Novel Singkat Langit Tak Lagi Biru
Novel Singkat Langit Tak Lagi Biru

Novel Singkat: Langit Tak Lagi Biru

Rey, seorang teknisi data muda yang hidup di dunia pasca-peristiwa kosmik, menyadari sebuah keanehan: langit yang selalu abu-abu tiba-tiba berubah biru setiap kali ia bersama seorang gadis misterius bernama Liona. Gadis ceria itu, yang bekerja sebagai pengajar seni sukarela di pusat komunitas, tak pernah menyadari bahwa warna langit yang menemaninya adalah pertanda kematian.

Saat Rey menemukan bahwa langit biru hanya muncul untuk satu orang yang akan mati setiap harinya, ia dilanda dilema besar melindungi Liona dan melawan sistem, atau membiarkan takdir berjalan seperti seharusnya. Bersama-sama, mereka memulai perjalanan penuh harapan dan ketakutan, mencari jawaban atas sistem dunia yang tidak masuk akal, sambil mempertaruhkan segalanya demi satu hari tambahan bersama.

Namun, ketika langit mulai retak dan pilihan hidup atau mati tak lagi sesederhana kelabu dan biru, Rey harus mengambil keputusan yang akan mengubah dunia selamanya. Apakah cinta bisa benar-benar mengalahkan langit?

Bab 1: Langit yang Selalu Abu-Abu

Langit tak pernah lagi berwarna.
Setidaknya, tidak bagi Rey.

Sejak peristiwa kosmik tiga tahun lalu—yang entah meteor, ledakan matahari, atau apa pun itu—dunia berubah. Awan tak lagi putih, langit tak lagi biru. Warnanya seperti abu basah, nyaris kelabu gelap, dan sejak saat itu, matahari hanya jadi sumber cahaya yang menyilaukan tapi tak menghangatkan.

Rey terbiasa dengan kesepian warna itu. Ia tidak pernah peduli. Sampai suatu pagi di halte tua dekat taman, ia melihat sesuatu yang salah. Atau mungkin… sesuatu yang seharusnya tak terjadi.

Langit—untuk pertama kalinya—berwarna biru.
Lembut, terang, dan terasa hangat di kulit.

Rey mendongak. Ia berdiri mematung seperti orang bego, mata terpaku pada langit seakan lupa bagaimana cara berkedip. Tapi keanehan itu tak bertahan lama. Sekitar sepuluh menit, lalu… kembali abu-abu. Sekejap. Hilang.

Aneh. Tapi Rey menyimpannya dalam diam.

Keesokan harinya, ia kembali ke tempat yang sama. Dan terjadi lagi. Langit berubah biru. Tepat ketika seorang gadis duduk di bangku halte, tak jauh darinya. Gadis itu mengenakan rok cokelat dan jaket rajut yang tampak kebesaran, membawa tas selempang yang penuh gantungan bunga plastik. Senyumnya seperti bukan berasal dari dunia ini.

Dan ketika dia pergi, langit pun pudar.

Hari ketiga, Rey datang lebih pagi. Ia ingin memastikan. Ia duduk, pura-pura menunggu bus yang sudah dua tahun tidak beroperasi. Gadis itu datang lagi, dengan langkah kecil seperti menari. Duduk di tempat sama, membuka novel, dan… langit berubah biru lagi.

Bukan cuma dia yang merasakan. Seekor kucing tua di dekat kaki Rey bahkan mulai menjilat bulunya di bawah sinar matahari yang tak lagi kelabu.

Rey menggeser duduk. “Kamu sadar nggak sih… langit jadi biru?”

Gadis itu menoleh, matanya bening, alisnya terangkat. “Oh? Iya ya? Aku nggak pernah merhatiin… Tapi emang bagus, ya?”

“Bagus banget,” gumam Rey, lebih ke dirinya sendiri.

“Namaku Liona,” ucap si gadis tiba-tiba. “Kamu kayak orang bingung. Tapi lucu.”

Rey nyaris tersedak napasnya sendiri. “Rey.”

“Senang kenal kamu, Rey. Kamu suka nunggu di sini juga?”

“Nggak juga,” jawab Rey jujur. “Aku… cuma lewat.”

Padahal sudah tiga hari ia diam-diam datang ke sini, menunggu momen langit biru itu kembali.

“Aku juga,” kata Liona sambil membuka bekalnya. “Kadang suka duduk di sini karena di rumah rasanya sumpek. Lagi musim listrik padam terus, kan?”

Rey mengangguk. Liona tampak begitu tenang, seolah dunia tak sedang berantakan. Seolah langit biru bukan aneh, melainkan hal biasa. Rey jadi ingin tahu lebih banyak. Tentang dia. Tentang kenapa dunia seolah ikut berubah saat dia datang.

Mereka duduk bersama selama satu jam. Tak banyak bicara. Tapi cukup untuk membuat Rey merasa waktu berjalan lambat. Damai. Langit tetap biru selama itu.

Namun saat Liona pamit, baru beberapa langkah ia pergi, langit langsung kembali pucat. Rey berdiri. Ia mendongak. Langit kembali ke bentuk aslinya: suram dan mati.

Dunia tak mengizinkan keajaiban bertahan lama, pikirnya.


Malamnya, Rey kembali membuka laptop tuanya. Ia mencari di forum-forum bawah tanah, artikel sains alternatif, dan blog-blog aneh yang masih aktif. Satu teori menarik perhatiannya: Fenomena Langit Selektif. Teori konspirasi yang menyebutkan bahwa setelah ledakan atmosfer, dunia telah mengalami ketidakseimbangan dimensi. Langit biru, katanya, hanya akan muncul untuk satu orang setiap harinya—orang yang akan mati hari itu.

“…Satu hari. Satu warna. Satu nyawa.”

Rey bergidik. Tangannya gemetar saat menutup laptopnya.

Apa artinya? Liona… akan mati hari itu? Tapi hari itu sudah berakhir. Dan dia masih hidup. Jadi—tunggu. Kenapa langit jadi biru saat ia bersama Liona?

Kemungkinan lain muncul. Menakutkan. Lebih logis.
Bagaimana kalau… yang akan mati itu adalah dirinya sendiri?

Rey menutup wajahnya dengan kedua tangan.

Tidak mungkin. Tapi… masuk akal. Ia tak pernah melihat langit biru sendiri. Hanya ketika bersama Liona. Dan ketika mereka berpisah, warna itu lenyap.

Besoknya, Rey tak tahan. Ia kembali ke halte.

Liona datang tepat waktu seperti biasa, rambutnya dikuncir dua dengan pita kecil berwarna ungu pudar. Kali ini, Rey tak pura-pura menunggu bus. Ia berdiri.

“Kenapa kamu selalu ke sini?” tanyanya.

Liona tersenyum. “Karena cuma di sini langit bisa terasa… jujur.”

Rey mengernyit. “Jujur?”

“Langit selalu bilang ke aku, hari ini bakal cerah atau kelabu. Tapi aku suka hari-hari cerah. Karena biasanya, orang-orang akan lebih ramah.”

Rey menatapnya lama. “Kamu tahu nggak… kamu mungkin alasan kenapa langit bisa cerah.”

Liona tertawa. “Kamu gombal, ya?”

“Nggak.” Rey mengangkat bahu. “Aku serius.”

Senyap. Tapi Liona tak membalas lagi.

Hari itu, mereka berbagi permen mint, duduk di ayunan taman, dan bercerita soal hal-hal kecil yang dulu pernah ada: festival kembang api, sekolah sore, dan es krim rasa kacang. Liona tampak begitu hidup, seperti gadis dari masa lalu yang tersesat ke masa depan.

