Novel Singkat Cinta yang Tak Pernah Selesai
Novel Singkat Cinta yang Tak Pernah Selesai

Novel Singkat: Cinta yang Tak Pernah Selesai

Nayla, seorang pelukis muda yang mulai merintis karier di galeri seni independen, kehilangan tunangannya, Arka, dalam kecelakaan tragis satu bulan sebelum pernikahan mereka. Hidupnya hancur, lukisannya menjadi kelam, dan jiwanya terasa separuh mati.

Namun, setahun kemudian, Nayla menerima sebuah surat misterius ditulis dengan tangan yang sangat ia kenal. Surat itu membawanya ke tempat kenangan mereka… dan di sanalah ia melihat Arka berdiri. Masih hidup. Masih sama.

Tapi Arka tidak mengenalinya.

Yang berdiri di depannya hanyalah seorang pria bernama Ray—tubuh yang sama, wajah yang sama, tapi dengan ingatan yang kosong dan jiwa yang hilang.

Saat Nayla berusaha membangkitkan cinta mereka kembali, ia justru terperangkap dalam konspirasi gelap proyek eksperimen bernama Neo-Soul, yang berambisi membangkitkan manusia dari kematian lewat teknologi. Di tengah kebingungan, kehilangan, dan cinta yang tak utuh, Nayla harus memilih: mempertahankan cinta yang berubah, atau melepaskan untuk selamanya.

Apakah cinta sejati cukup kuat untuk bertahan… bahkan saat tubuh, ingatan, dan jiwa tak lagi utuh?

Bab 1: Perpisahan yang Tak Pernah Diminta

Langit sore itu gelap. Awan menggantung seperti perasaan Nayla yang berat, menekan dada hingga sulit bernapas. Hujan turun pelan-pelan, tapi tak ada yang lebih basah dari matanya.

Di depan matanya terbentang peti kayu yang terlalu sunyi. Terlalu diam untuk seseorang yang biasanya tertawa paling keras. Seseorang yang pernah berjanji akan menua bersamanya.

“Arka…” suara Nayla pecah, menggema di antara suara tangis pelayat yang datang dan pergi.

Tangan Nayla gemetar saat menyentuh kaca bening yang memisahkan mereka. Arka tampak damai. Terlalu damai, seperti sedang tidur siang setelah kelelahan mengerjakan revisi proposal nikah mereka. Tapi tubuhnya dingin. Diam. Tak akan pernah membalas sentuhan Nayla lagi.

Satu minggu lalu, mereka masih meributkan warna undangan.

Satu minggu lalu, Arka masih mengelus rambut Nayla sambil berkata, “Kamu selalu panik soal hal kecil.”

Satu minggu lalu, hidup Nayla masih utuh.

Kini, semuanya lenyap dalam satu malam.

Kecelakaan itu terjadi saat Nayla tidak bersamanya. Arka pulang lebih dulu karena ia harus menunggu fitting gaun. Mobilnya oleng di tikungan, menabrak pembatas, dan terbalik ke jurang. Mayatnya ditemukan pagi hari dengan luka parah di bagian dada dan kepala.

Polisi bilang itu kecelakaan tunggal. Tidak ada tanda-tanda sabotase. Tidak ada yang bisa disalahkan. Tidak ada penjelasan yang bisa membuat Nayla lebih tenang.

Yang ada hanya kenyataan dingin bahwa Arka telah pergi.

Selamanya.


Seminggu setelah pemakaman, rumah Nayla dipenuhi bunga, tapi tidak ada satu pun yang harum. Semua terasa basi. Hampa.

Ia duduk di lantai, memeluk bantal Arka yang masih menyimpan sedikit aroma tubuhnya. Aromanya mulai menghilang, seperti kehadiran Arka yang perlahan mengabur dari dunia.

Teleponnya berdering. Tapi Nayla tak peduli. Ia tidak ingin bicara dengan siapa pun. Bahkan ibunya.

Ia hanya ingin tidur. Dan kalau bisa, tidak bangun lagi.

Namun malam itu, sesuatu yang tak biasa terjadi.

Saat tengah malam, Nayla terbangun karena suara ketukan di depan pintu.

Tok. Tok. Tok.

Perlahan, dengan mata bengkak dan napas masih berat, ia melangkah menuju pintu. Tidak ada siapa pun. Hanya dingin dan sunyi.

Tapi di lantai depan, ada sebuah amplop coklat.

Tak ada nama pengirim. Hanya satu kalimat yang tertulis dengan tulisan tangan yang sangat Nayla kenali:

“Nayla, temui aku di tempat biasa. Aku rindu. —Arka.”

Tangannya bergetar saat membuka amplop itu.

Tulisannya… Gaya menulisnya… Bahkan cara Arka selalu memberi tanda titik setelah tanda seru—itu semua khas Arka. Mustahil orang lain bisa menirunya sedetail itu.

Hatinya berdebar tak karuan. Ini pasti lelucon.

Tapi siapa yang tega bercanda seperti ini?

Atau…

Apakah ini pertanda?

Nayla tahu tempat yang dimaksud. Sebuah bangku kayu di taman kecil belakang kafe langganan mereka. Tempat di mana Arka pertama kali menyatakan cinta. Tempat di mana Arka berlutut dan melamarnya setahun lalu.

Ia tahu ini gila, tapi kakinya bergerak sendiri.


Langit malam sudah cerah. Bintang-bintang muncul seakan menyambut langkah Nayla yang gemetar.

Ia tiba di taman, dan hatinya nyaris berhenti berdetak.

Seseorang duduk di sana.

Di bangku kayu.

Dengan hoodie abu-abu yang terlalu familiar.

Nayla menahan napas.

“Arka?” bisiknya nyaris tak terdengar.

Pria itu menoleh perlahan.

Dan saat mata mereka bertemu…

Dunia Nayla runtuh untuk kedua kalinya.

Itu benar-benar Arka.

Wajah yang sama. Mata yang sama. Senyum tipis yang dulu selalu membuat Nayla merasa aman.

Tapi kali ini…

Tak ada pelukan. Tak ada lambaian tangan. Tak ada “aku merindukanmu juga.”

Pria itu hanya menatap Nayla dengan wajah bingung.

“Kamu… siapa?”

Bab 2: Surat yang Mengubah Segalanya

Nayla masih berdiri membeku di depan bangku kayu itu. Seluruh tubuhnya seolah membatu. Malam terasa lebih dingin dari biasanya, tapi yang menggigil bukan tubuhnya—melainkan jiwanya.

Arka, atau seseorang yang sangat mirip dengannya, berdiri perlahan. Ekspresinya datar. Tidak ada senyum hangat. Tidak ada binar cinta seperti dulu.

“Aku… Nayla,” suaranya bergetar. “Aku tunanganmu… Arka, kamu ingat aku, kan?”

