Ray, seorang ilustrator freelance berusia 26 tahun, hidup dengan ritme yang sunyi dan datar. Hari-harinya diisi menggambar untuk klien asing dan menelan sepi di apartemen kecilnya. Namun segalanya berubah ketika ia mengalami kecelakaan dan sempat dinyatakan koma.
Saat sadar, Ray mendapati dirinya mampu melihat pintu-pintu misterius yang tersembunyi di sudut kota, pintu yang hanya bisa dilihat oleh mereka yang pernah menyentuh batas kematian. Salah satu pintu membawanya bertemu Lyra, gadis misterius yang tinggal di antara realita dan mimpi. Bersama Lyra, Ray harus menelusuri tujuh dunia kecil di balik pintu-pintu itu, masing-masing mencerminkan sisi terdalam dari jiwanya: rasa bersalah, ketakutan, cinta, hingga keinginan untuk dilupakan.
Namun saat pintu terakhir terbuka, Ray dihadapkan pada pilihan paling sulit: kembali ke dunia nyata tanpa Lyra, atau tinggal bersamanya selamanya dan menghilang dari dunia.
Sebuah kisah urban fantasy penuh nuansa psikologis dan emosi dalam, tentang perjalanan pulang menuju diri sendiri, dan cinta yang mungkin hanya hidup di antara kenyataan dan ilusi.
Bab 1: Setelah Mati Sekilas
Kata orang, hidup itu singkat. Tapi tidak ada yang pernah bilang kalau kematian bisa terasa lebih panjang. Dan jujur, aku pikir aku sudah mati waktu itu.
Namaku Ray. Aku bukan siapa-siapa. Bukan anak orang kaya, bukan anak orang penting. Aku cuma mahasiswa biasa yang nyambi kerja part time di kafe dan kadang ngeluh di Twitter. Hidupku nyaris normal—sampai semuanya berhenti pada hari itu.
Itu sore yang biasa aja. Hujan baru turun sebentar, dan aku lagi buru-buru pulang naik motor. Jalanan licin, aku ingat jelas. Lalu ada suara klakson keras. Aku refleks ngerem, tapi ban selip. Dan setelah itu—gelap. Cuma gelap. Tapi yang aneh, aku masih bisa dengar detak jantungku sendiri, pelan tapi konstan.
Satu detik… dua detik… sepuluh detik… lalu tiba-tiba, aku “melihat” sesuatu.
Bayangkan lorong panjang yang ujungnya nggak jelas. Tapi di sepanjang sisi kiri dan kanan… ada pintu. Ratusan. Ribuan. Bentuknya aneh-aneh. Ada yang klasik dari kayu tua, ada yang mirip pintu kulkas, ada yang transparan kayak kaca, bahkan ada yang mengambang tanpa engsel.
Aku nggak tahu aku di mana. Tapi semuanya… terasa nyata. Dan di tengah semua itu, ada satu pintu yang nyala—iya, nyala—seperti ngebisikkin namaku tanpa suara.
“Ray…”
Aku refleks ngelangkah mendekat.
Tapi saat tanganku nyaris menyentuh gagang pintu itu—cahaya terang menyilaukan datang dari belakang, dan aku seperti ditarik paksa keluar.
Aku bangun.
Ada bunyi detak mesin. Bau antiseptik. Lampu putih menyilaukan. Mataku kabur beberapa detik, sebelum akhirnya aku sadar… aku ada di rumah sakit. Tangan kiriku digips, kaki kananku dibebat perban tebal, dan ada selang oksigen menempel di hidungku.
Suster di sebelah tempat tidur langsung teriak kecil begitu lihat aku sadar. Beberapa menit kemudian, ibuku datang. Nangis, peluk aku erat, dan terus mengucap syukur. Aku bingung. Katanya, aku koma selama tiga hari.
Tiga hari? Tapi rasanya seperti cuma semenit.
Setelah diperbolehkan pulang seminggu kemudian, aku pikir semua akan kembali normal. Tapi ternyata… tidak.
Pintu-pintu itu masih ada.
Bukan cuma di mimpiku—di dunia nyata, aku mulai melihat hal yang sama. Di tengah trotoar, di pojokan gang kecil, bahkan di tembok kosong di sebelah halte, aku bisa melihat pintu-pintu aneh. Mereka seperti halusinasi yang enggan pergi.
Kadang samar. Kadang nyata banget.
Pintu itu nggak kelihatan buat orang lain. Aku tahu karena aku udah ngetes. Temanku, Dimas, nggak lihat apa-apa. Bahkan waktu aku tunjukin pintu yang nyala terang di tengah lapangan kosong dekat kampus, dia malah nanya, “Lu ngelawak, Ray?”
Aku nggak gila. Setidaknya, aku yakin aku nggak gila.
Aku mulai mencatat setiap lokasi pintu yang aku lihat. Bikin semacam peta kecil di buku catatan. Dan aku perhatiin satu hal: pintu-pintu itu muncul di tempat-tempat yang… berhubungan sama perasaan kuatku.
Seperti pintu di halte itu—tempat aku sering nunggu hujan reda sambil dengerin lagu-lagu sedih karena kangen mantan. Atau pintu di belakang bangunan kampus tua, tempat aku dulu pertama kali ngerasa gagal total waktu nilai ujian amburadul.
Ada pola. Tapi aku belum ngerti sepenuhnya.
Sampai akhirnya, ada satu pintu yang berbeda dari semua yang pernah aku lihat. Pintu itu muncul di taman kota, saat aku lagi duduk sendiri malam-malam sambil mikir, “Kenapa gue bisa selamat?”
Pintu itu berwarna hitam pekat, dengan ukiran seperti akar pohon di sekeliling bingkainya. Di tengahnya, ada simbol berbentuk bulan sabit kecil dan satu kalimat misterius yang tiba-tiba muncul begitu aku mendekat:
“Pintu terakhir bukan akhir, tapi awal yang kau lupakan.”
Aku nggak ngerti maksudnya. Tapi pintu itu… seperti menungguku. Bergetar halus, dan cahaya biru redup muncul dari sela-sela celahnya.
Kali ini aku nggak cuma menatap. Aku berdiri. Tangan gemetar saat memegang gagangnya.
Dunia di sekitarku pelan-pelan mengabur, kayak dilipat jadi lembaran tipis. Dan sebelum aku sempat mikir ulang, pintu itu terbuka sendiri—perlahan, dan suara angin aneh masuk dari dalam.
Dan di sanalah dia.
Seorang gadis berdiri di sisi lain. Rambut panjangnya melayang pelan seolah dia berdiri di air. Bajunya putih, matanya gelap tapi tenang. Dia tidak terlihat kaget. Seolah… dia memang sudah menungguku sejak lama.
“Selamat datang, Ray,” katanya dengan suara lembut. “Kau akhirnya datang.”
Aku menatapnya tak percaya.
“Siapa kamu?”
Dia tersenyum tipis. “Aku… penjaga pintu terakhir. Dan kamu… kamu belum sepenuhnya hidup.”
