Novel Singkat Teater yang Hanya Tampil Saat Kamu Tidur
Novel Singkat Teater yang Hanya Tampil Saat Kamu Tidur

Novel Singkat: Teater yang Hanya Tampil Saat Kamu Tidur

Reno, seorang remaja pendiam yang gemar menulis skenario drama untuk ekstrakurikuler teater di sekolahnya, mulai mengalami mimpi aneh setiap malam. Dalam mimpinya, hidupnya sendiri dipentaskan di sebuah teater megah oleh para aktor tak dikenal—dan ia hanya duduk di bangku penonton. Namun semuanya berubah saat seorang aktris misterius bernama Alma, yang seharusnya hanya bagian dari panggung, menatapnya dan mulai berbicara padanya. Mereka saling jatuh cinta, melanggar batas antara mimpi dan kenyataan.

Saat hubungan mereka tumbuh, Reno mulai kehilangan pijakan di dunia nyata. Ia dilupakan, digantikan, dan perlahan terseret ke dunia panggung yang tak memiliki naskah pasti. Bersama Alma, Reno harus menemukan jalan untuk menulis akhir cerita mereka sendiri sebelum dunia memilih menghapus salah satu dari mereka selamanya.

“Teater yang Hanya Tampil Saat Kamu Tidur” adalah kisah magis tentang cinta, kehilangan, dan perjuangan untuk memilih takdir sendiri di antara panggung dan kenyataan.

Bab 1: Malam Pertama yang Bertepuk Tangan

Malam itu, langit mendung seperti biasa. Tidak ada bintang, tidak ada suara. Hanya detak jarum jam tua yang menggantung di dinding kamar Reno. Ia merebahkan tubuhnya perlahan, membiarkan rasa kantuk mengambil alih, tanpa tahu bahwa tidur kali ini akan membawanya ke sesuatu yang berbeda.

Saat matanya tertutup sepenuhnya, Reno merasa tubuhnya jatuh. Seperti meluncur dalam lorong udara yang tak berujung. Namun tidak menakutkan. Justru terasa… elegan. Saat ia membuka mata, ia sudah berada di sebuah ruangan luas berwarna emas kusam. Lampu-lampu gantung bergoyang perlahan di langit-langit tinggi. Karpet merah terbentang hingga ke depan, ke arah sebuah panggung besar yang diterangi cahaya hangat.

Ia duduk. Kursinya empuk, berderet rapi bersama ratusan lainnya, semua kosong. Tapi suara ramai terdengar di sekelilingnya, meski ia tak melihat satu pun penonton. Seolah ada ribuan jiwa tak kasatmata yang duduk bersama di ruangan itu.

Lalu tirai panggung terbuka.

Adegan pertama dimulai. Seorang anak kecil duduk di ayunan taman kecil, sendirian. Rambutnya mirip Reno. Baju yang ia pakai juga sama seperti foto masa kecilnya yang pernah ia lihat di album. Reno mencondongkan tubuh ke depan, matanya terpaku. Ia menyaksikan seluruh masa kecilnya diperankan di atas panggung, dengan detail yang terlalu sempurna. Bahkan patah sandal saat perayaan sekolah pun ditampilkan.

Reno bergumam pelan, “Apa ini?”

Pemeran anak kecil tumbuh menjadi remaja. Sekolah, persahabatan yang gagal, cinta pertama yang tak berbalas. Semua diperlihatkan seolah teater itu menyimpan semua ingatannya. Tapi Reno tidak merasa takut. Ia merasa seperti melihat dirinya dari sudut yang tak pernah ia pikirkan sebelumnya.

Anehnya, ia tidak sendiri di atas panggung.

Ada sosok perempuan yang tak pernah ia kenal, namun selalu hadir di hampir setiap adegan. Ia memainkan peran kecil, seperti orang asing yang lewat, murid tambahan di kelas, bahkan penjual es krim yang hanya muncul sebentar. Tapi wajahnya selalu sama. Lembut. Seolah mengenal Reno lebih baik dari dirinya sendiri.

Ketika pertunjukan usai, lampu-lampu padam perlahan. Namun suara tepuk tangan menggema begitu meriah, membuncah dari segala arah. Padahal tidak ada satu pun penonton yang terlihat.

Tiba-tiba, lampu sorot menyala kembali. Bukan ke panggung. Tapi ke arah Reno.

Dan di depan panggung, berdiri sosok gadis itu. Ia melihat Reno. Bukan sekadar melihat, tapi menatap langsung ke matanya, seolah ia tahu bahwa Reno bukan bagian dari pertunjukan. Ia mendekat satu langkah. Reno menegakkan punggungnya. Jantungnya berdetak lebih cepat, padahal ini hanya mimpi.

Namun sebelum ia sempat mengatakan apapun, lampu mati total. Dan segalanya lenyap.

Reno terbangun dengan napas tak beraturan. Kamar masih gelap, tapi jam menunjukkan pukul tiga pagi. Ia menyalakan lampu, duduk diam beberapa saat, memegangi dadanya.

“Aneh,” gumamnya. “Terlalu nyata.”

Hari itu ia tidak bisa fokus. Di sekolah, suara guru terdengar seperti gema dari kejauhan. Teman-temannya berbicara, tapi tak satu pun masuk ke kepalanya. Ia sibuk memikirkan mimpi itu. Teater, pertunjukan hidupnya, dan gadis itu.

Apa arti semua itu?

Malam berikutnya, Reno berharap mimpi itu akan kembali. Dan ternyata, benar.

Ia sekali lagi terlempar ke teater itu. Sama persis. Kursi yang sama, cahaya yang sama. Tapi kali ini, teater dipenuhi penonton—bayangan-bayangan samar duduk berjajar di sekelilingnya. Mereka tak memiliki wajah, hanya siluet. Tapi suara tepuk tangan dan tawa mereka nyata.

Di atas panggung, Reno melihat adegan ketika ia dikeluarkan dari klub basket karena gagal menuruti pelatih. Adegan yang menyakitkan, namun disuguhkan dengan iringan musik klasik dan narasi dramatis dari langit-langit ruangan.

Dan gadis itu kembali muncul. Kali ini sebagai pemain cadangan yang berdiri paling ujung. Tapi matanya kembali mencari Reno di bangku penonton. Ia tersenyum… samar.

Seketika, Reno berdiri. Ia tak tahu kenapa. Mungkin dorongan dari dalam dirinya yang ingin bicara. Namun penjaga teater tiba-tiba muncul dari sisi lorong. Wajahnya tak terlihat, tapi suaranya berat dan dingin.

“Tuan muda tidak boleh berdiri. Ini adalah tempat pengamatan, bukan tempat ikut campur.”

Reno mengernyit. “Tapi itu hidupku, kenapa aku tidak boleh—”

“Karena Anda hanya penonton sekarang.”

Ia kembali duduk. Tapi di dalam hatinya, perasaan penasaran mulai tumbuh. Siapa gadis itu? Kenapa hanya dia yang bisa melihat Reno? Dan kenapa teater itu tahu begitu banyak tentang dirinya?

Ketika lampu kembali padam dan pertunjukan berakhir, Reno tak langsung terbangun. Ia berada di antara ruang sadar dan tidur. Suara gadis itu terdengar samar.

“Aku tahu kamu bisa melihatku.”

