Dalam dunia yang retak akibat eksperimen dimensi paralel yang gagal, manusia kini hidup berdampingan dengan versi lain dari dirinya sendiri. Tak semua menyadari, tapi beberapa bisa merasakan—dan melihat.
Nahla, seorang ahli neurofisika muda, kehilangan kekasihnya dalam kecelakaan dua tahun lalu. Tapi dunia yang baru terbentuk mengembalikan kekasih itu… dalam dua versi berbeda. Satu penuh kehangatan dan kelembutan, seperti cinta yang Nahla kenal dulu. Satunya lagi gelap, dingin, penuh kemarahan, tapi mengungkapkan kebenaran tentang siapa Nahla sebenarnya.
Di tengah konflik antara realitas yang terus bergeser dan dua cinta dari dimensi berbeda yang saling menyingkirkan, Nahla menyadari: dirinya bukan versi asli dari dunia mana pun. Ia adalah hasil dari tabrakan realitas—dan jika ia memilih salah satu dari mereka, dirinya sendiri akan ikut lenyap.
Bab 1: Dunia yang Retak
Langit hari ini aneh. Warna birunya seperti kusam, seolah dilapisi filter kabur. Awan-awan bergerak berlawanan arah—sebagian ke kiri, sebagian ke kanan. Tapi tak ada angin. Nahla mendongak dari jendela laboratorium lantai 5, merasa seperti ada yang salah dengan dunia, lagi.
“Ini sudah ketiga kalinya minggu ini, kan?” gumamnya pelan sambil menatap langit yang makin kacau.
Di balik meja kerjanya, layar komputer penuh dengan rumus dan grafik yang tak selesai-selesai. Simulasi dimensi paralel—proyek yang dulu begitu menjanjikan, kini menjadi teka-teki tak berujung. Sejak ledakan kecil di ruang eksperimen dua bulan lalu, hal-hal aneh mulai terjadi. Bayangan yang bergerak sendiri. Cermin yang memantulkan gerakan lebih lambat dari kenyataan. Dan yang paling parah—suara yang muncul dari headset tanpa dinyalakan.
Nahla bukan tipe yang mudah panik. Ia terbiasa hidup di tengah kekacauan teori fisika kuantum dan eksperimen berisiko. Tapi sejak kejadian itu, ia mulai merasa… ada sesuatu yang mengikuti.
Awalnya ia kira hanya halusinasi. Tapi setelah rekannya, Dr. Rahman, tiba-tiba menghilang seminggu lalu, ia tahu ini bukan ilusi. Dr. Rahman bahkan meninggalkan catatan aneh: “Jika kau melihat dirimu di tempat yang seharusnya tidak ada cermin—jangan percaya dia.”
Seketika Nahla merinding. Ia menatap pantulan dirinya di layar hitam monitor yang baru saja mati. Entah kenapa, refleksnya terasa sedikit terlambat. Ia memalingkan wajah—tapi pantulan masih menatap lurus padanya.
“Cukup!” gumamnya, lalu berdiri.
Ia berjalan cepat ke lobi lantai dasar, menyapa sekuriti yang sedang main ponsel. “Pak Didin, tadi ada orang naik ke lab saya?”
“Enggak ada, Mbak. Sejak pagi sepi,” jawab Pak Didin sambil tersenyum. “Tapi… kayaknya saya tadi lihat Mbak lewat dua kali?”
Nahla menelan ludah. “Mungkin salah lihat ya, Pak.”
Ia melangkah keluar gedung, menuju taman kecil di sisi kanan. Di sana ada bangku kayu di bawah pohon kamboja yang jadi tempat favoritnya sejak kuliah. Duduk di situ, ia merasa sedikit lebih tenang. Dunia masih bisa terasa normal… kadang-kadang.
Sampai tiba-tiba ia melihat seseorang berdiri di seberang taman.
Tinggi, postur tubuh yang tak asing. Wajah… ya Tuhan. Wajah itu.
Jantung Nahla seolah berhenti berdetak.
Itu Ares.
Kekasihnya yang sudah meninggal dua tahun lalu karena kecelakaan pesawat. Rambut hitamnya, garis rahangnya, bahkan cara berdirinya—semuanya sama. Ia berdiri diam, mengenakan jaket abu-abu dan celana gelap, menatap langsung ke arah Nahla.
Tapi ekspresinya kosong. Matanya seolah mencari, lalu mengernyit, seolah tidak mengenal Nahla.
Nahla bangkit berdiri perlahan, langkahnya berat. “Ares…?”
Pria itu tidak menjawab. Hanya menatapnya sebentar, lalu berbalik dan pergi. Begitu cepat, seolah menghindar.
Tanpa pikir panjang, Nahla mengejar. Ia berlari menyeberang jalan, menelusuri lorong-lorong kecil antara bangunan kampus tua, mengikuti bayangan Ares yang makin menjauh.
Tapi saat ia sampai di tikungan, pria itu menghilang.
Hanya ada udara dingin dan dinding kosong.
Nafas Nahla tersengal. Ia berdiri diam, tak tahu harus merasa takut atau bahagia. Apakah itu benar Ares? Atau hanya seseorang yang sangat mirip?
Atau… apakah itu versi lain dari Ares?
Kata-kata Dr. Rahman kembali terngiang. “Kalau kau melihat seseorang yang tak seharusnya ada—jangan dekati.”
Tapi kenapa jantungnya malah berdebar seperti dulu, saat mereka masih saling mencintai?
Ponsel Nahla bergetar. Sebuah notifikasi masuk, tanpa nama pengirim.
“Dia bukan satu-satunya.”
Nahla terpaku. Pesan itu hanya lima kata, tapi cukup untuk menghancurkan seluruh rasa aman yang tersisa.
Siapa yang mengirim? Siapa “dia”? Dan lebih penting lagi… berapa banyak dari “dia” yang sebenarnya ada?
Hari itu, Nahla pulang lebih awal. Kepalanya penuh pertanyaan. Dunia di sekelilingnya memang tidak hancur secara fisik, tapi realitasnya seperti retak pelan-pelan. Ia tahu, sejak eksperimen itu gagal, segala sesuatu berubah.
Dan kini, satu-satunya hal yang ia tahu pasti adalah: Ares mungkin belum benar-benar pergi. Tapi Ares yang kembali… bisa jadi bukan miliknya.
Dan mungkin, dirinya pun bukan lagi Nahla yang lama.