Bab 2: Gadis di Balik Pintu
“Penjaga pintu terakhir?” ulangku pelan, masih belum sepenuhnya sadar apa yang sebenarnya sedang terjadi.
Gadis itu hanya menatapku. Tenang. Matanya dalam, seperti menyimpan sesuatu yang tak bisa kujelaskan.
Kami berdiri di ambang dua dunia. Di belakangku, taman kota yang biasa. Tapi di belakangnya… dunia lain. Langit berwarna ungu kebiruan. Awan-awan melayang rendah. Tanahnya… seperti serpihan kaca transparan yang memantulkan cahaya redup. Sunyi, tapi tidak mengerikan. Justru… menenangkan.
“Aku Lyra,” katanya, sambil melangkah lebih dekat. “Dan ini bukan mimpi. Bukan pula surga. Ini… perantara.”
“Perantara apa?”
“Antara hidup dan mati. Antara kenyataan dan apa yang kau hindari.”
Aku ingin tertawa, tapi mulutku tak mampu. Suasana ini terlalu nyata untuk sekadar mimpi, tapi terlalu absurd untuk disebut kenyataan.
“Jadi… aku mati?” tanyaku pelan.
Dia menggeleng. “Tidak. Tapi kau pernah nyaris. Dan karena itu, kau bisa melihat pintu.”
Deg.
“Berapa banyak orang di dunia yang bisa lihat pintu-pintu ini?” tanyaku sambil menoleh ke belakang. Tapi pintu itu telah hilang. Aku tidak tahu bagaimana caranya aku bisa masuk. Mungkin aku sudah terlalu jauh.
“Sedikit,” jawabnya. “Hanya mereka yang hampir pergi tapi kembali. Orang-orang yang hidupnya terputus, tapi tidak selesai. Seperti kau.”
Kepalaku pening. Aku memejamkan mata, mencoba mencerna semuanya.
“Kalau ini perantara… kenapa aku di sini?”
Lyra tak langsung menjawab. Ia mengangkat tangannya, dan tiba-tiba, di sekeliling kami, bermunculan pintu-pintu lain. Tujuh buah, melayang di udara dalam lingkaran rapi. Setiap pintu berbeda warna, bentuk, dan auranya. Ada yang mengeluarkan suara tawa anak kecil, ada yang seperti diselimuti kabut kelabu.
“Pintu-pintu ini adalah cerminan jiwamu,” ucap Lyra. “Setiap pintu akan membawamu ke dunia kecil—refleksi dari sisi lain dalam dirimu. Kau harus melewati semuanya.”
“Untuk apa?”
“Untuk tahu siapa dirimu sebenarnya. Dan untuk menentukan… apakah kau ingin kembali.”
Aku menelan ludah. “Maksudmu… kembali ke dunia nyata?”
Ia mengangguk pelan. “Atau… tetap di sini. Bersamaku. Tapi konsekuensinya, kau akan lenyap dari dunia nyata. Tidak mati. Tapi dilupakan. Bahkan oleh dirimu sendiri.”
Aku melangkah mundur, panik mulai naik ke dada.
“Kenapa aku harus memilih?” seruku.
“Terkadang, hidup kedua membutuhkan keputusan yang tidak bisa ditunda. Kau sudah melihat pintu terakhir, Ray. Itu berarti waktumu terbatas.”
“Waktuku? Maksudmu apa?”
Lyra mendekat. “Tubuhmu masih hidup. Tapi jiwamu… masih belum memilih.”
Aku terduduk di lantai kaca itu. Dunia ini… terlalu tenang. Terlalu sunyi. Tapi Lyra… entah kenapa, kehadirannya membuatku merasa nyaman. Bahkan lebih nyaman dari dunia nyata.
“Kau bisa mulai dari pintu mana pun,” katanya. “Tapi satu hal harus kau tahu, Ray…”
Ia berlutut di depanku dan menatapku dalam.
“Semua yang kau lihat dalam perjalanan ini adalah bagian dari dirimu. Bahkan yang paling kau benci sekalipun.”
Aku mengangguk pelan. “Apa yang akan terjadi kalau aku gagal?”
“Tidak ada gagal,” jawabnya pelan. “Hanya keputusan.”
Saat itu, satu pintu bersinar lebih terang dari yang lain—pintu berwarna biru gelap dengan simbol seperti gelombang air. Rasanya familiar. Tapi juga mengusik.
“Apa ini?” tanyaku.
“Kenangan yang kau kubur. Luka yang kau sembunyikan dari dirimu sendiri.”
Aku menelan ludah. Tanganku gemetar saat mendekat.
Lyra berdiri di belakangku. “Aku akan menunggumu di setiap akhir pintu.”
Aku menoleh ke belakang. “Kau nggak ikut masuk?”
Dia tersenyum lembut. “Aku hanya bisa membimbingmu. Tapi perjalanan ini… milikmu sendiri.”
Dan sebelum aku sempat bertanya lebih banyak, pintu itu terbuka sendiri.
Dari dalam, terdengar suara deburan ombak. Tapi juga… suara tangisan yang tak asing. Suara yang pernah aku dengar dalam tidurku. Dalam mimpi buruk. Dalam ingatan yang aku coba lupakan.
Aku menoleh sekali lagi ke Lyra. Dia hanya mengangguk kecil, memberi isyarat.
Dengan napas berat, aku melangkah masuk.
Begitu langkahku melewati ambang pintu, dunia berguncang. Udara berubah jadi asin, seperti laut. Lantai kaca di bawah kakiku berubah jadi pasir basah. Dan aku tahu, aku telah masuk ke dunia pertama dari tujuh dunia jiwaku.
Tapi sebelum pintu menutup, aku sempat mendengar suara Lyra, pelan, nyaris seperti bisikan angin:
“Dan satu hal lagi, Ray… jangan percaya semua yang kau lihat. Bahkan aku sekalipun.”
Deg.
Pintu tertutup. Dan aku… sendiri.
Bab 3: Dunia Tanpa Suara
Langkah pertamaku masuk ke dunia itu langsung bikin bulu kudukku meremang.
Langitnya kelabu pucat, seperti sore hari yang kehilangan warna. Tak ada suara. Benar-benar hening. Bukan sekadar sunyi… tapi seperti dunia ini tak mengenal konsep bunyi. Deburan ombak terlihat jelas di kejauhan, tapi tak terdengar sama sekali. Bahkan langkah kakiku di atas pasir basah pun tak menghasilkan suara. Dunia ini… bisu.
Aku menoleh ke belakang, berharap pintunya masih ada, tapi seperti sebelumnya—hilang.
“Great,” gumamku dalam hati, atau mungkin seharusnya kugumamkan. Tapi saat aku mencoba bicara… tak ada suara keluar dari mulutku. Bahkan napasku sendiri tak bisa kudengar.
Aku mulai panik.
Tanganku refleks mengetuk dada, memeriksa detak jantung. Masih ada. Tapi sunyi ini—bikin jiwaku terasa kosong. Dunia ini menelan semua bentuk komunikasi. Dan entah kenapa, aku merasa… dunia ini tahu aku takut kesepian.
