ini… kamu janji nggak akan membiarkanku sendiri?”

Deno menatapnya dalam-dalam. Untuk sesaat, mata Raisa berubah. Bukan menjadi mata Aira, bukan. Tapi ada kehangatan yang sama. Seperti gema yang menyelinap dari hati ke hati.

“Aku janji,” katanya.

Dan mereka pun duduk bersama di depan piano, membuka kembali partitur itu. Jari-jari mereka mulai bergerak, pelan. Tidak sempurna, tidak indah. Tapi jujur.

Melodi yang tertinggal di mimpi kini mulai tumbuh nyata. Dan dari situ, cerita mereka yang baru atau lama akhirnya dimulai kembali.

Bab 4: Bayangan dalam Nada

Hari-hari berikutnya berubah menjadi semacam simfoni antara dua orang yang saling tidak mengerti, namun dipersatukan oleh satu lagu yang belum selesai. Deno dan Raisa menghabiskan waktu di studio kecil itu, bermain tuts demi tuts, mencari nada yang hilang, dan menebak perasaan yang tertinggal di antara jeda-jeda musik.

Kadang mereka bertengkar kecil karena perbedaan tempo. Kadang mereka tertawa karena salah menekan akor. Tapi setiap kali melodi itu mengalun… waktu seolah melambat. Dan dunia luar menghilang.

“Menurutmu bagian reff-nya harus diulang atau langsung masuk ke bridge?” tanya Raisa suatu sore, duduk bersila di atas lantai sambil memandangi partitur.

“Kalau Aira yang jawab,” gumam Deno, “dia pasti bilang, ‘Ulang. Karena kenangan manis layak diingat lebih dari sekali.’”

Raisa terdiam. Matanya menatap kosong ke arah piano. “Kamu masih sering dengar suara dia?”

Deno mengangguk pelan. “Setiap malam. Kadang dia nyanyi di mimpiku. Kadang cuma diam, duduk di pojok ruangan. Tapi entah kenapa, sejak kamu datang, suaranya mulai berubah. Bukan jadi lebih pelan… tapi jadi lebih pasrah.”

“Pasrah?” ulang Raisa pelan.

“Seperti seseorang yang tahu waktunya akan habis.”

Hening menelan percakapan mereka. Angin dari jendela terbuka mengibaskan lembaran musik, dan mata Raisa terpaku pada satu halaman yang terlepas dan jatuh ke lantai.

Ia mengambilnya.

Di halaman itu, tertulis potongan lirik—tulisan tangan Aira, tapi goresannya tampak tergesa-gesa.

“Jika melodi ini tak bisa kujadikan rumah, biarlah ia jadi jalan pulang…”

Raisa membaca pelan, lalu membisikkannya seperti doa.

“Deno…” katanya tiba-tiba. “Malam sebelum aku datang ke rumah ini, aku juga mimpi aneh.”

Deno mengangkat kepala. “Apa yang kamu lihat?”

“Aku ada di panggung konser. Tapi nggak ada penonton. Hanya satu kursi kosong di baris paling depan. Di situ duduk seorang perempuan bergaun putih, dan dia nangis. Tapi… waktu aku turun dari panggung untuk mendekatinya, wajahnya berubah.”

“Menjadi siapa?”

Raisa menatap Deno, seolah tak yakin ingin menjawab. Tapi akhirnya, dengan suara sangat pelan, ia berkata, “Menjadi aku.”

Deno membeku.

Gema dari nada-nada masa lalu makin menguat. Rasanya seperti benang tak terlihat sedang menjahitkan dua jiwa—yang entah saling melengkapi, atau saling menggantikan.

“Raisa, kamu sadar nggak…” ucap Deno pelan, “setiap kali kamu mainkan lagu ini, kamu seperti orang lain?”

Raisa diam. Tapi hatinya tahu. Ia pun sering merasa aneh. Seolah ada tangan lain dalam tubuhnya, membimbing, menuntun. Kadang ia menangis tanpa tahu alasannya. Kadang ia merasa sedang mengucapkan selamat tinggal pada sesuatu yang tak pernah ia miliki.

“Aku merasa kayak bayangan,” katanya jujur. “Bayangan dari seseorang yang belum benar-benar selesai hidupnya.”