Bab 2: Seseorang yang Tak Seharusnya Ada
Hujan turun tiba-tiba sore itu. Tanpa aba-aba, langit yang tadinya cuma mendung mulai menangis deras. Nahla berdiri di teras rumah kontrakannya, masih memegang ponsel yang tadi menerima pesan misterius.
“Dia bukan satu-satunya.”
Pesan itu masih terpampang. Tak ada nama pengirim. Tak bisa dibalas. Dan ketika dicari di histori, pesan itu menghilang seperti tak pernah ada.
Nahla sudah terbiasa dengan hal-hal aneh akhir-akhir ini, tapi kali ini terasa berbeda. Lebih dekat. Lebih nyata. Seolah dunia sedang berbisik langsung ke kepalanya.
Ia menghela napas dan masuk ke dalam rumah. Hening. Hanya suara detak jarum jam dan tetesan air dari atap bocor. Ia menyalakan lampu dan berusaha kembali ke realitas biasa: nasi yang belum dimasak, baju yang belum dilipat, dan laporan kerja yang belum selesai.
Tapi pikirannya tak bisa lepas dari sosok Ares. Ia masih bisa membayangkan sorot matanya, gerakan kecil tangannya saat menyibak rambut… semua terasa nyata. Terlalu nyata.
Malam harinya, Nahla terbangun karena suara ketukan.
Pelan, tiga kali. Tok… tok… tok.
Ia melirik jam dinding. 01:48. Siapa yang datang tengah malam begini?
Dengan langkah hati-hati, ia menuju pintu. Tak ada siapa-siapa. Tapi ada sebuah amplop cokelat yang diletakkan di bawah keset.
Tangannya sedikit gemetar saat mengambilnya. Di dalamnya hanya ada satu foto—dan sekali lagi, itu Ares.
Tapi kali ini berbeda.
Wajah Ares tampak lebih dingin. Sorot matanya tajam, bahkan sedikit marah. Ia mengenakan pakaian serba hitam dan sedang berdiri di depan pintu masuk gedung Lembaga Penelitian. Di pojok foto, ada tulisan tangan kecil: “Versi 2.0. Jangan dekat-dekat.”
Nahla memandangi foto itu lama, hingga akhirnya tertidur di sofa dengan kepala penuh tanda tanya.
Keesokan harinya, ia masuk ke kantor lebih pagi dari biasanya. Ia menyalakan komputer dan membuka log keamanan gedung. Mencari rekaman semalam. Tidak ada tanda-tanda orang masuk. Tapi saat membuka kamera parkiran belakang—ia melihatnya.
Pria dalam foto. Wajah Ares, tapi auranya benar-benar berbeda. Ia datang pukul 01:45, berdiri diam selama satu menit, lalu menghilang begitu saja—seolah tak pernah ada.
“Ini… nggak mungkin,” gumam Nahla.
Ia memutar ulang rekaman. Berkali-kali. Tapi hasilnya tetap sama. Ares—atau sesuatu yang menyerupainya—muncul dan lenyap begitu saja.
Siangnya, Nahla memilih pergi ke tempat terakhir ia melihat versi Ares yang pertama. Taman kampus. Bangku kayu di bawah pohon kamboja. Ia duduk, menunggu. Mungkin berharap. Mungkin nekat.
Dan kali ini, sosok itu muncul lagi.
Langkahnya tenang. Tatapannya lembut. Ia berdiri tak jauh dari bangku, memandangi Nahla seperti seseorang yang sedang berjuang mengingat masa lalu.
“Ares?” tanya Nahla, hampir berbisik.
Pria itu diam sejenak. Lalu tersenyum kecil. “Bukan.”
“Lalu… siapa kamu?”
“Aku seseorang yang tidak seharusnya ada di duniamu.”
Nahla menahan napas. Suaranya… benar-benar suara Ares. Hangat, dalam, dan terlalu familiar. Tapi kata-katanya—dingin dan tak terbantahkan.
“Aku pernah mencintaimu,” lanjutnya. “Di duniaku.”
Nahla menatap mata pria itu. Ada rasa sakit di dalamnya. Rasa kehilangan. Tapi juga ketegasan.
“Apa yang terjadi di duniamu?” tanya Nahla pelan.
“Duniaku hancur setelah aku kehilanganmu. Lalu dunia ini terbuka. Aku datang… karena aku ingin memperbaiki takdirku. Mungkin… takdirmu juga.”
Nahla menunduk. “Kau tahu aku bukan Nahla dari duniamu.”
“Dan aku bukan Ares dari duniamu. Tapi rasa itu… rasanya tetap sama.”
Mereka terdiam cukup lama. Dunia di sekitar mereka tetap berjalan—daun jatuh, angin bergerak, orang-orang berlalu lalang. Tapi di antara dua jiwa yang tak berasal dari tempat yang sama, waktu seolah berhenti.
“Kalau kau tinggal di sini, apa yang akan terjadi?” tanya Nahla akhirnya.
“Ada yang akan hilang. Karena dua dunia tak boleh bertemu terlalu lama. Salah satu dari kita… akan lenyap.”
Seketika itu juga, suara keras terdengar dari kejauhan. Seperti ledakan kecil. Nahla dan pria itu sama-sama menoleh.
Dari arah gedung penelitian, asap tipis mulai mengepul.
Nahla berdiri. “Apa itu—”
“Aku harus pergi,” kata pria itu cepat.
“Tunggu! Siapa kamu sebenarnya?”
Ia menatap Nahla dalam-dalam. “Versi pertamaku bilang aku harus menjauh darimu. Tapi aku nggak bisa. Maaf, Nahla.”
Lalu ia berbalik dan menghilang di antara pepohonan. Sama seperti kemarin. Sama seperti mimpi yang datang terlalu cepat dan pergi tanpa pamit.
Dan Nahla, sekali lagi, ditinggalkan dengan lebih banyak pertanyaan daripada jawaban.
Ia tidak tahu siapa pria itu. Ia tidak tahu kenapa dua dunia bisa bertemu. Tapi satu hal ia yakini sekarang—ada lebih dari satu Ares di dunia ini. Dan yang baru saja menemuinya…
Mungkin bukan satu-satunya juga.
