Novel Singkat The Last Clockmaker
Novel Singkat The Last Clockmaker

Novel Singkat: The Last Clockmaker

Setelah dunia membeku pada tahun 2199 karena waktu berhenti total, satu-satunya orang yang masih bisa bergerak adalah Liora Elvaria, seorang gadis pembuat jam dari desa terpencil. Ia bukan gadis biasa, darah Penjaga Waktu mengalir dalam dirinya. Saat dunia membeku karena virus waktu buatan “Si Pemutar Mundur”, Liora menjadi harapan terakhir umat manusia.

Sebagai pembuat jam yang kini memegang kendali atas detik dan menit, Liora harus mengumpulkan lima fragmen jam kuno yang tersebar di berbagai belahan dunia demi mengembalikan alur waktu. Namun perjalanan ini bukan hanya soal melawan musuh, tapi juga mengungkap rahasia kelam keluarga, pengkhianatan dari sekutu, dan cinta yang muncul di antara perang waktu.

Ketika tiba saatnya memilih antara menyelamatkan waktu atau menghancurkannya untuk selamanya, Liora harus memutuskan: apakah ia akan menjadi pembuat jam… atau penghancur waktu itu sendiri?

Bab 1: Detik yang Membeku

Langit pagi di desa tua Wyndmere biasanya diwarnai kicauan burung dan derik roda gerobak tua. Tapi pagi ini… semuanya sunyi. Terlalu sunyi. Tak ada desir angin, tak ada suara jam yang berdetak, dan bahkan suara napas pun lenyap dari dunia. Yang ada hanyalah keheningan yang menyesakkan dada.

Liora membuka matanya dengan berat, berbaring di ranjang kayu usang di loteng bengkel jam warisan kakeknya. Ia memicingkan mata, menyambut cahaya matahari yang masuk dari jendela kecil. Tapi ada sesuatu yang aneh. Cahaya itu tak bergerak. Butiran debu yang biasanya melayang indah dalam sinar mentari… membeku di udara, seperti foto yang dijepret dalam satu detik dan tak pernah bergerak lagi.

Dengan jantung berdebar, Liora bangkit dan memandang keluar jendela. Ia melihat seorang petani sedang menimba air di sumur, embernya melayang di udara—tidak jatuh, tidak terangkat. Diam. Di kejauhan, seekor burung beku di langit dengan sayap terbuka, seperti patung. Bahkan daun yang biasa berjatuhan dari pohon mapel tua… kini menggantung begitu saja di udara.

“Ini… mimpi?” bisik Liora, tapi suaranya menggema terlalu nyata di telinganya. Ia turun dengan langkah cepat ke bawah, membuka pintu bengkel jam. Desa tempat ia tumbuh, tempat semua orang mengenalnya sebagai “anak gadis si pembuat jam”, kini seperti lukisan yang tak bernyawa.

Ia berlari ke rumah tetangga. Pintu tak terkunci, seperti biasa. Di dalam, keluarga Malloy duduk di meja makan—ayah, ibu, dan dua anak mereka—semuanya membeku dalam gerakan terakhir mereka. Sup panas yang hendak disendok si ibu masih mengepul di udara, namun uapnya tak bergerak.

Liora berlari keluar, berusaha mencari siapa pun yang hidup. Tapi tak ada. Dunia berhenti. Waktu berhenti.

Napasnya mulai tercekat. Ia kembali ke bengkel jam, duduk di lantai sambil memeluk lutut. Air mata menggenang, tapi tak sempat jatuh sebelum ia melihat sesuatu—jam dinding tua buatan kakeknya yang biasanya rusak… kini berdetak.

Tik. Tik. Tik.

“Mustahil…”

Jam itu berdetak, dan hanya itu satu-satunya hal yang hidup dalam dunia yang mati. Liora berdiri dan meraih jam itu dari dinding. Di baliknya, ia menemukan sebuah lubang rahasia yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Di dalamnya, sebuah kotak kayu kecil dengan simbol aneh—sebuah lingkaran yang terpecah, dengan satu jarum melintang di tengahnya.

Ia membukanya, dan di dalamnya ada surat dengan tulisan tangan yang ia kenali. Tulisan kakeknya.

Liora, jika kau membaca ini, maka waktu telah berhenti. Kau satu-satunya yang bisa bergerak karena darah Penjaga Waktu mengalir dalam dirimu. Ini bukan kutukan, tapi takdir. Dengarkan suara jam. Carilah Chrono. Dan bersiaplah menghadapi musuh lama yang telah kembali…

Tangannya gemetar saat membaca nama terakhir dalam surat itu:

“Si Pemutar Mundur.”

Langit masih beku. Udara masih diam. Tapi dalam hati Liora, badai mulai mengamuk. Dunia telah berubah, dan hanya dia yang bisa menyelamatkannya. Tak ada waktu untuk menangis. Karena ironisnya, di dunia yang tak lagi punya waktu, hanya Liora yang masih memilikinya.


