Novel Singkat Teater yang Hanya Tampil Saat Kamu Tidur
Novel Singkat Teater yang Hanya Tampil Saat Kamu Tidur

Novel Singkat: Teater yang Hanya Tampil Saat Kamu Tidur

Arel, seorang remaja laki-laki yang bercita-cita menjadi penulis naskah teater, mulai mengalami mimpi aneh di mana hidupnya dipentaskan ulang setiap malam di atas panggung misterius. Dalam mimpi itu, ia bertemu Liria seorang aktris cantik dari dunia panggung yang perlahan mulai berbicara padanya dan melanggar aturan antara mimpi dan kenyataan.

Saat cinta tumbuh di antara mereka, batas antara dunia tidur dan dunia nyata pun mulai kabur. Arel harus memilih: kembali ke dunia nyata dan melupakan semuanya, atau tinggal di atas panggung selamanya bersama Liria. Namun, cinta dari dua dunia tidak pernah datang tanpa harga. Sebuah kisah romansa metafisik yang menyentuh tentang kehilangan, pilihan, dan panggung yang tak pernah benar-benar tertutup.

Bab 1: Panggung Pertama dalam Tidur

Langit malam seperti kanvas hitam tak berbintang ketika Arel memejamkan mata. Tidak ada suara, tidak ada mimpi… hanya gelap. Sampai kemudian, terdengar derak pelan—seperti suara tirai tua yang dibuka perlahan.

Ia mendapati dirinya duduk di barisan kursi teater berwarna merah marun. Suasana di sekelilingnya remang-remang, dengan aroma kayu tua dan debu yang tak asing. Di depannya, panggung terbuka perlahan. Lampu sorot menyorot satu titik di tengah, lalu perlahan membentuk cahaya terang yang hangat.

Aktor muncul. Wajahnya… familiar. Terlalu familiar.

Itu dirinya.

Tapi bukan.

Aktor itu memperankan Arel, lengkap dengan gerakan gugupnya, caranya membetulkan kerah seragam, hingga cara ia diam saat gugup di depan kelas. Bahkan suara tawa kecil yang aneh itu pun sama.

Arel membeku. Ini bukan mimpi biasa. Ini seperti melihat hidupnya ditayangkan ulang, tapi dengan penyesuaian kecil—lebih teatrikal, lebih dramatis, lebih menyakitkan.

Adegan pertama adalah hari ketika ayahnya pergi. Hujan deras. Suara pintu tertutup. Wajah ibunya yang kaku. Semua ditampilkan dengan sempurna, seolah sang aktor bisa membaca ingatan Arel.

Arel menggenggam kursi. Ia ingin berdiri, tapi kakinya berat. Tangannya gemetar, namun ia tidak bisa mengalihkan pandangan.

Lalu muncul satu sosok lain. Seorang gadis. Rambutnya hitam panjang, matanya bersinar tajam, dan setiap gerakannya bagaikan puisi yang sedang ditampilkan.

Ia bukan ibunya. Bukan teman sekolahnya. Bukan bagian dari kenangan Arel. Tapi ia hadir di panggung itu, menyisip di antara aktor-aktor lain. Bahkan sesekali ia memandang ke arah tempat duduk Arel.

Langkah-langkahnya ringan, seperti menari di antara bayangan. Ia bukan bagian dari adegan. Ia tidak berbicara. Tapi sorot matanya menyiratkan kesadaran.

Arel mulai merasa ada yang aneh. Kenapa seorang aktor di mimpi ini bisa menatap langsung ke arahnya?

Panggung gelap. Musik melambat. Tirai tertutup perlahan.

Penonton—makhluk-makhluk asing di sekitar Arel yang sebelumnya tidak ia sadari—berdiri dan menghilang begitu saja. Wujud mereka kabur, seperti bayangan air di cermin. Beberapa ada yang berwajah seperti manusia, tapi terlalu tinggi, terlalu pucat, atau terlalu datar. Arel mengerjap, tapi ketika ia kembali fokus, mereka sudah tidak ada.

Ia sendirian.

Tirai panggung kembali terbuka.

Dan gadis itu berdiri di tengah panggung, sendirian, menatap langsung ke arahnya.

“Hai,” katanya, suaranya lembut seperti melodi hujan pertama.

Arel kaget. Ini bukan naskah. Ini bukan bagian dari pertunjukan. Aktor tidak pernah menyapa penonton.

“Kamu… bisa melihatku?” tanya Arel pelan.

“Sudah lama,” jawab gadis itu, tersenyum sedikit. “Tapi kamu baru sekarang benar-benar melihat balik.”

“Siapa kamu?”

“Aku Liria,” jawabnya. “Dan ini adalah panggung pertamamu.”

“Panggung?”

“Tempat di mana mimpimu menjadi teater. Hidupmu adalah naskahnya.”

Arel diam. Dadanya berdebar kencang.

“Setiap orang punya malamnya masing-masing,” lanjut Liria. “Tapi tidak semua orang menyadari bahwa mereka ditonton.”

“Ditonton oleh siapa?”

“Penonton. Dari dimensi lain. Mereka tidak punya emosi. Jadi mereka menonton manusia untuk belajar… merasa.”

Arel menelan ludah. Dunia terasa terlalu nyata untuk disebut mimpi, tapi terlalu aneh untuk disebut nyata.

Liria berjalan pelan ke tepi panggung. Langkahnya tak bersuara. Ia duduk di pinggir panggung, seperti sedang duduk di tepi danau yang tenang.

“Apa aku… gila?” tanya Arel pelan.

Liria menggeleng. “Kamu terpilih. Karena kamu… penuh luka. Dan luka itu indah untuk ditampilkan.”

Kata-katanya menusuk, tapi tidak menyakitkan. Seolah ia tahu persis apa yang membuat Arel diam selama ini.

“Kalau ini cuma mimpi,” gumam Arel, “kenapa aku merasa kamu nyata?”

Liria tidak menjawab. Ia hanya tersenyum kecil, lalu berdiri kembali. Musik pelan mengalun dari langit-langit teater. Lampu-lampu kecil menyala satu per satu. Warna-warna hangat mengelilingi panggung.

“Aku tidak tahu berapa lama kamu bisa kembali ke sini,” kata Liria. “Tapi kalau kamu datang lagi, aku akan menunggumu.”

Arel ingin bertanya lebih banyak, tapi tubuhnya mulai terasa ringan. Seolah ada magnet yang menariknya kembali ke dunia nyata. Kursi-kursi menghilang. Panggung memudar. Suara Liria menjadi gema jauh di belakang kepalanya.

