Novel Singkat Sang Penjelajah dalam Tubuh yang Salah
Novel Singkat Sang Penjelajah dalam Tubuh yang Salah

Novel Singkat: Sang Penjelajah dalam Tubuh yang Salah

Dante, seorang penjelajah dimensi profesional dari organisasi rahasia DIMEX, dikirim ke dunia Lethra untuk misi penyelamatan penting: melindungi Lyra, gadis yang menyimpan kristal eksistensi kunci keseimbangan antar realita. Namun, segalanya berubah ketika Dante tiba di dunia tersebut dan menyadari bahwa ia masuk ke dalam tubuh Kael, sosok yang dibenci Lyra dan dikenal sebagai penghancur desanya.

Terjebak di tubuh musuh dan dihantui oleh ingatan yang bukan miliknya, Dante harus menavigasi perasaan, masa lalu, dan konflik besar yang mengancam kehancuran dunia. Di tengah kebencian, cinta tumbuh diam-diam, memaksanya memilih: tetap menjalankan misinya atau mengorbankan segalanya demi kebenaran. Novel ini membawa pembaca menyusuri petualangan lintas dimensi yang penuh rahasia, luka lama, dan cinta yang lahir di tempat yang paling tak terduga.

Bab 1: Misi Tanpa Kembali

Langit di atas markas pusat DIMEX berwarna keunguan, seperti bercampur antara senja dan mimpi buruk. Dante berdiri di depan ruang transisi dengan helm kristal di tangannya, menatap layar holografik yang berkedip di sampingnya. Tubuhnya gemetar, bukan karena takut, tapi karena firasat aneh yang sejak pagi belum mau hilang.

“Kamu yakin mau ambil misi ini?” tanya Rila, operator yang sudah menemaninya sejak misi pertamanya lima tahun lalu. “Targetnya bukan cuma penyelamatan, tapi penyusupan. Kita nggak tahu apa yang akan kamu temukan di dalam.”

Dante menarik napas dalam. “Kamu tahu kan, ini bukan tentang yakin atau nggak. Aku yang dipilih. Jadi aku yang masuk.”

Rila menunduk. “Ingat aturan utamanya, Dan.”

Dante mengangguk pelan. “Aku tahu. Aku nggak bisa bawa tubuhku.”

Dalam dunia yang sudah terbiasa dengan perjalanan antar dimensi, satu hal tidak pernah berubah: tubuh biologis tidak bisa melewati batas realita. Setiap penjelajah harus masuk ke dalam tubuh alternatif yang tersedia di dunia tujuan. Terkadang itu tubuh netral, kadang anak kecil, kadang kakek tua. Dan, dalam kasus paling buruk—tubuh musuh.

“Targetmu bernama Lyra,” kata Rila pelan sambil mengaktifkan tampilan. Hologram memperlihatkan seorang gadis dengan mata perak dan rambut panjang biru gelap. “Dia adalah penjaga kristal eksistensi. Kalau kristal itu jatuh ke tangan yang salah, dimensi kita bisa kolaps.”

Dante hanya menatap, diam. Bukan karena tidak peduli, tapi karena satu detail dari wajah gadis itu… terasa familiar. Seolah ia pernah melihatnya dalam mimpi, atau mungkin dalam kehidupan lain.

“Transisi dalam lima… empat… tiga…”

Tubuh Dante mulai terurai jadi partikel cahaya. Ia merasa tulangnya larut, jiwanya tercerabut perlahan. Sensasi ini bukan hal baru, tapi kali ini berbeda. Lebih dalam. Lebih gelap.

Dua.

Satu.

Gelap.

Ia terbangun dengan kepala berat, pandangan kabur, dan rasa sakit tajam di tengkuk. Udara di sekelilingnya beraroma tanah lembap dan debu terbakar. Ia mencoba bangkit, tapi tubuhnya terlalu berat. Tangan kirinya berdarah, dan sesuatu terasa salah… sangat salah.

Dante duduk perlahan, lalu melihat ke genangan air di sampingnya. Bayangan di permukaan air membuat napasnya tercekat.

Wajah itu…

Bukan wajahnya.

Bukan tubuh netral.

Dan bukan wajah asing.

“Tidak…,” bisiknya pelan.

Wajah itu adalah milik pria yang dicari oleh seluruh desa Lyra. Wajah yang ada di poster buronan di setiap sudut kota dimensi Lethra. Wajah musuh utama sang penjaga kristal.

Wajah Kael.

Kael Vorehn, sang pemusnah.

Pria yang konon membakar desa Lyra lima tahun lalu. Yang membunuh orang tuanya. Yang memburu kristal eksistensi demi menjualnya ke pasar dimensi gelap. Pria yang paling dibenci Lyra… adalah dirinya sekarang.

Dante jatuh terduduk.

“Kenapa bisa begini?” desisnya. “Harusnya aku masuk ke tubuh netral. Kenapa Kael? Kenapa tubuh ini?”

Ia memeriksa pergelangan tangannya. Tidak ada chip kendali. Tidak ada pengenal. Sinyal dari DIMEX… kosong. Ia benar-benar terputus. Terjebak di dunia lain dalam tubuh yang paling berbahaya.

Langkah kaki terdengar di kejauhan.

Dante menoleh dan melihat sekelompok warga dengan senjata seadanya—cangkul, obor, pedang tua—datang mengarah padanya. Mata mereka penuh kemarahan.

“Itu dia!”

“Kael! Dia kembali!”

Seseorang menembakkan anak panah. Dante reflek menghindar, lalu berlari ke hutan. Kakinya lemas, jantungnya berdetak terlalu kencang. Ia bukan pembunuh. Ia bukan Kael. Tapi tubuh ini… mengingat bagaimana cara membunuh. Gerakan, insting, semuanya terasa seperti naluri alami.

Ia nyaris jatuh di sebuah akar pohon besar, lalu menyelinap ke balik semak tinggi.

Saat kerumunan warga berlalu, ia mencoba menenangkan napas.

“Ini kesalahan sistem. Pasti ada yang rusak…”

Tapi di dalam hati kecilnya, ada suara lain yang berbisik. Sesuatu yang lebih menakutkan dari sekadar tubuh yang tertukar.

Bagaimana kalau ini bukan kesalahan?

Bagaimana kalau ini… direncanakan?

Malam tiba cepat di dunia ini. Langit berwarna gelap violet, bintang-bintang menyala seperti luka di langit. Dante duduk di tepi sungai kecil, menatap tangannya yang bukan miliknya. Ia merasa terasing dalam tubuh sendiri. Ia bukan Kael. Tapi semua di dunia ini yakin bahwa dia adalah pria itu.

Suara langkah mendekat.

Dante menoleh cepat.

Dan di sana… berdiri Lyra.

Dengan busur di tangan, mata peraknya menatapnya tajam.

“Kau kembali,” ucapnya dingin.

Dante tidak bisa bicara. Kata-katanya tercekat.

Lyra menarik tali busur, mengarahkannya ke jantungnya.

“Kau tidak akan hancurkan desa ini lagi.”

Dan sebelum Dante bisa menjelaskan siapa dirinya sebenarnya…

Anak panah itu meluncur.

Menuju tubuh yang bukan miliknya.

Bab 2: Tubuh Musuh, Hati yang Bukan Miliknya

Anak panah itu nyaris menembus dada Dante—jika saja ia tak terjatuh ke belakang tepat pada waktunya. Bahunya tergores tajam, darah menetes hangat di kulit yang asing. Tapi bukan rasa sakit yang membuatnya diam… melainkan tatapan mata Lyra. Penuh kebencian, dingin, tanpa sedikit pun ragu.

Dia tidak mengenal Dante.

Dia hanya melihat Kael.

Dante merangkak mundur, menahan napas.

“Lyra… tunggu… dengar aku dulu!”

