Saat dunia runtuh diterjang badai, wabah, dan kelaparan bertubi-tubi, Sienna seorang mantan guru TK penuh kasih dan Arka seorang mekanik muda yang terbiasa memperbaiki apa pun yang rusak memilih tetap bertahan bersama, meski dunia seakan bersekongkol untuk memisahkan mereka.
Bukan karena hidup menawarkan harapan.
Bukan karena jalan di depan mereka lebih ringan.
Tapi karena janji yang pernah diucapkan di hari-hari penuh cahaya: untuk saling menggenggam, apapun yang terjadi.
Saat bencana menggerogoti tubuh dan jiwa, cinta mereka berubah jadi satu-satunya alasan untuk terus bernapas.
Namun di musim paling kelam, ketika tubuh lelah dan hati hampir menyerah, keduanya sadar: terkadang, mencintai seseorang berarti berani melepaskan.
Mencintaimu di Tengah Musim Terburuk adalah kisah tentang bertahan, kehilangan, dan cinta yang tetap hidup bahkan setelah dunia berhenti berputar.
Bab 1: Hari Dimana Langit Tak Pernah Cerah Lagi
Hari itu, langit nggak berhenti menangis.
Sienna duduk di teras rumah kecil mereka, kakinya menggantung di atas tanah becek yang sudah hampir jadi sungai. Hujan turun sejak dua minggu lalu tanpa jeda, dan anehnya, bukan cuma kota mereka—berita dari radio rusak di ruang tamu bilang seluruh negeri kena badai aneh ini.
Arka keluar sambil membawa dua cangkir teh hangat, berusaha menyeimbangkan badannya di antara lantai kayu yang mulai melengkung karena air.
“Ini,” katanya sambil nyodorin satu cangkir ke Sienna.
Sienna tersenyum kecil, bibirnya pucat karena dingin. Ia menggenggam cangkir itu erat-erat, seolah-olah bisa menyerap kehangatan bukan cuma ke tangannya, tapi ke hatinya juga.
“Kamu sadar nggak sih,” Sienna mulai, suaranya nyaris kalah sama suara rintik hujan yang makin deras, “dari kemarin langit kayak… lupa caranya berhenti?”
Arka menoleh ke langit. Awan gelap menggulung, tebal banget kayak dinding. Sesekali, kilat melintas tanpa suara, cuma kedipan terang yang bikin semua warna dunia ini makin pudar.
“Iya,” jawab Arka pelan. “Tapi kita di sini, bareng. Itu yang penting, kan?”
Sienna mengangguk, meski matanya tetap menatap kosong ke depan. Ia nggak tega bilang kalau tadi malam ia dengar sirine ambulans lagi lewat, membawa orang-orang yang nggak kuat bertahan. Semakin hari, tetangga mereka semakin sedikit yang menyalakan lampu di malam hari.
Malam itu, saat hujan mulai berhembus ke segala arah, pintu rumah mereka mendadak bergetar kencang, disusul suara ketukan keras.
Arka langsung bangkit, meletakkan tehnya di lantai.
“Siapa ya?” gumamnya.
Dengan langkah hati-hati, dia membuka pintu. Angin menerobos masuk, membawa bau lumpur, air busuk, dan ketakutan yang menempel di kulit. Di depan pintu, ada Pak Bram, tetangga sebelah yang biasanya suka bercanda soal ikan lele di kolam belakang.
Wajah Pak Bram pucat, bajunya basah kuyup.
“Air sungai naik… bawa lumpur ke jalan utama… kita harus evakuasi malam ini,” kata Pak Bram terengah-engah.
Sienna berdiri, tubuhnya menegang. Arka refleks menoleh ke arah dapur, ke arah koper kecil yang sudah lama dia siapkan diam-diam—hanya untuk berjaga-jaga.
Mata mereka bertemu.
Nggak ada kata-kata, cuma saling paham: ini saatnya memilih.
Tetap tinggal di rumah yang mereka cintai, atau pergi ke tempat asing yang mungkin lebih aman, tapi juga lebih kejam.
“Ambil apa yang kamu bisa bawa,” kata Arka cepat. “Kita pergi.”
Sienna masuk ke dalam. Tangannya gemetar waktu mengemasi beberapa baju, foto lama mereka, dan liontin kecil yang dulu dikasih Arka pas ulang tahun ketiganya bareng.
Hujan makin deras. Jalanan berubah jadi sungai kecil. Pak Bram sudah berteriak-teriak dari jalan, mengajak tetangga-tetangga lain untuk cepat bergerak.
Sienna menggenggam tangan Arka erat.
“Kalau kita pisah…”
“Kita nggak akan pisah,” potong Arka tegas.
Mereka berjalan keluar ke dalam badai, melewati pagar rumah yang nyaris roboh. Setiap langkah berat, seolah dunia berusaha menahan mereka. Tapi Sienna dan Arka saling menggenggam, saling menguatkan.