Satu kalimat terakhir terdengar jelas sebelum semuanya gelap:

“Jangan jatuh cinta padaku, Arel… atau kamu akan terjebak selamanya.”

Arel membuka mata dengan napas terengah. Jam di kamarnya menunjukkan pukul lima pagi. Tapi ia merasa baru saja bangun dari pertunjukan yang panjang.

Dan di ujung bantalnya tidak masuk akal, tapi nyata tergeletak sehelai bulu putih kecil… seperti properti dari sebuah panggung mimpi.

Bab 2: Aktris Bernama Liria

Hari itu Arel duduk di bangku kelas dengan mata yang terasa berat. Suara guru terdengar seperti gema jauh yang tidak bisa ia tangkap dengan utuh. Matanya sesekali tertutup, dan kepalanya nyaris jatuh ke meja. Ia tidak tahu kenapa, tapi sejak malam itu, tubuhnya seperti menolak untuk hidup di dunia nyata.

Dia mencoba mengingat detail mimpi itu. Teater. Kursi merah. Dirinya sendiri di panggung. Dan gadis itu—Liria.

Nama yang belum pernah ia dengar, tapi sekarang seakan tertulis di dinding pikirannya.

Setelah kelas bubar, Arel tidak langsung pulang. Ia pergi ke taman dekat sekolah, duduk di bangku di bawah pohon besar, dan membuka catatan kecilnya. Tangannya menulis satu kalimat tanpa berpikir:

“Jangan jatuh cinta padaku, Arel.”

Ia menarik napas panjang. Mimpi aneh. Tapi kenapa terasa seperti kenangan?

Malamnya, ia berbaring lebih cepat dari biasanya. Tidak karena mengantuk, tapi karena ingin tahu. Apakah panggung itu akan kembali muncul?

Dan benar saja.

Begitu matanya tertutup, ia tidak berada di kamarnya. Ia berdiri di balik tirai tebal, aroma debu dan kayu memenuhi hidungnya. Lampu sorot menyinari panggung. Kursi-kursi penonton kosong, tapi terasa seperti ada ribuan mata mengawasi.

“Selamat datang kembali,” suara lembut terdengar dari samping.

Liria berdiri di sana, mengenakan gaun putih panjang. Rambutnya kali ini dikepang longgar. Ia terlihat seperti bintang panggung dari dunia lain.

“Aku… datang lagi,” gumam Arel, masih bingung antara senang dan takut.

“Tidak semua bisa kembali dua kali,” ujar Liria, mendekat. “Biasanya hanya sekali, sebagai penonton.”

Arel menatap sekeliling. “Tapi kenapa aku bisa?”

“Karena kamu bertanya,” jawab Liria. “Dan panggung selalu terbuka bagi mereka yang ingin tahu lebih dari yang seharusnya.”

Mereka duduk di tepi panggung. Tidak ada pertunjukan malam ini. Hanya lampu yang menyinari mereka berdua, seolah panggung itu memang hanya untuk mereka.

“Liria, kamu itu siapa sebenarnya?” tanya Arel.

Liria menatap langit-langit teater yang gelap. “Aku aktris. Tapi bukan dari dunia ini. Aku… diciptakan dari mimpi manusia. Setiap kali seseorang mengalami rasa kehilangan yang besar, aku muncul dalam panggung mereka. Menjadi bagian dari cerita mereka.”

“Berarti kamu… bukan nyata?”

“Apa itu nyata, Arel?” tanyanya balik. “Jika kamu bisa mengingat wajahku, merasakan sentuhanku, dan merindukanku… apakah aku masih tidak nyata?”

Arel tak bisa menjawab. Ia memandangi tangannya sendiri. Tangannya yang bisa menyentuh panggung, bisa merasakan dinginnya udara.

“Aku rasa kamu lebih nyata dari siapa pun yang aku temui,” bisiknya pelan.

Liria menoleh padanya. Tatapannya lembut, tapi di baliknya ada dinding rapuh yang terasa seperti akan runtuh kapan saja.

“Kamu tidak boleh jatuh cinta pada seseorang dari panggung, Arel.”

“Kenapa?”

“Karena cinta membentuk ikatan. Dan jika ikatan itu terlalu kuat, maka jiwa salah satu dari kita akan tertinggal. Selamanya.”

Arel terdiam.

“Aku tidak ingin kamu terjebak di sini. Panggung ini bukan tempat untuk hidup. Ini tempat untuk dikenang,” lanjut Liria.

“Tapi aku ingin di sini. Di tempat di mana segalanya terasa… jujur.”

Liria tertawa kecil. “Jujur? Ini semua ilusi. Panggung. Cahaya. Musik. Kami semua aktor. Tapi mungkin, karena kami tahu kami sedang berpura-pura, justru kami jadi lebih jujur daripada dunia kalian.”

Arel menunduk. “Aku tidak tahu kenapa, tapi aku merasa sudah kenal kamu sejak lama.”

“Aku ada dalam mimpimu. Dalam kenangan yang tidak kamu ingat. Dalam rasa kehilangan yang tidak kamu pahami,” ucap Liria lirih.

Tiba-tiba, suara denting piano terdengar. Seorang aktor masuk dari samping panggung, mulai memainkan adegan tanpa naskah. Ia membawa cermin besar, dan meletakkannya di tengah.

“Waktumu hampir habis,” kata Liria.

Arel berdiri. “Apa aku akan kembali lagi besok?”

“Kalau panggung masih memanggilmu… ya.”

Lampu mulai redup. Cermin di tengah memantulkan wajah Arel—wajah yang terlihat lebih tua, lebih letih, seperti seseorang yang telah kehilangan banyak dalam waktu singkat.

Dan saat semuanya menghilang, satu suara terakhir terdengar di kepalanya:

“Aku menunggumu, Arel. Tapi tolong, jangan buat hatimu tinggal di sini.”

Arel terbangun dengan mata basah. Tapi kali ini, bukan karena mimpi buruk. Melainkan karena ia merasa baru saja meninggalkan seseorang yang mulai berarti baginya.

Dan di meja belajarnya, tergeletak sesuatu yang tidak ia letakkan di sana.

Sebuah kartu kecil bertuliskan:

“Babak kedua akan segera dimulai.”

Bab 3: Di Antara Dua Panggung

“Beberapa cinta tidak lahir dari dunia yang sama, tapi tetap berdetak dalam irama yang serupa.”

Sejak malam itu, Arel mulai hidup dalam dua panggung. Panggung nyata yang dipenuhi rutinitas sekolah, tawa teman-teman yang terasa jauh, dan jam pelajaran yang terus berputar. Dan satu lagi—panggung mimpi, di mana semuanya terasa lebih nyata, lebih tenang, dan lebih mengerti dirinya.

