Zay Teyron, seorang penjelajah dimensi profesional, menerima misi paling berbahaya dalam hidupnya: menyusup ke dunia paralel Veylara dan menyelamatkan seorang gadis bernama Aira, yang dipercaya sebagai kunci keberlangsungan seluruh realitas.
Namun saat tiba, Zay menyadari sesuatu yang mengerikan jiwanya terjebak di tubuh Kael, musuh yang paling dibenci Aira, sosok yang telah menghancurkan seluruh desanya.
Dalam tubuh yang salah dan identitas yang penuh kebencian, Zay harus berpura-pura menjadi orang yang paling ia benci, sambil melindungi Aira dari ancaman yang jauh lebih besar.
Saat dunia mulai pecah dan kebenaran tentang Aira perlahan terungkap, Zay terjebak di antara kesetiaan terhadap dunia asalnya dan perasaan baru yang tumbuh terhadap gadis yang seharusnya ia lindungi.
Mampukah Zay menebus dosa tubuh yang ia tempati?
Dan beranikah Aira mempercayai seseorang yang mengenakan wajah musuhnya?
Di tengah dunia yang runtuh, cinta dan pengkhianatan beradu… dan satu pilihan akan menentukan nasib semua realitas.
Bab 1: Misi Tanpa Pulang
Di tengah malam yang dibungkus kabut neon, Zay berdiri di atas balkon Menara LUX, pusat kendali perjalanan dimensi. Dari ketinggian, dunia tampak seperti papan sirkuit raksasa, menyala dalam pola yang tak pernah tidur. Di belakangnya, pintu logam terbuka dengan desisan pelan.
“Zay,” suara komandan Riven menggema, dingin dan berat. “Ini misi yang tidak bisa kamu tolak.”
Zay menoleh, menatap pria berjas hitam itu tanpa ekspresi. Dalam dunia ini, penjelajah seperti dia jarang menolak tugas. Tapi malam ini, ada sesuatu yang membuat perutnya bergejolak aneh. Seperti firasat buruk.
“Aku dengar, misi ini satu arah,” ucap Zay, suaranya serak karena udara dingin. “Kalau gagal, aku terjebak di sana.”
Riven hanya mengangkat bahu, seolah itu harga kecil untuk dibayar. Ia menyerahkan sebuah tablet kecil berisi profil target: seorang gadis bernama Aira. Usianya dua puluh, wajahnya terlihat biasa saja pada foto itu. Tapi keterangan di bawahnya membuat Zay mengerutkan alis.
Kunci Eksistensi.
Istilah itu jarang dipakai. Hanya diberikan pada entitas yang jika dihancurkan, bisa membuat realitas runtuh.
“Misinya sederhana,” kata Riven. “Temukan Aira. Bawa dia ke Titik Penghubung sebelum pihak musuh menemukannya.”
Zay menggeser layar ke bawah, mencari informasi lebih lanjut. Dunia yang akan ia datangi bernama Veylara, sebuah realitas paralel mirip bumi, tapi jauh lebih kasar dan liar. Di sana, hukum fisika dan sihir berbaur, membuat segalanya tidak bisa diprediksi.
“Ada satu hal yang perlu kamu ingat,” tambah Riven. “Kamu tidak bisa membawa tubuhmu ke sana. Hukum dasar dimensi. Tubuhmu akan digantikan oleh tubuh yang eksis di dunia itu.”
Zay mengangguk pelan. Ia sudah terbiasa. Dalam perjalanan antar dimensi, tubuh hanyalah cangkang. Jiwalah yang membawa misi. Ia hanya berharap mendapatkan tubuh yang… tidak merepotkan.
“Berapa banyak yang dikirim sebelumnya?” tanya Zay sambil menatap layar.
“Empat,” jawab Riven datar. “Semua gagal. Semuanya hilang.”
Angin malam berembus, membuat jaket kulit Zay berkibar. Di dalam dadanya, rasa gelisah tumbuh. Tapi ia tahu, ia tidak akan mundur. Ini hidupnya. Ini jalannya.
Ia menyerahkan kembali tablet itu, lalu melangkah menuju Ruang Pindah. Jantungnya berdetak lebih cepat saat menatap lingkaran bercahaya di lantai, mesin raksasa yang akan melontarkannya ke dunia lain.
Di belakangnya, Riven berkata, “Ingat, Zay. Siapa pun kamu di sana, jangan biarkan identitasmu terbongkar. Dunia itu membenci penyusup.”
Zay hanya mengangkat tangan sebagai jawaban. Satu langkah ke dalam lingkaran, dan dunia di sekitarnya meledak dalam cahaya putih yang menyilaukan.
Rasanya seperti ditarik keluar dari tubuh sendiri, lalu dilemparkan ke dalam pusaran tak berujung. Napasnya tercekat. Kepalanya berdenyut. Ia berusaha mengingat apa pun—namanya, misinya, alasan ia bertahan.
Lalu, tiba-tiba, gelap.
Saat Zay membuka mata lagi, dunia yang baru sudah menyambutnya.
Langit di atasnya merah pudar, seperti luka terbuka yang membusuk. Angin membawa bau tanah basah dan darah. Ia berbaring di tanah berlumpur, tubuhnya terasa berat… asing.
Dengan usaha keras, ia bangkit, memeriksa diri. Bajunya hitam pekat, sobek di beberapa bagian. Tangannya—lebih besar, lebih kekar dari biasanya—dipenuhi bekas luka lama. Ada rasa kekuatan liar di balik kulit ini, sesuatu yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya.
Saat ia mencoba berdiri, rasa sakit menyengat di rusuknya. Luka tembakan. Tapi bukan lukanya. Luka tubuh ini.
Dari kejauhan, suara teriakan menggema. Ia berbalik dan melihat sekelompok orang berlari, dipimpin oleh seorang gadis bermata tajam dan rambut berantakan.
Di dadanya, Zay merasakan dentuman aneh. Ia tahu instingnya sendiri. Itu dia. Itu Aira.
Tapi ada yang salah.
Sangat salah.
Tatapan Aira penuh dengan kebencian yang dalam. Ia mengangkat pedangnya, mengarahkannya tepat ke arah Zay.
“Kael!” teriaknya, suaranya dipenuhi amarah dan luka yang belum sembuh. “Atas nama semua yang kau hancurkan, aku bersumpah akan membunuhmu!”
Zay terdiam.
Kael?
Nama itu bergema di dalam kepalanya. Ia menggali dalam ingatannya, mencari siapa Kael itu. Lalu perlahan, potongan-potongan informasi yang tertinggal di tubuh ini merayap masuk.
Kael.
Pembantai desa.
Musuh semua orang.
Orang yang paling dibenci Aira… dan sekarang, tubuh yang ia tempati.
Dalam satu detik itu, semua harapan Zay tentang misi yang mulus hancur berantakan. Ia tidak hanya harus menyelamatkan Aira.
Ia harus melakukannya sambil berpura-pura menjadi monster yang telah menghancurkan hidup gadis itu.
Dan lebih buruknya lagi… ia hanya punya waktu tiga hari sebelum realitas Veylara runtuh selamanya.
Bab 2: Tubuh Musuh, Misi yang Salah
Zay tidak sempat berpikir panjang. Aira sudah berlari ke arahnya, pedang terhunus, sorot matanya penuh dendam membara. Insting lamanya sebagai penjelajah membuat tubuhnya bergerak cepat, menghindari tebasan pertama. Namun, rasa sakit di rusuknya membuat pergerakannya lambat. Ia nyaris tersungkur.
“Aku tidak mau bertarung denganmu,” serunya, berharap suaranya terdengar lebih tulus daripada panik.
Tapi Aira tidak peduli. Ia menyerang lagi, lebih ganas. Setiap gerakannya membawa amarah bertahun-tahun yang mendidih. Di balik kekacauan itu, Zay merasakan sesuatu yang lebih dalam dari kebencian. Ada rasa sakit yang dipeluk terlalu lama.
