Novel Singkat Alun-Alun Tanpa Arah
Novel Singkat Alun-Alun Tanpa Arah

Novel Singkat: Alun-Alun Tanpa Arah

Nara, seorang ilustrator lepas yang baru saja keluar dari masa pemulihan setelah kecelakaan, terbangun di sebuah kota yang terasa asing bukan karena tempatnya, tapi karena dirinya sendiri yang tak lagi utuh. Ia kehilangan sebagian besar ingatannya dan hidup tanpa arah, sampai suatu hari ia tersesat ke dalam alun-alun misterius yang tak pernah tercatat di peta mana pun.

Di dalam alun-alun itu, Nara bertemu Luno pria yang mengaku sebagai cinta pertamanya dari masa depan. Tapi tempat itu bukan sekadar ruang fisik. Alun-alun hidup, menyusun ulang dimensi pribadi setiap orang yang masuk ke dalamnya. Ia mempermainkan luka, menciptakan ilusi yang nyaris tak bisa dibedakan dari kenyataan.

Nara harus menelusuri potongan jiwanya yang hilang, menghadapi versi dirinya sendiri, dan mencari tahu siapa sebenarnya Luno. Apakah ia sosok nyata dari masa lalu yang terlupakan? Ataukah hanya bayangan dari kerinduan terdalam?

Dalam dunia sureal tempat waktu melingkar dan perasaan menjadi peta, Nara perlahan menyusun ulang dirinya satu langkah demi satu luka—untuk kembali menjadi utuh. Tapi ketika semuanya mulai jelas, ia dihadapkan pada pilihan terakhir: bertahan dalam dunia yang nyaman tapi palsu, atau kembali ke realita yang penuh rasa sakit tapi nyata.

Sebuah perjalanan emosi, identitas, dan cinta yang dibungkus dalam absurditas dunia tak terlihat Alun-Alun Tanpa Arah.

Bab 1: Alun-Alun yang Tidak Pernah Ada di Peta

Langit di atas kota hari itu mendung, tapi bukan jenis mendung yang biasa. Warnanya abu kehijauan, seperti kabut yang menyimpan rahasia. Nara menatapnya sambil berdiri di depan halte bus, dengan tangan menggenggam lembaran peta lusuh yang ia temukan di dalam tas miliknya—tas yang bahkan tak ia ingat pernah ia beli.

Ia tidak tahu siapa namanya. Tapi kalung kecil bertuliskan “Nara” tergantung di lehernya, dan ia memutuskan untuk mempercayainya.

Sejak terbangun dua hari lalu di kamar hotel kecil di distrik utara, Nara merasa seperti hidup di dunia yang tidak sepenuhnya nyata. Orang-orang tampak terlalu sibuk untuk memperhatikan satu sama lain, dan setiap tempat yang ia datangi memberi perasaan seakan… kosong. Bukan secara fisik, tapi secara emosional.

Hari ini, ia berjalan tanpa arah, hanya mengikuti intuisi aneh dalam dirinya. Kakinya membawa ke sebuah jalan kecil yang tak ada namanya. Aneh, karena kota ini penuh papan petunjuk dan rambu—tapi jalan ini tak memiliki keduanya.

Lalu ia melihatnya.

Sebuah alun-alun. Terbuka, luas, dengan batu-batu paving berwarna kelabu dan tiang-tiang lampu antik yang masih menyala walau hari belum malam. Di tengah-tengah alun-alun, ada sebuah jam besar tanpa jarum. Dan entah kenapa, udara di sana terasa lebih hening daripada seharusnya.

Nara melangkah masuk. Rasanya seperti melewati batas yang tak terlihat. Seperti ada lapisan tipis udara yang bergeser saat ia menapakkan kaki di sana. Dan begitu ia benar-benar masuk, suara kota menghilang. Tidak ada klakson, tidak ada deru mobil, tidak ada suara burung. Hanya detak jantungnya sendiri yang menggema di telinganya.

Ia mencoba mencari tahu di mana ia berada. Tapi ponselnya mendadak mati. GPS tidak memuat apa pun, hanya layar putih kosong. Ia memutar tubuhnya, mencoba keluar, tapi setiap arah yang ia pilih hanya membawanya kembali ke tengah alun-alun.

“Ini bukan tempat biasa…” gumamnya.

“Nara.”

Suara itu membuatnya menoleh cepat. Seorang pria berdiri beberapa meter darinya, mengenakan mantel panjang warna gelap dan topi fedora. Wajahnya teduh, matanya tajam, seolah tahu sesuatu yang ia sendiri belum sadari.

“Kamu nggak ingat aku, ya?” katanya, tersenyum sedih.

Nara mundur satu langkah. “Kita kenal?”

Pria itu mengangguk pelan. “Aku Luno. Kamu pernah mencintaiku. Tapi itu di masa depan.”

Dunia seolah berhenti berputar. Nara menatap pria itu tanpa berkedip, mencoba menangkap satu fragmen memori, satu bayangan saja—tapi kosong.

“Kalau kamu dari masa depan, kenapa kamu ada di sini?”

Luno menatap jam tanpa jarum di tengah alun-alun. “Karena alun-alun ini bukan ruang biasa. Ia membuka luka. Menyimpan waktu yang belum terjadi. Dan sekarang, waktuku untuk bertemu kamu… akhirnya datang.”