Hari-hari Arel di dunia nyata mulai terasa seperti selingan. Ia seperti hanya menunggu malam, menunggu tertidur, menunggu Liria. Ia mulai menghindari teman-temannya. Tidak lagi ikut bermain basket, tidak tertarik berbicara di grup obrolan sekolah. Bahkan ibunya mulai bertanya, “Arel, kamu baik-baik saja?”

Ia hanya mengangguk. Padahal dalam hatinya, ia tidak tahu mana yang sedang ia jalani: hidup atau pertunjukan.

Malam itu datang lebih lambat dari biasanya. Arel gelisah, berbalik di tempat tidur, berharap cepat tertidur. Dan ketika akhirnya matanya menutup, ia kembali ke kursi merah itu—kali ini langsung berada di sisi panggung. Liria sudah menunggunya.

Gaun yang ia kenakan berbeda. Lebih gelap, lebih sederhana, tapi tetap memancarkan cahaya samar saat ia tersenyum.

“Kamu datang lagi,” katanya pelan.

“Aku tidak bisa tidak datang,” jawab Arel, duduk di sebelahnya.

“Semakin kamu kembali, semakin kabur batas antara dunia kita.”

Arel memandang ke arah panggung yang kali ini kosong. “Kenapa tidak ada pertunjukan malam ini?”

“Karena malam ini bukan tentang masa lalu. Tapi tentang kemungkinan yang belum terjadi,” jawab Liria. Ia berdiri dan mengulurkan tangan ke Arel. “Maukah kamu berdiri di panggung itu bersamaku?”

Arel ragu. Selama ini, ia hanya penonton. Tapi tangan Liria terasa hangat. Dan ia mengikuti.

Begitu mereka melangkah ke atas panggung, lampu-lampu perlahan menyala. Musik mengalun. Tapi tidak ada naskah. Tidak ada penonton. Hanya mereka berdua.

“Ini panggungmu sekarang,” bisik Liria.

Arel menarik napas. “Lalu apa yang harus aku lakukan?”

“Buat cerita kita.”

Liria menggerakkan tangannya, dan di sekeliling mereka muncul taman bunga. Langit sore berwarna jingga. Di kejauhan, terdengar suara burung yang tak dikenalnya. Panggung berubah menjadi dunia kecil yang hanya milik mereka.

Arel tertawa kecil. “Kamu bisa menciptakan ini semua?”

“Jika kamu mengingat rasa bahagia dari masa kecilmu, aku bisa mengubahnya jadi panggung.”

Ia duduk di rerumputan buatan itu, dan Arel mengikutinya.

“Kamu tahu,” ucap Arel sambil menatap langit palsu di atas mereka, “aku tidak pernah merasa sebebas ini sebelumnya. Bahkan ketika aku tertawa di dunia nyata, rasanya cuma pantulan. Tapi di sini… semuanya terasa jujur.”

Liria diam sesaat, lalu menjawab dengan nada datar, “Karena di sini, tidak ada yang perlu kamu pura-purakan.”

Arel menoleh. “Apa kamu tidak kesepian? Menjadi bagian dari dunia yang tak bisa disentuh?”

Liria tersenyum pahit. “Aktor tidak pernah hidup untuk dirinya sendiri. Kami diciptakan untuk jadi bagian dari cerita orang lain.”

“Aku ingin kamu jadi bagian dari ceritaku. Bukan sekadar tokoh latar.”

Liria menatapnya dalam-dalam. Matanya seperti danau yang dalam dan tenang, menyimpan terlalu banyak hal yang tidak bisa ia ucapkan.

“Dan jika aku memilih untuk tinggal di ceritamu, maka kamu harus meninggalkan milikmu.”

Arel terdiam.

Suasana mendadak berubah. Cahaya di panggung meredup, bunga-bunga mengering, langit jingga memudar menjadi gelap.

“Ini batasnya,” ucap Liria lirih. “Setiap kali kamu menginginkanku lebih dari sekadar mimpi, dunia nyata mulai kehilangan bagian dari dirimu.”

“Tapi aku tidak bisa melepaskanmu.”

“Kalau begitu, kamu akan kehilangan segalanya.”

Musik berubah menjadi nada minor. Di kejauhan, suara langkah terdengar. Penonton dari dimensi lain mulai muncul kembali, duduk di kursi-kursi mereka yang tak bersuara. Mereka tak berbicara, hanya menatap.

Liria berdiri. “Kita harus akhiri malam ini sebelum terlalu terlambat.”

Arel berdiri pelan. “Kalau suatu hari nanti aku tidak bisa kembali ke sini… bisakah kamu datang ke mimpiku tanpa panggung ini?”

“Aku tidak bisa keluar dari panggung. Aku hanya hidup ketika kamu tertidur, ketika panggung dipanggil oleh jiwamu sendiri.”

Arel mengepalkan tangan. “Lalu apa yang bisa aku lakukan?”

Liria menyentuh dadanya lembut. “Bangun. Dan ingatlah aku. Karena selama kamu ingat, panggung ini tidak akan hilang.”

Dan sebelum semua menghilang, suara Liria bergema pelan:

“Cinta bukan tentang di mana kita berada, tapi bagaimana kita bertahan ketika harus berada di dua dunia yang berbeda.”

Arel membuka mata dengan detak jantung yang tak beraturan. Hujan turun di luar jendela. Dan di balik tirai kamar, sebuah cahaya kecil menyala… seolah sisa panggung itu masih ada di sudut malamnya.

Bab 4: Mereka yang Menyaksikan

Hari-hari Arel kini dibagi menjadi dua kehidupan yang saling bertolak belakang. Di siang hari, ia seperti bayangan dari dirinya sendiri—diam, sering melamun, dan menjauh dari keramaian. Tapi di malam hari, ia menjadi seseorang yang hidup di atas panggung, berdampingan dengan Liria dan cerita-cerita yang hanya bisa diciptakan oleh mimpi.

Tapi ada satu hal yang mulai mengganggunya. Tatapan.

Ia mulai menyadari ada yang aneh dengan dunia nyata. Di kereta menuju sekolah, ada seorang pria tua yang menatapnya terlalu lama. Di kantin sekolah, seorang siswi dari kelas sebelah duduk diam menghadapnya, tanpa berkedip. Bahkan di rumah, kucing peliharaan ibunya—yang biasanya manja—tiba-tiba berhenti bermain dan hanya duduk menatap ke arahnya dengan mata yang terlalu… sadar.