Aku melangkah pelan menyusuri pantai bisu itu. Pasirnya dingin, menempel di telapak kaki. Tak ada tanda kehidupan. Hanya batu-batu hitam berdiri tegak seperti penanda nisan. Beberapa di antaranya bahkan seperti membentuk huruf-huruf… atau simbol aneh yang samar-samar kukenal.
Tiba-tiba aku melihat sesuatu di kejauhan.
Siluet seseorang. Duduk di atas batu besar, menatap laut. Rambutnya tergerai panjang, tertiup angin yang juga tak bersuara. Aku mendekat, jantungku berdebar meskipun aku tak bisa mendengarnya.
Semakin dekat, aku bisa lihat wajahnya.
Itu… aku. Versi muda dari diriku. Mungkin usia 10 tahun. Wajahnya murung, matanya kosong.
Aku berdiri di belakangnya. Ia tidak menoleh.
Aku melambaikan tangan, mencoba menarik perhatiannya. Tak ada respon.
Lalu tiba-tiba, ia mengangkat tangannya, menunjuk ke arah laut.
Aku ikut menatap.
Dari dalam laut yang tak bersuara itu, muncul rumah tua. Bukan muncul seperti film horor yang tiba-tiba muncul dari kabut, tapi perlahan, seolah memang sedang naik dari dasar laut. Rumah itu… rumah lamaku. Tempat aku tinggal sampai usia sepuluh tahun. Tempat kenangan terakhirku bersama ayah—sebelum semuanya berubah.
Deg. Rasanya seperti ditusuk di dada.
Aku mendekati rumah itu. Pintu depannya terbuka perlahan. Dan begitu aku melangkah masuk, aku seperti kembali ke masa lalu.
Ada tumpukan mainan yang pernah kubakar diam-diam karena malu menyukai boneka. Ada lukisan ayah di ruang tengah. Dan di dapur… aku melihat ibuku berdiri. Tapi wajahnya buram. Suaranya tak terdengar, bibirnya hanya bergerak seperti orang bicara di bawah air. Tapi dari sorot matanya, aku tahu dia sedang marah.
Lalu… semuanya gelap.
Aku kini berdiri di ruang tamu, tempat terakhir aku bicara dengan ayah sebelum ia pergi. Tapi suara terakhir yang kuucapkan… tak pernah keluar. Aku hanya berdiri di sana, ingin minta maaf karena berkata kasar saat itu. Tapi aku terlalu takut.
Dan sekarang… aku pun bisu.
Suaraku terjebak di tenggorokan, seperti dunia ini ingin mengingatkanku: aku pernah memilih diam. Aku pernah takut berkata jujur. Aku pernah membiarkan seseorang pergi tanpa suara.
Aku terduduk, memeluk lutut, air mata turun tanpa bunyi.
Lalu, dari kejauhan… muncul cahaya. Bukan dari pintu. Tapi dari dinding rumah yang retak. Cahaya itu membentuk kalimat:
“Kau tak pernah bicara… bukan karena kau tak bisa. Tapi karena kau memilih tak didengar.”
Aku terdiam. Kalimat itu menghantam keras. Dunia ini… bukan tentang aku tak bisa bicara. Tapi tentang rasa takutku bahwa apa pun yang aku katakan… akan diabaikan. Akan dianggap tidak penting.
Lalu, perlahan… suara mulai kembali.
Pertama adalah bunyi air menetes.
Kemudian bunyi angin.
Lalu… detak jantungku sendiri.
Aku berdiri, menatap bayangan masa kecilku yang kini tersenyum kecil, lalu memudar menjadi cahaya.
Rumah itu pun runtuh, pelan, seperti pasir diterpa ombak.
Dan pintu itu muncul lagi. Kali ini putih, dengan lingkaran cahaya biru muda.
Aku melangkah menuju pintu itu. Tapi sebelum aku menyentuh gagangnya, aku mendengar suara lirih dari belakangku.
“Ray…”
Aku menoleh. Lyra berdiri di tepian pantai, melambaikan tangan. Tapi… ekspresinya aneh. Matanya terlihat… sedih.
“Kau berhasil keluar dari dunia pertama,” katanya. “Tapi dunia berikutnya… akan menantimu dengan sisi dirimu yang lebih gelap.”
Aku menarik napas panjang. “Apa kamu akan selalu ada di akhir pintu?”
Dia tak menjawab. Justru berbalik, dan perlahan menghilang di balik kabut.
Dan saat aku membuka pintu berikutnya, aku tahu perjalanan ini baru saja dimulai. Dan satu per satu, aku harus menghadapi diriku sendiri.
Bab 4: Kota Tanpa Wajah
Langkahku keluar dari pintu kedua langsung disambut udara dingin dan suara… bising.
Berbeda dengan dunia sebelumnya yang sunyi total, kali ini dunia di balik pintu terasa… penuh. Suara derap langkah, dering ponsel, bunyi mobil melintas, dan tawa-tawa kecil bersahutan. Seolah aku ada di tengah kota besar yang tak pernah tidur.
Tapi saat aku menatap sekeliling—aku tahu ada yang aneh.
Semuanya terlihat “normal”… kecuali satu hal: tak ada yang punya wajah.
Orang-orang berlalu-lalang di jalanan seperti manusia biasa—tubuh lengkap, berpakaian rapi, bergerak cepat—tapi wajah mereka… kosong. Rata. Datar. Seperti permukaan lilin polos. Mereka bahkan tetap bisa bicara, tapi entah bagaimana, suara mereka keluar tanpa ekspresi, tanpa arah.
Aku berdiri terpaku di trotoar, menyadari satu hal lagi: semua gedung dan jalanan kota ini… mirip dengan tempatku tinggal. Tapi versinya… usang. Seperti memori kabur dari kota masa kecilku yang tertinggal di kepalaku.
Aku mulai berjalan, melewati satu demi satu orang tak berwajah itu. Mereka tak memperhatikanku, tapi aku merasa… diperhatikan. Seperti mereka tahu aku bukan bagian dari mereka.
Tiba-tiba, dari balik keramaian, seseorang menarik lenganku.
“Jangan lama-lama di sini,” bisiknya cepat. Suaranya lembut tapi tegas.
Aku menoleh.
Seorang gadis. Berwajah. Satu-satunya orang dengan wajah yang bisa kulihat. Rambutnya dikuncir, dan matanya menatapku seperti mengenalku.
“Siapa kamu?” tanyaku.
“Aku yang kau abaikan,” jawabnya sambil menarikku masuk ke gang sempit.
Aku nyaris menjawab, tapi dia menoleh cepat. “Jangan terlalu keras bicara. Di sini… mereka bisa dengar kalau kau terlalu jujur.”
Kami menyusuri gang itu, lalu masuk ke bangunan kecil. Gelap, pengap, tapi aman. Setidaknya tidak ada manusia tanpa wajah.
“Apa maksudmu ‘kau yang kuabaikan’?”