Bab 3: Yang Lembut dan Melindungi
Beberapa hari berlalu sejak pertemuan aneh itu di taman kampus. Nahla masih belum bisa melupakan tatapan mata pria yang menyerupai Ares. Ada sesuatu yang janggal, tapi juga menenangkan. Seolah dirinya benar-benar pernah mencintai pria itu—meski dari dimensi lain.
Ia mencoba kembali menjalani hari seperti biasa. Bangun pagi, ke kantor, tenggelam dalam laporan eksperimen yang tak kunjung selesai. Tapi di balik semua itu, pikirannya tak pernah benar-benar lepas dari satu hal: Ares.
Sore itu, hujan turun lagi. Langit mendung seperti biasa, tapi entah kenapa, hujan kali ini terasa lebih damai. Nahla berjalan pelan keluar gedung penelitian, tak peduli tubuhnya mulai basah. Ada sesuatu dalam dirinya yang ingin mengikuti perasaan… bukan logika.
Dan benar saja, seperti yang diam-diam ia harapkan—pria itu berdiri di ujung jalan setapak menuju taman.
Namun, kali ini berbeda.
Ekspresinya lebih tenang. Tatapannya hangat. Saat melihat Nahla, ia tersenyum. Bukan senyum pahit seperti sebelumnya, tapi senyum yang terasa seperti rumah.
“Aku tahu kau akan datang,” katanya saat Nahla mendekat.
“Aku bahkan nggak yakin kenapa aku ke sini,” jawab Nahla pelan.
“Karena bagian dari dirimu ingin mengingat sesuatu yang sudah hilang.”
Mereka duduk berdampingan di bangku taman, suara hujan menjadi latar belakang yang sunyi tapi menenangkan. Hujan turun perlahan di antara mereka, membasahi daun kamboja yang jatuh satu per satu.
“Apa yang kau ingat tentang aku?” tanya Nahla, masih ragu apakah ia sedang berbicara dengan kenyataan atau hanya pengulangan dari rasa rindu.
Pria itu menatap jauh ke arah langit kelabu. “Aku ingat caramu menatap layar komputer terlalu lama tanpa sadar mengerutkan kening. Aku ingat kamu suka menyelipkan nota kecil di buku catatan lab kalau sedang marah sama aku, tapi tetap nggak mau bilang langsung.”
Ia tersenyum kecil. “Dan aku ingat, kamu selalu bilang kalau dunia bisa kacau asal kamu masih bisa minum kopi jam tiga pagi dengan orang yang kamu sayang.”
Nahla terdiam. Semua itu benar. Detail yang bahkan sahabatnya sendiri pun tak tahu. Dan Ares—atau siapapun pria ini—mengingatnya semua.
“Kau siapa sebenarnya?” bisik Nahla.
“Aku Ares. Dari dimensi di mana kamu dan aku sempat bahagia, sampai dunia kami hancur karena keputusan yang salah.”
“Aku… bukan Nahla dari duniamu.”
“Aku tahu. Tapi perasaan ini tetap sama.”
Nahla mengusap wajah yang basah karena hujan. Atau mungkin air mata. Ia bahkan tak yakin bedanya. Perasaannya terlalu campur aduk. Ia ingin mempercayai pria ini. Ingin tenggelam dalam semua kenangan yang seolah dikembalikan oleh semesta.
Tapi satu hal mengganjal.
“Kenapa kamu bilang dunia kalian hancur?”
Ares menghela napas. “Karena aku berusaha menyelamatkanmu. Tapi aku gagal. Dan semua berantakan. Ketika retakan dimensi terjadi, aku melihat celah ke dunia ini. Dan ternyata… kamu ada di sini. Versi lain darimu. Aku nggak bisa menahan diri.”
Ia menoleh, menatap Nahla lurus-lurus. “Aku tahu aku seharusnya nggak ikut campur. Tapi aku cuma ingin satu hal: membiarkanmu bahagia. Sekali ini saja.”
Nahla merasa hatinya pecah dalam diam. Seseorang dari dimensi lain… datang hanya untuk memastikan kebahagiaannya. Bahkan jika itu berarti ia tidak bisa memiliki Nahla.
“Kalau begitu, kenapa kamu masih di sini? Kenapa nggak pergi saja?”
Ares menunduk. “Karena aku juga manusia. Dan aku masih mencintaimu. Meskipun kamu bukan kamu yang sama.”
Hening jatuh di antara mereka. Hanya suara hujan dan detak jantung Nahla yang makin tak beraturan.
Ia akhirnya menatapnya. “Apa kamu akan tetap tinggal, walaupun aku tidak memilihmu?”
“Kalau itu bisa bikin kamu bahagia… iya.”
Dan di detik itu, Nahla merasa hatinya benar-benar leleh. Karena hanya cinta yang tulus yang bisa bertahan tanpa kepastian. Yang sanggup menunggu di tengah hujan tanpa tahu akan diterima atau diusir.
Hari itu, untuk pertama kalinya sejak lama, Nahla memegang tangan seseorang tanpa takut kehilangan.
Ia belum tahu apa yang akan terjadi besok. Belum tahu siapa yang akan lenyap, siapa yang akan tetap tinggal. Tapi untuk sesaat, di bawah hujan yang jatuh lembut, ia memilih untuk berhenti bertanya.
Dan hanya merasakan.
Bab 4: Yang Dingin dan Jujur
Hujan baru saja reda. Malam belum terlalu larut, tapi langit sudah gelap sejak sore. Nahla duduk sendiri di meja makan, menatap gelas kopi yang tak lagi hangat. Hatinya masih bergetar karena pertemuannya dengan Ares yang tadi—hangat, lembut, penuh kenangan.
Namun, dalam ketenangan itu, ada keresahan yang ia tak bisa jelaskan.
Seolah semesta belum selesai bermain dengannya.
Dan benar saja.
Ketika Nahla membuka pintu kamar untuk mengambil buku catatannya, ia terdiam.
Ada seseorang berdiri di dalam.
Pria.
Wajahnya… Ares. Tapi ini bukan Ares yang ia temui tadi. Ini bukan yang lembut. Sorot matanya tajam, rahangnya kaku, dan tubuhnya seolah menyatu dengan bayangan.
“Aku sudah menunggumu,” katanya tanpa ekspresi.
Nahla mundur satu langkah, spontan.
“Siapa kamu?” bisiknya.
Pria itu mendekat. Tenang. Matanya menatap lurus. “Aku versi lain. Mungkin versi yang kamu nggak mau kenal. Tapi aku yang paling jujur.”