Lyra menarik busur lagi, lebih cepat dari yang ia bayangkan. “Jangan panggil namaku seolah kau mengenalku. Kau pikir setelah semua yang kau lakukan, aku akan mendengarkanmu?”

Dante menunduk. “Aku tahu kamu benci aku. Tapi aku bukan orang yang kamu pikirkan.”

“Tidak ada yang berubah. Kau masih pandai memutar kata.”

“Sumpah. Aku bukan Kael. Aku bukan dia.”

“Tapi tubuhmu adalah tubuhnya. Dan itu cukup.”

Satu kalimat itu membuat udara di sekelilingnya terasa lebih berat. Lyra mendekat dengan langkah pasti, anak panah masih terarah. Dante tahu, kalau ia bergerak sedikit saja, nyawanya selesai.

Tapi lalu sesuatu aneh terjadi.

Lyra tiba-tiba goyah.

Matanya bergetar.

Busurnya turun perlahan.

Dan tubuhnya jatuh tepat di depan Dante—pingsan.

Dante refleks menangkapnya. Tubuh gadis itu ringan, terlalu kurus untuk ukuran penjaga dimensi. Keringat dingin membasahi pelipisnya, dan bibirnya pucat. Ia mengangkat lengan baju Lyra sedikit, dan melihat tanda luka membiru di bawah kulit.

“Keracunan?” gumamnya.

Tanpa berpikir panjang, ia menggendong Lyra dan membawanya ke dalam hutan. Ia menemukan gua kecil di balik air terjun, cukup tersembunyi untuk semalam. Dante menyalakan api kecil, dan membaringkan Lyra di atas alas dari daun dan jaketnya sendiri.

Ia menatap wajah Lyra dalam diam.

Bagaimana mungkin ia jatuh ke tubuh musuh gadis ini… dan masih bisa merasa ingin melindunginya?

Pikiran itu tidak masuk akal.

Tapi ia tahu satu hal—Lyra butuh bantuan. Racun itu, entah berasal dari apa, menyebar cepat di pembuluh darahnya. Dante membuka ingatan dari sistem navigasi Kael, mencoba mencari tahu apakah tubuh ini pernah mengalami hal serupa.

Dan ia menemukannya.

Kael pernah menyimpan ramuan penawar untuk racun dari tanaman bernama Kirisa. Tanaman itu tumbuh di lembah timur, hanya mekar saat malam bulan purnama.

Dan malam ini—bulan purnama.

Dante menatap Lyra sekali lagi sebelum berlari keluar gua. Ia tahu risiko meninggalkannya sendirian, tapi tidak ada pilihan. Ia harus menolongnya… meski dunia tetap mengira ia musuh.

Perjalanan ke lembah tidak mudah. Akar-akar tajam, binatang malam yang mengintai, dan gelombang dimensi kecil yang mengguncang realita di sekitarnya. Dunia ini rusak, dan Dante tahu itu karena kristal eksistensi mulai tak stabil.

Ketika sampai di lembah, Kirisa menyala dalam cahaya biru. Bunganya berdenyut seperti jantung. Dante memetik beberapa kelopak dan segera kembali ke gua.

Namun saat ia kembali…

Lyra sudah bangun.

Dan sedang menodongkan belati ke lehernya.

“Sentuh aku sekali lagi, dan aku potong tanganmu.”

Dante mendongak, menahan tawa getir. “Aku barusan menyelamatkan hidupmu.”

“Dan kenapa aku harus percaya itu? Bisa jadi kamu menaruh racunnya sendiri, lalu pura-pura jadi pahlawan.”

“Kalau aku Kael, kenapa aku nggak langsung bunuh kamu waktu kamu pingsan?”

Lyra terdiam.

“Karena kamu ingin aku hidup untuk menyiksaku nanti,” katanya akhirnya, dingin.

Dante menyerah. Ia meletakkan Kirisa di tanah, lalu mundur. “Ambil kalau kamu nggak percaya. Tapi racunnya udah menyebar ke jaringan otot kamu. Kalau kamu nggak minum ini dalam satu jam, kamu bisa lumpuh.”

Lyra menatap kelopak itu lama, sebelum akhirnya mengambilnya dengan ragu.

Ia tidak berkata terima kasih. Ia hanya menunduk dan menelan ramuan itu dalam diam.

Malam menjadi sunyi.

Dante duduk di dekat api. Ia tahu ia tak bisa tidur. Ia juga tahu, keesokan hari ia harus membuat keputusan besar: pergi menjauh agar Lyra tak curiga, atau tetap di dekatnya untuk menjalankan misi—meski harus terus memakai wajah yang ia benci.

Tapi sebelum api padam, Lyra berbicara, suaranya pelan.

“Kael tidak tahu nama tanaman itu.”

Dante menoleh.

“Apa?”

“Dia… dia membakar semuanya sebelum sempat belajar apa pun. Dia bukan penyelamat. Dia penghancur.”

Dante menatapnya lama.

“Jadi kenapa kamu nggak langsung bunuh aku tadi?” tanya Dante.

Lyra menggenggam belatinya, lalu meletakkannya perlahan di tanah.

“Karena untuk pertama kalinya… kamu kelihatan takut.”

Ia menatap Dante lurus-lurus.

“Dan Kael… nggak pernah takut.”

Malam itu, untuk pertama kalinya sejak ia tiba di dunia ini, Dante merasa Lyra tidak hanya melihat tubuhnya.

Tapi mulai merasakan… ada seseorang lain di baliknya.

Bab 3: Gadis dengan Luka yang Dalam

Lyra tertidur dengan tangan menggenggam belati. Bahkan dalam mimpi, tubuhnya tidak sepenuhnya tenang. Bahunya sesekali menegang, bibirnya bergetar, dan sesekali ia menggumamkan nama-nama yang tak dikenali Dante—mungkin nama keluarganya, orang-orang yang hilang saat desanya dihancurkan.

Dante duduk memandangi api yang tinggal bara. Ia belum tidur sejak datang ke dunia ini. Mata dan tubuhnya lelah, tapi pikirannya terlalu penuh untuk bisa istirahat.

Dia masih belum paham sepenuhnya kenapa sistem memilih tubuh Kael untuknya. Selama ini, semua misi punya protokol. Tubuh netral, identitas baru, penyusupan halus.

Tapi sekarang, ia dikurung di dalam wajah yang paling dibenci oleh gadis yang harus ia lindungi.

Ia ingin tahu alasan di balik semua ini. Tapi lebih dari itu, ia ingin tahu… siapa sebenarnya Kael.

Dan kenapa saat melihat Lyra tadi, dadanya terasa seperti dipecah jadi dua—antara rasa bersalah dan rasa ingin menjaga.


Pagi datang perlahan di Lethra, tapi tak ada kehangatan seperti matahari biasa. Cahaya di dunia ini redup, seperti selalu terhalang kabut tipis. Langitnya cenderung berwarna abu kehijauan, seperti hujan yang tidak pernah turun.

Lyra bangun lebih dulu dari yang Dante perkirakan.

“Kalau kamu sentuh aku waktu aku tidur, aku potong lidahmu,” katanya singkat, mengambil air dari aliran sungai kecil di luar gua.

Dante mendengus pelan. “Tenang aja. Aku lebih suka hidup.”

Ia menyiapkan sisa daun Kirisa dan membuat ramuan tambahan. Meski Lyra tetap memasang wajah curiga, ia diam-diam meminumnya. Tubuhnya memang belum pulih sepenuhnya. Ia tahu itu.

“Kamu tahu di mana kristal eksistensi disimpan?” tanya Dante, mencoba membuka pembicaraan.

Lyra menatapnya tajam. “Kenapa? Mau mencurinya lagi?”

Dante menghela napas. “Aku nggak Kael. Dan aku juga nggak tahu kenapa tubuh ini dipakai. Tapi aku dikirim untuk melindungimu.”