Tapi saat Rey menatap langit… ia kembali bingung.

Kalau benar hanya satu orang yang ditandai oleh langit biru setiap harinya… dan langit itu tetap biru selama bersama Liona… apa itu berarti ia sedang menunda kematiannya sendiri?

Dan kalau ia menjauh, apakah ia akan mati hari itu juga?

Di malam yang sepi, Rey memandangi langit dari jendela apartemennya. Pucat. Beku. Kelabu.
Tanpa Liona, dunia ini kembali hambar.

Tapi satu pertanyaan terus menghantuinya:
Apa yang terjadi kalau aku terus bersamanya? Akankah aku hidup… atau justru mengacaukan keseimbangan dunia?

Langit tak menjawab. Tapi ia tahu, jawabannya ada di balik senyum gadis yang membawa warna ke dunia yang nyaris terlupakan.

Bab 2: Gadis yang Membawa Biru

Rey bangun lebih awal dari biasanya. Tidur semalamnya gelisah, penuh bayangan langit yang biru dan wajah Liona yang tak berhenti tersenyum di kepalanya. Ia berjalan tanpa sarapan, membawa secangkir kopi murahan dari vending machine tua dan langkah kakinya langsung menuju halte—tempat segala keanehan dimulai.

Langit masih abu-abu. Dingin. Sunyi.
Tapi dadanya… hangat. Seolah ada yang sedang menunggu.

Dan benar saja, tak lama setelah ia duduk, Liona muncul dari tikungan jalan, melambai riang seperti sudah kenal lama.

“Hai, Rey!” serunya, sambil menyesap susu cokelat kemasan.

Rey mengangguk pelan, pura-pura biasa, padahal jantungnya berdetak seperti drum rusak. Dan saat ia menoleh ke atas, warna itu datang lagi.
Langit… biru. Biru yang sama. Seindah pertama kali ia lihat.

“Kamu selalu bawa langit biru, ya?” godanya pelan.

Liona mengedip. “Kalau iya, kamu harus bersyukur dong, Rey. Karena nggak semua orang bisa lihat warna seindah itu sekarang.”

Rey hanya tersenyum kecil. Ia ingin bilang sesuatu, tapi lidahnya kelu. Ada rasa takut yang aneh—takut bahwa semakin ia dekat dengan Liona, semakin ia jauh dari takdir yang seharusnya. Tapi… bagaimana bisa ia menjauh dari satu-satunya alasan langit bisa terlihat indah lagi?

“Aku suka lihat kamu diem,” kata Liona tiba-tiba.

“Hah?”

“Wajah kamu… kayak langit sore. Adem.”

Rey mengerjapkan mata. Dia masih belum tahu apakah Liona ini naif, jujur, atau memang hidup di dimensi lain yang lebih ringan. Tapi ia menyukai itu. Dunia sudah terlalu berat untuk dipikirkan sendirian.

Mereka duduk cukup lama. Bicara tentang hal-hal kecil: makanan favorit, kucing-kucing liar, film yang tak bisa lagi diputar karena listrik selalu padam. Liona bercerita tentang ibunya yang sekarang tinggal di kota lain, tentang taman bermain masa kecilnya yang kini jadi puing. Tapi ia selalu menyelipkan tawa di tiap ceritanya, seolah luka bukan sesuatu yang harus disimpan dalam-dalam.

“Aku pernah lihat langit biru waktu kecil,” kata Liona lirih. “Waktu itu aku kira itu warna langit satu-satunya. Aku nggak tahu, ternyata bisa hilang.”

“Kamu nggak pernah takut?” tanya Rey. “Kalau semua ini pertanda buruk?”

“Kalau langit cuma biru buat satu orang yang bakal mati hari itu…” Liona menatap awan. “Aku harap orang itu bahagia di jam-jam terakhirnya.”

Rey menegang. “Kamu… percaya itu?”

“Orang-orang suka ngomongin teori aneh. Tapi aku nggak peduli. Yang penting, langit biru itu indah. Dan aku bersyukur masih bisa lihat, meski cuma sebentar.”

Rey tak sanggup menatap matanya. Ia menunduk. Perasaan bersalah mulai tumbuh, seperti akar kecil yang mencengkeram perlahan. Jika memang langit biru itu pertanda kematian… apakah ia sedang mencuri waktu dari takdir?

Tiba-tiba Liona berdiri dan menarik lengan bajunya.

“Ayo.”

“Hah? Ke mana?”

“Temenin aku jalan-jalan. Aku pengen liat apa langit biru bisa ngikutin kita.”

Rey tersenyum tipis dan mengangguk. Mereka berjalan menyusuri jalanan rusak, melewati toko-toko kosong dan taman yang dipenuhi rumput liar. Anehnya, semakin jauh mereka melangkah, langit tetap biru. Awan-awan membentuk pola yang nyaris seperti lukisan.

“Aku selalu mimpi bisa ke tempat tinggi, liat dunia dari atas,” kata Liona. “Pengen tahu… apakah langit juga terasa berbeda di sana.”

“Mau ke atap gedung?” tanya Rey.

“Mau,” jawabnya mantap.

Dan begitulah, mereka menyelinap ke gedung tua yang sudah lama kosong. Tangga daruratnya berderit, dan debu tebal menyambut setiap langkah. Tapi saat mereka tiba di atap, dunia seperti berhenti.

Langit benar-benar biru. Tak ada sisa abu-abu.
Burung-burung kecil beterbangan, dan cahaya matahari menyapu lembut wajah Liona.

“Gila… ini kayak dunia yang udah mati, tapi kita doang yang masih hidup di dalamnya,” ucap Rey pelan.

“Kalau kayak gini, mati juga nggak serem,” gumam Liona tanpa sadar.

Rey langsung menoleh. “Jangan ngomong gitu.”

Liona tertawa, “Bercanda. Tapi serius, ini kayak mimpi.”

Lalu mereka duduk di pinggir atap, menggantungkan kaki dan menatap langit yang tak seharusnya ada. Rey menyentuh tanah beton di sampingnya, memastikan ini nyata. Bahwa ini bukan mimpi.

“Aku takut, Liona.”

Liona melirik. “Takut apa?”

“Takut semua ini bakal hilang. Kamu… langit… semuanya.”

Hening sejenak. Liona menatap jauh ke depan sebelum menjawab.

“Kalau hilang pun… yang penting kita pernah ngerasain, kan?”

Dan Rey tahu, sejak hari itu, ia tak akan bisa menjauh.
Karena di mata Liona, bukan hanya langit yang kembali biru. Tapi juga harapan.

Ia tak tahu berapa lama dunia akan membiarkannya bersama gadis itu. Tapi jika biru hanya muncul untuk satu orang setiap harinya, dan biru selalu datang saat Liona bersamanya…

Maka ia memilih bertahan.
Meskipun setiap harinya, kematian mungkin sedang menunggu di sudut langit yang cerah itu.

Bab 3: Hari Ketiga, Biru Lagi

Langit masih kelabu ketika Rey keluar dari apartemennya.
Dingin, samar, dan penuh bisikan ketidakpastian.

Ia berjalan cepat menyusuri gang, melewati toko roti yang sudah lama tutup dan sepeda berkarat yang tak pernah berpindah tempat. Tapi langkahnya terasa lebih ringan hari ini. Entah karena udara pagi lebih ramah, atau karena sebuah senyum—yang kini tertinggal di kepalanya—masih terus menghantuinya.

Saat ia sampai di halte, langit tetap kelabu.

Liona belum datang.