Pedang Aira hampir mengenai pundaknya kalau saja ia tidak berguling ke tanah, lalu berlari menjauh secepat mungkin. Ia tidak mungkin melawan Aira. Bukan hanya karena luka di tubuh ini, tapi karena… bagaimana mungkin ia menyakiti orang yang harus ia selamatkan?
Zay melintasi hutan lebat dengan napas terengah-engah. Cabang-cabang pohon mencambuk wajah dan lengannya. Tanah di bawahnya licin, berlumpur. Tapi ia terus berlari, menjauh dari Aira, dari kelompok pemburu yang memburunya.
Saat akhirnya ia menemukan gua kecil di antara batuan karang, ia merangkak masuk, menyandarkan punggungnya ke dinding basah. Napasnya memburu, kepala berdenyut. Untuk pertama kalinya dalam misi apa pun, Zay merasa sepenuhnya tersesat.
Apa yang terjadi barusan lebih buruk dari skenario terburuknya.
Ia mengangkat tangan, menatapnya dalam redup cahaya gua. Tangan Kael. Tubuh Kael. Pria yang sudah menghancurkan dunia Aira. Bagaimana ia bisa menjalankan misi ini kalau gadis yang harus ia lindungi ingin menusuk jantungnya sendiri?
Perlahan, ingatan samar yang melekat di tubuh ini mulai menyeruak. Kenangan Kael. Potongan-potongan masa lalu yang asing dan dingin. Ia melihat bayangan seorang anak kecil yang dikurung di laboratorium. Rantai. Suntikan. Bisikan kata-kata aneh yang menanamkan kebencian terhadap dunia.
Kael tidak pernah memilih jalannya. Ia diciptakan untuk menghancurkan.
Zay memejamkan mata. Tubuh ini membawa dosa yang bukan miliknya. Tapi itu tidak akan jadi alasan. Ia tidak bisa mengubah masa lalu Kael, tapi ia bisa menentukan apa yang akan dilakukan mulai sekarang.
Ia harus menemukan cara untuk mendekati Aira. Membuatnya percaya, tanpa membocorkan identitas aslinya. Sebuah tugas nyaris mustahil.
Saat ia masih memutar otak, suara langkah kaki terdengar di luar gua. Zay langsung menahan napas. Ia menekan tubuhnya ke dinding, berharap kegelapan cukup untuk menyembunyikannya.
“Aku tahu kau di sini, Kael!” suara Aira menggema dari luar.
Zay menahan keinginannya untuk keluar dan menjelaskan segalanya. Tapi ia tahu, kata-kata saja tidak akan cukup. Tidak setelah semua yang telah dilakukan tubuh ini.
Pelan-pelan, Zay meraih batu kecil dan melemparkannya ke semak-semak di sisi lain gua. Suara gesekan membuat Aira mengalihkan perhatiannya sejenak. Kesempatan kecil itu cukup bagi Zay untuk merangkak keluar dari sisi belakang gua, bergerak menjauh dalam diam.
Ia berjalan tanpa arah di dalam hutan malam, rasa putus asa menggantung di dadanya. Dunia Veylara ini lebih liar dari yang ia bayangkan. Hukum dimensi membuat segala hal terasa tidak stabil. Langit berganti warna tanpa alasan. Tanah terkadang bergemuruh seolah ada sesuatu yang bernafas di bawahnya.
Dan di tengah semua itu, Zay harus menjalankan misi mustahil: melindungi seorang gadis yang membencinya sampai ke tulang sumsum.
Saat ia berjalan, ia melihat sesuatu di kejauhan: reruntuhan sebuah desa. Ia mendekat dengan hati-hati, langkahnya ringan. Sisa-sisa rumah yang terbakar, sumur yang runtuh, patung-patung batu yang patah. Semuanya hening, seperti dunia yang berhenti bernapas.
Di tengah reruntuhan, ada tugu kecil. Diukir kasar, tapi masih bisa dibaca dalam bahasa Veylara kuno.
Untuk semua jiwa yang hilang akibat pengkhianatan Kael.
Zay memejamkan mata, merasakan beban yang bukan miliknya menekan pundaknya. Ia berlutut di depan tugu itu, mengulurkan tangan, menyentuh permukaannya yang retak.
“Aku bukan dia,” bisiknya lirih, seolah berbicara pada dunia yang terluka ini. “Tapi aku bersumpah akan memperbaiki semua ini.”
Saat ia hendak berdiri, sebuah tangan tiba-tiba menariknya kasar dari belakang. Zay terkejut, hampir saja melempar orang itu. Tapi sebelum ia sempat bergerak, ia melihat wajah lelaki tua, berjubah compang-camping, menatapnya dengan mata penuh kebijaksanaan.
“Kael,” gumam lelaki itu, namun tanpa kebencian. Lebih seperti… pengakuan.
Zay diam, menahan diri.
“Aku tahu kamu bukan dia,” bisik lelaki itu, membuat bulu kuduk Zay berdiri.
Bagaimana dia bisa tahu?
“Satu jiwa tidak bisa berbohong pada dunia ini,” lanjutnya. “Kau berbeda. Kau… menyimpan cahaya.”
Zay membuka mulut, hendak bertanya, tapi lelaki itu menaruh satu jari di bibirnya, memberi isyarat untuk diam.
“Kalau kau ingin menyelamatkan dunia ini, kau harus memahami kegelapan yang kau warisi. Kau harus mengenal Kael, lebih dari siapa pun,” katanya perlahan.
Lalu, sebelum Zay sempat bertanya lebih banyak, lelaki itu berjalan menjauh, perlahan-lahan menghilang ke dalam kabut.
Zay berdiri diam di antara reruntuhan, hatinya bergemuruh. Ini bukan lagi sekadar misi biasa.
Ini tentang menebus dosa orang lain.
Dan mungkin… menebus dunia itu sendiri.
Bab 3: Kebencian di Mata Aira
Malam di Veylara tidak pernah benar-benar gelap. Kilatan merah samar dari langit yang retak membuat segala sesuatu tampak seperti lukisan rusak. Zay berjalan pelan, membiarkan pikirannya berputar di antara rasa bersalah dan misi yang belum jelas bagaimana harus diselesaikan.
Langkahnya membawanya menuju sebuah ladang tua. Di kejauhan, ia melihat cahaya kecil dari api unggun. Insting bertahan hidupnya berteriak untuk menjauh. Tapi hatinya, entah kenapa, malah mendorongnya untuk mendekat.
Ia bersembunyi di balik reruntuhan tembok batu, mengintip.
Di sana, duduk di depan api, adalah Aira.
Sendirian.
Tanpa pasukan, tanpa pengawal, hanya ditemani pedang yang disandarkan di lututnya. Wajahnya terlihat jauh lebih muda dari saat ia berlari menyerangnya tadi. Ada lelah yang dalam di matanya, seperti seseorang yang sudah terlalu lama memikul dunia di pundaknya.
Zay tahu ini kesempatan berbahaya. Tapi ia juga tahu, kalau terus menghindar, ia tidak akan pernah bisa mendekati Aira. Tidak akan pernah bisa melindunginya.
Dengan napas ditahan, ia melangkah keluar dari persembunyiannya.
Aira langsung sigap berdiri, pedangnya terarah ke arahnya dalam satu gerakan cepat.
“Kau pikir aku tidak akan menemukanmu?” suaranya dingin, nyaris bergetar menahan amarah.
Zay mengangkat kedua tangan, menunjukkan ia tidak membawa senjata. Tubuhnya yang kelelahan membuat gerakannya lamban.
“Aku tidak ingin bertarung,” katanya, menjaga suaranya tetap tenang.
Aira menatapnya tajam, seolah mencoba membaca niat tersembunyi di balik setiap kata.
