Novel Singkat Aku Pernah Ada di Hidupmu
Novel Singkat Aku Pernah Ada di Hidupmu

Novel Singkat: Aku Pernah Ada di Hidupmu

Lina, seorang penulis naskah lepas yang dikenal dengan imajinasi liarnya, mulai kehilangan arah saat bangun dengan perasaan kehilangan yang tak bisa dijelaskan. Tak ada orang yang hilang. Tak ada kisah cinta yang ia ingat. Tapi hatinya terus terasa sesak, seolah pernah mencintai seseorang yang kini telah lenyap dari dunia—bukan mati, bukan pergi… tapi seperti tak pernah ada.

Sampai mimpi-mimpi aneh mulai menghantuinya. Tentang pria bernama Kean senyum hangat, suara menenangkan, dan cinta yang terasa terlalu nyata untuk sekadar bunga tidur. Namun saat ia mulai mencarinya, dunia menolak memberi jawaban. Tak ada jejak. Tak ada bukti. Bahkan sahabat dan keluarganya tak pernah mendengar nama itu.

Dalam pencariannya, Lina menemukan kenyataan tentang “Pemutusan Jiwa” fenomena langka yang terjadi sekali dalam tujuh puluh tahun, di mana seseorang bisa benar-benar terhapus dari realitas jika cinta mereka dikhianati terlalu dalam.

Dihadapkan pada pilihan untuk melupakan atau ikut terlupakan, Lina memilih untuk mengingat. Sekalipun itu berarti kehilangan segalanya. Karena bagi Lina, mencintai Kean sekali lagi… jauh lebih penting daripada hidup dalam dunia yang pura-pura tak pernah mengenalnya.

Bab 1: Kosong yang Tak Bisa Dijelaskan

Pagi itu, Lina membuka mata dengan napas yang berat. Bukan karena mimpi buruk. Bukan juga karena tidur yang nggak nyenyak. Tapi ada sesuatu yang aneh. Dada kirinya terasa sesak, seperti habis lari jauh, tapi sebenarnya dia cuma tidur. Ia duduk di tepi ranjang, menatap keluar jendela yang dikuasai langit mendung.

“Kenapa ya rasanya kosong banget?” gumamnya pelan.

Tidak ada tangis. Tidak ada alasan. Tapi perasaannya seperti kehilangan sesuatu. Atau seseorang.

Ia mencoba mengingat. Siapa yang terakhir kali bikin dia sakit hati? Siapa yang sempat dekat? Siapa yang pernah ia cintai begitu dalam?

Kosong. Otaknya menjawab kosong. Tapi hatinya tidak setuju.

Hari itu, semuanya terasa lambat. Sarapan nggak enak. Musik favoritnya nggak mempan mengangkat mood. Bahkan pesan dari teman-temannya cuma dibaca sekilas. Lina mencoba sibuk, ngulik tugas desain untuk klien, tapi pikirannya kemana-mana. Ia merasa seperti lupa sesuatu yang penting banget. Seperti ada bagian hidupnya yang hilang—tapi dia nggak tahu bagian mana.

Sore harinya, saat merapikan kamar, tangannya menyentuh sisi meja yang ada bekas goresan kecil. Ia menelusuri bekas goresan itu dengan jari, dan tiba-tiba… dadanya mencelos.

Dia pernah duduk di sini. Bersama seseorang. Tertawa. Bercerita. Lalu…?

Lina menarik napas dalam-dalam. “Kok bisa sih ingatan segelap ini tetap terasa hangat?”

Sejak kapan goresan ini ada? Siapa yang bikin? Kenapa goresan sekecil itu bisa bikin air matanya menggenang?

Malamnya, Lina nggak bisa tidur. Ia memandangi langit dari balik tirai tipis, lalu merebahkan diri sambil menyelimuti tubuhnya rapat-rapat. Tapi tetap saja, dingin. Bukan di kulit, tapi di hati. Rasa yang sama seperti ketika kamu ditinggal seseorang, padahal kamu sendiri nggak tahu siapa yang pergi.

Dan saat matanya akhirnya terpejam, mimpi itu datang.

Seorang pria berdiri di antara padang rumput luas, tertawa kecil sambil memandangi langit. Ia tampak damai, seperti tempat pulang yang paling tenang. Lina memanggil namanya tanpa sadar, “Kean…”

Pria itu menoleh. Senyumnya hangat. Matanya teduh. Ia mengulurkan tangan, tapi tak sampai.

“Aku nggak mau kamu lupa,” katanya pelan, hampir seperti bisikan angin.

Lina terbangun dengan jantung berdebar. Keringat membasahi leher dan tangannya. Tapi yang paling mengganggu adalah air mata yang jatuh… tanpa sebab.

“Kean… siapa kamu?” bisiknya lirih.

Paginya, Lina membuka laptop. Tangannya langsung mengetik nama itu: Kean. Tapi hasil pencarian nihil. Nama itu terlalu umum. Mungkin ada ribuan Kean di dunia. Tapi tidak satu pun wajahnya sesuai dengan sosok yang muncul dalam mimpi.

Ia mencoba mengingat lagi. Suara itu… suara yang menenangkan. Senyum itu… senyum yang membuat hatinya hangat. Dan rasa kehilangan yang datang bersamaan dengan wajah itu.

Lina membuka folder-folder lama di laptop. Foto-foto, video, dokumen. Ia merasa harus menemukan sesuatu. Apapun.