Nara tak tahu harus percaya atau tidak. Tapi satu hal pasti: dunia di sekitar mereka perlahan mulai berubah. Dinding-dinding transparan tumbuh di kejauhan, menutup jalan keluar. Lampu-lampu menyala sendiri, membentuk lingkaran cahaya.

Dan di tengah keanehan itu, satu rasa tumbuh di dada Nara—rasa familiar yang entah dari mana datangnya.

Mungkin, ia memang pernah mencintai Luno. Atau mungkin… alun-alun ini hanya mempermainkan pikirannya.

Tapi untuk pertama kalinya, ia merasa tidak sendiri.

Dan langkahnya… baru saja dimulai.

Bab 2: Pertemuan dengan Masa Depan yang Hilang

“Aku tahu kamu bingung,” kata Luno sambil berjalan pelan mendekati Nara, langkahnya tenang, seolah ia sudah sering melewati momen seperti ini. “Tapi tolong jangan lari. Kita nggak punya banyak waktu.”

Nara masih diam. Matanya mengamati pria itu dari ujung kepala sampai kaki. Wajahnya tidak asing, tapi juga tidak familiar. Rasanya seperti melihat potongan mimpi yang tak selesai, yang pernah ia alami entah kapan, lalu lenyap begitu saja saat bangun.

“Kalau memang kamu dari masa depan,” ucap Nara pelan, “kenapa aku nggak ingat apa-apa tentangmu?”

Luno berhenti sekitar dua meter darinya. Ia tersenyum kecil, senyum yang menyimpan luka yang dalam.

“Karena waktu itu sendiri yang belum mengizinkanmu ingat. Alun-alun ini… dia hidup. Dia menahan apa pun yang kamu belum siap terima.”

Nara mengernyit. “Maksud kamu, tempat ini bisa… membaca pikiranku?”

“Bukan cuma pikiran. Tapi rasa takutmu, penyesalanmu, luka yang kamu sembunyikan bahkan dari dirimu sendiri.”

Kepala Nara terasa berat. Kata-kata Luno terlalu dalam untuk bisa dicerna secepat itu. Ia mengalihkan pandangan ke sekeliling. Dinding-dinding transparan yang tadi tumbuh mulai bergoyang seperti air. Sebuah gerbang dari cahaya muncul di ujung alun-alun, memancarkan suara-suara samar: tangisan, tawa, bisikan. Semua bercampur.

“Lalu… kamu apa? Bagian dari masa depanku? Atau ilusi tempat ini juga?”

Pertanyaan itu menggantung di udara, dan untuk sesaat, Luno tidak menjawab. Ia menatap langit yang perlahan memudar warnanya, seperti cat air yang larut dalam hujan.

“Aku adalah cinta yang pernah kamu janjikan akan kamu perjuangkan sampai akhir. Tapi kamu tidak pernah sampai di akhir itu, Nara,” katanya pelan. “Kamu menghilang sebelum aku sempat memelukmu untuk terakhir kalinya.”

Nara menahan napas.

“Jadi aku mati?”

Luno menggeleng. “Bukan mati. Tapi kamu… pergi ke dalam dirimu sendiri. Terlalu dalam. Sampai kamu lupa dunia luar.”

Nara menunduk. Dadanya terasa sesak, tapi ia tak tahu karena apa. Ia menatap tangannya, berharap bisa mengingat sesuatu—apa pun. Tapi yang terasa hanya kehampaan, dan denyut jantung yang semakin cepat.

“Aku takut.”

“Aku tahu. Tapi satu-satunya jalan keluar dari alun-alun ini adalah jalan ke dalam. Kamu harus hadapi apa yang selama ini kamu hindari.”

Tiba-tiba, suara tawa anak kecil menggema dari balik gerbang cahaya. Nara refleks menoleh. Suara itu… entah kenapa membuat matanya basah. Ia menatap Luno.

“Itu… suara aku?”

Luno mengangguk.

“Kamu akan mulai mengingat. Tapi ingatanku tentang kamu tidak akan cukup. Yang penting adalah keputusanmu sekarang.”

Nara melangkah maju, lebih dekat ke arah Luno.

“Kalau kamu bukan nyata… kenapa rasanya seperti aku udah kehilangan kamu dua kali?”

Luno tersenyum, menatapnya dengan tatapan yang terlalu manusiawi untuk sekadar bayangan.

“Mungkin karena kamu memang pernah miliki aku. Tapi kamu terlalu takut untuk mencintaiku waktu itu. Dan sekarang… tempat ini kasih kamu kesempatan kedua.”

Angin aneh bertiup. Langit berubah jadi semburat ungu keperakan. Gerbang cahaya mulai menghilang perlahan.

“Pilih, Nara,” kata Luno. “Mau pergi lebih dalam… atau kembali ke dunia tanpa ingatan.”

Nara menutup matanya. Dalam gelap yang ia ciptakan sendiri, ia mendengar degup jantungnya, suara tawa masa kecilnya, dan napas Luno yang tertahan di antara waktu.

Ia buka mata perlahan.

Dan melangkah menuju cahaya.

Bab 3: Tangga Tanpa Ujung dan Gerbang Tanpa Nama

Langkah Nara menyentuh cahaya seperti menembus lapisan air hangat. Udara di seberang gerbang terasa lebih padat, lebih berat. Ia menoleh ke belakang—Luno masih berdiri di alun-alun, tapi sosoknya memudar perlahan. Seperti bayangan yang ditinggal waktu.