“Kau sudah membakar desa kami. Membunuh keluargaku. Lalu sekarang kau bilang kau tidak ingin bertarung?” ujarnya, suara itu menggigit lebih tajam dari pedangnya.
Zay menelan ludah. Ia tidak tahu apa yang sebaiknya ia jawab. Apapun yang ia katakan, di mata Aira, ia tetap Kael. Monster yang telah menghancurkan hidupnya.
“Aku… aku bukan orang yang sama,” ucap Zay akhirnya, memilih kata-kata dengan hati-hati.
Aira tertawa kecil, getir. Tawa orang yang sudah kehilangan kepercayaan pada dunia.
“Kau pikir permintaan maaf bisa menghapus darah di tanganmu?” katanya sambil melangkah mendekat.
Zay tidak mundur. Ia berdiri diam, membiarkan Aira mendekat, bahkan saat ujung pedangnya hampir menyentuh dadanya.
“Kalau membunuhku bisa membuatmu merasa lebih baik,” bisik Zay, “lakukan.”
Aira menahan napas. Tangannya bergetar. Matanya penuh dengan badai emosi. Tapi pedang itu tidak bergerak lebih jauh.
Dalam keheningan itu, Zay melihat sesuatu yang lebih dalam di mata Aira. Bukan hanya kebencian. Ada ketakutan. Ada kehilangan. Ada luka yang terlalu dalam untuk dijelaskan dengan kata-kata.
“Kenapa kau tidak melawan?” tanya Aira akhirnya, suaranya lebih pelan.
Zay menatapnya. “Karena aku tahu aku pantas mendapatkannya,” jawabnya tanpa ragu, walaupun sebagian dari hatinya berteriak bahwa itu bukan kesalahannya. Tapi ini bukan soal siapa yang salah. Ini soal menebus kepercayaan yang hancur.
Aira menurunkan pedangnya perlahan, namun matanya tetap tajam, tetap waspada.
“Kau… berbeda,” gumamnya, seolah berbicara pada dirinya sendiri.
Zay tidak membalas. Ia tahu terlalu banyak kata hanya akan membuat semuanya berantakan. Terkadang, diam lebih jujur daripada seribu alasan.
Aira menarik napas dalam-dalam, lalu duduk kembali di dekat api, tanpa mengalihkan pandangannya darinya.
“Aku tidak percaya padamu,” katanya datar.
“Aku tidak mengharapkan itu,” jawab Zay.
Aira memandang ke dalam api, suaranya berubah pelan. “Kael… menghancurkan keluargaku. Tapi lebih dari itu, dia menghancurkan kepercayaanku kepada siapa pun. Dia membuktikan bahwa kebaikan itu hanya ilusi. Kau tahu rasanya, kehilangan semua yang membuatmu percaya pada dunia?”
Zay duduk perlahan, menjaga jarak yang aman darinya. “Aku tahu rasanya kehilangan arah,” katanya jujur.
Mereka duduk dalam diam, hanya ditemani suara kayu yang berderak di dalam api. Tidak ada kepercayaan. Tidak ada pengampunan. Tapi juga… tidak ada serangan.
Itu cukup untuk malam ini.
Saat angin membawa kabut lebih tebal, Aira bergumam tanpa menoleh, “Kalau kau bohong, Kael… aku akan membunuhmu sebelum kau sempat bernafas lagi.”
Zay menatap api yang berkelip, merenungi kata-katanya sendiri.
Bukan Kael, Aira. Aku Zay. Aku bukan musuhmu.
Tapi di dunia ini, kenyataan tidak semudah itu.
Misi Zay baru saja berubah dari sekadar penyelamatan menjadi perjalanan panjang untuk mendapatkan sesuatu yang jauh lebih sulit: kepercayaan dari seseorang yang dunia telah ajarkan untuk membenci.
Dan waktu mereka semakin menipis.
Sebuah retakan di langit berkedip merah lebih terang dari sebelumnya. Dunia Veylara perlahan mulai pecah, dan jika Zay gagal…
Bukan hanya dia yang akan hancur.
Bab 4: Petunjuk dalam Lukisan
Pagi di Veylara datang seperti tamu tak diundang, membawa kabut putih dan embun berat. Zay terbangun lebih dulu, tubuh Kael yang ia tempati terasa kaku dan penuh luka kecil. Di seberang api unggun yang sudah nyaris padam, Aira masih tertidur, pedangnya tetap dalam genggaman bahkan saat tidur.
Zay berdiri pelan, mencoba meluruskan tubuhnya yang pegal. Ia tahu ia harus mencari informasi lebih banyak. Dunia ini tidak stabil. Dan kalau ia tidak bergerak cepat, mereka berdua bisa terkubur bersama dunia yang runtuh ini.
Tanpa membangunkan Aira, ia menjelajah sekitar, melewati ladang ilalang dan pohon-pohon aneh dengan batang berwarna keunguan. Tidak jauh dari tempat mereka bermalam, ia menemukan sesuatu yang aneh.
Sebuah bangunan kecil setengah runtuh, mirip rumah ibadah tua. Dindingnya penuh ukiran dan lukisan, meski sebagian besar sudah terhapus waktu. Pintu kayunya hancur separuh, cukup baginya untuk masuk tanpa suara.
Di dalam, hawa dingin menusuk kulit. Debu menari di udara. Di ujung ruangan, di atas altar batu, tergantung sebuah lukisan besar yang hampir seluruhnya pudar.
Zay melangkah mendekat, matanya menyipit mencoba memahami apa yang tergambar. Semakin ia memperhatikan, semakin jantungnya berdetak keras.
Lukisan itu menggambarkan sosok seorang pria berpakaian hitam pekat, berdiri di tengah retakan dunia. Di sampingnya, seorang gadis berambut panjang memegang cahaya kecil di telapak tangannya. Di atas mereka, langit pecah, membentuk celah merah menganga, persis seperti yang sekarang terjadi di Veylara.
Apa ini ramalan? Atau peringatan?
Zay melangkah lebih dekat. Ia melihat bahwa wajah pria itu… mirip dirinya sekarang. Mirip Kael.
Sementara gadis itu, meski tidak begitu jelas, sangat mirip Aira.
Ia mengusap debu di bagian bawah lukisan, mengungkapkan tulisan kecil yang hampir tak terbaca.
“Penghancur dan Penjaga. Hanya bersama, dunia bisa bertahan.”
Zay menelan ludah. Kata-kata itu bergema keras di kepalanya. Jadi ini alasannya? Ini sebabnya kenapa ia harus menyelamatkan Aira, kenapa tubuh Kael justru yang ia tempati?
Mereka bukan sekadar musuh.
Mereka dua bagian dari satu takdir yang sama.
Saat Zay masih tertegun, suara langkah kaki cepat mendekat. Ia berbalik, bersiap. Tapi yang datang hanyalah Aira, wajahnya masih setengah mengantuk namun penuh kewaspadaan.
“Apa yang kau lakukan di sini?” tanyanya curiga.
Zay mengangkat tangan, menunjukkan ia tidak membawa senjata. “Aku menemukan sesuatu,” katanya, lalu menunjuk lukisan.
Aira melangkah mendekat, matanya melebar saat melihat gambaran itu.
“Aku pernah dengar tentang ini,” bisiknya. “Orang tua di desaku dulu menyebutkan ramalan tentang ‘Cahaya dan Bayangan’. Tapi aku pikir itu hanya dongeng.”
Zay memperhatikan ekspresi Aira. Untuk pertama kalinya, ada keraguan di sana. Keraguan terhadap apa yang selama ini ia yakini tentang Kael, tentang dirinya.
“Aku tidak mengerti,” gumam Aira. “Kalau ini benar, kenapa… kenapa kau membantai desaku?”
Zay menggertakkan rahang. Ia ingin berteriak bahwa ia bukan Kael. Bahwa ia tidak melakukan itu. Tapi ia tahu, kata-kata tidak akan cukup.