Mereka nggak tahu kemana kaki membawa.
Mereka cuma tahu satu hal: mereka pergi bukan buat menyelamatkan diri… mereka pergi untuk tetap saling menggenggam, apapun yang menunggu di ujung hujan ini.
Langit di atas mereka bergemuruh.
Tanah di bawah mereka bergetar.
Tapi tangan mereka, tetap erat.
Untuk sekarang. Untuk malam ini.
Bab 2: Tanah Retak, Hati yang Mulai Retak
Langkah kaki mereka menjejak di jalanan becek yang terasa makin berat. Setiap beberapa meter, Sienna harus berhenti menarik napas, karena udara dingin menusuk paru-paru kayak jarum.
Pak Bram sudah jauh di depan, menggiring beberapa keluarga lain. Di tangan Arka, jemari Sienna terasa makin dingin, tapi dia nggak mau melepaskan. Dunia di sekitar mereka berubah jadi kekacauan yang bergerak lambat. Lampu-lampu jalan padam. Suara sirene meraung dari kejauhan, lalu menghilang seolah dimakan kegelapan.
“Sedikit lagi,” bisik Arka di telinga Sienna, padahal dia sendiri nggak yakin mereka benar-benar menuju ke ‘sedikit lagi’.
Baru beberapa langkah, bumi bergetar.
Awalnya cuma getaran kecil di ujung sepatu. Tapi dalam hitungan detik, tanah di bawah mereka berguncang hebat. Suara mengerikan terdengar dari segala arah: bangunan runtuh, kaca pecah, orang-orang berteriak.
Sienna tersungkur, tubuhnya membentur tanah basah. Arka buru-buru menariknya berdiri, memeluknya erat di tengah jalan yang berguncang kayak kapal di laut badai.
“Sienna, bertahan!” Arka berteriak, nyaris kalah oleh suara gemuruh bumi yang retak.
Di depan mereka, jalanan tiba-tiba terbelah. Tanah menganga, menciptakan jurang selebar hampir lima meter. Mereka terpaku, ngeri, kaget, nggak tahu harus lari ke mana.
Pak Bram di seberang jurang berteriak, suaranya putus-putus, “Ke… belok kiri! Lewat hutan kecil!”
Arka mengangguk cepat. Dia menarik tangan Sienna, membelokkan langkah ke arah yang ditunjuk, meski jalannya nyaris nggak kelihatan di tengah hujan.
Mereka berlari. Atau lebih tepatnya, terseret dalam ketakutan. Tanah di belakang mereka terus retak, membuka mulutnya seperti monster yang kelaparan.
Sienna kehabisan napas. Tubuhnya lemah karena luka di lutut yang didapat waktu jatuh tadi. Tapi Arka nggak mau dengar alasan. Dia terus menggenggam tangan Sienna, bahkan saat Sienna hampir terjatuh lagi.
Akhirnya, mereka sampai di tepian hutan kecil yang dimaksud Pak Bram. Pohon-pohon tinggi berderak diterpa angin, ranting-ranting patah dan jatuh. Hutan itu sendiri kayak labirin suram.
Di bawah salah satu pohon besar, mereka berhenti. Tubuh Sienna bergetar hebat, bukan cuma karena dingin, tapi juga karena rasa takut yang dia pendam dari tadi.
Arka memeluknya, membiarkan hujan mengguyur mereka.
“Maaf,” bisik Sienna, suaranya nyaris nggak terdengar.
“Kenapa minta maaf?” tanya Arka, masih memeluknya erat.
“Aku… aku beban buat kamu,” isaknya.
Arka melepaskan pelukan itu cukup untuk menatap wajahnya. Matanya menatap langsung ke mata Sienna, penuh amarah—bukan ke Sienna, tapi ke dunia yang membuat gadis ini merasa begitu kecil.
“Hei, denger ya,” katanya, tangannya membelai pipi Sienna yang dingin. “Kalau kamu beban, aku rela bawa kamu ke ujung dunia. Biar berat, aku nggak akan lepas.”
Sienna menutup matanya, mencoba menahan air mata yang panas melawan dinginnya hujan.
Mereka duduk di bawah pohon, berlindung seadanya, sambil saling menggenggam tangan. Dalam dunia yang makin hancur, mereka masih punya satu tempat untuk pulang: pelukan satu sama lain.
Tak jauh dari sana, suara tanah runtuh kembali terdengar.
Malam ini, dunia seolah bertekad merobek semua yang mereka punya.
Tapi Sienna dan Arka tahu, mereka akan melawan sekuat yang mereka bisa.
Bahkan kalau harus melawan dunia.
Bab 3: Jalanan Sepi dan Bau Kematian
Pagi datang tanpa matahari.
Kabut tipis menggantung rendah, menutupi apa yang tersisa dari jalanan. Bau anyir bercampur dengan tanah basah, membuat udara makin berat untuk dihirup.