Pria itu mengernyit, lalu menggeleng pelan. “Maaf… aku rasa kamu salah orang.”

Seketika dada Nayla seperti diremas paksa. Sakit. Sesak. Nafasnya tercekat di tenggorokan. Ia ingin percaya ini hanya mimpi buruk yang belum selesai.

Tapi tidak. Hujan yang mulai turun pelan menyentuh pipinya, membasahi kenyataan.

“Arka… kamu meninggal,” katanya lirih, seperti sedang mencoba membangunkan dirinya sendiri dari mimpi buruk.

Pria itu menatapnya tajam. “Meninggal?”

Ia terlihat panik. Menoleh ke kanan dan kiri. Seolah mencari jalan keluar.

“Aku… aku gak ngerti kamu ngomong apa. Maaf. Aku harus pergi.”

“Hei, tunggu!” Nayla mencoba meraih lengannya. “Kamu kirim surat itu, kan? Ini tulisanmu!”

Pria itu memandangi amplop yang Nayla keluarkan dari saku jaketnya. Matanya membesar sesaat. Ia menatap surat itu lama… lalu tiba-tiba memutar tubuh dan berlari menjauh ke arah parkiran kosong.

“ARKA!”

Nayla mengejarnya, tapi langkahnya kalah cepat. Dalam hitungan detik, pria itu menghilang dalam gelapnya malam.

Nayla berdiri di tengah hujan, membiarkan tubuhnya basah. Amplop itu masih di tangannya, basah dan remuk.

Ia menatapnya dalam-dalam. “Kalau itu bukan Arka… siapa dia? Dan kenapa wajahnya persis Arka?”


Keesokan harinya, Nayla tidak bisa tidur. Ia duduk di meja makan, menatap surat itu lagi dan lagi. Ada aroma samar dari kertasnya. Aroma lavender—parfum yang dulu sering Arka pakai.

Isi surat itu hanya satu kalimat singkat:
“Temui aku di tempat biasa. Aku rindu.”

Ia menghafalnya. Berkali-kali membacanya. Mencocokkan tulisan tangan. Gaya penulisan. Bahkan goresan-goresan kecil khas tulisan Arka.

Itu benar-benar tulisan dia.

Tapi jika Arka sudah meninggal… bagaimana bisa?

Dan yang paling mengganggu, ekspresi pria itu malam tadi. Seolah-olah… ia juga bingung. Seolah-olah dia memang bukan Arka, tapi juga bukan orang biasa.


Nayla menghabiskan hari itu dengan membuka semua album foto mereka. Semua surat lama dari Arka. Ia mencocokkan tulisannya, mencari petunjuk sekecil apa pun.

Lalu sesuatu menarik perhatiannya.

Ia menemukan sebuah catatan yang dulu sempat ia anggap tak penting: catatan kecil dari Arka yang bertuliskan,

“Kalau aku pernah hilang, cari aku di tempat yang sama. Tapi jangan percaya semuanya.”

Waktu itu Nayla hanya tertawa dan menyangka itu bagian dari teka-teki manis Arka.

Tapi sekarang… catatan itu terdengar seperti peringatan.

Jangan percaya semuanya…

Apa maksudnya?


Sore harinya, Nayla nekat mendatangi rumah sakit tempat Arka dinyatakan meninggal. Rumah Sakit Graha Medika—tempat mereka menyimpan jasad Arka selama dua hari sebelum dimakamkan.

Namun, saat Nayla tiba di sana, hatinya nyaris berhenti berdetak.

Gedungnya ada. Tapi…

Namanya berbeda.

Bukan Graha Medika. Tapi “Darma Husada Sejahtera”—klinik kecil yang tampak biasa saja.

Nayla masuk dan menanyakan soal nama rumah sakit sebelumnya. Resepsionis hanya tersenyum bingung.

“Maaf, Bu. Klinik ini sudah berdiri di sini sejak sepuluh tahun lalu. Gak pernah ganti nama.”

“Tidak mungkin… saya bahkan punya surat kematian dari sini,” Nayla bersikeras, menggali berkas-berkas di tasnya.

Tapi…

Surat itu… hilang.

Ia membeku. Surat kematian Arka yang dulu ia simpan dengan rapi di map putih—lenyap.

Nayla terduduk di kursi ruang tunggu, matanya mulai panas.

Apa yang sebenarnya sedang terjadi?

Apakah ini hanya delusi dari otaknya yang belum menerima kehilangan?

Atau ada sesuatu… sesuatu besar… yang disembunyikan darinya?


Malam harinya, Nayla kembali ke taman. Hujan belum berhenti sejak dua hari lalu. Ia duduk di bangku yang sama, berharap pria itu akan muncul lagi.

Dan saat jam menunjukkan pukul 00:02…

Seseorang berdiri di ujung jalan.

Hoodie abu-abu. Langkah pelan. Tatapan kosong.

Nayla berdiri. “Kamu datang lagi…”

Pria itu menatapnya, lalu berkata pelan, “Aku… kenal tempat ini. Tapi gak tahu kenapa. Aku ngerasa pernah di sini.”

Nayla menahan napas. “Arka… kamu pernah bilang kalau hilang, aku harus cari kamu di sini. Tapi kamu juga bilang… aku gak boleh percaya semuanya. Apa maksudnya?”

Pria itu menunduk, memegangi kepalanya.

“Ada… suara-suara di kepala aku. Kayak potongan mimpi. Suara kamu. Tapi aku gak tahu kamu siapa…”

Tiba-tiba, ia bergumam, “Neo… Soul… Project…”

“Apa?” Nayla mendekat. “Kamu bilang apa barusan?”

Pria itu menatapnya. Mata gelapnya bergetar.

“Sesuatu yang seharusnya tidak pernah dihidupkan kembali…”

Bab 3: Kenangan yang Hilang

Nayla menatap pria itu dengan napas tertahan. Kata-katanya masih bergema di kepala.

“Neo… Soul… Project.”

Itu bukan nama biasa. Bukan nama tempat. Bukan pula nama orang. Tapi terdengar seperti sesuatu yang… berbahaya. Rahasia. Dan sangat asing.

“Kamu… kamu dengar nama itu dari mana?” tanya Nayla pelan, berusaha menahan gemetar di suaranya.

Pria itu menutup mata, menggigit bibirnya seperti menahan rasa sakit. “Aku gak tahu. Aku gak tahu apa-apa. Tapi kepala aku… kayak berisik. Setiap kali aku deket kamu… semuanya makin kacau.”

“Karena kamu Arka!” Nayla setengah memohon. “Kamu tunangan aku! Kamu kecelakaan, kamu… kamu mati, dan tiba-tiba kamu hidup lagi—tapi kamu berubah! Aku tahu kamu gak bohong. Tapi aku juga tahu kamu bukan orang asing.”

