Keira adalah seorang psikiater muda di kota kecil yang dikenal tenang, namun menyimpan misteri di balik kabut paginya. Ia terbiasa menangani pasien dengan luka batin, tapi tidak pernah menyangka akan menjadi pasien dari ingatannya sendiri.
Semuanya dimulai ketika ia menemukan catatan terapi misterius milik seorang pria bernama Adra Malik nama yang terasa sangat familiar, tapi tak pernah ia ingat sepenuhnya. Semakin Keira membaca, semakin jantungnya bergetar oleh perasaan yang tak bernama. Ia mulai mengalami mimpi-mimpi aneh, bayangan wajah samar, dan rasa kehilangan yang begitu nyata.
Di sisi lain, Adra adalah penulis puisi yang telah lama hidup dalam kehampaan, dihantui oleh ingatan tentang seorang wanita yang wajahnya tak bisa ia ingat, tapi hatinya tak pernah bisa ia lepaskan. Ketika mereka kembali bertemu, tidak ada pelukan penuh kehangatan hanya dua orang asing yang tahu, mereka pernah saling mencintai.
Namun kota ini bukan tempat biasa. Di tempat ini, cinta yang terlalu dalam bisa membuatmu dilupakan. Nama, wajah, bahkan eksistensi bisa hilang jika dianggap sebagai luka yang terlalu dalam untuk dikenang.
Bab 1: Kota yang Menghapus Nama
Angin pagi menyapu jendela ruang praktik Keira, membawa aroma tanah basah dan daun jatuh dari taman di seberang. Kota kecil ini selalu dingin saat pagi, seperti menolak kehangatan sejak awal hari. Tapi Keira sudah terbiasa. Sudah tiga tahun ia tinggal di sini—merawat jiwa-jiwa yang rapuh, mendengar luka yang tak bisa sembuh hanya dengan waktu.
Hari itu, seperti biasa, ia datang lebih pagi. Ada tumpukan berkas dari pasien lama yang perlu dipilah, dimasukkan ke arsip digital, lalu disimpan ke rak tertutup di gudang bawah.
Saat membuka lemari kayu tua di sudut ruangannya, Keira menarik keluar satu boks berdebu bertuliskan “Klien Tidak Aktif – 2 Tahun Lalu”. Di dalamnya, berkas-berkas ditumpuk sembarangan, seperti tak pernah benar-benar disentuh.
Ia mengambil satu folder berwarna hitam. Tidak ada nama jelas di depannya, hanya inisial: “A.M.”. Ia membuka perlahan, menemukan beberapa catatan tangan yang familiar.
Tulisan itu… mirip sekali dengan miliknya.
Bukan cuma mirip—itu adalah tulisannya. Tapi ia tidak ingat pernah menulisnya. Dan yang lebih aneh, catatan itu seolah ditulis untuk orang yang sangat ia kenal.
“Nama pasien: Adra Malik. Usia 28 tahun. Gejala awal: kehilangan orientasi emosional, mimpi berulang tentang ‘dunia yang bukan miliknya’.”
Keira menelan ludah. Nama itu. Ada sesuatu yang mengguncang pelan di dalam dadanya.
Ia terus membaca. Setiap paragraf terasa seperti percakapan intim. Seperti dia pernah mendengar suara lelaki ini. Bahkan… seperti dia pernah mencintainya.
Tapi tidak ada foto. Tidak ada sesi rekaman suara. Hanya kata-kata di atas kertas.
“Adra sering bercerita tentang seorang wanita yang perlahan melupakannya. Ia bilang, cinta mereka terlalu kuat untuk dunia yang lemah.”
Keira mengusap wajahnya. Rasanya absurd. Tapi dada kirinya berdenyut pelan, seperti mencoba memberitahu sesuatu yang otaknya tolak mentah-mentah.
Ia menutup folder itu dan memandang ke luar jendela. Ada kabut tipis menutupi jalanan kota, membuat segalanya terlihat samar. Sama seperti perasaannya saat ini.
Ia mencoba mengingat: apakah pernah punya pasien bernama Adra?
Tidak. Setidaknya tidak dalam ingatannya. Tapi mengapa tulisannya begitu penuh emosi?
Keira mengangkat ponselnya, membuka kontak. Tak ada nama Adra di sana. Ia mencari di email, kalender, bahkan dokumen digital klien. Tidak ada. Seolah Adra hanya eksis di atas kertas itu. Tapi itu mustahil, bukan?
Hari terus berjalan, tapi pikiran Keira tak bisa lepas dari nama itu. Ia bahkan lupa makan siang, hanya duduk memandangi catatan terapi yang entah dari mana datangnya.
Sore harinya, saat praktik hampir tutup, seorang pasien remaja bernama Ayla datang untuk sesi rutin. Tapi Keira tak sepenuhnya fokus. Pandangannya kosong, pikirannya melayang ke folder di meja.
Setelah Ayla pergi, Keira mengunci ruang praktik dan membawa pulang catatan itu. Di apartemen kecilnya, ia membacanya lagi. Dan lagi. Sampai larut malam.
Ada satu bagian yang membuat hatinya seperti dihantam sesuatu.
“Terapi hari ke-6. Adra menangis. Ia bilang, ‘Jika aku lupa dia, maka siapa yang akan ingat kami?’”
Keira merasa tenggorokannya tercekat.
Siapa kami?
Mengapa membaca ini membuatnya ingin menangis padahal ia bahkan tak tahu siapa Adra?
Ia mengambil kertas kosong dan menulis:
“Kenapa rasanya aku pernah memelukmu?”
Tulisan itu seperti keluar tanpa ia sadari. Tangan dan hatinya berjalan lebih dulu daripada logika.
Ia duduk lama, memandangi kertas itu, lalu memejamkan mata. Dan saat itulah, ia melihat sekelebat bayangan seorang pria. Wajahnya samar. Tapi matanya… seakan menatap langsung ke dalam jiwanya.
“Keira.”
Namanya dipanggil. Lembut, tapi jelas. Di dalam pikirannya.
Ia terbangun dari lamunan dengan jantung berdebar cepat.
Itu cuma ilusi, kan?
Tapi ketika ia kembali melihat catatan itu, di halaman terakhir yang belum ia buka, ada tulisan yang mengguncangnya.
“Kalau suatu hari kamu menemukan ini, berarti aku sudah menghilang dari dunia kamu. Tapi jangan takut. Aku tidak pernah benar-benar pergi.”
Tinta tulisan itu tampak lebih baru. Tidak pudar seperti catatan lainnya.
Keira menggigit bibirnya, mencoba menahan gemetar.
Siapa sebenarnya Adra?
Dan yang paling menakutkan adalah pertanyaan itu sendiri:
Kalau Adra begitu familiar, mengapa ia tidak mengingatnya sama sekali?
Bab 2: Catatan yang Tak Pernah Ditulis
Keira bangun dengan mata berat dan kepala yang masih dipenuhi tanya. Semalaman ia tak bisa tidur, hanya bolak-balik di tempat tidur, menatap langit-langit, lalu kembali membaca catatan Adra yang entah kenapa begitu familiar.