Reno membelalakkan mata. Tapi hanya hitam pekat di sekelilingnya.

“Aku Alma… dan aku bukan aktris biasa.”

Suara itu hilang seperti embun pagi. Tapi saat Reno terbangun, bibirnya masih menyebut satu nama yang baru saja ia dengar.

Alma.

Dan di bawah telapak tangannya, ia menemukan secarik kertas kecil yang tak pernah ada sebelumnya. Bertuliskan satu kalimat:

“Pertunjukan baru saja dimulai.”

Bab 2: Gadis yang Melihat ke Arahku

Hari itu, hujan turun pelan sejak pagi. Bukan hujan deras yang membuat basah kuyup, tapi gerimis yang seperti menggoda untuk tetap berjalan di bawahnya. Reno duduk di dalam kelas, menatap jendela yang mulai berembun, sementara pelajaran Matematika terasa semakin jauh dari otaknya.

Kertas bertuliskan “Pertunjukan baru saja dimulai” masih tersimpan rapi di saku bajunya. Sudah lima kali ia mengeluarkan dan membaca ulang tulisan itu sejak semalam. Tulisan tangan asing, tinta hitam pekat, di atas kertas tipis seperti berasal dari buku naskah sandiwara.

Ia tak tahu harus menceritakannya pada siapa. Bagaimana ia bisa menjelaskan bahwa hidupnya dipentaskan di sebuah teater dalam mimpi, dan salah satu aktrisnya—gadis bernama Alma—tahu tentang dirinya?

Reno menghela napas panjang dan mencoba kembali fokus, tapi pikirannya sudah tenggelam terlalu dalam pada malam yang lalu.

Malam itu, ia tidur lebih cepat dari biasanya. Meskipun ia tidak ingin mengakui, bagian terdalam dari dirinya sangat menantikan pertemuan itu—dengan Alma.

Dan seperti malam sebelumnya, ia kembali jatuh.

Tidak dalam mimpi biasa. Ia tahu perbedaan antara mimpi dan pertunjukan. Ini bukan sekadar bunga tidur. Ada struktur di dalamnya. Ada lampu sorot, ada naskah yang mengalir. Ada penonton tanpa wajah. Dan yang paling penting—ada Alma.

Teater itu tak lagi sunyi. Kali ini suara alat musik gesek mengalun pelan di latar. Tidak ada dialog di atas panggung. Hanya gestur dan ekspresi yang berbicara. Aktor utama sedang memainkan adegan di mana Reno gagal menghadiri pesta ulang tahun sahabatnya karena ia lebih memilih tinggal di rumah menonton film sendirian. Ia bahkan lupa alasan kenapa ia tak datang.

Namun yang berbeda malam ini adalah posisi Alma.

Dia tak lagi di sudut. Ia berdiri di tengah panggung, memerankan sahabat yang menunggu Reno datang. Wajahnya seperti menahan kecewa. Tapi ketika pandangannya bertemu dengan mata Reno di bangku penonton, ia tersenyum. Seolah berkata, “Akhirnya kamu datang lagi.”

Dan kali ini, ia bicara. Di tengah pertunjukan. Di tengah adegan. Dengan suara pelan tapi langsung menembus ke kepala Reno.

“Kamu ingat ini?”

Reno tersentak. Ia melihat ke kanan dan kiri, ke arah bayangan para penonton lain. Tak ada yang bereaksi. Seolah mereka tak mendengar apapun.

“Apa ini… beneran kamu ngomong?” bisik Reno.

Alma melangkah pelan ke tepi panggung, menembus batas ilusi antara pemain dan penonton. Ia bicara tanpa suara bibir yang bergerak, namun Reno bisa mendengarnya dengan jelas.

“Kita tak boleh bicara begini. Tapi aku terlalu penasaran.”

“Kamu siapa sebenarnya?” tanya Reno. Matanya tak lepas dari sosok gadis itu.

“Aku… bagian dari hidupmu yang tak pernah kamu sadari,” jawab Alma. “Tapi sekarang aku ada di sini. Di antara naskah dan panggung. Dan kamu satu-satunya yang bisa melihatku.”

Reno merasa dingin merambat ke tulang punggungnya. Semua ini terlalu nyata. Terlalu rapi. Tidak mungkin hanya mimpi.

“Aku cuma remaja biasa, kenapa hidupku dipentaskan?”

Alma menunduk sejenak, lalu menjawab, “Karena ada yang ingin menyaksikan ceritamu. Ada yang mengagumi perjalananmu, bahkan saat kamu sendiri membencinya.”

“Aku tidak membenci hidupku,” sahut Reno cepat.

“Kalau begitu… kenapa kamu selalu ingin mengulangnya kembali?”

Seketika, panggung kembali hidup. Dialog mulai mengalir. Musik mengencang. Seorang aktor memerankan Reno kecil, berlari mengejar kupu-kupu dengan wajah penuh tawa. Dan di belakangnya, Alma tetap berdiri, tak tergeser naskah.

“Kalau kamu terus bicara padaku… apa yang akan terjadi?” tanya Reno, nyaris seperti doa.

Alma tersenyum. Ada kesedihan dalam senyumnya, seperti seseorang yang tahu akhir cerita tapi tetap ingin menjalani setiap babaknya.

“Aku bisa lenyap. Atau kamu bisa… tertinggal.”

“Tertinggal di mana?”

“Di panggung ini.”

Tiba-tiba lampu teater berkedip. Penjaga muncul kembali, sosok tinggi berjas hitam tanpa wajah, berdiri di lorong di samping Reno. Suaranya bergema:

“Interaksi antar dunia dilarang. Pemain tidak boleh menoleh pada penonton. Dan penonton tidak boleh menginginkan panggung.”

Reno menatap Alma sekali lagi, berharap ia akan menjelaskan semuanya. Tapi gadis itu hanya membisikkan satu kalimat terakhir, sebelum lampu padam sepenuhnya.

“Jangan datang malam besok… jika kamu belum siap kehilangan waktu.”

Reno terbangun dengan jantung berdetak tak karuan. Napasnya tercekat. Tubuhnya basah oleh keringat, meski kamar terasa dingin.

Ia menoleh ke arah meja kecil di samping tempat tidurnya. Di sana, ada tiket kecil dari kertas usang. Berwarna emas pucat. Tertulis:

“Pertunjukan akan dilanjutkan pukul 01.13. Tiket hanya berlaku untuk hati yang tak bisa melupakan.”

Ia menatap tiket itu lama. Dan di dalam hatinya, ia tahu… ia akan kembali malam besok.

Karena meskipun semua terasa tak masuk akal, ada satu hal yang Reno rasakan sangat nyata.

Ia mulai jatuh cinta.

Bukan pada mimpi.

Tapi pada gadis di dalamnya.

Bab 3: Naskah yang Tak Pernah Ditulis

Hari-hari berikutnya terasa aneh bagi Reno. Bukan karena langit yang mendung atau suasana sekolah yang membosankan. Tapi karena detik waktu terasa berjalan tanpa keterlibatan dirinya. Ia duduk di kelas, tapi tak ingat apa yang diajarkan. Ia makan siang, tapi rasanya hambar dan tanpa kesan. Bahkan percakapan dengan teman-temannya terasa seperti gumaman latar dalam film bisu.