Ia ingin berteriak, tapi suaranya bergetar. Rasa frustrasi, harapan, dan ketakutan bercampur jadi satu.

Pria itu memegang dadanya. Wajahnya memucat. “Aku mulai mimpiin kamu… sejak tiga malam lalu. Tapi bukan mimpi yang indah. Mimpi yang bikin aku bangun dengan teriak.”

Nayla nyaris tak bisa bicara. “Mimpi kayak apa?”

“Ledakan. Air mata. Dan… kamu. Kamu jatuh sambil bawa bunga. Tapi aku gak sempat nolong kamu.”

Nayla langsung terdiam.

Bunga. Putih. Di tangan.

Itu bukan cuma mimpi. Itu kenangan.

Itu momen terakhir mereka sebelum kecelakaan.

Hari itu, Nayla menunggu Arka di taman kota, membawa buket bunga lily putih—bunga favorit Arka. Tapi dia tidak pernah datang. Yang datang justru kabar kematian.

“Arka…” bisik Nayla, air matanya kembali turun. “Itu bukan mimpi. Itu hari terakhir kita…”


Keesokan paginya, Nayla nekat. Ia mengambil cuti kerja, menyiapkan satu tas berisi dokumen-dokumen lama milik Arka—dan yang terpenting, kotak kayu kecil berisi kenangan mereka.

Ia kembali menemui pria itu—yang kini mengaku bernama Ray.

Ray. Nama yang asing. Bukan Arka. Tapi… bahkan saat menyebut nama itu, ada kegamangan di mata pria itu sendiri. Seolah dia pun belum benar-benar percaya bahwa dirinya bukan Arka.

“Aku mau tunjukin sesuatu,” kata Nayla sambil duduk di hadapannya. Mereka bertemu di sebuah kedai kopi sepi, tempat yang dulu sering jadi tempat diskusi malam mereka.

Nayla membuka kotak kayu itu. Di dalamnya ada foto-foto mereka. Tiket konser pertama. Surat cinta dari Arka. Dan… liontin kecil berbentuk bulan sabit yang dulu Arka kalungkan di leher Nayla.

Ray menatap semuanya satu per satu. Jari-jarinya menyentuh foto lama mereka berdua—dan untuk sesaat, mata itu tampak familiar. Seperti mata seseorang yang menahan kenangan lama yang tak bisa keluar sepenuhnya.

“Aku tahu kamu gak ingat apa-apa sekarang,” ujar Nayla pelan. “Tapi mungkin… kalau kamu lihat semua ini, kamu bisa ngerasain sesuatu.”

Ray diam. Lama.

Kemudian tangannya menyentuh liontin bulan sabit itu. Ia menutup mata.

Dan tiba-tiba—tubuhnya gemetar.

Wajahnya berubah pucat.

“Lukisan,” bisiknya.

Nayla menatapnya kaget. “Apa?”

Ray menggertakkan giginya, tangan kirinya mencengkeram sisi kursi.

“Aku ngelukis tempat ini… dalam mimpi. Aku tahu bangunan di belakang kafe ini. Aku tahu bentuk pagar besinya. Tapi aku gak tahu dari mana aku tahu…”

Nayla merasa napasnya tercekat.

“Arka adalah pelukis,” katanya lirih.

Ray membuka matanya pelan.

“Jadi siapa aku, Nayla? Kalau aku tahu semua ini, tapi aku bukan dia?”


Malamnya, Nayla kembali menatap langit-langit kamarnya, memeluk liontin itu di dada.

Ia tidak tahu harus berharap atau takut.

Arka mungkin hidup. Tapi tidak utuh.

Ray mungkin bukan Arka. Tapi ada potongan Arka di dalamnya.

Dan lebih parahnya, ada orang lain di balik ini semua. Orang yang sengaja membawa Arka kembali. Tapi bukan sebagai dirinya yang dulu.

Nayla belum tahu siapa mereka.

Tapi ia yakin satu hal…

Cinta sejatinya tidak pernah pergi sepenuhnya.

Hanya saja, kali ini… cinta itu pulang dengan luka yang lebih dalam, kenangan yang patah-patah, dan jiwa yang tak sepenuhnya milik Arka lagi.

Bab 4: Pria yang Mirip Tapi Bukan

Nayla memandangi Ray dari balik kaca jendela kafe. Ia duduk di meja yang sama seperti tadi pagi. Di hadapannya ada cangkir kopi yang sudah dingin, belum tersentuh sejak disajikan. Matanya kosong, pikirannya melayang ke segala arah.

Pria itu memang memiliki wajah Arka.

Cara tertawanya… sama.

Cara dia mengernyitkan dahi saat bingung… juga sama.

Tapi ada satu hal yang selalu terasa berbeda.

Tatapannya.

Arka selalu menatap Nayla dengan pandangan penuh cinta, seperti Nayla adalah rumah satu-satunya di dunia ini.

Tapi Ray?

Tatapan Ray kosong. Seperti lautan dalam yang tidak tahu arah. Kadang tajam. Kadang takut. Dan kadang… seolah ia berusaha lari dari dirinya sendiri.

Nayla akhirnya memberanikan diri untuk bicara. “Boleh aku lihat bekas lukamu lagi?”

Ray diam sejenak. Ia tahu luka yang dimaksud Nayla: bekas besar di dada, luka berbentuk melingkar tak wajar yang dulu sempat ia lihat secara sekilas ketika Ray mengganti bajunya.

Dengan napas berat, Ray membuka resleting jaketnya dan menarik kaosnya sedikit.

Nayla menahan napas.

Bekas itu masih ada. Lebih jelas. Seolah seperti bekas sayatan… atau pembedahan.

Tapi yang paling membuat merinding adalah bentuknya: lingkaran dengan tiga garis menyilang ke tengah.

Nayla tahu ia pernah melihat bentuk itu.

Bukan di tubuh Ray.

Tapi di berkas-berkas tua yang disimpan Arka dulu. Ia ingat Arka pernah terobsesi dengan artikel-artikel rahasia soal proyek militer dan eksperimen tubuh manusia.

Waktu itu Nayla hanya tertawa. “Teori konspirasi kayak gitu mah buat nulis novel aja, bukan buat diteliti beneran.”

Tapi kini… bentuk itu nyata. Di dada pria yang kini duduk di hadapannya. Pria yang entah siapa sebenarnya.


Malam itu Nayla tidak bisa tidur. Ia membongkar semua kotak tua yang disimpan Arka di loteng rumah orang tuanya.

Setelah dua jam penuh debu dan sobekan koran lama, akhirnya ia menemukannya.

Sebuah map lusuh bertuliskan:
“Neo-Soul Project – Catatan Pribadi”

Tangannya gemetar saat membuka lembar demi lembar. Semuanya tulisan tangan Arka.