Dia duduk di lantai, menatapku. “Aku representasi dari rasa percaya dirimu yang pernah kau kubur dalam-dalam. Ingat masa ketika kau selalu pura-pura jadi orang lain biar disukai? Saat kau menahan pendapat sendiri karena takut terlihat aneh?”
Deg. Aku diam.
“Aku adalah dirimu yang ingin berani, tapi tak pernah diberi kesempatan,” lanjutnya.
Aku menarik napas dalam-dalam. “Dunia ini… kenapa semua orang nggak punya wajah?”
“Karena itu kota yang kau bentuk dari persepsimu tentang orang lain. Mereka tak punya wajah karena kau selalu berusaha menyenangkan semua orang. Tapi kau tak pernah benar-benar melihat siapa mereka.”
Kalimatnya seperti tamparan.
Dan sebelum aku bisa memproses semua itu, terdengar suara keras dari luar—derap langkah puluhan orang.
Gadis itu berdiri cepat. “Mereka tahu kau di sini. Kau terlalu jujur saat bicara.”
Pintu depan digedor. Suara berat tanpa emosi terdengar, “Berikan dia.”
Aku panik. “Mereka siapa?”
“Bayangan ekspektasimu,” jawab gadis itu. “Semua wajah yang kau buat agar diterima… sekarang menagihmu untuk tetap jadi seperti mereka.”
Pintu di belakang kami terbuka—cahaya menyilaukan menyembur dari dalam. Gadis itu mendorongku ke arah pintu.
“Kau harus pergi. Dan satu hal—berhenti berpura-pura.”
“Apa kita akan ketemu lagi?” tanyaku cepat.
Dia tersenyum tipis. “Kau selalu bisa menemuiku. Asal kau berani jadi dirimu sendiri.”
Seketika itu juga, pintu depan jebol—sosok-sosok tak berwajah menyerbu masuk. Tapi aku sudah melangkah masuk ke pintu bercahaya itu.
Gelap.
Sunyi.
Lalu perlahan, suara napasku kembali terdengar. Aku berada di ruang kosong—putih dan tenang.
Dan di sana, berdiri Lyra.
Tapi kali ini, ada perubahan kecil padanya. Matanya… basah.
“Kau melihat sisi paling rapuh dari egomu,” katanya pelan.
Aku duduk di lantai putih itu, napasku masih terengah. “Aku capek, Lyra.”
“Akan ada saatnya kau ingin menyerah, Ray,” bisiknya. “Tapi kau belum sampai ke pintu terakhir.”
Aku menatap matanya. “Apa kau nyata?”
Dia tak menjawab. Hanya menunduk… dan untuk pertama kalinya, Lyra tak memandangku.
Dan di saat itu juga, aku merasa… seperti kehilangan sesuatu. Atau mungkin… sedang diarahkan untuk menemukan sesuatu yang lebih dalam.
Bab 5: Hutan yang Selalu Tengah Malam
Langkahku keluar dari pintu berikutnya langsung disambut udara lembap dan bau tanah basah.
Aku berdiri di antara pepohonan tinggi, dengan dedaunan lebat yang menutupi langit. Tapi yang paling bikin merinding adalah satu hal: di sini selalu tengah malam.
Tak ada bintang. Tak ada bulan. Tapi cukup terang untuk melihat jalan setapak yang berkelok di depanku. Cahaya di sini seperti datang dari dalam dedaunan itu sendiri. Aneh. Tapi setelah tiga pintu, aku mulai terbiasa dengan keanehan.
Yang tidak biasa adalah… perasaanku. Dunia ini terasa… berat.
Langkah kakiku menginjak ranting kering—krak! Suaranya menggema, lalu hening kembali. Setiap suara di sini seperti dibisiki oleh pepohonan. Seperti ada yang memperhatikan. Mengawasi. Menunggu aku lengah.
Aku melangkah pelan, mengikuti jalan setapak. Tapi makin jauh aku melangkah, perasaanku makin gelisah. Ada sensasi familiar… seperti rasa bersalah yang belum selesai. Seperti luka lama yang dipaksa terbuka.
Lalu aku melihatnya.
Sebuah rumah kayu kecil berdiri di antara dua pohon besar. Atapnya miring, jendelanya berdebu. Tapi aku tahu rumah ini. Ini… rumah paman Danar.
Deg.
Aku mendadak kaku. Sudah lama aku tak mengingatnya. Bertahun-tahun. Paman Danar adalah adik ayahku. Dulu, saat ayah dan ibu mulai sering bertengkar, aku sering ‘dibuang’ ke rumah itu tiap akhir pekan.
Ia orang baik. Selalu diam, tapi hangat. Sampai suatu hari, ia pergi. Menghilang begitu saja. Tidak ada kabar. Tidak ada penjelasan.
Dan aku tidak pernah mencari tahu. Karena jauh di dalam hati… aku takut tahu jawabannya.
Tanganku gemetar saat menyentuh gagang pintu rumah itu. Dingin. Berat. Tapi pintunya terbuka dengan sendirinya, pelan… dan dari dalam, keluar suara musik.
Aku mengenal lagu itu. Musik kotak kecil pemberian paman—melodi yang ia putar tiap kali aku sulit tidur. Tanganku mengepal. Air mataku mendesak naik, tapi aku tahan.
“Ray.”
Suara itu membuat tubuhku kaku.
Aku menoleh.
Di ruang tamu berdiri sosok paman Danar. Wajahnya masih sama seperti terakhir kulihat. Tapi matanya kosong. Bibirnya tersenyum… terlalu tenang.
“Kau datang,” katanya.
Aku tidak tahu harus menjawab apa. Aku hanya berdiri, tubuhku gemetar.
“Kau tidak pernah mencariku, Ray,” ucapnya. “Bahkan setelah aku pergi. Kau lupa, padahal kau janji akan datang setiap minggu.”
“Itu bukan karena aku lupa…” bisikku. “Aku takut. Takut tahu kenapa semua orang berhenti bicara tentangmu.”
Ia tersenyum lebih lebar. “Karena mereka tahu. Tapi kau memilih tidak tahu.”
Tiba-tiba, dinding rumah berubah menjadi cermin-cermin besar, dan di setiap pantulan, aku melihat versi diriku di masa kecil—menangis, bersembunyi, membungkam diri. Takut. Bingung.
Lalu, suara paman Danar kembali terdengar.
“Kau mengunci kenangan ini, Ray. Karena kau tahu… aku bukan hanya pergi.”
Deg.
Seketika, gambar dalam cermin berubah.
Aku melihat ruangan kecil yang gelap. Paman Danar duduk di kursi, tubuhnya diam. Terlalu diam. Ada surat di tangannya.
Surat bunuh diri.
Aku mundur. “Enggak… aku nggak tahu ini. Aku—aku nggak—”
“Kau tahu. Tapi kau menolak percaya.”
Suara Lyra muncul entah dari mana. Lembut. Tapi berbeda dari biasanya. Ada nada getir.
“Dunia ini adalah rasa bersalahmu yang belum kau terima, Ray,” ucapnya. “Rasa bersalah karena terlalu kecil untuk memahami kehilangan… dan terlalu takut untuk bertanya.”