Pagi itu ia tidak langsung ke klinik. Ia membuat secangkir kopi, duduk di balkon sempit apartemennya, dan membuka halaman terakhir catatan terapi itu lagi. Tulisan tangan di sana masih terlihat baru, seolah seseorang baru saja menuliskannya semalam.
“Kalau suatu hari kamu menemukan ini, berarti aku sudah menghilang dari dunia kamu. Tapi jangan takut. Aku tidak pernah benar-benar pergi.”
Keira mendekap catatan itu di dada. Ada rasa kehilangan yang aneh, seperti kehilangan sesuatu yang bahkan belum pernah dimilikinya. Perasaan itu asing, tapi juga hangat. Ia mencoba mengingat—apa mungkin Adra adalah mantan kekasih? Tapi tidak ada jejak di ponselnya, email, atau album foto masa lalu. Semuanya bersih. Terlalu bersih.
Dan itu justru yang membuatnya semakin curiga.
Ia akhirnya memutuskan kembali ke klinik. Bukan untuk menerima pasien, tapi untuk satu hal: mencari jejak Adra.
Keira membuka laptopnya, mengetik nama “Adra Malik” di sistem pencatatan pasien. Hasilnya nihil. Ia mencoba ejaan lain: Adhra, Hadra, bahkan inisial A.M. Tak ada. Tapi catatan fisik itu nyata. Tulisan tangannya juga tak bisa dibantah.
Karena frustasi, ia mengambil semua catatan fisik di rak belakang dan membandingkan tulisan tangannya dari sesi terapi sebelumnya. Gaya menulis, lengkungan huruf, cara ia mencoret… semuanya sama. Artinya, memang dia yang menulis. Tapi kapan?
Ia membuka laci bawah meja kerjanya, tempat ia menyimpan jurnal pribadi. Ia jarang menulis di sana sekarang, tapi dulu… sebelum klinik ini ramai… ia sering menulis banyak hal yang tidak bisa ia sampaikan pada siapa pun.
Jari-jarinya gemetar saat membuka halaman demi halaman.
Dan di sana, pada entri bertanggal dua tahun lalu, ia membaca kalimat yang membuat napasnya tercekat.
“Ada pasien baru hari ini. Namanya Adra. Cara dia bicara, cara dia melihatku… membuatku merasa seolah kami pernah bertemu. Tapi aku tak tahu dari mana.”
Jantung Keira berdetak semakin cepat.
Ia pernah menulis tentang Adra.
Dan yang lebih gila lagi, di halaman berikutnya tertulis:
“Dia bilang aku mirip seseorang yang sangat ia cintai. Tapi tidak bisa ia sebutkan namanya. Dia bilang, ‘Kau terlihat seperti wanita yang pernah ku cintai… tapi mungkin dia sudah melupakan aku.’”
Keira memejamkan mata.
Apakah mungkin… mereka berdua memilih untuk saling melupakan?
Tapi kenapa?
Hari itu, ia memutuskan untuk pergi ke rumah sakit jiwa tua di pinggir kota—tempat Keira dulu menjalani magang sebelum membuka praktik sendiri. Ia ingin tahu, mungkin Adra pernah dirawat di sana.
Bangunan rumah sakit itu masih berdiri, meski sudah tak seaktif dulu. Banyak bagian yang kosong, sebagian sudah ditinggalkan.
Keira bicara dengan seorang staf administrasi tua yang mengenal dirinya. Saat ia menyebut nama Adra Malik, wajah pria itu berubah.
“Adra?” gumamnya pelan. “Sebentar, saya ingat nama itu… tunggu…”
Pria itu bangkit, berjalan ke ruang arsip yang dipenuhi tumpukan berkas. Ia kembali lima menit kemudian, membawa sebuah map berwarna abu-abu.
“Ini yang saya temukan. Tapi aneh…”
“Aneh kenapa?” tanya Keira.
“Berkas ini tidak lengkap. Dan lihat ini,” ia menunjuk bagian nama wali terapi. “Ditulis tangan. Namanya kamu, Keira. Tapi stempel dan tanda tangan dokternya… tidak ada.”
Keira membuka map itu.
Di dalamnya hanya ada dua lembar. Lembar pertama: hasil evaluasi awal. Lembar kedua: sketsa wajah.
Sketsa itu… menggambarkan dirinya.
Ia membeku. Tangannya mulai gemetar.
Adra menggambar dirinya?
“Pasien ini… sempat bilang kalau dia mencintai seseorang yang tidak bisa ia sebutkan. Tapi tidak pernah kita tahu siapa. Beberapa minggu setelahnya, dia hilang. Kami pikir dia kabur. Tapi yang aneh, tidak ada orang yang mencari dia. Tidak ada keluarga. Tidak ada identitas resmi.”
Keira merasa udara di sekitarnya menipis.
“Apa dia… benar-benar pernah ada?” tanyanya pelan.
Pria itu menatapnya, ragu.
“Itu yang kami pertanyakan juga. Karena sejak dia hilang, bahkan fotonya di sistem kami ikut menghilang. Seperti… dia memang tidak pernah ada.”
Keira meninggalkan rumah sakit itu dengan kepala penuh bayangan. Ia tak tahu harus percaya pada siapa, bahkan pada ingatannya sendiri pun ia mulai ragu.
Tapi saat malam datang, ia kembali membuka catatan itu. Ia membaca ulang kalimat terakhir yang ditulis Adra.
Dan ia merasa yakin.
Adra pernah ada.
Dan cintanya pernah nyata.
Ia hanya belum tahu… mengapa semuanya harus terlupakan.
Bab 3: Ingatan yang Tak Mau Kembali
Sudah tiga malam Keira tidak bisa tidur nyenyak. Setiap kali menutup mata, ia melihat kilasan sketsa wajahnya di map rumah sakit jiwa. Diikuti suara samar seseorang yang memanggil namanya dari kejauhan.
Terkadang ia bangun dengan air mata yang bahkan tak tahu berasal dari mana. Ada kesedihan yang tidak ia mengerti, seperti duka atas sesuatu yang pernah sangat berarti… lalu menghilang begitu saja.
Hari itu, ia kembali ke klinik lebih awal. Bukannya menerima pasien, Keira menutup jadwal praktik dan menggulung tirai jendela. Ia duduk di lantai ruang konseling, memandangi catatan Adra yang masih tergeletak di meja.
Ia menyalakan lilin aromaterapi, lalu menarik napas panjang. Tangannya gemetar saat mengambil alat rekam suara.
“Aku akan mencatat semua hal aneh ini,” ucapnya pelan, menekan tombol rekam.
“Namaku Keira. Hari ini, aku mencoba mencari tahu mengapa seseorang bernama Adra Malik terasa begitu dekat dengan hidupku. Padahal aku tak mengingat siapa dia. Tapi… semua hal tentangnya seolah pernah menjadi bagian dari diriku.”
Keira berhenti sejenak, menatap dinding kosong seolah berharap bisa melihat sosoknya.
“Apakah mungkin, seseorang yang sangat kita cintai bisa terhapus dari ingatan kita begitu saja? Jika iya… apakah itu berarti perasaan itu juga ikut hilang?”