Rey duduk. Menunggu.
Tangannya meremas kantong celana, cemas tanpa sebab yang jelas. Ada suara di dalam dirinya yang berkata: bagaimana kalau hari ini langit tak berubah? Bagaimana kalau semua ini hanya ilusi sementara?

Lalu Liona muncul.

Masih dengan jaket kebesarannya, rambut dikuncir rendah, dan botol minuman yang selalu penuh stiker. Begitu langkahnya mendekat… Rey mendongak. Dan seperti sulap, langit berubah.

Biru.

Kali ini lebih jernih. Lebih terang. Bahkan matahari tampak malu-malu memancarkan cahayanya, menyentuh pipi Liona yang sedikit kemerahan karena udara pagi.

“Langitnya lucu hari ini,” kata Liona sambil duduk. “Biru banget. Kayak nungguin kita.”

Rey tersenyum kaku. “Atau nunggu kamu.”

Liona menoleh cepat. “Kenapa kamu selalu bilang begitu?”

Rey menelan ludah. “Karena… kamu satu-satunya alasan dunia ini terasa hidup.”

Liona tertawa, tapi tak seceria biasanya. Ada sesuatu yang mengganjal. Dan Rey melihatnya—tatapan kosong sesaat, jemari yang bermain-main gelisah di ujung botol minum, dan senyum yang sedikit dipaksakan.

“Kamu kenapa?” tanya Rey.

Liona menggeleng. “Cuma… tadi malam aku mimpi aneh.”

“Mimpi apa?”

“Langit jatuh.”

Rey mengernyit. “Maksudnya?”

“Langit jatuh ke bumi. Semua orang menjerit, lari, tapi aku malah berdiri diam. Aku ngelihat diriku sendiri dari jauh. Seperti bukan aku. Tapi aku tahu itu aku.”

“Terus?”

“Langit biru itu hancur. Seperti kaca. Dan… aku ada di tengah-tengahnya.”

Rey terdiam. Punggungnya merinding.

“Aku takut, Rey.” Suara Liona mulai pelan. “Apa ini… pertanda?”

Rey ingin memeluknya saat itu juga. Tapi ia hanya menggenggam tangannya pelan.

“Nggak ada yang bakal jatuh,” ucapnya. “Kalau kamu tetap di sini… di sampingku.”

Liona tersenyum. Tapi matanya masih menyimpan pertanyaan.


Hari itu mereka berjalan lebih jauh dari biasanya. Melewati rel kereta yang sudah lama mati, menyusuri gang sempit yang penuh mural warna pudar, dan berhenti di sebuah bukit kecil yang ditumbuhi bunga liar.

Langit tetap biru. Bahkan awan-awan terlihat lebih hidup. Rey mencoba berpikir logis—menganalisa, menghubungkan semua kejadian. Tapi logika tak lagi relevan saat satu hal aneh terus berulang:

Langit hanya biru saat bersama Liona.
Dan ia belum mati.

Berarti…
Kalau bukan Liona yang akan mati hari itu… maka Rey-lah orangnya.

Ia mengingat teori itu lagi. Satu langit biru, satu kematian. Tapi hari-hari terus berlalu, dan ia masih hidup.

Liona menatapnya dari kejauhan, sambil berdiri di antara bunga liar. Angin meniup rambutnya, dan sesaat, Rey merasa melihat kehidupan yang pernah hilang dari dunia ini—yang tersisa hanya dalam dirinya.

Liona berlari kecil ke arahnya. “Aku punya ide.”

“Apa?”

“Ayo bikin daftar keinginan. Kayak… ‘hal-hal yang harus kita lakukan sebelum langit biru ini pergi.’”

Rey mengangkat alis. “Kamu ngomong seolah-olah kita tahu kapan langit itu akan pergi.”

“Justru karena nggak tahu, kita harus manfaatin waktu. Aku mulai duluan, ya?”

Ia mengeluarkan buku catatan kecil dari tasnya. Rey tertawa kecil. Gadis ini benar-benar membawa hal-hal aneh dalam hidupnya.

Liona menulis cepat. “Nomor satu: naik sepeda tandem. Nomor dua: baca buku di atap sambil makan buah. Nomor tiga: nyanyi keras-keras di tempat umum.”

“Yang ini bisa bikin kita ditangkap,” komentar Rey.

“Biarin. Setidaknya kita bisa ketawa sebelum itu terjadi,” jawab Liona sambil mencoret tambahan: “Nomor empat: bikin seseorang tersenyum di hari terburuk mereka.”

Rey terdiam. Ia memandangi tulisan-tulisan kecil itu. Benda sederhana yang tiba-tiba terasa seperti penunda waktu. Seperti tali yang menahannya dari jatuh ke dalam jurang ketidakpastian.

“Kalau kamu?” tanya Liona.

Rey menarik napas. Lalu berkata pelan, “Nomor satu: jagain kamu sampai akhir.”

Liona menatapnya. Wajahnya diam, tak ada senyum, tak ada tawa.

Dan di saat itu juga, awan gelap mulai bergerak perlahan di sudut langit.
Langit biru… mulai retak. Sedikit demi sedikit. Seolah mendengar janji Rey dan bersiap membalas.

Liona berdiri. “Kita harus pulang. Aku tiba-tiba ngerasa aneh.”

Rey mengangguk. Tapi di dalam hatinya, ada sesuatu yang mulai bergolak. Dunia tahu mereka sedang menantang aturan. Dan mungkin, hari ini akan ada harga yang harus dibayar.

Mereka kembali menyusuri jalan kota yang perlahan menjadi pucat. Warna langit memudar. Angin berubah dingin. Rey meraih tangan Liona saat mereka melewati lorong kosong.

Liona menggenggam balik. Tapi suaranya bergetar saat berkata, “Rey… kalau suatu hari kamu nggak liat langit biru lagi, janji ya… tetap hidup.”

Rey menatapnya dalam.

“Kalau nggak ada kamu, untuk apa hidup?”

Dan langit benar-benar berubah kelabu.

Bab 4: “Kau Membuat Dunia Lebih Cerah”

Liona tidak datang hari itu.
Rey menunggu cukup lama di halte tua yang kini terasa seperti sisa dari dunia yang pernah hidup. Duduk di bangku yang dinginnya meresap ke tulang, ia menatap langit yang sejak pagi tak kunjung berubah. Kelabu. Mati. Datar.

“Liona…” gumam Rey, gelisah.

Tangannya bergetar saat menyalakan ponsel. Tidak ada pesan masuk. Tidak ada panggilan. Ia mencoba menghubungi nomor Liona yang baru ia simpan dua hari lalu. Tapi yang ia dengar hanya suara operator, mengambang seperti kabut: “Nomor yang Anda tuju tidak dapat dihubungi.”

Untuk pertama kalinya sejak semua ini terjadi, Rey merasa takut.
Bukan takut pada langit… tapi pada dunia yang mungkin telah mulai mengambil kembali apa yang seharusnya ia lepaskan.

Ia berdiri. Langit tetap abu-abu.


Siang itu, Rey memutuskan mencari ke tempat-tempat yang pernah mereka datangi. Bukit bunga liar. Atap gedung tua. Bahkan gang mural pudar yang biasa mereka lewati. Tapi semua kosong. Tanpa jejak. Tanpa suara. Langit pun masih belum biru.

Saat ia sampai di taman belakang kota, ada seorang wanita tua yang duduk di bangku panjang, memberi makan burung.

Rey bertanya, “Bu, pernah lihat seorang gadis? Namanya Liona. Rambutnya dikuncir, sering bawa botol warna-warni…”

Wanita itu menggeleng, lalu menatapnya dengan tajam. “Langit hari ini… nggak cocok buat nyari orang.”

