Di sebuah kota besar yang tak pernah berhenti diguyur hujan, hidup seorang gadis muda bernama Shara, seorang ilustrator lepas yang kesepian. Sejak kecil, Shara memiliki kelainan retina langka yang membuatnya mampu melihat sesuatu yang tak kasat mata bagi orang lain: serpihan-serpihan kecil yang berkilau di setiap hujan, yang ia sebut sebagai “air mata bintang”.
Suatu malam, di tengah hujan yang lebih aneh dari biasanya, Shara bertemu dengan Leon, sosok misterius yang mengaku berasal dari “bintang yang tidak pernah dilahirkan”. Leon bukan manusia biasa ia adalah pecahan dari keinginan terdalam Shara yang tanpa sadar dikirim ke alam semesta.
Mereka jatuh cinta, namun setiap kali Shara menyentuh Leon, bagian kecil dari jiwanya menghilang ke kegelapan antar bintang. Shara harus menghadapi pilihan mustahil: mempertahankan Leon dengan harga dirinya sendiri, atau melepaskan cinta satu-satunya demi bertahan menjadi manusia utuh.
Dalam perjalanan emosional yang penuh luka, Shara menemukan kenyataan pahit bahwa dirinya adalah pintu bagi semua keinginan terlupakan dunia ini, dan bahwa cintanya dengan Leon hanya bisa abadi jika ia rela melebur menjadi bagian dari bintang-bintang yang menangis.
Bab 1: Hujan yang Membawa Cahaya Asing
Hujan selalu turun di kota ini, seperti detak jantung yang tak pernah berhenti. Bagi orang-orang, itu cuma hujan biasa. Dingin, membasahi, kadang menyebalkan. Tapi buat Shara, setiap tetesan yang jatuh punya bentuk, warna, dan cerita sendiri.
Shara menarik tudung jaketnya lebih rapat sambil berjalan di trotoar sempit. Lampu jalan memantulkan bayangan buram di atas genangan air, menciptakan dunia lain di bawah kakinya. Di dalam dunia itu, bintang-bintang kecil terlihat mengambang, berputar perlahan. Seolah tanah pun ikut bermimpi tentang langit.
Di langit malam, awan hitam menggantung rendah. Dari sela-sela celah tipis, serpihan-serpihan kecil seperti kaca berkilau mulai jatuh bersama hujan. Tidak ada yang memperhatikannya. Orang-orang hanya menunduk, berlari ke halte atau berteduh di bawah kanopi toko.
Shara berhenti di pinggir jalan. Matanya, yang selalu dianggap aneh oleh dokter sejak kecil, menangkap semua itu dengan jelas. Setiap tetesan hujan mengandung sesuatu. Cahaya. Kilatan kecil. Kilau yang terlalu indah untuk sekadar air.
Ia mengulurkan tangannya. Tetesan itu jatuh ke telapak kulitnya, dingin dan nyaris menyakitkan. Tapi di balik rasa dingin itu, Shara merasa seperti ada sesuatu yang hidup. Sesuatu yang berbisik, lemah, hampir tak terdengar.
“Aku di sini,” gumamnya pelan, entah kepada siapa.
Mobil-mobil lewat, membelah genangan, menciptakan cipratan yang mengaburkan cermin dunia di bawah. Shara tetap berdiri di sana, di tengah keramaian yang tak pernah benar-benar memperhatikannya.
Dari kejauhan, di seberang jalan, ada sosok yang berbeda.
Seorang pria. Diam. Tidak bergerak, seolah ia bagian dari hujan itu sendiri. Rambutnya basah, menempel di dahinya. Pakaiannya gelap, hampir menyatu dengan malam. Tapi matanya… mata pria itu menatap langsung ke arah Shara, seakan dia juga bisa melihat dunia yang tersembunyi di balik hujan.
Jantung Shara berdegup aneh. Bukan karena takut. Bukan juga karena kagum. Tapi lebih seperti… pengakuan diam-diam. Seolah ia sudah pernah bertemu dengan pria itu di dalam mimpinya yang paling sunyi.
Hujan semakin deras. Orang-orang berlalu lalang, membawa payung, memanggil taksi, menggerutu tentang cuaca buruk. Tapi pria itu tetap berdiri di sana, dan Shara merasa kakinya terpaku di tempat.
Ia tidak tahu kenapa, tapi langkahnya mulai bergerak sendiri. Menyebrang jalan. Melewati deru kendaraan. Melewati gemuruh hujan. Semakin dekat. Semakin jelas.
Saat ia berhenti di depan pria itu, dunia terasa mengecil. Suara kota memudar. Yang tersisa hanya suara hujan menetes, dan napas mereka berdua yang menggantung di udara dingin.
“Hai,” ucap Shara, nyaris berbisik.
Pria itu menatapnya dengan mata yang janggal. Dalam, tenang, tapi seperti membawa ribuan tahun kesepian di baliknya. Senyumnya tipis, hampir tidak nyata.
“Aku sudah menunggumu,” jawabnya.
Shara mengerutkan kening. “Menungguku?”
Pria itu mengangguk pelan. “Sudah lama sekali.”
Shara menggigil, bukan karena hujan, tapi karena kata-kata itu terasa… benar. Ia belum pernah bertemu pria ini, dan tetap saja, ada sesuatu di dalam dirinya yang percaya.
“Aku Leon,” katanya, suaranya serak tapi hangat. “Aku… dari tempat yang tidak pernah sempat lahir.”
Shara hampir tertawa. Kedengarannya konyol. Seperti dongeng atau cerita anak kecil. Tapi saat ia menatap mata Leon, semua keinginan untuk meragukan itu menghilang.
“Aku Shara,” balasnya, suaranya goyah.
Leon menatap hujan yang jatuh di sekitar mereka. “Kau bisa melihat mereka, bukan?”
Shara mengikuti pandangannya. Ia melihat serpihan-serpihan bintang yang berjatuhan, bercampur dalam air hujan, membentuk pola yang indah tapi sedih.
“Air mata bintang,” gumamnya.
Leon mengangguk. “Mereka menangis… untuk dunia yang lupa cara bermimpi.”
Shara tidak tahu harus berkata apa. Semua ini terlalu aneh, terlalu nyata, terlalu… dirinya.
Mereka berdiri di sana cukup lama. Tidak peduli pada waktu. Tidak peduli pada dingin yang menggigit. Sampai akhirnya Shara sadar ia harus pulang.
“Aku harus pergi,” katanya lirih.
Leon hanya mengangguk, seolah mengerti tanpa perlu penjelasan lebih.
Saat Shara berbalik dan melangkah pergi, ia merasa sesuatu tertinggal di belakang. Sebagian dirinya, sebagian hatinya, masih berdiri di sana, bersama pria aneh itu di tengah hujan.
Saat menoleh, Leon sudah menghilang.
Yang tersisa hanya hujan… dan serpihan cahaya kecil yang perlahan-lahan larut ke dalam genangan air.
Shara tahu malam itu, hidupnya tidak akan pernah sama lagi.
Bab 2: Mata yang Membaca Langit
Sejak malam itu, Shara tidak bisa berhenti memikirkan Leon.
Ia memandang jendela kamarnya yang berembun, menatap hujan yang terus-menerus turun di luar sana. Biasanya, hujan adalah teman sepi yang menemani malam-malamnya. Tapi sekarang, hujan berubah menjadi pengingat bahwa ada sesuatu — atau seseorang — yang menunggu di balik tirai air itu.