Sorenya, ia memutuskan mengunjungi toko buku bekas di pinggiran kota. Tempat itu sering ia datangi dulu, sebelum hidupnya terlalu sibuk dengan pasien dan terapi.
Pemilik toko, seorang wanita tua bernama Bu Armina, menyambut Keira dengan senyum lembut.
“Kau lama tidak ke sini, Nak,” ucapnya, sambil mengelus bahu Keira. “Mencari buku tentang apa kali ini? Psikologi? Filsafat?”
Keira tersenyum lemah.
“Entah, Bu. Rasanya aku sedang mencari sesuatu… yang tak kutahu apa.”
Ia menyusuri rak demi rak, jari-jarinya menyentuh sampul-sampul lusuh, berharap satu di antaranya bisa berbicara. Hingga ia berhenti di rak puisi dan menemukan satu buku tua berjudul Surat-Surat yang Tak Pernah Sampai.
Buku itu seperti menariknya. Ia membukanya pelan. Di halaman pertama, ada tulisan tangan yang membuatnya terpaku.
“Untuk K. Terima kasih sudah mencintaiku, bahkan saat aku mulai melupakan diriku sendiri.”
Tinta sudah mulai pudar, tapi tulisannya… Keira yakin itu tulisan yang sama dengan yang ada di catatan terapi.
Tangannya menggigil. Ia membawa buku itu ke Bu Armina.
“Bu… boleh tanya, siapa yang menjual buku ini?”
Wanita tua itu mengernyit, lalu tersenyum samar.
“Itu buku lama. Ditinggal seseorang dua tahun lalu. Anak laki-laki. Pendiam. Sering duduk di pojok toko, baca puisi sampai menangis. Waktu terakhir kali datang, dia bilang, ‘Kalau Keira ke sini suatu hari, berikan buku ini padanya.’”
Jantung Keira seperti berhenti berdetak.
“Bu… kenapa Ibu tahu namaku?”
“Karena dia bilang begitu. ‘Namanya Keira. Dia pasti datang kalau masih mencari aku.’”
Keira duduk lemas di kursi kayu dekat meja kasir. Tangannya memeluk buku itu erat-erat, seolah itu adalah satu-satunya bukti bahwa ia tidak gila.
Bahwa Adra pernah nyata.
Dan lebih dari itu—ia pernah sangat mencintainya.
Malamnya, di apartemen, Keira membuka halaman demi halaman buku itu. Sebagian besar puisi ditulis tangan, dengan bahasa yang penuh luka.
“Seseorang memelukku dalam mimpi, tapi aku tak tahu harus memanggilnya siapa.”
“Aku mencintainya setiap hari. Tapi dunia seperti marah. Dunia tidak suka cinta yang terlalu dalam.”
“Aku ingin dia mengingat aku. Tapi aku sendiri sudah lupa siapa diriku tanpa dia.”
Di halaman terakhir, ada satu surat yang tak tertulis lengkap. Hanya awal kalimat:
“Kalau kamu membaca ini, berarti aku belum sepenuhnya hilang darimu…”
Setelah itu kosong. Tapi Keira tahu, lanjutan kalimat itu… ada di dalam dirinya. Tertanam di tempat yang belum ia jangkau.
Pukul tiga dini hari, Keira duduk di lantai ruang tamu. Ia mengambil kembali catatan terapi Adra, lalu membuka jurnal lamanya. Ia membandingkan tulisan, tanggal, dan isi.
Semua cocok. Semua saling menyambung.
Ia perlahan menulis di halaman baru:
“Adra, kalau kamu masih ada di mana pun sekarang… aku ingin mengingatmu. Aku ingin tahu siapa kamu sebenarnya. Dan apa yang pernah kita bagi, hingga dunia merasa itu harus dihapus.”
Sebelum menutup bukunya, ia menulis satu kalimat:
“Cinta tak pernah benar-benar hilang. Ia hanya mencari jalan pulang.”
Dan malam itu, sebelum tidur, ia memeluk buku puisi Adra.
Dalam mimpi, ia melihat dirinya berjalan di lorong panjang.
Di ujung lorong, ada seseorang berdiri membelakanginya.
Keira berlari. Ia memanggil namanya.
“Adra!”
Orang itu perlahan menoleh, tapi wajahnya kabur… seperti diselimuti kabut tipis.
Namun sebelum mimpi itu menghilang, Keira mendengar satu kalimat dari pria itu.
“Aku tidak pernah pergi. Kamu yang memilih untuk melupakan aku… demi menyelamatkan kita.”
Keira terbangun dengan napas terengah. Matanya basah.
Dan untuk pertama kalinya, ia berbisik, seolah menjawab mimpi itu.
“Kalau begitu… maafkan aku.”
Bab 4: Jalan Pulang yang Tak Pernah Ada
Pagi itu Keira tidak membuka kliniknya.
Ia menyalakan mobil tuanya dan melaju menuju arah yang entah. Tidak ada alamat pasti, hanya satu petunjuk samar: tulisan pada salah satu puisi Adra yang berbunyi, “Di rumah berwarna abu di bawah pohon kesemek, aku pernah berharap kamu pulang.”
Itu mungkin terdengar seperti bait puisi biasa bagi siapa pun. Tapi tidak bagi Keira.
Ia pernah melewati rumah itu. Dulu, saat pertama pindah ke kota ini, ia suka menyusuri jalanan tanpa arah. Di salah satu persimpangan sunyi, ada rumah kecil berwarna abu-abu pucat, berdiri sendiri di tepi jalan menurun, dinaungi pohon besar yang saat musim gugur menjatuhkan buah oranye kecil seperti tangis yang tak pernah selesai.
Ia menekan pedal gas lebih dalam.
Kabut pagi mulai turun tipis saat ia memasuki jalan sempit berbatu. Dan di sana… rumah itu masih berdiri. Sepi, sama seperti dulu. Tak ada pagar, hanya halaman berumput liar dan suara dedaunan yang berguguran.
Keira turun dari mobil, langkahnya pelan, napasnya tertahan. Ia berdiri di depan pintu kayu usang itu dan mengetuk tiga kali.
Tak ada jawaban.
Ia meraih gagang pintu—tidak terkunci.
Udara di dalam rumah dingin dan berdebu, tapi tidak asing. Ada aroma samar lavender yang entah kenapa mengingatkannya pada musim panas yang tak pernah ia ingat sepenuhnya. Langit-langit rumah penuh jaring laba-laba, dan kursi kayu di ruang tamu tertutup kain putih.
Namun saat ia melangkah ke ruang tengah, ia berhenti.
Ada rak buku kecil di sudut, dan di atasnya… bingkai foto yang tak dilapisi kaca.
Foto itu buram. Tapi Keira mengenali dirinya sendiri di dalamnya.
Ia berdiri di samping seorang pria yang wajahnya tidak terlihat jelas—terhapus oleh noda waktu atau mungkin… oleh sesuatu yang lain.
Dengan tangan gemetar, Keira mengangkat foto itu. Di belakangnya ada coretan tinta biru.
“Kita akan bahagia di tempat kecil ini, walau dunia tidak menyukai cerita kita.”