Satu-satunya hal yang hidup hanya ketika ia tidur.

Dan malam itu, seperti tiket yang dijanjikan, pertunjukan dimulai tepat pukul 01.13.

Reno kembali berada di bangku penonton. Tapi kali ini, segalanya berbeda.

Panggung tampak lebih gelap dari biasanya. Tirai tidak lagi merah menyala, tapi berubah menjadi kelabu dengan noda tinta di sana-sini. Musik pengiringnya pun lebih sunyi, seperti dimainkan dari kejauhan oleh seseorang yang nyaris menyerah.

Lalu muncullah adegan baru.

Seorang aktor memerankan Reno seperti biasa. Tapi anehnya, ia sedang duduk di kamar… memegang tiket teater yang sama seperti milik Reno.

Reno menggenggam tiket di tangannya sendiri. Identik.

Ia menoleh ke sekeliling. Penonton kali ini lebih sedikit. Kursi-kursi di baris belakang kosong. Udara terasa dingin. Bahkan napas Reno membentuk uap di ruang yang seharusnya hanya mimpi.

Di tengah panggung, Alma muncul. Bukan sebagai karakter. Tapi sebagai dirinya sendiri. Ia tak berpakaian kostum seperti sebelumnya. Ia mengenakan gaun hitam sederhana, rambutnya terurai, dan matanya penuh dengan sesuatu yang sulit dijelaskan. Bukan cinta. Bukan sedih. Tapi seolah… ia tahu segalanya lebih dulu.

“Aku ingin menunjukkan sesuatu,” katanya tiba-tiba. Tak seperti sebelumnya, kini suaranya terdengar langsung, tanpa harus lewat pikiran. Seolah seluruh aturan teater telah ia hancurkan.

Reno berdiri. Ia tak peduli lagi pada aturan penjaga. Ia berjalan perlahan ke depan, ke arah panggung, dan saat ia menyentuh ujung lantai merah itu, ia tidak lagi penonton.

Ia masuk ke panggung.

Masuk ke dalam dunianya sendiri.

Lampu sorot mengikuti mereka berdua saat Alma menggenggam tangan Reno dan membawanya ke balik layar. Di balik tirai tebal, bukan ruang properti atau peralatan. Tapi koridor gelap yang panjang, dipenuhi suara-suara samar. Seperti dialog dari masa lalu. Tawa yang pernah ia kenal. Isakan kecil yang hampir terlupakan.

“Lihat ini,” ucap Alma, menunjuk ke sebuah pintu kayu kecil.

Pintu itu terbuka perlahan. Di dalamnya, hanya satu benda: sebuah naskah tebal, berdebu, dengan nama “Reno” terukir di sampulnya.

Ia membuka halaman pertama.

Semua adegan hidupnya tertulis di sana. Kata demi kata. Bahkan pikirannya pun tercatat.

Tapi saat ia membuka halaman terakhir, tulisannya berhenti.

Kosong.

Hanya ada satu kalimat:

“Pilihanmu belum ditentukan.”

“Apa maksudnya?” tanya Reno pelan.

“Artinya, hidupmu tidak lagi dikendalikan oleh penulis. Kamu bebas,” kata Alma. “Tapi kebebasan punya harga.”

Reno menatap naskah itu. Tangannya gemetar. Ia tak tahu harus merasa lega atau takut. Tanpa naskah, artinya hidupnya bisa berjalan ke arah mana pun. Bahkan lenyap begitu saja.

“Aku nggak ngerti… siapa yang menulis hidupku selama ini? Dan kenapa sekarang berhenti?”

“Karena kamu mulai mencintaiku,” jawab Alma lirih.

“Apa hubungannya?”

“Penulis hanya menulis yang bisa mereka kendalikan. Tapi cinta, cinta itu tak bisa dikendalikan. Cinta adalah improvisasi.”

Reno menunduk. Semua ini terlalu banyak untuk dicerna. Dunia nyata makin jauh. Ia bahkan tak yakin kapan terakhir kali ia benar-benar sadar penuh saat bangun tidur. Hari-harinya mengabur. Ingatannya bocor. Ia pernah lupa menyapu, lupa mengunci pintu, bahkan lupa siapa yang menjemputnya sepulang sekolah.

Seolah bagian dari dirinya mulai menetap di panggung ini.

“Apa kamu pernah jatuh cinta, Alma?” tanya Reno tiba-tiba.

Alma terdiam lama. “Aku tidak tahu,” jawabnya pelan. “Aku hanya tahu bahwa aku mulai takut saat kamu tidak datang ke pertunjukan malam tadi. Dan saat aku melihat kamu, aku… merasa utuh.”

“Kalau begitu, kenapa kita nggak bisa bersama aja?”

Karena jika dua jiwa dari dunia berbeda saling mencintai, salah satu harus tinggal.

Itu kalimat yang pernah Alma ucapkan di malam pertama. Dan kini kalimat itu kembali terngiang di kepala Reno.

“Aku nggak mau kehilangan dunia nyata,” katanya pelan.

“Dan aku nggak bisa ikut ke sana,” jawab Alma. “Aku hanya ada di panggung. Aku hidup di dalam mimpi. Dan ketika kamu berhenti bermimpi, aku menghilang.”

Suasana menjadi hening. Cahaya lilin di sekitar mereka mulai padam satu per satu. Suara detik jam menggema di koridor. Seperti pengingat bahwa waktu terus berjalan, bahkan untuk yang tak nyata.

“Aku nggak mau milih sekarang,” kata Reno sambil memejamkan mata.

“Tapi waktumu tak lama lagi,” bisik Alma.

Ketika Reno membuka mata, ia sudah kembali di tempat tidurnya.

Namun kali ini, ia terbangun di sore hari, bukan pagi.

Ia melewatkan seluruh hari tanpa sadar. Ibunya mengetuk pintu kamar berulang kali tanpa jawaban. Ponselnya penuh pesan, termasuk dari wali kelas yang menanyakan ketidakhadirannya.

Reno menatap ke cermin. Matanya sembab. Tapi bukan karena menangis.

Karena ia tahu…

Ia mulai kehilangan hari-hari di dunia nyata.

Dan bagian dari dirinya telah mulai tinggal di dunia panggung.

Bab 4: Jeda antara Dua Dunia

Hujan deras mengguyur jendela kamar Reno malam itu. Di luar, petir menyambar seperti suara tepuk tangan dari langit. Tapi di dalam kamarnya, hanya ada keheningan dan degup jantung yang tak beraturan. Reno sudah tak bisa membedakan lagi kapan ia tertidur dan kapan ia bangun.

Kadang ia merasa dunia nyata hanya transisi pendek antara pertunjukan. Kadang, ia merasa panggung teater adalah tempat sebenarnya ia berada. Nyata atau tidaknya bukan lagi persoalan. Karena setiap malam, Alma ada di sana. Dan setiap pagi, dunia nyata terasa makin kosong tanpanya.

Malam itu, ia tak lagi merasa jatuh saat tertidur. Ia hanya… berpindah.

Dan seperti biasa, kursi itu menantinya.

Namun kali ini, ketika Reno tiba, ia tidak langsung duduk. Ia berjalan menyusuri lorong tengah, menyentuh punggung kursi yang kosong, seolah menelusuri sisa kehadiran para penonton tak kasatmata. Tapi teater malam ini tidak seperti biasanya.