Sienna bangun lebih dulu, tubuhnya masih menggigil meski Arka memeluknya erat semalaman. Ia menatap sekeliling, mencoba menemukan sesuatu yang bisa mereka gunakan—makanan, air, apa saja. Tapi yang ada cuma pohon-pohon roboh dan sisa-sisa reruntuhan dari badai semalam.
Arka perlahan membuka mata. Melihat Sienna berdiri, dia ikut bangkit meski seluruh tubuhnya pegal luar biasa.
“Kita harus terus jalan,” gumam Arka. Suaranya serak.
Sienna hanya mengangguk. Nggak ada energi buat membantah. Nggak ada tenaga buat bertanya, “Ke mana?”
Mereka berjalan di jalanan sepi, di antara mobil-mobil terbalik dan rumah-rumah yang tinggal rangka. Di beberapa sudut, ada tumpukan kain yang awalnya mereka pikir sampah. Tapi begitu mendekat, mereka sadar: itu tubuh manusia, dibungkus seadanya, ditinggalkan karena tak ada lagi yang bisa mengurus.
Sienna memalingkan wajah, menahan mual. Arka menariknya lebih dekat, melindunginya dari pemandangan mengerikan itu.
Mereka melewati sebuah taman yang dulunya penuh tawa anak-anak. Ayunan tergantung patah, tanah bermain penuh lumpur. Semua terasa mati.
“Arka…” suara Sienna gemetar, “kita beneran masih hidup, kan?”
Arka menggenggam tangannya lebih erat.
“Kita hidup, Sienna. Dan selama itu, kita masih bisa bertahan.”
Di persimpangan jalan, mereka menemukan sebuah minimarket kecil. Setengah bangunannya runtuh, tapi rak-raknya masih ada, meski kosong. Arka memeriksa sekeliling, lalu mengajak Sienna masuk.
Di dalam, bau busuk langsung menyergap. Tapi di antara puing-puing, Arka berhasil menemukan dua botol air mineral dan sebungkus biskuit yang setengah hancur.
Dia menyerahkan air ke Sienna lebih dulu.
Sienna menatap botol itu lama, sebelum akhirnya membuka dan meneguk perlahan, seolah takut menghabiskan terlalu cepat.
“Arka…” Sienna menatapnya, matanya berkaca-kaca, “kalau suatu hari nanti aku nggak kuat… jangan paksain aku ya.”
Arka berhenti mengunyah biskuit yang terasa hambar di mulutnya. Ia menatap gadis di depannya—gadis yang sudah ia pilih untuk diperjuangkan, bahkan sebelum dunia hancur.
“Bisa nggak… jangan ngomong kayak gitu,” bisik Arka, suaranya berat.
Sienna memaksa tersenyum, tapi senyumnya lebih mirip luka yang baru dibuka.
Mereka duduk di lantai minimarket, bersandar pada rak yang hampir roboh. Dunia di luar hancur. Bau kematian menyelimuti udara. Tapi di tengah kehancuran itu, tangan mereka masih saling mencari, saling menggenggam.
Karena bagi mereka, bertahan hidup bukan cuma soal napas yang berhembus.
Bertahan hidup adalah tentang menjaga satu sama lain tetap utuh, meski dunia menginginkan sebaliknya.
Di luar, kabut mulai menipis, memperlihatkan lebih banyak kehancuran.
Dan perjalanan mereka baru saja dimulai.
Bab 4: Kelaparan yang Menggerogoti Segalanya
Mereka melanjutkan perjalanan di bawah langit kelabu, langkah kaki menyeret pelan di atas tanah becek yang baunya makin menusuk.
Biskuit yang mereka makan di minimarket kemarin hanya cukup untuk satu kali makan.
Sekarang perut mereka kosong lagi, melilit, dan udara dingin membuat segalanya terasa lebih berat.
Hari itu mereka berjalan tanpa tujuan yang jelas, cuma mengikuti naluri yang sudah hampir habis. Kadang mereka berteduh di bawah reruntuhan, kadang tidur sebentar di sudut-sudut jalan yang sudah ditinggalkan manusia.
Tak ada lagi suara burung. Tak ada suara apa-apa selain angin dan langkah kaki mereka sendiri.
Siang itu, di sebuah ladang mati, Sienna jatuh terduduk.
“Aku capek…” katanya pelan, hampir nggak terdengar.
Arka berhenti. Dia berlutut di depannya, menahan rasa panik yang mulai naik ke dadanya.
“Aku tahu,” Arka mengelus rambut Sienna yang basah oleh keringat dingin. “Cuma sedikit lagi. Kita cari tempat aman buat istirahat, ya?”
Sienna menatapnya, matanya sayu, penuh kelelahan dan rasa putus asa yang nggak bisa disembunyikan lagi.