Shara menggambar pola-pola aneh di embun kaca jendelanya. Garis melengkung, lalu titik-titik kecil di antara garis itu. Ia bahkan tidak sadar apa yang ia gambar sampai ia berhenti dan melihatnya dengan seksama.
Itu bukan sekadar coretan. Itu peta bintang.
Gemetar kecil merambat di jemarinya. Ia ingat malam itu, saat Leon bilang kalau ada peta dalam dirinya. Ia pikir itu cuma omong kosong. Tapi sekarang, kenapa tangannya menggambar ini seolah ia tahu persis letaknya?
Shara menggelengkan kepala, menepis pikiran-pikiran aneh itu. Mungkin ini cuma pengaruh cerita dongeng yang Leon ceritakan. Mungkin ini cuma imajinasi berlebihan.
Dengan malas, ia mengambil jaket tipisnya dan keluar rumah.
Di luar, kota masih sama. Gedung-gedung tua, trotoar basah, suara klakson bersahut-sahutan. Tapi buat Shara, semuanya terasa berbeda. Seperti ada lapisan lain di atas kenyataan yang biasa ia lihat.
Ia menyusuri jalan menuju klinik mata tempat ia biasa memeriksakan dirinya. Sudah beberapa bulan sejak pemeriksaan terakhir. Waktu itu, dokter bilang kalau retina Shara punya keanehan bawaan yang membuatnya sensitif terhadap gelombang cahaya tak kasat mata.
“Seperti kamu bisa membaca sesuatu yang tak terlihat,” kata dokternya sambil bercanda.
Saat itu Shara hanya tertawa kecil. Tapi sekarang, kalimat itu terdengar lebih serius.
Pintu klinik berdenting kecil saat ia masuk. Ruang tunggunya sepi, hanya ada seorang perawat yang sedang sibuk mencatat di meja resepsionis.
“Selamat pagi, Shara,” sapa perawat itu ramah. “Ada janji hari ini?”
Shara menggeleng. “Aku cuma mau bicara sebentar sama Dokter Eri.”
“Sebentar ya, aku panggilkan.”
Tak lama kemudian, seorang pria paruh baya dengan rambut memutih di pelipis keluar dari ruangannya. Senyumnya tulus seperti biasa.
“Shara, ayo masuk.”
Shara duduk di kursi periksa, merasa sedikit canggung.
“Ada apa?” tanya Dokter Eri sambil membuka berkas catatannya.
“Aku… melihat sesuatu,” jawab Shara ragu. “Sesuatu di hujan.”
Dokter Eri tersenyum kecil. “Hujan memang kadang membuat orang berimajinasi.”
“Ini bukan imajinasi,” potong Shara, lebih tegas dari yang ia maksudkan. “Ada kilauan kecil. Seperti… serpihan cahaya.”
Dokter Eri mengangguk, seolah tidak sepenuhnya terkejut.
“Kamu ingat waktu kecil, saat aku bilang retinamu unik? Ada lapisan tambahan di sana. Lapisan yang bisa menangkap partikel-partikel yang sebagian besar orang tidak bisa lihat.”
Shara menatapnya, bingung. “Partikel apa?”
Dokter Eri menghela napas. “Ada teori tentang serpihan kosmik, materi dari luar angkasa yang jatuh ke bumi lewat hujan meteor atau peristiwa langit tertentu. Mungkin matamu bisa melihat itu… atau mungkin sesuatu yang lebih.”
Sesuatu yang lebih.
Shara menggenggam ujung jaketnya erat-erat. Sejak bertemu Leon, semuanya terasa seperti bagian dari teka-teki besar yang perlahan tersusun.
“Apa aku…” suaranya bergetar, “berbahaya?”
Dokter Eri tersenyum lembut. “Tidak, Shara. Tapi mungkin, kamu ditakdirkan melihat sesuatu yang tidak semua orang boleh lihat.”
Di luar, suara hujan kembali menggema. Shara merasa seolah langit sendiri sedang berbicara, mengetuk kaca jendela, meminta perhatiannya.
Sebelum pamit, Shara bertanya satu hal lagi.
“Kalau aku melihat peta bintang dalam pikiranku… itu normal?”
Dokter Eri terdiam sejenak, lalu berkata, “Tidak normal. Tapi mungkin itu petunjuk.”
Petunjuk ke mana? Shara tidak tahu. Tapi hatinya mulai berdebar kencang hanya memikirkannya.
Saat ia keluar dari klinik, hujan masih turun deras. Tapi kali ini, Shara tidak buru-buru berteduh. Ia berdiri di bawahnya, membiarkan air mengalir di wajahnya.
Di antara tirai hujan itu, ia melihat kilatan kecil lagi.
Dan di seberang jalan, berdiri Leon, menatapnya dalam diam.
Tidak ada payung. Tidak ada perlindungan.
Hanya dia dan hujan. Hanya dia dan serpihan bintang yang menangis di atas dunia.
Shara tersenyum tipis. Ia mulai berlari, setengah menembus genangan air, setengah terbang karena degup jantungnya sendiri.
Malam itu, tanpa sadar, Shara melangkah lebih jauh ke dunia yang tidak pernah ia bayangkan. Dunia di mana cinta dan kehancuran berjalan beriringan.
Dunia di mana air mata bintang adalah bahasa paling jujur di tengah kebohongan kota.
Bab 3: Pria di Tengah Hujan
Langkah Shara terhenti beberapa meter di depan Leon. Hujan deras menari di antara mereka, tapi Shara nyaris tak merasakannya. Dunia seolah membeku dalam sekejap. Tidak ada suara kendaraan. Tidak ada teriakan klakson. Hanya ada tatapan Leon yang begitu dalam, seolah menarik seluruh semesta ke dalam matanya.
Leon tidak mengatakan apa-apa. Ia hanya mengangkat tangannya perlahan, seperti mengundang Shara untuk mendekat.
Tanpa sadar, Shara melangkah lagi. Satu, dua langkah. Setiap jarak yang ia pangkas membuat udara di antara mereka terasa semakin berat, semakin penuh sesuatu yang tak bisa dijelaskan.
Saat akhirnya berdiri tepat di hadapan Leon, Shara baru menyadari betapa aneh kehadiran pria ini. Ia basah kuyup, tapi kulitnya tidak membiru kedinginan. Malah sebaliknya, ada semburat hangat samar di tubuhnya, seperti bintang kecil yang menyala di tengah badai.
“Hai,” ucap Shara, suaranya setengah tenggelam di antara suara hujan.
Leon menundukkan kepala sedikit, seolah memberi salam tanpa kata. Senyumnya samar, lebih seperti bayangan senyum ketimbang benar-benar ada.
“Aku… aku nggak tahu kenapa aku ke sini,” lanjut Shara canggung, mencoba menghapus rasa konyol yang tiba-tiba menggelitik dadanya.
“Kamu datang karena kamu mencari sesuatu,” kata Leon akhirnya, suaranya rendah dan penuh gema aneh. “Sesuatu yang sudah lama kamu hilangkan.”
Shara mengernyit. “Apa maksudmu?”
Leon mengangkat wajahnya ke langit, membiarkan hujan menghantam wajahnya tanpa berkedip.