“Nara,” suaranya bergema samar, “aku akan tetap menunggu… di ujung ingatanmu.”

Dan lalu semuanya berubah.

Nara kini berdiri di lorong batu yang menjulang ke atas. Tak ada dinding, tapi lorong itu melingkar naik, membentuk tangga spiral tanpa pegangan. Di atas sana, tidak terlihat langit. Hanya kegelapan yang terasa jauh dan dalam. Di bawahnya pun tak ada ujung. Seakan ia berdiri di tengah ruang yang tidak mengenal arah.

Ia mencoba naik satu langkah, dan suara langkahnya menggema. Tapi setiap kali ia menapaki dua-tiga anak tangga, tangga yang barusan ia lewati menghilang. Tangga itu seperti tak mau dikenang. Tak ingin diingat.

“Tempat ini benar-benar aneh…” gumamnya.

Saat ia terus naik, dinding-dinding muncul dari ketiadaan. Dinding batu berlumut, dengan ukiran aneh—seperti huruf-huruf kuno yang bergerak pelan, hidup di permukaannya. Salah satu dari ukiran itu berubah menjadi potret. Wajah anak kecil yang menangis sambil memeluk boneka rusak.

Nara berhenti. Jantungnya berdetak lebih cepat. Wajah anak itu… terlalu mirip dirinya sendiri.

Tiba-tiba, sebuah suara kecil terdengar dari balik dinding.

“Kenapa kamu tinggalkan aku sendirian di sana?”

Nara membeku. Suara itu—itu suara dirinya sendiri, versi kecil yang seharusnya sudah lama ia lupakan.

“Siapa di sana?” tanyanya, suaranya bergetar.

Tak ada jawaban. Tapi satu pintu muncul di dinding. Pintu kayu tua tanpa pegangan. Di atasnya, ada tulisan samar: Gerbang Tanpa Nama.

Tanpa tahu kenapa, Nara merasa harus masuk. Tapi saat ia mendekat, suara-suara mulai muncul dari sekeliling. Suara teriakan, tawa bahagia, tangisan lirih, semua muncul bersamaan. Ia menutup telinga, tapi suara-suara itu bukan berasal dari luar—mereka muncul di dalam kepalanya.

Ia bersandar di pintu, gemetar. Lalu suara Luno kembali muncul, samar tapi tegas.

“Buka gerbang itu kalau kamu ingin tahu siapa dirimu sebenarnya.”

Dengan sisa keberanian yang terasa rapuh, Nara menyentuh permukaan pintu. Kayunya hangat, seperti kulit manusia. Dan ketika ia mendorongnya perlahan, cahaya merah muda temaram menyinari wajahnya.

Di balik pintu, dunia lain menunggunya.

Sebuah taman bunga tak berujung, di mana langit penuh bintang-bintang yang bergerak cepat, seolah waktu sedang dipercepat. Di tengah taman itu ada meja makan… dan duduk di sana, dengan gaun putih sederhana, adalah seorang wanita dewasa yang wajahnya identik dengan Nara.

Tapi berbeda.

Wajah wanita itu tenang. Matanya dalam dan penuh rahasia. Ia menatap Nara sambil tersenyum lembut.

“Akhirnya kamu datang. Aku sudah lama menunggumu.”

Nara menelan ludah. “Siapa kamu?”

“Aku adalah kamu… yang tak pernah sempat tumbuh.”

Bab 4: Hari yang Berulang tapi Selalu Berbeda

Nara berdiri di ambang pintu, masih belum berani melangkah masuk ke taman penuh bintang itu. Wanita yang duduk di meja terus menatapnya, seakan tahu setiap pikiran yang berkecamuk dalam kepalanya.

“Duduklah,” katanya, lembut tapi pasti.

Nara melangkah pelan dan duduk di seberang wanita itu. Meja dipenuhi cangkir-cangkir teh yang mengepul pelan, namun tidak satu pun ada yang disentuh. Semuanya seolah menunggu momen yang tepat. Atau mungkin, menunggu keberanian.

“Kamu tahu rasanya jadi dirimu yang hilang?” tanya wanita itu tiba-tiba.

Nara menggeleng.

“Setiap hari aku bangun di tempat yang sama. Tapi dunia selalu berubah. Kadang hujan salju merah, kadang matahari berbentuk mata manusia. Kadang, semua orang berbicara mundur. Tapi yang paling menyakitkan… adalah saat hari terasa begitu nyata, sampai aku mulai percaya itu kenyataan. Lalu semuanya diulang.”

Nara menelan ludah. “Kamu… diulang setiap hari?”

Wanita itu tersenyum. “Kamu juga, Nara. Kamu hanya nggak sadar. Alun-alun itu memutar hidupmu dalam bentuk yang berbeda. Kamu bangun, lupa siapa dirimu, masuk ke tempat ini lagi dan lagi, bertemu Luno, lalu… gagal menemukan jalan keluar. Karena kamu belum siap.”

Nara menarik napas dalam-dalam. “Lalu kenapa sekarang aku bisa sampai ke sini?”

Wanita itu memiringkan kepalanya. “Karena kamu mulai bertanya. Bukan tentang masa lalu, tapi tentang siapa kamu sebenarnya. Kamu berhenti hanya jadi korban dari amnesia ini, dan mulai jadi penjelajah dari dirimu sendiri.”