Aku terjatuh di lantai rumah itu. Menangis.
“Aku cuma anak-anak saat itu,” isakku. “Kenapa harus aku yang ingat semuanya?”
Dan saat itu juga, sosok paman Danar mendekat. Tapi kali ini, matanya… hangat.
“Kau tidak bersalah, Ray,” ucapnya. “Aku tidak pergi karena kau. Dan kau tak perlu terus menghukum dirimu sendiri karena tak bertanya.”
Ia meraih tanganku, menepuk lembut, sebelum perlahan memudar menjadi cahaya kecil yang melayang ke langit gelap hutan.
Hening.
Lalu dunia mulai berubah. Langit di atas mulai merekah. Awan terbuka sedikit, menampakkan satu bintang kecil.
Dan di ujung jalan… pintu berikutnya muncul.
Berwarna emas. Dengan ukiran pohon di tengahnya. Aku tahu—satu bagian dari bebanku telah terangkat.
Aku menoleh ke belakang.
Lyra berdiri di tepi hutan, tubuhnya bersandar ke pohon. Tapi lagi-lagi, ada sesuatu yang berbeda.
Tatapannya kini… takut.
“Kau semakin dekat, Ray,” katanya pelan. “Dan aku… mulai takut jika kau sampai di akhir.”
Aku menatapnya lekat.
“Apa yang kamu sembunyikan, Lyra?”
Tapi sebelum ia sempat menjawab, dunia bergetar pelan… dan aku terpaksa membuka pintu ke dunia berikutnya.
Bab 6: Dunia dengan Dua Langit
Cahaya dari pintu emas itu menyilaukan. Tapi saat aku melangkah keluar… aku malah terpaku.
Aku berdiri di tengah padang luas, rerumputannya bergerak pelan ditiup angin. Suara semilirnya lembut, menyapa seperti bisikan hangat. Tapi bukan itu yang bikin aku membeku.
Langit di atas… terbagi dua.
Sebelah kiri berwarna biru cerah, lengkap dengan matahari bersinar hangat, awan putih mengambang santai, dan suara burung berkicau.
Sebelah kanan… gelap. Malam yang pekat, penuh bintang, diselimuti aurora merah keunguan. Tapi ada petir yang muncul sesekali, menggetarkan tanah di bawahku.
Dua langit yang kontras, bertemu tepat di atas kepalaku—seolah dunia ini tidak bisa memutuskan apakah ia ingin bahagia atau tenggelam dalam kekacauan.
Aku berjalan pelan ke tengah padang. Dan tiba-tiba, sebuah ayunan kayu muncul entah dari mana. Goyang pelan, seolah menungguku.
Aku mendekat.
Di sana, duduk seseorang. Rambutnya tergerai, tubuhnya tenang. Matanya menatap lurus ke depan. Aku mengenalnya. Terlalu baik.
Dia adalah aku. Tapi versi… yang tersenyum.
“Hey,” katanya. Suaranya ringan, nyaris seperti lagu. “Akhirnya kau datang.”
Aku menelan ludah. “Siapa kamu?”
Ia menoleh padaku, tersenyum. “Aku versi dirimu yang paling kau sukai. Tapi juga paling kau palsukan.”
Deg.
Kalimat itu seperti cabikan tajam ke dalam.
“Dunia ini…” ia menunjuk ke langit, “adalah dunia ilusi. Separuh mimpi indah yang ingin kau kejar, dan separuh kenyataan pahit yang tak bisa kau tolak.”
Aku menatap langit yang terbelah itu. “Kenapa dua-duanya muncul bersamaan?”
“Karena kau selalu terjebak antara harapan dan kenyataan,” jawabnya. “Kau ingin jadi versi terbaik dari dirimu, tapi kau takut kalau itu semua cuma topeng. Dan pada akhirnya, kau nggak tahu lagi mana yang nyata.”
Ayunan itu berhenti bergerak.
Ia berdiri, berjalan ke arahku, lalu berdiri tepat di depanku. “Kau selalu bilang pada dunia bahwa kau baik-baik saja. Bahwa kau kuat. Bahwa kau bisa menghadapi semua.”
“Tapi sebenarnya?” ia menatap mataku dalam-dalam. “Kau lelah.”
Air mataku mengalir, tanpa bisa dicegah. Dunia ini terasa… jujur. Terlalu jujur.
“Apa yang harus aku lakukan?” tanyaku lirih.
Ia tersenyum. “Kau harus memilih.”
“Memilih apa?”
Tiba-tiba, tanah di bawah kakiku bergetar. Langit siang mulai memudar. Langit malam menyebar cepat ke seluruh sisi. Dunia berubah jadi gelap… dan dari kegelapan itu, muncul siluet Lyra.
Tapi kali ini, wajahnya berbeda. Dingin. Matanya menyala samar—bukan manusiawi.
“Apa yang kau pilih, Ray?” suara Lyra terdengar menggema. “Kenangan indah yang palsu? Atau luka yang nyata tapi menyembuhkan?”
Aku menoleh ke arah diriku yang lain—versi diriku yang penuh senyum, penuh ketenangan. Ia mulai memudar, tubuhnya seperti terurai jadi cahaya.
“Jangan hilang…” bisikku.
“Aku tak pernah ada, Ray,” balasnya pelan. “Aku cuma proyeksi dari keinginanmu untuk terlihat utuh.”
Ia lenyap.
Langit kini sepenuhnya malam. Tapi ada bintang—jutaan. Dan dalam gelap itu, muncul pintu berikutnya.
Bukan seperti sebelumnya. Pintu ini retak. Terdengar suara lirih dari baliknya, seperti jeritan pelan yang tersangkut di antara dua alam.
Aku menoleh ke Lyra. Tapi dia hanya berdiri diam.
“Lyra…” panggilku. “Apa yang terjadi padamu?”
Ia menjawab, kali ini tanpa ekspresi. “Aku tidak bisa ikut lebih jauh. Pintu setelah ini… akan menunjukkan kebenaran. Tentang siapa aku. Dan siapa kau sebenarnya.”
“Kamu—kamu bilang akan menunggu di tiap akhir pintu,” kataku gemetar.
Ia menatapku—kali ini, ada raut sedih di wajahnya. “Aku berbohong, Ray. Karena aku ingin bersamamu lebih lama.”
Dan dengan itu, ia menghilang… seperti bayangan di antara bintang.
Aku berdiri sendiri di depan pintu retak itu. Napasku berat.
Lalu, seperti ada yang membisik: “Apa yang akan kau temukan setelah ini… mungkin bukan hal yang ingin kau tahu.”
Tapi aku tahu, tak ada jalan kembali.
Tanganku menyentuh gagang pintu. Dingin.
Dan aku pun membuka pintu menuju dunia berikutnya dengan rasa takut yang belum pernah kurasakan sebelumnya.
Bab 7: Teater Kenangan Palsu
Pintu retak itu mengeluarkan suara berderit tajam saat kubuka. Begitu aku melangkah masuk, dunia di baliknya langsung menyelimuti tubuhku dalam kabut tipis dan aroma aneh—seperti bau karpet lama yang lembap dicampur parfum nostalgia.