“Aku tidak punya jawaban untuk semua itu,” katanya akhirnya. “Tapi mungkin… mungkin bukan segalanya seperti yang kau pikirkan.”
Aira menatapnya lama, lalu memalingkan wajahnya.
Di luar, langit bergemuruh. Retakan merah bertambah besar, serpihan kecil cahaya jatuh seperti hujan beku. Waktu mereka makin menipis.
Saat mereka keluar dari bangunan tua itu, Aira berhenti.
“Kalau kau berbohong…” katanya tanpa menoleh, “aku tidak akan ragu membunuhmu.”
Zay hanya mengangguk. Ia tidak mengharapkan kepercayaan. Ia hanya butuh cukup waktu untuk membuktikan bahwa dirinya berbeda.
Mereka melanjutkan perjalanan melewati hutan yang semakin sunyi. Dunia ini terasa… sekarat. Tanah bergetar kecil di bawah kaki mereka, seperti detak jantung yang mulai melemah.
Saat matahari berwarna keperakan mulai turun ke balik pegunungan jauh, mereka tiba di sebuah bukit kecil. Dari atas, mereka bisa melihat sebuah kota yang tampaknya masih bertahan. Kota terakhir, mungkin.
“Aira,” kata Zay pelan, “kau tahu di mana ‘Titik Penghubung’ itu?”
Aira menatap kota di bawah, wajahnya serius.
“Di sana,” katanya. “Di jantung kota itu. Tapi kalau kita masuk… kita tidak hanya akan menghadapi musuh biasa.”
Zay mengernyit. “Apa maksudmu?”
Aira menarik napas dalam-dalam, lalu berbisik.
“Kael… tubuhmu… adalah jenderal tertinggi pasukan penjaga Titik Penghubung.”
Zay membeku.
Tubuh ini bukan hanya musuh Aira.
Tubuh ini adalah musuh seluruh dunia.
Dan untuk menyelamatkan Aira, ia harus mengkhianati semua orang yang dulu pernah diperintah Kael.
Saat langit kembali bergetar dan serpihan merah jatuh lebih banyak, Zay sadar satu hal:
Ini bukan lagi soal menyelesaikan misi.
Ini soal memilih… antara membiarkan dunia hancur atau mengkhianati masa lalu tubuh yang kini jadi miliknya.
Dan apapun pilihannya nanti, tidak akan ada jalan kembali.
Sepertinya pesanmu terpotong.
Kamu mau aku kerjakan cerita Bab 5 lanjutannya, ya?
Kalau iya, aku akan langsung buatkan Bab 5 dengan gaya santai, sekitar 900 kata, tetap tanpa kata yang dibold, dan ceritanya akan makin seru dengan plot twist baru seperti yang sudah kita rencanakan.
Bab 5: Di Balik Topeng Musuh
Malam mulai turun, menyelimuti dunia Veylara dalam kabut abu-abu. Dari puncak bukit, Zay dan Aira mengamati kota yang terhampar di bawah mereka. Lampu-lampu biru pucat berkelip lemah, tanda kehidupan yang masih bertahan di tengah dunia yang sekarat.
“Apa rencanamu?” tanya Aira tanpa berpaling.
Zay berpikir keras. Dalam keadaan normal, ia bisa menyelinap, mencari jalur tersembunyi menuju pusat kota. Tapi dengan tubuh Kael, musuh nomor satu kota ini, mustahil ia bisa masuk tanpa menimbulkan kekacauan.
“Kau tahu jalan rahasia masuk ke kota?” Zay bertanya balik.
Aira mengangguk. “Ada lorong tua di bawah benteng timur. Dulu dipakai pedagang gelap. Tapi berbahaya. Banyak jebakan. Banyak… makhluk.”
Zay tidak sempat memikirkan apa yang dimaksud dengan ‘makhluk’. Pilihan mereka terlalu sedikit. Ia hanya mengangguk.
“Kita masuk lewat sana,” katanya.
Mereka turun bukit dengan cepat, bersembunyi di balik batuan besar dan reruntuhan. Setiap langkah harus hati-hati. Mata-mata kota berkeliaran, mencari Kael, mencari tanda-tanda invasi.
Saat akhirnya mereka tiba di dekat benteng timur, Aira menunjuk ke sebuah celah kecil di antara tembok dan tanah. Lorong itu nyaris tidak terlihat.
“Kita harus merangkak,” bisiknya.
Zay menahan napas, lalu mengikuti Aira masuk ke dalam lorong sempit itu. Bau tanah basah dan besi tua memenuhi udara. Gelap begitu pekat, sampai-sampai ia hanya bisa mengikuti suara napas Aira di depannya.
Setelah beberapa meter merangkak, lorong itu melebar. Mereka bisa berdiri. Di depan, jalan bercabang.
“Kiri jebakan. Kanan jalan menuju jantung kota,” kata Aira pelan.
Tanpa ragu, mereka memilih kanan.
Tapi saat mereka baru beberapa langkah melangkah, lantai di bawah kaki mereka bergemuruh. Sebuah perangkap tua aktif. Dinding di belakang menutup rapat, mengurung mereka dalam kegelapan.
Sebelum mereka sempat panik, suara langkah berat terdengar dari depan. Bayangan besar bergerak di ujung lorong.
“Makhluk penjaga,” bisik Aira. “Bukan manusia.”
Zay mengencangkan rahangnya. Ia tidak ingin bertarung, apalagi di ruang sempit seperti ini. Tapi kadang, tidak ada pilihan lain.
Saat makhluk itu muncul dari kegelapan, Zay langsung mengerti kenapa Aira menyebutnya makhluk. Tingginya dua kali manusia biasa, kulitnya kelabu keras seperti batu. Matanya kosong, seperti boneka mati.
Makhluk itu mengangkat senjata besar, semacam kapak raksasa.
Zay menarik Aira ke samping saat kapak itu menghantam tanah, membuat seluruh lorong bergetar.
“Aku alihkan perhatiannya,” kata Zay cepat. “Kau cari jalan keluar.”
Aira tampak ragu. Tapi akhirnya ia mengangguk dan berlari ke arah lain, menyusuri sisi lorong.
Zay menghadapi makhluk itu sendirian. Ia bergerak gesit, menghindari setiap serangan berat. Tapi tubuh Kael, meskipun kuat, belum sepenuhnya pulih dari luka lama. Setiap gerakan menyayat rasa sakit di rusuknya.
Saat makhluk itu mengayunkan kapaknya lagi, Zay melompat ke atas, memanfaatkan dinding lorong sebagai tumpuan. Dengan semua kekuatan yang ia punya, ia menendang kepala makhluk itu.
Makhluk itu terhuyung, lalu roboh dengan dentuman keras.
Zay terengah-engah, tapi tidak sempat lega. Dari balik lorong, Aira berteriak.
“Zay! Cepat!”
Ia berlari mengikuti suara itu. Mereka bertemu di sebuah ruangan kecil di ujung lorong. Dindingnya penuh ukiran kuno, dan di tengahnya, berdiri sesuatu yang mengejutkan.
Sebuah portal.
Bentuknya seperti pusaran air beku, berdiri di udara. Cahaya biru keunguan berputar perlahan, memancarkan hawa dingin.
“Ini… ini Titik Penghubung,” bisik Aira.
Zay menatapnya dengan campuran kagum dan ketakutan. Di balik portal itu, adalah jalan menuju jantung dunia. Tempat di mana segalanya akan ditentukan.
Namun sebelum mereka bisa mendekat, suara langkah kaki berat menggema dari belakang. Banyak. Bukan hanya satu atau dua.
Pasukan.
Aira menoleh, matanya membelalak.
“Mereka menemukanku,” gumamnya.
Zay menarik napas dalam-dalam. Ini saatnya memilih.
Lari ke portal dan meninggalkan Aira?
Atau bertahan dan melawan bersama dia, meskipun kecil kemungkinan untuk menang?