Tiba-tiba langit berubah. Cahaya bintang berputar cepat, berubah menjadi lukisan-lukisan yang bergerak. Nara melihat dirinya kecil, menangis di bawah meja, dikejar bayangan besar yang tidak bisa dikenali. Lalu berubah menjadi dirinya remaja, berlari di tengah hujan sambil memeluk buku harian. Dan terakhir, bayangan dirinya dewasa… memegang pisau di sebuah kamar yang gelap.

Nara gemetar. “Apa itu…?”

“Itu potongan realita yang kamu tolak. Alun-alun menyimpannya. Menjaganya. Tapi kamu bisa mengambilnya kembali… kalau kamu siap.”

Sebelum Nara sempat bicara, dunia mulai memudar lagi. Taman bintang itu runtuh seperti pasir yang tertiup angin. Meja teh menghilang. Kursi ambruk. Dan suara wanita itu memudar bersama cahaya.

“Besok, semuanya akan dimulai lagi. Tapi kamu akan bangun dengan satu kenangan baru. Kumpulkan semuanya. Sampai kamu bisa menyatukan kembali siapa dirimu… dan apa yang kamu lupakan.”

Nara membuka matanya.

Ia terbangun di tempat tidur kecil yang sama. Lampu gantung berputar pelan di atas kepalanya. Jam dinding mati. Ponselnya kosong. Tapi kali ini, ada sesuatu yang berubah.

Di meja samping tempat tidur, ada foto kecil yang semalam belum ada. Foto dirinya sedang duduk di taman… bersama Luno.

Dan di balik foto itu, ada tulisan tangan:

“Hari ini, jangan lari. Biarkan hatimu yang bicara duluan.”

Nara menyentuh dadanya. Ada perasaan aneh. Seperti deja vu. Tapi juga seperti awal yang baru.

Hari ini memang berulang lagi.

Tapi tidak dengan cara yang sama.

Bab 5: Teater Luka-Luka yang Dipentaskan Ulang

Hari itu matahari bersinar, tapi tidak terasa hangat. Nara berdiri di tengah alun-alun lagi, mengenakan pakaian yang sama, tas yang sama, dan kebingungan yang sama—kecuali satu hal: kali ini, ia ingat.

Ia ingat suara wanita di taman bintang.

Ia ingat foto di meja samping tempat tidur.

Dan yang paling penting, ia ingat perasaan tentang Luno—bukan seutuhnya, tapi seperti irama yang pernah ia dengar dalam mimpi. Mengendap di sela-sela napas.

Langkahnya membawanya ke sisi lain alun-alun, tempat yang kemarin belum ia datangi. Hari ini, tiang-tiang lampu menyala lebih redup, dan batu-batu di lantai membentuk pola yang aneh, seperti labirin raksasa jika dilihat dari atas. Di tengah pola itu, ada bangunan besar yang baru muncul: sebuah teater.

Pintu depannya terbuka, seolah mengundangnya masuk.

Nara melangkah pelan, menelan rasa takut yang perlahan menyelinap naik ke tenggorokan. Bagian dalam teater itu gelap, hanya diterangi satu lampu sorot yang menyorot ke panggung kayu tua di ujung ruangan. Barisan kursi kosong berjajar rapi, berdebu, dan entah kenapa semuanya menghadap ke cermin besar yang menggantung di atas panggung.

Nara duduk di salah satu kursi.

Lampu panggung mulai menyala.

Dan pertunjukan dimulai.

Satu per satu, sosok muncul di atas panggung. Tapi mereka bukan aktor biasa. Mereka adalah potongan dirinya—Nara usia lima tahun yang menangis sendirian di kamar gelap, Nara remaja yang berdiri di depan lemari penuh pakaian tapi merasa dirinya buruk rupa, Nara dewasa yang duduk di balkon rumah sakit dengan mata kosong menatap langit malam.

Mereka semua diperankan oleh aktris yang wajahnya identik dengannya—tapi kosong, tanpa ekspresi. Dan setiap adegan diulang. Lagi dan lagi.

Tangisan kecil. Kata-kata penuh benci. Diam yang menyakitkan.

Nara menonton sambil gemetar. Setiap adegan terasa seperti tamparan, membongkar luka yang selama ini ia kubur.

Lalu, tiba-tiba, adegan terakhir dipentaskan: Nara berdiri di depan seorang pria. Mereka bertengkar. Pria itu memegang surat. Dan di akhir pertengkaran, Nara berbalik… dan pergi. Tak pernah menoleh lagi.

Suara Luno tiba-tiba terdengar dari speaker di dinding teater.

“Ini akhir yang kamu pilih waktu itu. Tapi alun-alun memberimu kesempatan untuk bertanya… kalau kamu bisa ulang semua, apa kamu akan tetap memilih pergi?”

Nara menutup matanya. Ia ingin berteriak. Tapi suara dalam dirinya terlalu berisik.

Ia berdiri.

Naik ke panggung.

Dan berdiri di tengah pantulan dirinya sendiri di cermin besar itu.

“Aku nggak tahu jawaban pastinya,” ucapnya pelan, “tapi aku capek jadi penonton. Aku mau jadi bagian dari cerita ini. Lagi. Dan kali ini… aku nggak akan kabur.”

Cermin itu retak. Sebuah retakan kecil di tengah yang menyebar seperti akar pohon.