“Kamu pikir aku sebodoh itu buat percaya?”

Dante menatap Lyra lekat-lekat. “Aku lihat wajahmu semalam. Waktu kamu pingsan, kamu gumamkan nama ibumu. Kamu ketakutan. Dan aku ada di sana, bukan untuk menyakitimu, tapi untuk memastikan kamu tetap hidup.”

Lyra mendadak diam. Matanya seperti menembus Dante, mencoba mencari celah kebohongan.

“Jadi siapa kamu sebenarnya?”

Dante ragu sejenak. Tapi akhirnya berkata pelan, “Namaku Dante. Aku penjelajah dari dimensi 7-Mira. Aku datang lewat sistem DIMEX, bukan dari dunia ini.”

Lyra menatapnya dalam-dalam. Lalu tertawa pendek—pahit.

“Penjelajah? Kamu pikir aku belum pernah dengar tipu daya seperti itu? Kael pernah pakai nama palsu juga waktu pertama datang ke desa kami. Dia bilang dari dimensi lain. Katanya ingin belajar, membantu.”

Dante tercengang.

“Kamu bilang… Kael juga dari luar dimensi ini?”

“Ya,” jawab Lyra sambil melangkah ke luar gua. “Dan dia juga bilang dia ingin melindungi kami.”

Itu membuat dada Dante makin sesak.

Mungkin Kael bukan hanya penghancur. Mungkin ia pernah juga punya misi yang sama. Tapi ada sesuatu yang mengubahnya. Sesuatu yang merusaknya. Atau… mungkin dia dikorbankan.

Dante mengikuti Lyra dari belakang, menjaga jarak. Mereka menuruni lembah dan masuk ke jalur berbatu menuju reruntuhan desa tua.

Saat sampai, Dante tercekat.

Semua benar-benar hancur.

Batu-batu arsitektur tinggi yang dulunya mungkin indah kini retak dan berserakan. Lukisan-lukisan kuno di dinding terbakar setengah. Ada bekas tubuh yang pernah tertimbun. Pohon-pohon menghitam, seperti bekas terbakar oleh sihir dimensi.

“Di sini tempat aku tinggal,” ucap Lyra dengan nada datar. “Kael datang sebagai tamu. Lalu satu malam, dia berubah jadi monster. Membakar semuanya. Mencuri kristal—dan ibuku terbunuh di depanku.”

Dante tak bisa menjawab.

“Dia pergi membawa kekuatan itu. Tapi kristalnya kembali padaku dua tahun lalu. Luka dari malam itu… nggak pernah sembuh.”

Perlahan, Lyra membuka leher bajunya. Ada bekas luka seperti retakan kristal di tulang selangkanya.

“Aku hampir mati waktu itu. Tapi entah kenapa, kristalnya mengikat ke tubuhku. Sejak saat itu… aku jadi penjaganya.”

Dante mendekat. “Tapi kamu tidak pernah minta itu.”

Lyra menoleh pelan.

“Dan kamu pun tidak pernah minta jadi Kael.”

Mereka diam cukup lama.

Dante lalu berkata, “Mungkin kita berdua terjebak dalam peran yang bukan milik kita.”

Lyra menggenggam tanah di bawahnya, seolah ingin mencabut akar dari bumi.

“Kau mau tahu kenapa aku belum membunuhmu?”

Dante menatapnya, tidak menjawab.

“Karena tadi malam… aku bermimpi tentang Kael. Tapi dia bukan monster. Dia menyelamatkanku.”

Dante menelan ludah.

“Mungkin itu bukan mimpi,” gumamnya.

Lyra berdiri. “Aku akan tetap mengawasimu. Tapi kalau kamu coba mendekat ke kristal atau menyentuh pikiranku tanpa izin…”

“Aku tahu,” sela Dante. “Kamu akan potong lidahku.”

Lyra tak tertawa. Tapi ada kilatan kecil di matanya, seperti sisa kepercayaan yang terkikis, tapi belum sepenuhnya hilang.

Dan untuk pertama kalinya… Dante merasa punya harapan.

Mungkin, lewat luka terdalam itulah, perlahan, kepercayaan bisa tumbuh kembali.

Bab 4: Luka yang Tidak Terlihat

Mereka berjalan menyusuri jalan setapak kecil di balik hutan yang mulai menggugurkan daunnya. Suasana pagi di Lethra seperti dunia yang lelah, penuh bisikan angin dan pepohonan mati. Meski langkah mereka beriringan, tak ada kehangatan di antara Dante dan Lyra. Hanya keheningan yang menggantung, seperti jembatan rapuh di atas jurang kepercayaan.

Dante tahu, kepercayaan Lyra takkan datang begitu saja. Tapi ia juga sadar, jika ingin menyelesaikan misi ini, ia harus tetap dekat. Kristal eksistensi yang melekat di tubuh Lyra bukan hanya benda. Itu adalah kunci penyeimbang antar realita. Tanpa itu, dimensi bisa tumpang tindih, realita bisa runtuh.

Namun yang mengganggu Dante bukan hanya misi, melainkan kenangan samar yang mulai muncul di benaknya. Setiap kali ia menatap wajah Lyra terlalu lama, ada sesuatu yang menyeruak. Bukan dari dirinya… tapi dari tubuh yang ia tempati.

Kael.

Terkadang Dante merasakan emosi yang bukan miliknya—rasa bersalah yang mendalam, amarah yang tidak diketahui asalnya, dan… kerinduan yang menusuk.

Seolah Kael masih berbisik dari dalam tubuh ini.

Lyra berhenti di tepi danau kecil.

“Tempat ini dulu tempat favorit ibuku,” katanya pelan. “Setiap sore dia duduk di sini, membuatkan teh sambil cerita tentang dunia lain. Dulu aku pikir semua dongeng. Tapi sekarang… aku hidup di dalamnya.”

Dante duduk tak jauh darinya. “Aku nggak tahu harus bilang apa. Tapi kalau kamu mau cerita… aku bisa dengar.”

Lyra tidak menoleh. Tapi suaranya tetap terdengar.

“Kau tahu yang paling menyakitkan dari malam itu? Bukan saat melihat ibuku terbunuh. Bukan saat seluruh desa terbakar.”

Ia menunduk, menatap air danau yang bergoyang tenang.

“Tapi saat aku melihat wajah Kael yang tersenyum sebelum pergi. Seolah semua yang ia lakukan… memang direncanakan.”

Dante diam. Ia tidak tahu harus menjawab dengan siapa. Dengan kata-kata Dante? Atau dengan luka yang sebenarnya bukan miliknya, tapi tetap membekas di hati Lyra?

“Aku… nggak ingat Kael seperti itu,” ucapnya pelan. “Tapi mungkin… ada sesuatu yang lebih dalam dari apa yang kamu lihat.”

Lyra menghela napas, kemudian berdiri. “Ayo, aku mau menunjukkan sesuatu.”

Mereka berjalan menuju reruntuhan kuil kecil yang tersembunyi di balik akar-akar besar. Ukiran di dinding menggambarkan legenda lama: kristal eksistensi yang terbagi jadi tiga bagian—penjaga waktu, penjaga ruang, dan penjaga jiwa.

Lyra menunjuk ke bagian tengah relief itu. “Ibuku bilang, kristal itu menyatu dengan orang yang paling ‘patah’ di dunia. Bukan yang paling kuat, tapi yang paling hancur.”

Dante menatap gambar itu lama. “Kamu nggak kelihatan seperti orang yang patah.”

“Aku cuma pandai menyembunyikannya.”

Lalu ia berbalik. “Kamu juga. Aku lihat caramu tidur semalam. Kamu menjerit dalam mimpi.”