“Aku lapar, Ark… Aku lapar banget…”
Kalimat itu sederhana, tapi menusuk ke dada Arka lebih dalam daripada gempa atau badai mana pun. Dia sadar betul: mereka butuh makanan. Sekarang.
Atau mereka bakal mati pelan-pelan, bukan karena badai, bukan karena gempa, tapi karena tubuh mereka menyerah.
Arka berdiri, menatap sekeliling.
Di kejauhan, ada sebuah bangunan tua—mungkin gudang atau bekas peternakan. Dia tahu itu berbahaya. Bisa jadi kosong. Bisa jadi ada yang lebih buruk menunggu di sana.
Tapi dia nggak punya pilihan lain.
“Tunggu di sini,” kata Arka. “Aku cari makanan. Janji aku balik.”
Sienna menarik lengan jaket Arka lemah. “Aku ikut.”
Napas Arka berat. Dia ingin bilang tidak, ingin melindunginya, ingin menyuruhnya beristirahat saja. Tapi tatapan Sienna memohon dengan keras. Dia tahu, Sienna lebih takut ditinggal sendirian daripada kelaparan itu sendiri.
Mereka jalan bersama, langkah kecil, saling menyandarkan badan satu sama lain.
Setiap langkah rasanya kayak menguras sisa tenaga terakhir.
Begitu sampai di gudang itu, mereka mengendap pelan.
Bau busuk langsung menghantam wajah mereka, tajam, menyengat.
Ada bangkai hewan di sudut ruangan—kerangka yang nyaris habis dimakan waktu.
Rak-rak kayu tumbang berserakan. Botol-botol kosong, karung-karung robek.
Seolah dunia ini nggak cuma rusak, tapi juga benar-benar dilupakan.
Arka mencari tanpa henti, membongkar apa pun yang mungkin menyimpan sisa makanan.
Tangannya berdarah karena tersayat pecahan kaca, tapi dia nggak peduli.
Sienna menemukan satu kaleng kecil di sudut tergelap gudang—mungkin makanan kaleng yang jatuh dan terabaikan.
Kaleng itu penyok, labelnya sudah hilang. Nggak ada yang tahu isinya apa.
Tapi buat mereka, itu seperti menemukan emas.
Dengan gemetar, Arka membuka kaleng itu menggunakan pisau kecil yang selama ini disimpan di saku jaket.
Isinya… entah apa. Mungkin daging. Mungkin sudah busuk. Tapi baunya masih bisa diterima.
Mereka makan langsung dari kaleng, bergantian, tanpa malu, tanpa peduli.
Setiap suapan terasa kayak siksaan buat perut mereka yang terlalu lama kosong, tapi juga kayak hadiah paling berharga yang pernah ada.
Selesai makan, mereka bersandar di dinding gudang.
Lelah. Kenyang sedikit. Tapi tetap sadar: ini belum berakhir.
Hening lama mengisi ruang di antara mereka.
Sienna tiba-tiba berkata, lirih, “Kalau nanti salah satu dari kita nggak kuat… kamu boleh pergi, Arka.”
Arka menoleh cepat.
“Omong kosong apa lagi itu?”
“Aku serius. Kamu harus bertahan hidup… bahkan kalau itu artinya ninggalin aku…”
Arka menatap gadis itu lama, lama sekali.
Bahkan di tengah dunia yang runtuh, Sienna masih berpikir tentang dia, bukan dirinya sendiri.
Dia mendekat, menyentuh pipi Sienna yang dingin.
“Kalau kamu pergi duluan,” bisik Arka, suaranya serak, “aku bakal nyusul. Nggak ada dunia di mana aku bertahan sendirian.”
Mata Sienna berkaca-kaca.
Mereka saling menatap, saling memahami tanpa perlu banyak kata.
Di luar gudang, angin meraung.
Dunia terus berusaha merobek apa yang tersisa dari mereka.
Tapi tangan mereka tetap mencari satu sama lain, tetap saling menemukan, meski tubuh makin lelah, hati makin remuk.
Di musim terburuk ini, mereka bukan lagi berjuang untuk hidup.
Mereka berjuang… untuk tetap saling mencintai, bahkan saat dunia memaksa mereka berhenti.
Bab 5: Sebuah Gubuk di Tengah Dunia yang Mati
Mereka meninggalkan gudang tua itu saat senja datang, melangkah lagi ke jalanan yang sepi dan becek.
Hujan sudah reda, tapi langit tetap muram, seolah dunia ini lupa caranya berwarna.
Badan mereka makin berat, tenaga makin tipis, tapi tangan mereka tetap saling menggenggam.
Mata Sienna kosong. Langkah kakinya kecil, sesekali limbung.
Arka tahu, kalau dia berhenti sekarang, mungkin Sienna nggak akan pernah bisa berdiri lagi.
“Ayo, bentar lagi,” gumam Arka, entah menenangkan Sienna, atau dirinya sendiri.