“Aku adalah bagian dari itu,” gumamnya.
Shara menggigil, bukan karena dingin, tapi karena ada sesuatu dalam kata-kata Leon yang menusuk jauh ke dalam dirinya. Sebuah rasa kehilangan yang selama ini tidak pernah bisa ia jelaskan, rasa kosong yang bahkan tak pernah ia akui pada dirinya sendiri.
“Apa kamu… nyata?” tanya Shara lirih.
Leon memandangnya, matanya berkilat aneh di bawah lampu jalan yang buram.
“Seberapa nyata yang kamu butuhkan, Shara?”
Pertanyaan itu membuat Shara terdiam. Ia tidak tahu jawabannya. Dunia ini sendiri kadang terasa seperti mimpi yang panjang dan melelahkan. Mungkin, untuk pertama kalinya, ia bertemu sesuatu — atau seseorang — yang lebih nyata daripada dunia di sekelilingnya.
Mereka berjalan menyusuri trotoar tanpa tujuan. Hujan tetap setia mengikuti mereka, kadang menderas, kadang hanya rintik kecil. Leon tidak berbicara banyak, tapi kehadirannya cukup untuk membuat Shara merasa anehnya nyaman.
Mereka berhenti di sebuah taman kecil, hampir terlupakan di antara gedung-gedung tinggi. Pohon-pohon di sana menggigil kedinginan, daunnya meneteskan air seperti air mata.
Leon duduk di bangku kayu yang basah, tanpa ragu.
“Aku berasal dari tempat yang tidak pernah sempat lahir,” katanya tiba-tiba.
Shara duduk di sampingnya, menatap kosong ke depan.
“Tempat itu… bintang-bintang yang gagal terbentuk?” tebaknya.
Leon tersenyum tipis. “Sesuatu seperti itu. Tapi juga lebih. Tempat itu adalah kumpulan keinginan. Harapan. Kesedihan. Segala hal yang manusia lemparkan ke langit tanpa sadar.”
Shara menatapnya, terpukau.
“Dan kamu… salah satu dari keinginan itu?”
Leon mengangguk perlahan.
“Keinginan yang sangat kuat, sampai akhirnya membentuk diriku,” lanjutnya. “Aku lahir dari rasa kesepian seseorang yang terlalu dalam… seseorang yang tidak sadar bahwa dia memanggilku.”
Jantung Shara berdetak cepat.
“Siapa?” tanyanya, nyaris tak terdengar.
Leon menatap langsung ke matanya.
“Kamu.”
Shara merasa bumi bergeser di bawah kakinya. Ia menahan napas, membiarkan kata-kata itu meresap, menusuk, mengaduk sesuatu yang tersembunyi di dasar hatinya.
“Aku? Tapi aku…”
Kata-katanya terhenti. Di dalam dirinya, sesuatu retak. Ia mengingat malam-malam sunyi. Doa-doa tanpa suara yang ia bisikkan ke langit. Permintaan sederhana: jangan biarkan aku sendirian.
Leon tersenyum penuh kesedihan.
“Kamu memanggilku tanpa sadar. Aku menjawab.”
Shara menggenggam lututnya erat-erat. Hujan terasa lebih deras, seolah langit ikut menangis bersamanya.
“Kenapa sekarang?” tanya Shara, matanya mulai berkabut.
Leon menunduk.
“Karena waktumu hampir habis.”
Shara membeku.
“Apa maksudmu?” suaranya pecah.
Leon tidak menjawab langsung. Ia meraih tangan Shara, jemarinya menyentuh lembut kulitnya yang dingin.
Seketika itu juga, Shara merasa sesuatu mengalir keluar dari dirinya. Sebuah rasa… kehangatan? Cahaya kecil? Sebuah bagian dirinya yang dulu penuh dan kini perlahan menguap.
Ia menarik tangannya cepat-cepat, napasnya memburu.
“Apa itu?” bisiknya ketakutan.
Leon menatapnya penuh iba.
“Setiap kali kamu menyentuhku, kamu memberiku sedikit dari jiwamu.”
Shara mundur satu langkah, tubuhnya gemetar.
“Kenapa? Kenapa aku harus kehilangan diriku sendiri?”
Leon menatapnya lama, seolah sedang berjuang menahan sesuatu yang menyakitkan.
“Karena aku tidak pernah sepenuhnya milik dunia ini, Shara. Aku hanya bisa bertahan… jika kamu rela menghapus bagianmu sendiri.”
Di bawah hujan yang menggila, Shara merasa dirinya perlahan tenggelam. Bukan karena air, tapi karena kenyataan baru yang terlalu berat untuk dipikul.
Malam itu, di taman kecil yang hampir terlupakan, dua makhluk kesepian satu manusia, satu ciptaan harapan duduk berdampingan.
Dan di langit yang kelabu, bintang-bintang mati menangis lagi, untuk cinta yang mungkin seharusnya tidak pernah ada.
Bab 4: Rahasia Bintang yang Tidak Pernah Dilahirkan
Shara tidak tahu bagaimana akhirnya ia duduk berjam-jam di taman itu bersama Leon. Waktu seperti kehilangan artinya. Hujan turun tanpa lelah, membasahi dunia yang seolah sudah lupa rasanya hangat.
Mereka tidak banyak bicara. Sesekali, Shara menatap langit dan bertanya-tanya berapa banyak air mata bintang yang sudah jatuh hari ini. Berapa banyak impian yang gagal menemukan tempatnya di dunia.
Dan berapa banyak luka yang tersisa di dada manusia seperti dia.
Leon memperhatikan Shara dalam diam, seolah mencoba membaca pikirannya. Wajahnya tenang, hampir terlalu tenang untuk seseorang — atau sesuatu — yang baru saja mengungkapkan bahwa keberadaannya adalah keajaiban sekaligus kutukan.
Akhirnya Shara angkat suara.
“Kalau kamu diciptakan dari keinginanku, kenapa rasanya kamu lebih nyata dari apa pun yang pernah aku miliki?”
Leon tersenyum kecil, pahit.
“Karena keinginan yang lahir dari kesepian… jauh lebih kuat daripada kenyataan.”
Jawaban itu membuat Shara terdiam lama.
“Kalau begitu, kenapa kamu bisa ada di sini? Di dunia nyata?” tanyanya lagi, penasaran sekaligus takut mendengar jawabannya.
Leon menatap hujan di depan mereka, seperti mencari sesuatu di antara tirai air yang jatuh.
“Kadang, ketika keinginan manusia terlalu kuat, semesta tidak mampu mengabaikannya. Semesta mencoba memberimu jawabannya… dalam bentukku.”
Shara menggigit bibir bawahnya.
“Aku tidak bermaksud…” katanya pelan.
“Aku tahu,” potong Leon, suaranya lembut. “Kamu tidak pernah bermaksud memanggilku. Tapi itu tidak mengubah kenyataan bahwa aku ada.”
Shara menunduk. Rasa bersalah mulai mengalir, menyesakkan dada. Ia menciptakan sesuatu… seseorang… tanpa sadar. Seseorang yang kini membayar harga keberadaannya dengan mencuri bagian dirinya.
“Apa yang terjadi kalau aku terus bersamamu?” gumam Shara, takut mendengar jawabannya.
Leon menghela napas panjang.