Dante terdiam. Ia tidak ingat pernah bermimpi. Tapi tubuh ini… mungkin memiliki mimpinya sendiri.

“Satu hal yang aku tahu pasti,” gumam Lyra. “Kael menyimpan sesuatu. Rahasia. Motif yang belum pernah dia ungkap.”

Dante menatapnya. “Apa kamu ingin tahu kebenarannya?”

Lyra menoleh. “Aku takut tahu. Tapi aku lebih takut hidup dengan kebohongan.”

Malam itu, mereka memutuskan untuk kembali ke tempat tersembunyi di mana Lyra menyimpan kristal. Bukan untuk menyerahkan atau mengaktifkannya, tapi untuk mencoba melihat apakah kristal itu bisa ‘berbicara’. Kadang, benda itu memberi penglihatan, kenangan, atau kilasan dimensi lain.

Namun, saat mereka tiba… tempat itu sudah tak utuh.

Kristalnya masih ada, terlindung di dalam kotak energi—tapi tembok pelindung rusak. Ada jejak jejak langkah asing. Tanah terguncang.

Lyra memeriksa kristal dengan cemas. “Belum dicuri… tapi seseorang sudah mencoba.”

Dante melihat ke sekeliling, lalu meraih potongan logam kecil yang tersisa di dekat altar.

Simbol di logam itu—ia kenal.

“Ini milik NoPath,” gumamnya.

Lyra menatapnya tajam. “Kamu kenal mereka?”

“Organisasi yang menyalahgunakan portal dimensi untuk perdagangan waktu dan tubuh. Mereka pernah mendekati Kael.”

“Jadi benar… Kael bagian dari mereka?”

Dante ingin menjawab tidak. Tapi saat ia menggenggam logam itu… memori yang bukan miliknya muncul.

Kael berdiri di ruangan gelap.

Di sekelilingnya, orang-orang bertopeng menawarkan sesuatu. Janji.

“Kami bisa membuatmu tak terlupakan. Tapi kau harus memberikan satu hal: dia.”

Wajah Lyra muncul sekejap dalam memori itu.

Dante menjatuhkan logam itu dengan tangan gemetar.

“Kael… disuruh memilih,” katanya pelan. “Dan dia mungkin memilih hal yang salah.”

Lyra mundur. “Kamu lihat semua itu… dari tubuh Kael?”

Dante mengangguk pelan.

“Berarti… kamu juga bagian dari dia.”

Mata Lyra berkaca-kaca.

“Dan kamu juga mungkin akan menghianatiku.”

Dante berdiri, maju satu langkah. “Aku bukan Kael. Tapi kalau aku bisa menebus kesalahannya, meski bukan milikku, aku akan lakukan.”

Lyra menunduk. “Kita akan lihat… apakah kata-katamu lebih kuat dari tubuh yang kamu pakai.”

Lalu ia melangkah pergi.

Dante menatap punggung Lyra yang menjauh.

Dan sekali lagi… ia merasa tubuh ini semakin berat. Bukan karena luka fisik.

Tapi karena luka yang tak terlihat.

Yang terus bertambah, setiap kali ia mencoba menjadi seseorang yang bukan dirinya.

Bab 5: Ciuman yang Salah Tempat

Hujan turun pelan di Lethra malam itu, meski langit tak pernah benar-benar gelap. Tetesannya seperti embun tajam, mengguyur daun-daun besar dan bebatuan. Di tengah hutan lebat yang menjelma seperti labirin, Dante dan Lyra terjebak di antara dua penjaga dimensi yang tiba-tiba muncul dari celah portal.

“Jangan bergerak,” bisik Lyra sambil menarik tangan Dante masuk ke balik batang pohon tua yang hampir tumbang.

Dari celah daun, Dante bisa melihat sosok-sosok itu. Mereka tinggi, bertopeng, dengan mata menyala hijau. Tak bersuara, tapi udara di sekitar mereka seakan membeku. Mereka bukan manusia, bukan makhluk alami dunia ini. Mereka adalah Voidwalkers, penegak dimensi yang dikirim untuk memburu pelanggar antar realita. Mereka mencari sesuatu. Atau seseorang.

Mereka mencari Dante.

Lyra menahan napas. Tapi lalu, salah satu dari makhluk itu mendongak ke arah mereka. Tanpa aba-aba, Dante menarik Lyra mundur.

“Lari!” bisiknya.

Tapi langkah mereka tak secepat kilat hijau yang ditembakkan makhluk itu. Tanah di belakang mereka meledak, pohon tumbang, dan dunia seolah berguncang.

Mereka berlari. Terus. Sampai akhirnya menemukan celah sempit antara dua batu besar. Dante masuk lebih dulu, lalu menarik Lyra menyusul. Tapi celahnya terlalu sempit. Tubuh mereka terlalu dekat. Nafas Lyra memburu, wajahnya hanya sejengkal dari wajah Dante.

“Jangan bergerak,” bisik Dante.

“Kamu yang dekat-dekat,” bisik Lyra balik, agak gemetar.

Langkah Voidwalkers terdengar mendekat. Nafas mereka harus ditahan. Tapi Lyra goyah sedikit. Tangannya terpeleset ke bahu Dante. Dan entah karena reflek atau insting panik…

Dante mencium bibirnya.

Sebentar.

Sekejap.

Hanya untuk membungkam suara napas Lyra yang hampir pecah.

Setelah itu, ia langsung menjauh, wajahnya merah. “Maaf! Itu… tadi—aku nggak bermaksud…”

Tapi Lyra tidak menjawab. Ia hanya menatapnya dengan tatapan kosong.

Voidwalkers lewat. Tidak menyadari apa pun. Mereka menghilang ke hutan, membawa angin dingin bersamanya.

Hening menyelimuti mereka.

Sampai akhirnya Lyra berkata, “Lain kali, cukup tutup mulutku dengan tanganmu.”

“Noted,” jawab Dante cepat, malu sendiri.

Mereka keluar dari celah batu ketika sudah aman. Tapi atmosfer di antara mereka berubah. Tidak segan, tapi juga tidak nyaman. Ada ruang baru yang terbentuk. Rapuh. Membingungkan. Dan Dante merasakannya.

Masalahnya bukan hanya karena ia mencium Lyra.

Tapi karena saat itu, ia merasa jantungnya berdebar bukan sebagai Dante.

Melainkan… sebagai Kael.


Malam itu, mereka menginap di bawah pohon besar dengan akar menjuntai seperti tirai. Api unggun kecil menyala, cukup hangat untuk mengusir dingin. Lyra duduk memunggungi Dante, tapi sesekali mencuri pandang ke arahnya.

“Kamu…” gumam Lyra akhirnya, “pernah jatuh cinta?”

Dante terdiam. Pertanyaan itu datang tiba-tiba.

“Aku… mungkin,” jawabnya jujur. “Tapi nggak pernah kayak gini.”

Lyra menoleh pelan. “Kayak gimana?”

“Kayak aku nggak tahu, siapa yang benar-benar merasakannya. Aku atau tubuh ini.”

Lyra menatapnya lama, lalu kembali menoleh ke arah api.

“Aku pernah jatuh cinta sama Kael,” katanya pelan.

Dante mendongak.

“Waktu awal dia datang. Sebelum semuanya berubah. Dia baik, sabar, suka senyum… bahkan pernah menyelamatkanku dari serangan binatang liar.”

Dante menelan ludah. Dadanya tiba-tiba sesak.

“Lalu dia berubah,” lanjut Lyra. “Dalam satu malam, semua yang aku tahu tentang dia… hancur. Aku pikir cinta bisa membangun kepercayaan. Tapi ternyata, cinta juga bisa menyamarkan niat.”

“Lyra…”

“Aku takut,” katanya, hampir berbisik. “Kalau aku mulai melihat Kael di dalam dirimu… atau sebaliknya. Aku takut mencintai dua kali orang yang salah.”