Ia mengusap wajahnya. Hatinya seperti retak pelan. Setiap benda di rumah itu terasa akrab—taplak meja dengan motif garis yang dulu pernah ia pilih, bantal kursi berwarna hijau lumut, bahkan cangkir retak di meja dapur yang entah kenapa membuat dadanya sesak.
Keira naik ke lantai dua. Di salah satu kamar, ada meja kerja kecil dan buku harian yang tergeletak terbuka.
Halamannya kosong. Tapi saat ia menyentuh kertasnya, ada kilasan ingatan yang datang bagai kilat.
Adra duduk di meja itu. Menulis. Lalu menoleh ke arahnya dan tersenyum kecil.
“Aku tahu kamu akan lupa. Tapi aku tetap ingin menuliskan ini. Biar kamu tahu… aku mencintaimu, bahkan saat kamu tak lagi tahu siapa aku.”
Kilasan itu membuat Keira terduduk di lantai.
Ia menutup mata, membiarkan air mata jatuh begitu saja. Di dalam pikirannya, suara Adra bergema, penuh rindu dan keikhlasan.
“Aku tidak ingin kamu mengingatku karena rasa sakit. Aku ingin kamu hidup bahagia, bahkan tanpa aku.”
Keira membuka matanya. Ia melihat bayangan samar di kaca jendela, sosok lelaki berdiri menatapnya dari kejauhan. Tapi saat ia menoleh, tidak ada siapa-siapa.
Menjelang senja, Keira masih duduk di anak tangga rumah itu, memeluk lutut, menatap jalan yang sepi.
Ia mencoba mengingat.
Apa yang membuat mereka memilih untuk melupakan?
Apakah cinta mereka begitu menyakitkan hingga mereka menghapusnya bersama?
Atau… apakah dunia tidak mengizinkan cinta mereka bertahan?
Saat matahari mulai tenggelam, ia menyadari satu hal: rumah ini bukan hanya tempat tinggal. Ini adalah tempat kenangan mereka dikubur hidup-hidup.
Dan kini, ia telah menggali sebagian darinya.
Keira berdiri. Ia menuliskan satu pesan kecil di kertas dari buku harian yang kosong, lalu meletakkannya di meja.
“Adra, aku datang. Aku tidak ingat semuanya. Tapi aku tahu kamu pernah sangat berarti. Dan aku akan mencarimu—meski jalan pulangmu sudah tidak ada.”
Ia meninggalkan rumah itu perlahan, seperti berpamitan pada bagian dari dirinya sendiri yang pernah hilang.
Tapi saat membuka pintu depan, ia terkejut.
Di depan rumah, seseorang berdiri. Seorang pria. Tidak terlalu tinggi, mengenakan jaket hitam lusuh, dan memegang bunga kesemek kering di tangannya.
Mata mereka bertemu.
Dan Keira merasa… waktu berhenti.
“Keira?” ucap pria itu, seperti memanggil mimpi yang tak pernah selesai.
Keira membuka mulut, tapi tak tahu harus berkata apa. Ia hanya berdiri diam, jantungnya memukul keras dadanya, dan dunia mendadak terasa lebih nyata dari sebelumnya.
“Maaf,” lanjut pria itu pelan, “Tapi… kamu siapa?”
Bab 5: Terjebak di Ruang yang Sama
Keira menatap pria itu tanpa berkedip.
Wajahnya… memang asing. Tapi juga tidak sepenuhnya. Seperti melihat versi kabur dari seseorang yang pernah ada dalam hidupnya, lalu menghilang saat dicoba diingat ulang. Mata itu—hitam pekat, tajam tapi juga tenang—menyiratkan sesuatu yang dalam. Dan suara itu… meski pelan, menggetarkan.
“Maaf, tapi kamu siapa?”
Keira tidak menjawab. Ia hanya menatap bunga kesemek kering di tangan pria itu. Bunga yang tumbuh dari pohon di depan rumah ini. Bunga yang ada di puisi Adra.
“Aku…” Keira membuka suara, suaranya serak. “Aku sedang mencari seseorang.”
Pria itu mengangguk pelan. “Aku juga.”
Hening menggantung di antara mereka, berat, seolah ada ribuan kata yang ingin keluar tapi tak tahu bagaimana caranya.
“Apa kamu tinggal di sini?” tanya Keira, meski jelas-jelas rumah itu kosong.
Pria itu menggeleng. “Tidak. Tapi aku… sering datang ke sini. Aku nggak tahu kenapa. Seperti ada sesuatu yang harus kutemukan.”
Keira menahan napas. Kata-kata itu terasa seperti gema dari dirinya sendiri.
“Apa kamu… tahu siapa yang pernah tinggal di sini?” tanyanya hati-hati.
Pria itu menunduk sejenak, seolah berpikir keras. “Nggak tahu. Tapi kadang aku mimpi… tentang rumah ini. Tentang seorang perempuan yang duduk di dekat jendela, menulis. Dia selalu senyum ke aku, tapi wajahnya selalu kabur.”
Keira gemetar. Ia tahu siapa perempuan itu. Dirinya.
“Apa namamu?” Keira akhirnya bertanya.
Pria itu tersenyum kecil. “Adra.”
Dunia seperti runtuh sesaat. Keira hampir terjatuh jika tidak bersandar pada kusen pintu. Ia menutup mulutnya dengan tangan, berusaha menahan perasaan yang tiba-tiba meledak begitu saja.
“Ada apa?” tanya Adra, bingung melihat reaksinya.
Keira menggeleng, lalu tertawa pelan, getir. “Aku sudah mencarimu. Tapi kamu bahkan nggak tahu siapa aku, ya?”
Adra menatapnya lama, dalam. “Maaf… aku punya banyak kekosongan di kepalaku. Ingatan-ingatan yang terasa seperti milik orang lain. Aku nggak tahu dari mana aku berasal. Atau kenapa aku selalu merasa… ada yang hilang.”
Keira menunduk, suara di dadanya pecah. “Mungkin karena kita pernah saling melupakan.”
Mereka duduk berseberangan di ruang tamu yang sunyi. Matahari sore masuk lewat celah jendela, memantulkan bayangan mereka di lantai berdebu. Tidak ada suara selain napas dan jantung yang berdebar terlalu keras.
Adra mengamati sekeliling. “Tempat ini… terasa seperti rumah, tapi juga seperti mimpi. Aku nggak tahu kenapa.”
Keira mengangguk. “Karena tempat ini memang pernah jadi rumah. Rumah kita.”
Adra mengerutkan dahi. “Apa kamu… yakin?”
Keira mengeluarkan buku puisi dari tasnya. Ia membukanya ke halaman yang ada tulisan tangan Adra. Menunjukkannya.
Adra membaca pelan. “Untuk K. Terima kasih sudah mencintaiku, bahkan saat aku mulai melupakan diriku sendiri.”
Ia mengangkat pandangannya, mata mulai berkaca-kaca. “Aku yang nulis ini?”
“Ya,” jawab Keira. “Dulu. Sebelum semuanya hilang.”
Adra meletakkan bunga kesemek di meja. Tangannya mencengkeram lutut, seperti mencoba mengingat paksa sesuatu dari dalam pikirannya yang kosong.