“Apa maksudmu?” tanya Nahla, mencoba tetap tenang meski tangannya gemetar.
“Ares yang kamu temui tadi adalah kebohongan yang kamu mau percayai. Dia datang dari dunia yang rusak. Dunia yang hancur karena dia gagal menyelamatkanmu. Dan dia akan melakukannya lagi di sini… membuat semuanya berantakan.”
Nahla menelan ludah. “Kau juga bukan dari dunia ini.”
“Benar. Tapi aku tidak datang untuk memperbaiki. Aku datang untuk menghancurkan semua kemungkinan yang bisa menyebabkan kehancuran lagi.”
Kata-katanya terdengar dingin. Tapi bukan tanpa alasan. Ada semacam logika tajam dalam cara bicaranya—seperti mesin yang tahu persis apa yang harus dikorbankan demi hasil terbaik.
“Apa yang kamu maksud dengan menghancurkan?” tanya Nahla perlahan.
“Aku sudah melihat tiga dunia hancur karena emosi. Karena cinta. Karena kebingungan antara versi yang asli dan yang tidak. Aku datang untuk menghentikan semua itu. Termasuk kamu.”
“Termasuk aku?” suara Nahla melemah.
“Karena kamu juga bukan Nahla yang asli.”
Kepala Nahla terasa ringan seketika. Dunia seperti berputar. Ia memegang meja untuk menyeimbangkan diri.
“Apa maksudmu… aku bukan Nahla asli?” tanyanya pelan, hampir tidak terdengar.
Pria itu mendekat satu langkah, lalu berhenti. “Kamu adalah fragmen. Gabungan dari dua versi Nahla yang bertabrakan saat eksperimen dimensi gagal. Di dunia tempatku berasal, aku menyaksikan pembentukanmu. Kamu lahir bukan dari kelahiran… tapi dari tabrakan. Kamu adalah anomali.”
Nahla merasakan tubuhnya seperti bukan miliknya sendiri. Ucapan itu terlalu berat. Terlalu absurd. Tapi… sesuatu dalam dirinya seperti mengiyakan.
“Kalau kamu tahu semua ini, kenapa baru muncul sekarang?”
“Karena aku menunggu saatmu mulai percaya. Percaya bahwa dunia ini memang tak lagi tunggal. Percaya bahwa tidak ada yang benar-benar asli sekarang.”
Nahla memeluk tubuhnya sendiri. “Lalu apa yang kamu inginkan dariku?”
“Aku ingin kamu memilih. Sekarang. Siapa yang akan kamu pertahankan: Ares yang penuh harapan… atau dunia ini yang masih stabil?”
“Kenapa harus memilih?”
“Karena dua dunia tidak bisa terus bertabrakan tanpa konsekuensi. Semakin lama, batas antar dimensi akan lenyap. Dan saat itu terjadi, semua versi diri akan saling memakan. Semesta akan memulai ulang dari kehancuran.”
Nahla terdiam. Di pikirannya, semua kejadian akhir-akhir ini mulai masuk akal. Mimpi aneh, pantulan cermin yang tak sinkron, Ares yang muncul dua kali… dan dirinya yang kadang merasa seperti bukan dirinya sendiri.
“Kalau aku tidak memilih?”
“Kamu yang akan hilang duluan. Karena kamu adalah versi yang paling lemah ikatannya dengan realitas.”
Pria itu menatapnya dalam-dalam. Dingin, tegas, tapi tak ada kebencian. Ia hanya menyampaikan kenyataan yang mungkin paling brutal.
Nahla menggeleng. “Aku belum siap. Aku bahkan belum tahu siapa diriku sekarang…”
“Aku tahu. Tapi waktu kita tidak banyak.”
Pria itu berjalan ke arah jendela, menatap langit malam yang seperti penuh retakan halus.
“Besok pagi, batas akan terbuka. Jika kalian bertemu lagi di tempat yang sama, maka waktu memilih akan dimulai.”
“Apa kamu akan tetap muncul?”
“Tidak. Tugasku hanya memberitahu.”
Sebelum Nahla sempat bertanya lagi, pria itu sudah melangkah ke luar kamar. Saat Nahla berlari ke depan rumah untuk mengejarnya, tak ada siapa-siapa. Hanya udara malam yang basah dan sunyi.
Dan di tengah keheningan itu, Nahla merasakan sesuatu tumbuh dalam dadanya.
Takut.
Bukan takut akan kehilangan cinta. Tapi takut… kalau cinta itu sendiri mungkin tidak pernah nyata sejak awal.
Bab 5: Dua Cinta yang Bertabrakan
Pagi itu matahari bersinar cerah untuk pertama kalinya dalam dua minggu. Tapi tidak ada yang terasa hangat bagi Nahla.
Pikirannya masih dipenuhi bayang-bayang dua Ares—dua versi cinta yang berbeda arah. Yang satu membuatnya ingin bertahan. Yang satu memaksanya melihat kenyataan yang selama ini ia tolak.
Dan pagi itu, tepat seperti yang dikatakan pria dingin itu, keduanya muncul.
Bukan di mimpi.
Bukan di ilusi.
Tapi di depan mata, nyata, berdiri berseberangan di tengah taman kampus.
Nahla datang karena ingin menjawab semua pertanyaan. Tapi ia tidak pernah membayangkan akan melihat keduanya berdiri seperti bayangan dari dunia yang pecah.
Ares yang hangat datang dengan senyum yang sama seperti dulu. Matanya masih menyimpan rindu. “Aku tahu kamu akan datang,” katanya lembut.
Di sisi lain, Ares yang dingin berdiri diam, menatap lurus ke arah Nahla tanpa ekspresi. “Kau harus cepat. Waktumu terbatas.”
Nahla menatap mereka berdua. Hening. Hatinya bergemuruh.
“Apa kalian saling mengenal?” tanyanya akhirnya.
Mereka saling melirik. Sejenak. Canggung. Lalu Ares yang hangat bicara duluan, “Kami berasal dari akar yang sama. Tapi kami tumbuh di arah yang berbeda.”
“Dia adalah bagian dari masa lalu yang gagal,” tambah Ares yang dingin, nadanya datar. “Dan aku adalah bagian dari masa depan yang harus ditegakkan.”
“Kau tidak tahu apa-apa tentang cinta,” balas Ares yang hangat, mendekat satu langkah ke arah Nahla. “Kau hanya tahu bagaimana cara memotong perasaan.”