Dante tak bisa berkata-kata.

Karena ia pun tak yakin… apakah dirinya masih utuh sebagai Dante.

Atau perlahan, ia mulai menjadi bagian dari pria yang paling ia benci.

Malam itu, ketika Lyra akhirnya tertidur di dekat api, Dante duduk jauh dari sana. Ia menatap tangannya—tangan Kael. Tangan yang membunuh, menghancurkan, dan juga menyelamatkan.

Dan untuk pertama kalinya, ia bertanya pada dirinya sendiri:

Apakah kamu benar-benar datang untuk menyelamatkan Lyra?

Atau untuk menebus dosa yang bahkan bukan milikmu?

Pertanyaan itu menggema dalam hati.

Dan ia tahu, jawaban dari pertanyaan itu… bisa mengubah segalanya.

Bab 6: Rahasia dari Masa Lalu

Pagi menyapa dengan kabut tebal dan suara gemerisik hutan yang tak pernah benar-benar tenang. Lyra masih tertidur, meringkuk di bawah jubahnya, sementara Dante duduk mematung di atas akar pohon besar. Matanya menatap lurus ke depan, tapi pikirannya berkelana jauh ke tempat yang tak bisa ia jelaskan.

Malam sebelumnya terlalu banyak menyisakan pertanyaan. Ciuman yang bukan bagian dari rencana, perasaan yang tak tahu datang dari siapa, dan rahasia Kael yang mulai merayap masuk ke dalam pikirannya tanpa permisi.

Ia tidak bisa menyangkalnya lagi.

Tubuh ini… perlahan mulai mengingat.

Dan itu menakutkan.

Dante membuka tali di lengan bajunya dan memperlihatkan bekas luka kecil yang tiba-tiba muncul semalam. Ia yakin luka itu tidak ada saat ia datang ke dunia ini. Tapi malam tadi, setelah penglihatan samar tentang Kael dan organisasi NoPath, luka itu muncul begitu saja. Luka bakar kecil, seperti bekas borgol panas.

Tubuh ini menyimpan lebih dari sekadar wujud.

Tubuh ini menyimpan sejarah.

Dan Dante mulai menyadari—ia bukan hanya menumpang di dalamnya.

Ia sedang menghidupkan kembali sesuatu yang belum selesai.


Ketika Lyra bangun, matanya sembab. Tapi ia tidak membahas apa pun tentang malam sebelumnya. Ia hanya berdiri, meregangkan tubuh, dan bertanya, “Kamu tahu markas NoPath ada di mana?”

Pertanyaan itu mengejutkan Dante. “Kenapa tanya itu?”

“Aku mau tahu siapa yang mengubah Kael. Kalau kamu bilang dia pernah baik, aku mau bukti. Aku mau tahu siapa yang merusaknya.”

Dante tak menjawab langsung. Tapi dalam hatinya, ia merasa… ini saatnya.

“Aku tahu satu tempat. Di dekat perbatasan dimensi hutan bayangan. Mereka punya fasilitas rahasia. Tapi butuh jalan memutar, dan penuh jebakan.”

“Bagus,” kata Lyra. “Ayo ke sana.”

Mereka memulai perjalanan ke selatan, melewati jalur yang mulai dipenuhi patahan realita—tempat di mana dimensi Lethra mulai retak. Tanah bisa menghilang sekejap, waktu bisa berputar mundur lima detik, dan suara mereka bisa terdengar terlambat. Tapi Lyra tidak gentar. Seolah ia membawa kemarahan di dadanya yang lebih besar dari rasa takutnya.

Dante tahu perjalanan ini berbahaya. Tapi ada bagian dari dirinya yang juga ingin tahu. Bukan hanya untuk Lyra.

Tapi untuk dirinya sendiri.

Mereka akhirnya tiba di reruntuhan sebuah menara baja yang roboh setengah, tertutup lumut dan tanaman dimensi. Dari kejauhan, tempat itu tampak seperti bangunan mati. Tapi Dante tahu… NoPath selalu menyembunyikan pintu masuknya di balik ilusi.

Dan benar saja, ketika Lyra menyentuh dinding retak di sisi barat, tangannya menembus masuk seperti kabut.

“Ini dia,” gumam Dante.

Mereka masuk. Lorong sempit dan gelap menyambut mereka, disinari cahaya biru samar dari panel kristal energi. Bau logam dan abu menyengat.

Di dalam, mereka menemukan arsip—puluhan kapsul data, sebagian rusak, sebagian masih aktif. Dante menyalakan satu.

Dan layar hologram muncul.

Isinya—Kael.

Wajahnya lebih muda, tatapannya belum setajam terakhir kali dunia mengenalnya.

“Aku… Kael Vorehn. Subjek percobaan 047. Aku masuk ke dunia Lethra untuk menyatu dengan penjaga kristal. Tapi NoPath mengirimkan instruksi baru. Aku disuruh mengambil kristal… dan menghapus penghalangnya.”

Penghalang.

Dante dan Lyra saling pandang. Mereka tahu siapa yang dimaksud.

“Ibuku…” bisik Lyra, nyaris tak terdengar.

Hologram terus berputar.

“Aku tak bisa melakukannya. Aku mencoba menghilang, kabur, tapi mereka mengirim sinyal ke tubuhku. Sistemku mulai rusak. Aku kehilangan kendali. Aku… membakar desa itu tanpa sadar. Aku pikir aku membunuhnya. Aku pikir semuanya salahku. Tapi mereka tak membiarkanku mati.”

Kael terduduk di video itu, menangis.

“Aku masih mencintainya. Bahkan jika tubuhku dirusak, bahkan jika jiwaku sudah dikotori… aku masih ingat dia.”

Layar mati.

Lyra menatap kosong.

Dante menatapnya. “Kamu yang dia maksud. Bahkan di akhir, dia tetap memilihmu.”

“Tapi dia tetap menghancurkan semuanya,” jawab Lyra pelan.

“Karena ia kehilangan kendali. Mereka paksa tubuhnya, hancurkan pikirannya. Kael bukan monster. Ia korban.”

Lyra mundur pelan. Tangannya gemetar. Luka lama yang ia bawa bertahun-tahun… ternyata tidak sesederhana itu. Dunia hitam-putih yang selama ini ia bangun, perlahan berubah menjadi abu-abu.

“Aku nggak tahu harus benci atau kasihan…”

“Kamu nggak harus pilih salah satu,” kata Dante lembut. “Kadang… kita cuma perlu tahu kebenarannya.”

Lyra terduduk, dan untuk pertama kalinya, menangis tanpa suara. Tangis yang bukan karena marah… tapi karena beban yang terlalu lama dipikul sendiri.

Dante duduk di sebelahnya. Tak bicara. Tak menyentuh. Hanya diam di sana, sebagai seseorang yang mengerti bahwa luka hati butuh ruang, bukan solusi instan.

Tapi di dalam dirinya, perasaan aneh muncul lagi.

Seperti Kael… sedang ikut menangis bersamanya.

Dan untuk pertama kalinya, Dante bertanya:

Apakah tubuh ini… benar-benar milik Kael?

Atau Kael masih hidup di dalamnya? Bersamanya?

Karena jika iya… maka cinta itu belum pernah pergi. Dan mungkin, tak pernah benar-benar mati.

Bab 7: Ingatan yang Terpecah

Setelah malam panjang yang dipenuhi pengakuan dan air mata, pagi datang tanpa suara. Dante terbangun lebih dulu, duduk bersandar di dinding reruntuhan markas NoPath yang kini kosong dan dingin. Ia menatap Lyra yang masih tidur di sebelahnya, dengan wajah damai yang langka. Tak ada kerutan, tak ada dendam yang mengeras di dahi. Untuk sesaat, ia tampak seperti gadis biasa, bukan penjaga dimensi dengan luka sebesar dunia.