Namun hasilnya tetap nihil. Seakan tak pernah ada seseorang bernama Kean yang hadir di hidupnya. Tidak ada foto bareng. Tidak ada pesan lama. Tidak ada nama itu di mana-mana.

Ia mencoba mencarinya di akun media sosialnya. Scroll jauh ke bawah, membaca ulang komentar-komentar lawas, mengamati setiap wajah. Tapi tidak ada. Rasanya seperti mencari hantu.

Tapi hatinya bersikeras—Kean itu nyata.

Ia bahkan mulai meragukan kewarasannya sendiri.

Malam berikutnya, Lina kembali bermimpi. Kali ini ia dan Kean duduk berdua di atas atap rumah, memandangi bintang. “Kamu tahu nggak,” kata Kean dalam mimpi itu, “ada cinta yang nggak bisa dihapus sama waktu. Tapi bisa dihapus sama realitas.”

Lina memandangi wajah Kean. “Kamu maksudnya apa?”

Kean mengangguk pelan. “Kalau cinta disakiti terlalu dalam, dunia bisa memutusnya. Bukan cuma rasa… tapi keberadaan juga.”

“Kean…” Suaranya bergetar. “Apa kamu… kamu pernah ada di hidupku?”

Sebelum Kean sempat menjawab, dunia dalam mimpinya retak. Semua berubah menjadi putih. Lalu gelap. Lalu ia bangun—dengan tangisan yang entah untuk siapa.

Lina duduk terdiam di kamarnya. Jantungnya berdetak keras. Bukan karena takut. Tapi karena rasa kehilangan yang makin lama makin menyiksa.

“Kean…” Ia menyebut nama itu lagi, seperti mantra.

Lalu ia menulis di catatan kecilnya,
“Jika kamu memang pernah ada, tolong beri aku satu jejak. Satu saja. Karena aku masih percaya… aku pernah ada di hidupmu.”

Bab 2: Lelaki di Dalam Mimpi

“Kadang yang paling menyakitkan bukan kehilangan… tapi nggak pernah tahu apa yang sebenarnya hilang.”

Sudah tiga malam berturut-turut Lina mimpiin pria yang sama.

Kean.

Ia bukan hanya sekadar bayangan samar, tapi hadir sejelas kenyataan. Bahkan Lina bisa mengingat suara tawa Kean, cara ia mengucap namanya, bahkan baju terakhir yang ia kenakan—kaos hitam pudar dengan gambar peta bintang. Dalam mimpinya, Kean nggak pernah jauh. Tapi juga nggak pernah benar-benar dekat. Seolah-olah ada dinding transparan di antara mereka.

Dan setiap kali ia bangun, dunia ini terasa makin asing. Kayak semua hal di sekitarnya salah urutan. Dulu Lina bisa menjelaskan hidupnya dari A sampai Z, tapi sekarang rasanya banyak huruf yang hilang. Dia mulai merasa seolah sedang hidup dalam cerita yang sebagian halamannya dicabut paksa.

Hari itu, Lina ke toko buku tua di dekat kampus. Entah kenapa, ada dorongan dalam dirinya buat ke sana. Mungkin karena tempat itu terasa hangat… atau mungkin karena dia pernah ke sana bersama seseorang—seseorang yang kini tinggal di mimpi.

Ia menyusuri rak demi rak, matanya menjelajahi judul-judul yang asing dan akrab sekaligus. Tiba-tiba, ada satu buku yang jatuh sendiri dari rak paling atas. Lina membungkuk untuk mengambilnya, dan saat membuka halaman pertama, tubuhnya membeku.

Ada tulisan tangan.

“Kean bilang: mimpi bukan tempat paling aman untuk bersembunyi, tapi itu satu-satunya tempat aku bisa tetap hidup.”

Tangannya gemetar.

Ia langsung membeli buku itu tanpa berpikir. Bahkan nggak tahu itu buku apa. Di jalan pulang, Lina terus membolak-balik halaman, berharap ada lebih banyak tulisan dari Kean. Tapi tidak ada. Hanya kalimat itu. Seolah-olah sengaja ditinggalkan untuknya.

Sesampainya di rumah, Lina mengunci kamar. Ia merasa seperti sedang mengejar bayangan. Tapi bayangan itu justru membawanya semakin dalam ke dalam lubang yang nggak dia mengerti.

Ia menulis di buku hariannya:
“Kean… aku nggak tahu kamu nyata atau cuma mimpi. Tapi hatiku rasanya beneran pernah jatuh cinta sama kamu. Dan aku yakin… kamu juga pernah.”

Malam itu, Lina kembali bertemu Kean di dalam mimpinya.

Kali ini mereka duduk berdua di dalam bis tua yang melaju pelan tanpa arah. Jendela-jendela bis dipenuhi embun, dan lagu lawas mengalun pelan. Kean menatapnya dengan mata yang basah.

“Kamu mulai mengingat aku, ya?”

Lina mengangguk pelan. “Tapi aku nggak tahu kamu siapa…”

Kean menunduk. “Dunia sedang menghapus aku. Dan karena kamu masih mengingatku, kamu ikut dilukai.”

Lina menggenggam tangan Kean, tapi tubuhnya terasa dingin. “Apa kamu… dulu pernah mencintaiku?”

Kean tersenyum. Tapi senyumnya patah. “Aku masih mencintaimu, Lin.”