Tatapan-tatapan itu tidak biasa. Tatapan kosong, tapi tajam. Seolah mereka sedang mengamati sesuatu di dalam dirinya.

Arel mulai bertanya-tanya: apakah penonton dari dimensi lain hanya ada di panggung?

Malamnya, ia kembali ke teater mimpinya. Kali ini, panggung tidak cerah. Tirai hanya terbuka setengah. Lampu-lampu berkedip, dan suara denting piano terdengar sumbang.

Liria berdiri di depan kursi penonton yang perlahan mulai terisi oleh bayangan-bayangan asing. Wujud mereka masih kabur—tinggi, pucat, berjubah, atau bermata terlalu banyak. Tapi kini, Arel bisa melihat bahwa mereka sedang tidak sekadar menonton.

Mereka menilai.

“Kenapa mereka seperti itu?” tanya Arel.

Liria menoleh. “Karena kamu sudah terlalu sering kembali.”

“Maksudmu?”

“Panggung ini seharusnya hanya tempat sekali lewat. Sekali pentas. Sekali momen. Tapi kamu membuatnya jadi rumah.” Liria berjalan pelan ke tengah panggung. “Dan itu membuat penonton gelisah.”

Arel melihat ke sekeliling. Bangku merah terisi penuh. Tapi tidak ada suara. Hanya tatapan.

“Mereka tahu kamu mulai berubah,” lanjut Liria. “Kamu tidak hanya datang untuk menonton, tapi menciptakan. Kamu bukan hanya bagian dari naskah, kamu mulai menulis ulang takdirmu sendiri.”

Arel diam. “Apa itu salah?”

“Dalam dunia mereka, ya.”

Tiba-tiba, lampu sorot menyorot Liria dengan keras. Ia tersentak, menunduk, dan tubuhnya tampak goyah.

“Liria!”

“Mereka mulai menarikku… Aku melanggar aturan terlalu sering,” ucap Liria, napasnya berat. “Berbicara dengan penonton. Menciptakan panggung sendiri. Mencintai.”

Arel melangkah maju. “Aku akan melindungimu. Apa pun yang terjadi.”

Liria menatapnya. Matanya berkaca. “Kamu tidak bisa, Arel. Ini bukan dunia yang bisa kamu lawan dengan tekad. Ini dimensi yang hidup dari perasaan manusia. Semakin kamu ingin menyelamatkan, semakin kamu terikat.”

Tiba-tiba, salah satu penonton berdiri. Wujudnya samar, tapi Arel bisa melihat cahaya biru di mata makhluk itu. Suaranya terdengar di seluruh teater, seperti gema dari langit yang pecah.

“Pertunjukan telah melewati batas. Jiwa dari dunia nyata telah mengusik harmoni.”

Arel menantang tatapannya. “Kalian hanya penonton! Kalian tidak punya hak atas hidup kami!”

Makhluk itu melangkah turun ke panggung. Setiap jejaknya membuat lantai bergetar.

“Jika cinta kalian melanggar keseimbangan dimensi, maka salah satu harus menghilang. Dunia ini bukan milik dua jiwa berbeda.”

Liria berlari ke depan Arel. “Ambil aku, bukan dia!”

Arel menggenggam tangannya. “Tidak! Kita cari jalan lain!”

Makhluk itu mengangkat tangannya. Cahaya putih menyilaukan meledak dari atas panggung. Arel berteriak, mencoba menarik Liria, tapi tangan mereka perlahan terlepas.

“Tidak!” jerit Arel. “Liria, jangan pergi!”

Liria menatapnya dengan senyum getir, lalu berbisik pelan sebelum tubuhnya larut dalam cahaya:

“Kalau kamu benar-benar mencintaiku, jangan cari aku hanya dalam tidur.”

Arel terbangun dengan tubuh gemetar, napas tak teratur, dan mata basah. Ruangannya gelap, jam menunjukkan pukul 3 pagi.

Dan di sudut kamarnya… berdiri salah satu penonton dari mimpinya. Wujudnya tak lengkap, hanya bayangan dengan mata biru yang menyala, memandang Arel diam-diam.

Sebelum menghilang, suara halus terdengar:

“Pertunjukan belum selesai. Tapi cinta kadang harus menunggu hingga tirai benar-benar tertutup.”

Arel merasakan perih yang tak bisa ia jelaskan. Bukan hanya karena kehilangan Liria malam itu, tapi karena tahu… ia mungkin tidak akan bisa kembali ke panggung lagi.

Bab 5: Panggung yang Terkunci

Hari-hari Arel terasa seperti berjalan tanpa gravitasi. Ia hadir di kelas, duduk di meja makan, menatap layar ponsel—tapi semuanya terasa hampa. Setelah malam itu, ia tidak lagi bermimpi tentang panggung. Tidak ada teater. Tidak ada Liria. Hanya kegelapan sunyi yang memeluknya setiap tidur.

Ia mencoba segalanya. Tidur lebih awal, tidur lebih lambat. Membuka buku catatan kecilnya dan menulis puisi tentang Liria. Bahkan ia pernah mencoba tidur sambil memutar musik orkestra, berharap memancing suasana mimpi itu lagi.

Tapi panggung itu seolah telah terkunci.

Arel mulai bertanya-tanya apakah semuanya hanya imajinasi. Mungkinkah otaknya memainkan kenangan sebagai bentuk pelarian? Tapi rasa kehilangan itu… terlalu nyata. Terlalu menyakitkan untuk disebut khayalan.

Sampai suatu malam, ketika ia tidak bermimpi sama sekali, sebuah suara samar terdengar di antara tidur dan bangunnya.

“Kamu belum selesai menulis ceritanya.”

Arel duduk di tempat tidur, napasnya tercekat. Ia tahu suara itu. Liria.

Malam berikutnya, Arel mencoba sesuatu yang berbeda. Ia membuka halaman kosong di laptopnya dan mulai menulis.

Judul: Pertunjukan yang Terputus

Kalimat demi kalimat mengalir seperti hujan pertama setelah musim panjang yang kering. Ia menulis tentang panggung yang kosong, tentang seorang aktris yang menghilang sebelum tirai terakhir ditutup, tentang penonton yang tak puas, dan tentang cinta yang tidak diberi kesempatan untuk menyelesaikan aktingnya.

Semakin banyak ia menulis, semakin jantungnya berdegup seperti tepuk tangan dari dimensi yang jauh.

Dan malam itu, ketika ia tertidur di atas keyboard, ia membuka mata di tempat yang tidak asing—di belakang tirai teater.

Namun berbeda.