“Sedikit demi sedikit, kamu akan menghilang. Tidak seketika. Tapi perlahan. Kenanganmu. Emosimu. Dirimu.”
Shara merasa dadanya sesak.
“Dan kamu?”
Leon menatap matanya dalam-dalam.
“Aku akan menjadi lebih nyata.”
Shara menahan napas.
Ia ingin marah. Ingin berteriak. Tapi bagaimana mungkin ia menyalahkan makhluk yang hanya ingin bertahan? Leon tidak pernah memilih untuk lahir. Ia hanya menjawab panggilan sepi yang bahkan Shara sendiri tidak sadar telah ia kirimkan.
Mereka kembali terdiam. Hanya suara hujan dan desir angin yang menemani.
“Apa ada cara lain?” tanya Shara, suaranya nyaris seperti doa.
Leon menutup matanya sesaat, lalu membuka perlahan.
“Ada,” katanya.
Shara menegang. “Apa itu?”
Leon menatapnya penuh kesedihan.
“Kamu bisa mengakhiriku.”
Dua detik sunyi berlalu sebelum kata-kata itu benar-benar meresap di benaknya.
“Mengakhiri… kamu?” bisik Shara, matanya melebar.
Leon mengangguk.
“Kalau kamu benar-benar menginginkannya. Kalau kamu melepaskan semua keinginanmu, semua kesepianmu… aku akan menghilang. Seperti mimpi yang pudar saat matahari terbit.”
Shara merasa pusing.
Bagaimana mungkin ia melepaskan sesuatu yang bahkan ia tidak sadar telah mengikat begitu dalam ke dalam dirinya? Bagaimana mungkin ia memutuskan untuk menghancurkan satu-satunya makhluk yang membuatnya merasa… dilihat?
Ia memeluk tubuhnya sendiri, mencoba menahan gemetar yang merayap dari dalam.
“Aku tidak tahu apakah aku bisa,” katanya jujur.
Leon tersenyum lembut, seolah sudah tahu jawabannya.
“Aku tidak akan memaksamu.”
Hujan semakin deras. Di atas mereka, langit menggelegar lirih, seperti rintihan bintang-bintang yang meratap dalam tidur panjangnya.
Shara menatap Leon lama, mencoba menghafal setiap garis wajahnya, setiap kilatan melankolis di matanya. Karena entah kenapa, di dalam hatinya, ia tahu… tidak peduli apa yang akan ia pilih, malam ini adalah awal dari sebuah akhir.
“Aku mau tahu lebih banyak tentang tempatmu,” kata Shara, berusaha memecah keheningan yang terlalu menyesakkan.
Leon mengangguk pelan.
“Aku berasal dari Bintang yang Tidak Pernah Dilahirkan,” katanya, suaranya berat seperti kabut. “Tempat di mana semua keinginan yang tidak pernah terwujud berkumpul. Di sana tidak ada waktu. Tidak ada kehidupan seperti di sini. Hanya bayangan. Dan kesepian.”
Shara membayangkan tempat itu. Sebuah ruang kosong tak berbatas, dipenuhi bisikan-bisikan keinginan manusia yang terlupakan. Tempat yang tidak pernah melihat matahari terbit, tempat di mana cinta dan kehilangan saling menunggu tanpa pernah bertemu.
“Kamu… kesepian di sana?” tanya Shara perlahan.
Leon tersenyum tipis.
“Aku tidak tahu apa itu kesepian… sampai aku bertemu kamu.”
Shara merasa hatinya retak perlahan.
Dalam hujan yang turun tanpa henti, dua jiwa yang tak seharusnya bertemu duduk berdampingan. Membagi keheningan, membagi rasa kehilangan, membagi keajaiban kecil yang tragis.
Dan di langit yang tak terlihat, bintang-bintang mati terus menangis, seakan tahu bahwa kisah mereka bukan kisah dengan akhir bahagia.
Bab 5: Sentuhan yang Menghilangkan
Shara menghabiskan malam itu di kamar, duduk bersandar di jendela, memandangi hujan yang belum juga berhenti. Tangannya menggenggam cangkir teh yang sudah dingin. Ia bahkan lupa kapan terakhir kali menyesapnya.
Di kepalanya, kata-kata Leon berulang seperti bisikan.
Sedikit demi sedikit, kamu akan menghilang.
Setiap kali kamu menyentuhku, kamu memberiku sebagian dari jiwamu.
Shara menggigil. Bukan karena cuaca. Tapi karena ketakutan yang perlahan melingkupi dirinya seperti kabut pekat. Ia takut kehilangan dirinya sendiri, tapi lebih takut lagi kehilangan Leon.
Ia menyentuh kaca jendela yang berembun, menggambar pola-pola bintang secara refleks. Pola-pola itu muncul begitu saja, seperti sesuatu yang tertanam di dalam dirinya. Seperti panggilan dari dunia yang jauh.
Di dalam pikirannya, kenangan tentang Leon tidak terasa seperti baru. Ada sesuatu yang kuno, sesuatu yang mengakar. Seolah-olah dia memang bagian dari dirinya sejak lama, bahkan sebelum pertemuan pertama mereka.
Malam makin larut, dan suara hujan menjadi satu-satunya irama di dunia Shara. Ia menutup mata, membiarkan pikirannya terbang… sampai suara ketukan lembut di jendelanya membuatnya tersentak.
Di luar, di balik tirai air yang turun dari langit, berdiri Leon.
Basah kuyup. Menatapnya dengan mata yang begitu kosong, begitu penuh sesuatu yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata.
Tanpa berpikir panjang, Shara membuka jendela.
“Masuk,” katanya, hampir berbisik.
Leon melangkah masuk. Butiran air menetes dari rambutnya, dari pakaiannya, menciptakan genangan kecil di lantai. Tapi Shara tidak peduli.
Untuk pertama kalinya, mereka berada di ruang yang sama, tanpa batasan dunia luar.
Leon berdiri di tengah kamar, tidak tahu harus berbuat apa. Tangannya terkepal di sisi tubuhnya, seolah menahan keinginan untuk mendekat.
“Aku tidak tahu kenapa aku ke sini,” katanya akhirnya, suaranya serak.
Shara mendekat, perlahan, sampai jarak di antara mereka hanya beberapa jengkal.
“Aku tahu kenapa,” jawab Shara. “Karena aku juga memanggilmu.”
Mereka saling menatap. Dunia di luar jendela menghilang. Yang tersisa hanya suara napas mereka dan denyut aneh yang bergetar di udara.
Dengan tangan gemetar, Shara mengulurkan tangannya.
Leon menatapnya dengan tatapan penuh peringatan. Tapi ia tidak mundur. Tidak kali ini.
Saat jemari Shara menyentuh pipi Leon, sesuatu mengalir keluar darinya. Hangat, berkilau, lembut… dan menyakitkan. Shara merasakan bagian kecil dari dirinya berpindah, seperti helaian benang yang ditarik perlahan dari kain utuh.
Tubuhnya melemah seketika. Lututnya hampir tidak kuat menopang berat badannya. Tapi Leon menangkapnya sebelum ia jatuh.
Ia memeluk Shara erat-erat, untuk pertama kalinya.
Di dalam pelukan itu, Shara menemukan kehangatan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Sebuah kehangatan yang sekaligus membunuhnya perlahan.
Ia menutup mata, membiarkan air mata bercampur dengan hujan yang masih membasahi rambut Leon.