“Kenapa kita bisa saling lupa?” tanyanya, hampir seperti bisikan.
Keira menahan tangis. “Aku nggak tahu pasti. Tapi aku punya teori…”
Ia menarik napas panjang. “Di kota ini, orang yang terlalu patah bisa mulai kehilangan dirinya sendiri. Aku pikir… kita berdua mengalami itu. Terlalu terluka. Terlalu mencintai. Sampai kita memilih menghapus semuanya. Bahkan satu sama lain.”
Adra memejamkan mata. “Tapi… kenapa? Apa cinta kita sebegitu menyakitkannya?”
Keira tak menjawab. Ia hanya menggenggam tangan Adra yang dingin, seperti mencoba menghubungkan ulang benang yang sudah lama putus.
Dan entah kenapa, dalam diam yang panjang itu, tubuh Adra mulai bergetar.
“Keira…” bisiknya.
Keira menoleh. “Apa?”
“Aku ingat sesuatu. Hanya sekilas. Kamu… menangis. Lalu bilang… ‘Kalau kamu terus ada di hidupku, aku nggak akan sembuh.’”
Mata Keira membelalak. Ia ingat kalimat itu. Ia yang mengucapkannya. Dalam ruang terapi. Saat dirinya menangis di depan Adra—saat mereka masih saling tahu siapa mereka.
“Itu terakhir kali aku lihat kamu sebelum semuanya kabur,” lanjut Adra. “Aku keluar dari ruangan itu. Lalu… hilang.”
Keira menutup wajahnya. Air mata mengalir tanpa bisa dihentikan.
“Aku takut kamu makin hancur karena aku,” bisiknya. “Makanya aku… mungkin aku minta kita dilupakan.”
Adra terdiam. Lalu mengangguk pelan.
“Kalau itu yang kamu pilih waktu itu… aku ngerti. Tapi sekarang, kita di sini lagi.”
Keira menatapnya. “Dan sekarang aku nggak mau lupa lagi.”
Mereka saling menatap. Lama. Lalu perlahan, tangan mereka saling mencari dan bertemu di tengah meja.
Di luar, pohon kesemek menggugurkan satu buahnya. Hening.
Di dalam rumah yang pernah mereka tinggalkan, dua hati yang patah perlahan saling mengenal kembali.
Namun jauh di lubuk hati Keira, satu pertanyaan masih bergema:
Kalau mereka bisa bertemu lagi… mungkinkah luka yang pernah membuat mereka hilang… kembali juga?
Bab 6: Cinta yang Membuat Hilang
Malam itu sunyi. Langit kota menggantung berat, tak berbintang, seakan menahan sesuatu yang tak ingin jatuh. Keira berdiri di dapur rumah abu-abu, memandangi panci air yang belum sempat ia nyalakan apinya. Adra duduk di ruang tengah, memainkan jemarinya, gelisah tanpa alasan.
Ada ketegangan yang tidak mereka ucapkan. Tapi terasa.
“Kenapa aku merasa takut, padahal kita baru saja saling menemukan?” Keira akhirnya berkata, suaranya pelan seperti gumaman.
Adra menoleh. Ia ragu menjawab. Tapi akhirnya berkata jujur, “Karena cinta kita dulu… adalah alasan kenapa semuanya harus dihapus.”
Keira menelan ludah. Kata-kata itu seperti menggores sesuatu yang baru saja mulai pulih.
“Aku nggak mau kehilangan kamu lagi,” bisiknya.
Adra berdiri dan mendekat. “Aku juga nggak mau, Kei. Tapi mungkin kita harus hadapi fakta ini…”
Keira menatap matanya. “Fakta apa?”
“Bahwa mungkin… cinta kita dulu bukan menyembuhkan. Tapi menghancurkan.”
Hening.
Keira duduk. Air matanya menggenang meski ia tidak benar-benar menangis. “Waktu kamu hilang dari hidupku, aku merasa kosong. Tapi sekarang kamu kembali, dan aku takut aku akan menyakitimu lagi.”
Adra tersenyum tipis. “Lalu apa yang harus kita lakukan? Berjauhan lagi?”
Keira menggeleng cepat. “Nggak. Kita harus… belajar mencintai dengan cara yang baru.”
Mereka duduk berdua di lantai dapur yang dingin. Di antara mereka ada secangkir teh yang mulai dingin, dan kata-kata yang tidak selesai diucapkan.
Keira mengingat sesuatu.
“Dulu aku punya trauma, Adra. Tentang ayahku yang meninggalkan ibuku karena bilang ‘cinta itu bisa jadi racun.’ Waktu kamu datang ke hidupku… aku takut itu terulang.”
Adra mengangguk. “Dan kamu lari.”
“Dan kamu… membiarkan aku melupakanmu.”
Adra menatapnya dengan mata yang dalam dan pelan berkata, “Karena aku pikir, kalau kamu sembuh tanpa aku, itu sudah cukup buatku.”
Keira menunduk, tangisnya jatuh pelan.
“Maaf… karena aku mencintaimu dengan ketakutan. Karena dulu aku berpikir, mencintaimu berarti aku harus kehilangan diriku.”
Adra memeluknya. Hangat. Erat.
“Kita sama-sama salah waktu itu,” bisiknya. “Tapi sekarang… kita bisa memperbaiki cara kita mencinta.”
Beberapa hari berikutnya, Keira mulai menulis jurnal baru. Ia memberi judulnya, Cinta yang Membuat Hilang. Bukan sebagai kenangan buruk, tapi sebagai catatan untuk tidak mengulang luka yang sama.
Ia menulis:
“Cinta bukan tentang melupakan demi bertahan. Tapi tentang mengingat… dan tetap memilih untuk tinggal.”
Adra mulai menulis puisi kembali. Tapi kali ini, bukan tentang kehilangan, melainkan tentang keberanian. Tentang dua hati yang dulu memilih menghilang demi saling menyelamatkan, lalu bertemu lagi karena tahu… mereka masih ingin berjalan bersama.
Mereka tidak menyembuhkan satu sama lain secara instan. Masih ada hari-hari sepi. Masih ada malam di mana Keira terbangun dengan mimpi buruk, dan Adra harus menggenggam tangannya sampai tenang. Tapi kini mereka sadar, cinta bukan tentang menjadi sempurna, melainkan saling bertahan saat yang lain hampir jatuh.
Dan di tengah kota yang perlahan mengingat mereka kembali, Keira dan Adra saling menatap dengan keyakinan yang tak lagi goyah.
“Aku tidak ingin cinta yang membuatku hilang lagi,” kata Keira.
Adra menggenggam erat tangannya. “Kalau begitu, mari kita cintai satu sama lain… dengan cara yang membuat kita pulang.”
Bab 7: Jejak Terakhir Sebelum Lenyap
Malam turun perlahan seperti tirai yang menutup panggung masa lalu.
Keira duduk di ruang tengah rumah abu-abu itu, lampu temaram menyinari wajahnya yang letih. Di seberangnya, Adra tertidur di kursi panjang, tubuhnya melengkung seperti seseorang yang sedang mencari kehangatan yang tak lagi ia kenal.