Pilihan yang mudah. Bagi Zay, sejak dia membuka mata di tubuh ini, hidupnya sudah berubah.
“Aku bersamamu,” katanya cepat.
Aira menatapnya, ada keterkejutan singkat di matanya. Tapi ia tidak membantah.
Mereka berdiri berdampingan di depan portal, saat puluhan prajurit bersenjata lengkap bermunculan dari kegelapan lorong. Mata mereka menyala merah, senjata mereka teracung siap membunuh.
Dan tepat saat Zay mengira keadaan tidak bisa lebih buruk, sesuatu yang lebih besar muncul di belakang pasukan.
Seseorang.
Seseorang yang memakai wajah Kael.
Bukan tubuh yang Zay tempati sekarang.
Ini Kael asli.
Kael… yang ternyata belum mati.
Bab 6: Rahasia Asli Kael
Suasana di lorong itu mendadak membeku.
Zay dan Aira berdiri membatu di depan portal, dikepung pasukan bersenjata lengkap, sementara di antara bayang-bayang, sosok yang seharusnya sudah lama mati melangkah keluar.
Kael.
Pria itu mengenakan baju perang hitam berkilap, tubuhnya jauh lebih besar dan bertenaga daripada tubuh yang kini ditempati Zay. Mata Kael berkilat merah samar, ekspresinya kosong tapi penuh ancaman.
“Dia…” bisik Aira dengan suara tercekat. “Kael.”
Zay merasakan tubuhnya menegang. Untuk sesaat, ia berharap ini hanya ilusi, jebakan dimensi yang menggila. Tapi suara langkah Kael, dentuman beratnya, aura mencekik yang mengisi udara—semuanya terlalu nyata.
Kael asli masih hidup.
Dan lebih berbahaya dari yang pernah dibayangkan siapa pun.
Kael berhenti beberapa langkah di depan pasukannya, menatap Zay seperti menilai seekor binatang kecil yang menghalangi jalannya.
“Kau…” suara Kael dalam dan serak, seperti batu yang digerus. “Berani mencuri tubuhku.”
Zay mencengkeram tinjunya, berusaha tetap tenang.
“Aku tidak mencuri apa-apa,” balasnya pelan. “Aku terjebak.”
Kael tertawa kecil, suara tawanya dingin seperti pisau. “Bahkan jiwamu pun pengecut.”
Zay tahu ia tidak boleh terpancing. Di sampingnya, Aira menggenggam pedangnya lebih erat, matanya masih setengah bingung, setengah takut.
“Jadi ini semua bagian dari rencanamu,” kata Aira, suaranya bergetar marah. “Kau pura-pura lemah, lalu membawa pasukan ke Titik Penghubung?”
Kael menoleh ke arahnya, dan untuk sesaat, ada sesuatu di mata pria itu. Sesuatu seperti… kesedihan yang aneh. Tapi itu hanya berlangsung sekejap sebelum lenyap di balik topeng kebencian.
“Aku tidak perlu pura-pura,” katanya. “Aku dikhianati. Di dunia ini, hanya ada satu hukum: siapa yang kuat, bertahan. Siapa yang lemah, dilumat.”
Ia mengangkat tangannya.
Pasukannya bergerak serempak, membentuk setengah lingkaran, mengepung Zay dan Aira.
Zay melangkah maju, melindungi Aira di belakangnya.
“Kau tidak akan menyentuhnya,” katanya datar.
Kael tersenyum miring. “Kenapa? Karena kau jatuh cinta pada gadis ini?”
Zay terdiam. Bahkan ia sendiri tidak yakin apa perasaannya. Tapi ada sesuatu tentang Aira, tentang caranya bertahan dalam dunia yang mengkhianatinya, yang membuat Zay rela mempertaruhkan segalanya.
Tanpa peringatan, Kael meluncur ke depan secepat kilat. Tinju besarnya menghantam Zay dengan kekuatan luar biasa. Zay terlempar menghantam dinding, rasa sakit meledak di seluruh tubuhnya.
Aira berteriak, tapi sebelum ia sempat menyerang, Kael menahan pedangnya dengan satu tangan, lalu mendorongnya mundur.
“Aku akan menghancurkan Titik Penghubung,” kata Kael, suaranya keras. “Dan membiarkan semua dunia ini runtuh. Tidak akan ada lagi aturan. Tidak akan ada lagi dunia yang lebih tinggi.”
Zay berusaha bangkit, tubuhnya gemetar. Darah mengalir dari sudut bibirnya. Tapi ia menolak menyerah.
“Aku tidak akan membiarkanmu,” desisnya.
Kael mengangkat alis, seolah geli.
“Bagaimana caramu menghentikanku, dengan tubuhku sendiri yang sudah rusak?” ejeknya.
Zay menatap Aira, yang kembali berdiri di sisinya meski luka-luka.
“Kami akan melawan,” jawab Zay.
Kael menghela napas seolah bosan, lalu memberi isyarat pada pasukannya. Mereka menyerbu sekaligus.
Zay dan Aira bertarung bahu-membahu. Zay memanfaatkan kekuatan tubuh Kael semaksimal mungkin, menangkis, menghantam, menghindar. Aira, dengan kecepatannya, menusuk celah-celah pertahanan musuh.
Mereka bertahan, tapi jumlah musuh terlalu banyak.
Saat Zay nyaris roboh, Kael sendiri maju lagi. Ia menyerang dengan kekuatan mengerikan, membuat Zay terlempar ke tanah.
Kael menancapkan kakinya di dada Zay, menekan kuat.
“Kau tahu kenapa aku membantai desa Aira dulu?” bisiknya.
Zay menahan napas.
Kael menunduk, suaranya berubah pelan, nyaris… patah.
“Karena mereka menolak menyerahkan Aira.”
Zay membelalak.
“Aira…” lanjut Kael, suaranya getir, “adalah kunci eksistensi bukan karena kekuatannya. Tapi karena darahnya. Dia… bagian dari perancang dunia ini. Separuh manusia, separuh arsitek.”
Zay merasa dunia di sekitarnya bergoyang.
Aira adalah keturunan makhluk yang membangun Veylara.
Itu sebabnya semua pihak mengejarnya. Bukan hanya sebagai kunci, tapi sebagai ancaman… atau harapan.
Kael menatap Aira.
“Aku seharusnya melindungimu,” katanya perlahan. “Tapi aku… aku terlalu rusak.”
Untuk pertama kalinya, Zay melihat Kael bukan sebagai monster, tapi sebagai sesuatu yang jauh lebih tragis.
Seorang makhluk buatan… yang gagal menemukan tempatnya di dunia.
Tapi sebelum Zay sempat mengatakan apa pun, Kael menarik pedang dari pasukannya, mengangkatnya tinggi, siap menghabisi Zay.
Dan pada saat itu, Aira bergerak.
Dengan kecepatan luar biasa, ia melompat ke arah Kael, menebas dengan semua kekuatan yang ia punya.
Kael tidak menghindar.
Pedang Aira menembus jantungnya.
Kael terdiam, menatap Aira dengan ekspresi… damai.
“Akhirnya…” gumamnya pelan. “Aku bebas.”
Tubuh Kael roboh, debu berputar di sekelilingnya.
Pasukannya berhenti bergerak, seolah kehilangan sumber kekuatan mereka.
Dalam keheningan itu, Aira berdiri membeku, menatap tubuh Kael yang tak bernyawa, tangan gemetar.
Zay merangkak bangkit, mendekatinya perlahan.
“Kau tidak punya pilihan,” katanya pelan.
Aira tidak menjawab. Tapi air mata perlahan mengalir di pipinya.
Mereka memenangkan pertarungan.
Tapi kedamaian… terasa lebih jauh dari sebelumnya.
Dan jauh di balik portal yang berputar, bahaya lain menunggu.
Sesuatu yang lebih besar dari Kael.