Saat kabut menghilang, aku berdiri di tengah sebuah bangunan megah… teater tua. Kursi-kursi merah berderet rapi, panggung besar di depan dihiasi tirai beludru yang mulai lusuh. Tapi yang membuatku menggigil adalah layar raksasa di atas panggung. Kosong… tapi menungguku.
“Selamat datang, Ray.”
Suara yang tak asing, tapi kali ini berasal dari pengeras suara—dalam, bergema, dan sedikit mengintimidasi. Aku menoleh ke kanan.
Lyra berdiri di pinggir ruangan. Tapi kali ini… dia mengenakan pakaian berbeda. Gaun hitam panjang. Matanya tidak lagi hangat. Sorotnya tajam, seperti sedang menguji.
“Apa ini?” tanyaku.
“Panggung ingatanmu,” jawabnya. “Tapi bukan hanya yang kau ingat. Ini… semua kenangan yang kau percaya sebagai nyata.”
Lampu mulai redup. Kursi penonton kosong, tapi aku merasa… diawasi. Diperhatikan. Seolah ada seribu pasang mata tak terlihat yang menatapku dari kegelapan.
Layar menyala.
Adegan pertama: aku kecil, duduk di ruang tamu, bermain dengan ayah. Ia mengajakku main robot-robotan. Kami tertawa. Hangat. Indah.
Tapi Lyra berdiri di samping layar dan berkata, “Itu tidak pernah terjadi.”
Aku menoleh, kaget. “Apa maksudmu? Aku ingat jelas momen itu!”
Dia menggeleng. “Ayahmu tidak pernah bermain bersamamu sore itu. Saat itu, dia sudah pergi—bertengkar hebat dengan ibumu dan tak pulang berhari-hari. Kenangan itu… adalah buatanmu. Untuk menutupi luka yang terlalu dalam.”
Layar berganti.
Aku dan dua sahabat SMA, duduk di kantin, tertawa bersama. Momen persahabatan paling hangat yang pernah kuingat. Tapi… kali ini aku mulai ragu. Salah satu dari mereka menatapku dengan tatapan kosong—seperti boneka yang diprogram tersenyum.
“Itu juga palsu, Ray,” bisik Lyra. “Mereka menjauh darimu di tahun terakhir. Tapi kau menghapus perasaan ditinggalkan itu dengan menempelkan kenangan lama dan menutupnya rapat-rapat.”
Aku mundur, tubuhku gemetar. “Kenapa kamu tunjukkan semua ini padaku?”
“Karena kamu harus tahu kebenaran. Kamu hidup terlalu lama dalam versi dirimu yang kamu ciptakan—bukan yang sebenarnya. Dan kamu tak bisa lanjut ke pintu terakhir kalau masih menyandarkan hidup pada memori yang dibuat untuk menenangkan, bukan menyembuhkan.”
Layar berganti lagi.
Kini… aku melihat diriku sendiri. Duduk di bangku rumah sakit. Menangis.
Adegan itu asing. Aku tak mengingatnya.
Tiba-tiba, layar terbelah dua, dan aku melihat dua versi realita:
Satu versi menunjukkan diriku pulih dan tertawa bersama ibuku.
Versi lainnya… menunjukkan aku tetap koma. Tubuhku diam, tak bergerak.
Dan ibuku… menangis di pojok ruangan.
“Apa maksudnya ini?” teriakku.
Lyra mendekat. Kali ini, suara dan wajahnya melembut. “Karena sampai sekarang, Ray… kamu belum benar-benar bangun.”
Deg.
“Semua ini… masih terjadi di antara kehidupan dan kematian.”
Aku terduduk. Dunianya berputar. Napasku berat.
“Lalu… kamu?” tanyaku. “Kamu nyata atau cuma bagian dari pikiranku?”
Lyra tidak menjawab. Ia hanya menatapku, lalu menunjuk ke layar terakhir yang mulai terbentuk.
Di layar itu, terlihat diriku… mencium seseorang.
Wajahnya kabur, tapi ada perasaan hangat. Familiar. Aku tahu momen itu. Aku jatuh cinta. Benar-benar jatuh cinta.
“Tapi kenapa aku gak tahu siapa dia?” tanyaku.
Lyra menatapku lama. Lalu berkata pelan, “Karena kau sedang jatuh cinta pada bagian dari jiwamu sendiri, Ray. Sosok yang mewakili perasaanmu yang paling ingin kau lindungi.”
Aku menggeleng. “Tapi kenapa wajahnya kabur?”
“Karena kau belum siap menerima bahwa cinta yang kau rasakan selama ini… tak pernah diberikan ke orang lain. Kau mencintai kemungkinan. Bukan kenyataan.”
Lampu teater berkedip. Ruangan mulai retak seperti kaca. Seluruh bangunan ini… mulai runtuh.
Lyra berbisik, “Kau harus keluar dari sini, sebelum kau tenggelam di dalam ilusi yang kau buat sendiri.”
Sebuah pintu muncul di panggung. Penuh retakan. Tapi ada cahaya kecil dari baliknya.
Aku menoleh ke Lyra. “Apa kamu akan ikut?”
Dia tersenyum tipis, sedih. “Aku ada karena kau butuh aku. Tapi pintu berikutnya akan menunjukkan… siapa sebenarnya aku. Dan setelah itu, semuanya akan berubah.”
Panggung mulai runtuh.
Aku berlari menuju pintu, membuka gagangnya yang berat, dan begitu melangkah ke dalamnya, aku merasakan satu hal:
Kebenaran mulai membakar kebohongan yang kusembunyikan terlalu lama.
Bab 8: Lautan yang Menelan Nama
Aku terjatuh dari ketinggian.
Tidak tahu dari mana, tidak tahu seberapa jauh. Tapi tubuhku seperti dilempar dari kebenaran yang baru saja kusadari—dan dijatuhkan ke tempat yang lebih dalam lagi.
Aku menghantam sesuatu yang lunak.
Pasir.
Saat membuka mata, aku tersadar berada di tepi sebuah lautan luas. Langit mendung menggulung rendah, dan ombaknya datang perlahan… tanpa suara. Tidak ada suara burung. Tidak ada angin. Hanya deburan air yang bergerak seperti napas yang nyaris mati.
Aku berjalan pelan menyusuri pantai. Jauh di ujung garis cakrawala, laut ini tampak tak berujung. Tapi yang paling membuatku menggigil adalah benda-benda yang tergeletak di sepanjang bibir pantai: kertas-kertas… lusuh, basah, dan penuh tulisan tangan.
Aku memungut satu.
Tulisan itu… tulisan tanganku.
“Ray, kamu nggak perlu jadi sempurna. Tapi kenapa kamu selalu berpura-pura nggak butuh siapa-siapa?”
Tanganku bergetar.
Aku ambil yang lain.
“Kalau kamu baca ini, mungkin kamu sudah lupa. Tapi dulu kamu pernah ingin menghilang. Bukan mati. Hanya… dilupakan.”