Mereka memutuskan menginap semalam di sana. Tidak ada alasan pasti, hanya rasa… seperti jika mereka pergi sekarang, sesuatu akan benar-benar hilang.
Keira memandangi wajah Adra yang tertidur. Ada damai di sana, tapi juga luka. Wajah itu, seolah pernah menjadi rumahnya. Dan meskipun sebagian dari dirinya telah kembali mengingat, masih banyak potongan yang hilang.
Ia membuka kembali buku puisi yang Adra tulis dulu. Di halaman terakhir, ia menambahkan sebuah catatan baru malam ini:
“Jika besok aku bangun dan semuanya hilang lagi, aku ingin tulisan ini mengingatkanku… bahwa ada seseorang yang pernah ingin kutemui setiap hari, bahkan saat dunia terasa terlalu berat.”
Setelah menutup buku itu, Keira memejamkan mata. Ia berharap, jika mimpinya kembali membawanya ke masa lalu, setidaknya kali ini… ia bisa melihat semuanya utuh.
Dan malam itu, ia bermimpi.
Dalam mimpinya, ia berdiri di ruang terapi. Dindingnya putih, bau obat masih samar di udara. Di depan meja, duduk seorang pria dengan kepala tertunduk—Adra, versi masa lalu.
“Aku capek,” kata Adra dalam mimpi itu, suaranya pecah. “Aku nggak tahu aku ini siapa tanpa dia.”
Kemudian pintu terbuka. Seorang wanita masuk—itu Keira sendiri. Tapi wajahnya lebih muda, matanya penuh kelelahan.
“Aku juga capek, Adra,” ucapnya dalam mimpi itu. “Tiap hari aku bangun dan berharap rasa ini hilang. Tapi kamu terus ada di sini.”
Adra mengangkat wajahnya. “Lalu kita harus gimana?”
“Lupa,” jawab Keira dalam mimpi itu. “Mungkin… kita harus lupa.”
Adra terdiam. Lalu mengangguk perlahan.
“Kalau itu bisa buat kamu sembuh… aku setuju.”
Kemudian, semuanya jadi terang. Terlalu terang. Cahaya menelan ruangan, dan sebelum mimpi itu menghilang, Keira mendengar suara dirinya sendiri berbisik:
“Maafkan aku. Aku yang minta semuanya dihapus.”
Keira terbangun dengan tubuh berkeringat dingin. Napasnya berat. Jam menunjukkan pukul tiga dini hari.
Adra masih tertidur di sampingnya.
Tapi kini semuanya jelas.
Bukan dunia yang memisahkan mereka. Bukan kutukan kota, atau kekuatan ajaib yang membuat mereka lupa.
Melainkan keputusan mereka sendiri.
Keira bangkit, membuka pintu rumah dan keluar menatap langit malam yang berkabut. Pohon kesemek bergoyang pelan, dan di bawahnya… sesuatu bersinar samar di tanah.
Ia berjalan mendekat dan menemukan kotak kecil setengah terkubur di bawah akar pohon.
Dengan tangan gemetar, ia menggalinya. Di dalam kotak itu, ada satu benda yang membuat dadanya sesak.
Sebuah foto lama. Dirinya dan Adra. Duduk di tangga rumah, tertawa. Bahagia.
Di belakang foto, tertulis:
“Kalau suatu hari kita lupa, tanam ini. Supaya nanti… kita bisa menumbuhkan lagi.”
Pagi harinya, Keira menunjukkan foto itu pada Adra. Ia menatapnya lama, jari-jarinya menyentuh perlahan seperti menyentuh hantu masa lalu.
“Sekarang aku ingat,” bisiknya. “Aku ingat hari kita menanam kotak itu. Kamu bilang… kalau cinta kita kuat, ia akan kembali sendiri suatu hari nanti.”
Keira tersenyum. “Dan ternyata… memang kembali.”
Mereka duduk bersama di bawah pohon kesemek, di bangku tua yang nyaris rapuh. Angin pagi menyapu rambut mereka, membawa bau tanah basah dan sisa musim lalu.
“Apa kamu masih takut?” tanya Adra pelan.
Keira menggeleng. “Tidak seperti dulu. Karena sekarang, aku tahu. Kita pernah saling kehilangan, tapi kita juga pernah saling memilih. Dan sekarang… aku ingin memilih lagi.”
Adra menatapnya. Matanya yang dulu gelap dan asing, kini tampak hangat dan familiar.
“Kalau begitu… mari kita tumbuhkan cinta ini lagi. Perlahan. Dari sisa-sisa yang pernah hilang.”
Mereka saling menggenggam tangan.
Dan untuk pertama kalinya, setelah sekian lama, mereka merasa utuh.
Tak perlu mengingat semuanya.
Cukup tahu bahwa mereka pernah saling lupa… dan kini memutuskan untuk saling ingat.
Bab 8: Kota dengan Aturan yang Tak Ditulis
Setelah pagi itu, Keira dan Adra mencoba menjalani hari seperti dua orang asing yang saling belajar lagi mencintai. Tidak ada janji muluk, tidak ada rencana besar. Hanya duduk berdampingan di rumah tua, berbagi sarapan sederhana, dan membiarkan keheningan mengisi ruang yang dulu kosong.
Namun, sesuatu di kota ini mulai terasa aneh.
Saat Keira kembali ke kliniknya untuk membuka sesi terapi, ia mendapati hal ganjil. Dua pasien yang biasanya datang setiap minggu… tiba-tiba tidak pernah terdaftar. Data mereka menghilang dari sistem, seolah tak pernah ada. Bahkan rekaman sesi sebelumnya ikut lenyap.
Ia mencoba menelpon nomor yang biasa mereka gunakan, tapi operator menjawab dengan nada datar: “Nomor yang Anda tuju tidak terdaftar.”
Keira duduk lama di ruang kerjanya, bingung.
Dan ingatannya kembali ke ucapan Bu Armina, penjaga toko buku, beberapa minggu lalu.
“Di kota ini, yang terlalu patah kadang dipindahkan dari ingatan.”
Mungkinkah… bukan hanya dirinya dan Adra yang pernah hilang?
Malam itu, ia dan Adra duduk di beranda rumah. Angin malam meniup pelan bunga kesemek yang berguguran. Keira akhirnya menceritakan semuanya—tentang pasien yang menghilang, tentang data yang tak bisa ditemukan.
Adra mendengarkan tanpa banyak bicara. Tapi sorot matanya berubah. Lebih waspada. Lebih dingin.
“Aku pernah dengar desas-desus tentang kota ini,” ucapnya pelan. “Dulu, waktu pertama tinggal di sini. Orang bilang… tempat ini punya mekanisme pertahanan aneh. Kalau seseorang terlalu larut dalam luka, kota ini akan ‘menyembunyikan’ mereka. Bukan dengan membunuh. Tapi dengan membuat mereka dilupakan.”
“Seperti kita?” tanya Keira.
Adra mengangguk. “Mungkin kita pernah dianggap sebagai luka yang terlalu dalam.”
Keira merinding. “Lalu… artinya, kita belum sepenuhnya aman?”
Adra menatap langit malam. “Mungkin. Tapi yang lebih penting dari itu… kenapa hanya sebagian dari ingatan kita yang kembali? Kenapa kita bisa mengingat cinta, tapi tidak semua peristiwa di baliknya?”