Lampu teater padam.

Saat Nara membuka matanya, ia sudah tidak di teater lagi.

Ia berada di koridor cermin yang panjang, seperti labirin, dengan bayangan-bayangannya sendiri berjalan berdampingan di sisi kiri dan kanan.

Dan di ujung sana—ia bisa melihat Luno.

Tersenyum.

Menunggu.

Bab 6: Jalan Setapak Menuju Diriku Sendiri

Lorong ini dingin. Tapi bukan dingin karena udara—melainkan karena sunyi. Nara berdiri di dalam koridor panjang yang seluruh dindingnya terbuat dari cermin. Setiap langkahnya memantul tak terhitung kali, menciptakan ilusi bahwa ia tidak sendiri. Tapi bukan sosok asing yang menemani. Mereka semua adalah dirinya.

Versi dirinya yang berbeda-beda.

Ada Nara kecil dengan mata sembab, mengenakan piyama lusuh dan memeluk boneka kelinci yang telinganya sobek. Ada Nara remaja dengan eyeliner hitam terlalu tebal dan tatapan tajam penuh perlawanan. Ada Nara dewasa—dingin, rapuh, tapi mencoba terlihat kuat.

Setiap versi dirinya berjalan bersamaan dengannya. Diam. Tapi penuh makna.

Nara tidak berkata apa-apa. Ia hanya berjalan, menyentuh setiap cermin yang ia lewati, berharap ada yang memberinya jawaban—tentang siapa ia, apa yang hilang, dan kenapa hatinya terasa seperti ruang kosong dengan gema kenangan yang tak lengkap.

Tiba-tiba, di tengah lorong, ia menemukan cermin yang berbeda.

Bukan pantulan. Tapi layar hidup.

Ia melihat dirinya dan Luno duduk di taman. Mereka tertawa, saling mencuri pandang, saling diam saat mata bertemu. Satu potong masa depan. Satu fragmen yang seharusnya indah. Tapi lalu adegan itu retak seperti kaca dilempar batu. Dalam hitungan detik, semuanya hancur, berubah menjadi hujan salju hitam.

Suara Luno terdengar di belakangnya.

“Aku nggak pernah menyalahkanmu karena pergi, Nara. Tapi aku ingin tahu… kenapa?”

Nara menoleh. Luno berdiri di ujung lorong, beberapa meter darinya. Ia terlihat sama seperti sebelumnya—tenang, misterius, hangat. Tapi kali ini, sorot matanya… penuh luka yang lama dipendam.

“Aku takut,” jawab Nara, jujur. “Bukan takut padamu. Tapi takut kalau semua yang bahagia itu cuma sementara. Dan kalau nanti hilang, aku nggak akan sanggup menahannya.”

Luno berjalan pelan mendekat. Bayangan Nara dan versinya di cermin mulai menghilang satu per satu, seperti tahu bahwa kini waktunya Nara sendiri yang bicara.

“Aku cuma manusia, Nara. Aku pun takut kehilangan kamu. Tapi bukan itu gunanya cinta? Kita tetap bertahan… bahkan di dalam ketakutan itu.”

Nara menatap matanya.

Lalu ia bertanya, nyaris berbisik, “Kamu nyata… atau hanya pantulan dari hatiku yang rindu?”

Luno tidak langsung menjawab. Ia mengambil tangan Nara, menggenggamnya perlahan.

“Kamu tidak perlu tahu jawabannya sekarang. Tapi kalau hatimu merasa aku nyata, maka… mungkin aku memang ada di dalam dirimu sejak lama.”

Tiba-tiba, cahaya putih menyelimuti lorong.

Semua versi Nara yang tadi berjalan di sisi cermin kini kembali, berdiri berjajar, mengangguk padanya. Mata mereka tidak kosong. Tidak lagi. Mereka utuh, hidup.

Dan Nara merasa… untuk pertama kalinya dalam hidup, dirinya menyatu.

Lorong itu runtuh pelan seperti pasir yang dibawa angin. Tapi tidak menakutkan. Justru menenangkan.

Di tengah kehancuran itu, satu jalan setapak terbuka.

Dan untuk pertama kalinya, Nara tidak ragu melangkah.

Bersama Luno.

Menuju sesuatu yang belum tentu benar… tapi juga belum tentu salah.

Bab 7: Pria yang Tidak Pernah Bernapas di Dunia Nyata

Langkah mereka berdua pelan. Jalan setapak itu tidak berujung, namun juga tidak terasa berat untuk dijalani. Nara berjalan di samping Luno, menyentuh lengannya sesekali hanya untuk memastikan bahwa ia masih di sana, masih hangat, masih nyata.

Namun sesuatu mulai terasa aneh.

Setiap kali Nara menoleh terlalu lama, Luno terlihat… kabur. Seperti tubuhnya terdiri dari asap tipis yang bisa menghilang kapan saja. Tapi saat ia berkedip, Luno kembali utuh. Wajahnya tetap teduh, suaranya masih lembut.

“Aku takut kamu menghilang,” ucap Nara jujur, tanpa basa-basi.

Luno tersenyum samar. “Mungkin kamu harus bertanya dulu… kenapa kamu takut aku hilang, padahal kamu belum tahu aku itu siapa?”

Nara terdiam. Bukan karena tak punya jawaban, tapi karena pertanyaannya terlalu dalam. Ia menggenggam tangannya sendiri. “Karena kamu satu-satunya yang bikin aku merasa hidup… meski aku nggak tahu di mana aku berada.”