“Aku tahu cukup banyak untuk tahu bahwa perasaan bisa menghancurkan dunia,” jawab Ares yang dingin dengan nada tajam.
Nahla mengangkat tangannya. “Cukup! Ini bukan tentang kalian saja. Ini juga tentang aku.”
Keduanya menatap Nahla. Kali ini bersamaan.
“Kenapa harus memilih?” tanya Nahla lirih. “Kenapa harus salah satu menghilang? Kenapa tidak… kalian tetap?”
Ares yang dingin menatapnya lama. “Karena keberadaan kami bertolak belakang. Kami adalah dua ujung yang tidak bisa berada dalam satu garis waktu. Jika kamu memilih salah satu, realitas akan menstabilkan dirinya sendiri.”
“Dan yang satunya… akan musnah?” tanya Nahla, hampir tak bisa bicara.
“Iya,” jawab keduanya nyaris bersamaan.
Nahla berbalik, menatap langit. Tak ada yang aneh pagi itu. Tapi ia tahu—realitas sedang retak di bawah permukaannya. Ia bisa merasakannya. Getaran di udara. Bayangan yang terlalu cepat atau terlalu lambat. Dan dirinya… terasa semakin ringan, seolah sebentar lagi akan larut.
Ares yang hangat mendekat. “Kau tahu apa yang kita miliki dulu? Aku masih menyimpannya. Semua tawa kita. Semua janji. Aku ingin hidup bersamamu, di dunia ini. Bukan karena ini tempatku. Tapi karena kamu di sini.”
Lalu Ares yang dingin menyusul. “Dan aku tahu kamu sedang membangun cerita palsu dalam kepalamu. Tapi kau harus tahu: kau adalah bentukan dua dunia yang gagal. Jika kau memilih emosi, kau akan mengulangi kehancuran yang sama. Dan kali ini… tidak akan ada yang bisa menyelamatkan.”
Nahla ingin menjerit. Tapi tak ada suara yang keluar.
Kenapa dunia memaksanya memilih antara dua kebenaran yang sama-sama menyakitkan? Satu menawarkan kenangan, satu memaksa berpikir. Tapi keduanya mencintainya. Dengan caranya masing-masing.
Tiba-tiba, bumi sedikit bergetar. Bangunan di kejauhan tampak bergetar. Orang-orang menoleh panik, tapi tak ada yang tahu sumbernya.
“Kau harus pilih sekarang!” seru Ares yang dingin.
“Jangan buru-buru. Ini hidupmu. Bukan eksperimen,” kata Ares yang hangat sambil memegang tangan Nahla.
Dan dalam sentuhan itu, Nahla melihat kilatan kilas balik.
Dirinya… tertawa bersama Ares di laboratorium.
Dirinya… menangis di bahu Ares saat kehilangan ibunya.
Dirinya… memeluk Ares saat keduanya ingin menyerah pada dunia.
Lalu muncul kilasan lain.
Dirinya… terjatuh di lantai laboratorium, melihat dua tubuhnya sendiri terbaring berdampingan.
Dirinya… bangkit dari eksperimen yang gagal, dengan ingatan yang kabur, identitas yang tidak utuh.
Seketika itu, ia sadar satu hal:
Tidak ada pilihan yang benar.
Karena semua ini bukan tentang siapa yang lebih ia cintai. Tapi siapa yang ingin ia percayai… untuk tetap hidup bersama dirinya yang tak sempurna.
Air mata jatuh satu per satu.
Lalu Nahla berkata pelan, “Kalau aku harus kehilangan salah satu dari kalian… biarkan aku memilih dengan jujur. Tapi tolong… jangan saling menghancurkan.”
Kedua Ares menunduk.
Dan langit mulai berubah.
Satu dari mereka akan lenyap.
Tapi siapa?
Bab 6: Diri yang Tak Pernah Asli
Ketika dunia kembali tenang, langit justru berubah warna. Bukan lagi biru. Bukan kelabu. Tapi gradasi asing yang tak bisa didefinisikan—seolah langit pun bingung berada di realitas yang mana.
Nahla berdiri sendiri di taman.
Keduanya telah menghilang.
Bukan secara fisik, tapi seakan realitas telah menutup pintu. Seperti saat dua file bertabrakan, lalu sistem secara otomatis memilih versi yang dianggap paling stabil.
Namun Nahla tidak tahu… siapa yang bertahan. Ares yang hangat? Atau yang dingin? Atau mungkin… keduanya telah menghilang, dan hanya dirinya yang tersisa—sendiri di antara retakan semesta.
Ia pulang dengan kepala berat dan hati kosong. Di meja ruang tamu, ada sesuatu yang tak ia tinggalkan sebelumnya: sebuah amplop putih. Di atasnya tertulis namanya, dengan huruf tangannya sendiri.
Nahla membuka perlahan. Di dalamnya ada salinan arsip: dokumen eksperimen dimensi paralel. Ia menatapnya penuh keraguan, lalu membaca.
Dan di sanalah segalanya mulai runtuh.
Subjek uji: Nahla.
Kode: N-H3X.
Prosedur: penggabungan dua entitas dari dua dimensi.
Tujuan: menciptakan versi Nahla yang paling stabil secara emosional dan intelektual.
Catatan tambahan: versi ini memiliki kecenderungan melankolis dan kehilangan orientasi realitas setelah hari ke-30. Waspadai penolakan eksistensial.
Tangan Nahla gemetar.
“Jadi… aku bukan aku?” bisiknya lirih.
Ia memejamkan mata, mencoba menolak apa yang baru saja dibacanya. Tapi semuanya mulai masuk akal. Ingatannya yang terasa campur aduk. Emosinya yang tak pernah utuh. Ketertarikannya yang sama besar pada dua Ares berbeda—seolah masing-masing mengisi bagian dirinya yang terbelah.
Ia berjalan ke cermin.
Menatap wajahnya sendiri.
“Siapa aku sebenarnya?”
Pantulan di dalam cermin bergerak sedikit terlambat. Tapi kali ini, ia tidak terkejut. Ia hanya menatap balik dengan tatapan yang sama kosongnya.
Lalu pantulan itu bicara lebih dulu.
“Aku versi pertama. Kamu adalah aku… setelah dunia dipecah jadi dua.”
Nahla mundur pelan.