Keira terdiam. Ia juga bertanya-tanya hal itu.
Keesokan harinya, mereka pergi ke pusat kota, mencoba mencari tempat-tempat yang dulu terasa akrab. Mereka berjalan melewati kedai kopi yang dulu jadi favorit Keira—tapi sekarang, tak ada pemiliknya. Bangku-bangku kosong. Lampu redup. Seperti tempat yang menunggu seseorang yang tak pernah datang kembali.
Di ujung jalan, mereka menemukan taman kecil yang dipenuhi kursi kayu. Saat Keira duduk di sana, ia tiba-tiba merasa seperti pernah mengobrol dengan Adra di bangku yang sama. Tentang buku. Tentang kesepian. Tentang keinginan mereka untuk hidup lebih tenang.
“Tempat ini pernah jadi tempat kita kabur dari dunia,” bisik Adra, seolah membaca pikirannya.
Keira memegang dadanya. Perasaannya jadi berat. “Tapi… kalau benar kota ini punya aturan sendiri, siapa yang membuatnya? Siapa yang menentukan siapa yang pantas diingat dan siapa yang harus dilupakan?”
Pertanyaan itu tak dijawab. Tak ada yang tahu jawabannya.
Tapi saat mereka hendak kembali ke rumah, seorang anak kecil tiba-tiba muncul di persimpangan jalan. Anak perempuan, kira-kira usia sembilan tahun, dengan rambut dikepang dua dan mata yang terlalu tenang untuk anak seumur itu.
Ia menatap mereka lama, lalu berkata pelan, “Kalian berdua seharusnya tidak kembali.”
Keira membeku. Adra maju satu langkah. “Apa maksudmu?”
Anak itu menggeleng. “Kalian telah dipilih untuk dilupakan. Tapi sekarang kalian melawan. Dan kota ini tidak suka diusik.”
Keira menelan ludah. “Kamu siapa?”
“Aku hanya penyampai pesan,” jawab anak itu, datar. “Dan aku di sini untuk memperingatkan. Semakin kalian mengingat, semakin kota ini akan mencoba menghapus lagi. Bukan hanya kalian… tapi semua yang kalian sayangi.”
Kemudian anak itu berbalik dan menghilang begitu saja di balik gang sempit.
Adra dan Keira berdiri membisu. Dunia di sekitar mereka masih sama—tapi terasa lebih sempit, lebih dingin.
“Apa kamu percaya dia?” tanya Keira, suaranya nyaris tak terdengar.
Adra menggenggam tangannya. “Aku percaya kita pernah dilupakan. Tapi sekarang… kita akan bertahan. Bahkan jika kota ini menolak kita.”
Mereka berjalan pulang sambil saling menggenggam tangan erat-erat. Tapi keduanya tahu—permainan telah berubah.
Kini bukan hanya tentang ingatan.
Tapi tentang eksistensi.
Dan cinta mereka, sekali lagi, dipertanyakan: sekuat apa untuk bertahan… jika seluruh dunia memutuskan mereka tak layak dikenang?
Bab 9: Jika Aku Mengenangmu Lagi, Apa Kau Akan Kembali?
Hari-hari berikutnya terasa seperti berjalan di atas benang tipis. Setiap pagi Keira membuka mata dengan cemas, takut-takut nama Adra akan hilang lagi dari pikirannya. Tapi sejauh ini, ia masih mengingat. Wajahnya, suaranya, sentuhan jemarinya—semuanya masih tinggal.
Namun yang berubah adalah kota ini.
Tempat-tempat yang dulu hidup, kini tampak sunyi dan perlahan menghilang. Orang-orang mulai bertingkah aneh. Seorang pemilik toko roti yang biasa menyapa mereka tiba-tiba tak mengenali Keira. Bahkan lebih dari itu—tak mengenali dirinya sendiri.
“Aku tinggal di mana, ya?” gumam pria itu sambil menatap langit-langit tokonya yang kosong.
Keira dan Adra menyadari satu hal: kota ini mulai menghapus lebih banyak dari sekadar cinta mereka. Kota ini mulai menargetkan siapa pun yang terlalu dekat dengan masa lalu.
Dan karena itulah, Keira memutuskan satu hal.
Ia akan melawan.
Malam itu, ia duduk di ruang tengah rumah abu-abu, dikelilingi tumpukan catatan, buku puisi Adra, jurnal lamanya, dan satu folder berisi rekaman terapi yang berhasil ia selamatkan dari sistem digital.
“Kalau kota ini ingin membuat kita lupa, maka aku akan menulis sampai aku ingat semuanya,” gumamnya.
Adra duduk di sampingnya. Ia tidak mencoba menghentikan Keira. Hanya memandang dengan sorot mata yang campur aduk—antara bangga, takut, dan siap kehilangan segalanya lagi.
“Aku nggak tahu apakah ini akan berhasil,” kata Keira sambil mencatat. “Tapi kalau mencintaimu berarti harus melawan seluruh aturan yang tak terlihat… maka biar aku jadi orang pertama yang mengganggunya.”
Adra tertawa pelan, pahit. “Kamu selalu keras kepala. Bahkan dulu, kamu yang bilang kita nggak bisa bareng. Tapi kamu juga yang bilang jangan pergi terlalu jauh.”
Keira berhenti menulis. Menatapnya. “Dan kamu selalu menunggu, meski nggak tahu harus sampai kapan.”
Hening. Tapi hangat.
Beberapa jam kemudian, Keira selesai menulis satu catatan penting. Ia beri judul: “Pengingat Tentang Adra”. Lalu ia fotokopi tulisan itu dan menyelipkannya di berbagai tempat: di bawah bantal, di rak buku, bahkan di saku jaketnya.
Ia tahu—jika kota ini mencoba menghapusnya lagi, ia akan punya petunjuk.
Keesokan harinya, Keira membawa satu eksemplar tulisan itu ke kliniknya. Ia menaruhnya di bawah pot tanaman, di dalam laci meja, bahkan di kamar mandi. Ia mulai bicara soal Adra kepada siapa pun yang datang.
“Pernah dengar nama Adra?” tanyanya pada pasien yang baru.
Beberapa geleng. Tapi ada satu pasien, seorang wanita tua dengan mata sayu, yang menjawab pelan, “Nama itu… seperti pernah ada di mimpi saya.”
Dan itu cukup.
Keira tahu, ingatan tidak sepenuhnya hilang. Ia hanya bersembunyi.
Malamnya, Keira mengalami mimpi aneh.
Ia berada di tengah kota yang kosong. Jalanan putih, langit abu-abu, tak ada suara. Hanya dirinya dan bayangannya sendiri.
Tiba-tiba, suara muncul. Lembut. Laki-laki. Familiar.
“Keira.”
Ia berbalik. Di sana, berdiri seorang lelaki yang wajahnya berubah-ubah. Kadang Adra, kadang asing.
“Apa kamu masih mau mengingat?” tanya suara itu.
Keira mengangguk. “Ya.”
“Kalau kamu mengenang terlalu banyak, kau akan hancur. Dunia ini tidak suka luka lama dibuka.”