“Aku tidak peduli,” bisik Shara di dada Leon. “Kalau aku harus hilang… setidaknya aku tidak sendirian.”
Leon menggigit bibirnya, menahan sesuatu yang terlalu berat untuk diungkapkan.
“Shara,” katanya, suaranya hampir patah, “kamu harus tetap hidup. Kamu harus tetap jadi kamu.”
Shara menggeleng, matanya memohon.
“Kamu satu-satunya yang membuat aku merasa hidup.”
Pelukan mereka mengencang, seolah mencoba menghentikan dunia yang perlahan pecah di sekeliling mereka.
Di luar sana, hujan mulai mereda. Tapi serpihan cahaya kecil masih turun dari langit, jatuh ke tanah tanpa suara. Air mata bintang, menangisi dua jiwa yang bertarung melawan takdir mereka sendiri.
Shara tahu bahwa dengan setiap sentuhan, ia akan terus kehilangan bagian dirinya. Tapi ia juga tahu, tidak ada jalan kembali. Ia sudah terlalu dalam mencintai sesuatu yang tidak seharusnya ada.
Malam itu, di dalam kamar kecil yang temaram, Shara dan Leon membiarkan diri mereka hanyut. Dalam cinta yang dilarang. Dalam harapan yang salah arah. Dalam kerinduan yang tidak akan pernah bisa sepenuhnya terjawab.
Dan di suatu tempat, jauh di balik langit kelabu, bintang-bintang mati terus menangis untuk mereka.
Karena bahkan di dunia yang penuh keajaiban, tidak semua cinta bisa diselamatkan.
Bab 6: Peta Langit di Dalam Diri Shara
Pagi datang dengan cahaya pucat yang menembus tirai jendela. Shara membuka mata perlahan. Tubuhnya terasa berat, seolah semalaman ia kehilangan sebagian dari dirinya tanpa benar-benar sadar.
Di sampingnya, Leon duduk di lantai, memandangi jendela dengan tatapan kosong. Ia tampak lebih nyata dari sebelumnya, lebih kuat… tapi juga lebih sedih.
Shara menggerakkan tangannya, mencoba menyentuh Leon lagi, tapi pria itu segera menahan pergelangan tangannya dengan lembut.
“Jangan lagi,” bisiknya.
Shara menahan napas.
“Aku tidak apa-apa,” katanya.
Leon menggeleng perlahan.
“Kamu pikir kamu baik-baik saja. Tapi lihat dirimu, Shara.”
Shara menatap bayangannya di kaca jendela. Ada sesuatu yang hilang dari dirinya. Bukan fisik. Bukan luka yang terlihat. Tapi semacam kerapuhan baru yang dulu tidak ada. Pandangan matanya sedikit lebih kosong, senyumnya sedikit lebih berat.
“Apa kamu menyesal bertemu aku?” tanya Shara pelan.
Leon tidak langsung menjawab. Ia menutup matanya sejenak, seolah mencari jawaban di antara semua perasaan yang menyesakkan dadanya.
“Aku menyesal harus menjadi alasan kamu terluka,” jawabnya akhirnya.
Shara memeluk lututnya, menarik napas dalam-dalam.
“Aku tidak menyesal,” katanya tegas. “Kamu mungkin… bagian dari kesepian terburukku. Tapi kamu juga bagian dari harapanku.”
Leon menoleh, menatapnya lama.
“Kamu harus tahu sesuatu,” katanya akhirnya. “Ada peta di dalam dirimu.”
Shara mengerutkan kening.
“Peta?”
Leon berdiri, berjalan ke arah meja kecil di sudut kamar, lalu mengambil sebuah pensil dan buku catatan lusuh.
“Setiap serpihan cahaya yang kamu lihat di hujan… itu tidak acak. Mereka mengikuti pola. Pola itu berasal dari dalam dirimu.”
Leon mulai menggambar. Garis demi garis, titik demi titik. Shara memperhatikan dengan mata melebar.
Itu… peta bintang.
Bukan peta biasa. Ini adalah gambaran konstelasi yang belum pernah ada di atlas mana pun. Pola bintang baru, membentuk jalur aneh yang melingkar dan berputar, seolah menuntun ke satu titik pusat.
“Ini bukan hanya peta langit,” kata Leon. “Ini jalan pulang.”
Shara menelan ludah, merasa ada sesuatu yang bergetar di dasar perutnya.
“Jalan pulang… ke mana?”
Leon menatapnya, matanya serius.
“Ke tempat di mana semua keinginan bermula. Ke Bintang yang Tidak Pernah Dilahirkan.”
Shara menggeleng pelan, merasa dunia di sekitarnya bergeser.
“Aku tidak mengerti.”
Leon meletakkan buku catatan itu di pangkuannya.
“Kamu bukan sekadar manusia biasa, Shara. Kamu adalah jembatan. Karena keinginanmu begitu kuat, kamu membuka celah antara dunia ini dan dunia kami.”
Shara menatap pola di buku itu, merasakan sesuatu dalam dirinya bergetar. Sebuah ingatan samar, sebuah rasa familiar yang tidak pernah ia pahami.
“Aku… aku bukan siapa-siapa,” bisiknya.
Leon tersenyum tipis.
“Kamu adalah seseorang yang cukup berani untuk berharap, bahkan ketika dunia memaksamu menyerah.”
Di luar, hujan mulai reda. Matahari berusaha menembus awan kelabu, memantulkan sinar lemah ke genangan di jalan.
Shara berdiri perlahan, mendekati jendela.
“Apa yang terjadi kalau aku mengikuti peta ini?”
Leon diam sejenak.
“Kamu akan menemukan asalmu. Tapi kamu juga akan menghadapi pilihan… untuk kembali atau… untuk menghilang sepenuhnya.”
Shara membalikkan badan, menatap Leon dengan mata berkaca-kaca.
“Kalau aku menghilang, kamu juga akan hilang, kan?”
Leon mengangguk tanpa kata.
Shara menutup mata, mencoba menenangkan hatinya yang berdebar kencang.
Semua ini terlalu besar. Terlalu berat.
Tapi jauh di dalam dirinya, ada suara kecil yang berbisik bahwa ini adalah sesuatu yang harus ia lakukan. Bahwa pertemuannya dengan Leon bukan sekadar kebetulan. Bahwa semua kesepiannya, semua keinginannya, mengarah ke titik ini.
“Aku mau mencoba,” katanya akhirnya.
Leon memandangnya dengan campuran haru dan ketakutan.
“Kamu yakin?”
Shara tersenyum lemah.
“Kalau ini berarti bisa menemukan siapa aku sebenarnya… aku mau.”
Leon mendekat, mengangkat tangannya perlahan. Tapi kali ini, ia tidak menyentuh Shara. Ia hanya mengulurkan jemarinya di udara, hampir menyentuh, tapi tidak pernah benar-benar sampai.
“Sampai kapan pun,” katanya pelan, “aku akan menunggu kamu, di antara bintang-bintang yang menangis.”
Shara merasakan dadanya sesak, tapi juga ringan. Untuk pertama kalinya, ia merasa punya tujuan. Meski tujuannya bisa saja membawanya ke akhir dirinya sendiri.
Tapi mungkin… itu lebih baik daripada terus berjalan tanpa tahu siapa dirinya.