Tapi Dante tahu, kedamaian itu hanya sementara.

Karena ingatan di dalam tubuhnya makin sering muncul—tiba-tiba, tanpa kendali. Seperti semalam, setelah melihat hologram Kael, ia merasakan panas di dadanya, rasa bersalah yang bukan miliknya, dan kenangan samar akan seseorang yang sangat berarti.

Lyra.

Bukan hanya sebagai misi.

Tapi sebagai kenangan.

Sebagai seseorang yang pernah sangat dicintai.

Dan itu membuat Dante ketakutan.

Apakah perasaannya kini tulus… atau hanya sisa dari cinta lama milik tubuh ini?

Ia berdiri, berjalan pelan ke lorong samping. Di sana ada cermin retak, dikelilingi tanaman dimensi yang menyerap cahaya. Ia menatap pantulan dirinya. Bukan wajahnya. Tapi wajah Kael, dengan tatapan mata yang kini terlalu mirip miliknya sendiri.

“Siapa aku sekarang?” gumamnya pelan.

Tiba-tiba, suara Lyra terdengar dari belakang.

“Kadang, aku juga nanya hal yang sama.”

Dante menoleh. Lyra berdiri dengan tangan terlipat di dada, menatap cermin itu tanpa berkedip.

“Aku lihat wajahku setiap pagi, dan bertanya… apakah aku masih Lyra yang dulu? Atau hanya bayangan dari semua yang hilang?”

Dante menatapnya. “Kamu masih Lyra. Mungkin dengan lebih banyak luka, tapi itu nggak menghapus siapa kamu.”

Lyra tersenyum tipis. “Kalau begitu, mungkin kamu juga bukan Kael. Mungkin kamu… sesuatu yang baru.”


Hari itu, mereka memutuskan untuk kembali ke tempat kristal disimpan. Tapi perjalanan kembali tidak semudah pergi. Dunia Lethra mulai retak lebih parah. Tanah terbelah tiba-tiba, langit berkedip seperti layar rusak, dan makhluk-makhluk dimensi bermunculan dari celah realita.

Di tengah jalan, sebuah makhluk mirip bayangan menyergap mereka. Dante menahan serangan dengan tubuhnya, melindungi Lyra tanpa pikir panjang. Makhluk itu menghantam dadanya keras, dan ia terlempar ke tanah. Pandangannya gelap sejenak.

Dan saat ia membuka mata…

Ia berada di tempat lain.

Dalam bayangan pikirannya, ia berdiri di desa Lyra. Tapi bukan desa yang hancur.

Desa itu utuh. Cerah. Hidup.

Anak-anak berlari, bunga mekar, dan di tengahnya—Lyra, tertawa sambil menari di bawah pohon kristal.

Lalu, sosok Kael muncul di sampingnya.

Bukan Dante.

Tapi Kael yang sesungguhnya.

Mereka tersenyum satu sama lain. Bahagia. Seperti dua orang yang belum terluka oleh dunia.

“Jangan pergi lagi,” suara Lyra terdengar dalam penglihatan itu.

Kael mengangguk. “Aku akan selalu di sini.”

Lalu semuanya terbakar.

Api muncul entah dari mana. Orang-orang berteriak. Langit berubah merah. Dan Kael berlutut di tengah kobaran api, menjerit, “Ini bukan yang kuinginkan!”

Dante tersentak bangun.

Lyra berada di sampingnya, mengguncang bahunya.

“Kamu sadar? Kamu pingsan!”

Dante menarik napas dalam-dalam. Tubuhnya basah oleh keringat.

“Aku… aku lihat kenangan itu. Kael. Kamu. Desa. Semua sebelum hancur.”

Lyra terdiam.

“Aku pikir itu cuma cerita. Tapi kamu benar-benar lihat, ya?”

“Bukan cuma lihat…” Dante menggenggam tanah di bawahnya, “aku merasakan semuanya. Rasa cintanya ke kamu. Rasa takutnya waktu kehilanganmu. Rasa putus asa waktu dia kehilangan kendali.”

Lyra perlahan duduk di sebelahnya.

“Dulu aku percaya semua kenangan itu bohong. Tapi sekarang…”

Ia menatap langit.

“Mungkin cinta itu masih ada di dalam tubuh itu. Di dalam kamu.”

Dante menggeleng lemah. “Tapi aku bukan dia, Lyra. Aku nggak mau kamu mencintai siapa pun karena ingatan masa lalu.”

“Dan kalau aku mulai mencintaimu sekarang… karena siapa kamu hari ini?”

Dante menoleh, terkejut.

Mata mereka bertemu.

Tapi sebelum ada jawaban keluar dari mulut salah satu, suara dari kejauhan mengguncang tanah.

Portal terbuka.

Voidwalkers datang kembali—tapi kali ini tak hanya dua.

Ada satu sosok baru di tengah mereka.

Seseorang… yang memiliki wajah Dante.

Tapi bukan Dante.

Seseorang yang mengenakan seragam NoPath lengkap, dengan senyum dingin dan mata hitam tanpa emosi.

Lyra bergumam, “Siapa… itu?”

Dante berdiri, wajahnya tegang.

“Aku nggak tahu…”

Tapi jauh di dalam dirinya, suara lain berbisik:

“Akhirnya kamu tahu siapa yang sebenarnya menggantikanmu.”

Dan saat sosok itu melangkah mendekat, semua ingatan yang terpecah… mulai menyatu kembali.

Bab 8: Identitas yang Terungkap

Langkah mereka bergema di antara pepohonan yang membeku. Waktu di sekitar hutan tiba-tiba terasa berhenti, dedaunan yang semestinya jatuh kini mengambang di udara, suara burung berhenti di tengah kicauannya. Hanya satu hal yang bergerak: sosok pria berwajah sama dengan Dante, berjalan pelan di tengah Voidwalkers yang mengelilinginya.

Dante mundur selangkah.

Itu wajahnya.

Tapi bukan dirinya.

“Siapa kamu?” serunya.

Pria itu tersenyum datar. “Aku? Aku adalah dirimu yang asli.”

Lyra menatap Dante dengan kaget. “Apa maksudnya?”

Dante menggeleng, matanya tak berkedip. “Aku nggak tahu siapa dia.”

Sosok itu mendekat. “Namaku Kael Vorehn. Yang sesungguhnya.”

Dunia seakan runtuh di kepala Dante. Kata-kata itu seperti petir yang memecah langit. Ia menatap Lyra, berharap ada jawaban di matanya, tapi yang ia temukan hanya ketakutan yang semakin dalam.

Kael—yang berdiri di hadapan mereka—bukan sekadar musuh masa lalu.

Ia adalah dirinya sendiri.

Kael tertawa pelan. “Lucu ya, kamu bahkan lupa siapa dirimu sendiri. Padahal… kamu adalah bagian dari diriku.”

Dante gemetar. “Nggak. Aku bukan kamu. Aku datang ke dunia ini sebagai penjelajah dari DIMEX.”

“Dan siapa bilang itu bukan bagian dari rencanaku?” Kael melangkah lebih dekat. “Ketika tubuhku pecah karena overload dimensi, jiwaku terbelah. Separuh tetap di tubuh ini… separuh lainnya tersesat ke dunia antar ruang, dan sistem DIMEX menyerapnya. Mereka kira kamu adalah jiwa baru, padahal kamu cuma pecahan kecil dariku. Pecahan yang terlalu… lembut.”

Lyra menahan napas. “Jadi kamu… dua bagian dari satu jiwa?”

Dante ingin menyangkal. Ingin berteriak bahwa itu tidak benar. Tapi tubuhnya… mulai bereaksi aneh. Suara Kael menggema dalam pikirannya, terlalu familiar. Emosi yang selama ini ia kira sebagai rasa simpati, kasih sayang, rasa bersalah—semuanya perlahan membentuk satu kesadaran.