Mereka duduk lama tanpa kata. Di kejauhan, matahari mulai tenggelam, mengubah langit menjadi jingga murung. Deno menyalakan lampu kecil di dekat piano. Ia mengambil gitar dan mulai memetik nada-nada pelan.

“Dulu Aira suka lagu ini,” katanya sambil memetik. “Tiap malam, dia minta aku mainin sebelum tidur. Lagu kecil… tentang rindu yang tak pernah usai.”

Raisa mendengarkan dalam diam. Tapi saat nada itu mencapai bagian tengah, tubuhnya bergetar.

Tiba-tiba, ia menutup telinganya. “Berhenti… tolong berhenti…”

Deno langsung berhenti bermain. “Raisa?!”

Gadis itu terisak, wajahnya pucat. “Lagu itu… suara itu… dia bilang aku harus pergi…”

Deno meraih bahunya. “Siapa?!”

Raisa menatapnya. Matanya kosong.

“Aira… Dia bilang… jika lagu ini selesai… aku akan lenyap.”

Deno merasa darahnya berhenti mengalir.

Di saat mereka berusaha menyembuhkan luka bersama, ternyata ada pilihan yang lebih pahit di ujung lagu itu. Sebab mungkin, Raisa bukan hanya pembawa melodi… tapi sisa dari jiwa yang belum sempat berpamitan.

Dan jika lagu ini benar-benar selesai…

Maka Raisa pun mungkin harus menghilang.

Bab 5: Lagu yang Membelah Jiwa

Hujan kembali turun malam itu. Tidak deras, tapi cukup untuk membuat suara di luar jendela terdengar seperti bisikan-bisikan samar. Deno duduk sendirian di depan piano. Tangannya menggantung di udara, tidak menyentuh tuts. Tapi pikirannya sibuk. Terlalu sibuk.

Raisa tertidur di kamar tamu setelah kejadian tadi sore. Tangisnya belum sempat reda saat akhirnya kelelahan mengalahkannya. Namun sebelum tertidur, ia sempat berkata:

“Kalau lagu ini selesai, aku mungkin nggak akan ada lagi.”
“Tapi kalau nggak selesai… kamu akan terus dihantui oleh Aira.”

Pilihan yang terdengar seperti dua sisi pedang. Tak ada yang menang. Tak ada yang benar-benar hidup.

Deno menatap buku musik yang terbuka di depannya. Semua nada sudah hampir lengkap. Hanya tinggal satu bagian terakhir. Bagian yang dulu Aira bilang harus terasa “seperti pelukan yang mengizinkan pergi.”

Tapi bagaimana jika menyelesaikannya berarti… mengucapkan selamat tinggal sekali lagi?

Ia menutup mata. Dan seperti malam-malam sebelumnya, suara Aira datang. Namun kali ini, tidak lirih. Tidak marah. Hanya… lembut.

“Kamu nggak bisa menahannya selamanya, Den…”

“Cinta yang sejati bukan yang mengikat, tapi yang merelakan.”

Suara itu terasa begitu nyata. Deno menoleh, setengah berharap Aira akan berdiri di sudut ruangan seperti dulu. Tapi yang ada hanya pantulan dirinya sendiri di kaca.

Pagi menjelang. Raisa belum keluar kamar. Deno berdiri di depan pintunya, ragu mengetuk.

“Raisa?”

Tak ada jawaban.

Ia buka perlahan. Gadis itu masih di atas tempat tidur, memeluk bantal, wajahnya pucat. Tapi matanya terbuka. Menatap langit-langit.

“Aku mimpi lagi,” bisiknya tanpa menoleh. “Kali ini… aku lihat Aira berdiri di ujung panggung. Di tangannya ada partitur yang sudah lengkap. Dia bilang… waktunya sudah habis.”

Deno menahan napas. “Dan kamu?”

“Aku berdiri di tengah panggung. Lampu menyala ke arahku. Tapi… bayanganku nggak muncul di lantai.”

Raisa menoleh perlahan ke arahnya, matanya berkaca-kaca.

“Deno… aku rasa aku bukan orang yang nyata.”

“Jangan bilang begitu…”

“Aku cuma… gema dari Aira. Mungkin bagian jiwanya yang tertinggal. Mungkin sesuatu yang diciptakan oleh keinginanmu untuk memperbaiki yang tak sempat diperbaiki. Tapi aku bukan aku. Aku ini… lagu yang belum selesai.”