“Berapa banyak dari kita yang ada?” tanyanya.
“Tak ada yang tahu pasti. Tapi kamu… kamu adalah Nahla yang paling dekat dengan stabilitas. Itu sebabnya semua versi lain ingin menjadi kamu. Dan itu sebabnya kamu selalu merasa… dikejar sesuatu.”
“Apa itu berarti aku… tidak nyata?”
“Tidak ada yang sepenuhnya nyata, jika semua adalah potongan. Tapi kamu hidup. Kamu merasa. Itu cukup.”
Nahla meneteskan air mata. “Tapi kalau aku bukan satu-satunya aku, bagaimana aku tahu apa yang benar?”
Pantulan tersenyum tipis. “Dengan membuat keputusan yang tidak didasarkan pada kenangan siapa pun. Tapi atas dasar keberanianmu sendiri.”
Lalu pantulan itu perlahan memudar. Dan kali ini… tidak kembali.
Nahla terduduk di lantai. Matanya basah. Tubuhnya lemas. Tapi untuk pertama kalinya, tidak ada kebingungan. Tidak ada suara lain di dalam kepalanya. Hanya satu suara. Miliknya.
Ia memegang dokumen itu erat-erat, lalu membakarnya di tempat sampah logam.
Bukan karena ingin menghapus kebenaran.
Tapi karena ia ingin mulai dari nol.
Tanpa perintah. Tanpa kode. Tanpa label.
Dan saat api melahap kertas terakhir, Nahla menatap keluar jendela. Langit mulai berwarna biru lagi. Tapi entah kenapa… biru itu terlihat seperti warna baru yang belum pernah ia lihat sebelumnya.
Mungkin, itu warna dirinya sendiri.
Bab 7: Dunia Mana yang Akan Hancur
Tiga hari sejak Nahla membakar dokumen itu, dunia tampak… tenang. Terlalu tenang.
Langit kembali biru. Cermin tak lagi bergerak aneh. Bayangan berjalan mengikuti tubuh seperti biasa. Bahkan suara misterius yang biasa muncul di malam hari kini menghilang total. Seperti semua kekacauan itu hanya mimpi buruk yang akhirnya selesai.
Tapi Nahla tahu lebih baik dari itu.
Ketika dunia terlihat terlalu sempurna, bisa jadi itu bukan dunia yang asli. Mungkin… itu dunia yang sedang menunggu kehancurannya sendiri.
Pagi itu, ia menerima email misterius tanpa pengirim. Judulnya hanya satu kata: “TITIK TENGAH.” Isi email itu berupa peta digital dengan satu koordinat: sebuah wilayah terbengkalai di pinggir kota, dulunya lokasi eksperimen dimensi sebelum insiden.
Tanpa pikir panjang, Nahla langsung berangkat ke sana. Entah karena penasaran, atau karena dorongan insting. Ia tidak tahu siapa yang mengirim. Tapi sesuatu dalam dirinya berkata: jawaban ada di sana.
Tempat itu sunyi. Reruntuhan bangunan kaca yang retak seperti jaringan saraf pecah. Dinding-dindingnya masih menyimpan bekas ledakan kecil, namun suasananya terasa… hidup. Seperti tempat ini masih bernapas diam-diam.
Di tengah bangunan, Nahla menemukan sebuah kapsul raksasa setengah terkubur. Di dalamnya, terdapat dua layar holografik yang menyala bersamaan—dan di masing-masing layar, wajah yang sama muncul.
Dua Ares.
Yang hangat dan yang dingin.
Keduanya menatap Nahla. Wajah mereka serius, tapi tak menyerang.
“Kamu sudah sampai,” kata Ares yang hangat.
“Kamu datang sendirian. Itu bagus,” sahut Ares yang dingin.
“Tempat ini dulunya titik awal semua retakan. Dan sekarang, akan jadi tempat terakhir jika kamu memilih.”
Nahla menelan ludah. “Memilih apa?”
Ares yang dingin menjawab cepat, “Dunia mana yang akan tetap hidup.”
“Setelah tabrakan dimensi, dua dunia utama saling bertahan. Tapi hanya satu yang bisa jadi realitas utama. Dan kamu… adalah penentunya.”
Nahla menatap layar. “Kenapa aku?”
“Karena kamu adalah produk dari keduanya,” jawab Ares hangat. “Kamu satu-satunya yang bisa menjembatani dua semesta.”
“Kalau aku salah memilih?”
Ares yang dingin menunduk. “Maka kedua dunia bisa runtuh sekaligus.”
Seketika ruangan terasa berputar. Tekanan udara berubah. Dunia di luar mulai terlihat terdistorsi—gedung-gedung berdenyut pelan seperti jantung, aspal jalan memantulkan bayangan yang tak sesuai arah cahaya.
Realitas sedang goyah.
“Aku nggak tahu harus pilih yang mana,” ucap Nahla pelan. “Satu sisi penuh kenangan. Satu sisi penuh logika. Keduanya menyakitkan, tapi juga nyata.”
“Kamu tak harus memilih berdasarkan cinta,” kata Ares yang hangat. “Pilih karena kamu tahu mana dunia yang membuatmu tetap menjadi dirimu sendiri.”
“Dan jangan tertipu oleh yang nyaman,” tambah Ares yang dingin. “Nyaman bukan berarti benar.”
Nahla memejamkan mata.
Bayangan dari dua dunia datang silih berganti. Dirinya yang tertawa bersama Ares di laboratorium. Dirinya yang menangis sendirian di dunia yang beku. Dirinya yang tak tahu siapa dirinya.
Semua versi datang, berdiri di sisi-sisi pikirannya.
Lalu sebuah suara lembut muncul dalam kepalanya sendiri. Kali ini bukan Ares. Bukan pantulan. Tapi suaranya sendiri.
“Kamu tidak harus memilih siapa. Tapi kamu harus memilih versi hidup seperti apa yang ingin kamu perjuangkan.”
Dan saat Nahla membuka mata, ia sudah tahu jawabannya.
Ia menekan tombol di tengah layar kapsul.
Dan dunia… mulai memilih.
Langit tiba-tiba berubah warna. Seperti kilatan pelangi yang menjerit. Udara menggulung masuk ke dalam dirinya sendiri. Ruang melengkung. Waktu seolah berhenti sejenak.
Lalu semuanya diam.
Benar-benar diam.
Sampai akhirnya, satu suara terdengar pelan.