Itu bukan sekadar pengaruh tubuh.

Itu bagian dari siapa dia dulu.

“Waktu kamu mencintaiku,” Kael menatap Lyra sekarang, “yang kamu rasakan adalah sisi lemahku. Bagian dari jiwaku yang mencoba bertahan.”

Dante mundur. “Tutup mulutmu.”

“Dan ketika kamu mulai mencintai dia,” lanjut Kael tanpa peduli, “sebenarnya kamu hanya mencintai fragmen diriku yang terpecah. Seolah mencintai bayangan.”

Lyra terlihat terpukul. Wajahnya kosong, tubuhnya lemas.

Dante melangkah maju, berdiri di antara Kael dan Lyra.

“Aku memang pecahan darimu. Tapi aku juga sesuatu yang baru. Aku memilih siapa aku sekarang.”

Kael menyipitkan mata. “Dan pilihan itu… adalah kesalahan.”

Ia mengangkat tangannya, dan Voidwalkers mulai bergerak. Lingkaran energi terbentuk di bawah kaki Dante dan Lyra.

Dante menarik tangan Lyra. “Kita harus lari!”

“Tunggu! Kalau kita lari, mereka bakal tahu kita pecah!”

“Lebih baik kita selamat dulu!”

Mereka berlari melewati lorong dimensi yang terbentuk alami dari celah-celah retakan dunia. Suara langkah Voidwalkers membuntuti mereka, tapi Dante mengenal jalan ini—ia pernah lewat sini dalam memori Kael.

“Sini!” teriaknya, menarik Lyra ke celah di bawah akar pohon dimensi.

Mereka masuk ke ruangan kecil alami dengan dinding berlapis kristal. Tempat yang dulu digunakan Kael untuk menyembunyikan diri saat pelariannya dari NoPath.

Lyra membeku, mencoba memahami semuanya.

“Kamu… bukan Dante?” tanyanya lirih.

“Aku… aku nggak tahu lagi siapa aku,” jawab Dante pelan. “Tapi aku tahu satu hal—aku bukan dia. Aku nggak akan menyakitimu.”

“Lalu kenapa aku masih merasa sakit?”

Air mata Lyra jatuh. “Karena saat aku lihat kamu, aku lihat dua orang sekaligus. Satu yang ingin aku percaya, dan satu yang menghancurkan semuanya.”

Dante mendekat. “Kalau kamu butuh waktu, aku akan tunggu.”

Lyra memejamkan mata, menahan tangis.

“Bukan waktu yang aku butuh. Tapi jawaban.”

Dan saat itu, sesuatu bergetar di dalam tanah.

Sebuah kristal muncul dari dinding—kristal eksistensi Lyra. Tapi bukan yang utama. Ini adalah kristal bayangan, yang menyimpan kenangan alternatif. Lyra menyentuhnya.

Dan seluruh ruangan diterangi oleh cahaya.

Mereka melihat masa lalu bersama.

Kael dan Lyra tertawa bersama di tepi danau.

Kael menggenggam tangannya dengan lembut.

Kael berjanji melindungi desa.

Lalu…

Kael membakar semuanya.

Tapi setelah itu, ia jatuh terduduk di tengah api, menangis seperti anak kecil yang kehilangan arah. Dan di antara semua kekacauan itu, hanya satu hal yang ia bisikkan berulang kali:

“Aku nggak mau begini… tolong… tolong hentikan aku…”

Cahaya kristal padam.

Dan Lyra, dengan suara gemetar, berkata:

“Kamu bukan bayangannya. Kamu… adalah bagian terbaik dari dirinya yang ingin bertahan.”

Dante menatapnya, tak percaya.

Lyra menatap balik. “Jadi jangan biarkan dia menang.”

Dari balik dinding, suara Kael terdengar menggema:

“Kalian bisa kabur sejauh apa pun… tapi kita tetap satu jiwa.”

Dan saat itu, Dante tahu—

Akhirnya saatnya memilih.

Menjadi pecahan yang disembunyikan dalam ketakutan.

Atau menjadi penjelajah yang melawan takdir.

Dan ia memilih yang kedua.

Bab 9: Dunia yang Hampir Runtuh

Langit Lethra mulai retak.

Bukan metafora. Retak sungguhan.

Celah-celah dimensi menjalar seperti guratan petir di langit yang membiru kehijauan, memancarkan suara-suara aneh dari realita lain. Beberapa bagian dunia mulai menghilang—jalan berubah jadi lubang kosong, waktu memutar diri seperti rekaman rusak. Pohon-pohon melayang, dan bangunan mulai runtuh meski tak disentuh angin.

Semuanya kacau. Dunia ini… sekarat.

Kristal eksistensi mulai tak stabil. Dan Lyra bisa merasakannya di dadanya sendiri—denyutan di bawah kulit, di bawah luka berbentuk retakan yang melekat di tulang selangkanya.

“Aku nggak kuat,” desis Lyra, tubuhnya bergetar. “Energinya terlalu liar sekarang…”

Dante menggenggam tangannya, menahan tubuh Lyra agar tak jatuh. “Kita masih bisa perbaiki ini.”

“Kael sudah membuka terlalu banyak celah. Dia punya kendali atas Voidwalkers. Dia bisa tarik dunia ini ke kehancuran hanya dengan satu perintah,” gumam Lyra lemah.

“Tapi dia nggak sendirian sekarang,” kata Dante. “Karena bagian dari dia juga ada di sini—dan memilih melindungimu.”

Mereka berdiri di puncak reruntuhan kuil kristal, tempat di mana semua dimulai, tempat di mana kristal utama dulu disimpan sebelum dicuri, dihancurkan, dan kembali—menyatu dengan tubuh Lyra.

Namun kini, energi dari kristal itu memanggil perhatian dari semua dimensi yang pernah disentuh Lethra. Dunia menjadi magnet kekacauan.

Dan Kael datang… bersama mereka.

Voidwalkers muncul lebih dulu, seperti kabut hitam berjalan. Di belakang mereka, Kael muncul dalam bentuk sempurna: mengenakan jubah NoPath yang berubah menjadi baju zirah dimensi, dengan wajah tenang dan mata kosong.

“Dante,” ucapnya, “atau harus kupanggil… Diriku Yang Hilang?”

Dante melangkah maju, melepaskan genggaman Lyra. “Aku bukan kamu.”

Kael tersenyum. “Tapi kamu juga bukan siapa-siapa tanpaku.”

“Kalau kamu pikir aku cuma pecahan jiwamu yang lemah, kamu salah. Aku adalah bagian dari dirimu yang masih bisa memilih untuk tidak menghancurkan apa pun.”

Kael mendengus. “Dan lihat apa yang dunia berikan padamu? Pengkhianatan, rasa sakit, kebencian. Dunia ini layak dihancurkan.”

“Bukan dunia yang salah. Tapi bagaimana kamu menanggung luka di dalam dirimu.”

Suara gemuruh terdengar. Langit seperti terbelah. Voidwalkers mulai melangkah. Dante tahu, pertempuran ini bukan soal kekuatan. Tapi soal keyakinan—tentang siapa dirinya sekarang.

Kael mengangkat tangannya. Voidwalker menyerang.

Dante berlari, bukan ke arah musuh… tapi ke arah Lyra.

“Percaya aku,” katanya cepat. “Biarkan aku bersatu sebentar dengan kristal. Kita akan lawan ini sama-sama.”

Lyra ragu.

“Kamu bilang kamu takut aku bagian dari Kael…”

“Dan aku masih takut,” jawab Lyra, napasnya berat. “Tapi aku lebih takut kehilangan harapan.”

Ia menarik napas… lalu menyentuhkan tangan Dante ke kristalnya.