Deno mendekat. “Lalu kenapa kamu bisa punya ingatan sendiri? Tertawa? Marah? Menangis?”

“Karena lagu itu punya perasaan. Dan aku… hidup dari situ.”

Deno tak bisa menahan air matanya. “Kalau begitu, jangan biarkan lagu ini selesai.”

Tapi Raisa menggeleng, tersenyum lirih. “Kalau nggak selesai, kamu nggak akan bisa sembuh. Dan Aira akan terus mengikatmu di tempat ini.”

Ia bangkit dari tempat tidur dan menatap Deno dalam-dalam.

“Kalau kamu benar-benar mencintaiku, Den… selesaikan lagu ini. Biar aku pergi. Biar kamu bisa hidup lagi.”

Deno menggenggam tangannya erat. “Tapi bagaimana kalau aku mencintaimu… bukan karena kamu seperti Aira… tapi karena kamu adalah kamu?”

Raisa terdiam.

Air mata mengalir, namun senyumnya tetap muncul.

“Kalau begitu… biarkan aku jadi lagu terakhirmu. Yang tak pernah selesai… tapi tetap kamu ingat.”

Deno memeluknya. Pelan. Lama.

Kemudian mereka duduk di depan piano.

Tangannya dan tangan Raisa menyatu di atas tuts. Lagu itu mengalun. Bagian demi bagian. Tidak ada yang ditahan. Tidak ada yang disembunyikan.

Ketika mereka mencapai bagian terakhir, Raisa menatap Deno sekali lagi.

“Terima kasih… karena mau menyelesaikan lagu ini bersamaku.”

Lalu ia memainkan nada terakhir.

Sebuah harmoni lembut, yang tak hanya menutup lagu itu… tapi juga membuka ruang di dalam dada Deno yang selama ini kosong.

Saat nada terakhir berhenti, cahaya matahari pagi masuk lewat jendela.

Dan Raisa… perlahan memudar di sisinya.

Yang tersisa hanya aroma lavender samar.

Dan satu kalimat yang terukir di partitur:

“Kini lagu ini tak lagi memanggil yang telah pergi… tapi merelakan yang tinggal.”

Bab 6: Keheningan Setelah Lagu

Studio itu sunyi.

Tak ada denting piano. Tak ada suara canda. Tak ada jejak kaki kecil Raisa yang biasa melangkah ringan di lantai kayu.

Hanya Deno, duduk di depan piano dengan mata kosong, menatap lembar partitur yang kini lengkap. Lagu itu… telah selesai. Tapi justru di sanalah luka baru mulai terasa.

Karena Raisa sudah tiada.

Bukan “meninggal”, bukan “pergi”—kata itu tak cukup menjelaskan apa yang terjadi. Raisa menghilang. Seperti kabut. Seperti nada yang selesai dimainkan, dan lenyap sebelum bisa digenggam.

Setiap pagi, Deno terbangun dengan harapan ia akan kembali. Bahwa semua itu hanya mimpi buruk, dan Raisa akan duduk di lantai, bersandar di dinding, sambil bertanya, “Masak teh lagi ya, Den?”

Tapi ia tak pernah kembali.

Dan yang membuatnya semakin menyakitkan… adalah bahwa Deno juga tak bisa menangis.

Karena bagaimana bisa seseorang menangisi kehilangan… dari seseorang yang tak pernah benar-benar hidup?

Hari-hari berlalu.

Deno mencoba kembali ke hidupnya. Ia buka kembali kelas musik. Ia membalas email klien. Ia bahkan sempat tampil di sebuah acara kecil, memainkan lagu itu untuk pertama kalinya di depan publik. Lagu yang diberi judul:

“Lagu Terakhir untuk Yang Tak Pernah Selesai.”

Saat ia memainkan nada pembuka, seluruh ruangan terdiam. Dan ketika ia sampai di bagian tengah—bagian yang dulunya hanya bisa dimainkan oleh Raisa—jari-jarinya gemetar, tapi ia terus lanjut. Ia memainkan seluruhnya. Tanpa kesalahan. Tanpa jeda.

Namun saat nada terakhir terdengar, bukan tepuk tangan yang ia cari. Ia hanya menoleh ke sisi panggung, berharap… Raisa berdiri di sana.

Tapi tak ada siapa-siapa.