Rey mengernyit. “Maksud Ibu?”

“Langit punya cara sendiri buat bicara, Nak. Kalau dia diem… berarti ada sesuatu yang disembunyikan.”


Saat matahari mulai condong ke barat, Rey akhirnya duduk sendiri di bawah pohon besar, putus asa. Langit masih kelabu. Tidak ada tanda-tanda bahwa Liona akan muncul, atau bahwa dirinya akan mati hari ini.

Lalu suara itu datang—lembut dan penuh kejutan.

“Kamu nyari aku?”

Rey sontak berdiri.

Liona berdiri tak jauh dari pagar taman, rambutnya terurai, wajahnya pucat. Tapi ia tersenyum, meski senyumnya lebih lelah dari biasanya.

“Kamu ke mana aja?” tanya Rey, nyaris tergesa.

“Maaf. Aku harus ke rumah sakit tadi pagi. Nemenin nenekku. Nggak sempat ngabarin.”

Rey menarik napas lega. Tapi rasa khawatir belum pergi.
“Kenapa kamu nggak bilang sebelumnya?”

Liona tertawa kecil. “Kamu kayak ayahku aja. Eh… maksudku, kalau dia masih ada.”

Rey menghampirinya. “Langit nggak biru hari ini.”

Liona mengangguk. “Aku tahu.”

“Berarti hari ini…” Rey menelan ludah. “…nggak ada yang mati?”

Atau justru… takdir kembali bekerja karena mereka tak bersama?

Liona duduk di bangku batu taman. “Mungkin… langit butuh istirahat juga. Dia kan capek setiap hari harus jadi penanda kematian.”

Rey mengangguk, meski pikirannya jauh dari tenang. Ia duduk di samping Liona, memandangi langit kelabu. Tapi berbeda dengan hari-hari sebelumnya, kelabu ini terasa berat. Seperti pertanda. Seperti ancaman yang menggantung.

“Aku pengen tanya sesuatu,” kata Liona tiba-tiba.

“Hm?”

“Kamu percaya kalau hidup kita udah ditulis sebelumnya?”

Rey menoleh. “Kamu bicara soal takdir?”

“Iya. Kayak, kita cuma jalanin skrip yang udah ditetapkan. Tapi… kadang aku mikir, kalau emang udah ditulis, kenapa perasaan kita bisa berubah? Kenapa kita bisa pilih untuk mencintai… atau menghindar?”

Rey terdiam. Ia tak tahu harus menjawab apa.

Liona menatapnya, matanya tak seceria kemarin. “Aku pernah sakit, Rey. Beberapa tahun lalu. Hampir nggak selamat. Sejak itu, aku mulai ngerasa setiap hari yang dikasih langit itu pinjaman.”

Rey menahan napas. Baru kali ini Liona bicara soal hal serius seperti ini.

“Aku selalu berpura-pura kuat,” lanjut Liona pelan, “karena kalau aku kelihatan rapuh, dunia bakal keliatan makin rusak. Makanya aku senyum. Tertawa. Cerita hal-hal bodoh…”

“Dan langit jadi biru,” sambung Rey.

Liona menoleh padanya, tersenyum. “Mungkin langit suka lihat aku bahagia.”

“Atau… dia cuma meniru kamu.”

Rey meraih tangan Liona.

“Kau membuat dunia lebih cerah, Liona. Bukan langit. Tapi kamu.”

Liona tertawa, pelan, jujur, dan nyaris menangis. “Gombal.”

“Tapi bener.”

Hening menyelimuti mereka sesaat. Angin berembus lembut, membawa bau tanah dan daun basah. Langit perlahan memudar menjadi biru pucat—tidak seterang biasanya, tapi cukup untuk membuat Rey terdiam.

Mereka saling menatap. Tak ada yang bicara. Tapi keduanya tahu… ini bukan hal biasa.

Karena hari itu, langit biru muncul terlalu sore.
Dan langit tidak pernah biru dua kali dalam sehari.

Malamnya, Rey terbangun dari tidur karena suara getaran ponsel.

Satu pesan masuk.
Dari nomor tak dikenal.

“Kau telah mengacaukan sistem, Rey. Kau ditandai.”
“Besok, langit akan menjadi biru. Tapi bukan untukmu lagi.”

Rey menatap layar ponsel dengan tubuh gemetar.

Dan untuk pertama kalinya…
ia tahu langit telah memilih korban barunya.

Bab 5: Surat dari Orang yang Tak Pernah Kembali

Langit masih biru pagi itu. Tapi bukan biru yang hangat.
Warnanya dingin, diam, dan terlalu sempurna. Seperti dicetak, bukan hidup.

Rey duduk di kamar kecilnya, memandangi amplop lusuh yang baru saja ditemukan di bawah tumpukan buku tua milik ayahnya. Sebuah surat yang tertulis rapi dengan tinta pudar, tanpa tanggal, tanpa alamat. Hanya satu nama di depannya:

Untuk Rey.

Tangannya bergetar saat membukanya. Di dalam, ada dua lembar kertas dan satu foto kecil: dirinya saat masih kecil, duduk di atas bahu ayahnya, menatap langit yang dulu biru dengan senyum lebar. Wajah yang belum tahu apa pun tentang kehilangan.

Rey menarik napas, lalu membaca:

“Jika kamu menemukan surat ini, berarti kamu sudah menyadari sesuatu tentang dunia yang orang lain abaikan. Tentang langit, tentang pola kematian yang aneh, dan tentang sistem yang bekerja diam-diam di balik warna.”

“Dulu aku pikir aku bisa melawan. Aku membangun alat, menganalisis pola langit, bahkan menyusup ke pusat sistem yang mengatur distribusi ‘warna kematian’ ini. Tapi semakin dalam aku masuk, aku sadar… sistem ini bukan sekadar teknologi. Ini adalah kesepakatan antara manusia dan sesuatu yang lebih tua dari dunia.”

Rey berhenti membaca sejenak. Tenggorokannya terasa kering.

Ia melanjutkan:

“Satu warna biru untuk satu nyawa. Begitu cara mereka menjaga keseimbangan. Tapi itu tidak adil. Karena manusia tidak bisa diukur dari warna. Tidak bisa ditentukan nasibnya oleh sistem yang tidak mengenal cinta.”

“Aku tahu suatu saat kamu akan melihat langit biru lagi, Rey. Tapi kamu harus paham, biru itu bukan hadiah. Itu peringatan. Dan jika kamu menemukan seorang yang selalu membawa warna itu… maka dia lebih penting dari siapa pun.”

Rey meremas surat itu. Matanya mulai panas.

“Lindungi dia. Bukan hanya karena dia mungkin akan diambil. Tapi karena dia membawa harapan yang tak bisa dibuat ulang. Jangan ulangi kesalahanku… membiarkan orang yang paling berarti pergi, demi sebuah aturan yang bahkan tak bisa dijelaskan.”

Surat ditutup dengan tulisan kecil:

“Langit itu harus hidup, Rey. Bukan sebagai alat, tapi sebagai cermin perasaan manusia. Dan hanya orang seperti kamu… yang bisa mengubah itu.”

Rey menatap foto lama itu lagi. Dulu, ia berpikir ayahnya hanya pergi dan meninggalkan mereka. Tapi sekarang ia tahu—ayahnya memilih menghilang demi mencari cara menyelamatkan dunia. Dan mungkin, ia gagal.

Tapi Rey belum.
Belum… selama Liona masih hidup.


Hari itu, ia bertemu Liona di halte, seperti biasa. Tapi kali ini, ia membawa surat itu.