“Neo-Soul adalah program eksperimental yang dirahasiakan oleh kelompok independen di luar pengawasan pemerintah. Tujuannya: menghidupkan kembali memori seseorang melalui tubuh kloningan berdasarkan DNA asli korban. Bukan hanya fisik, tapi juga kepribadian yang diprogram.”

Di halaman terakhir, tertulis dengan huruf besar:

“Kalau aku pernah jadi bagian dari eksperimen ini… tolong jangan bangkitkan aku.”

Nayla mundur dua langkah. Tangannya menutup mulut. Matanya panas. Jantungnya berdebar tak karuan.

“Arka… kamu tahu kamu akan jadi korban?”


Esok paginya, Nayla kembali menemui Ray. Kali ini bukan di kafe. Tapi ia mengajaknya ke tempat yang hanya Arka tahu: bukit kecil di belakang sekolah lama mereka. Tempat mereka kabur dari kelas dan membicarakan masa depan.

Saat mereka tiba, Ray menatap sekeliling dengan pandangan kosong. Tapi kemudian ia menunduk, menutup mata, dan bergumam, “Tempat ini… tenang banget…”

“Kamu pernah ke sini,” Nayla mendekat. “Bukan Ray. Tapi Arka.”

Ray terdiam.

“Luka di dadamu. Mimpi yang kamu lihat. Dan… tulisan Arka yang kamu tiru secara sempurna. Kamu bukan orang biasa. Kamu… kamu Arka, tapi bukan Arka yang aku kenal.”

Ray menatapnya. Ada air yang menggenang di matanya. Ia menggeleng pelan.

“Aku ngerasa… aku hidup bukan dari awal. Aku hidup dari sisa seseorang yang lebih dulu ada… Tapi aku gak tahu siapa aku sebenarnya.”

Nayla menangis.

Karena untuk pertama kalinya, ia menyadari sesuatu yang menyakitkan:

Pria yang berdiri di hadapannya memang Arka. Tapi hanya cangkangnya.
Isi hatinya… jiwanya… entah di mana sekarang.

Dan lebih dari itu, Nayla sadar satu hal yang membuat napasnya berhenti sesaat:

Seseorang telah merancang semua ini.

Dan orang itu… sedang mengawasi.

Bab 5: Jejak yang Dihapus

Tiga hari berlalu sejak Nayla menunjukkan catatan Neo-Soul Project pada Ray. Sejak hari itu, semuanya berubah.

Ray mulai sering kehilangan kesadaran. Ia akan tiba-tiba pingsan lalu terbangun dengan tatapan kosong dan tak tahu ia berada di mana. Kadang, ia memanggil nama Nayla dengan suara gemetar, lalu esoknya bersikap seolah tak pernah mengenalnya.

Nayla mulai mencatat semuanya.

Jam berapa Ray bicara seperti Arka. Jam berapa Ray tidak ingat apa pun.

Semua datanya ia simpan dalam satu folder rahasia di laptopnya.

Ia tahu, ia harus mencari jawaban lebih jauh. Jadi ia memutuskan untuk mendatangi rumah sakit yang dulu sempat disebut-sebut sebagai tempat Arka dirawat setelah kecelakaan: Rumah Sakit Graha Medika.

Tapi saat ia tiba di sana lagi…

Bangunannya sudah tidak ada.

Benar-benar hilang. Yang tersisa hanya puing-puing dan pagar seng yang menutupi bekas lokasi.

Nayla terpaku di pinggir jalan. Tangannya gemetar saat membuka ponsel dan mencari dokumen foto lama yang memperlihatkan plang rumah sakit itu.

Namun…

Tidak ada.

Folder yang dulu bernama “Arka – Rumah Sakit” kini kosong.

Foto-fotonya? Hilang.

Bahkan di Recycle Bin, tak ada satu pun jejak.

Jantung Nayla berdetak makin cepat.

Ini bukan kebetulan. Ada yang sengaja menghapus semuanya.

Dan yang lebih menyeramkan lagi…

Orang itu tahu apa yang Nayla tahu.


Malamnya, Nayla kembali ke rumah dalam keadaan gelisah. Ia mengunci semua pintu dan jendela, memasang kamera kecil di pojok ruangan—kamera tua milik ayahnya yang dulu sering dipakai untuk merekam kegiatan di luar rumah.

Ia tahu dirinya bisa dalam bahaya. Tapi ia belum siap berhenti. Belum sekarang. Bukan setelah semua kehilangan ini.

Sekitar jam dua dini hari, saat ia mulai terlelap di sofa ruang tengah, sebuah suara membuatnya terbangun.

Tok. Tok. Tok.

Seseorang mengetuk pintu.

Nayla langsung duduk. Hatinya seakan ingin loncat dari dada. Ia meraih ponsel dan melihat layar kamera.

Seseorang berdiri di depan pintu. Sosok pria. Wajahnya tidak terlihat karena tertutup hoodie hitam.

Ia tidak bergerak. Hanya berdiri… menunggu.

Nayla tidak buka pintu. Ia menunggu selama lima belas menit sampai sosok itu pergi.

Begitu ia membuka kamera rekaman…

File-nya… terhapus.

Sendiri. Tanpa ia menyentuh apa pun.

Dan di layar ponselnya, ada notifikasi tak dikenal:

“Berhenti. Atau Ray akan menghilang untuk selamanya.”

Nayla terjatuh, ponselnya terlepas dari genggaman. Tubuhnya gemetar hebat.

Air matanya jatuh. Bukan karena takut.

Tapi karena satu hal…

Ancaman itu bukan main-main.


Paginya, Nayla mencoba menghubungi Ray. Tidak aktif.

Ia mendatangi tempat tinggal sementara Ray—kos tua di pinggiran kota. Tapi ketika ia sampai di sana…

Kos itu kosong. Tidak ada siapa pun.

Ibu pemilik kos bilang, “Anak muda itu pindah pagi tadi. Katanya nggak mau tinggal di sini lagi. Meninggalkan kamar begitu saja. Tapi dia titip ini untuk kamu.”

Nayla menerima amplop kecil dari wanita tua itu.

Di dalamnya hanya ada satu kalimat:

“Maafkan aku. Mungkin aku memang bukan orang yang kamu cintai dulu. Tapi tolong jangan cari aku lagi. —R”


Nayla menatap surat itu selama berjam-jam di kamar.

Matahari mulai tenggelam di luar jendela.

Ia kehilangan Arka sekali.

Kini, ia kehilangan Ray juga.

Dan yang tersisa hanyalah satu kalimat di kepalanya:

“Kalau aku pernah jadi bagian dari eksperimen ini… tolong jangan bangkitkan aku.”

Tapi Nayla sudah terlanjur menantang kematian.