Tangisan Lina pecah. Tapi seperti semua mimpi yang lain, ia terbangun sebelum bisa menjawab.

Dan saat membuka mata, ada rasa lain yang datang—semacam rindu yang menyakitkan, padahal ia baru saja bersama Kean dalam mimpi.

Lina menatap langit-langit kamar. “Kalau kamu memang nggak nyata… kenapa aku ngerasa kehilangan kamu begini?”

Hari-hari berikutnya, ia makin tenggelam dalam pencarian. Ia mulai menggambar wajah Kean dari ingatan. Mencatat tiap mimpi. Membuat dinding penuh post-it warna-warni yang berisi potongan-potongan kalimat dari Kean yang ia ingat di mimpinya.

Dan di tengah malam yang sepi, saat semua orang tidur, Lina menulis satu kalimat yang seolah keluar begitu saja dari hatinya sendiri:

“Kean, kalau dunia udah nggak mau mengenalmu… maka biar aku yang jadi sisa ingatan terakhir tentang kamu.”

Bab 3: Nama yang Tak Pernah Ada

Lina mulai kehilangan arah.

Bukan karena dia tersesat, tapi karena jalan yang selama ini dia jalani… tiba-tiba seperti salah. Seperti seluruh hidupnya pernah menyimpan rahasia besar, dan ia baru sadar bahwa dirinya sendirilah yang jadi korban penghapusan itu.

Hari itu, Lina nekat datang ke rumah orang tuanya. Ia duduk di ruang tamu, membuka album-album lama yang berdebu, berharap ada satu foto Kean terselip di antara kenangan masa kecil dan remaja. Tapi semakin banyak halaman yang dibuka, semakin besar rasa kecewa yang ia telan.

“Lagi cari apa?” tanya ibunya sambil membawa teh hangat.

Lina terdiam sebentar. Lalu dengan ragu menjawab, “Aku… cuma mau lihat teman-teman lamaku. Siapa tahu ada yang aku lupa.”

Ibunya tertawa kecil. “Kalau teman masa kecil, kamu pasti inget semuanya. Kamu kan nggak pernah punya banyak teman, Lin.”

Lina hanya mengangguk pelan. Tapi hatinya bergetar. Kata-kata ibunya seperti palu yang memaku kenyataan ke dalam kepalanya: bahkan orang tuanya pun tak tahu soal Kean. Padahal… Lina merasa pernah membawa Kean ke rumah ini. Ia bisa membayangkan Kean duduk di sofa, bercanda dengan ayahnya, atau membantu ibunya di dapur.

Tapi imajinasi itu kini terasa seperti delusi.

Pulang dari rumah, Lina duduk termenung di halte, sambil menatap jalan yang perlahan ditelan senja. Ia membuka ponselnya, mengetik kata kunci yang sama berulang-ulang: Kean, Kean Putra, Kean Ardiansyah, Kean 2021, Kean pelukis, Kean gitaris…

Semua hasil pencarian nihil.

Anehnya, ia juga pernah merasa menulis status soal Kean. Atau mengunggah fotonya di media sosial. Tapi semua sudah bersih. Seolah dunia benar-benar memutus koneksi antara Kean dan kenyataan.

Ia mendatangi sahabat lamanya, Sani, seseorang yang dulu selalu ada di setiap fase hidup Lina. Mereka duduk di kafe kecil yang hangat, ditemani kopi dan suara hujan.

“San, aku mau tanya… kamu inget nggak, dulu aku pernah deket sama cowok? Namanya Kean?”

Sani menatapnya heran. “Kean? Siapa?”

Lina menahan napas. “Kita pernah jalan bareng. Kamu pernah marah gara-gara aku sering milih dia daripada nongkrong bareng kamu. Inget nggak?”

Sani tertawa kecil. “Lin, kamu sehat? Kamu itu dulu malah yang sering ngajakin aku jalan biar nggak kesepian. Nggak pernah ada cowok yang deket banget sama kamu.”

Lina diam. Tangannya gemetar, tapi ia paksa tersenyum.

“Ya udah, cuma pengen ngecek aja… aku mimpi soal dia, jadi kayak pernah kenal,” katanya sambil menunduk.

Tapi hati Lina tahu. Sesuatu dalam dirinya hancur pelan-pelan. Seolah semua yang ia yakini ternyata cuma miliknya sendiri—dan tidak ada satu orang pun di dunia ini yang bisa mengingatnya juga.

Malamnya, ia kembali bermimpi.

Kean berdiri di bawah pohon besar, mengenakan hoodie abu-abu. Di tangannya, ada buku gambar yang dulu sering Lina lihat di sekolah seni. Tapi kali ini, wajah Kean tampak lebih pucat, lebih buram. Seperti sedang memudar.

“Kamu makin dekat, Lin,” ucap Kean sambil menatap matanya. “Tapi dunia juga makin benci kamu karena mengingatku.”

Lina melangkah mendekat, ingin memeluknya, tapi tangannya menembus tubuh Kean seperti asap. “Aku nggak peduli, Kean. Aku cuma mau kamu kembali.”

Kean menggeleng. “Aku nggak bisa kembali. Tapi kamu bisa ikut.”

“Ke mana?” tanya Lina, suaranya bergetar.

Kean menunjuk langit mimpi yang mulai retak.

“Ke tempat di mana kita belum pernah dilupakan.”

Dan tiba-tiba, mimpi itu berubah jadi hujan yang tak henti. Lina berlari dalam kegelapan, mencari suara Kean, tapi yang ia dengar hanya gema langkahnya sendiri.