“Ini dari ayahku,” kata Rey, menyerahkan surat yang sudah dilipat rapi.

Liona membacanya perlahan. Semakin lama, senyumnya memudar, digantikan oleh kesedihan yang dalam. Ia menatap Rey lama, lalu memeluknya tanpa bicara sepatah kata pun.

Dan saat mereka saling diam di bawah langit biru itu, Rey sadar:

Biru yang ini… bukan peringatan. Bukan ancaman.
Ini adalah keputusan.

Langit sedang menunggu. Menunggu apakah mereka akan tunduk… atau melawan.

“Liona,” kata Rey akhirnya, “kalau aku bilang aku siap bertaruh seluruh dunia demi kamu… kamu akan tetap di sini, kan?”

Liona menatapnya, mata berkaca.

“Aku gak pernah pergi, Rey. Tapi kalau dunia yang nyuruh aku pergi, kamu harus tahu… aku gak akan pergi tanpa perlawanan.”

Dan saat itu, Rey tahu—ia tidak sendiri.
Ia punya surat.
Ia punya Liona.
Dan ia punya langit, yang akhirnya… mulai ragu.

Bab 6: Jejak Biru yang Tak Bisa Dilupakan

Langit pagi itu kelabu.
Tapi bukan kelabu yang biasa.
Ada ketegangan mengendap di udara, seolah langit menahan napasnya sendiri.

Rey berdiri di depan cermin kamar mandi. Wajahnya tampak lebih tua dari semalam. Lingkar matanya gelap, seperti tak tidur sekejap pun. Dan memang benar, ia tak tidur—bukan karena kopi, tapi karena pesan itu.

Kau telah mengacaukan sistem, Rey. Kau ditandai.
Besok, langit akan menjadi biru. Tapi bukan untukmu lagi.

Ia mencoba berpikir. Apakah ini semacam ancaman? Atau peringatan? Siapa yang bisa mengirim pesan semacam itu? Dan lebih penting lagi—apa maksudnya bahwa langit biru bukan lagi untuk dirinya?

Rey menarik napas panjang dan mengenakan jaketnya. Hatinya tak tenang.
Ia tahu hari ini, ia harus menemukan Liona.
Sebelum langit bicara lebih dulu.


Di halte, Liona sudah menunggu. Duduk dengan tangan bersilang di dada, rambutnya tergerai karena angin, dan wajahnya terlihat lelah, seperti sudah menanti terlalu lama.

Rey mendekat pelan. Ia tidak langsung duduk. Ia berdiri di hadapannya, memandangi gadis itu seolah ingin mengingat semua detailnya—mata, bibir, ekspresi, bahkan cara dia memainkan ujung lengan bajunya.

“Kamu kenapa?” tanya Liona, lirih.

Rey menggeleng. “Aku cuma… takut kehilangan langit biru.”

Liona mengangkat wajah. Menatapnya. “Kamu bicara tentang aku atau langitnya?”

“Dua-duanya.”

Liona tersenyum. Lalu, perlahan, menepuk bangku di sampingnya. “Duduklah. Hari ini kita ke tempat yang beda.”

Rey menurut. Ia duduk dan mencoba melupakan pesan tadi malam, mencoba berpura-pura bahwa hari ini seperti hari-hari sebelumnya. Tapi dadanya berat. Seperti diseret oleh sesuatu yang tak kasat mata.

Langit masih kelabu.

Mereka berjalan ke sebuah danau kecil di pinggir kota—tempat yang dulu populer untuk piknik dan festival kembang api. Sekarang, tempat itu sepi. Airnya tenang, namun memantulkan bayangan awan suram yang tak kunjung pecah.

“Dulu, aku pernah ke sini sama ayah,” ucap Liona sambil menatap air. “Dia suka mancing. Aku suka duduk di tepi sambil nyanyi lagu-lagu aneh. Kami jarang bicara. Tapi hari itu… kami tertawa.”

Rey duduk di sampingnya. “Kenapa kamu cerita ini sekarang?”

Liona menoleh. “Karena aku nggak tahu… sampai kapan aku bisa cerita.”

Kalimat itu menusuk. Rey menahan napas.
Apakah Liona juga mendapat pesan seperti dirinya?

“Kamu tahu,” lanjut Liona, “kadang aku berpikir, mungkin aku nggak seharusnya bahagia.”

“Kenapa kamu bilang begitu?”

“Karena setiap kali aku bahagia, sesuatu yang buruk pasti menyusul.”

Rey menatapnya. “Jangan bilang gitu.”

“Tapi itu yang aku rasain.”

Rey menggenggam tangannya, erat.

“Dunia ini udah cukup kejam, Liona. Jangan kamu ikut-ikutan jadi jahat ke dirimu sendiri.”

Liona menarik napas dalam. Air matanya menggenang, tapi tidak jatuh. Ia mengalihkan pandangannya ke langit yang mulai berubah.

Pelan. Sangat pelan.

Sebaris cahaya biru muncul dari balik awan. Menyebar perlahan, seperti tinta di atas air. Rey dan Liona saling menatap. Tanpa berkata apa-apa, keduanya tahu—momen itu telah datang.

“Langitnya… indah,” ucap Liona pelan.

Rey berdiri. Ia merasa tubuhnya mulai lemas. Kepalanya pusing. Tapi ia tetap berdiri, menatap langit yang kini membiru sepenuhnya.

Namun kali ini berbeda.

Biru itu dingin.
Tidak hangat. Tidak nyaman. Tidak seperti biasanya.

“Rey…” Liona menyentuh lengannya. “Kamu pucat.”

“Aku baik-baik saja,” dusta Rey.

Padahal tidak.
Keringat dingin membasahi punggungnya. Matanya mulai berkunang. Tapi ia tidak bisa jatuh. Tidak sekarang.

“Kalau hari ini kamu adalah orang yang ditandai…” suara Liona bergetar, “aku pengen tetap di sini. Sampai akhir.”

Rey memejamkan mata.

“Dan kalau yang ditandai itu kamu?” tanyanya perlahan.

Liona terdiam.
Langit tetap biru.
Dan waktu terus berjalan, tanpa belas kasih.


Beberapa jam kemudian, mereka duduk di atas batu besar di tepi danau. Tak bicara. Hanya saling bersandar, saling meminjam napas satu sama lain.

Liona menyelipkan sesuatu ke saku jaket Rey. Sebuah kertas kecil, dilipat rapi.

“Nanti… kalau aku nggak bisa cerita lagi, kamu bisa baca itu.”

Rey menggenggam kertas itu erat, tanpa membukanya.

Dan ketika senja turun perlahan, langit masih biru. Tapi birunya bukan lagi tanda kehidupan. Ada sesuatu yang janggal di balik keindahan itu. Seolah biru ini bukan anugerah—tapi peringatan.

Malam itu, Rey kembali ke apartemennya dengan kepala pening dan tubuh gemetar. Ia membuka lipatan kertas itu di bawah cahaya lampu kecil di sudut meja.

Tulisan tangan Liona, goyah tapi jujur:

Aku tahu sejak awal.
Aku tahu aku yang ditandai.
Tapi aku tetap datang… karena kamu membuat dunia ini lebih hidup dari yang pernah aku rasakan.

Dan Rey… hanya bisa menunduk, menatap langit malam yang kini benar-benar tak lagi punya warna.

Bab 7: Melawan Langit

Langit tak pernah sekacau ini.

Pagi itu, biru muncul bahkan sebelum Liona datang.

Rey menatap ke langit dari balkon apartemennya, tubuhnya masih lemas, kepala berat, dan jantungnya berdebar tanpa irama. Tak pernah sebelumnya warna itu datang lebih dulu. Selalu sesudah. Selalu saat Liona hadir.