“Tapi aku tidak peduli. Jika mengenang bisa membawa Adra kembali… maka aku siap.”
Suara itu mendekat. Kini tubuhnya terlihat lebih jelas. Bukan manusia. Tapi seperti bayangan kota itu sendiri. Lalu suara itu berkata:
“Maka terimalah ini…”
Tiba-tiba, cahaya terang menyelimuti Keira. Dan dalam sekejap, kenangan-kenangan yang hilang menghantam kepalanya seperti badai.
Tangisan. Jeritan. Pelukan terakhir. Kata-kata putus. Malam ketika ia memutuskan Adra harus dilupakan karena pikirannya nyaris runtuh oleh trauma masa kecil dan tekanan dunia.
Ia terbangun dengan tubuh basah oleh keringat. Adra duduk di sisinya, panik.
“Kamu mimpi lagi?”
Keira menangis, memeluknya erat. “Aku ingat semuanya sekarang. Kita dulu saling menyakiti. Tapi bukan karena benci… justru karena terlalu mencintai. Kita nggak kuat ngelindungi satu sama lain dari luka sendiri.”
Adra memeluknya balik. “Jadi sekarang kamu nyesel?”
Keira menggeleng. “Aku nggak nyesel pernah melupakanmu. Tapi aku juga nggak akan nyesel karena sekarang aku memilih mengingatmu lagi.”
Adra menatapnya. Lama. Dalam. Lalu ia berbisik:
“Maka kalau kamu bisa mengingatku, aku juga akan berusaha tetap tinggal.”
Dan malam itu, mereka tidur sambil saling menggenggam tangan—mengalahkan kota yang terus berusaha menghapus.
Karena di tengah dunia yang ingin melupakan mereka, mereka memilih untuk saling mengingat.
Bab 10: Semua Tentang Kita yang Pernah Lupa
Keira berdiri di depan cermin. Ia menatap bayangannya sendiri lama, seolah bertemu seseorang yang baru, tapi juga sangat lama ia kenal. Kini, semua ingatan telah kembali. Bukan hanya tentang Adra, tapi juga tentang dirinya—tentang siapa ia sebelum semuanya runtuh, sebelum dunia memutuskan cinta mereka harus disingkirkan dari ingatan.
Di luar, pagi mulai datang. Kota terlihat sama seperti biasanya: kabut tipis, jalanan sepi, langit yang menggantung seperti selalu menunggu sesuatu. Tapi Keira tahu, ada yang berbeda. Ia bisa merasakannya.
Adra sedang duduk di ruang tengah, membaca salah satu catatan yang ditulis Keira. Di tangannya, secangkir teh hangat yang perlahan mendingin.
“Aku pikir… kota ini mulai diam,” kata Keira saat ia bergabung duduk di sampingnya.
Adra menoleh. “Diam karena menyerah?”
Keira mengangguk pelan. “Mungkin bukan menyerah. Mungkin kota ini… hanya menunggu. Untuk tahu apakah cinta kita masih akan menyakiti, atau justru menyembuhkan.”
Adra tersenyum. “Lalu kita mau kasih jawaban apa?”
Keira menatapnya lama. Lalu dengan tenang, ia menjawab, “Kita kasih jawaban yang tak bisa dihapus: kita bertahan.”
Beberapa minggu berlalu sejak malam penuh mimpi itu.
Kota mulai kembali seperti semula. Toko roti yang sempat kosong kini dibuka lagi, pemiliknya tampak segar, seperti baru saja terbangun dari tidur panjang. Taman di pusat kota kembali ramai, dan orang-orang mulai menyapa Keira lagi, seolah tak pernah ada jeda dalam ingatan mereka.
Namun hanya Keira dan Adra yang tahu, bahwa sebenarnya… mereka hidup dalam ruang di antara dua kemungkinan: diingat, atau dilupakan.
Keira kembali membuka praktiknya. Tapi kali ini, bukan hanya sebagai psikiater. Ia juga jadi pengingat—bagi siapa pun yang nyaris hilang dari hidupnya sendiri. Ia menuliskan cerita-cerita yang ia temui, menyelipkan nama-nama yang pernah terlupakan, dan menyimpan semuanya dalam kotak di ruang pribadinya.
Sementara Adra mulai menulis lagi. Bukan puisi-puisi pilu seperti dulu, tapi cerita pendek—tentang laki-laki yang melupakan cinta pertamanya karena ingin melindunginya, dan tentang perempuan yang menuliskan kembali segalanya agar cinta itu bisa pulang.
Mereka tidak selalu bahagia. Masih ada hari-hari di mana ketakutan datang seperti bayangan, mengingatkan bahwa semuanya bisa hilang lagi.
Tapi kini mereka punya satu sama lain. Dan mereka tahu satu hal penting:
Mereka pernah saling melupakan.
Dan karena itu, mereka juga mampu saling memilih kembali.
Suatu sore, Keira mengajak Adra ke tempat mereka dulu bertemu—bukan secara sadar, tapi dalam versi pertama dari semuanya. Di taman kecil dekat bukit, di bangku kayu yang masih berdiri meski mulai lapuk.
Keira duduk lebih dulu, menatap langit yang mulai jingga. “Dulu, aku pernah bilang ke kamu, ‘Kalau kamu tetap tinggal di hidupku, aku nggak akan sembuh.’ Tapi ternyata, yang aku butuhkan untuk sembuh… adalah kamu.”
Adra tertawa kecil. “Lucu ya. Kita dulu lari karena saling terlalu takut saling hancur. Tapi sekarang, kita berdiri karena saling mau sembuh bareng.”
Keira mengangguk. Lalu meraih tangan Adra. “Kalau suatu hari nanti aku lupa lagi, atau dunia mencoba menghapus kamu dari pikiranku, bisakah kamu janji untuk mengingatku duluan?”
Adra mencium punggung tangannya, lembut. “Aku akan menuliskan kamu di mana pun aku bisa. Di kertas, di mimpi, di napasku. Supaya kamu tahu… kamu pernah tinggal di hatiku.”
Hening.
Angin lewat seperti pelukan dari masa lalu.
Dan matahari tenggelam, membawa serta luka-luka yang tak lagi menyakitkan—hanya tinggal sebagai jejak.
Keira duduk di ruangannya malam itu. Ia membuka buku catatannya dan menulis satu paragraf terakhir sebelum menutup semua cerita:
“Nama kami pernah hilang. Wajah kami pernah kabur. Tapi rasa kami tidak pernah benar-benar mati. Ini adalah kisah tentang dua orang yang pernah lupa satu sama lain, lalu memutuskan untuk saling mengingat. Dan dari sanalah semuanya dimulai kembali.”
Di halaman sampul, ia menulis judul:
Semua Tentang Kita yang Pernah Lupa.
Lalu ia menutup buku itu, meletakkannya di rak terdekat.
Sambil berbisik pelan, seolah pada dunia yang diam-diam menyaksikan:
“Kami pernah hilang. Tapi kini, kami kembali.”
Tamat.
Novel ini ditulis oleh Evi Fauzi, Penulis dari
Novel Singkat . Baca juga novel romantis dan fiksi ilmiah lainnya.