Mereka berjalan sampai malam turun sepenuhnya. Angin malam berhembus dingin, menusuk tulang, membawa suara aneh dari kejauhan—raungan, mungkin hewan liar, mungkin manusia.
Mereka nggak mau tahu.
Saat harapan hampir habis, Arka melihat siluet kecil di kejauhan.
Sebuah gubuk reyot berdiri di antara ilalang tinggi, setengah tersembunyi.
Dia menepuk bahu Sienna, menunjuk ke arah gubuk itu.
Sienna mengangguk lemah, matanya memohon.
Dengan sisa tenaga, mereka menuju ke sana.
Gubuk itu cuma terdiri dari dua ruangan kecil. Atapnya bolong di beberapa tempat, dindingnya miring, pintunya cuma setengah menempel. Tapi buat Sienna dan Arka, itu surga kecil yang nggak pernah mereka bayangkan sebelumnya.
Mereka masuk pelan-pelan. Bau kayu lapuk dan tanah basah memenuhi hidung.
Tapi tempat itu kering, dan itu cukup.
Arka membaringkan Sienna di lantai kayu yang dingin.
Dia melepas jaketnya, membungkus Sienna yang menggigil.
Lalu dia duduk di sampingnya, punggung bersandar ke dinding, matanya mengamati malam yang pekat lewat celah pintu yang nggak rapat.
Mereka akhirnya bisa bernafas sedikit.
“Aku capek, Ark…” bisik Sienna, suaranya hampir nggak terdengar.
Arka menunduk, mengusap rambut Sienna perlahan.
“Aku tahu,” jawabnya pelan. “Istirahatlah. Aku di sini.”
Sienna memejamkan mata, napasnya pelan dan berat.
Arka tetap terjaga, menjaga dunia kecil mereka yang rapuh dari kegelapan luar.
Malam itu, buat pertama kalinya setelah berhari-hari, mereka tidur tanpa harus lari.
Tanpa ketakutan akan badai yang mengamuk atau tanah yang retak di bawah kaki.
Tapi di balik rasa lega itu, ada ketakutan baru yang diam-diam masuk.
Ketakutan bahwa mungkin… cinta saja nggak cukup buat menyelamatkan mereka dari dunia yang perlahan-lahan mencuri segalanya.
Malam itu, di gubuk reyot yang hampir roboh, dua orang manusia kecil bertahan dengan cara satu-satunya yang mereka tahu:
Mencintai lebih keras daripada ketakutan.
Bab 6: Ketika Sakit Tak Lagi Bisa Disembunyikan
Pagi itu, Arka bangun dengan rasa asing di dadanya—bukan perasaan lega karena bertahan satu malam lagi, tapi rasa takut yang berat, menggantung seperti kabut.
Dia menoleh ke samping.
Sienna masih tidur, tapi ada sesuatu yang salah.
Pipinya memerah bukan karena malu atau dingin. Napasnya berat, tersendat-sendat seperti seseorang yang berjuang keras hanya untuk tetap hidup.
Keningnya berkeringat deras, padahal udara di luar hampir membekukan.
“Sienna…” Arka mengguncang tubuhnya perlahan.
Sienna membuka matanya, tapi pandangannya buram.
Dia tersenyum kecil, tipis sekali, kayak sedang mencoba meyakinkan Arka bahwa semuanya baik-baik saja.
Padahal tubuhnya sudah bicara sebaliknya.
“Aku cuma butuh istirahat,” bisiknya.
Arka menggigit bibirnya. Dia tahu itu bohong.
Dia tahu Sienna terlalu keras kepala untuk mengeluh… bahkan saat tubuhnya sendiri hampir menyerah.
Dia menyentuh dahi Sienna—panasnya membakar kulitnya.
Ini bukan sekadar kecapekan. Ini demam. Dan di dunia seperti sekarang, demam bukan cuma penyakit. Demam bisa jadi hukuman mati.
Arka bangkit, mondar-mandir di dalam gubuk kecil itu.
Dia mencari air bersih, tapi yang ada cuma sisa-sisa hujan yang tergenang di sudut ruangan, bercampur tanah.
Dia mencari kain bersih, tapi yang ada cuma sobekan bajunya sendiri.
Dengan terpaksa, dia merobek bagian bawah kaosnya, mencelupkannya sedikit ke air hujan, lalu menempelkan kain basah itu ke dahi Sienna.
“Tenang aja, aku di sini,” bisik Arka, berusaha terdengar yakin, meski suaranya sendiri bergetar.
Hari berganti malam.
Sienna mulai mengigau, memanggil nama Arka berulang-ulang, seolah takut dia pergi.
Dan Arka memang nggak pergi. Dia tetap di sana, menahan tangan Sienna yang lemah, membisikkan kata-kata bodoh, cerita-cerita lama, kenangan indah, apapun, asalkan suara itu bisa menemani gadis yang sedang bertarung sendirian di dalam tubuhnya sendiri.