Suatu malam, Deno bermimpi.

Ia berdiri di tepi danau. Langit malam penuh bintang. Di depannya ada bangku kosong. Dan Raisa duduk di sana, tersenyum padanya.

“Kamu datang,” katanya.

“Selalu,” jawab Deno.

Raisa memandang langit. “Lagu kita sudah selesai.”

Deno menunduk. “Tapi hatiku belum.”

Raisa menoleh, matanya penuh damai. “Kadang hati memang butuh waktu lebih lama dari lagu.”

Ia berdiri. Mendekat. “Tapi kamu sudah bertahan sejauh ini, Den. Kamu kuat.”

Deno memejamkan mata. “Aku kangen kamu.”

Raisa mengangguk, lalu meletakkan tangan di dadanya. “Aku ada di sini. Dalam nada. Dalam senyap. Dalam segala yang tak kamu ucapkan.”

Deno membuka mata.

Ia terbangun di studio. Jari-jarinya masih di atas tuts, seperti biasa. Tapi kini, tak ada rasa takut. Tak ada suara hantu. Tak ada bayangan.

Hanya keheningan.

Dan di keheningan itulah, Deno akhirnya paham.

Bahwa cinta sejati tidak selalu dimiliki. Tapi selalu diingat.

Dan Raisa—entah siapa pun dia sebenarnya akan terus hidup di dalam lagu itu. Dalam setiap nada yang ia ajarkan. Dalam keheningan yang menyusul setelah nada terakhir berhenti.

Bab 7: Suara yang Tinggal di Keheningan

Langit sore itu pucat. Seperti kertas kosong yang tak tahu ingin ditulis apa. Deno duduk di kursi taman dekat danau, tempat ia dan Aira dulu sering berbagi mimpi. Kini tempat itu terasa asing, tapi sekaligus akrab. Angin membawa aroma dedaunan basah, dan suara anak-anak kecil yang bermain tak jauh darinya. Tapi semua itu… hanya latar belakang dari kesunyian dalam dadanya.

Sudah tiga minggu sejak Raisa menghilang.

Sudah tiga minggu sejak lagu itu selesai.

Tapi luka tidak ikut selesai.

Deno kini tahu: menyelesaikan lagu bukan berarti menyelesaikan rasa. Karena ada cinta yang tidak bisa ditutup seperti halaman terakhir sebuah buku. Cinta seperti itu akan terus menggema—dalam sunyi, dalam tidur, dalam jeda antara detak jantung dan napas.

Sejak malam mimpi di danau itu, Deno mulai menulis lagi. Bukan lagu, tapi catatan. Ia menulis tentang Raisa. Tentang tatapannya. Tentang senyumnya yang selalu seolah tahu sesuatu. Tentang bagaimana gadis itu datang dari mimpi dan pergi tanpa suara.

Kadang ia bertanya-tanya, apakah semua itu hanya halusinasi? Apakah ia benar-benar pernah mengenal Raisa?

Tapi kemudian ia melihat partitur lengkap di atas piano. Tangannya sendiri tak pernah sanggup menuliskannya. Raisa-lah yang membantunya melengkapi itu. Dan di pojok kertas, di sudut yang tidak pernah ia isi, ada tulisan tangan kecil:

“Terima kasih karena mempercayaiku, meski aku hanya sepotong lagu yang belum selesai.”

Tulisan itu… bukan miliknya.

Dan saat ia menyentuhnya, masih ada bekas aroma lavender yang tipis. Sama seperti yang dulu selalu menyelimuti Raisa.


Sore itu, ia kembali ke studio. Tak ada niat khusus, hanya dorongan hati. Piano tua itu menunggu seperti biasa, setia di tempatnya.

Deno membuka tutup tuts dan mulai bermain.

Bukan lagu lama. Bukan melodi kenangan.

Tapi sesuatu yang baru.

Sesuatu yang lahir dari keheningan.

Sesuatu yang tidak ia pikirkan… hanya ia rasakan.

Dan nada itu… terdengar seperti suara Raisa yang menyanyi, tanpa kata-kata. Sebuah nyanyian diam, tapi penuh makna.

Ia menutup mata dan membiarkan musik mengalir.