Teater itu rusak. Lampu sorot bergantung tak stabil. Kursi penonton roboh. Lantai panggung retak. Aroma hangus menggantung di udara.

“Liria?” panggilnya pelan.

Tidak ada jawaban. Tapi di tengah panggung, ada sesuatu yang tertinggal. Sebuah properti dari pertunjukan lama: gaun putih yang biasa Liria kenakan, tergeletak tanpa pemilik.

Arel berjalan pelan ke tengah panggung. Setiap langkahnya membuat papan kayu bergemeretak, seperti panggung itu sendiri mencoba berbicara padanya.

Di balik gaun itu, ada secarik kertas tua. Tulisan tangan Liria. Ia mengenal gaya tulisannya—rapi, mengalir seperti irama musik klasik.

“Jika suatu saat kamu bisa menghidupkan panggung ini lagi, aku akan mendengarmu.”

Tiba-tiba, suara di belakangnya terdengar.

“Kamu kembali… meski pintunya sudah terkunci.”

Arel berbalik. Seorang aktor berdiri di sana, bukan Liria, tapi salah satu yang pernah memerankan tokoh ayahnya di pertunjukan mimpi.

“Di mana Liria?” tanya Arel.

“Dia dibawa ke panggung bawah.”

“Panggung bawah?”

“Itulah tempat bagi mereka yang melanggar batas.” Aktor itu berjalan memutar. “Ketika jiwa mimpi mulai mencintai penonton, dan penonton terlalu lama duduk di kursinya, panggung menyeimbangkan diri.”

“Aku ingin menjemputnya kembali.”

Aktor itu tertawa kecil. “Kamu pikir ini cerita cinta biasa? Ini metafora. Ini naskah hidupmu. Dan kamu terlalu nekat mengubah ending-nya.”

“Kalau memang ini cerita hidupku,” desak Arel, “biarkan aku menulis ulang akhirnya.”

Sang aktor menatapnya lama, lalu menunjuk ke belakang panggung. Tirai kecil di sudut. Sebuah pintu setengah terbuka, dengan anak tangga menuju ruang gelap di bawah.

“Masuklah. Tapi ingat, semakin dalam kamu masuk, semakin besar bagian dirimu yang akan tertinggal di mimpi ini.”

Arel menatap kertas Liria sekali lagi. Tangannya menggenggamnya erat.

“Aku tidak peduli seberapa dalam. Aku hanya ingin dia kembali.”

Dengan langkah yakin, Arel melangkah ke arah pintu itu. Cahaya dari panggung semakin redup di belakangnya. Tangga di depannya tidak punya ujung. Hanya kegelapan. Hanya gema langkahnya sendiri.

Tapi di ujung kesunyian itu, ia mendengar satu suara lirih, seperti bisikan jauh yang menggigilkan seluruh tubuhnya:

“Arel… aku di sini. Tapi kamu tidak boleh datang terlalu dekat.”

Dan untuk pertama kalinya setelah berhari-hari, Arel merasa hidup kembali. Karena panggungnya belum selesai. Cerita mereka belum selesai.

Dan pertunjukan belum benar-benar berakhir.

Bab 6: Panggung Bawah yang Terlupakan

Tangga menuju panggung bawah seperti tak berujung. Gelapnya bukan sekadar tak ada cahaya, tapi gelap yang menelan suara, waktu, dan rasa arah. Arel berjalan tanpa tahu sudah berapa lama. Kadang ia merasa melayang, kadang seperti berjalan di atas udara yang rapuh.

Namun ia terus turun.

Lalu akhirnya, lantai keras menyambut langkahnya. Sebuah pintu kayu berdiri di hadapannya. Di atasnya terukir kata-kata samar, seperti goresan tangan yang penuh luka:

“Tempat Di Mana Cinta Tak Boleh Diucapkan.”

Arel menghela napas. Ia menyentuh pintu itu pelan, dan perlahan, pintu terbuka sendiri. Angin dingin menyambutnya, membawa aroma panggung yang usang, seperti tirai yang sudah lama tidak digerakkan.

Ruangan itu luas. Tapi tidak seperti panggung utama yang megah dan terang, panggung bawah ini seperti dunia yang sudah lama dilupakan. Panggungnya retak, lampunya padam, dan kursi-kursi penonton dipenuhi sosok-sosok membisu—wujud mereka kabur, tapi terasa seperti kenangan yang dibuang.

Dan di tengah panggung, berdiri Liria.

Tangannya dirantai cahaya ke langit-langit, matanya tertutup, dan tubuhnya tampak lebih pucat. Tapi bahkan dalam diamnya, ia tetap tampak anggun—seperti lagu yang belum selesai dimainkan.

“Liria…” suara Arel pecah oleh gemetar dadanya.

Liria membuka mata perlahan, dan senyuman lemah muncul di wajahnya. “Kamu datang terlalu jauh, Arel…”

Arel berlari ke panggung, tapi setiap langkah seperti terhisap. Kakinya berat, seolah panggung itu mencoba menolaknya.

“Kenapa kamu di sini?” tanyanya, napas memburu.

“Karena aku mencintaimu,” jawab Liria lirih. “Dan cinta seperti itu dilarang di tempat ini. Mereka tidak menghukumku karena aku berbicara padamu… tapi karena aku berharap kamu akan membalasnya.”

Arel menggenggam tangannya sendiri. “Lalu bagaimana aku bisa menyelamatkanmu?”

Liria menatap ke arah langit-langit panggung. “Kamu tidak bisa. Yang bisa kamu lakukan hanya… melepaskan.”

“Tidak!” seru Arel. “Aku tidak ke sini untuk menyerah! Aku ke sini karena kamu bilang kalau aku menghidupkan panggung ini lagi, kamu akan mendengarnya!”

Tiba-tiba, dinding panggung bawah bergetar. Sosok-sosok penonton tanpa wajah berdiri dari kursinya. Mata mereka menyala biru. Mereka perlahan maju, mengelilingi panggung.

Satu suara terdengar, berat dan dalam, tak berbentuk:

“Kamu membawa dunia nyata ke dalam dunia yang seharusnya fiksi. Kamu ingin cinta, padahal panggung hanya untuk kenangan. Maka kami tawarkan pilihan…”

Arel menatap bayangan-bayangan itu, menahan takutnya.

“Pilihan?” tanyanya.

“Kami bisa mengembalikan Liria. Tapi dengan satu syarat: kamu harus tinggal di sini. Selamanya. Sebagai naskah. Sebagai bagian dari pertunjukan.”

Arel menatap Liria. “Kalau aku setuju… kamu akan bebas?”