Sunyi.

Panggung gelap.

Tidak ada pertunjukan.

Tidak ada musik.

Hanya cahaya remang yang berasal dari belakang panggung. Seperti bayangan lilin yang menyala di ujung koridor.

“Reno,” suara itu memanggil pelan dari balik tirai.

Ia menoleh.

Alma berdiri di sana, tanpa kostum, tanpa riasan. Hanya gaun tipis berwarna putih pucat, dan mata yang lebih lembut dari biasanya. Ia tidak berada di atas panggung. Tapi di ruang di antaranya—batas antara pemain dan penonton. Tempat yang seharusnya tidak bisa dimasuki siapa pun.

“Kenapa nggak ada pertunjukan malam ini?” tanya Reno.

“Karena kamu tidak lagi penonton,” jawab Alma.

Reno menatap sekeliling. Tempat itu terasa asing, padahal ia telah ke sana puluhan kali. Lalu ia menunduk, melihat dirinya sendiri—tidak lagi mengenakan pakaian tidur. Ia mengenakan kostum. Sama seperti para pemeran. Baju sekolah, sepatu kotor, bahkan bekas luka di lutut kiri yang ia dapatkan saat jatuh dari sepeda saat kelas lima.

“Aku masuk ke naskah?” gumamnya, nyaris seperti pertanyaan kepada dirinya sendiri.

“Bukan,” jawab Alma, pelan. “Naskahmu kosong. Tapi kamu sekarang berada di antaralayar. Di tempat yang tidak tertulis.”

Reno mengerutkan dahi. “Tempat yang tidak tertulis?”

“Jeda antara dua dunia,” kata Alma. “Tempat di mana tidak ada naskah, tidak ada garis waktu. Hanya perasaan.”

Ia mendekat. Langkahnya begitu ringan, nyaris tidak menyentuh lantai. Dan saat Alma berdiri di depan Reno, mereka hanya terpisah sejengkal.

“Kalau kamu tetap datang ke sini setiap malam,” lanjut Alma, “lama-lama dunia nyata akan melupakanmu sepenuhnya.”

Reno menelan ludah. “Tapi aku juga nggak bisa melupakanmu.”

Alma menunduk, dan dalam keheningan itu, ia menggenggam tangan Reno. Hangat. Lebih nyata dari yang ia bayangkan.

“Kalau kamu tinggal di sini… kamu akan hidup di antara adegan-adegan tak selesai. Kamu tidak akan tua. Tidak akan dikenang. Tidak akan punya masa depan. Tapi kamu akan punya aku.”

Reno menatap mata Alma. “Itu terdengar… cukup.”

Alma menggeleng. “Tidak, itu jebakan. Kamu akan terjebak di antara memori dan kehampaan. Di tempat yang tidak bisa menciptakan apapun selain pengulangan.”

“Kalau begitu ikutlah bersamaku ke dunia nyata,” pinta Reno dengan suara nyaris berbisik.

Alma tersenyum pahit. “Aku adalah bagian dari teater ini. Dari naskah yang kamu tinggalkan. Aku tidak punya tubuh di duniamu. Aku hanya bisa hidup ketika kamu bermimpi.”

“Kita tidak bisa terus begini,” kata Reno akhirnya.

“Aku tahu.”

Alma melepaskan tangannya.

“Tapi aku mencintaimu,” lanjut Reno, jujur untuk pertama kalinya.

Alma tersenyum. “Dan itulah alasan kenapa kamu akan sulit pergi.”

Tiba-tiba, lampu sorot menyala kuat dari atas. Cahaya putih menyilaukan menyorot mereka berdua. Penjaga teater muncul kembali. Kali ini, wajahnya retak seperti topeng porselen tua. Suaranya serak dan dalam.

“Kamu sudah melanggar semua aturan, Reno.”

“Aku tidak peduli,” balas Reno dengan napas berat.

“Kalau begitu, kamu harus memilih,” kata penjaga itu. “Tinggal di sini dan biarkan waktu di dunia nyata melupakanmu. Atau pulang sekarang dan jangan pernah kembali.”

Reno memandang Alma. Matanya sudah basah.

“Kamu bisa melupakanku, Reno,” kata Alma dengan lirih. “Tapi aku akan tetap hidup di panggung ini. Menunggu kamu di sela-sela tirai, di balik cahaya, di setiap mimpi yang tidak selesai.”

Reno ingin menjawab. Tapi ia tak bisa.

Karena detik itu juga, ia ditarik keluar oleh cahaya.

Dan ketika ia membuka mata, ia kembali di kamarnya.

Basah oleh keringat. Nafas tersengal. Tapi detik jam menunjukkan waktu yang mustahil.

Ia tidur hanya lima menit.

Padahal dalam mimpi, ia bersama Alma selama berjam-jam.

Dan pada malam itu, Reno sadar satu hal:

Cinta mereka berada di jeda waktu yang tak adil.

Dan waktu itu… sedang habis.

Bab 5: Penonton yang Berbisik

Sejak malam itu, suara-suara mulai mengikuti Reno ke mana pun ia pergi.

Bukan suara orang. Bukan juga halusinasi. Tapi bisikan-bisikan samar yang muncul dari celah lemari, dari sela buku-buku yang tak pernah disentuh, dari pantulan cermin saat ia sendirian. Suara-suara itu tak jelas, tapi mengulang satu kalimat yang sama:

“Kau ditonton… oleh mereka yang tak seharusnya melihat.”

Reno semakin sulit membedakan mimpi dan kenyataan. Ia duduk di kelas, lalu tahu-tahu berdiri di taman sekolah tanpa ingat bagaimana ia sampai ke sana. Ia bicara dengan temannya, lalu menyadari tak satu pun kata yang ia ucapkan didengar. Bahkan ibunya sempat bertanya, “Kamu sakit? Rasanya kamu jarang pulang beberapa hari ini.”

Padahal Reno selalu tidur di kamarnya.

Selalu.

Atau… setidaknya begitu yang ia yakini.

Malam itu, Reno tidak tidur. Ia menahan kantuk dengan kopi pahit, menyalakan semua lampu kamar, bahkan membuka jendela agar angin malam menusuk wajahnya. Tapi pukul 01.13 tetap datang. Dan tubuhnya… tak bisa melawan.

Matanya tertutup tanpa izin.

Dan ia terlempar lagi ke kursi penonton.

Namun kali ini, tempat itu benar-benar penuh.

Semua kursi terisi. Tapi bukan oleh manusia. Sosok-sosok tinggi, tubuh tipis memanjang, mata besar yang menyala hijau dalam gelap, duduk rapih dalam diam. Mereka tak bicara. Tapi Reno bisa mendengar mereka.

Bisikan yang masuk langsung ke kepalanya.

“Kau terlalu lama di sini.”

“Pertunjukan ini… bukan untukmu.”

“Alurmu seharusnya sudah berakhir.”

Reno menoleh ke kiri dan kanan. Sosok-sosok itu menatapnya dengan kepala miring, seperti sedang mengamati sesuatu yang cacat. Di atas panggung, kehidupan Reno kembali dipentaskan, tapi kali ini… ada yang salah.

Pemeran dirinya bukan lagi manusia.