Di balik pelupuk matanya, ia bisa melihat Raisa lagi—berdiri di ujung ruangan, tidak lagi samar. Ia tersenyum, menunduk sedikit, lalu memutar tubuhnya pelan dan berjalan pergi. Tidak seperti sebelumnya. Kali ini tidak dengan kesedihan. Tapi dengan damai.

Ketika nada terakhir berhenti, Deno membuka mata.

Studio kosong.

Tapi hatinya tidak.

Ada ruang baru yang tercipta di sana.

Ruang untuk menerima bahwa tidak semua cinta harus memiliki bentuk.

Ruang untuk merelakan, tanpa melupakan.

Ruang untuk suara yang hanya bisa hidup… dalam keheningan.


Di hari itu, Deno memberi nama pada melodi barunya:

“Raisa.”

Sebuah lagu yang tidak datang dari imajinasi.

Tapi dari hati yang pernah kehilangan.

Dan dari cinta yang meski tak utuh… telah membuatnya utuh kembali.

Bab 8: Surat dari Nada yang Lalu

Hari itu, Deno berkunjung ke rumah lama Aira untuk pertama kalinya sejak kecelakaan tiga tahun lalu. Rumah itu sekarang kosong—keluarga Aira pindah ke luar kota dan menitipkan kunci terakhir padanya. Rumah itu seperti lagu lama yang berhenti di tengah refrain: masih utuh, tapi tak lagi bernyawa.

Ia masuk perlahan, langkah-langkahnya menggema di lantai kayu. Di ruang tamu, debu menyelimuti furnitur. Foto Aira masih tergantung di dinding—tersenyum cerah dengan mata yang dulu ia hapal luar kepala. Tapi senyum itu kini terasa jauh, seperti nada yang bergema di ruang kosong.

Tujuannya hanya satu: mencari barang-barang kenangan yang mungkin belum sempat ia ambil. Tapi yang ia temukan justru jauh lebih dari itu.

Di dalam lemari piano yang dulu sering dimainkan Aira, Deno menemukan sebuah kotak kayu kecil. Terkunci. Tapi di sampingnya, ada amplop tua yang tertulis tangan:
“Untuk Deno, jika suatu saat kamu merasa semua sudah selesai.”

Tangan Deno gemetar saat membuka surat itu. Tulisan Aira. Tidak diragukan lagi.

“Den…
Kalau kamu membaca ini, mungkin aku sudah nggak di dunia ini. Maaf, surat ini bukan ramalan atau pesan sedih. Ini hanya… semacam pelindung untuk hatimu yang paling rentan.”

“Aku tahu kamu keras kepala. Kalau lagu itu belum selesai, pasti kamu akan terus mencoba, menyiksa dirimu sendiri sampai akhir. Tapi ingat ini: lagu itu bukan tentang kesempurnaan. Lagu itu tentang keberanian untuk tetap mencintai, bahkan saat kamu tahu waktu tidak akan menunggu.”

“Aku juga tahu kamu akan menemukan seseorang. Entah siapa. Tapi dia akan membuat kamu ingat cara bernapas lagi. Dan kalau kamu merasa lagu itu hidup kembali karena dia… maka tolong jangan lepaskan dia, meski dia datang dengan tanda tanya.”

“Karena aku percaya… cinta yang tulus selalu menemukan cara untuk kembali. Entah lewat lagu. Entah lewat mimpi. Entah lewat gadis yang tidak tahu siapa dirinya.”

“Dan jika dia membaca ini suatu hari nanti:
‘Terima kasih karena sudah meneruskan melodi yang tak sempat kutamatkan.’”

Air mata Deno menetes perlahan, jatuh ke atas kertas yang sudah menguning. Ia membuka kotak kayu itu. Di dalamnya: rekaman kaset lama dan sehelai syal kecil berwarna biru muda—syal yang dulu Aira kenakan saat pertama kali mereka menciptakan melodi cinta mereka.

Tapi yang membuat jantungnya berhenti berdetak sejenak… adalah benda kecil di bawahnya.

Sebuah liontin.

Liontin dengan ukiran nama: “Raisa.”

Deno terdiam lama.

Jantungnya berdebar pelan tapi kuat. Perlahan, semua kepingan terasa mulai menyatu. Raisa bukan sekadar mimpi. Ia bukan ilusi. Ia adalah bagian dari cerita Aira—entah sebagai sisa, atau sebagai jembatan. Tapi yang jelas… ia nyata. Setidaknya dalam lagu. Dalam surat. Dalam liontin yang sekarang ada di tangan Deno.