Liria menggeleng, air mata menetes dari matanya. “Jangan lakukan itu. Jangan korbankan hidupmu hanya untuk mimpi yang mungkin tak bisa bertahan.”

Arel melangkah maju, berdiri di tengah cahaya panggung. “Kalian selalu bilang cinta tidak boleh diucapkan. Tapi cinta yang hanya diam, hanyalah luka yang tidak pernah sembuh. Kalau cinta harus dibungkam, lalu apa arti semua cerita yang kalian pentaskan?”

Penonton-penonton itu berhenti. Teater bawah sejenak sunyi. Lalu satu demi satu, cahaya di panggung menyala. Sorot lampu kuning, lembut, menari di sekitar Arel.

“Jika kamu bersikeras mencintai…” suara itu berkata, “…maka biarkan kami menuliskanmu sebagai bagian dari panggung. Kamu akan jadi tokoh yang dilihat, dikenang, tapi tak pernah benar-benar hidup kembali.”

Arel menatap Liria. “Kalau kita bisa bersama, meski hanya dalam panggung… aku tidak keberatan.”

Liria menangis. Tapi kali ini bukan karena kesedihan.

Dengan lembut, rantai cahaya di tangannya mulai menghilang. Ia berjalan mendekat, lalu menggenggam tangan Arel.

“Kalau begitu… kita pentaskan cerita ini bersama.”

Dan saat itu juga, panggung bawah berubah. Lampu menyala. Musik mengalun. Penonton duduk diam. Tirai terbuka.

Dan di hadapan ribuan jiwa dari dimensi lain, Arel dan Liria berdiri di panggung, memainkan satu-satunya pertunjukan yang tak pernah diizinkan sebelumnya:

Cinta yang tak seharusnya ada, tapi tetap memilih untuk ada.

Pertunjukan dimulai.

Dan dunia nyata perlahan mulai melupakan nama Arel… seperti aktor hebat yang akhirnya memilih tinggal di balik tirai untuk selamanya.

Bab 7: Pertunjukan Tanpa Akhir

Di suatu malam yang dingin, di antara mimpi dan kenyataan, sebuah panggung kecil yang terlupakan kembali bersinar. Tapi tidak semua orang bisa melihatnya. Hanya mereka yang patah, yang kehilangan, yang hatinya pernah dipentaskan—yang bisa merasakan keberadaannya.

Panggung itu sekarang memiliki dua pemeran utama. Arel dan Liria.

Mereka memainkan adegan-adegan yang tak pernah dituliskan dalam naskah manapun. Adegan pertama kali saling tatap, pertama kali berpegangan tangan, dan pertama kali menyadari bahwa mereka tidak berasal dari dunia yang sama.

Namun cinta… tidak pernah benar-benar peduli soal dunia.

Setiap malam, panggung itu menyala. Penonton-penonton dari dimensi lain datang dan duduk diam, menonton dengan khusyuk. Tapi malam ini, ada sesuatu yang berbeda. Malam ini… Liria mulai lupa.

“Arel,” ucapnya pelan sambil menatap gaun yang ia kenakan, “kita sudah memainkan adegan yang sama tujuh kali malam ini.”

Arel menghentikan langkah. Ia menatap sekeliling panggung. Lampu-lampu tetap menyala. Musik mengalun seperti biasa. Tapi ada sesuatu yang hampa di antara nada.

“Kenapa kamu bilang begitu?” tanyanya.

“Aku mulai merasa seperti… karakter di cerita lama. Seperti aku hanya mengulang, bukan hidup,” bisik Liria, matanya mulai meredup.

Arel mendekat. “Kita memang di dalam cerita. Tapi cerita ini kita pilih sendiri. Kita bukan karakter dalam naskah siapa pun. Kita menulisnya bersama.”

Liria tersenyum kecil, lalu duduk di kursi kayu di tepi panggung. Rambutnya perlahan kehilangan cahaya, seperti boneka panggung yang lupa cara bersinar.

“Aku takut, Arel,” bisiknya. “Takut menjadi bagian dari pertunjukan yang tak pernah selesai. Takut kehilangan diriku dalam cerita yang tidak lagi berubah.”

Arel ikut duduk di sampingnya. Hening menyelimuti mereka berdua, hanya suara lembut denting piano yang jauh.

“Aku juga takut,” ucap Arel. “Tapi satu-satunya hal yang lebih menakutkan dari terus bermain di panggung… adalah kehilanganmu lagi.”

Liria menoleh. “Apa kamu bahagia di sini?”

Arel mengangguk. “Jika kebahagiaan itu berarti bisa menatapmu setiap malam, mendengar suaramu, dan tahu kamu masih ada… maka ya. Aku bahagia.”

Tapi Liria menunduk. “Aku tidak yakin aku bisa bahagia jika kamu harus mengorbankan semua untuk tinggal di sini.”

Tiba-tiba, lampu sorot padam. Penonton-penonton mulai berdiri. Panggung berguncang pelan. Tirai bergetar seolah ada angin besar di baliknya.

Lalu muncul satu suara dari atas panggung. Bukan dari dunia mereka. Tapi dari dimensi asal Arel.

Suara ibunya.

“Arel… pulanglah.”

Arel berdiri mendadak. Matanya membelalak. Ia belum pernah mendengar suara dari dunia nyata menembus panggung.

Liria menatapnya lekat-lekat. “Kamu masih bisa kembali.”

Arel menggenggam tangannya. “Tapi aku sudah memilih tinggal.”

“Belum,” jawab Liria lembut. “Selama jiwamu belum benar-benar terikat… kamu masih punya jalan keluar.”

“Dan kamu?”

“Aku… akan tetap di sini. Aku bagian dari panggung. Aku tidak punya tempat di dunia nyata.”

Arel terdiam. Lalu bertanya lirih, “Apa kamu ingin aku kembali?”

Liria tidak langsung menjawab. Ia menatap lampu-lampu di atas, yang mulai meredup satu per satu. Kemudian ia menatap Arel dengan senyum paling sedih yang pernah Arel lihat.

“Aku ingin kamu hidup.”

Dan di detik itu, panggung mulai menghilang. Penonton-penonton meleleh seperti kabut. Kursi-kursi lenyap. Musik berhenti. Dan cahaya dari dunia nyata menembus panggung dengan paksa.

Liria berdiri, memeluk Arel erat.

“Kalau kamu bangun,” bisiknya, “ingatlah aku… bukan sebagai mimpi, tapi sebagai bagian dari jiwamu yang pernah memilih cinta, walau hanya sebentar.”

Arel menangis dalam pelukannya. “Kalau aku bangun… apa aku akan lupa semuanya?”

Liria menarik napas, lalu mengangguk.