“Nahla…”
Ia menoleh.
Ares berdiri di belakangnya. Tapi hanya satu.
Ia tidak tahu yang mana.
Namun anehnya… ia tidak butuh tahu.
Karena pria itu menatapnya bukan sebagai versi siapa pun.
Tapi sebagai seseorang yang akhirnya… nyata.
Bab 8: Pilihan yang Menyakitkan
“Ares…?”
Suara Nahla gemetar.
Pria itu berdiri di depan reruntuhan kapsul yang kini mati total. Langit di belakangnya kembali stabil—biru pucat tanpa retakan. Angin berembus pelan, membawa aroma logam dan debu.
Tapi tidak ada yang lebih menggetarkan Nahla selain kenyataan bahwa pria ini… benar-benar Ares.
Wujudnya nyata. Suaranya utuh. Tapi di dalam matanya, tak ada petunjuk siapa dia: Ares yang hangat, atau yang dingin.
Atau… keduanya?
“Aku masih di sini,” katanya, dengan suara yang hampir tak bisa dipercaya Nahla.
“Kau… yang mana?” tanya Nahla perlahan.
Pria itu terdiam. Lalu menunduk. “Aku… bagian dari semuanya. Tapi bukan siapa-siapa sekarang.”
“Kau nggak ngerti… aku tadi baru saja memilih. Menekan tombol yang menentukan satu dunia dan—”
“Aku tahu,” potongnya pelan. “Dan karena pilihanmu… aku bisa ada di sini. Tapi pilihan itu punya harga.”
Nahla menelan ludah. “Harga?”
Ares mengangkat pandangan. Sorot matanya lembut, tapi penuh beban. “Harga dari menyatukan dua dunia bukan hanya kehilangan satu versi… tapi kehilangan bagian dari dirimu juga.”
Hati Nahla mencelos. Ia melangkah mundur tanpa sadar. “Apa maksudmu?”
“Kamu akan mulai lupa. Tentang salah satu dari kami. Tentang kenangan dari dunia yang tak terpilih. Itu efek dari realitas menyesuaikan diri. Dunia tidak bisa memuat dua jalur ingatan yang saling bertolak belakang.”
Nahla menggigit bibirnya sendiri. “Tapi… bagaimana kalau aku nggak mau lupa?”
Ares mendekat. “Kamu sudah lupa setengahnya. Itu sebabnya kamu tidak bisa mengenaliku.”
Nahla memejamkan mata, mencoba menggali semua memori. Tentang tawa. Tentang pertengkaran. Tentang malam-malam panjang di bawah hujan. Tapi semuanya samar. Pecah. Seperti fragmen kaca yang mengambang dalam air.
Ia membuka mata, dan air mata mengalir begitu saja. “Aku nggak tahu siapa yang aku cintai.”
“Karena kamu pernah mencintai kami berdua… dengan cara yang berbeda,” jawab Ares.
“Lalu apa yang harus aku lakukan sekarang?”
Ares diam lama. Lalu berkata pelan, “Kamu harus hidup. Bukan mengingat. Bukan memilih ulang. Tapi hidup, dengan siapa dirimu sekarang.”
Nahla memeluk dirinya sendiri. Bukan karena dingin, tapi karena tubuhnya mulai terasa asing. Ia tahu ia mulai berubah. Realitas sedang menyesuaikan. Dunia sedang menyusun ulang dirinya.
Dan seperti kata Ares… bagian dari dirinya akan hilang.
Tapi bagian yang mana?
Ares menggenggam tangannya. “Kalau kamu lupa aku besok… nggak apa-apa. Asal kamu bahagia.”
“Kamu terlalu baik untuk menjadi versi yang dingin,” ucap Nahla pelan.
Ares tersenyum tipis. “Dan terlalu logis untuk menjadi versi yang hangat. Mungkin… aku adalah versi yang tersisa saat keduanya berhenti bertarung.”
Nahla tertawa kecil sambil menangis. “Aku tidak tahu apakah aku bisa hidup tanpa mengingat siapa kamu.”
“Kamu nggak perlu ingat semuanya,” bisik Ares, “cukup ingat rasanya.”
Dan di tengah reruntuhan semesta yang sedang menyatu ulang, mereka saling berpegangan.
Tidak untuk menahan.
Tapi untuk melepaskan dengan perlahan.
Malam itu, Nahla terbangun dari tidur dengan kepala berat. Ia duduk di tepi ranjang, menatap lantai yang basah oleh embun pagi yang masuk dari jendela terbuka.
Ia meraba dada. Ada rasa hampa.
Tapi juga damai.
Di meja kecil di sebelah tempat tidur, ada sebuah catatan kecil. Tulisannya dengan gaya khas yang anehnya familiar:
“Jika kamu tidak ingat namaku, itu bukan salahmu.
Tapi jika kamu masih bisa tersenyum esok pagi, berarti aku sudah cukup berarti. – A”
Nahla menggenggam kertas itu.
Ia tidak tahu siapa A.
Tapi ia tahu, seseorang… pernah sangat ia cintai.
Dan meski nama itu perlahan memudar, perasaannya tetap ada.
Karena cinta tidak selalu butuh ingatan.
Terkadang, cinta cukup terasa.
Bab 9: Pecahan dari Diri Sendiri
Hari-hari berjalan seperti biasa… atau setidaknya, terlihat seperti biasa. Nahla kembali ke laboratorium, kembali ke rutinitas. Tak ada lagi pesan aneh di ponsel. Tak ada pantulan ganjil di cermin. Dunia seperti sudah ‘pulih’.
Tapi Nahla tahu, ia sedang hidup di versi dunia yang telah diperbaiki—dipilih.
Dan dalam dunia yang telah dipilih, selalu ada sesuatu yang dikorbankan.
Ia mulai lupa.
Satu pagi, ia mencoba mengingat bagaimana suara tawa Ares terdengar. Tapi yang muncul hanya gema samar. Bukan hilang sepenuhnya, tapi seperti bisikan dari dunia lain yang terpotong di tengah kalimat.
Ia membuka catatan kecil yang ia simpan di laci meja. Hanya satu huruf di sana: A.
Tapi ia tak tahu siapa yang menulisnya. Atau… kenapa ia merasa harus menyimpannya.
Siang itu, saat hujan turun tiba-tiba seperti kebiasaan langit beberapa minggu terakhir, Nahla memutuskan untuk kembali ke tempat awal segalanya: taman kampus.