Ia digantikan oleh sosok asing. Wajahnya gelap, ekspresinya kosong. Ia memerankan Reno tanpa emosi. Dialognya kaku. Bahkan cara berjalan dan duduknya terasa janggal.

Lalu ia melihat sesuatu yang lebih mengerikan.

Alma tidak ada di sana.

Tak ada senyum dari balik panggung. Tak ada tatapan yang mencari-cari dirinya. Tak ada suara.

Hanya kesunyian yang terasa terlalu sunyi.

“Di mana Alma?” teriak Reno, berdiri dari kursi penonton.

Para penonton lain membalikkan kepala mereka ke arahnya. Serempak. Tanpa suara.

“Dia sedang diadili,” bisik salah satu dari mereka. “Karena melanggar struktur mimpi.”

“Karena mencintaimu,” bisik yang lain.

Reno mulai panik. Ia berlari menuju panggung, tapi mendapati dirinya tak bisa masuk. Ada dinding tak terlihat yang memisahkan. Semakin ia mendorong, semakin keras resistensinya.

“Kenapa kalian tidak membiarkanku menemui dia?”

“Kau bukan bagian dari naskah,” bisik suara lain. “Kau hanya variabel yang hilang kendali.”

Lalu seluruh ruangan menjadi gelap. Tirai menutup dengan keras. Suara denting logam menggema.

Dan satu sosok muncul di atas panggung.

Bukan aktor. Bukan penjaga.

Tapi Alma.

Berdiri dengan mata tertutup, tangan terikat pita merah, dan tubuhnya dibalut kain putih. Ia tampak seperti boneka porselen yang siap dipamerkan—atau dikorbankan.

Reno menjerit. “Alma!”

Matanya terbuka pelan. Ia melihat ke arah Reno. Senyumnya lemah, tapi utuh.

“Mereka bilang… aku bisa tetap hidup sebagai naskah,” katanya. “Tapi tanpa perasaan. Tanpa kesadaran. Hanya sebagai peran kosong.”

“Jangan,” bisik Reno.

“Satu-satunya cara agar aku tetap utuh… adalah jika kamu melupakanku,” lanjut Alma.

“Tidak! Aku nggak mau!”

Bisikan-bisikan mulai bergema lagi, lebih keras. Mereka mengutuk. Mereka memerintah. Mereka memohon agar Reno pergi. Bahwa ini bukan tempatnya. Bahwa manusia yang jatuh cinta pada pemain panggung hanya membawa kehancuran.

Lampu sorot menyala tajam. Sosok penjaga muncul di depan panggung.

“Kau harus memilih, Reno. Sekarang.”

Reno menatap Alma. Waktu seakan melambat. Detik berubah menjadi jam.

Jika ia memilih dunia nyata, Alma akan terhapus.

Jika ia memilih tetap di sini, dunia akan perlahan-lahan melupakan bahwa ia pernah ada.

Tidak ada jalan tengah.

Alma menatapnya dalam-dalam, seolah mencoba mengirimkan pesan tanpa kata. Lalu, satu air mata jatuh dari matanya.

Dan Reno tahu, apapun pilihannya… mereka tidak akan pernah sama lagi.

Di tengah kebisingan para penonton asing yang mulai berteriak dalam bahasa yang tak bisa dipahami, Reno menutup mata.

Dan berkata dalam hati:

“Aku akan mencintaimu… bahkan saat tak ada lagi panggung untuk tempat kita bertemu.”

Dan seketika, semuanya menghilang.

Ia terbangun dengan peluh dingin di tubuhnya. Jam menunjukkan pukul 01.14.

Tapi tiket di meja kecilnya… berubah warna.

Dari emas menjadi perak.

Dengan satu tulisan baru:

“Pertunjukan Terakhir Akan Dimulai.”

Bab 6: Pemeran Cadangan yang Menggantikanmu

Pagi itu, Reno bangun lebih awal dari biasanya. Tapi sesuatu terasa ganjil. Ia memandang kamarnya—semua tampak seperti biasanya, tapi seolah bukan miliknya. Seperti kamar orang lain yang menyerupai kamarnya. Letak bukunya berubah. Sepatu favoritnya menghilang. Bahkan kemeja biru lusuh yang selalu ia kenakan setiap Senin sudah tidak ada di gantungan.

Ia turun ke dapur dan menemukan ibunya sedang memasak. Aroma masakan menguar, menenangkan, tapi ada yang salah. Ibunya menoleh dan tersenyum.

“Kamu… siapa?”

Reno membeku. “Ma? Ini aku. Reno.”

“Reno?” Ibunya tertawa kecil. “Maaf ya, aku pikir kamu teman kakakmu. Reno lagi di sekolah, sayang. Kalau kamu mau nunggu, duduk aja dulu.”

“Kakakku?” bisik Reno, langkahnya mundur pelan. “Aku anak satu-satunya…”

Ibunya tidak menjawab. Ia kembali sibuk di dapur, seperti percakapan tadi tak pernah terjadi.

Reno segera keluar rumah, berlari menuju sekolah. Langkahnya panik. Dadanya sesak. Dunia seolah berubah sejak ia tertidur malam tadi. Dan ketika ia tiba di gerbang sekolah, ia hampir tak percaya dengan apa yang ia lihat.

Di halaman sekolah, berdiri seseorang yang mirip dirinya.

Tubuh sama. Gaya rambut nyaris identik. Bahkan suara tawanya ketika berbincang dengan teman-teman terdengar familiar.

Namun itu bukan dirinya.

Sosok itu mengenakan kemeja biru lusuh milik Reno. Ia melambaikan tangan pada teman-teman Reno, memanggil nama mereka, bercanda, dan berjalan masuk seolah hidup itu memang miliknya.

Reno melangkah mendekat, ingin meneriaki, menyentuh, atau menanyakan siapa dia. Tapi saat ia melintasi gerbang, semua orang di sekitarnya tak melihatnya. Bahkan saat ia berdiri tepat di depan penjaga sekolah, tak satu pun mata menoleh ke arahnya.

Ia menjadi hantu di dunia yang pernah ia kenal.

“Dia menggantikanku…” bisik Reno, suaranya serak. “Aku digantikan.”

Langit mendung mulai menurunkan hujan pelan. Tetes demi tetes jatuh ke pipinya, namun ia tidak basah. Hujan itu tidak menyentuhnya. Sama seperti kenyataan yang kini tidak lagi bisa ia sentuh.

Ia kembali ke rumah, duduk di kamarnya yang terasa seperti museum kenangan. Ia mengambil tiket perak dari meja. Tiket itu kini bergetar halus. Seolah… bernapas.

Tulisan di atasnya berubah.

“Pemeran cadangan telah naik panggung. Tiket ini hanya berlaku untuk satu kali kembali.”

Malam datang dengan cepat. Tapi kali ini, Reno tidak menunggu waktu lewat pukul satu. Ia hanya berbaring, membiarkan matanya terpejam, dan membiarkan dirinya jatuh ke dalam pertunjukan untuk satu kali terakhir.

Dan ia tiba di panggung.

Bukan di kursi penonton.

Bukan di belakang layar.

Tapi langsung… di tengah panggung.

Sendirian.

Tak ada tirai. Tak ada dekorasi. Hanya lantai kayu dan cahaya temaram dari atas. Sekelilingnya kosong. Penonton tak terlihat. Tapi ia tahu… ada ribuan mata dari dimensi lain sedang menyaksikan.