Luno menatapnya lama. Angin berembus perlahan membawa aroma tanah basah dan bunga asing yang belum pernah Nara cium sebelumnya. Di kejauhan, langit mulai membentuk pola—gambar wajah-wajah, kenangan-kenangan buram, potongan-potongan percakapan yang tak selesai.

Dan tiba-tiba saja… Luno berhenti.

“Nara,” katanya, suaranya berubah pelan, “aku perlu kamu jujur. Kalau ternyata aku bukan bagian dari dunia nyata, apa kamu masih akan tetap menggenggam tanganku?”

Nara menatapnya dalam-dalam. Matanya memantulkan rasa takut dan cinta yang belum selesai tumbuh.

“Aku akan tetap menggenggam tanganmu… bahkan jika tanganmu cuma bayangan. Karena di dalam bayangan itulah, aku merasa utuh.”

Luno tersenyum. Tapi kali ini senyumnya terasa getir. Ia mengangkat tangannya, menunjuk ke arah tubuhnya sendiri—dan Nara melihatnya: jari-jarinya perlahan mulai tembus cahaya.

“Alun-alun ini dibangun dari kesepianmu. Dari luka-lukamu yang kamu simpan sendiri. Aku adalah bentuk dari keinginanmu yang paling dalam… untuk tidak merasa sendiri.”

Nara melangkah maju. Menyentuh wajahnya.

Dan tangannya… menembus.

“Tidak…” bisiknya. “Kamu nyata… kamu harusnya nyata…”

Luno menunduk. “Aku adalah bagian dari kamu, Nara. Tapi aku tidak akan selamanya bisa tinggal di sini. Kamu sudah mulai membangun dirimu kembali. Dan begitu kamu siap… aku akan hilang. Karena kamu nggak butuh aku lagi.”

Air mata mengalir dari mata Nara, tanpa bisa ia tahan. Rasanya seperti kehilangan seseorang dua kali dalam satu hidup.

“Aku belum siap kehilangan kamu lagi…”

“Dan itu berarti kamu sudah pernah kehilangan aku,” kata Luno lirih.

Langit di atas mereka mulai retak seperti kaca yang pecah pelan. Dunia sekitar memudar. Aroma tanah dan bunga lenyap. Jalan setapak mulai terangkat satu per satu, meninggalkan Nara sendirian di udara yang kosong.

Luno menarik napas dalam-dalam, untuk pertama kalinya.

Lalu ia berbisik:

“Kalau kamu ingin aku nyata… maka temukan aku. Di dunia yang kamu tinggalkan.”

Dan ia hilang.

Nara jatuh ke tanah keras dengan mata terbuka dan jantung berdetak kencang.

Ia terbangun di kamar hotel itu lagi.

Sendirian.

Tapi di tangannya, ada benda kecil—sebuah tiket pertunjukan bertanggal esok hari. Nama tempatnya: Alun-Alun Teater.

Dan di balik tiket itu tertulis:

“Di dunia nyata, aku menunggumu.”

Bab 8: Kompas Emosi dan Peta yang Terbuat dari Air Mata

Pagi itu kota terlihat biasa. Terlalu biasa, sampai rasanya aneh. Nara berjalan di trotoar dengan langkah pelan, tangan menggenggam tiket lusuh yang tadi malam entah bagaimana muncul di tangannya. Tiket menuju Alun-Alun Teater. Tapi tidak ada yang tahu tempat itu. Bahkan saat ia bertanya pada petugas hotel, jawaban mereka hanya senyum kosong dan gelengan kepala.

Seperti tempat itu hanya hidup dalam pikirannya.

Tapi Nara tahu—ia tidak gila.

Luno memang pernah ada. Entah sebagai sosok nyata atau bayangan dari luka, Nara tahu bahwa pertemuannya dengan pria itu mengubah sesuatu dalam dirinya.

Ia menelusuri peta kota yang ia temukan di lobi. Tapi tidak ada tanda apa pun. Tidak ada lokasi bernama Alun-Alun Teater. Ia hampir menyerah, sampai matanya menangkap siluet pria tua berpakaian seperti badut jalanan, berdiri tak jauh dari halte bus.

Saat ia mendekat, pria itu mengangkat topinya dan membungkuk, seolah sudah menunggunya.

“Kamu mencari tempat yang tidak terlihat, ya?” tanyanya, matanya berkilat aneh.

Nara mengangguk. “Alun-Alun Teater. Kamu tahu?”

Alih-alih menjawab, pria itu mengeluarkan dua benda dari dalam sakunya. Sebuah kompas kecil dengan jarum yang tidak menunjuk ke arah utara, melainkan berputar-putar liar. Dan secarik kertas—terlihat seperti peta, tapi kosong. Hanya coretan samar seperti noda air.

“Kompas ini bergerak mengikuti emosi,” katanya. “Kalau kamu ragu, dia akan bingung. Tapi kalau kamu yakin… dia akan menuntunmu ke arah yang benar.”

Nara menatap kompas itu. Jarumnya bergerak tak tentu arah, sampai ia memejamkan mata dan memikirkan Luno.

Jarum itu langsung berhenti. Menunjuk ke arah selatan.

Pria itu tersenyum. “Peta ini akan menunjukkan jalan hanya jika kamu jujur pada dirimu sendiri.”