Ia terbangun sambil terisak. Dadanya sesak. Tubuhnya dingin. Tapi tangannya masih erat menggenggam buku catatan tempat ia menulis semua mimpi.

Satu halaman baru terisi malam itu.

“Kean… aku tahu sekarang. Kamu memang pernah ada. Tapi dunia ini memilih untuk melupakanmu. Dan aku memilih untuk tidak ikut-ikutan.”

Bab 4: Suara yang Familiar

Ada satu suara yang sejak beberapa hari terakhir terus bergema di telinga Lina.

Bukan suara musik. Bukan juga suara orang. Tapi petikan gitar… dan tawa. Tawa ringan, yang dulu pernah membuat hatinya tenang. Dan sekarang, suara itu membuat kepalanya sakit karena tak bisa diingat asalnya.

Lina mulai berani membiarkan dirinya sedikit gila.

Ia menelusuri video-video lama di akun YouTube favoritnya, terutama konten musik jalanan yang pernah populer saat ia masih kuliah. Ia tak tahu apa yang dicarinya, tapi hatinya bilang: terus cari. Jangan berhenti sampai kau menemukannya.

Satu per satu video ia buka, beberapa bahkan berdurasi satu jam lebih. Tapi ia tak peduli. Sampai akhirnya, di video ke-17, Lina berhenti menggulir.

Ada suara gitar petik yang familiar. Lalu muncul suara pria menyanyikan lagu lawas dengan nada sendu. Lina menajamkan pendengarannya. Dan saat suara itu tertawa di sela lagu… tubuhnya langsung membeku.

“Kean…” bisiknya lirih.

Video itu menampilkan sekelompok musisi jalanan yang tak dikenal. Wajah-wajah mereka ditutupi topi dan masker. Tapi suara itu… tidak salah lagi. Itu suara Kean. Ia tahu. Jiwanya tahu.

Lina menggulir ke kolom komentar. Tapi tidak ada yang menyebut nama Kean. Tidak ada yang membahas tentang suara yang menggetarkan jiwanya itu.

Ia membuka deskripsi video. Kosong. Tidak ada informasi siapa pun.

Dengan panik, ia mengambil headphone, memutar video itu lagi dari awal, kali ini lebih keras. Suara petikan gitar, suara tawa, dan potongan lirik patah hati yang seolah ditujukan padanya langsung menusuk dada.

“Kenapa kamu nyanyiin lagu itu, Kean…” gumamnya, menahan air mata.

Lina segera mendownload videonya. Ia tak tahu kenapa, tapi ia takut suatu hari nanti video itu akan menghilang juga. Seperti semuanya tentang Kean.

Hari itu, Lina duduk di lantai kamarnya selama berjam-jam. Ia memutar suara Kean berkali-kali, sambil menutup mata dan membiarkan ingatannya bekerja sendiri.

Dan perlahan… potongan-potongan memori mulai muncul.

Kean duduk di ruang tamu kecil, memetik gitar sambil menyanyikan lagu ciptaannya. Lina duduk di lantai, menyandarkan kepala ke lutut, tertawa mendengarkan lirik absurd buatan Kean.

“Kalau kamu hilang, aku tetap nyanyiin lagu ini, biar semesta inget kamu,” katanya waktu itu.

Lina membuka matanya. “Apa aku beneran pernah dengar itu?”

Ia mulai menangis, bukan karena sedih… tapi karena marah. Dunia telah mengambil semuanya. Tapi tidak bisa mengambil suara Kean dari hatinya.

Esok paginya, Lina mengirim email ke akun yang mengunggah video itu. Ia tidak berharap dijawab. Tapi ia tulis semua.

“Saya tidak tahu apakah ini gila atau tidak, tapi pria dalam video itu… dia seseorang yang pernah ada dalam hidup saya. Namanya Kean. Dan saya satu-satunya orang yang masih mengingat dia. Tolong… kalau kamu tahu siapa pun yang ada di video itu, hubungi saya. Saya hanya ingin tahu kalau dia benar-benar nyata.”

Ia mengirimnya. Dan untuk pertama kalinya setelah berminggu-minggu hidup dalam kekacauan, Lina merasa telah melakukan sesuatu yang benar.

Malam harinya, ia bermimpi lagi.

Tapi kali ini Kean tidak bicara apa-apa.

Ia hanya duduk di pinggir danau, memetik gitar… memainkan melodi yang sama seperti dalam video. Lina berdiri jauh di seberang, ingin berlari mendekat, tapi tubuhnya tak bisa bergerak.

Ia hanya bisa menatap Kean, mendengar lagu itu, dan menangis.

Saat ia bangun, pipinya basah oleh air mata.

Lina menatap langit-langit kamar, lalu berkata dengan suara serak, “Kalau lagu itu memang pernah kamu nyanyiin buat aku… maka aku akan cari kamu sampai akhir.”

Bab 6: Buku Catatan yang Menolak Dibaca

Sudah dua hari sejak pesan misterius itu masuk, tapi tak ada kelanjutan. Akun pengirimnya hilang—seperti tidak pernah ada. Seperti… dunia kembali menolak kenyataan tentang Kean.

Lina semakin tenggelam dalam obsesinya. Ia nyaris tidak keluar rumah. Ponselnya selalu di tangan. Buku catatan makin penuh dengan mimpi, ingatan samar, dan nama Kean yang ditulis ratusan kali. Ia bahkan menuliskannya di cermin kamar mandi, seakan takut dunia akan menghapus nama itu dari pikirannya juga.