Tapi sekarang… biru itu sudah di sana.
Terlalu terang. Terlalu cepat.
Dan Rey tahu, sesuatu sedang berubah.

Ia segera mengenakan jaket dan berlari turun tanpa sarapan, tanpa tujuan selain satu: menemukan Liona sebelum langit benar-benar mengambil sesuatu yang tak bisa ia kembalikan.


Liona tidak di halte.
Tidak di taman. Tidak di bukit. Tidak di danau.

Langit tetap biru.

Rey terus berlari, memanggil namanya di antara jalanan kosong, menelusuri gang-gang kecil yang mulai diselimuti cahaya matahari yang menipu. Hatinya dilanda rasa bersalah yang berat—karena ia tahu, semalam, ia tak melakukan apa pun untuk menghentikan semua ini.

Ia hanya membaca. Membaca surat itu. Diam. Tak bergerak.

Dan kini, langit datang lebih dulu.


Ketika ia sampai di perpustakaan kota yang sudah hampir runtuh, Rey melihatnya—Liona berdiri di depan pintu, mengenakan sweater abu dan celana panjang longgar. Ia tampak tenang, seolah tahu Rey akan datang.

“Langit udah biru, ya?” tanyanya sambil tersenyum.

“Liona,” suara Rey parau, “jangan pergi ke mana-mana hari ini. Kumohon.”

Liona tertawa pelan, “Aku nggak ke mana-mana kok. Justru aku nunggu kamu.”

Rey mendekat, menahan napas. Ia ingin memeluknya, tapi takut sentuhannya akan jadi awal dari akhir.

“Kita bisa sembunyi. Kita bisa pergi ke kota lain. Kita bisa…”

“Rey,” potong Liona lembut, “aku tahu kamu sayang aku. Tapi kamu nggak bisa kabur dari langit.”

“Siapa bilang?” suara Rey meninggi. “Kalau langit bisa berubah karena kamu, karena kita, kenapa kita nggak bisa ubah sistemnya?”

Liona terdiam. Rey menatapnya dalam-dalam.

“Kita udah bikin langit bingung, Lia. Dia nggak tahu siapa yang harus dia ambil. Kita bikin dia ragu. Dan selama kita tetap bareng, dia gak bisa mutusin siapa yang ditandai. Kita bisa ganggu sistem ini!”

Liona perlahan mendekat dan menggenggam tangannya. Jemarinya dingin.

“Kamu pikir kita bisa menang dari sesuatu yang nggak kelihatan? Yang bahkan nggak bisa kita pahami?”

Rey mengangguk. “Aku nggak peduli kita kalah. Tapi aku nggak mau diem aja waktu kamu diambil.”

Liona tersenyum. Kali ini bukan senyum polos seperti biasanya. Tapi senyum yang menyakitkan—senyum seseorang yang sudah lama berdamai dengan nasibnya.

“Rey… kamu tahu kenapa aku terus datang, meski tahu langit mungkin bakal ngambil aku?”

Rey menggeleng, matanya mulai basah.

“Karena aku gak mau kamu sendirian waktu itu terjadi.”

Rey menariknya ke pelukan. Liona gemetar di dadanya, dan dunia terasa lebih sunyi dari biasanya. Tapi mereka tak peduli.

Langit bisa melihat. Tapi mereka tak akan tunduk.


Mereka kembali ke danau. Duduk di tempat biasa. Tapi kali ini, Rey datang dengan rencana.

“Ada tempat di luar batas kota. Dulu, katanya langit di sana gak bisa dilihat. Tertutup kabut sepanjang tahun. Kita bisa ke sana malam ini.”

Liona menatapnya. “Kalau itu gagal?”

“Setidaknya kita mati sambil lari, bukan sambil pasrah.”

Liona terdiam. Lama.

Lalu dia berkata, “Kalau kita kabur… langit mungkin bakal pilih korban lain. Anak kecil. Orang tua. Siapa pun.”

Rey membatu. Ucapan itu seperti hantaman.

“Kamu pikir sistem ini cuma ngikutin kita?” lanjut Liona. “Kalau dia gak dapet kita, dia bakal ambil yang lain.”

“Jadi kita harus biarin dia ambil kamu?”

“Bukan. Tapi kita gak bisa egois. Kita harus cari cara lain…”

Rey menatap langit yang masih biru. Terlalu biru. Seolah dunia sedang menonton.

“Aku bakal cari jawabannya,” bisiknya. “Entah dari mana.”

Liona hanya mengangguk. Mereka berdua tahu waktu mereka terbatas. Tapi untuk hari itu, mereka memilih diam di sana—berbagi ketakutan dalam keheningan yang panjang.


Malam tiba. Tapi langit tetap biru, dan itu belum pernah terjadi. Seharusnya biru hanya muncul di siang hari. Ini bukan lagi pertanda. Ini peringatan.

Saat Rey kembali ke apartemennya, ia menemukan pintu terbuka sedikit. Hati-hatinya melonjak, dan ia langsung masuk.

Di meja, ada selembar kertas. Dicetak rapi. Bukan tulisan tangan Liona.

“Jika kau terus melawan, dunia akan runtuh. Pilihannya sederhana: satu nyawa… atau semuanya.”

Rey menatap tulisan itu dengan napas tercekat.

Mereka tahu. Mereka memperingatkan. Dan sekarang… dunia benar-benar mulai bereaksi.

Langit telah memilih.
Dan Rey tahu, ia harus bertindak sebelum semuanya hancur.

Bab 8: Rahasia yang Pecah di Tengah Hujan

Hujan turun malam itu, tapi langit tetap biru.
Tidak masuk akal. Tidak alami.

Rey berdiri di balkon apartemennya, memandangi tetesan hujan yang jatuh lambat, seperti enggan membasahi dunia. Langit di atasnya bersinar terang, tapi hatinya gelap.

Ia memegangi kertas ancaman yang ia temukan sore tadi. Tulisannya dingin dan jelas:
Jika kau terus melawan, dunia akan runtuh. Pilihannya sederhana: satu nyawa… atau semuanya.

Siapa mereka? Siapa yang bisa menulis kalimat seperti itu dengan begitu yakin? Dan bagaimana mereka tahu Rey akan tetap menolak?

Rey tahu satu hal: ia tak bisa diam.


Keesokan harinya, ia menemui Liona lebih pagi dari biasanya. Tapi gadis itu sudah duduk di bangku taman, lengkap dengan termos teh hangat dan selimut kecil di pangkuannya. Seolah sudah tahu Rey akan datang dengan kekacauan di dadanya.

“Liona,” kata Rey, napasnya belum teratur, “kita harus pergi.”

Liona menatapnya. “Kemana?”

“Ada satu tempat. Di luar batas kota. Dulu ayahku pernah cerita tentang pusat pengamatan langit—mereka nyebutnya ‘Menara Kaca.’ Tempat terakhir yang merekam langit biru sebelum semuanya berubah. Mungkin… jawabannya ada di sana.”

Liona diam sejenak. “Dan kalau enggak?”

“Kita tetap pergi. Tetap lari. Setidaknya kita nggak tinggal diam.”

Liona tersenyum tipis. “Aku ikut.”

Rey lega, tapi di sisi lain… takut.
Karena semakin jauh mereka pergi, semakin besar pula taruhannya.


Perjalanan ke Menara Kaca tidak mudah. Mereka harus melewati hutan mati, menyusuri jalan yang sudah ditelan waktu, dan menyeberangi sungai dangkal dengan jembatan roboh. Tapi mereka tetap melangkah.