Sesuatu yang akan menguji bukan hanya kekuatan mereka, tapi kepercayaan satu sama lain.
Bab 7: Dunia yang Terpecah
Setelah Kael tumbang, dunia seolah menahan napas.
Pasukan yang tadi mengepung mereka kini berdiri diam seperti patung, kosong tanpa perintah. Beberapa menjatuhkan senjata mereka, lalu perlahan memudar menjadi serpihan cahaya, seperti bayangan yang akhirnya dibebaskan dari kutukan.
Aira berdiri kaku, tatapannya masih terpaku pada tubuh Kael yang tergeletak tak bernyawa. Tangan yang menggenggam pedang bergetar hebat, seolah menahan semua emosi yang hampir meledak.
Zay mendekat perlahan, memberi ruang namun siap menangkapnya kalau gadis itu jatuh.
Tapi Aira tidak jatuh.
Ia menarik napas panjang, menghapus air mata dengan kasar, lalu berbalik.
“Ayo pergi sebelum semuanya terlambat,” katanya, suaranya parau tapi tegas.
Zay hanya mengangguk. Ia tahu sekarang bukan saatnya bicara.
Mereka berdua berlari ke arah portal yang masih berputar liar di tengah ruangan. Semakin dekat, Zay bisa merasakan kekuatan aneh yang berdenyut di udara. Rasanya seperti berdiri di ambang badai besar, satu tarikan napas dari lenyap.
Saat mereka melompat melewati pusaran cahaya, dunia di sekitar mereka terdistorsi.
Warna-warna berputar, bentuk-bentuk kabur, suara dan cahaya bergulung jadi satu.
Lalu… mereka mendarat di tempat yang sama sekali berbeda.
Bukan kota yang mereka lihat dari bukit.
Bukan Veylara yang mereka kenal.
Dunia di sini… pecah.
Langit terbelah menjadi dua warna yang saling bertabrakan—separuh biru muda seperti pagi, separuh hitam kelam seperti malam. Tanah di bawah kaki mereka retak, potongan-potongan bumi melayang di udara, seolah gravitasi sudah tidak berlaku sepenuhnya.
Aira ternganga.
“Apa ini…?”
Zay mengerutkan kening. Ia pernah membaca teori ini di markas Penjelajah.
Jika sebuah dunia terlalu lama dalam ketidakstabilan… ia akan membelah diri menjadi realitas-realitas kecil. Dunia paralel dalam satu tempat. Fragmen eksistensi yang tidak pernah utuh.
Dan ini… adalah akhir dari Veylara.
“Kita harus cari pusat retakan,” kata Zay cepat. “Kalau tidak, dunia ini bakal hancur total.”
Aira masih menatap sekeliling, matanya penuh rasa ngeri. “Kalau pusat retakannya sudah rusak?”
Zay tidak berani menjawab. Ia hanya menggenggam tangan Aira, menariknya agar tetap bergerak.
Mereka melewati jembatan-jembatan tanah yang melayang, melompati celah-celah besar, berlari di atas dunia yang sudah sekarat. Kadang, mereka melihat bayangan orang-orang yang seharusnya sudah mati—sekilas sosok ibu Aira, teman-teman lamanya—tapi semua itu hanya fatamorgana yang membeku di waktu yang retak.
Di tengah perjalanan, suara desisan listrik terdengar.
Zay menoleh cepat.
Dari langit yang gelap, serangkaian portal kecil bermunculan.
Dari portal-portal itu, keluar pasukan bersenjata lengkap. Tapi bukan pasukan Veylara.
Mereka mengenakan seragam hitam polos bertanda lambang Penjelajah Dimensi.
Pasukan dari dunia asal Zay.
Untuk sesaat, Zay berharap mereka datang untuk membantu.
Tapi saat melihat senjata mereka langsung diarahkan ke arahnya dan ke Aira, ia sadar.
Mereka bukan penyelamat.
Mereka pemburu.
“Serahkan target,” salah satu dari mereka berteriak menggunakan pengeras suara. “Atas nama Perlindungan Realita, Aira harus dieliminasi.”
Zay mundur selangkah, hatinya bergemuruh.
“Apa-apaan ini?” Aira bertanya, bingung dan marah sekaligus.
Zay menatapnya, merasa dunia di dalam dirinya runtuh sedikit demi sedikit.
Mereka tidak ingin menyelamatkan Aira.
Mereka ingin membunuhnya.
Menghapus ancaman sebelum dunia-dunia lain terpengaruh.
Ini bukan lagi tentang misi penyelamatan.
Ini adalah misi eksekusi.
“Maafkan aku,” bisik Zay, suara itu nyaris tak terdengar di tengah deru angin dunia yang hancur.
Tapi Aira mengerti.
Matanya melebar, campuran pengkhianatan dan rasa sakit memenuhi sorot matanya.
“Kau…” suaranya bergetar.
Zay menggeleng cepat. “Aku tidak berpihak pada mereka,” katanya tegas. “Aku… aku berpihak padamu.”
Ia membalikkan tubuh, berdiri di antara Aira dan pasukan Penjelajah. Tangan kosong, tubuh lelah, tapi tekadnya bulat.
Kalau harus melawan dunia asalnya sendiri demi melindungi Aira, maka begitu lah akan ia lakukan.
Salah satu pemimpin pasukan melangkah maju.
“Zay Teyron,” katanya dingin, menyebut nama aslinya. “Langgar perintah lagi, dan kamu akan dihapus bersama target.”
Zay menghela napas panjang.
“Aku lebih baik dihancurkan,” katanya mantap, “daripada jadi alat pembunuh tanpa otak.”
Pasukan itu mengangkat senjata mereka.
Aira meraih pedangnya lagi, berdiri di samping Zay.
“Aku tidak butuh kau melindungiku,” katanya cepat, suaranya penuh kemarahan.
“Aku tahu,” jawab Zay sambil tersenyum kecil. “Tapi aku tetap mau.”
Di bawah langit retak dan dunia yang nyaris meledak, mereka berdua bersiap melawan musuh yang jauh lebih besar daripada yang pernah mereka hadapi.
Karena kadang… dunia yang seharusnya melindungimu, justru adalah yang pertama mengkhianatimu.
Dan kadang… cinta lahir bukan dari dunia yang sempurna, tapi dari reruntuhan dunia yang sudah nyaris tidak bisa diselamatkan.
Bab 8: Mengkhianati Misi
Dentuman pertama menggetarkan tanah di bawah kaki mereka.
Sinar biru dari senjata energi pasukan Penjelajah memecah udara, menghantam batu-batu melayang, membuat serpihan berhamburan ke segala arah.
Zay menarik Aira ke belakang reruntuhan sebuah patung raksasa yang setengah runtuh. Ia mengintip dari celah batu, menghitung jumlah lawan. Dua puluh, mungkin lebih. Semua terlatih. Semua mengincar mereka.
“Apa rencanamu?” tanya Aira cepat, matanya tajam meski napasnya masih berat.
Zay mengatupkan rahang. Ia ingin berkata ia punya rencana cemerlang. Tapi kenyataannya, mereka terpojok di dunia yang sudah retak, melawan pasukan terbaik dari realitas asalnya sendiri.
Ia menghela napas. “Bertahan. Cari jalan ke pusat retakan. Tutup dunia ini sebelum mereka menutup hidup kita.”
Aira hanya mengangguk, meski Zay tahu itu lebih ke putus asa daripada yakin.
Dentuman lain mengguncang tempat persembunyian mereka. Batu pecah, menciptakan lubang besar di samping mereka.
“Kita tidak bisa berdiam di sini,” kata Aira.
Zay menoleh, melihat jembatan-jembatan melayang di atas jurang retak. Tanah itu tidak stabil, bisa runtuh kapan saja. Tapi itu satu-satunya jalan keluar.
Tanpa berpikir panjang, ia meraih tangan Aira.
“Ayo!”