Pagi itu, saat hujan turun ringan, Lina tiba-tiba teringat sesuatu. Lemari besi tua di sudut kamarnya. Yang sejak pindah tidak pernah dibuka. Di dalamnya, ia yakin pernah menyimpan semua barang masa kuliahnya—termasuk jurnal pribadi yang dulu sering ia tulis.

Dengan tangan gemetar, Lina membuka lemari itu. Bau kertas lama langsung menyambut. Tumpukan buku, kertas kuliah, dan catatan penuh coretan berserakan. Ia mengadukinya seperti orang kelaparan mencari makanan.

Dan di dasar lemari, ia menemukan sebuah buku catatan kulit berwarna coklat tua.

“Ini…” gumamnya. “Ini jurnal lamaku.”

Ia membukanya dengan penuh harap. Tapi yang terjadi selanjutnya membuat bulu kuduknya berdiri.

Tulisan di dalamnya… kosong.

Bukan kosong karena belum ditulis, tapi kosong seperti dihapus. Halaman-halaman pertama hanya menyisakan bayangan tinta yang samar, seolah seseorang menghapus seluruh isinya tanpa meninggalkan jejak.

Lina menggeser halaman cepat-cepat, semakin panik. Tapi hasilnya sama. Bahkan tanggal-tanggal yang dulu jelas tertulis, kini menghilang satu per satu.

Sampai ia tiba di halaman terakhir.

Satu kalimat tertulis di sana, dengan tinta biru yang belum sepenuhnya kering.

Kean bilang, aku adalah satu-satunya ingatan yang tak bisa dia hapus.

Tubuh Lina gemetar. Ia tidak pernah menulis itu. Ia yakin. Tulisannya pun berbeda. Tapi saat menyentuh huruf-huruf itu dengan ujung jari, hatinya berdebar tak karuan. Ada energi aneh. Seperti suara Kean sedang membisikkan kalimat itu langsung ke telinganya.

Ia mendekap buku itu, duduk di lantai, dan menangis pelan.

“Kenapa kamu ditarik dari dunia ini, Kean? Apa yang sebenarnya terjadi?”

Malamnya, Lina tidur dengan buku catatan itu di samping bantal. Dan seperti yang sudah bisa ditebak, Kean kembali hadir di mimpi.

Kali ini, mereka duduk di perpustakaan kosong. Hanya ada cahaya dari lampu gantung kuning dan rak-rak berisi buku tua.

“Jurnal kamu udah mulai bangkit, ya?” tanya Kean sambil membuka satu buku yang kosong juga.

Lina mengangguk. “Kenapa semua halaman itu hilang?”

Kean menatapnya dalam. “Karena kamu pernah menulis semuanya untuk aku. Dan waktu aku dihapus, tulisan-tulisan itu ikut hilang juga.”

Lina menggenggam tangan Kean. Kali ini, tangannya hangat. Tidak lagi seperti kabut. Tidak lagi menembus.

“Berarti aku pernah cinta banget sama kamu, ya?” bisiknya.

Kean tersenyum. “Kamu pernah mencintaiku sampai aku yakin dunia ini nggak butuh siapa-siapa lagi selain kamu.”

Lina terisak. “Lalu kenapa… kamu bisa dihapus?”

Kean menunduk. “Karena aku ninggalin kamu. Waktu itu aku takut, Lin. Takut sakit, takut nggak bisa bahagiain kamu. Aku pergi. Dan dunia nggak suka kalau cinta sebesar itu dihancurin. Jadi dunia… menghapus aku.”

Lina menggeleng. “Itu nggak adil.”

Kean mengangkat wajahnya. “Makanya kamu masih bisa mengingatku. Karena kamu belum selesai mencintaiku.”

Mimpi itu perlahan memudar. Tapi kali ini, tubuh Lina tidak terbangun dalam tangis. Ia bangun dengan ketenangan baru. Dengan keyakinan yang makin kuat.

Kean memang pernah ada.

Dan lebih dari itu—cinta mereka belum selesai.

Bab 7: Pemutusan Jiwa

Hujan turun sepanjang pagi. Langit mendung, udara dingin, dan dunia terasa seolah berhenti sebentar untuk memberi ruang bagi sesuatu yang jauh lebih besar dari sekadar cuaca.

Lina duduk di tepi jendela sambil menatap jalanan yang basah. Di tangannya masih ada buku catatan tua yang kini jadi satu-satunya benda nyata yang tersisa dari Kean. Ia membolak-baliknya lagi, meski hanya satu halaman yang tertulis. Tapi entah kenapa, setiap kali melihatnya, ia merasa sedikit lebih hidup.

Pagi itu, sebuah pesan masuk ke emailnya. Dari nama yang asing, tapi judulnya langsung membuat jantung Lina berdetak dua kali lebih cepat:

“Tentang Kean dan Pemutusan Jiwa.”

Lina langsung membukanya. Isinya:

“Jika kamu membaca ini, berarti kamu masih mengingatnya. Dan itu berarti kamu sedang dalam bahaya.
Kean adalah salah satu korban Pemutusan Jiwa. Fenomena ini bukan dongeng. Ini nyata, dan terjadi hanya sekali dalam tujuh puluh tahun.
Aku tahu karena aku pernah mencoba menyelamatkan seseorang juga.
Temui aku. Sore ini. 17.00. Taman Belakang Museum Kota.”