Ia keluar dari rumah itu dengan hati penuh luka, tapi juga penuh cahaya.

Untuk pertama kalinya, ia merasa Aira dan Raisa bukan dua sosok yang harus ia pilih—melainkan dua bagian dari satu cinta yang memberinya makna.

Dan meskipun salah satu telah pergi…

Yang satu lagi pernah datang untuk mengajarinya cara melepaskan.

Bab 9: Lagu yang Menemukan Jalannya Pulang

Konser malam itu tidak besar. Hanya ruangan hangat berisi sekitar seratus orang, dengan cahaya lembut dan panggung sederhana. Tapi bagi Deno, panggung itu terasa seperti dunia.

Ia berdiri di depan grand piano berwarna putih, mengenakan kemeja hitam polos, tanpa ornamen, tanpa dekorasi berlebihan. Ia menatap barisan penonton dengan senyap, lalu mengangguk ke arah pembawa acara yang memperkenalkan penampilannya:

“Deno Atmadja akan membawakan lagu barunya—lagu yang konon datang dari tempat yang tak pernah selesai. Sebuah lagu… yang tidak ditulis sendirian.”

Tepuk tangan meredam ruangan. Tapi bagi Deno, semuanya terdengar jauh.

Ia menarik napas panjang.

Di hadapannya ada lembaran partitur berjudul:
“Raisa.”

Ia letakkan liontin dengan ukiran nama yang sama di atas piano. Liontin yang Aira simpan, entah sejak kapan. Mungkin sejak lama. Mungkin sejak ia tahu waktu mereka terbatas. Mungkin sejak cinta itu memilih cara sendiri untuk hidup lebih lama.

Deno mulai memainkan nada pembuka. Lembut. Hati-hati. Seolah takut menyentuh luka lama.

Lalu bagian pertama mengalun—nada-nada kenangan. Tentang Aira. Tentang luka. Tentang kehilangan yang membekas seperti goresan di kulit jiwa.

Penonton terdiam. Beberapa memejamkan mata. Ada sesuatu dari lagu itu yang terasa lebih dalam dari musik biasa. Sesuatu yang menyentuh bagian terdalam dari diri manusia.

Lalu bagian tengah tiba.

Bagian yang dulu hanya Raisa yang bisa mainkan.

Jari Deno sedikit gemetar. Tapi ia percaya. Ia sudah berlatih. Ia sudah merasa cukup siap. Namun saat not pertama bagian itu keluar—nada tinggi yang seharusnya lembut…

…tiba-tiba terdengar dari arah penonton.

Bukan dari piano.

Tapi dari suara seseorang yang bernyanyi pelan, nyaris seperti bisikan.

Suara yang… ia kenal.

Deno berhenti bermain.

Ia menoleh.

Seorang gadis berdiri di belakang ruangan. Rambutnya panjang, matanya besar dan penuh air mata. Ia mengenakan gaun putih sederhana. Tapi bukan itu yang membuat jantung Deno nyaris berhenti berdetak.

Melainkan suara itu. Dan wajah itu.

“Raisa?” bisik Deno.

Gadis itu melangkah perlahan, melewati deretan kursi yang terdiam. Semua mata kini memandangnya. Tapi dia hanya menatap Deno. Hanya berjalan ke arah satu orang.

Saat ia sampai di sisi panggung, Deno masih tak bisa bicara. Ia ingin menyentuh, ingin memastikan gadis itu nyata. Tapi Raisa lebih dulu berkata:

“Lagu ini belum benar-benar selesai. Karena kamu belum tahu akhirnya.”

Air mata Deno jatuh tanpa bisa ditahan.

“Aku pikir kamu…”

“Aku juga pikir aku nggak akan kembali,” ucap Raisa pelan. “Tapi aku salah. Karena kamu belum menyerah. Karena kamu percaya padaku, bahkan saat aku cuma bayangan.”

Raisa duduk di bangku sebelah Deno.

Tanpa banyak kata.

Tanpa banyak penjelasan.

Mereka mulai bermain bersama.

Dan untuk pertama kalinya, lagu itu tidak hanya mengalun—ia bernapas.