Lalu muncullah Alma.

Ia melangkah dari bayangan. Wajahnya muram, langkahnya perlahan. Namun senyumnya masih sama. Senyum yang mengandung seluruh rasa rindu yang tak bisa diucapkan.

“Reno,” panggilnya pelan.

Reno tak menjawab. Ia hanya berjalan mendekat dan meraih tangannya.

“Aku sudah digantikan,” katanya.

“Aku tahu,” jawab Alma.

“Mereka membuat versi lain dariku… dan dia lebih sempurna. Semua orang menerimanya tanpa pertanyaan. Ibuku bahkan—bahkan dia nggak kenal aku.”

Alma mengangguk, pelan. “Karena itulah yang terjadi jika kamu terus datang ke sini. Dunia nyata harus menyeimbangkan naskah. Mereka tidak bisa membiarkan tokoh utama hilang begitu saja.”

“Lalu apa yang terjadi denganku?”

“Kamu menjadi figuran di hidupmu sendiri.”

Reno menarik napas dalam. “Tapi aku masih bisa merasa. Aku masih mencintaimu.”

Alma menatapnya lama, mata mereka terkunci dalam keheningan.

“Aku juga mencintaimu,” bisiknya.

Kemudian lampu sorot menyala terang. Suara gemuruh datang dari atas panggung. Penjaga muncul untuk terakhir kalinya. Tubuhnya mulai retak, seperti kerangka boneka yang kelelahan menjaga panggung ini selama ratusan tahun.

“Saatnya memilih,” katanya.

“Aku sudah tidak punya tempat di dunia nyata,” kata Reno. “Dan Alma tidak bisa ikut ke sana.”

“Maka hanya ada satu jalan: kamu tetap di sini. Tapi bukan sebagai Reno. Kamu akan menjadi bayangan. Pemeran cadangan bagi jiwa-jiwa lain. Kamu akan bermain untuk mimpi orang lain.”

Reno terdiam.

Alma menggenggam tangannya. “Aku akan bersamamu,” katanya. “Kita bisa tetap saling menemukan, meski di mimpi yang bukan milik kita.”

“Dan dunia nyata?” bisik Reno.

“Mereka akan mengingatmu… sebagai perasaan yang tidak bisa dijelaskan. Sebagai kesedihan aneh saat bangun tidur. Sebagai mimpi yang terasa terlalu nyata tapi tak punya nama.”

Lampu meredup. Panggung berguncang pelan. Suara para penonton dari dimensi lain mulai bernyanyi dalam bahasa yang tak dikenal.

Dan Reno…

Ia menutup matanya.

Tersenyum.

Lalu melangkah ke dalam bayangan, bersama Alma.

Karena cinta sejati…

kadang tak butuh dunia nyata untuk tetap hidup.

Bab 7: Adegan yang Harus Dipotong

Mimpi orang lain ternyata sangat berbeda dengan milik sendiri.

Itulah yang Reno pelajari sejak ia resmi menjadi pemeran bayangan. Ia dan Alma tidak lagi menjadi tokoh utama dalam kisah mereka sendiri, melainkan pengisi latar dalam mimpi-mimpi acak—dari anak-anak yang takut kehilangan ibunya, hingga orang tua yang terus mengenang cinta pertamanya.

Malam demi malam, mereka berpindah dari satu mimpi ke mimpi lain. Kadang sebagai pasangan yang duduk di bangku taman, kadang hanya bayangan pejalan kaki di latar belakang pesta. Mereka tidak pernah bicara, tidak pernah dikenali, dan tidak boleh terlihat oleh pemilik mimpi.

Namun malam itu berbeda.

Saat mereka berdua mengisi mimpi seorang pelukis tua yang sedang mencari wajah istrinya yang telah meninggal, Reno melihat sesuatu.

Sebuah pintu.

Pintu tua berwarna hitam, berdiri sendiri di tengah ruangan mimpi, tak tersentuh cahaya. Tak ada yang memerhatikannya. Bahkan pelukis tua itu tak sadar ia melukis tepat di depannya.

Reno menunjuk pintu itu. “Apa itu?”

Alma memandangnya dalam-dalam. “Itu… bukan bagian dari mimpi.”

“Lalu dari mana asalnya?”

Alma tampak ragu. “Ada desas-desus… tentang sebuah ruangan di luar naskah. Tempat di mana adegan-adegan yang seharusnya tidak ada… dibuang.”

“Ruangan pemotongan naskah?”

Alma mengangguk pelan.

Reno mendekati pintu itu. Gagangnya dingin, seperti logam yang ditinggalkan malam terlalu lama. Ia menatap Alma, dan gadis itu tak menghentikannya. Hanya mengangguk pelan, tanda setuju tanpa suara.

Saat Reno membuka pintu itu, udara dari dalam menyeruak seperti kabut hitam yang berat dan hening. Ia melangkah masuk, dan tiba-tiba berada di tempat yang tak pernah ia bayangkan.

Di sekelilingnya, berjajar ribuan naskah tua yang digantung dari langit-langit, dengan benang merah yang kusut dan berlumur tinta. Semua naskah itu penuh tulisan yang dicoret, disobek, atau dilumuri noda tinta hitam. Setiap lembar tampak seperti sisa-sisa cerita yang tak pernah selesai.

Dan di tengah ruangan, ada satu meja. Di atasnya terbentang naskah dengan nama:

“Reno: Versi Pertama”

Ia membuka halaman pertamanya.

Itu naskah kehidupannya yang dulu—saat masih jadi manusia, saat belum mengenal Alma, saat hidupnya terasa hampa tapi nyata.

Namun saat sampai di halaman terakhir, ia melihat sesuatu yang membuat darahnya membeku.

Akhir hidupnya ditulis sebagai: “Dihapus karena tidak memenuhi ekspektasi narasi.”

Reno menggeleng. “Mereka… mencoretnya? Begitu saja?”

Alma menunduk. “Semua pemeran bayangan berasal dari naskah yang dibuang. Kita semua adalah tokoh yang pernah dianggap tak layak untuk akhir yang bahagia.”

Reno terdiam lama. Tangannya gemetar.

“Kalau begitu… takdir kita memang tidak pernah ditulis untuk bahagia?”

“Bukan tak ditulis,” kata Alma lembut. “Tapi pernah ditulis… lalu dihapus.”

Reno menatap sekeliling. Di dinding ruangan, ia melihat potongan-potongan adegan dirinya bersama Alma yang tak pernah terjadi—seperti pernikahan, hari tua bersama, atau saat mereka duduk di ruang tamu dengan anak kecil memeluk kaki mereka. Semua itu hanya potongan. Tak utuh. Tidak selesai.

Lalu ia menyadari sesuatu.

“Apa kita bisa menulis ulangnya?” tanyanya, napasnya tergesa.

Alma terdiam. “Jika kamu bisa menemukan pena penulis.”

“Apa itu nyata?”

“Satu-satunya benda yang bisa mengubah naskah… meski sudah dibuang.”

Reno menatap Alma. “Aku ingin menulis ulang cerita kita. Menulis akhir yang tidak dibuang. Meskipun hanya mimpi. Meskipun hanya satu malam saja.”