Tanpa pikir panjang, Lina bersiap. Untuk pertama kalinya, ia merasa seperti benar-benar akan menemukan jawaban.

Sore harinya, ia tiba di taman yang dituju. Sepi. Hanya suara daun jatuh dan langkah kakinya sendiri. Tapi di bawah pohon besar, berdiri seorang pria tua dengan tongkat dan mata yang menyimpan terlalu banyak kenangan.

“Kamu Lina?” tanya pria itu pelan.

“Iya,” jawabnya ragu. “Anda siapa?”

“Aku dipanggil Penjaga Jejak,” ucapnya sambil tersenyum kecil. “Dan aku tahu kamu sedang mencari seseorang yang dunia coba hapus.”

Lina menelan ludah. “Kean…”

Pria itu mengangguk. “Ia masih hidup. Tapi tidak dalam dunia ini.”

Lina terdiam. Kata-kata itu terlalu berat untuk diproses.

“Apa maksudnya Pemutusan Jiwa itu?” tanyanya akhirnya.

“Fenomena langka. Ketika cinta yang terlalu besar dikhianati, atau ditinggalkan dengan luka yang dalam, maka dunia akan ‘memutus’ keberadaan orang itu dari realitas. Bukan mati. Tapi seolah-olah tidak pernah ada.”

“Kenapa?” desak Lina, matanya berkaca-kaca.

“Karena dunia tidak bisa menampung ingatan yang terlalu menyakitkan. Jadi ia memilih menghapus. Tapi kadang… cinta yang terlalu kuat menolak untuk benar-benar hilang. Dan kamu, Lina… kamu adalah sisa terakhir dari cinta itu.”

Lina gemetar. “Kalau aku terus mengingat Kean… apa yang akan terjadi padaku?”

Penjaga Jejak menatapnya dalam-dalam. “Kamu juga akan ikut terhapus.”

Lina menarik napas keras. Dunia seperti runtuh perlahan di bawah kakinya.

“Tapi kalau aku lupakan… dia benar-benar hilang, kan?” bisiknya.

Pria itu mengangguk. “Dan cinta kalian akan benar-benar mati.”

Lina memejamkan mata. “Aku nggak bisa. Aku nggak mau melupakannya.”

Penjaga Jejak menghela napas. “Kalau begitu… ada satu jalan. Tapi berat. Dan kamu harus siap kehilangan semua yang kamu tahu tentang dunia ini.”

Lina membuka mata. “Apa itu?”

“Masuk ke dunia Kean. Dunia yang sekarang menjadi tempat dia tersisa.”

Lina menatapnya tajam. “Itu… mungkin?”

Pria itu meraih sesuatu dari sakunya—sebuah kunci kecil berwarna perak.

“Dunia mimpi. Itulah satu-satunya portal yang masih tersisa. Tapi kamu harus benar-benar yakin. Karena jika kamu masuk, mungkin kamu tidak bisa kembali.”

Lina menerima kunci itu. Tangannya gemetar, tapi hatinya mantap.

“Aku lebih rela kehilangan dunia… daripada kehilangan Kean lagi.”

Penjaga Jejak tersenyum. “Kalau begitu, tidurlah malam ini dengan kunci itu di bawah bantal. Dan ketika kamu bertemu Kean lagi, katakan padanya… kamu siap menyusul.”

Bab 8: Dunia yang Menolak Kenangan

Malam itu, Lina meletakkan kunci perak kecil di bawah bantal, seperti yang dikatakan Penjaga Jejak. Ia berbaring dengan jantung berdebar, matanya menatap langit-langit kamar yang perlahan terasa makin asing. Suara jam dinding terdengar pelan, seolah waktu sedang menahan napas.

Ia tidak tahu apa yang akan terjadi. Tapi ia siap.

Dan saat matanya tertutup, ia langsung tahu—ini bukan mimpi seperti biasanya.

Udara di dunia mimpi itu dingin, tapi jernih. Langit berwarna ungu kelabu, dan tanahnya seperti pasir yang bisa bernafas. Di depan Lina, berdiri bangunan-bangunan aneh, setengah transparan, seperti kenangan yang belum selesai ditulis.

Lina melangkah pelan, memanggil, “Kean…”

Dan dari balik kabut tipis, Kean muncul.

Wajahnya tidak lagi buram. Ia nyata. Matanya hangat, senyumnya sedikit gemetar. Ia seperti menahan rasa yang selama ini ingin meledak.

“Kamu datang,” ucapnya pelan.

Lina langsung berlari memeluknya. Kali ini tubuhnya padat. Nyata. Hangat.

“Aku nggak peduli lagi, Kean. Dunia boleh hapus kamu, tapi hatiku nggak pernah bisa,” isaknya.

Kean memeluknya erat. “Aku takut kamu terlambat. Dunia mulai menarikmu, Lin. Aku bisa lihat cahaya dari tubuhmu. Itu tandanya kamu mulai dilupakan juga.”

Lina menatap tangannya—ada kilauan aneh di ujung-ujung jarinya. Seperti serpihan cahaya yang pelan-pelan terbang menjauh.

“Kalau itu harga yang harus aku bayar buat bersamamu… aku siap,” bisiknya.