Langit mengikuti mereka.
Masih biru. Masih tak berubah.

Dan selama itu, Liona sesekali terbatuk. Tubuhnya mulai lemah. Tapi ia tak pernah mengeluh. Rey tahu, dia sedang berpacu dengan waktu. Dengan takdir. Dengan sesuatu yang lebih besar dari mereka.

Saat malam mulai turun, mereka tiba di depan Menara Kaca.

Bangunannya tinggi, kaca-kacanya retak, dan sebagian besar pintunya sudah hancur. Tapi di dalamnya, peralatan masih terlihat: komputer tua, panel-panel kontrol, dan sebuah layar besar yang kini mati total.

Rey menyalakan lampu darurat dari ponselnya dan berjalan ke pusat ruangan.

“Ayahku pernah kerja di sini,” bisiknya. “Dia bilang, tempat ini dulu bisa membaca perubahan warna langit. Sampai suatu hari… sistemnya dimatikan.”

“Kenapa?” tanya Liona.

“Karena sistemnya menunjukkan data aneh. Bahwa langit mulai memilih orang. Bukan secara acak, tapi berdasarkan pola emosi. Kesedihan. Harapan. Rasa ingin hidup.”

Liona diam. Ia menunduk, dan suaranya nyaris tak terdengar.

“Jadi… aku dipilih karena aku pengen hidup?”

“Justru karena kamu gak menyerah,” jawab Rey. “Kamu bikin langit bingung. Dan itu bahaya buat mereka.”

“Mereka siapa, Rey?”

Rey tak bisa menjawab. Tapi ia tahu satu hal: mereka sedang diawasi.


Saat mereka sedang menyusuri ruangan, Rey menemukan pintu kecil di belakang tumpukan peralatan. Ia membukanya, dan di dalam, mereka menemukan ruangan tersembunyi. Dindingnya dipenuhi catatan. Foto. Grafik.

Dan di tengah ruangan, layar menyala dengan satu kalimat:

“Langit tidak salah memilih. Tapi kadang, langit bisa dilawan.”

Rey membeku. Liona berjalan mendekat dan membaca tulisan lainnya di bawah layar. Sebuah nama: Dr. Elmaris Revaldi. Ayah Rey.

“Ini tulisan ayahmu?” bisik Liona.

Rey mengangguk pelan. Hatinya campur aduk. Ia tak tahu bahwa ayahnya pernah mencoba melawan sistem ini. Dan kini, ia mengerti—kenapa ayahnya menghilang bertahun-tahun lalu, tanpa kabar.

Ia bukan sekadar ilmuwan. Ia pejuang.
Dan Rey… sedang melanjutkan perjuangan itu.


Tiba-tiba suara alarm berbunyi.

Bukan dari luar. Tapi dari layar.

Tulisan baru muncul:

“Penanda emosi terdeteksi. Objek: Liona H. Sistem memproyeksikan eksekusi dalam 24 jam.”

Rey mendekati layar, marah. “Hentikan ini!”

Tapi sistem tak menjawab.
Ia hanya menampilkan satu gambar: Liona.
Dengan angka waktu mundur di bawahnya.
23 jam, 59 menit.

Liona menyentuh layar. Wajahnya tenang. Tapi Rey tahu—di dalam, dia takut.

“Rey… kalau aku yang dipilih, jangan ganggu keseimbangan dunia. Kamu tahu apa akibatnya kalau kita terus melawan.”

Rey menggeleng, mata basah. “Aku gak bisa kehilangan kamu.”

Liona memeluknya. “Kalau kamu sayang aku… lindungi yang lain. Jangan biarkan sistem ini terus ambil orang berdasarkan rasa.”

Dan di tengah ruangan tua itu, dengan dunia yang perlahan menghitung mundur hidup seorang gadis yang membawa warna ke langit, Rey sadar:

Ia tidak hanya harus menyelamatkan Liona.
Ia harus menyelamatkan sistem dari kesalahan.

Dan untuk itu, ia harus melakukan satu hal yang paling sulit:

Meninggalkan gadis yang ia cintai… demi mencari cara membebaskannya.

Bab 9: Hari Terakhir yang Paling Indah

Pagi datang terlalu cepat.
Dan waktu tak lagi terasa sebagai sekadar detik.
Kini, setiap hembusan angin seperti pengingat bahwa hari ini bisa jadi yang terakhir.

Rey menatap jam tangan bekas milik ayahnya.
19 jam, 12 menit.
Waktu yang tertulis di layar Menara Kaca semalam.
Hitungan mundur yang bukan hanya soal kematian, tapi juga tentang kehilangan warna dari satu-satunya orang yang membuat dunia terasa hidup kembali.

Di sampingnya, Liona masih tertidur, berselimut jaket Rey yang lusuh. Wajahnya tenang, damai. Tapi di balik itu, Rey tahu—ia menyimpan rasa takut yang tak diucapkan. Liona tahu ia sedang dihitung. Dan ia memilih untuk tidak kabur. Tidak marah. Tidak melawan.

Ia hanya… menerima.

Rey tidak bisa.

Ia keluar dari ruangan, berdiri di teras kecil Menara Kaca, menatap langit yang—entah kenapa—hari ini terlihat paling biru dari sebelumnya. Sebiru matanya saat pertama kali ia melihat Liona di halte itu. Sebiru hari saat mereka menyusuri jalanan sepi dan tertawa di bukit bunga liar.

Langit ini bukan hadiah. Ini perpisahan yang dibungkus keindahan.

Dan Rey tidak akan membiarkannya terjadi.


Ia kembali masuk ke ruangan rahasia. Mencoba menyalakan kembali komputer pusat. Tangannya gemetar, pikirannya kacau, tapi tekadnya utuh. Ia mencari nama ayahnya di dalam file sistem. Menemukan direktori yang tersembunyi—bernama “RESET_0.”

Saat ia membukanya, layar berubah.

“Jika kau membaca ini, itu berarti kau sudah kehilangan cukup banyak untuk ingin melawan.”

“Sistem langit bekerja dengan satu prinsip: kestabilan dunia diukur lewat emosi manusia. Semakin kuat ikatan seseorang, semakin besar kemungkinan ia dipilih. Karena sistem percaya, kesedihan yang besar… membuat orang-orang lainnya belajar.”

“Tapi mereka lupa, tidak semua kehilangan membuat manusia belajar. Ada yang justru hancur.”

Rey membeku. Napasnya sesak.
Itu benar. Jika Liona hilang, ia tidak akan belajar. Ia akan… hilang bersama langit itu.

Layar menampilkan dua pilihan:

1. Biarkan sistem bekerja. Dunia tetap stabil. Liona pergi.
2. Hentikan sistem. Dunia kacau. Tapi tak ada yang harus dikorbankan.

Rey menatapnya lama.
Dunia… atau Liona.

Dan saat itu, Liona berdiri di ambang pintu. Wajahnya pucat, tapi matanya tetap jernih.

“Aku tahu kamu akan sampai di titik ini,” katanya lembut.

Rey menoleh. “Kita bisa ubah semuanya. Aku cuma perlu pencet satu tombol.”

Liona mendekat. “Dan berapa banyak yang akan mati karena itu?”

“Kenapa kamu selalu siap menyerah, Liona?” suara Rey meninggi. “Kenapa kamu gak mau aku selamatin kamu?”

“Karena aku gak mau hidup dengan rasa bersalah yang lebih besar dari kematian.”

Rey menunduk. Lututnya lemas. Ia benci ini. Benci dunia yang membuat pilihan jadi senjata. Tapi Liona memeluknya dari belakang. Hangat. Lembut. Seperti langit biru yang ia cintai.