Lautan itu… mulai terasa seperti tempat yang menyimpan semua yang pernah ingin kulupakan.
Aku menatap air laut yang tenang tapi kelam. Di dalamnya, samar-samar, aku bisa melihat bayangan wajah—wajah orang-orang yang pernah aku kenal, yang pernah menyakitiku, atau… yang pernah aku sakiti.
Lalu, air laut itu berbisik.
“Tukar nama, tukar ingatan. Dan kamu akan bebas dari segalanya.”
Deg.
Aku mundur beberapa langkah. Tapi airnya mulai naik. Perlahan, ombak menjilat telapak kakiku, dan saat itu juga… aku merasa ada yang ditarik dari dalam kepalaku.
Namaku.
Aku mencoba mengingat. Tapi suara dalam kepalaku… mulai kabur.
Siapa aku?
Ray?
Atau… sesuatu yang sudah lama hilang?
Tiba-tiba, sosok Lyra muncul. Tapi dia kini basah kuyup, berdiri di atas air seperti bagian dari lautan itu sendiri. Rambutnya menutupi sebagian wajahnya. Matanya merah. Tapi bukan karena marah—karena duka.
“Aku tidak bisa melindungimu di sini,” katanya lirih. “Ini adalah bagian dari jiwamu yang paling ingin hilang.”
“Kenapa aku lupa semuanya?” suaraku gemetar.
“Karena kau dulu memintanya.”
Air laut naik lebih cepat sekarang, mencapai pinggangku. Rasanya seperti menyentuh perasaan yang sudah bertahun-tahun kubekukan: kecewa, ditolak, diabaikan.
Lyra melangkah mendekat, berdiri di sampingku.
“Dulu… kau menulis surat. Untuk dunia. Untuk siapa pun yang peduli. Tapi kau tak pernah mengirimnya.”
Aku memejamkan mata. “Aku takut mereka tahu aku lemah.”
“Tapi menahan semuanya membuatmu kehilangan dirimu sendiri.”
Saat membuka mata, lautan telah tenang. Tapi kini aku berdiri di atas air.
Di bawah kakiku, seperti ada jendela-jendela ingatan. Dalam satu kilasan, aku melihat diriku—menangis diam-diam di kamar kecil. Dalam yang lain, aku menulis surat panjang lalu membakarnya sebelum siapa pun bisa membaca.
Semua ingatan itu mulai tenggelam satu per satu.
Lyra menatapku.
“Jika kau ingin kembali… kau harus mengingat siapa dirimu. Nama, luka, dan semua yang pernah kamu tolak.”
Lalu sebuah sosok muncul dari air. Seperti tubuh lain—tubuhku. Tapi tak bernama. Tanpa mata. Tanpa suara.
“Kalau kamu ingin melupakan segalanya, kau bisa jadi dia. Tidak perlu mengingat apa pun. Tidak perlu merasakan. Hanya… menghilang.”
Aku menatap Lyra. “Dan kalau aku ingat?”
“Kau akan kembali. Tapi dengan luka. Dan dengan beban untuk hidup sepenuhnya.”
Aku menunduk.
Lalu aku berkata, pelan tapi tegas, “Namaku Ray.”
Dan saat aku menyebutkan nama itu… dunia retak.
Air laut terbelah. Surat-surat yang tercecer menyatu membentuk jembatan. Langit mendadak memekik, dan tubuhku ditarik oleh cahaya yang muncul dari balik horizon.
Sebelum menghilang, Lyra memelukku. “Aku bangga padamu, Ray. Tapi satu pintu lagi… dan semuanya akan berubah.”
“Kenapa kamu selalu bilang begitu?”
Karena kali ini… Lyra menatapku penuh luka.
“Karena di balik pintu terakhir, kamu akan tahu… aku bukan siapa yang kamu pikir.”
Dunia berputar cepat. Tubuhku terlempar. Lalu gelap.
Dan pintu berikutnya… terbuka perlahan.
Bab 9: Dunia Tanpa Pintu
Aku terhempas ke atas tanah keras. Tapi anehnya, tak terasa sakit. Rasanya… hampa.
Saat aku membuka mata, aku langsung sadar ini bukan dunia biasa. Bukan pula seperti pintu-pintu sebelumnya. Dunia ini… terlalu sempurna.
Langit berwarna biru pastel, rumput hijau membentang sejauh mata memandang. Burung terbang rendah. Angin berembus lembut. Bahkan udara di sini… mengingatkanku pada hari paling bahagia dalam hidup.
Tapi yang membuatku langsung siaga—tak ada pintu di sini. Sama sekali.
Aku berdiri, berjalan menyusuri padang rumput. Tak ada batas. Tak ada bangunan. Tak ada arah. Aku memutar kepala, dan semuanya… tetap sama. Simetris. Seolah dunia ini tidak pernah berubah.
“Lyra?” panggilku.
Tak ada jawaban.
“LYRA!” aku berteriak, tapi suaraku hanya terpantul kembali. Sunyi. Dingin. Aneh.
Lalu aku melihatnya.
Seseorang berdiri di kejauhan. Siluet tubuh. Punggung menghadapku.
Aku berlari ke arahnya. Napasku memburu, dan saat aku sampai cukup dekat—aku berhenti. Mataku membelalak.
Orang itu adalah aku.
Bukan versi kecil. Bukan versi tersenyum. Tapi aku—sekarang. Lengkap. Sama persis. Tapi matanya kosong. Bibirnya tersenyum tipis. Dan saat dia berbicara, suaranya datar.
“Kenapa kau datang ke sini?”
Aku menelan ludah. “Karena aku harus.”
“Untuk apa? Semua sudah tenang. Kau tidak merasakan sakit di sini. Tidak kehilangan. Tidak takut.”
Aku diam. Karena dalam hati, aku tahu—itu benar.
“Ini dunia tanpa pintu, Ray. Karena di sini… tidak ada jalan keluar. Tidak ada jalan pulang.”
Aku mulai berjalan mundur. “Kau bukan aku.”
Ia tersenyum. “Justru aku satu-satunya versi dirimu yang benar-benar ingin kau jadi.”
Deg.
“Aku adalah kau… yang menyerah. Yang memilih tinggal. Yang lelah mencoba.”
Tanah mulai bergoyang.
Rumput yang tadi hijau mulai menghitam. Langit berubah jadi merah. Semua keindahan runtuh dalam hitungan detik, seperti ilusi yang dibongkar paksa.
Dan aku berdiri di tengah kehancuran, satu-satunya yang masih utuh.
Lalu terdengar suara Lyra—bukan dari depan, bukan dari langit, tapi dari dalam kepalaku.
“Kau harus ingat, Ray… dunia ini adalah perangkap. Dunia tempat jiwa-jiwa yang menyerah. Tidak ada pintu, karena tidak ada keputusan.”
Aku berteriak, “Kalau tidak ada pintu, bagaimana aku keluar!?”
Dan saat itu juga… segalanya menjadi hening.
Sosok “aku” tadi perlahan berubah. Wajahnya menyatu. Matanya jadi seperti milik Lyra.
“Apa maksud semua ini!?” teriakku.