Ketika malam makin pekat, Sienna sempat sadar sebentar.
Dengan napas yang berat, dia berbisik, “Arka… kalau aku nggak bangun besok… jangan sedih, ya?”
Arka menunduk, air matanya jatuh ke tangan Sienna.
“Kalau kamu nggak bangun…” suaranya serak, “aku juga nggak mau bangun.”
Sienna tersenyum kecil, senyuman paling damai yang pernah Arka lihat.
Dan di dalam gubuk kecil itu, di tengah dunia yang sekarat, dua hati berjanji dalam diam:
Cinta mereka mungkin nggak bisa menyelamatkan dunia…
Tapi cinta itu cukup untuk menyelamatkan satu sama lain—meski hanya dalam kenangan.
Bab 7: Surat Tanpa Alamat
Pagi itu datang tanpa warna.
Langit tetap abu-abu, dunia tetap sunyi, dan Sienna masih terbaring lemah di lantai kayu gubuk reyot itu.
Arka terbangun dengan tubuh pegal di mana-mana, tapi saat matanya menangkap sosok Sienna yang masih bernapas pelan, dia menarik napas lega.
Dia bersyukur. Masih satu hari lagi. Masih ada waktu.
Sienna membuka matanya perlahan. Pucat. Rapuh. Tapi saat melihat Arka, ada secercah cahaya kecil di tatapannya.
“Arka…” bisiknya lemah.
Arka segera mendekat, mengusap rambutnya lembut.
“Aku di sini.”
Sienna menggenggam tangan Arka sebentar, lalu berkata, “Aku mau… minta tolong satu hal.”
“Apa aja,” jawab Arka tanpa ragu.
Sienna tersenyum tipis, lalu menggerakkan tangannya ke kantong jaket Arka, mengambil kertas kecil dan bolpen yang selalu dibawa Arka untuk mencatat jalur mereka.
Tangannya gemetar hebat, tapi dia tetap berusaha menulis sesuatu.
Arka hanya bisa diam, menahan emosinya yang mulai menggelegak.
Saat Sienna selesai menulis, dia melipat kertas itu rapi, lalu menyerahkannya ke Arka.
“Kalau aku… nggak kuat,” katanya pelan, “tolong bacain surat ini.”
Arka menggenggam surat itu, tangannya bergetar.
Dia mau membantah. Mau marah. Mau bilang Sienna harus bertahan, mau bilang surat ini nggak akan pernah dibaca.
Tapi dia tahu, di dunia sekarang, janji-janji indah kadang kalah sama kenyataan pahit.
Sienna kembali tertidur, kelelahan hanya karena menulis beberapa baris kata.
Arka memandangi surat itu lama.
Kertas lusuh, tulisan tergesa-gesa… tapi terasa lebih berat dari semua beban dunia.
Dia menaruh surat itu di kantong jaketnya, dekat dengan jantungnya.
Kalau saatnya tiba, dia akan membacanya.
Tapi tidak sekarang.
Bukan sekarang.
Malam itu, angin meraung lebih keras dari biasanya.
Gubuk mereka bergoyang, seolah siap menyerah kapan saja.
Tapi di dalamnya, dua hati kecil tetap bertahan.
Meski dunia di luar mengamuk.
Meski maut menunggu di setiap hembusan napas.
Arka memeluk Sienna yang tertidur, membisikkan sesuatu yang hanya bisa didengar oleh hati mereka sendiri:
“Aku akan menggenggam tanganmu… sampai akhir dunia.”
Bab 8: Musim Terburuk, Pilihan Terburuk
Malam itu, badai baru datang—bukan cuma hujan dan angin, tapi badai yang mengamuk kayak monster yang lepas dari neraka.
Gubuk kecil mereka bergetar hebat. Dinding tua itu mengerang setiap kali angin menghantamnya. Atapnya bocor di mana-mana, meneteskan air dingin tepat di atas tempat mereka berbaring.
Arka duduk di pojok ruangan, memeluk Sienna yang makin lemah. Tubuh gadis itu panas, tapi kulitnya pucat kayak bulan mati.
Suara gemuruh angin dan pohon-pohon tumbang membuat jantung Arka berdebar tak karuan.
Dia tahu.
Dia tahu tempat ini nggak akan bertahan lama.
Sienna membuka matanya pelan, kelopaknya berat seolah dunia ini memberatkan seluruh tubuhnya.
“Kita harus pergi,” bisik Arka, suaranya nyaris kalah oleh suara badai.
Sienna menggeleng lemah.
“Kalau kita keluar… kamu bakal mati, Ark.”
“Kalau kita tetap di sini, kamu yang bakal mati,” balas Arka cepat, nada suaranya pecah.
Mereka saling menatap dalam remang cahaya petir yang sesekali menerangi gubuk itu.