Bangku kayu masih ada. Pohon kamboja masih berdiri, tapi sebagian daunnya menguning.
Nahla duduk pelan. Menyentuh sandaran bangku dengan ujung jari. Dan tiba-tiba…
Sesuatu dalam dirinya pecah.
Tapi bukan patah.
Lebih seperti terbuka.
Seolah semua potongan dirinya yang sempat dibuang atau tersembunyi, mulai muncul kembali. Bukan dalam bentuk kenangan utuh, tapi kilasan rasa.
Kilasan perasaan saat pertama kali jatuh cinta.
Kilasan ketakutan saat harus memilih.
Kilasan keberanian saat menekan tombol di kapsul itu.
Kilasan kesedihan… saat harus lupa.
Lalu semua itu menyatu menjadi satu versi baru dari dirinya sendiri.
Ia bukan lagi Nahla yang dulu.
Bukan versi dari dimensi manapun.
Ia adalah Nahla yang telah kehilangan dan memilih. Yang tak lagi punya dua jalan, tapi tetap berjalan sendiri.
Sore itu, ketika ia kembali ke rumah, cermin di kamarnya mulai berembun karena hujan.
Dan untuk pertama kalinya sejak semuanya berakhir, ia melihat bukan satu pantulan.
Melainkan empat.
Semua berdiri sejajar, menatapnya.
Satu dengan wajah marah.
Satu dengan mata penuh air mata.
Satu dengan senyum tulus.
Satu dengan ekspresi kosong.
Nahla menahan napas.
“Apa kalian… aku?” tanyanya pelan.
Keempat pantulan mengangguk bersamaan.
“Kalian bagian dari… semua versi?”
Yang menangis menjawab duluan, “Aku bagian dari kamu yang tidak pernah berani mengungkapkan perasaan, dan akhirnya kehilangan segalanya.”
Yang tersenyum bicara, “Aku adalah kamu yang memilih cinta, meski tahu itu akan berakhir.”
Yang marah menimpali, “Aku adalah kamu yang ingin menghancurkan semuanya. Termasuk dirimu sendiri.”
Dan yang kosong berkata, “Dan aku… adalah kamu yang terus bertahan walau tak lagi percaya apapun.”
Nahla menggenggam sisi meja. “Lalu siapa aku sekarang?”
Keempatnya menjawab bersamaan, “Kamu adalah sisa dari semua kami. Tapi juga awal dari yang baru.”
Dan dalam sekejap, keempat pantulan itu pudar. Bukan lenyap. Tapi melebur menjadi satu—menyatu ke dalam dirinya.
Nahla berdiri lama di depan cermin.
Memandang pantulan dirinya yang kini utuh.
Dan untuk pertama kalinya, ia tak bertanya-tanya siapa dirinya.
Karena jawaban itu bukan lagi siapa dia dulu.
Tapi siapa yang ia pilih untuk jadi.
Bab 10: Di Antara Dua Versi Dirimu
Waktu terus berjalan.
Dan Nahla… tetap ada.
Ia tidak menjadi siapa pun secara mutlak. Ia juga tidak memiliki seseorang secara penuh. Tapi ia hidup. Dengan dirinya sendiri. Dengan kenyataan yang telah ia pilih dan luka yang telah ia biarkan sembuh perlahan.
Hari itu, langit kembali retak—bukan secara fisik, tapi secara simbolik. Retakan yang dulu membelah dua dunia kini hanya muncul sebagai kilatan samar di langit petang. Seperti sisa-sisa luka lama yang tak pernah benar-benar hilang, tapi juga tak lagi menyakitkan.
Nahla berjalan di tengah kampus yang lengang. Pohon-pohon berguguran dengan tenang. Tidak ada lagi anomali. Tidak ada dua versi dari satu orang. Tidak ada pilihan yang menunggu dibuat.
Tapi ada satu hal yang belum selesai.
Ia duduk di bangku taman. Tempat semua itu dimulai. Tangannya memegang catatan kecil yang dulu ditinggalkan Ares—yang kini sudah lusuh dan sobek di ujungnya.
Ia membacanya lagi.
“Jika kamu tidak ingat namaku, itu bukan salahmu.
Tapi jika kamu masih bisa tersenyum esok pagi, berarti aku sudah cukup berarti. – A”
Dan ia tersenyum.
Bukan karena mengingat.
Tapi karena menerima.
Karena akhirnya ia tahu, tidak semua hal perlu diingat untuk dianggap nyata. Tidak semua cinta harus dimiliki untuk dianggap ada. Kadang, cinta cukup hidup sekali… dalam satu versi, satu momen, satu rasa.
Tiba-tiba, dari arah belakang bangku, seseorang datang. Langkahnya pelan, suaranya tak terdengar, tapi bayangannya terpantul di kaca jendela gedung yang basah embun.
Nahla menoleh perlahan.
Pria itu berdiri di sana. Tingginya familiar. Senyumnya tak asing. Tapi tidak ada label dalam benaknya.
Ia tidak tahu nama pria itu.
Tapi hatinya… terasa tenang melihatnya.
“Kita pernah kenal?” tanya Nahla sambil berdiri.
Pria itu mengangkat bahu, tersenyum. “Mungkin di versi yang lain.”
“Aku suka versi ini,” ujar Nahla pelan.
Pria itu menatap langit. “Kalau begitu, jangan biarkan versi yang lain mengacaukannya.”
Nahla tertawa kecil. “Sudah cukup banyak versi. Sekarang aku mau jadi satu aja.”
Lalu mereka berjalan berdampingan, menyusuri taman yang basah dan dunia yang perlahan kembali tenang. Tak ada yang istimewa dalam percakapan mereka sore itu. Tapi dalam kesederhanaan itu, Nahla menemukan kedamaian.
Karena cinta yang paling dalam bukan yang datang dengan dentuman, tapi yang tinggal diam-diam, melebur dalam kenyataan yang paling jujur.
Dan pada akhirnya…
Tak peduli siapa yang dulu dipilih.
Tak peduli siapa yang dulu lenyap.
Karena Nahla sudah memilih satu hal yang lebih penting dari semua itu:
Dirinya sendiri.
Tamat.
Novel ini ditulis oleh Evi Fauzi, Penulis dari Novel Singkat . Baca juga novel romantis dan fiksi ilmiah lainnya.