“Ya. Tapi aku tidak akan lupa kamu.”

Dan saat tirai tertutup terakhir kalinya, tubuh Arel perlahan terangkat, tersedot oleh cahaya putih yang hangat. Jiwanya ditarik kembali—ke dunia yang nyata, yang penuh dengan rasa sakit, tapi juga kemungkinan baru.

Di dunia nyata, seorang remaja laki-laki membuka matanya untuk pertama kalinya setelah koma singkat. Ibunya menangis bahagia. Dokter terkejut. Teman-teman sekolahnya datang bergiliran.

Tapi Arel hanya diam.

Karena di dalam hatinya, ada panggung yang hening. Kosong. Tanpa cahaya. Tapi ia tahu, di balik tirai sunyi itu, seseorang sedang duduk diam… menunggu satu tepuk tangan terakhir yang tak akan pernah datang.

Bab 8: Mimpi yang Tak Bisa Diceritakan

“Beberapa mimpi tidak diciptakan untuk diingat. Mereka hanya mampir untuk mengubah kita selamanya.”

Sudah dua minggu sejak Arel sadar dari koma.

Secara medis, semuanya tampak baik-baik saja. Tidak ada kerusakan otak, tidak ada luka dalam. Ia hanya… tertidur selama lima hari tanpa sebab pasti. Dokter menyebutnya “tidur yang dalam karena kelelahan ekstrem.”

Tapi Arel tahu. Ia tahu itu bukan tidur biasa.

Karena saat ia membuka mata, jiwanya terasa kehilangan sesuatu. Sesuatu yang pernah begitu hangat, begitu nyata—tapi perlahan mengabur. Ia tidak bisa mengingat nama gadis itu. Tidak bisa mengingat wajahnya. Tapi hatinya terasa kosong, seperti panggung besar yang lampunya dimatikan terlalu cepat.

Hari-hari di sekolah terasa asing. Teman-temannya mencoba bersikap seperti biasa, bercanda, mengajaknya kembali ke kehidupan normal. Tapi Arel hanya tersenyum kecil dan menunduk. Ia tidak tahu harus memulai dari mana.

Suatu sore, ia duduk sendirian di bangku taman sekolah, membuka catatan lamanya yang entah mengapa masih ia simpan. Di halaman tengah, ada coretan samar:

“Pertunjukan akan dimulai kembali jika kamu masih mengingat caranya bermimpi.”

Arel menyentuh tulisan itu. Ada perasaan aneh dalam dadanya—seperti rindu pada sesuatu yang tak bisa dijelaskan. Ia menutup mata. Mengatur napas.

Dan dalam sekejap, ia melihat kilasan—seorang gadis dengan rambut hitam, berdiri di bawah cahaya panggung, tersenyum tipis dengan mata sendu. Tapi sebelum ia sempat memanggil nama yang tak ia ingat, bayangan itu menghilang.

Ia membuka mata. Nafasnya berat. Dunia tampak terlalu terang. Terlalu nyata.

Malamnya, Arel duduk di kamar, lampu dimatikan. Ia mencoba tidur, berharap bisa kembali ke tempat yang selama ini terasa seperti rumah. Tapi hanya gelap. Tak ada panggung. Tak ada musik. Tak ada Liria.

Dan di tengah malam yang hening, ia bertanya pada dirinya sendiri:

“Apakah semua itu hanya mimpi?”

Tapi jiwanya tahu. Itu bukan mimpi biasa.

Karena meski wajah Liria telah memudar, Arel masih bisa merasakan sentuhannya. Meski suaranya tak lagi terdengar jelas, Arel tahu—di dalam diamnya malam, ada seseorang yang masih menunggunya di sisi lain tirai mimpi.

Beberapa hari kemudian, Arel kembali ke gedung teater tua di pinggir kota. Tempat yang dulu sering ia lewati sepulang sekolah. Tidak ada alasan jelas kenapa ia ke sana, hanya dorongan hati yang tak bisa ia tolak.

Gedung itu sudah lama kosong. Kursi-kursinya ditutupi kain putih, debu tebal menyelimuti panggung. Tapi saat Arel berdiri di tengah ruangan itu, jantungnya berdebar seperti mengenal tempat itu.

Ia menatap ke langit-langit, lalu ke panggung kayu yang mulai lapuk. Lalu ia bicara—dengan suara pelan, hampir seperti bisikan.

“Aku tidak ingat namamu… tapi aku tahu aku pernah mencintaimu.”

Angin aneh berembus. Tirai panggung bergoyang lembut. Dan selama beberapa detik… Arel melihatnya.

Bayangan gadis itu berdiri di tengah panggung. Tak berkata apa-apa. Hanya menatap. Lalu mengangguk pelan.

Lalu menghilang.

Arel tersenyum kecil. Tidak sedih, tidak bahagia. Hanya… damai.

“Mungkin tidak semua cinta harus bertahan. Tapi yang pernah ada, tidak akan benar-benar hilang.”

Dan malam itu, Arel tidur dengan tenang. Tidak bermimpi. Tidak berharap kembali. Tapi di hatinya, panggung itu tetap berdiri.

Sunyi.

Tapi abadi.

Bab 9: Saat Dunia Tidak Lagi Menonton

Hari-hari berlalu seperti lembaran naskah kosong. Arel kembali ke rutinitasnya. Ia belajar, tertawa pelan bersama teman-temannya, bahkan sesekali bermain basket di sore hari. Dari luar, semua tampak seperti remaja yang akhirnya sembuh dari luka yang tak terlihat.

Tapi di dalam, ada yang tidak pernah kembali sepenuhnya.

Panggung itu—yang dulu menjadi rumahnya dalam tidur—kini benar-benar diam. Bahkan bisikan, bayangan, atau cahaya samar pun tak lagi datang menyapanya di malam hari. Hanya tidur biasa. Gelap biasa. Sunyi biasa.

Dan Arel mulai menerima.

Hingga suatu sore, ketika ia berjalan sendiri melewati koridor sekolah yang sepi, seorang siswa perempuan dari kelas sebelah menghampirinya. Rambutnya dikuncir rendah, wajahnya asing tapi tatapannya tidak.

“Kamu… Arel, kan?” tanyanya.

Arel mengangguk. “Iya.”

“Aku cuma mau bilang,” ucap gadis itu, suaranya ragu. “Beberapa malam lalu, aku bermimpi aneh. Aku duduk di kursi teater. Dan ada dua orang di atas panggung. Seorang laki-laki dan seorang gadis. Mereka berpegangan tangan… dan saling melepas.”

Arel langsung menatap gadis itu. “Apa kamu ingat siapa mereka?”