Dan cinta yang ia bawa kini tidak bisa dihentikan.

Meski semua jejak dihapus…

Ia akan tetap mencari.

Meski nyawanya taruhannya…

Ia akan terus maju.

Karena mungkin, satu-satunya cara untuk menyelesaikan cinta ini…

Adalah dengan menghancurkan mereka yang menciptakan ulang Arka.

Bab 6: Rumah Sakit yang Tak Pernah Ada

Nayla menghabiskan malam itu dengan membuka setiap lembar catatan Arka. Ia tak bisa tidur. Kepalanya penuh dengan pertanyaan, dan hatinya sesak oleh kehilangan kedua yang lebih menyakitkan dari sebelumnya.

Ray telah pergi. Tapi bukan ke mana-mana. Ia disingkirkan.

Nayla yakin, semua ini berhubungan dengan satu nama: Neo-Soul Project.

Dan satu tempat: Rumah Sakit Graha Medika—yang kini telah menghilang dari peta, catatan, bahkan dari ingat-ingatan orang-orang di sekitarnya.

Tapi Nayla bukan tipe orang yang mudah menyerah, apalagi jika menyangkut Arka.


Pagi itu, ia kembali ke lokasi rumah sakit yang kini hanya berupa lapangan kosong dan pagar seng.

Namun kali ini, ia datang tidak sendiri.

Ia membawa seorang teman lama Arka, Rafi—seorang mantan jurnalis investigasi yang dulu sempat membantu Arka mencari tahu soal proyek-proyek medis ilegal. Orang ini satu-satunya yang mungkin masih bisa membantunya sekarang.

“Kamu yakin kamu masih mau terusin ini, Nay?” tanya Rafi sambil menatap lokasi terbengkalai itu. “Aku pernah nyentuh kasus Neo-Soul. Teman yang bantu aku waktu itu… hilang. Tanpa jejak.”

Nayla menggenggam erat map lusuh yang berisi catatan Arka. “Aku gak akan berhenti, Rafi. Kalau mereka bisa mengambil ingatan Ray, siapa yang bisa jamin mereka gak ambil hidupku juga? Aku harus tahu apa yang sebenarnya terjadi.”

Rafi mengangguk pelan. “Oke. Kita mulai dari satu-satunya jejak yang belum hilang.”

Ia menunjukkan peta lama kota itu, versi arsip dari tahun 2014. Di sana, jelas tertulis nama Graha Medika, dengan keterangan: “Unit Transhumanisasi Eksperimental – Tidak untuk umum.”

“Apa maksudnya transhumanisasi?” tanya Nayla.

“Peningkatan manusia menggunakan teknologi,” jawab Rafi singkat. “Tapi dalam beberapa kasus, termasuk Neo-Soul, artinya lebih ke… menciptakan ulang manusia.”

Nayla menelan ludah.

“Arka jadi bagian dari ini?”

Rafi mengangguk. “Mungkin bukan secara sukarela. Bisa jadi dia korban, atau malah… target.”


Mereka berdua menyelinap masuk ke area kosong itu. Di balik pagar seng, mereka menemukan lubang bekas lift tua yang tertutup puing. Tapi ada sesuatu yang ganjil: lantai di sekitarnya tidak ditumbuhi rumput seperti bagian lain.

“Ini baru ditutup,” kata Rafi, berlutut dan menyentuh beton.

Dengan hati-hati, mereka mulai mengangkat puing-puing ringan, dan akhirnya menemukan pintu logam besar tersembunyi di bawahnya. Terkunci. Tapi Rafi, dengan alat kecil dari tasnya, berhasil membobolnya.

Pintu itu berderit saat terbuka, dan bau logam menyengat langsung menyeruak keluar.

Tangga menurun. Gelap. Sunyi.

Nayla menyalakan senter.

Dan jantungnya langsung berdetak kencang.

Di dinding, ada simbol yang sama dengan bekas luka di dada Ray: lingkaran dengan tiga garis menyilang.

“Tempat ini nyata…” bisiknya.


Mereka menyusuri koridor bawah tanah yang penuh debu. Di sepanjang dinding ada bekas kabel dan monitor rusak. Lalu mereka sampai di sebuah ruangan tertutup kaca.

Ada kursi operasi. Ada lengan robot.

Dan ada… foto Arka.

Di papan data pasien yang tergantung di dinding, tertulis:

Nama: Arkana D. Prasetyo
ID Subjek: N-SP/019-A
Status: Percobaan Gagal – Reaktivasi Terbatas
Catatan: Kehilangan 63% memori emosional. Jiwa asli tidak stabil. Penolakan koneksi penuh.

Nayla mundur. Air matanya jatuh begitu saja.

“Ini… eksperimen. Arka bukan dihidupkan kembali. Dia diciptakan ulang.”

Rafi membaca cepat dokumen yang tercecer di lantai.

“Mereka ngerekam pola otaknya. Lalu transfer ke tubuh kloning. Tapi gak sempurna. Makanya Ray nggak pernah bisa benar-benar ingat kamu.”

Nayla menangis. Bukan karena marah.

Tapi karena akhirnya tahu… Arka yang kembali bukanlah keajaiban. Melainkan produk kegilaan.

Namun yang membuat semuanya makin menyakitkan…

Di layar komputer rusak yang berhasil dinyalakan Rafi, muncul satu rekaman video pendek.

Isinya? Arka.

Wajahnya pucat. Ia duduk di kursi logam, menatap kamera.

“Kalau kamu menemukan video ini,” katanya lirih, “berarti aku gagal melawan mereka. Aku gak tahu apakah kamu masih percaya ini aku. Tapi Nayla… tolong ingat satu hal—aku memilih untuk mencintaimu bahkan jika aku dilahirkan ulang tanpa memori. Dan kalau mereka paksa aku melupakanmu… selamatkan aku, bukan tubuhku. Tapi hatiku.”

Layar padam.

Nayla menangis keras. Tubuhnya ambruk di lantai.

Bukan karena ia lemah. Tapi karena kata-kata Arka barusan telah menusuk tempat paling dalam di hatinya.

Ia tahu kini…

Ray bukan Arka. Tapi dia adalah jiwa Arka yang terjebak.

Dan satu-satunya cara menyelamatkan Arka…

Adalah dengan menghentikan Neo-Soul Project.

Bab 7: Luka yang Belum Sembuh

Sejak Nayla meninggalkan ruang bawah tanah itu, semuanya berubah.

Ia tidak bisa tidur.

Setiap kali memejamkan mata, ia mendengar suara Arka dari rekaman itu—lirih, penuh luka, seakan memanggil dari balik ruang gelap yang tak terjangkau.

“Selamatkan aku, bukan tubuhku. Tapi hatiku.”