“Aku bukan bagian dari dunia ini, Ray,” suara itu berkata. “Aku bukan penjaga pintu. Aku adalah pintu itu sendiri.”
Deg.
Aku terduduk. Kepalaku pusing. “Kamu… Lyra… kamu bukan manusia?”
“Aku adalah entitas yang tinggal di antara hidup dan mati. Aku muncul saat seseorang hampir hilang. Aku adalah pilihan.”
“Jadi semua ini… kamu yang ciptakan?”
“Tidak. Kau yang menciptakan. Aku hanya membimbing. Tapi begitu kau masuk ke dunia ini, satu hal yang tak bisa kuhindari adalah… ikut terikat padamu.”
Aku menunduk. “Lalu perasaanku ke kamu… itu nyata?”
Tak ada jawaban.
Hanya getaran halus di tanah, dan bisikan samar:
“Ray… pintu tidak pernah pergi. Hanya tersembunyi.”
Aku menatap sekeliling. Dunia ini hancur. Tapi tak ada apa-apa. Hanya debu, abu, dan aku sendiri.
Lalu aku melihatnya.
Bayangan pintu—tak utuh, tak kokoh—terbentuk dari pecahan-pecahan kenangan yang mulai kupulihkan.
Potongan surat, wajah Lyra, suara ibuku, cahaya dari laut, tawa palsu, dan tangis jujur—semua mulai menyatu jadi satu pintu terakhir.
Pintu paling aneh dari semuanya. Tak ada gagang. Tak ada bingkai.
Tapi aku tahu… itulah pintu pulang.
Aku berdiri. Menatap kosong ke arah pintu yang belum sepenuhnya ada.
Dan suara Lyra terakhir kali terdengar:
“Kalau kamu masuk… kamu akan bangun. Tapi aku akan hilang.”
Air mataku jatuh.
“Aku ingin kamu ada di dunia nyata,” bisikku.
“Aku tidak bisa. Tapi aku akan selalu jadi bagian dari keputusan yang membuatmu bertahan.”
Aku menutup mata.
Lalu, aku melangkah.
Dan saat kakiku melewati pintu yang tidak utuh itu…
Segalanya terang.
Bab 10: Pintu Terakhir Sebelum Kenyataan
Cahaya menelanku.
Putih. Terang. Tidak menyilaukan, tapi hangat. Seperti pelukan pertama yang pernah kubayangkan dari seseorang yang tidak pernah benar-benar memelukku.
Tubuhku ringan. Aku tak tahu apakah aku masih berjalan, melayang, atau hanya… terhanyut.
Lalu perlahan, dunia mulai membentuk dirinya sendiri.
Aku berdiri di dalam sebuah ruangan kecil. Dindingnya putih polos. Tidak ada pintu. Tidak ada jendela. Hanya satu kursi—dan seseorang duduk di sana.
Aku mengenalnya.
Lyra.
Tapi kali ini dia tak memakai gaun putih, tak bersinar seperti entitas antara realita dan mimpi.
Dia… manusia. Rambutnya acak-acakan, wajahnya pucat, matanya sembab. Tapi dia tersenyum kecil saat menatapku.
“Kamu datang,” katanya.
Aku menelan ludah. “Aku pikir kamu akan hilang.”
Dia tertawa pelan, tapi tawanya terdengar getir. “Aku memang harusnya hilang. Tapi ada sesuatu yang tertinggal. Sesuatu yang bahkan waktu dan batas tak bisa hilangkan.”
“Apa itu?”
Dia berdiri. Melangkah ke arahku.
“Perasaan.”
Lyra berdiri tepat di depanku. Tangannya terulur, dan saat menyentuh pipiku… hangat. Benar-benar hangat. Bukan seperti entitas, bukan seperti mimpi. Tapi nyata. Nyata sekali.
“Ray,” bisiknya. “Aku bukan bagian dari dunia nyata. Tapi bagian dari jiwamu yang paling ingin hidup. Aku muncul karena kamu butuh alasan untuk tetap bertahan.”
Mataku mulai memanas. “Tapi sekarang… aku tidak ingin kamu pergi.”
“Aku tahu,” katanya, menunduk. “Tapi kalau kamu melangkah ke luar, kamu akan kembali. Dan aku akan tetap di sini. Menjadi bagian dari mimpi-mimpi yang mungkin tak akan kamu ingat.”
Aku menatap matanya dalam. “Apa kamu… merasa yang sama? Atau aku cuma jatuh cinta pada proyeksi dari diriku sendiri?”
Dia tersenyum. “Kalau aku hanya bagian dari dirimu, kenapa kamu takut kehilangan aku?”
Aku terdiam.
Lalu ia menambahkan, “Cinta yang kamu rasakan padaku… adalah cinta yang belum pernah kamu berikan ke dirimu sendiri.”
Aku menangis. Bukan karena sedih, tapi karena akhirnya mengerti.
Semua dunia yang kulewati, semua luka, semua kenangan, semuanya bukan tentang aku mencari jalan keluar. Tapi tentang aku mencoba kembali ke dalam diriku sendiri.
Lyra menggenggam tanganku.
“Pintu terakhir akan muncul sekarang. Tapi bukan aku yang akan membukanya.”
Aku mengangguk pelan. “Kalau begitu, biar aku yang menutup semuanya.”
Dan saat aku menoleh, dinding ruangan itu mulai retak. Retakan membentuk garis tinggi dari lantai sampai langit-langit. Cahaya mengalir keluar seperti darah dari luka lama yang akhirnya terbuka.
Pintu itu muncul.
Tidak seperti pintu yang lain. Tak bersinar. Tak dihias. Hanya kayu sederhana. Tapi terasa… berat. Bukan karena bobotnya, tapi karena maknanya.
Lyra menarik napas.
“Kau tahu, Ray… kau bisa tetap di sini. Bersamaku. Dunia ini akan melupakanmu. Tapi kau akan tenang.”
Aku tersenyum sambil menghapus air mata. “Tenang bukan berarti hidup.”
Dia tertawa kecil, lalu mengangguk.
“Aku akan tetap di sini. Sebagai suara kecil dalam kepalamu. Sebagai keberanianmu saat kau ragu. Sebagai alasanmu untuk tetap bangun saat ingin menyerah.”
Aku memeluknya.
Pelukan terakhir.
Lalu aku membuka pintu itu.
Terang.
Suara mesin.
Suara ibu.
Tanganku terasa berat. Kepalaku pening. Tapi aku tahu, aku…
Bangun.
Mataku terbuka.
Atap rumah sakit. Jarum infus. Napas ibuku tertahan.
“Ray?”
Aku menoleh perlahan. Senyum pelan.
“Iya, Bu… aku pulang.”
Dan entah bagaimana… aku tahu, jauh di dalam, di antara batas nyata dan tidak, ada seseorang yang tersenyum sambil berbisik:
“Selamat datang kembali.”
TAMAT.
Novel ini ditulis oleh Evi Fauzi, Penulis dari Novel Singkat. Baca juga novel romantis, petualangan dan fiksi ilmiah lainnya.