Nara menerima peta itu dengan ragu. Tapi saat ia menyentuhnya, air matanya jatuh menetes tanpa sadar. Tepat di atas kertas.

Dan perlahan, garis-garis muncul. Bangunan, jalur, jalan kecil—dan di tengahnya, lingkaran merah bertuliskan: Teater Luka, Gerbang Kedua.

Nara menahan napas. “Kenapa kamu membantu aku?”

Pria itu menatapnya sebentar, lalu berkata lirih, “Karena aku dulu juga mencintai seseorang yang cuma hidup di dalam pikiranku. Tapi aku terlalu takut mencarinya.”

Sebelum Nara sempat bertanya lebih jauh, pria itu sudah berjalan menjauh, menghilang di balik kerumunan, seolah tak pernah ada.

Nara berlari ke arah yang ditunjukkan kompas. Jalannya sempit, seperti lorong di antara dua dunia. Ia mengikuti arah emosi, bukan arah mata angin. Dan setiap langkah membuat peta di tangannya semakin lengkap, seakan jalur baru terus digambar oleh air matanya sendiri.

Hingga akhirnya ia tiba di sebuah bangunan tua, tersembunyi di antara gedung-gedung tinggi.

Di atas pintunya tertulis:

“Alun-Alun Teater: Tempat Di Mana Luka Menjadi Cerita.”

Nara berdiri di depan pintu itu.

Jantungnya berdebar kencang.

Karena ia tahu, begitu ia masuk—semua pertanyaan akan mulai menemukan jawaban.

Tapi… mungkin juga, ia akan menemukan bahwa kenyataan tak selalu semanis harapan.

Dan meski begitu—ia mengetuk pintu.

Bab 9: Hari Saat Semua Kenyataan Retak

Pintu teater terbuka perlahan, mengeluarkan bunyi berderit seolah sudah lama tak disentuh. Nara melangkah masuk dengan napas tak menentu. Ruangan itu gelap dan kosong, hanya diterangi cahaya samar dari lampu gantung yang bergoyang pelan di langit-langit.

Lantai kayunya berdebu, dan bangku-bangku di barisan penonton terlihat seperti belum diduduki selama bertahun-tahun. Tapi di panggung, ada satu kursi—ditempati oleh seseorang yang duduk membelakangi Nara.

Nara mendekat, perlahan. Setiap langkahnya mengingatkan pada lorong cermin, pada taman bintang, pada jalan setapak, pada semua yang telah ia lalui. Ia merasa… semuanya membawanya ke sini. Ke satu titik.

Orang itu berdiri.

Dan berbalik.

Luno.

Tapi bukan Luno yang ia kenal. Wajahnya lebih tua, matanya lebih dingin. Ia mengenakan pakaian hitam pekat seperti pemeran drama klasik. Ada luka samar di bawah matanya, seperti bekas air mata yang tidak pernah benar-benar kering.

“Nara,” ucapnya, suaranya berat. “Akhirnya kamu datang.”

Nara menatapnya tanpa bicara.

“Apa kamu ingat semuanya sekarang?” lanjut Luno.

Nara mengangguk pelan. “Potongan-potongan itu mulai kembali. Tapi masih belum utuh.”

Luno berjalan ke pinggir panggung, menunjuk ke balik tirai. Di sana, tergantung layar putih besar. Dan tiba-tiba, layar itu menyala—memutar adegan demi adegan seperti film dokumenter tentang dirinya sendiri.

Ia melihat dirinya… di ranjang rumah sakit.

Ia melihat dokter berbicara dengan keluarga. Kata-kata seperti “trauma psikologis mendalam”, “disosiatif”, “lupa identitas”.

Dan di samping ranjang itu… berdiri Luno.

Tapi bukan Luno yang sama.

Luno yang duduk di kursi rumah sakit itu mengenakan jaket biasa, wajahnya muda, cemas, dan… nyata.

Nara terhuyung.

“Kamu… kamu sungguhan ada di dunia nyata?”

Luno di panggung mengangguk. “Aku Luno. Tapi bukan yang kamu bentuk di dalam dimensi alun-alun. Aku cinta pertamamu, Nara. Tapi kamu mengalami kecelakaan… dan melupakan semuanya. Termasuk aku.”

Nara merasa kepalanya mau pecah. Dunia di sekelilingnya mulai retak, seperti cermin yang dilempar batu.

“Lalu… versi kamu yang aku temui… yang bilang dari masa depan…”

“Itu bukan masa depan, Nara. Itu hatimu sendiri yang menciptakan versi dari aku. Sosok yang tetap sabar, setia, dan tak pernah menyakitimu. Karena kenyataannya… aku memang sempat meninggalkanmu.”

Nara mundur satu langkah.

“Aku pergi saat kamu paling butuh aku. Karena aku takut menghadapi rasa sakitmu. Aku salah. Dan saat aku kembali… kamu sudah tidak ingat aku lagi.”

Tangis Nara pecah. Bukan karena marah. Tapi karena sakit yang sudah lama tertahan, akhirnya menemukan bentuknya.

“Jadi… kamu bukan ilusi?”

Luno menggeleng. “Aku sungguh ada. Dan aku mencarimu sejak itu. Sampai aku temukan jurnalmu. Tentang alun-alun. Tentang teater. Tentang dunia di kepalamu yang kau bangun sendiri untuk bertahan hidup.”