Kata-kata itu terpatri di benaknya seperti belati. Dan Nayla tahu, jika ia tak bertindak cepat, maka Ray—atau bagian dari Arka yang masih tersisa di dalam dirinya—akan benar-benar menghilang.


Ia mencoba menghubungi Ray selama dua hari.

Tidak ada balasan.

Nayla bahkan kembali ke kos lama Ray, ke kafe tempat mereka biasa bertemu, ke bangku kayu di taman kenangan… tapi semua kosong. Sunyi. Seolah Ray benar-benar telah ditelan bumi.

Sampai akhirnya…

Pukul dua pagi, ponselnya berdering.

Nomor tak dikenal.

Dengan jantung berdebar, Nayla mengangkat.

“Halo?”

Tak ada jawaban selama beberapa detik. Hanya suara napas berat.

Lalu, suara yang sangat ia kenali, meski kini terdengar lemah dan goyah.

“Nayla…”

“Ray?” suaranya langsung bergetar. “Itu kamu?”

“Aku… gak tahu… aku siapa sekarang…”

Nayla langsung duduk tegak. “Di mana kamu? Aku akan ke sana.”

“Aku… di tempat kita terakhir ketemu. Aku takut, Nayla. Kepalaku… kayak mau pecah.”


Ia menemukan Ray di taman kecil dekat sekolah tua, duduk di bangku dengan kepala tertunduk, tubuhnya gemetar. Kulitnya pucat, matanya merah seperti belum tidur berhari-hari.

Saat Nayla menyentuh bahunya, ia terlonjak.

“Aku gak bisa bedain mimpi dan kenyataan lagi,” katanya pelan. “Kadang aku ngerasa aku Arka. Kadang aku cuma… hampa.”

Nayla menatap wajah itu. Wajah yang dulu ia cium dengan penuh cinta. Wajah yang dulu ia panggil ribuan kali dengan tawa dan tangis. Tapi kini, wajah itu… asing. Retak.

Ray memegangi dadanya. “Sakit ini makin parah. Aku… ngerasa ada dua bagian dalam diriku yang terus tarik menarik.”

Tiba-tiba, ia jatuh ke tanah, tubuhnya kejang. Nayla berteriak panik, memeluknya sambil memanggil namanya.

“Ray! Arka! Bangun! Tolong bangun!”

Ray membuka mata perlahan. Tapi saat ia menatap Nayla…

Ia tersenyum kecil.

“Bunga lily… kamu bawain waktu aku ulang tahun, kan?”

Nayla terdiam.

“Waktu itu kita duduk di balkon, kamu bilang aku bau matahari. Aku kesel karena kamu ketawa waktu aku masak omelet gosong.”

Air mata Nayla mengalir deras.

Itu… kenangan Arka.

Ray menggenggam tangan Nayla. “Aku ingat… sebentar aja. Tapi aku tahu itu nyata.”

Nayla menutup mulut, menahan isak.

Ray menatap langit gelap. “Mungkin aku nggak akan lama lagi, Nay. Kalau mereka tahu aku mulai ingat, mereka akan ambil semua yang tersisa.”

“Enggak.” Nayla menggeleng keras. “Kamu gak boleh pergi. Aku bakal lindungin kamu.”

Ray tersenyum pahit. “Aku cuma… setengah orang. Setengah jiwa. Gak utuh. Tapi setiap kali kamu nyentuh aku, aku ngerasa… utuh sebentar.”

Lalu ia menunduk, suaranya pelan.

“Tapi sekarang… aku ngerasa mereka ngelihat aku. Dari dalam. Dari jauh. Mereka tahu kamu nemuin tempat itu.”

Nayla menegang. “Mereka? Siapa yang kamu maksud?”

Ray mengangkat kepalanya, menatap Nayla dengan mata berkaca-kaca.

“Mereka bukan cuma pencipta. Mereka pemilik. Aku… bukan manusia biasa, Nay. Aku milik mereka.”


Malam itu, Nayla membawa Ray ke rumah temannya yang juga dokter, Shena, untuk memeriksa kondisi fisiknya. Shena awalnya ragu, tapi setelah melihat luka aneh di dada Ray, ia setuju membantu secara diam-diam.

Beberapa jam kemudian, hasil pemeriksaan membuat Nayla hampir pingsan.

“Ada chip kecil di bawah jaringan dadanya,” kata Shena pelan. “Dan jantungnya… bukan seperti jantung biologis biasa. Separuhnya… logam.”

Nayla tidak bisa berkata-kata.

Ray mendengarnya sambil tersenyum getir. “Mungkin itu kenapa aku gak bisa merasa sepenuhnya. Karena jantungku setengah mati.”

Shena memandang Nayla tajam. “Kalau kamu tetap melindunginya, Nay, kamu harus siap dikejar orang-orang yang menciptakannya.”

Nayla hanya menjawab satu hal:

“Dia pernah mati karena cinta ini. Sekarang giliranku berjuang agar cintanya nggak dibunuh untuk kedua kali.”


Namun saat mereka pulang malam itu…

Pintu rumah Nayla terbuka lebar.

Ruangan berantakan. Komputer rusak. Folder tempat Nayla menyimpan catatan Arka… hilang.

Di dinding, tertulis dengan cat merah menyala:

“Berhenti. Atau dia akan hancur sepenuhnya.”

Nayla menatap tulisan itu dengan tubuh gemetar. Tangannya mencari genggaman Ray.

Tapi Ray tak ada di sampingnya.

Ia menghilang.

Lagi.

Bab 8: Rahasia di Balik Kebangkitan

Nayla berdiri di tengah ruang tamunya yang hancur. Pecahan kaca berserakan, layar laptop terbakar, dan semua dokumen yang ia simpan hilang.

Namun, bukan itu yang membuatnya membeku.

Ray—pria yang mungkin masih menyimpan sisa jiwa Arka—menghilang. Lagi.

Tapi kali ini bukan melarikan diri.

Ini penculikan.

Matanya menatap tulisan di dinding yang masih segar:

“Berhenti. Atau dia akan hancur sepenuhnya.”

Tangan Nayla mengepal. Tidak lagi karena takut.

Tapi karena amarah.

“Kalau mereka pikir aku akan berhenti, mereka salah besar.”


Malam itu, Nayla menghubungi Rafi. Mereka menyusun ulang potongan-potongan data yang sempat tersisa di flashdisk backup milik Arka. Di sana, hanya satu nama yang muncul berulang-ulang:

Dr. Vano Hadibrata
Neurosaint Corp — Direktur Proyek Neo-Soul

“Dia hilang dari publik sejak lima tahun lalu,” kata Rafi. “Diduga meninggal dalam ledakan lab bawah tanah. Tapi lihat ini—rekaman kamera lalu lintas bulan lalu.”