Sienna tersenyum samar—senyum yang lebih menyakitkan daripada luka mana pun.
“Aku nggak apa-apa,” katanya pelan. “Aku cuma mau… bersamamu.”
Arka menggenggam tangannya, erat sekali, seolah dengan kekuatan itu dia bisa memindahkan semua rasa sakit Sienna ke dirinya.
Tapi saat dia menatap keluar, melihat langit yang mengamuk, melihat dinding kayu yang mulai pecah, dia sadar:
Dia harus membuat pilihan.
Pilihan yang paling dia benci.
Pilihan yang mungkin menghancurkan hatinya sendiri.
Dengan berat hati, Arka mengangkat tubuh Sienna ke pelukannya.
Sienna meronta lemah. “Arka… jangan. Aku capek… aku cuma mau di sini…”
Arka mengatupkan rahangnya keras-keras untuk menahan air mata.
Dia menunduk, membisikkan kata-kata yang retak di tenggorokannya.
“Aku janji… aku nggak akan ninggalin kamu. Tapi kita harus pergi sekarang. Kita masih bisa selamat. Kita harus berjuang.”
Sienna akhirnya diam. Mungkin karena terlalu lelah.
Mungkin karena di lubuk hatinya, dia tahu Arka benar.
Dengan langkah tertatih-tatih, Arka membawa Sienna keluar ke dalam badai.
Angin menghantam tubuh mereka tanpa ampun.
Hujan mengguyur tanpa belas kasihan.
Setiap langkah terasa seperti melawan dunia itu sendiri.
Sienna memeluk leher Arka erat-erat, membisikkan satu kalimat di telinganya—kata-kata yang terdengar lebih jelas daripada badai mana pun:
“Kalau aku nggak bisa bertahan, tolong jangan salahin dirimu sendiri.”
Arka menggenggam tubuh itu makin erat.
“Berhenti bicara kayak gitu,” katanya lirih. “Aku butuh kamu. Dunia ini hancur, Sienna. Aku cuma punya kamu.”
Mereka berjalan terus, melewati jalanan berlumpur, di bawah langit yang seolah mau runtuh.
Arka jatuh beberapa kali, lututnya berdarah, tapi dia nggak pernah melepaskan Sienna.
Karena di musim terburuk ini, cinta mereka adalah satu-satunya alasan untuk tetap berdiri.
Malam itu, badai mengamuk tanpa henti.
Dan di tengah kehancuran itu, dua manusia kecil bertarung… bukan untuk melawan dunia, tapi untuk satu sama lain.
Bab 9: Satu Janji Terakhir
Badai belum menunjukkan tanda-tanda berhenti.
Langit hitam penuh kilat. Tanah di bawah kaki Arka berubah jadi lumpur licin yang menarik tubuh mereka ke bawah setiap langkahnya.
Arka menggenggam Sienna erat di pelukannya.
Tubuh gadis itu terasa makin ringan, terlalu ringan.
Seolah dunia perlahan-lahan sedang mengambilnya pergi.
Napas Sienna pendek-pendek di dekat telinga Arka, nyaris tak terdengar di tengah raungan badai.
Setiap helaan napasnya seperti pertempuran kecil yang menyakitkan.
Arka menatap ke depan, matanya mencari-cari—apa saja. Tempat berteduh, rumah kosong, bahkan sekedar pohon besar yang bisa melindungi mereka dari amukan langit. Tapi dunia di sekitarnya rata. Rusak. Hancur.
Langkahnya mulai goyah.
Dalam hatinya, Arka terus berdoa.
Untuk keajaiban kecil. Untuk keajaiban apa saja.
Sienna menggeliat lemah di pelukannya.
Dia membuka matanya pelan, seolah butuh seluruh sisa tenaganya hanya untuk itu.
“Ark…” bisiknya.
Arka menunduk, wajahnya nyaris menempel di wajah Sienna supaya dia bisa mendengar.
“Aku… capek…”
“Aku tahu,” bisik Arka, menahan air mata yang menggenang.
“Aku tahu, Sayang. Sedikit lagi. Sedikit lagi aja.”
Sienna tersenyum kecil.
Senyuman yang nggak seharusnya muncul di wajah seseorang yang sedang sekarat.
Dia mengangkat tangannya perlahan, jari-jarinya menyentuh pipi Arka.
“Kalau aku berhenti sekarang…” suaranya hampir lenyap ditelan hujan, “jangan benci aku ya…”
Arka berhenti berjalan.
Dia berdiri di tengah lumpur, membiarkan hujan menghantam tubuhnya, membiarkan dunia berteriak di sekeliling mereka.
Dengan kedua tangan yang bergetar, dia mendekatkan Sienna ke dadanya, memeluknya sekuat yang dia bisa.
“Aku nggak akan pernah benci kamu,” bisik Arka di telinganya.
“Selamanya, Sienna… aku mencintaimu.”