Alma menatap Reno dengan air mata di pelupuk mata. “Kalau begitu, kita harus masuk lebih dalam. Ke inti teater. Tempat di mana semua mimpi dilahirkan.”

Reno menggenggam tangannya. Erat.

Dan dari balik ruangan pemotongan naskah, muncul satu lorong rahasia.

Gelap. Sempit. Panjang.

Namun di ujungnya, tampak secercah cahaya. Terlalu kecil untuk jadi harapan. Tapi cukup kuat untuk jadi tujuan.

Reno melangkah lebih dulu.

Alma menyusul di belakangnya.

Karena meskipun mereka adalah bagian dari cerita yang dibuang…

Mereka masih percaya, bahwa akhir bisa dipilih ulang.

Bab 8: Pilihan yang Tak Ditulis

Lorong itu seakan tak punya akhir.

Langkah kaki Reno dan Alma terdengar samar di antara bisikan naskah-naskah yang digantung di dinding. Bukan bisikan manusia, melainkan potongan dialog yang tak selesai, kata-kata dari cinta yang gagal, atau ucapan perpisahan yang tak pernah sempat diucapkan. Semuanya terputus. Gantung. Mengambang di udara seperti hantu dari cerita-cerita yang tidak sempat disampaikan.

“Kamu yakin ini jalan menuju Pena Penulis?” tanya Reno pelan.

Alma mengangguk, meski sorot matanya ragu. “Tidak ada yang benar-benar tahu jalurnya. Tapi legenda bilang… siapa pun yang cukup putus asa untuk mencarinya, akan sampai juga.”

Reno tertawa lirih. “Kalau begitu, kita memenuhi syarat.”

Akhir lorong terbuka ke sebuah ruangan kosong—sebuah panggung kuno yang jauh lebih tua dari teater manapun yang pernah Reno lihat. Dindingnya hitam legam, tidak ada lampu, tidak ada tirai. Tapi di tengah ruangan, berdiri satu meja batu tua. Di atasnya, tergeletak pena.

Pena itu tampak sederhana. Bukan pena emas bersinar seperti dongeng. Tapi pena kayu tua, dengan tinta yang terus menetes meski tak pernah dicelup. Seolah ia menulis sendiri. Seolah ia hidup.

Reno melangkah maju.

Namun sebelum ia menyentuh pena itu, suara berat menggema dari langit-langit ruangan.

“Kamu datang… terlalu jauh untuk seseorang yang seharusnya telah terhapus.”

Sosok tinggi bermantel kelam muncul dari bayangan. Wajahnya tak berbentuk. Hanya kabut yang berubah-ubah seperti tinta yang tak pernah membentuk huruf. Ia adalah Penjaga Naskah Terakhir.

“Siapa kamu?” tanya Reno, mencoba berdiri tegak.

“Aku adalah yang menjaga batas antara fiksi dan nasib. Yang memastikan cerita berakhir… sesuai takdirnya.”

“Aku tidak percaya pada takdir,” sahut Reno.

“Karena kamu terlalu lama hidup sebagai figuran,” jawab sang penjaga. “Kamu lupa bahwa semua akhir sudah ditulis. Termasuk kehilangan. Termasuk keterpisahan.”

Alma berdiri di samping Reno. “Kami tidak ingin akhir bahagia. Kami hanya ingin akhir yang… kami pilih sendiri.”

Penjaga itu terdiam. Lalu berkata,

“Kalau begitu, kamu boleh mengambil pena itu. Tapi hanya satu kalimat yang boleh kamu tulis. Dan kalimat itu akan menggantikan satu hal di realita. Bukan dua. Bukan tiga. Satu.”

Reno menatap Alma. Matanya gemetar.

Satu kalimat.

Satu perubahan.

Dan ia tahu, jika ia menuliskan “Aku ingin bersama Alma selamanya”, maka harga yang harus dibayar adalah: dunia nyata akan melupakan Reno sepenuhnya.

Namun jika ia menuliskan “Aku kembali ke dunia nyata”, maka Alma akan lenyap dari semua panggung, dari semua mimpi. Ia akan menjadi adegan kosong yang tak diingat siapa-siapa.

“Aku…” Reno menggenggam pena itu. Ujung jarinya terasa beku. “Aku nggak bisa memilih di antara kita.”

“Karena kamu tidak seharusnya memilih,” bisik Alma.

Reno menoleh. “Apa maksudmu?”

Alma tersenyum lemah. “Aku sudah tahu ini akhirnya. Dari awal. Saat aku melanggar aturan dan memandangmu dari panggung… aku tahu cinta kita tak pernah ditulis untuk selesai.”

“Tapi kenapa kamu tetap bicara padaku waktu itu?”

“Karena jika cinta tak bisa selesai, setidaknya ia bisa dimulai dengan indah.”

Air mata Reno jatuh.

Alma menggenggam tangannya, lalu perlahan membimbing pena itu ke naskah kosong di meja. Ia meletakkan tangan Reno di atasnya.

Dan membisikkan satu kalimat:

“Tolong… biarkan aku tetap menjadi ingatan yang tak bisa dihapus.”

Reno menuliskannya.

Satu kalimat.

Tinta menyerap ke dalam kertas. Dan cahaya terang meledak dari tengah panggung.

Segalanya runtuh.

Panggung berubah menjadi hujan cahaya. Naskah-naskah beterbangan. Suara tawa dan tangis berbaur. Dan di tengah kekacauan itu, Alma tersenyum terakhir kalinya.

“Selamat tinggal, Reno.”

Tubuhnya mulai hancur menjadi serpihan cahaya. Tapi ia tidak menghilang. Ia terbang ke langit-langit panggung, menjadi bagian dari cahaya yang melingkupi dunia mimpi.

Dan Reno…

Reno terbangun.

Ia duduk di ranjangnya. Nafasnya berat. Matanya basah. Tapi pagi itu terasa berbeda.

Ada secarik kertas di tangannya.

Satu catatan dengan tulisan tangan Alma.

“Aku tidak akan muncul di mimpimu lagi. Tapi kamu akan merasakanku di setiap kenangan yang terasa terlalu manis untuk nyata. Itu sudah cukup untukku. Karena cinta kita… tak harus dipentaskan untuk tetap hidup.”

Reno menggenggam kertas itu.

Dan untuk pertama kalinya sejak semua ini dimulai…

Ia menangis sebagai dirinya sendiri.

Karena ia tahu, ia tidak lagi sendirian dalam hidupnya.

Alma akan selalu tinggal.

Sebagai kenangan yang tak bisa ditulis ulang.

Bab 9: Malam Terakhir Pertunjukan

Sejak hari itu, Reno tak lagi bermimpi.

Bukan karena ia tidak tidur, tapi karena panggung dalam dirinya sudah menghilang. Setiap malam hanya gelap yang biasa. Tanpa sorot cahaya. Tanpa tirai terbuka. Tanpa tepuk tangan samar dari dimensi lain. Tanpa Alma.

Namun jejaknya masih tertinggal.

Di setiap kursi bus yang kosong di pagi hari. Di suara denting piano dari rumah sebelah yang tak pernah punya penghuni. Dalam aroma samar lavender yang datang entah dari mana. Dan terutama… dalam hening.