Ia memperlihatkan sebuah cuplikan video: seorang pria tua berjubah hitam keluar dari mobil hitam dengan plat kode rahasia.

Dan Nayla langsung tahu siapa dia.

“Itu dia. Aku pernah lihat wajah itu… di foto Arka, waktu mereka ikut konferensi penelitian medis bareng.”

“Kalau kamu mau ketemu dia,” ujar Rafi, “ada satu tempat lagi yang masih tersisa—Villa Hadibrata, rumah pribadinya di luar kota. Tapi dijaga ketat. Dan kabarnya… bukan tempat manusia biasa.”

Nayla menatap layar. Napasnya berat. Matanya penuh tekad.

“Aku gak peduli dijaga siapa pun. Kalau dia yang menciptakan ulang Arka, aku mau dia sendiri yang menghancurkan kebohongannya.”


Dua hari kemudian, di tengah hujan lebat, Nayla menyusup masuk ke area villa terpencil di pinggir hutan. Dengan bantuan Rafi dan peta bawah tanah peninggalan Arka, mereka berhasil menembus sistem keamanan dan masuk lewat jalur penyimpanan.

Lorong gelap, dingin, dan penuh aroma zat kimia menyengat.

Di ujungnya, mereka menemukan sebuah ruangan laboratorium yang masih aktif.

Dan di sanalah ia melihatnya.

Seorang pria tua dengan rambut memutih, mengenakan jas lab, berdiri di depan kapsul transparan berisi tubuh manusia yang belum “bangkit”.

Wajah dalam kapsul itu…
Adalah Arka.

Atau lebih tepatnya—kloning Arka lain.

Nayla merasa perutnya mual. Kepalanya berputar. “Berapa banyak versi Arka yang kalian ciptakan?”

Dr. Vano menoleh pelan, seolah sudah menunggu.

“Aku tahu kamu akan datang, Nayla.”

“Apa yang kalian lakukan pada dia?” Nayla tak bisa menyembunyikan gemetar di suaranya.

“Ray adalah Prototype 2.0. Satu-satunya yang bertahan hidup lebih dari enam bulan. Sisanya… gagal. Entah mentalnya hancur, atau tubuhnya menolak memori lama.”

“Jadi kalian… bukan menyelamatkan Arka. Kalian menyiksanya,” gumam Nayla.

Dr. Vano tersenyum tipis. “Kami hanya mencoba menyelamatkan sesuatu yang dunia ini butuhkan—keabadian.”

“Dia bukan ‘proyek’!” Nayla membentak. “Dia manusia! Dia orang yang aku cintai!”

“Tapi dia juga adalah bagian dari kami,” balas Vano dingin. “Kami membangkitkannya dari mati. Kami menanamkan kembali memorinya. Tanpa kami, dia hanya tubuh kosong.”

Nayla melangkah maju. “Tapi dia mencintai aku. Dengan atau tanpa memori. Itu artinya dia masih Arka.”

“Lalu kenapa kamu masih menangis?”

Pertanyaan itu membekukan Nayla.

Dr. Vano menatapnya tajam. “Karena kamu tahu dia tak akan bertahan lama. Ray sudah dalam tahap kehancuran sel. Tubuhnya menolak sistem. Dan jika kamu tetap mencarinya… dia akan hancur. Perlahan. Sakit. Seperti dibakar dari dalam.”

Nayla menahan air mata. “Lalu biarkan aku bicara padanya. Biarkan aku bersamanya… meski hanya sebentar.”

Dr. Vano menghela napas panjang. “Dia di ruangan isolasi. Tapi aku tak bisa menjamin berapa lama dia akan sadar.”


Ray duduk bersandar di kursi logam di tengah ruangan dingin. Tangan dan kakinya terikat, tapi ia tampak tenang. Matanya menatap kosong ke dinding… sampai ia melihat Nayla.

Seketika matanya berkaca-kaca.

“Nay…”

Nayla berlari dan memeluknya, meski tubuhnya lemah dan dingin.

“Aku di sini,” bisiknya. “Aku gak akan pergi lagi.”

Ray menutup mata, menghela napas berat. “Aku takut…”

“Takut apa?”

“Takut kalau… aku akan lupa kamu lagi.”

Nayla menggenggam tangannya erat. “Kalau kamu lupa, aku akan jadi satu-satunya yang ingat. Dan selama itu terjadi, kamu gak akan pernah benar-benar hilang.”

Ray tersenyum tipis. “Aku pengen tetap hidup… meski cuma sebentar… tapi dengan perasaan ini.”

Dan untuk pertama kalinya…

Mereka berdua saling berpelukan.

Tapi di balik kaca ruang observasi, Dr. Vano menekan satu tombol.

Di layar, muncul data:
“Prototype 2.0 – Sistem mulai kolaps. Waktu tersisa: 48 jam.”

Bab 9: Pilihan Terakhir

Jam digital di monitor laboratorium terus berdetak.

Sisa waktu: 46 jam 27 menit.

Tubuh Ray, atau Arka—atau siapapun dia sekarang—semakin melemah. Ia tidak lagi bisa berdiri tegak tanpa gemetar. Sering kali, ia bicara sambil tersengal, seolah setiap kata menyayat paru-parunya dari dalam.

Namun yang paling menyakitkan bagi Nayla adalah… senyumnya tidak pernah hilang.

“Aku masih ingat kamu,” ucap Ray pelan di pelukan Nayla. “Gak utuh, tapi cukup untuk tahu… kamu satu-satunya alasan kenapa aku ingin tetap hidup.”

Nayla menggenggam tangan Ray erat. “Kita akan cari cara. Kita bisa cari pengobatan. Atau… atau kamu bisa jalani hidup baru. Tanpa ingatan pun, aku tetap milih kamu.”

Ray menggeleng pelan. “Aku cuma setengah manusia. Dan tubuh ini… semakin hari, semakin nggak bisa menahan beban yang bukan milikku.”

Nayla mengusap air matanya. “Tapi kamu adalah Arka… di mataku, kamu tetap dia.”

Ray tersenyum lemah. “Mungkin cinta memang gak butuh logika, ya?”


Sementara itu, Dr. Vano memanggil Nayla ke ruang observasi. Di dalam ruangan berisi panel dan grafik, ia menunjukkan dua pilihan besar:

“Kamu harus memilih sekarang,” katanya datar.

“Opsi pertama: Kami akan mematikan sistem. Ray akan berhenti berfungsi secara perlahan dan pergi dalam keadaan damai, tanpa rasa sakit. Ia akan tersenyum. Kamu bisa mendampinginya.”

“Opsi kedua: Kami akan melakukan reboot ulang. Semua kenangan yang mulai muncul akan dihapus sepenuhnya. Ia akan hidup, mungkin lebih lama—tapi dia tak akan pernah ingat kamu, atau Arka, atau cinta itu.”