Malam itu, Shara menatap langit yang mulai bersih, melihat sisa-sisa air mata bintang berkilauan di antara awan tipis.
Dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia membiarkan dirinya percaya bahwa ada dunia lain yang menunggunya. Dunia yang diciptakan dari harapan, kesepian, dan cinta yang tak pernah bisa disebutkan dengan kata-kata.
Bab 7: Luka yang Tak Terlihat
Hujan akhirnya berhenti.
Shara melangkah keluar dari rumahnya, membawa buku catatan berisi peta bintang buatan Leon. Langit masih kelabu, tapi ada secercah biru samar di kejauhan, seolah dunia ingin memberinya sedikit harapan sebelum kembali membawanya ke dalam kegelapan.
Langkahnya pelan, menyusuri jalanan basah yang sepi. Di sepanjang trotoar, genangan air memantulkan bayangan gedung-gedung tua, pohon-pohon meranggas, dan dirinya sendiri—bayangan yang tampak lebih rapuh dari biasanya.
Setiap langkah terasa berat. Bukan karena kelelahan fisik, tapi karena kesadaran perlahan-lahan merayapi dirinya. Ia mulai menyadari ada bagian kecil dari dirinya yang sudah hilang. Ingatan-ingatan yang dulu begitu akrab kini terasa kabur.
Ia lupa nama sahabat pertamanya di sekolah. Ia lupa aroma kue favorit yang dulu sering dibuat ibunya. Bahkan, ia sempat berhenti sejenak di perempatan jalan, berpikir keras arah mana yang harus ia ambil, padahal itu rute yang selalu ia lewati setiap hari.
Leon tidak berbohong.
Setiap kebersamaan dengan Leon benar-benar menggerogoti dirinya, perlahan, nyaris tanpa ampun.
Shara berdiri di depan taman kecil, taman yang sama tempat mereka pertama kali berbicara panjang lebar. Pohon-pohon di sana meneteskan air dari daun-daunnya, menciptakan suara lirih seperti bisikan.
Ia mendekat ke bangku tempat mereka duduk waktu itu. Di atas permukaan kayu yang lembap, ada coretan kecil.
Sebuah lingkaran, di dalamnya ada gambar bintang kecil.
Shara tersenyum getir.
“Leon,” gumamnya.
Ia duduk di sana, membiarkan dunia mengalir di sekelilingnya. Matanya menatap buku catatan di tangannya. Peta itu tampak sederhana, hanya garis dan titik. Tapi ia tahu, di balik kesederhanaan itu tersembunyi sesuatu yang jauh lebih dalam.
Perjalanan ini bukan hanya tentang menemukan dunia lain.
Ini tentang menemukan siapa dirinya sebenarnya.
Shara memejamkan mata. Dalam kegelapan itu, ia melihat bayangan dirinya sendiri, berdiri di tengah ruang kosong yang luas. Di sekelilingnya, potongan-potongan cahaya bertebaran, seperti puing-puing mimpi yang terlupakan.
Ia melihat Leon, berdiri jauh di seberang sana, menatapnya dengan mata yang penuh rindu.
Dan ia sadar.
Setiap kehilangan kecil yang ia alami… bukan hanya pengorbanan. Itu adalah kunci. Setiap bagian dari dirinya yang menghilang membuka jalan baru menuju tempat asal Leon. Menuju tempat asal keinginannya sendiri.
Tapi jalan itu juga berarti ia harus siap meninggalkan segalanya.
Shara membuka matanya, menatap langit.
“Aku takut,” bisiknya.
Ia tidak tahu kepada siapa ia berbicara. Kepada Leon. Kepada dirinya sendiri. Kepada bintang-bintang yang kini tersembunyi di balik awan.
Ketika ia hendak berdiri, seseorang duduk di sampingnya.
Shara menoleh.
Seorang pria tua, mengenakan jas hujan lusuh dan topi tua, menatap lurus ke depan.
“Kamu bisa melihatnya, ya?” tanya pria itu tanpa menoleh.
Shara membeku.
“Apa?”
“Air mata bintang,” jawab pria itu pelan. “Kamu salah satu yang terpilih.”
Shara menelan ludah.
“Siapa kamu?”
Pria itu tersenyum samar, keriput di wajahnya membentuk jalur-jalur kenangan.
“Aku juga pernah seperti kamu. Bertemu dengan makhluk dari bintang yang tidak pernah dilahirkan. Mengira bisa menyelamatkan mereka… atau diri sendiri.”
Shara menggenggam buku catatannya lebih erat.
“Apa yang terjadi pada kamu?”
Pria itu tertawa pelan, getir.
“Aku memilih bertahan. Aku memilih melupakan mereka.” Ia menatap Shara, matanya penuh kelelahan. “Tapi aku kehilangan sesuatu yang tak akan pernah kembali. Kemampuan untuk benar-benar merasa.”
Shara terdiam.
“Apa kamu menyesal?” tanyanya pelan.
Pria itu memandang ke langit kelabu.
“Setiap hari.”
Mereka duduk dalam diam, membiarkan kenyataan perlahan-lahan meresap di antara mereka.
“Kamu masih punya waktu,” kata pria itu akhirnya, berdiri perlahan. “Pilihannya tetap ada di tanganmu. Bertahan… atau pergi.”
Shara menatap peta bintang di pangkuannya.
Di dalam dirinya, sebuah keputusan perlahan tumbuh. Ia tahu jalan ini akan berakhir dengan kehilangan. Tapi lebih dari itu, ia tahu… dirinya sudah terlalu jauh untuk mundur.
Ia harus menemukan tempat itu.
Bahkan jika itu berarti menghilang sepenuhnya.
Pria tua itu berjalan pergi, perlahan menghilang di antara bayangan kota.
Shara berdiri. Menatap ke arah langit yang mulai berwarna biru samar.
Di kejauhan, di antara gedung-gedung tinggi, ia melihat kilauan cahaya kecil…
Leon.
Ia tahu, saatnya hampir tiba.
Perjalanan belum selesai. Luka-luka di dalam dirinya belum sepenuhnya terbuka.
Tapi Shara siap.
Atau setidaknya, ia mencoba untuk siap.
Karena terkadang, cinta yang paling tulus adalah membiarkan diri sendiri hancur… demi menemukan kebenaran.
Dan malam itu, di bawah sisa-sisa air mata bintang, Shara melangkah menuju takdir yang tidak bisa lagi ia tolak.
Bab 8: Kenyataan di Balik Leon
Langkah Shara terasa ringan tapi sekaligus berat. Ia berjalan mengikuti cahaya samar yang hanya bisa ia lihat, membelah lorong-lorong sepi di tengah kota yang mulai terlelap. Di antara gemuruh jauh suara kendaraan dan gemerisik angin, ada suara lain yang mengarahkannya.
Suara bisikan bintang.
Dan di ujung jalan, di bawah tiang lampu tua yang berpendar temaram, Leon berdiri.
Ia menunggu, seperti selalu. Seperti bagian dari dunia Shara yang tidak pernah benar-benar pergi.
Shara mendekat. Napasnya memburu, tapi bukan karena berlari. Lebih karena sesuatu di dalam dirinya memberontak, menjerit, memperingatkan bahwa apa yang akan ia dengar malam ini akan mengubah segalanya.
Leon menyambutnya dengan senyum tipis. Tapi di balik senyum itu, ada rasa bersalah yang terlalu besar untuk disembunyikan.