Dalam sekejap, cahaya meledak dari tubuh mereka. Bukan seperti ledakan yang menghancurkan. Tapi seperti dua potongan teka-teki yang akhirnya menyatu.

Dante dan Lyra—untuk sesaat—berbagi ingatan.

Semua luka, semua ketakutan, semua harapan yang tak pernah terucap.

Dan di saat yang sama, mereka menciptakan kekuatan baru—dimensi dalam dimensi.

Voidwalkers berhenti. Bimbang.

Kael marah. “Apa yang kalian lakukan?”

Lyra membuka mata, yang kini berwarna perak menyala. “Kami mengembalikan keseimbangan.”

Dante berdiri di sampingnya. “Kau tak bisa lagi mengendalikan kami. Karena aku… bukan milikmu lagi.”

Kael menyerang.

Dan dalam ledakan cahaya terakhir, dunia seakan pecah… tapi tidak hancur.


Ketika Dante sadar, ia terbaring di tanah lembut. Langit Lethra kini bersih—biru muda dengan awan perlahan bergerak. Tidak ada suara retakan. Tidak ada Voidwalker.

Tidak ada Kael.

“Lyra?” panggilnya panik.

Gadis itu tergeletak di dekatnya.

Tapi saat Dante mendekat, Lyra membuka matanya. Lemah, tapi hidup.

“Kita menang?”

Dante mengangguk, menahan air mata. “Kita bertahan.”

Tapi Lyra memegang dadanya. “Kristalnya… hilang.”

Dante terdiam.

Dan saat ia menoleh ke langit—ia tahu kenapa.

Kristal eksistensi telah mengorbankan dirinya… menyerap jiwa Kael sepenuhnya, dan menutup semua celah antar realita. Dunia kembali stabil. Tapi harga yang harus dibayar…

…Lyra kehilangan sebagian dari jiwanya juga.

“Aku akan jaga kamu,” bisik Dante.

“Tapi kamu… masih dia, bukan?”

Dante menunduk. “Mungkin. Tapi aku juga aku. Aku Dante. Aku pilih mencintaimu… sebagai aku.”

Lyra memejamkan mata, tersenyum pelan.

Dan untuk pertama kalinya, dunia Lethra benar-benar sunyi.

Bukan karena hancur.

Tapi karena akhirnya… damai.

Bab 10: Penjelajah Terakhir

Beberapa minggu telah berlalu sejak dunia Lethra berhenti retak.

Langitnya kini biru keperakan, tidak lagi dipenuhi guratan dimensi yang pecah. Hutan tumbuh kembali, dan danau-danau yang dulu memantulkan cahaya kelam kini tenang seperti kaca. Desa-desa mulai dibangun ulang oleh orang-orang yang kembali percaya bahwa dunia bisa diselamatkan.

Tapi tidak semua kembali seperti semula.

Kristal eksistensi telah lenyap. Begitu pula dengan keberadaan Kael… dan sebagian dari Lyra.

Gadis itu kini lebih diam, lebih tenang, tapi ada kehampaan yang kadang terlihat jelas di matanya—seperti ruang kosong yang tak bisa diisi kembali.

Dante menemaninya hampir setiap hari, membantu membangun tempat tinggal, merawat luka-luka kecil, menanam kembali bibit pohon yang dulu terbakar. Tapi yang paling ia rawat… adalah hatinya sendiri.

Ia masih sering bertanya-tanya: siapa dirinya kini?

Apakah ia benar-benar Dante?

Atau hanya bayangan terakhir dari Kael yang menolak punah?

Tapi Lyra selalu menjawab hal yang sama.

“Kamu adalah orang yang memilih untuk tinggal.”

Dan itu cukup.


Suatu malam, di tepi danau tempat Lyra biasa duduk bersama ibunya, mereka kembali ke sana. Angin berembus pelan, menggoyang air seperti lembaran kenangan.

“Aku nggak tahu kenapa kamu tetap tinggal,” kata Lyra tanpa menatapnya.

Dante tersenyum. “Karena kamu belum mengusirku.”

“Kalau aku usir sekarang?”

“Ya… aku tetap tinggal. Tapi mungkin sambil pura-pura pergi.”

Lyra tertawa kecil. Tawa yang dulu jarang terdengar, kini perlahan kembali.

“Aku kehilangan banyak hal, Dan.”

“Aku tahu,” jawabnya pelan.

“Tapi yang paling menyakitkan… bukan kehilangan ibuku, atau desaku. Tapi kehilangan diriku sendiri. Kristal itu bukan cuma kekuatan. Itu… bagian dari aku.”

Dante menatapnya lama. “Mungkin itu artinya kamu punya ruang untuk tumbuh.”

“Gimana kalau aku tumbuh jadi seseorang yang nggak sama?”

“Kamu nggak perlu sama,” gumam Dante. “Kamu cuma perlu jujur… pada versi barumu.”

Lyra terdiam. Angin meniup rambutnya pelan.

Lalu ia menatap Dante, mata peraknya kini lebih lembut, lebih manusia.

“Aku pernah mencintai Kael. Aku pikir aku nggak akan bisa mencintai siapa pun lagi.”

Dante menunduk.

“Tapi sekarang… aku sadar, mungkin aku hanya mencintai bagian terbaik dari dia. Dan bagian itu… ternyata milikmu sekarang.”

Dante menoleh pelan, matanya berkaca-kaca.

“Kalau begitu,” katanya, “aku janji akan menjaganya baik-baik.”

Mereka duduk diam, membiarkan malam membungkus mereka dalam cahaya lembut.

Tapi saat Lyra akhirnya tertidur di pundaknya, Dante menatap langit.

Dan ia tahu, waktu untuknya di Lethra hampir habis.

DIMEX telah mengirim sinyal.

Tubuh yang ia gunakan mulai retak dari dalam. Dunia ini menolak keberadaannya lebih lama.

Ia tahu… ia harus pergi.

Tapi ia tak bisa meninggalkan Lyra tanpa pesan.


Keesokan harinya, Lyra terbangun sendirian.

Ia mencarinya di sekitar danau, di jalanan desa, di balik gua dan hutan.

Tapi Dante tidak ada.

Yang tersisa hanyalah jam dimensi kecil, tergantung di ranting pohon. Di belakangnya tertulis:

“Aku bukan penjelajah sempurna, atau pahlawan dunia.”

“Tapi aku penjelajah yang memilih mencintaimu, bukan karena takdir… tapi karena keinginanku sendiri.”

“Kalau suatu hari kamu bertemu seseorang yang kau benci, lihat lebih dalam… siapa tahu, dia bukan dirinya sendiri.”

“Dari seseorang yang dulu bukan siapa-siapa.”

“Dante.”

Air mata Lyra jatuh. Tapi bukan karena kehilangan.

Melainkan karena rasa yang tak bisa lagi ia lupakan.

Cinta itu… tidak datang dua kali.

Tapi jika cinta itu adalah bagian dari jiwa yang tersisa—maka ia akan tetap hidup dalam diam, di antara ruang dan waktu.


Di tempat lain, jauh dari Lethra, di dunia di mana waktu berputar lebih lambat… seorang pria terbangun di stasiun antar dimensi. Ia memegang jam tua yang berdenyut lembut di tangannya.

Di dalam jam itu… suara Lyra terpatri dalam gema.

Dan Dante tersenyum.

Ia bukan Kael.

Ia bukan hantu dari masa lalu.

Ia adalah penjelajah terakhir… yang pernah jatuh cinta di tubuh yang salah.

Tapi dengan hati yang tepat.

TAMAT.

Novel ini ditulis oleh Evi Fauzi, Penulis dari Novel Singkat. Baca juga novel romantis, petualangan dan fiksi ilmiah lainnya.

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

    Leave a Reply

    Your email address will not be published. Required fields are marked *