Gadis itu menggeleng. “Tidak. Tapi waktu bangun… aku nangis. Padahal aku nggak tahu kenapa.”

Arel menunduk, menahan napasnya sendiri. Dunia, tampaknya, masih menyimpan jejak panggung itu. Meski kecil, meski samar—ia belum benar-benar hilang.

Gadis itu pergi dengan cepat, mungkin malu karena merasa aneh. Tapi bagi Arel, kata-katanya seperti getaran kecil yang mengetuk kembali pintu dalam dirinya.

Malam itu, Arel tidak berharap untuk bertemu Liria lagi. Tidak berharap pada pertunjukan atau mimpi yang megah. Ia hanya menyalakan lampu meja, membuka catatan lamanya, dan mulai menulis.

Bukan untuk memanggil Liria, tapi untuk mengingatnya.

Ia menulis kisah cinta tentang dua dunia yang berbeda. Tentang seorang gadis panggung yang tak boleh mencintai penonton. Tentang seorang anak laki-laki yang merasa lebih hidup dalam tidur. Tentang kehilangan yang tak menyakitkan, tapi tetap membekas seumur hidup.

Dan ketika ia menuliskan kalimat terakhir, ada air mata yang jatuh di sudut halaman.

“Aku tidak akan menonton lagi. Tapi aku akan selalu mengenang.”

Kemudian, sebelum ia tidur, Arel menatap langit-langit kamarnya dan berkata pelan,

“Terima kasih, Liria. Karena pernah hadir.”

Dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Arel tidur tanpa berharap. Tapi justru di sanalah… sesuatu yang lembut datang kembali.

Bukan panggung. Bukan lampu. Bukan penonton.

Hanya cahaya kecil. Hangat. Seperti cahaya dari senyum seseorang yang pernah ia cintai.

Dalam mimpinya, Arel berdiri di taman penuh bunga. Tidak ada penonton. Tidak ada dialog. Hanya dirinya… dan suara Liria yang datang seperti angin:

“Pertunjukan boleh usai, tapi rasanya akan terus tinggal dalam dirimu. Selamanya.”

Ketika Arel terbangun esok paginya, ia tidak menangis. Tidak sedih.

Ia hanya diam. Menatap langit pagi dari jendela.

Dan dalam hatinya, ia tahu—meski dunia tidak lagi menonton, kisah itu masih hidup. Bukan di atas panggung, bukan dalam tidur… tapi di dalam dirinya.

Bab 10: Tirai yang Tidak Pernah Benar-Benar Tertutup

“Kita tidak pernah tahu kapan sebuah pertunjukan benar-benar berakhir, karena kadang, yang paling menggetarkan hati bukanlah tepuk tangan penutup… tapi keheningan panjang setelahnya, ketika semua telah usai, dan kita duduk sendiri di kursi kosong, menyadari bahwa apa yang pernah kita lihat… telah mengubah kita selamanya.”

Tiga bulan telah berlalu sejak Arel terakhir bermimpi tentang panggung.

Tidak ada lagi Liria. Tidak ada lagi kursi penonton dari dimensi lain. Tidak ada lagi gaun putih di bawah sorot lampu. Yang tersisa hanyalah kehidupan yang nyata—dengan sekolah, tugas, suara motor lewat, dan suara televisi ibunya yang terlalu keras di malam hari.

Tapi ada satu hal yang berbeda.

Arel mulai menulis.

Ia menulis tanpa jeda, setiap malam, dalam diam. Cerita-cerita pendek, puisi, naskah-naskah panggung fiktif yang semuanya—walau tak ia sadari sepenuhnya—berisi bayangan Liria dalam bentuk lain. Sosok wanita yang hanya muncul dalam kalimat, tapi terasa begitu nyata dalam setiap paragraf.

Teman-temannya mulai menyadari perubahan itu. Arel tidak lagi tenggelam dalam diam. Ia mulai bicara. Tersenyum. Sesekali tertawa kecil. Tapi hanya dia yang tahu, semua itu bukan karena ia telah sembuh dari kehilangan, melainkan karena ia belajar hidup bersama rasa itu.

Karena ada cinta-cinta yang tidak bisa disembuhkan.

Hanya bisa diterima, dan dijaga dalam ruang yang tidak bisa disentuh siapa pun.

Sampai suatu hari, saat senja menggantung di langit seperti tirai teater yang setengah tertutup, Arel berjalan ke perpustakaan tua di pinggir kota. Di sana, ia menyerahkan naskah pertama yang ia tulis dengan serius kepada seorang editor lokal.

Judulnya sederhana: “Teater yang Hanya Tampil Saat Kamu Tidur”

Ia tidak berharap naskah itu akan terkenal. Ia tidak ingin jadi penulis besar. Ia hanya ingin satu hal: agar suatu hari, jika seseorang membaca cerita itu, dan merasa hatinya gemetar tanpa tahu kenapa—maka ia tahu, panggung itu belum sepenuhnya hilang.

Dan mungkin… Liria masih menari di sana.

Malam itu, saat Arel menatap langit-langit kamarnya yang sunyi, ia tidak berharap mimpi.

Tapi saat matanya perlahan terpejam, ia mendengar sesuatu.

Bukan suara. Bukan musik.

Tapi tepuk tangan pelan.

Lalu tirai terbuka, hanya sekejap.

Cahaya hangat menyorot wajah seorang gadis di panggung.

Liria tersenyum, tanpa kata.

Dan Arel tahu…

Meski dunia mereka telah berakhir, meski dimensi telah memisahkan, meski ia tidak bisa lagi bermimpi tentangnya seperti dulu—

Cinta itu tetap hidup.

Bukan di panggung.

Bukan dalam tidur.

Tapi dalam dirinya.

Dalam setiap cerita yang ia tulis.

Dalam setiap diam yang ia simpan.

Dan dalam setiap detik kehidupan yang ia jalani… dengan hati yang pernah disentuh oleh sesuatu yang tak bisa dijelaskan oleh logika dunia.

“Karena cinta sejati tidak selalu butuh tempat untuk tinggal. Kadang, ia cukup menjadi panggung kecil yang hidup di balik mata tertutup, terus mementaskan cerita, walau tanpa penonton, tanpa dialog, tanpa akhir.”

Tirai pun tertutup.

Tapi tak pernah benar-benar hilang.

TAMAT.

Novel ini ditulis oleh Evi Fauzi, Penulis dari  Novel Singkat . Baca juga novel romantis, petualangan dan fiksi ilmiah lainnya.

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

    Leave a Reply

    Your email address will not be published. Required fields are marked *