Kenangan tentang Alma tidak pernah muncul sebagai gambar utuh. Tidak sebagai mimpi atau bayangan. Tapi sebagai rasa. Seperti puisi yang hanya bisa dibaca oleh hati.

Suatu malam, saat hujan turun dan semua orang sudah tidur, Reno duduk di depan jendela kamar. Ia membuka catatan kecil yang diselipkan Alma sebelum menghilang. Tulisan tangan itu mulai memudar, tapi satu kalimat di bagian bawah tetap terbaca jelas:

“Kamu masih bisa melihatku… sekali lagi. Tapi hanya jika kamu siap untuk mengucapkan selamat tinggal.”

Selama berminggu-minggu, Reno tak berani membuka kembali pintu mimpi.

Namun malam ini… ia menginginkannya. Bukan untuk membawa Alma kembali, tapi untuk melihat senyumnya sekali lagi—bukan sebagai bagian dari naskah, bukan sebagai ilusi panggung, tapi sebagai cinta yang memang nyata.

Ia rebahkan tubuhnya. Tak ada kopi. Tak ada lampu menyala. Ia hanya menutup mata… dan memanggil nama yang ia simpan di dadanya selama ini.

“Alma…”

Dan seperti undangan yang diterima, tubuhnya sekali lagi terlempar ke dalam kegelapan.

Namun kali ini, tidak ada teater.

Tidak ada panggung.

Ia berada di ruang putih yang tak berbentuk. Tak ada dinding, tak ada lantai. Hanya kehampaan yang terasa… damai.

Kemudian, dari kejauhan, ia melihat cahaya kecil menyala. Cahaya itu bergerak, pelan… dan perlahan membentuk sosok. Gaun putih. Rambut panjang. Mata yang teduh.

Alma.

Reno ingin berlari, tapi kakinya tak bergerak. Entah karena takut… atau karena tahu, ini benar-benar yang terakhir.

“Ini malam terakhir pertunjukan kita,” kata Alma lembut.

Reno menunduk. “Aku tahu.”

“Kamu berhasil,” lanjutnya. “Kamu menulis sesuatu yang bahkan Pena Penulis tidak bisa batalkan—kenangan.”

Reno menatap matanya. “Tapi kenapa kamu tidak bisa kembali?”

“Karena cinta bukan tentang terus bersama… tapi tentang tahu kapan harus selesai.”

Reno menghela napas panjang. “Tapi aku belum siap kehilanganmu.”

Alma tersenyum. “Kamu tidak kehilanganku. Kamu menyimpan aku. Di ruang yang tidak bisa disentuh waktu. Kamu tak akan bermimpi tentangku lagi, Reno… karena kamu tak lagi butuh panggung untuk mencintaiku.”

Mereka diam.

Tak ada musik. Tak ada adegan. Hanya mereka berdua—dalam ruang yang tak dimiliki siapa pun.

“Aku akan baik-baik saja,” kata Reno.

“Aku tahu,” jawab Alma. “Karena kamu telah menulis akhir cerita ini dengan keberanian, bukan penyesalan.”

Ia melangkah mundur, perlahan.

Reno ingin memanggilnya lagi, tapi ia hanya tersenyum.

“Selamat tinggal, Alma.”

Alma tersenyum lebar, mata berkaca. “Terima kasih… karena pernah membiarkanku hidup di antara mimpi dan cinta.”

Dan tubuhnya pecah menjadi cahaya kecil—seperti serpihan bintang—lalu menyatu ke dalam ruang kosong, menjadi bagian dari langit yang tak bisa disentuh, namun selalu terlihat.

Reno terbangun dengan tenang.

Ia duduk di tepi tempat tidur, dan untuk pertama kalinya…

Ia tidak menangis.

Karena cinta yang benar, kadang tidak perlu ditahan.

Cukup dirayakan.

Dalam hening. Dalam ingatan. Dalam kedewasaan yang menyakitkan—tapi indah.

Bab 10: Kursi Kosong di Baris Terdepan

Waktu terus berjalan, dan Reno tetap hidup.

Ia bangun setiap pagi, menyikat gigi, pergi ke sekolah, pulang, belajar, dan tertidur seperti anak laki-laki pada umumnya. Tidak ada lagi malam-malam penuh bisikan, tidak ada lagi panggung yang menyala jam 01.13, tidak ada lagi pintu menuju panggung mimpi yang menunggu untuk dibuka.

Namun di dalam dirinya, selalu ada ruang yang tidak bisa dijelaskan.

Ruang yang tidak dipenuhi oleh rasa sakit, tapi oleh sesuatu yang jauh lebih hening: rindu.

Reno tak pernah lagi melihat Alma dalam mimpinya. Tapi ia tahu, Alma tidak pernah pergi. Gadis itu kini hidup sebagai bagian dari dirinya. Sebuah kenangan yang tak bisa dihapus, tak bisa dipentaskan ulang, dan tak bisa dituliskan orang lain.

Ia sering datang ke gedung teater tua di ujung kota. Bukan tempat pertunjukan, hanya bangunan terbengkalai yang tak pernah dipakai lagi. Tapi entah kenapa, saat Reno duduk di bangku baris terdepan, ia bisa merasakan sesuatu yang hidup di dalamnya.

Dan selalu, satu kursi di sebelahnya dibiarkan kosong.

Untuk siapa?

Reno tidak tahu. Tapi hatinya tahu jawabannya.

Untuk seseorang yang pernah melampaui mimpi.

Suatu sore, saat langit berwarna jingga dan matahari mulai tenggelam, Reno duduk di sana lagi. Ia menatap panggung kosong di depannya. Tak ada pertunjukan. Tak ada aktor. Hanya debu dan cahaya lembut yang menari pelan di udara.

Ia memejamkan mata.

Dan dalam keheningan itu, ia membayangkan Alma.

Tersenyum, berdiri di atas panggung, menyapanya seperti dulu. Bukan sebagai aktris. Bukan sebagai mimpi. Tapi sebagai satu-satunya hal yang membuatnya percaya bahwa cinta tak harus nyata untuk tetap hidup.

Dari sakunya, Reno mengeluarkan tiket perak yang pernah memberinya satu kesempatan terakhir.

Ia menaruhnya di kursi kosong di sebelahnya.

Dan membisikkan satu kalimat:

“Ini untukmu.”

Ia berdiri dan berjalan pergi, meninggalkan tiket itu.

Keesokan harinya, tiket itu sudah tidak ada.

Tapi Reno tidak mencarinya.

Karena ia tahu…

Pertunjukan sudah selesai.

Namun cinta yang tulus… tidak butuh panggung untuk tetap berdiri.

Ia tidak lagi hidup untuk menunggu mimpi.

Ia hidup untuk menghidupi rasa itu.

Dan dalam setiap keheningan, setiap malam tanpa mimpi, setiap pagi tanpa bayangan, Reno tetap menyimpan satu kursi kosong dalam hatinya. Kursi yang tak akan pernah diisi oleh siapa pun lagi.

Karena beberapa cinta…

diciptakan hanya untuk satu panggung,

satu malam,

dan satu jiwa.

Dan itu sudah cukup.


TAMAT

Novel ini ditulis oleh Evi Fauzi, Penulis dari  Novel Singkat . Baca juga novel romantis, petualangan dan fiksi ilmiah lainnya.

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

    Leave a Reply

    Your email address will not be published. Required fields are marked *