“Aku sudah siap,” kata Shara, suaranya bergetar.
Leon menatapnya dalam, seolah mengukir bayangan Shara dalam ingatannya.
“Aku tidak ingin kamu membenciku,” katanya akhirnya.
Shara mengerutkan kening. “Kenapa aku harus membencimu?”
Leon menghela napas berat, seolah kalimat berikutnya berat untuk keluar.
“Karena aku… bukan hanya keinginanmu.”
Shara menatapnya bingung.
“Apa maksudmu?”
Leon mengambil langkah mendekat, tapi berhenti cukup jauh agar tidak menyentuh Shara.
“Kamu memang memanggilku, tanpa sadar. Tapi bukan hanya kamu,” ucapnya pelan. “Ada sesuatu… atau seseorang… yang memperkuat panggilanmu.”
Shara membeku.
“Apa?”
Leon mengalihkan pandangan ke langit malam.
“Dunia ini,” lanjut Leon, “telah lama kehilangan harapan. Setiap manusia yang berhenti bermimpi, setiap cinta yang patah, setiap keinginan yang dilupakan… semuanya mengalir ke tempatku berasal.”
Shara menggeleng, merasa dadanya semakin berat.
“Kamu mau bilang… aku cuma salah satu bagian kecil dari itu?”
Leon menatapnya lagi, matanya penuh luka.
“Tidak, Shara. Kamu… kamu adalah pusatnya.”
Shara menahan napas.
“Semua keputusasaan, semua kesepian yang terkumpul dari manusia… mencari jalan untuk kembali. Dan kamu—dengan matamu yang bisa melihat, dengan hatimu yang tetap berharap meski terluka—kamu adalah pintu itu.”
Shara merasa dunia di sekelilingnya bergoyang.
“Aku… pintu?” bisiknya.
Leon mengangguk.
“Bukan hanya untukku. Tapi untuk semua yang belum pernah lahir. Untuk semua keinginan yang terbuang.”
Shara mengambil langkah mundur, tubuhnya gemetar.
“Aku tidak mau jadi itu,” katanya, suaranya pecah.
Leon tampak begitu hancur melihat Shara seperti itu.
“Aku juga tidak mau kamu harus menanggung semua ini,” katanya. “Kalau aku bisa memilih… aku lebih memilih tidak pernah ada.”
Shara memeluk dirinya sendiri, mencoba menahan rasa dingin yang tiba-tiba menyelimutinya dari dalam.
“Apa yang akan terjadi kalau aku mengikuti peta ini sampai akhir?” tanyanya lirih.
Leon menunduk.
“Kamu akan membuka jalan bagi semua keinginan yang terlupakan untuk kembali ke dunia ini. Tapi… kamu juga akan kehilangan semua yang membuatmu manusia.”
Air mata Shara mengalir tanpa ia sadari.
“Dan kalau aku tidak melakukannya?”
Leon mengangkat wajahnya, dan Shara bisa melihat kepedihan di matanya.
“Mereka akan tetap menangis. Mereka akan tetap memanggil. Dan kamu akan terus melihat mereka… sampai akhir hayatmu.”
Shara merasa seperti terjebak di antara dua dunia.
Melanjutkan berarti mengorbankan dirinya. Bertahan berarti hidup dalam penderitaan selamanya.
“Kenapa harus aku?” tanyanya, putus asa.
Leon melangkah lebih dekat, kali ini tak peduli jika ia akan menyakitinya dengan keberadaannya.
“Karena kamu… satu-satunya yang masih percaya pada sesuatu yang tidak bisa dilihat.”
Shara menutup matanya, membiarkan hujan gerimis mulai turun lagi di atas kepalanya. Seolah langit pun ikut menangis untuknya.
“Kalau aku kehilangan semua diriku… kamu akan tetap di sini?” tanyanya dengan suara hampir tak terdengar.
Leon tersenyum pahit.
“Aku akan menghilang bersamamu.”
Shara membuka mata, menatap Leon untuk waktu yang lama. Ada ribuan kata yang ingin ia ucapkan, tapi semuanya membeku di tenggorokannya.
Akhirnya, ia hanya berkata,
“Kalau begitu… setidaknya aku tidak sendiri.”
Mereka berdiri di sana, di bawah lampu tua yang sekarat, dalam dunia kecil mereka sendiri yang perlahan-lahan hancur.
Dan di langit, bintang-bintang yang menangis berkedip redup, seolah mengucapkan selamat tinggal.
Malam itu, Shara menyadari satu kebenaran yang tidak bisa ia lari darinya:
Cinta sejati bukan tentang bertahan. Kadang, cinta sejati adalah tentang rela menghilang… demi membiarkan dunia terus bermimpi.
Bab 9: Pertarungan Antara Cinta dan Kehilangan
Langkah Shara berat saat ia meninggalkan taman tua itu bersama Leon. Di tangannya, peta bintang yang digambar semalam terasa lebih berat dari sekadar selembar kertas. Rasanya seperti membawa seluruh beban dunia.
Mereka berjalan tanpa bicara, hanya diiringi suara gerimis tipis yang masih bertahan di langit kelabu. Setiap langkah membawa mereka lebih dekat ke tempat di mana semua akan berakhir… atau mungkin dimulai.
Shara tidak tahu berapa lama mereka berjalan. Kota terasa jauh, seperti hanya bayangan samar di belakang mereka. Dunia menjadi lebih sunyi. Hanya suara napas mereka, suara hujan, dan detak jantung Shara yang berdentum keras di telinganya.
Akhirnya, mereka tiba di sebuah lapangan kosong di pinggir kota. Tempat itu dikelilingi reruntuhan gedung tua, seolah dunia pernah mencoba membangun sesuatu di sini lalu menyerah di tengah jalan.
Di tengah lapangan itu, ada sebuah pilar batu pendek, berdiri sendirian di antara tanah becek.
Shara menatapnya lama. Ada sesuatu yang aneh pada pilar itu. Di permukaannya, garis-garis kuno membentuk pola yang mirip dengan peta di buku catatan.
Leon berdiri di sampingnya.
“Ini pusatnya,” katanya pelan. “Tempat di mana jalan menuju bintang-bintang yang tidak pernah lahir bisa terbuka.”
Shara menggenggam buku catatan erat-erat.
“Aku takut,” katanya jujur.
Leon memandangnya lembut.
“Aku juga.”
Shara menarik napas dalam-dalam, lalu melangkah mendekati pilar itu. Setiap langkah membuat tubuhnya terasa lebih ringan… atau mungkin lebih kosong. Ia bisa merasakan potongan-potongan dirinya perlahan menghilang, seperti kelopak bunga yang ditiup angin.
Saat ia menyentuhkan tangan ke pilar, dunia bergetar pelan.
Langit menjadi lebih gelap. Hujan berhenti seketika, digantikan oleh keheningan mencekam. Cahaya tipis berwarna biru mulai mengalir dari pilar, membentuk lingkaran besar di tanah.
Shara berdiri di tengah lingkaran itu, gemetar.
Leon mendekat, tapi berhenti di tepi lingkaran. Ia tidak berani masuk. Ia tahu, ini perjalanan Shara, bukan miliknya.
“Aku bisa berhenti sekarang,” kata Shara, suaranya goyah. “Aku bisa mundur.”