Di bagian akhir, suara Raisa menyanyikan lirik yang dulu tertulis samar dalam buku Aira:

“Jika aku harus pergi, biar laguku tetap tinggal…
Sebagai rumah, sebagai pelukan, sebagai jalan pulang.”

Penonton berdiri. Bukan karena penampilan itu sempurna. Tapi karena mereka tahu—mereka sedang menyaksikan sesuatu yang datang bukan hanya dari teknik, tapi dari jiwa.

Dan saat nada terakhir dimainkan, Raisa menoleh pada Deno, lalu tersenyum tipis.

“Terima kasih karena tidak pernah benar-benar mengakhiri lagu ini.”

Deno memegang tangannya erat.

“Aku nggak bisa,” jawabnya pelan. “Karena lagu ini… adalah kamu.”

Bab 10: Cinta yang Tak Pernah Selesai

Dua bulan setelah konser malam itu, hidup Deno perlahan berubah.

Bukan menjadi sempurna. Luka tetap ada. Tapi kini ia hidup berdampingan dengan kenangan—tanpa takut, tanpa rasa bersalah.

Studio musiknya kembali ramai. Bukan hanya dengan murid-murid baru, tapi juga dengan suara piano yang tak pernah lagi ia hindari. Musik bukan lagi beban yang mengingatkan pada kehilangan, tapi menjadi jembatan untuk menerima. Lagu “Raisa” kini sering diminta orang untuk dimainkan. Banyak yang bilang, melodi itu membuat dada mereka sesak tapi hangat.

Raisa masih bersamanya.

Ia tinggal di rumah kecil yang sama. Tidak setiap malam tidur di ruangan yang sama, tapi mereka sering duduk bersebelahan di depan piano yang telah menyatukan mereka. Tidak banyak yang Deno tanyakan soal bagaimana Raisa bisa kembali. Dunia tidak selalu perlu penjelasan logis. Ada hal-hal yang hanya bisa diterima oleh hati.

Dan Deno… telah memilih untuk percaya.

Suatu malam, saat hujan turun rintik-rintik di luar, mereka duduk berdua dengan teh hangat dan selembar partitur kosong di antara mereka.

“Kita mau bikin lagu baru?” tanya Raisa sambil tersenyum kecil.

“Bukan lagu cinta yang menyakitkan lagi, ya?” canda Deno.

“Gimana kalau kita bikin lagu tentang melangkah?” Raisa mengusap jemarinya di atas kertas. “Tentang orang-orang yang pernah jatuh… tapi akhirnya bangkit. Tentang mereka yang pernah kehilangan… tapi tetap memilih mencintai.”

Deno menatapnya lama. “Kamu tahu… kadang aku masih takut.”

“Takut apa?”

“Takut bangun suatu hari dan kamu… nggak ada.”

Raisa menggenggam tangannya. Hangat. Nyata.

“Kamu nggak akan kehilangan aku lagi,” bisiknya. “Karena aku di sini bukan untuk menggantikan siapa pun. Aku datang untuk menyembuhkan.”

Deno memejamkan mata. Dan di keheningan itu, ia mendengar denting pelan… suara Aira. Bukan sebagai bayangan. Tapi sebagai restu. Sebagai ucapan terima kasih.


Hari-hari pun terus bergulir. Lagu baru mereka selesai dalam waktu beberapa minggu. Mereka menamai lagu itu:

“Rumah Setelah Rindu.”

Dan lagu itu… menjadi pembuka hidup baru bagi mereka berdua.

Kini, Deno tidak lagi terjebak di masa lalu. Ia menyimpannya baik-baik dalam lagu-lagu, dalam senyuman, dalam liontin kecil yang tergantung di atas piano. Dan Raisa? Ia tak lagi merasa hanya sebagai gema. Ia tahu dirinya hidup. Dan kehadirannya bukan kebetulan.

Karena cinta sejati tidak pernah benar-benar selesai.

Ia hanya mencari bentuk baru… agar bisa bertahan lebih lama.


“Kamu adalah lagu terakhir yang tak pernah selesai—bukan karena tak bisa, tapi karena aku ingin mendengarmu… selamanya.”

TAMAT.

Novel ini ditulis oleh Evi Fauzi, Penulis dari  Novel Singkat . Baca juga novel romantis, petualangan dan fiksi ilmiah lainnya.

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

    Leave a Reply

    Your email address will not be published. Required fields are marked *