Tapi Kean menggeleng. “Kamu nggak ngerti, dunia ini bukan cuma mimpi. Ini limbo. Tempat bagi mereka yang tidak lagi dikenang. Tempat di antara ada dan tiada.”

Lina menatap sekitar—semua bangunan tampak sunyi. Seperti potongan kehidupan yang tertinggal. Ia melihat sosok-sosok duduk diam, beberapa bahkan menangis, seolah tahu mereka sudah tidak bisa kembali.

“Kean, kamu… hidup di sini selama ini?”

Kean mengangguk. “Sejak hari aku pergi dari hidupmu. Aku berpikir dengan pergi, aku melindungimu. Tapi nyatanya, aku justru menghancurkan segalanya.”

Lina memegang wajah Kean. “Kita bisa keluar dari sini?”

Kean ragu. “Hanya satu orang yang pernah berhasil. Dan itu butuh pengorbanan besar. Dunia harus menerima kembali jejak kita. Harus ada yang mengingat.”

Lina terdiam. Satu nama terlintas.

Sani.

Satu-satunya orang yang tahu segalanya tentang dirinya. Satu-satunya yang mungkin bisa dititipi kenangan, sebelum semuanya benar-benar hilang.

“Tolong bawa aku pulang, Kean. Aku mau kasih satu kenangan terakhir buat dunia.”

Kean memegang tangannya. “Kalau kita keluar… kamu mungkin akan lupa semuanya. Bahkan aku.”

Lina tersenyum sambil menahan air mata. “Tapi dunia akan tahu kamu pernah ada. Dan itu cukup. Karena selama aku tahu kamu pernah nyata… itu nggak akan pernah sia-sia.”

Kean mengecup keningnya pelan. “Kamu tetap jadi rumahku… bahkan di dunia yang menolak kita.”

Dan seketika, dunia itu mulai retak. Cahaya putih menyeruak dari tanah dan langit. Tubuh Lina terasa ringan, melayang. Tapi genggaman Kean tetap kuat.

Saat ia membuka mata di dunia nyata, napasnya tercekat.

Ia di rumah.

Tapi kunci perak di bawah bantal telah hilang.

Dan dadanya… kosong.

Ia bangkit, lalu berjalan pelan ke meja. Buku catatan lamanya terbuka sendiri oleh angin, memperlihatkan halaman baru.

Foto polaroid kecil menempel di sana.

Wajah pria yang asing—tapi entah kenapa membuat air mata Lina jatuh tanpa sebab.

Dan di bawah foto itu, satu kalimat tertulis:

“Aku pernah ada di hidupmu. Dan kamu… menyelamatkan aku.”

Bab 9: Memilih untuk Mengingat

Pagi itu, dunia seperti biasa.

Langit cerah. Burung berkicau. Orang-orang sibuk di jalan. Tapi di dalam diri Lina, ada kekosongan yang belum bisa dijelaskan. Seperti bangun dari mimpi yang begitu nyata, tapi tak bisa diingat.

Ia duduk di meja kerja, memandangi buku catatannya yang terbuka. Di sana masih ada foto pria asing, yang terus membuat hatinya terasa hangat sekaligus sesak. Tak ada nama. Tak ada cerita. Tapi matanya… matanya seperti pernah menyelamatkan dunia Lina yang runtuh.

Lina menatap foto itu dalam-dalam. “Siapa kamu sebenarnya?” bisiknya lirih.

Tapi tak ada jawaban.

Ia mencoba menulis lagi, seperti kebiasaannya dulu. Tapi kalimat-kalimat yang keluar hanya berputar-putar. Tak ada arah. Sampai tangannya berhenti sendiri, dan hanya menuliskan satu kata di halaman kosong:

Kean.

Dan seperti petir yang menyambar dalam hening, nama itu menyalakan sesuatu dalam pikirannya.

Kean.

Suara gitar. Tawa pelan. Senyum sendu. Langit ungu. Dunia di antara kenyataan dan tidak. Genggaman tangan yang hangat. Dan suara yang berbisik, “Kamu satu-satunya ingatan yang tak bisa aku hapus.”

Lina langsung berdiri. Ia meraih ponsel, membuka semua pesan, semua arsip, semua file—mencari satu jejak lagi. Tapi tidak ada. Sama sekali tidak ada.

Satu-satunya yang tertinggal hanyalah rasa.

Dan itulah yang menyiksanya paling dalam.

Hari itu, Lina pergi ke rumah Sani. Ia butuh bicara dengan seseorang. Butuh tahu kalau yang ia alami bukan hanya ilusi.

Sani membukakan pintu dengan wajah heran. “Lin? Tumben.”

“San… kamu inget nggak, seseorang bernama Kean?”

Sani terdiam. Sekilas, hanya sekilas, ekspresinya berubah. Seperti ada sesuatu yang mengusik. Tapi kemudian ia menggeleng pelan.

“Maaf, Lin… kayaknya nggak deh.”

Lina menarik napas panjang. “Kalau aku pernah cerita tentang cowok yang aku sayang banget… dan tiba-tiba hilang dari hidupku. Kamu akan percaya?”

Sani menatapnya lama. Lalu mengangguk. “Aku percaya kamu. Tapi aku takut, Lin. Aku takut kalau kamu sedang tenggelam terlalu jauh dalam kenangan yang bukan milik dunia ini.”

Lina tersenyum pahit. “Mungkin memang bukan. Tapi milik hatiku.”