“Ayo kita jalani hari ini,” bisik Liona. “Tanpa tombol. Tanpa sistem. Tanpa keputusan yang berat. Ayo kita bikin hari terakhir ini… jadi hari paling indah yang pernah kita punya.”

Rey tak menjawab. Tapi ia mengangguk pelan.


Mereka turun dari menara, berjalan menyusuri jalan yang pernah mereka lalui. Liona meminta satu hal: “Bawa aku ke tempat yang kamu paling suka, tapi belum pernah kamu tunjukin.”

Dan Rey pun membawanya ke reruntuhan planetarium. Tempat yang dulu ia kunjungi bersama ayahnya. Tempat di mana ia pertama kali belajar bahwa langit punya cerita.

Di bawah kubah kaca yang retak, mereka duduk. Liona membaringkan kepala di bahu Rey.

“Kamu tahu,” bisiknya, “kalau hari ini benar-benar akhir… aku gak akan sedih. Karena aku pernah tahu rasanya dicintai.”

Rey menahan air mata yang nyaris jatuh. Ia ingin membalas, tapi kata-kata tersangkut di dadanya.
Jadi, ia hanya mengecup kening Liona.

Mereka tertawa. Berbagi cerita-cerita kecil. Makan roti kering dan berbagi sisa minuman.
Waktu terus berdetak.

Dan saat matahari mulai turun, langit tetap biru.
Tapi birunya kini bukan tentang kematian. Bukan tentang sistem.

Biru ini… milik mereka.

Liona menatap mata Rey, lama.
“Kalau aku pergi… jangan benci langitnya.”

Rey menggenggam tangannya. “Kalau kamu pergi, aku akan warnai langit sendiri.”

Liona tersenyum. Napasnya mulai melemah.

Jam tangan Rey menunjukkan 00:00.
Waktu habis. Tapi tak ada ledakan. Tak ada cahaya. Tak ada angin aneh yang merenggut siapa pun.

Hanya diam.
Dan detik setelah itu, Liona masih di sana. Masih hidup. Masih bernapas.

Rey panik. “Liona?”

Tiba-tiba, layar ponsel Rey menyala sendiri.
Satu pesan masuk:

“Sistem gagal memilih. Target terlalu manusiawi.”
“Kita akan datang langsung. Bersiaplah.”

Dan langit… mulai berubah warna.
Bukan biru. Bukan kelabu.

Tapi merah tua.
Seolah dunia… sedang marah.

Bab 10: Langit Baru, Dunia Baru

Langit tak lagi biru.
Kini, merah merambat di atas kepala mereka—gelap, pekat, seperti darah yang menetes dari langit. Dan dunia… seolah menahan napas.

Liona memegangi tangan Rey erat. Tubuhnya masih lemah, tapi matanya tetap hidup.

“Apa itu?” tanyanya lirih.

Rey tidak menjawab. Ia hanya memandangi langit seperti hendak membaca masa depan di antara awan merah yang bergulung-gulung. Dalam hatinya, ia tahu: ini bukan lagi tentang langit yang menandai kematian. Ini tentang dunia yang tak bisa menerima bahwa dua orang kecil berani menolak perannya.

Mereka kembali ke Menara Kaca. Tapi saat mendekat, Rey langsung berhenti. Menara itu kini diselimuti kabut hitam. Dan di depan pintunya… berdiri sosok yang tak sepenuhnya manusia.

Siluet tinggi dengan tubuh seperti bayangan yang terus bergoyang, tanpa wajah, tanpa bentuk. Tapi saat ia bicara, suara itu seperti gema dari langit itu sendiri.

“Kalian melanggar. Kalian mengacaukan keseimbangan.”

Rey berdiri di depan Liona, melindungi.

“Aku tidak akan biarkan kalian ambil dia.”

Sosok itu mendekat, perlahan.

“Manusia dibentuk dari kehilangan. Dari duka. Kalian menunda satu kematian. Tapi akibatnya, ratusan lainnya tertunda. Dunia ini rapuh. Dan kalian… egois.”

Rey melangkah maju. “Kalau dunia ini butuh kematian untuk tetap hidup, maka dunia itu salah.”

“Dunia ini tidak salah,” jawab sosok itu. “Dunia ini… warisan.”

Tiba-tiba, Liona bergerak maju. Napasnya berat, tapi langkahnya mantap.

“Kalau kalian ingin aku menyerah, aku akan lakukan itu. Tapi biarkan Rey pergi. Biarkan dia hidup.”

“Tidak!” Rey meraih tangannya, gemetar. “Kita sudah sampai sejauh ini. Kita gak boleh tunduk.”

Liona menatapnya, tersenyum. “Kita gak tunduk, Rey. Kita memilih.”

Sosok itu diam. Langit bergetar, petir merah menyambar di kejauhan.

Kemudian… langit mulai retak. Seperti kaca. Suara retakan terdengar dari segala arah, membuat tanah bergetar dan udara berdesir.

Sosok itu mengangkat tangannya. Tapi Rey bergerak lebih cepat. Ia meraih tangan Liona dan menyeretnya masuk ke dalam Menara, ke ruang sistem, dan tanpa ragu—menekan tombol yang ayahnya tinggalkan dulu:

RESET_0.

Sistem menyala. Dunia gemetar. Layar-layar berkedip, alarm berbunyi.

Satu per satu, data tentang “penanda langit” mulai terhapus. Proyeksi waktu dihapus. Target dihapus. Sistem mulai kehilangan identitasnya sendiri.

Di luar, sosok itu menjerit. Suara langit berubah seperti siulan ribuan burung yang melarikan diri.
Langit merah… perlahan pecah.

Biru.
Kelabu.
Kuning.
Ungu.
Hijau.
Semua warna muncul bersamaan.

Dunia seperti meledak dalam pelangi besar. Rey menutup matanya. Dan untuk beberapa detik… semuanya hilang.


Saat Rey membuka mata, ia terbangun di rerumputan.
Langit di atasnya biru cerah. Tapi tak ada rasa dingin. Tak ada ancaman. Hanya hangat.
Seperti langit sebelum dunia rusak.

Ia menoleh.
Liona ada di sampingnya, tertidur.

Ia memeriksa napasnya. Masih ada.

Rey mengangkat wajah ke langit. Tak ada pesan. Tak ada hitungan mundur. Tak ada sistem. Hanya… langit.

Murni. Seperti dulu.


Beberapa hari kemudian, kota mulai berubah. Langit tak lagi satu warna. Kadang biru. Kadang jingga. Tapi bukan karena kematian. Tapi karena perasaan manusia yang hidup.

Rey dan Liona berjalan di tengah kota, menggenggam tangan. Dunia belum sepenuhnya membaik. Tapi setidaknya, mereka tahu: tak ada lagi yang akan dipilih untuk mati hanya karena ia terlalu ingin hidup.

“Apa kamu masih suka lihat langit?” tanya Rey pelan.

Liona tersenyum.

“Sekarang? Aku gak cuma suka… aku percaya.”

Rey menatapnya. “Percaya apa?”

“Bahwa cinta kita… pernah menyelamatkan dunia.”

Dan di atas mereka, langit kembali menari.
Bukan lagi milik kematian.
Tapi milik mereka yang berani melawan.
Yang berani mencintai.

Sampai akhir.
Sampai langit baru tercipta.


TAMAT.

Novel ini ditulis oleh Evi Fauzi, Penulis dari  Novel Singkat . Baca juga novel romantis petualangan dan fiksi ilmiah lainnya.

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

    Leave a Reply

    Your email address will not be published. Required fields are marked *