Nara terjatuh di lututnya, menahan sesak yang memenuhi dada.

“Lalu… tempat ini?”

“Ini terakhir. Pertunjukan terakhir dari dunia yang kamu ciptakan untuk melindungi diri. Kalau kamu siap… kamu bisa pergi dari sini. Dan bangun.”

Suara langkah kaki menggema.

Tiba-tiba, dari balik tirai muncul banyak Luno.

Luno dengan senyum hangat. Luno yang pendiam. Luno yang pemarah. Luno yang hanya menatap tanpa bicara. Semuanya saling menatap, saling menuntut.

“Semua ini… versi yang kamu bentuk,” kata Luno yang asli. “Dan sekarang, kamu harus memilih: tetap di dunia yang nyaman… atau kembali ke dunia nyata, tempat aku benar-benar menunggumu. Tapi juga tempat semua rasa sakit itu nyata.”

Nara berdiri. Matanya basah, tapi kali ini tak gemetar.

“Aku… lelah hidup dalam ruang yang aku ciptakan sendiri. Aku ingin kembali. Tapi… bisakah kamu jamin kamu nggak akan pergi lagi?”

Luno mendekat. Menyentuh pipinya. Dan kali ini, sentuhannya terasa nyata. Penuh detak. Penuh hangat.

“Aku nggak bisa janji semuanya sempurna. Tapi aku bisa janji… aku akan tetap di sampingmu. Bahkan kalau nanti kamu lupa lagi. Aku akan tetap menemukanmu.”

Tirai panggung mulai terbakar pelan. Satu per satu versi Luno menghilang. Dunia retak semakin besar.

Dan suara wanita dari dalam Nara berbisik:

“Ini akhir dari alun-alun. Tapi bukan akhir dari ceritamu.”

Cahaya putih menyelimuti semuanya.

Dan Nara… bangun.

Di ranjang rumah sakit.

Tangannya digenggam seseorang.

Luno.

Satu-satunya versi yang nyata.

Bab 10: Keluar dari Alun-Alun, Masuk ke Diriku yang Baru

Bunyi mesin monitor detak jantung menyambut kesadaran yang baru lahir di mata Nara. Cahaya matahari sore masuk dari sela tirai putih, hangat, lembut, dan tidak berubah bentuk seperti di dunia yang ia tinggalkan.

Ia berbaring diam, membiarkan kesunyian rumah sakit menyatu dengan napasnya yang kini terasa utuh. Tangannya digenggam seseorang—erat, hangat, dan nyata.

“Luno…” bisiknya, nyaris tanpa suara.

Luno menoleh cepat. Wajahnya lelah tapi matanya berbinar, seperti seseorang yang sudah terlalu lama menahan napas dan akhirnya bisa bernapas lagi.

“Kamu inget aku?” tanyanya pelan, penuh harap.

Nara mengangguk. Perlahan. Tapi pasti.

“Sebagian… Tapi cukup untuk tahu, kamu bukan mimpi. Bukan pantulan luka.”

Luno menunduk, menggenggam tangan Nara lebih kuat. “Aku takut kamu nggak akan balik.”

“Aku juga,” gumam Nara. “Tapi alun-alun itu… menunjukkan padaku bahwa bahkan dalam dunia yang aku ciptakan sendiri, aku tetap mencarimu.”

Air mata menetes di pipi Luno. Ia tidak berusaha menyembunyikannya.

“Mereka bilang kamu nggak akan bangun. Bahwa kamu terlalu tenggelam di dalam dirimu sendiri.”

Nara tersenyum tipis. “Aku memang tenggelam. Tapi kamu selalu jadi jangkar yang kutarik diam-diam meski aku nggak sadar.”

Luno membelai rambutnya. “Aku janji… mulai sekarang, nggak ada lagi yang kamu harus hadapi sendiri.”

Nara menatap ke luar jendela. Langit biru membentang. Tidak ada cermin, tidak ada panggung, tidak ada kabut. Tapi ia tahu, potongan-potongan dari dunia itu akan tetap tinggal di dalam dirinya bukan sebagai luka, tapi sebagai bagian dari proses untuk pulih.

“Luno,” katanya, pelan tapi penuh makna. “Kalau nanti aku lupa lagi… tolong jangan ingatkan aku tentang sakitnya. Ingatkan aku tentang rasa yang membuatku bertahan.”

Luno menunduk, menyentuh dahinya ke tangan Nara.

“Aku akan jadi pengingat, bukan penuntut. Karena kamu sudah cukup menuntut dirimu sendiri selama ini.”

Dan saat matahari turun perlahan di balik gedung rumah sakit, Nara merasa lahir kembali. Bukan sebagai versi sempurna dari dirinya, tapi sebagai seseorang yang utuh—meski dengan retakan di sana-sini.

Tapi justru dari retakan-retakan itulah, cahaya masuk.

Dan cinta tumbuh lagi.

Bukan dari awal.

Tapi dari titik di mana keduanya memilih untuk tetap tinggal.

Walau arah sudah tak penting lagi, selama mereka berjalan bersama.


TAMAT.

Novel ini ditulis oleh Evi Fauzi, Penulis dari  Novel Singkat . Baca juga novel romantis, petualangan dan fiksi ilmiah lainnya.

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

    Leave a Reply

    Your email address will not be published. Required fields are marked *