Ia pamit tak lama kemudian. Dan malamnya, ia kembali ke kamar. Duduk diam di depan cermin. Menatap matanya sendiri. Dan kali ini, ia tidak bertanya siapa yang hilang.

Ia tahu.

Kean adalah seseorang yang pernah ada. Mungkin dunia menolak mengakuinya. Mungkin realitas sudah menghapusnya. Tapi selama jantungnya masih berdetak, dan rasa itu masih tinggal di sana, Kean tetap hidup.

Di antara halaman-halaman kosong.

Di antara bisikan dalam tidur.

Di antara air mata yang jatuh tanpa sebab.

Lina menutup buku catatannya dan berkata pelan, “Aku memilih untuk mengingatmu, Kean… walaupun dunia memilih melupakanmu.”

Dan malam itu, ia tidur sambil memeluk kertas kecil yang penuh tulisan tangannya sendiri. Tulisan-tulisan yang mulai perlahan muncul kembali, satu per satu. Tentang tawa, tentang hujan, tentang petikan gitar.

Tentang cinta yang terlalu kuat untuk dilenyapkan.

Berikut sinopsis untuk novel “Aku Pernah Ada di Hidupmu”, lengkap dengan pekerjaan karakter utama:


Sinopsis:

Lina, seorang penulis naskah lepas yang dikenal dengan imajinasi liarnya, mulai kehilangan arah saat bangun dengan perasaan kehilangan yang tak bisa dijelaskan. Tak ada orang yang hilang. Tak ada kisah cinta yang ia ingat. Tapi hatinya terus terasa sesak, seolah pernah mencintai seseorang yang kini telah lenyap dari dunia—bukan mati, bukan pergi… tapi seperti tak pernah ada.

Sampai mimpi-mimpi aneh mulai menghantuinya. Tentang pria bernama Kean—senyum hangat, suara menenangkan, dan cinta yang terasa terlalu nyata untuk sekadar bunga tidur. Namun saat ia mulai mencarinya, dunia menolak memberi jawaban. Tak ada jejak. Tak ada bukti. Bahkan sahabat dan keluarganya tak pernah mendengar nama itu.

Dalam pencariannya, Lina menemukan kenyataan tentang “Pemutusan Jiwa”—fenomena langka yang terjadi sekali dalam tujuh puluh tahun, di mana seseorang bisa benar-benar terhapus dari realitas jika cinta mereka dikhianati terlalu dalam.

Dihadapkan pada pilihan untuk melupakan atau ikut terlupakan, Lina memilih untuk mengingat. Sekalipun itu berarti kehilangan segalanya. Karena bagi Lina, mencintai Kean sekali lagi… jauh lebih penting daripada hidup dalam dunia yang pura-pura tak pernah mengenalnya.

Bab 10: Aku Pernah Ada di Hidupmu

Hari-hari setelah itu berjalan lambat. Tapi berbeda. Dunia tak lagi terasa kosong, meski tak juga sepenuhnya utuh. Lina hidup seperti biasa—bangun pagi, minum kopi, menyentuh udara, dan mencoba tersenyum. Tapi di dalam hatinya, ia tahu: ada cinta yang tak lagi bisa dijelaskan dengan logika, hanya bisa dirasakan lewat rindu yang terus tinggal.

Setiap malam, ia menulis. Bukan untuk mengingat, tapi untuk menjaga. Ia menulis ulang kisah mereka. Tentang Kean, tentang mimpi, tentang dunia yang sempat berusaha menghapus seseorang yang begitu berarti.

Dan perlahan, tulisan itu berubah jadi naskah.

Sebuah kisah fiksi, katanya kepada orang-orang. Tapi hanya dirinya yang tahu: itu bukan cerita. Itu adalah warisan.

Suatu sore yang hangat, Lina menghadiri peluncuran bukunya. Banyak yang datang. Banyak yang bertanya. Banyak yang menangis saat membaca ceritanya.

Tapi satu pertanyaan dari seorang pembaca membuatnya tercekat.

“Tokoh Kean ini… fiksi atau nyata?”

Lina menatap orang itu, tersenyum pelan, lalu menjawab,

“Dia adalah seseorang yang pernah sangat aku cintai. Tapi dunia memilih untuk melupakannya. Jadi aku menulis agar cinta kami tetap hidup, meski hanya di halaman-halaman buku.”

Malamnya, setelah semua tamu pulang, Lina duduk di balkon apartemennya. Langit malam cerah. Angin sejuk. Dan entah kenapa, ia merasa tidak sendiri.

Ia menatap bintang, lalu berbisik,

“Kalau kamu dengar ini… aku sudah menepati janjiku, Kean. Kamu pernah ada di hidupku. Dan sekarang, kamu ada di dunia semua orang yang membaca kisah kita.”

Dan saat ia menutup matanya, sehembus angin menyentuh pipinya.

Lembut. Hangat.

Seperti sentuhan yang tak asing.

Dan di dalam hati yang dulu pernah hancur, kini tumbuh kembali harapan baru—bahwa cinta sejati, meski diputus dari dunia, akan selalu menemukan jalan untuk tetap hidup.

Karena cinta yang paling sejati… tak pernah benar-benar hilang.

Hanya menunggu seseorang yang cukup berani untuk mengingatnya.


TAMAT

Novel ini ditulis oleh Evi Fauzi, Penulis dari  Novel Singkat . Baca juga novel romantis dan fiksi ilmiah lainnya.

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

    Leave a Reply

    Your email address will not be published. Required fields are marked *