Mereka berlari. Melewati tanah yang runtuh di belakang mereka, menghindari tembakan yang meledak di sisi kanan dan kiri.
Saat melompati celah besar di antara dua pecahan tanah, Aira hampir terpeleset. Zay menangkapnya di detik terakhir, menariknya naik.
“Jangan sampai jatuh,” katanya, setengah tertawa, setengah panik.
“Bukan salahku dunia ini pecah,” balas Aira dengan ketus, tapi ada senyum kecil di sudut bibirnya.
Mereka terus berlari sampai menemukan reruntuhan bangunan aneh, seperti sisa-sisa kuil kuno. Di tengahnya, ada simbol bercahaya di lantai—sebuah pola rumit berbentuk spiral dengan titik terang di tengah.
“Pusat retakan,” kata Zay lirih.
Tapi sebelum mereka bisa bergerak, suara langkah kaki terdengar lagi.
Pasukan Penjelajah sudah mengepung reruntuhan itu.
Dan kali ini, mereka membawa sesuatu yang lebih berbahaya.
Dari balik kerumunan, seorang wanita melangkah maju. Rambutnya disisir rapi ke belakang, matanya dingin seperti besi. Ia mengenakan seragam Komandan Penjelajah Dimensi, lambangnya bersinar di dada.
Zay mengenal wanita itu.
Komandan Valen.
Atasan langsungnya. Orang yang dulu ia percaya sepenuh hati.
“Akhir perjalananmu, Zay,” kata Valen, suaranya tenang tapi mengancam. “Kembalilah. Serahkan target. Kami akan memberimu kematian yang cepat.”
Zay berdiri di depan Aira, membentengi tubuh gadis itu dengan tubuhnya sendiri.
“Kenapa?” teriak Zay. “Kenapa harus membunuh Aira? Dia bukan ancaman.”
Valen tersenyum tipis, seolah mendengar sesuatu yang lucu.
“Kau bodoh sekali, Zay. Aira bukan sekadar ancaman bagi dunia ini. Dia ancaman bagi semua realitas yang ada.”
Zay menggeleng keras.
“Itu bohong. Kau hanya takut pada sesuatu yang tidak bisa kau kendalikan.”
“Tidak,” balas Valen. “Kami takut dunia akan memilih kehendaknya sendiri, bukan kehendak kita.”
Suara itu menusuk telinga Zay lebih dari teriakan apa pun.
Mereka tidak ingin menjaga dunia.
Mereka ingin mengendalikannya.
Selama ini, semua alasan tentang ‘perlindungan realita’ hanyalah topeng untuk kekuasaan.
Zay mencengkeram pedang Aira yang ia ambil dari tanah, mengangkatnya perlahan.
“Aku tidak akan membiarkanmu menyentuhnya,” katanya.
Valen menghela napas, lalu mengangkat tangan.
Pasukan di belakangnya bersiap menembak.
Aira merapatkan tubuhnya ke belakang Zay. “Kalau ini akhir kita, aku tidak menyesal,” katanya pelan.
Zay tersenyum kecil. “Ini belum akhir.”
Saat tembakan pertama dilepaskan, Zay menarik Aira masuk ke dalam pola bercahaya di lantai. Cahaya menyelimuti mereka, menciptakan perisai tipis.
Senjata-senjata energi meledak di sekeliling, tapi pola spiral itu melindungi mereka, seolah dunia sendiri menolak membiarkan mereka hancur.
Pusat retakan mulai bereaksi.
Tanah berguncang hebat. Retakan di langit melebar, menciptakan celah ke ruang putih tak berbentuk.
Valen berteriak, menyuruh pasukannya menyerang lebih keras. Tapi dunia Veylara sudah tidak mau tunduk lagi.
Zay merasa sesuatu menarik tubuh dan jiwanya sekaligus. Ia menoleh pada Aira, yang juga gemetar menahan kekuatan besar itu.
“Kau siap?” tanya Zay.
Aira mengangguk.
Zay menggenggam tangannya erat.
“Ayo kita akhiri ini.”
Mereka melompat ke dalam cahaya, menuju pusat dunia yang terakhir.
Menuju keputusan akhir.
Antara menyelamatkan dunia baru…
…atau hancur bersama masa lalu mereka.
Bab 9: Kebenaran yang Terlambat
Cahaya menelan mereka sepenuhnya.
Tidak ada langit. Tidak ada tanah. Hanya putih… dan suara dunia yang pecah, seakan semesta sendiri sedang menjerit.
Zay memejamkan mata, menggenggam tangan Aira lebih erat, takut kehilangan satu-satunya hal nyata yang masih tersisa.
Saat mereka akhirnya mendarat—atau lebih tepatnya, terjatuh—di tempat baru, semua terasa sunyi.
Terlalu sunyi.
Mereka berdiri di tengah ruang raksasa yang tampak seperti cermin tanpa batas. Segala arah memantulkan bayangan mereka. Setiap gerakan, setiap tarikan napas, seolah dikalikan ribuan kali.
“Di mana kita?” bisik Aira, matanya penuh kewaspadaan.
Zay mengamati sekeliling, mencoba memahami. Ini bukan sekadar dunia biasa. Ini inti Veylara. Tempat realitas terikat, tempat semua kemungkinan bertemu dan bertabrakan.
Langkah kaki terdengar.
Tapi bukan dari mereka.
Dari kabut putih yang perlahan mengeras di depan mereka, muncul sosok—tubuh manusia, tapi matanya kosong, wajahnya datar, dan kulitnya berkilau samar seperti kaca.
Ia mengenakan jubah putih panjang, dan di dadanya, berdenyut simbol spiral yang sama seperti di pusat retakan.
“Sang Arsitek,” bisik Zay tanpa sadar.
Sosok itu berbicara, tapi suaranya bergema di kepala mereka, bukan lewat mulutnya.
“Kau akhirnya datang, Aira.”
Aira mundur setengah langkah, bingung.
“Apa maksudmu? Siapa kau?”
“Aku… bagian dari dirimu,” jawab sosok itu. “Aku adalah kehendak dunia ini, yang diwariskan dalam darahmu.”
Zay merasa jantungnya berdetak kencang.
Semua mulai masuk akal.
Aira bukan sekadar manusia. Ia adalah pewaris sebagian jiwa dunia itu sendiri. Itulah kenapa semua ingin menangkapnya, memanfaatkannya, atau melenyapkannya.
“Aku tidak pernah minta ini,” kata Aira, suaranya pecah antara marah dan takut.
Sang Arsitek melangkah mendekat, matanya tetap kosong.
“Pilihanmu tidak penting. Dunia memilihmu. Dan kini, kau harus membuat keputusan.”
Zay berdiri di samping Aira, menatap Sang Arsitek dengan mata tajam.
“Keputusan apa?” tanyanya.
Sang Arsitek mengangkat satu tangan, dan seketika di sekitar mereka, gambaran dunia Veylara yang rusak muncul. Potongan-potongan kota hancur, desa terbakar, langit retak, sungai yang mengalir mundur.
“Veylara sekarat. Ia membutuhkan fondasi baru,” kata Sang Arsitek. “Kau, Aira, bisa menjadi batu penjuru itu. Tapi untuk melakukannya… semua realitas yang ada di sini harus dihapus.”
Zay mengertakkan rahang. “Kau mau dia menghancurkan semua yang tersisa?”
Sang Arsitek menoleh padanya. “Bukan menghancurkan. Menyucikan.”
Aira menatap gambaran dunia di sekelilingnya. Ia melihat wajah anak-anak yang menangis, orang-orang yang berjuang untuk bertahan hidup, kota-kota yang nyaris hancur.
Ia melihat kenangan… luka… harapan.
“Aku harus membunuh mereka semua?” bisiknya, matanya berair.
“Bukan membunuh,” jawab Sang Arsitek. “Melepaskan mereka dari penderitaan.”
Zay memegang pundaknya.