Nayla tercekat.

Kedua pilihan itu sama-sama menyakitkan. Satunya kehilangan selamanya, satunya hidup tapi hanya dalam tubuh tanpa jiwa yang pernah mencintainya.

“Apa gak ada pilihan ketiga?” tanyanya pelan.

Dr. Vano menatap tajam. “Ini bukan cerita fiksi romantis, Nayla. Ini sains. Dan dalam dunia kami, keajaiban tidak datang dari cinta, tapi dari keputusan.”

Nayla terdiam lama.

Lalu ia berkata pelan, “Aku mau bicara dengan Ray. Terakhir kali. Tapi kamu gak ikut.”


Ruangan itu sunyi saat Nayla duduk di samping Ray. Ia memegang tangan dingin pria itu dan menatap matanya yang makin sayu.

“Ray… mereka kasih dua pilihan.”

Ray tersenyum miris. “Dan kamu yang harus memilih, kan?”

Nayla mengangguk perlahan. “Kalau aku pilih hidup, kamu mungkin akan selamat… tapi kamu gak akan ingat aku. Gak akan tahu siapa kamu. Gak akan merasa cinta yang kita punya.”

Ray menunduk. “Dan kalau kamu pilih pergi?”

“Aku akan kehilangan kamu… lagi. Tapi setidaknya kamu akan pergi sebagai Arka. Sebagai seseorang yang mencintai aku.”

Ray terdiam lama. Lalu ia mengangkat wajahnya, menatap Nayla dalam-dalam. “Aku tahu kamu kuat. Lebih kuat dari yang aku kira. Karena itu, aku percaya keputusan kamu… apapun itu.”

Tetes air mata jatuh dari mata Nayla. “Kamu gak marah kalau aku memilih salah satunya?”

Ray menggeleng lemah. “Enggak. Karena selama kamu masih ingat aku… aku gak benar-benar hilang.”


Setelah Ray tertidur, Nayla kembali ke ruang kontrol. Dengan langkah goyah tapi hati yang mantap, ia menatap Dr. Vano dan berkata:

“Matikan sistemnya.”

Dr. Vano menatapnya sejenak, lalu perlahan menekan tombol merah besar di panel.

Layar mulai menampilkan tulisan:

[Sistem Dilepas – Proses Penutupan Jiwa Digital dimulai…]

Nayla kembali ke sisi Ray.

Dan saat itu juga, pria yang ia cintai membuka mata perlahan.

Tatapannya tenang.

“Aku bisa rasakan, Nay…”

Nayla mengangguk, air mata tak terbendung.

“Aku gak akan pernah lupakan kamu, Nayla,” bisik Ray. “Bahkan saat aku gak ada, aku akan tetap mencintaimu… di mana pun bentukku.”

“Dan aku akan terus hidup dengan kenangan tentangmu,” bisik Nayla balik. “Sampai akhir.”

Ray tersenyum. Lalu perlahan, ia memejamkan mata.

Nayla mendekat, meletakkan keningnya di dada Ray. Tidak ada detak.

Tapi ada damai.

Cinta itu… telah selesai.

Tapi luka itu…

Belum.

Bab 10: Cinta yang Tak Pernah Selesai

Tiga minggu telah berlalu sejak Nayla memutuskan mematikan sistem yang menopang tubuh Ray.

Dan selama tiga minggu itu, dunia terasa sunyi.

Rumah Nayla masih sama. Sepi. Tapi ada sesuatu yang berubah.

Bukan lagi karena kehadiran yang hilang…

Tapi karena luka itu akhirnya benar-benar membekas. Bukan luka fisik, melainkan luka di tempat yang tak bisa dilihat siapa pun.

Luka yang hanya bisa dirasakan oleh seseorang yang telah mencintai begitu dalam… dan kehilangan dua kali.

Di rak kamarnya, kini berdiri sebuah bingkai kecil berisi foto Arka—bukan foto ganteng penuh senyum seperti biasanya. Tapi gambar potret hasil lukisan Nayla sendiri. Wajah itu digambar dari ingatan: Arka dengan mata teduh, dan senyum kecil yang penuh ketulusan.

Tepat di bawah lukisan itu, tertulis:
“Kamu mungkin tidak ada lagi di dunia ini… tapi kamu hidup selamanya di dalam aku.”


Hari ini, Nayla kembali ke taman kecil tempat semuanya bermula—bangku kayu di dekat kafe tua itu.

Ia duduk di sana, membawa seikat bunga lily putih di tangannya. Tangannya gemetar, tapi hatinya lebih tenang dari sebelumnya.

Ia menatap langit, seolah berharap seseorang akan datang lagi… seperti malam saat Ray berdiri di bawah lampu jalan.

Namun, bangku di seberangnya kosong.

Dan Nayla tahu, kali ini, tak ada lagi yang akan muncul secara ajaib.

Karena cinta mereka… telah mencapai ujungnya.

Bukan karena rasa itu memudar.

Tapi karena dunia memang tak lagi mengizinkan mereka bersama.


“Arka,” bisik Nayla. “Atau Ray. Atau siapa pun kamu sekarang…”

Ia tersenyum kecil meski air matanya mengalir.

“Aku pernah menolak percaya kamu benar-benar pergi. Lalu semesta membawamu kembali dalam bentuk yang tak pernah bisa aku pahami.”

“Tapi hari ini… aku belajar satu hal.”

Bahunya gemetar.

“Cinta yang sebenarnya bukan tentang memiliki. Tapi tentang tahu kapan harus melepaskan.”

Ia meletakkan bunga itu di bangku seberang.

Lalu berdiri.

Dan berjalan pergi… dengan air mata dan senyuman dalam waktu yang bersamaan.


Setahun kemudian…

Nayla berdiri di depan galeri lukisan miliknya yang baru saja dibuka. Namanya: “Setengah Jiwa”.

Di dalamnya tergantung puluhan lukisan… tapi hanya satu lukisan yang tidak dijual.

Sebuah karya berjudul:

“Cinta yang Tak Pernah Selesai”

Di lukisan itu, seorang wanita duduk sendiri di bangku taman. Tapi di sisi bangku yang kosong, bayangan samar seorang pria sedang menatapnya dari kejauhan.

Wajahnya tenang.

Hangat.

Penuh cinta.

Dan di sudut bawah lukisan, ada kalimat yang Nayla tulis dengan tangannya sendiri:

“Kau telah pergi, tapi cintamu tinggal. Dan aku akan terus hidup… untuk kita yang tak pernah selesai.”


TAMAT

Novel ini ditulis oleh Evi Fauzi, Penulis dari Novel Singkat. Baca juga novel romantis, petualangan dan fiksi ilmiah lainnya.

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

    Leave a Reply

    Your email address will not be published. Required fields are marked *