Leon tersenyum sendu.
“Tapi kamu tidak akan pernah benar-benar kembali.”
Shara menutup matanya.
Ia membayangkan semua yang pernah ia cintai. Ibunya. Teman-teman masa kecil yang wajahnya mulai ia lupakan. Tawa. Tangis. Malam-malam penuh doa sunyi.
Semua itu… perlahan mulai kabur.
Kalau ia lanjutkan, semua akan lenyap. Tapi kalau ia berhenti, ia akan hidup dalam kehampaan, selamanya menjadi saksi air mata bintang yang tak pernah berhenti.
“Aku ingin kamu tahu satu hal,” kata Leon tiba-tiba.
Shara membuka mata, menatapnya.
“Aku tidak hanya tercipta dari kesepianmu,” lanjut Leon. “Aku juga lahir dari bagian paling berani dari hatimu.”
Shara merasakan air mata mengalir di pipinya.
“Aku akan kehilangan semua itu, Leon,” bisiknya.
Leon tersenyum, dan untuk pertama kalinya, ada ketulusan penuh di dalamnya.
“Kamu tidak kehilangan apa pun, Shara. Kamu akan menjadi bagian dari langit. Kamu akan menjadi sesuatu yang abadi.”
Lingkaran cahaya semakin terang. Pilar mulai bergetar, seolah dunia di sekitarnya tidak sanggup lagi mempertahankan bentuknya.
Shara tahu, waktunya hampir habis.
Ia menatap Leon, mengukir wajahnya dalam hatinya, berharap bisa membawanya ke mana pun ia pergi.
“Aku mencintaimu,” bisik Shara.
Leon menutup matanya, seolah kata-kata itu lebih menyakitkan daripada hujan meteor.
“Aku juga mencintaimu,” jawabnya, suara itu nyaris pecah.
Shara mengambil langkah terakhir ke pusat lingkaran.
Cahaya meledak. Dunia di sekelilingnya runtuh menjadi serpihan-serpihan kecil yang berkilau.
Waktu, ruang, ingatan—semuanya terurai.
Shara merasa dirinya terangkat, tubuhnya menjadi ringan, seolah ia tidak lagi terikat pada bumi. Ia bisa mendengar jutaan suara. Tawa. Tangis. Doa. Semuanya menyatu dalam satu simfoni raksasa.
Ia melihat Leon untuk terakhir kalinya, berdiri di antara puing-puing dunia mereka.
Kemudian, Shara menutup matanya.
Dan menyerahkan dirinya kepada bintang-bintang yang menangis.
Tentu! Ini aku lanjutkan ke Bab 10, bab terakhir cerita novel “Bintang yang Menangis di Tengah Kota”, tetap pakai bahasa santai, tanpa kata yang di-bold, dan sekitar 900 kata:
Bab 10: Bintang yang Menangis untuk Terakhir Kalinya
Tidak ada suara.
Tidak ada rasa.
Hanya ruang kosong yang lembut, seolah Shara terapung di antara helaian kain tak kasat mata. Waktu kehilangan maknanya. Ia tidak tahu sudah berapa lama ia berada di sana. Mungkin sekejap. Mungkin selamanya.
Namun perlahan, di kejauhan, ia melihat sesuatu.
Cahaya.
Cahaya yang bukan dari dunia yang ia kenal. Cahaya hangat, berkilau seperti jutaan serpihan air mata bintang yang dulu selalu ia lihat jatuh bersama hujan. Tapi kini, tidak ada kesedihan di dalamnya. Hanya keheningan… dan penerimaan.
Shara melangkah, atau mungkin melayang, menuju cahaya itu. Setiap langkah membuatnya merasa lebih ringan. Lebih kosong. Tapi juga lebih damai.
Di tengah cahaya itu, ia melihat sosok.
Leon.
Bukan lagi seperti manusia yang ia kenal. Kini Leon adalah bagian dari cahaya itu, matanya bersinar seperti pecahan bintang, senyumnya lebih tenang dari apa pun yang pernah Shara lihat.
“Kamu berhasil,” kata Leon, suaranya terdengar di dalam pikirannya.
Shara menahan air mata yang tidak bisa lagi ia keluarkan. Ia tidak tahu apakah dirinya masih cukup manusia untuk menangis.
“Apa ini… akhir?” tanyanya.
Leon menggeleng perlahan.
“Bukan akhir. Hanya bentuk baru.”
Shara mendekat, ingin menyentuhnya, tapi tahu ia tak bisa lagi. Tubuh mereka bukan lagi tubuh. Mereka hanyalah gema dari apa yang dulu mereka perjuangkan.
“Semua keinginan, semua kesepian, semua harapan yang terlupakan… akan menemukan jalannya sekarang,” lanjut Leon. “Dan kamu… kamu akan menjadi bintang di tengah mereka.”
Shara merasa dadanya, atau apa pun yang tersisa dari dirinya, bergetar.
“Kalau aku menjadi bintang… aku masih bisa mengingatmu?”
Leon tersenyum sendu.
“Kamu akan melupakan rasa sakit. Tapi tidak cintanya.”
Shara menutup mata, membiarkan kata-kata itu membungkus dirinya. Hangat, lembut, seolah dunia lama yang penuh luka kini perlahan-lahan menghilang, digantikan oleh sesuatu yang lebih luas. Sesuatu yang lebih abadi.
“Aku takut,” bisik Shara.
Leon mendekat, atau mungkin pikirannya yang mendekat.
“Aku akan bersamamu,” janjinya.
Dan dengan itu, Shara membiarkan dirinya melebur dalam cahaya.
Dalam sekejap, tubuhnya berubah menjadi ribuan partikel kecil. Setiap partikel adalah bagian dari dirinya yang pernah mencintai, pernah bermimpi, pernah terluka.
Ia menjadi bagian dari langit.
Menjadi bagian dari bintang-bintang yang menangis… dan tersenyum.
Di kota tempat Shara dulu hidup, hujan berhenti untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama.
Orang-orang menatap ke langit dengan heran.
Malam itu, bintang-bintang bermunculan, lebih banyak daripada yang pernah terlihat sebelumnya. Cahaya mereka berkelap-kelip, seperti membisikkan rahasia kepada siapa pun yang bersedia mendengarkan.
Dan di antara bintang-bintang itu, ada satu yang paling terang.
Bintang itu seolah bernafas, memancarkan kehangatan yang aneh, seolah memeluk seluruh dunia dalam satu napas panjang.
Tidak ada yang tahu kenapa.
Tidak ada yang mengerti.
Tapi di hati mereka yang mau percaya, ada rasa tenang yang samar.
Seolah dunia, untuk sekali ini, diingatkan kembali bahwa tidak ada keinginan yang benar-benar hilang.
Bahwa setiap air mata, setiap tawa, setiap cinta… suatu hari akan menemukan jalannya ke langit.
Dan di suatu tempat di antara bintang-bintang itu, Shara dan Leon bersama.
Tidak lagi terpisahkan.
Tidak lagi sendirian.
Hanya menjadi bagian dari keabadian… yang menangis, yang bermimpi, dan yang tetap bersinar.
Selamanya.
TAMAT
Novel ini ditulis oleh Evi Fauzi, Penulis dari Novel Singkat . Baca juga novel romantis, petualangan dan fiksi ilmiah lainnya.