“Kau tidak harus mengikuti ini,” katanya lembut.
Aira memandangnya, seolah mencari kekuatan dalam dirinya.
Tapi sebelum ia bisa bicara, suara lain menggelegar dari kejauhan.
“Jangan dengarkan mereka!”
Semua menoleh.
Dari sisi lain ruang cermin itu, muncul sosok lain—seorang pria tua berjubah kelam, yang pernah Zay lihat sekilas di reruntuhan desa.
Orang misterius itu melangkah ke tengah, menatap Sang Arsitek dengan kebencian membara.
“Dia bukan kehendak dunia,” katanya lantang. “Dia adalah sisa program lama. Sebuah kegagalan!”
Sang Arsitek menoleh perlahan. “Kau seharusnya sudah punah.”
Pria itu tertawa pahit. “Aku bertahan cukup lama untuk memperingatkan mereka.”
Zay mengernyit. “Siapa kau sebenarnya?”
“Aku… adalah bagian dari dunia ini juga,” kata pria itu. “Tapi tidak seperti dia, aku masih percaya pada kehendak bebas. Aku percaya dunia ini bisa disembuhkan, bukan dihancurkan.”
Ia menoleh pada Aira.
“Kau tidak perlu memilih kehancuran. Kau bisa memilih untuk membangun. Dengan tanganmu sendiri.”
Aira terdiam.
Dua jalan di depannya.
Menerima peran yang diwariskan—menghapus dunia dan membangunnya kembali dari nol.
Atau… menolak semua yang ditetapkan, dan berusaha memperbaiki dunia, walaupun penuh rasa sakit.
“Aku… aku tidak tahu harus bagaimana,” bisik Aira.
Zay mendekat, memegang kedua tangannya.
“Kau tidak sendirian,” katanya pelan. “Apa pun yang kau pilih… aku di sini.”
Aira menatap kedua sosok itu. Sang Arsitek, menawarkan kemudahan lewat kehancuran.
Pria tua itu, menawarkan harapan lewat perjuangan.
Hatinya berdebar keras.
Dunia menunggu pilihannya.
Ia menarik napas dalam-dalam.
“Aku…” suaranya gemetar.
Dan saat Aira hendak memilih, dunia tiba-tiba berguncang hebat.
Retakan-retakan baru terbuka di sekeliling mereka, menarik pecahan-pecahan realitas. Segalanya menjadi liar, tak terkendali.
Zay menarik Aira ke pelukannya, melindungi tubuhnya dari serpihan dimensi yang beterbangan.
Pilihan itu harus segera dibuat.
Atau dunia ini akan runtuh sebelum Aira sempat mengatakan apa pun.
Bab 10: Pilihan Terakhir
Retakan demi retakan terus bermunculan di sekeliling mereka, membuat ruang cermin itu runtuh perlahan seperti pasir tersapu badai.
Sang Arsitek tetap berdiri diam di tengah kekacauan, seolah tak terpengaruh. Sementara pria tua berjubah kelam berusaha menahan satu retakan dengan kekuatannya, walaupun jelas tubuhnya sudah mulai melemah.
Zay menarik Aira lebih dekat.
“Kita tidak punya banyak waktu,” katanya dengan napas memburu.
Aira berdiri kaku, matanya menatap kedua jalan yang terbentang di hadapannya.
Satu membawa kehancuran total, membangun dunia baru dari awal.
Satu lagi mempertahankan dunia yang penuh luka, tapi nyata, penuh kehidupan yang berjuang.
“Aku takut,” bisik Aira.
Zay mengangguk pelan. “Aku juga.”
Aira menutup matanya sejenak, merasakan denyut dunia di sekelilingnya. Suara-suara yang nyaris hilang—tangisan, tawa, janji-janji kecil yang masih bergema di puing-puing dunia ini.
Ia sadar, semua itu tidak sempurna.
Namun justru ketidaksempurnaan itulah yang membuat dunia ini hidup.
Saat membuka mata, Aira menatap Sang Arsitek dengan keteguhan baru.
“Aku memilih,” katanya, suaranya tegas.
Sang Arsitek memiringkan kepala, ekspresinya tetap kosong.
“Aku memilih untuk bertahan,” lanjut Aira. “Bukan menghapus. Aku akan menyembuhkan dunia ini, bukan menghancurkannya.”
Cahaya aneh menyelimuti tubuh Aira. Pola spiral di lantai di bawahnya berdenyut kencang, seolah dunia menyambut keputusannya.
Sang Arsitek mengamati sejenak, lalu menghela napas… untuk pertama kalinya terlihat seperti makhluk yang bisa kecewa.
“Kau memilih jalan penuh penderitaan,” katanya datar.
“Mungkin,” balas Aira. “Tapi setidaknya itu pilihanku.”
Sang Arsitek perlahan mulai retak, tubuhnya pecah menjadi partikel cahaya kecil yang beterbangan.
“Kita akan bertemu lagi,” katanya sebelum menghilang sepenuhnya.
Saat itu, dunia di sekitar mereka berubah.
Retakan mulai menyusut, perlahan menutup. Pecahan-pecahan tanah yang melayang kembali ke tempatnya. Warna-warna aneh di langit memudar, digantikan oleh semburat biru lembut.
Veylara mulai menyembuhkan dirinya sendiri.
Pria tua berjubah kelam tersenyum samar, sebelum tubuhnya juga mulai memudar.
“Tugasku selesai,” katanya lirih. “Sekarang, masa depan ada di tangan kalian.”
Ia menghilang seperti debu yang tertiup angin.
Aira jatuh berlutut, tubuhnya gemetar karena semua energi yang telah ia keluarkan.
Zay segera memeluknya, memegangnya erat.
“Kau berhasil,” katanya dengan suara parau.
Aira tertawa kecil, setengah menangis.
“Aku hanya… memilih apa yang terasa benar,” balasnya.
Mereka berdua duduk di tengah reruntuhan ruang cermin, dunia baru terbentang di depan mereka. Tidak sempurna. Tidak indah. Tapi penuh harapan.
Zay mengusap rambut Aira dengan lembut.
“Apa kau sadar?” katanya pelan. “Dengan pilihanmu, kau juga menyelamatkanku.”
Aira menoleh, mata mereka bertemu.
“Bagaimana bisa?” bisiknya.
“Karena aku pikir aku sudah tidak punya tempat lagi,” kata Zay, suaranya nyaris gemetar. “Tapi di sini, denganmu… aku merasa punya rumah.”
Aira tersenyum, senyum kecil yang penuh luka, namun juga penuh cahaya.
“Kalau begitu… jangan pergi lagi,” katanya.
Zay mendekat, menyentuh kening Aira dengan keningnya sendiri.
“Aku tidak akan pergi,” bisiknya.
Di atas mereka, langit biru perlahan menyebar, membasuh luka dunia dengan cahayanya yang hangat.
Veylara hidup.
Dan begitu pula mereka.
Beberapa waktu kemudian, di atas bukit kecil tempat dunia baru mulai bertumbuh, Zay dan Aira berdiri berdampingan.
Mereka membangun rumah kecil di sana, bukan sebagai pelarian, tapi sebagai awal baru.
Orang-orang dari reruntuhan kota mulai berdatangan, membangun komunitas kecil, menanam pohon, memperbaiki yang bisa diperbaiki.
Dunia mereka mungkin tidak sempurna.
Tapi bagi Zay dan Aira, dunia ini cukup.
Mereka cukup.
Di bawah langit baru yang akhirnya utuh, dua jiwa yang terluka menemukan sesuatu yang lebih kuat daripada takdir atau misi apa pun.
Mereka menemukan satu sama lain.
Dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang sangat lama…
Mereka memilih untuk tetap tinggal.
Bersama.
TAMAT
Novel ini ditulis oleh Evi Fauzi, Penulis dari Novel Singkat . Baca juga novel romantis dan fiksi ilmiah lainnya.