Sienna menutup matanya lagi.
Tapi sebelum dia sepenuhnya tenggelam dalam gelap, dia berbisik satu kalimat terakhir:
“Aku bahagia, Ark. Karena aku pergi sambil mencintaimu.”
Air mata Arka jatuh bercampur dengan hujan.
Dengan langkah limbung, dia berjalan lagi, membawa Sienna yang setengah sadar, mencari perlindungan di dunia yang sudah kehabisan tempat aman.
Di kejauhan, Arka melihat pohon besar—pohon tua yang tampak kokoh meski diterpa badai.
Dengan sisa tenaga yang hampir habis, Arka menyeret dirinya dan Sienna ke bawah pohon itu.
Dia duduk bersandar di batangnya, mendudukkan Sienna di pangkuannya.
Malam itu, di bawah langit yang meraung, di tengah tanah yang bergetar, di dunia yang hampir kehilangan segalanya,
Arka memeluk Sienna erat, seolah cinta mereka bisa menjadi perisai terakhir melawan kehancuran.
Dan dalam pelukan itu, mereka membuat satu janji terakhir.
Tanpa kata.
Tanpa suara.
Hanya lewat detak jantung yang saling mencari:
Aku akan mencintaimu… bahkan kalau dunia ini menghapus kita berdua.
Bab 10: Mencintaimu, Meski Harus Melepaskan
Fajar datang perlahan, seperti seseorang yang takut mengganggu luka dunia.
Langit perlahan berubah dari hitam ke kelabu pucat.
Badai sudah pergi.
Hujan berhenti.
Tapi udara masih basah dengan kesedihan yang tak terucapkan.
Di bawah pohon tua itu, Arka duduk memeluk tubuh Sienna erat di dadanya.
Tubuh itu terasa tenang. Terlalu tenang.
Arka membuka matanya perlahan.
Tangannya menyentuh pipi Sienna yang dingin, lalu bibirnya mengecup kening gadis itu dengan gemetar.
Dia tahu.
Dia tahu Sienna sudah nggak berjuang lagi.
Dia tahu gadis itu sudah bebas dari rasa sakit yang selama ini mencengkeramnya.
Tapi tahu… nggak pernah membuatnya siap.
Arka memejamkan mata, membiarkan air matanya mengalir bebas untuk pertama kalinya sejak bencana ini dimulai.
Bersama hujan, bersama angin, bersama dunia yang hancur, dia menangisi separuh jiwanya yang pergi.
Tangannya menggenggam surat kecil yang Sienna tulis beberapa hari lalu—surat yang dia simpan dekat di dadanya.
Dengan tangan bergetar, dia membuka kertas itu, membacanya perlahan.
“Untuk Arka…
Kalau kamu baca ini, berarti aku nggak ada lagi di sampingmu.
Aku minta maaf.
Aku tahu kamu bakal marah, sedih, mungkin juga benci sama dunia ini.
Tapi aku cuma mau kamu tahu satu hal:
Aku bahagia. Karena kamu.
Karena semua yang sudah kita lewati.
Jangan berhenti hidup, Ark.
Jalani sisa harimu dengan cinta yang pernah kita punya.
Bawa aku di setiap langkahmu, bukan sebagai beban…
Tapi sebagai bagian dari hatimu yang paling keras kepala.
Aku mencintaimu. Selalu. Selamanya.”
Surat itu jatuh dari tangan Arka, tertiup angin kecil yang datang dari sela pepohonan.
Dia memeluk tubuh Sienna untuk terakhir kalinya, lalu menatap ke langit yang perlahan-lahan mulai menampakkan semburat ungu.
“Aku nggak akan lupa kamu,” bisik Arka.
Tangannya melepaskan genggaman perlahan—bukan karena berhenti mencintai.
Tapi karena cinta sejati, kadang bukan tentang menggenggam erat.
Kadang… tentang berani melepaskan, sambil tetap membawa mereka dalam setiap detak jantung.
Arka berdiri, tubuhnya gemetar.
Dia menatap dunia yang rusak di sekelilingnya, lalu melangkah pergi.
Bukan untuk melupakan.
Bukan untuk menghapus.
Tapi untuk menjalani janji itu.
Untuk tetap hidup.
Untuk membawa cinta mereka melintasi musim-musim baru yang akan datang.
Langkah kakinya berat, tapi pasti.
Setiap langkah adalah satu bisikan ke langit:
Aku mencintaimu, meski harus melepaskanmu.
Dan di tengah dunia yang hancur, di antara puing-puing yang sunyi,
sebuah cinta tetap hidup.
Tak utuh, tak sempurna.
Tapi cukup kuat untuk melintasi apapun.
Sampai akhir.
Selesai.
Novel ini ditulis oleh Evi Fauzi, Penulis dari Novel Singkat . Baca juga novel romantis, petualangan dan fiksi ilmiah lainnya.