Jantung Liora berdegup semakin kencang, namun bukan karena ketakutan—melainkan karena kenyataan tak masuk akal yang perlahan mulai terasa nyata. Dunia benar-benar telah membeku. Ia berjalan keluar dari bengkel dengan langkah perlahan, seakan takut menyentuh realitas yang seolah bisa hancur kapan saja. Ujung jarinya menyentuh lengan seorang pemuda yang biasa menjual roti di pasar—dingin, kaku, dan tak bereaksi. Ia mencoba menggoyangkannya. Tak bergerak sedikit pun. Seperti patung.

“Ini gila… ini enggak mungkin nyata…” gumamnya, mencoba menenangkan diri.

Liora kembali ke dalam bengkel, tempat yang selama ini menjadi pelarian sekaligus rumahnya. Di ruangan penuh roda gigi dan logam kuningan itu, ia menatap surat peninggalan kakeknya yang kini terasa seperti wasiat dari masa lalu. Tangannya bergerak ke laci meja kerja tua yang selama ini dilarang dibuka. Dengan ragu, ia menariknya. Ada sesuatu di dalam: sebuah liontin bundar dengan ukiran halus. Begitu disentuh, liontin itu menyala lembut dan berdetik pelan.

Tiba-tiba, suara terdengar dari pojok ruangan. Bukan suara manusia… lebih seperti gema mekanis.

Tik. Tok. Tik. Tok.

Suara itu muncul dari jam lantai tua yang sudah tak berfungsi bertahun-tahun. Jarum jamnya mulai berputar pelan… lalu berhenti di angka dua belas. Terdengar bunyi klik, dan bagian belakang jam terbuka seperti pintu rahasia.

Liora mendekat dengan hati-hati. Di dalamnya, sebuah bola logam seukuran kepalan tangan terapung di udara. Bola itu bercahaya biru redup dan mulai berbicara dalam suara halus namun tegas:

“Selamat datang, Penjaga Waktu terakhir. Aku adalah Chrono, inti memori Waktu. Kau telah dipilih untuk membangkitkan alur waktu yang beku. Tapi ketahuilah, musuh lama telah bangkit. Ia menanam virus temporal yang melumpuhkan dunia. Hanya kau yang bisa menghentikannya.”

Liora memundurkan langkah. “Tunggu dulu… kau bicara soal musuh? Virus waktu? Dunia beku? Ini bukan sekadar mimpi buruk?!”

Chrono mengambang lebih dekat. “Ini kenyataan. Dan kau harus memilih—berdiam dalam dunia yang membeku… atau memutar waktu kembali. Tapi untuk melakukannya, kau harus menemukan Lima Fragmen Waktu yang telah tersebar dan disembunyikan di seluruh dunia.”

Liora menghela napas dalam, mencoba menerima semua yang tak masuk akal ini. “Kenapa aku?”

“Karena kau cucu dari Ardent, Penjaga Waktu terakhir. Dan dalam darahmu mengalir kekuatan untuk membuka portal waktu yang tertutup. Kau adalah satu-satunya harapan.”

Saat itu juga, langit di luar mendadak bergetar. Meski dunia masih membeku, seberkas cahaya ungu muncul di tengah langit. Di baliknya… sesosok bayangan terlihat berdiri. Ia mengenakan jubah kelam, wajahnya tertutup topeng, dan di tangannya menggenggam jam pasir besar yang terbalik.

“Dia…” kata Chrono, suaranya penuh tekanan. “Si Pemutar Mundur telah menyadari keberadaanmu.”

Untuk pertama kalinya sejak dunia berhenti, Liora merasa waktu bukan sekadar angka. Ia adalah detik yang menentukan hidup dan mati. Dan ia, hanya seorang gadis pembuat jam dari desa kecil, harus menghadapi pertempuran yang akan menentukan nasib seluruh dunia.

Dengan mata tajam dan tangan yang gemetar, Liora menggenggam liontin warisan keluarganya.

“Kalau aku satu-satunya… maka aku akan menyelamatkan waktu.”

Bab 2: Suara di Antara Diam

Langkah Liora menyusuri jalan berbatu menuju ujung desa dipenuhi rasa waspada. Meski tak ada satu pun yang bergerak, ketegangan justru terasa menusuk di setiap sudut. Seperti dunia menahan napas, menunggu sesuatu—atau seseorang. Ia menatap wajah-wajah beku penduduk yang dikenalnya sejak kecil. Pandangan mereka kosong, membeku dalam rutinitas terakhir mereka. Seorang anak kecil yang tengah tertawa kini membeku di tengah ayunan. Seorang wanita tua tertunduk di taman bunga, tangannya berhenti di udara, seolah hendak menyiram tanaman.

Liora menggenggam liontin warisan kakeknya yang tergantung di leher, mencari kekuatan dari detik-detakan lembut yang masih terus berdengung di dalamnya.

Ia tahu petualangan ini tidak akan mudah, tapi diam bukan pilihan. Surat kakeknya jelas: cari Chrono. Dan suara dalam kepalanya—halus, tapi pasti—terus memanggil, memandu, seperti gema di dalam ruang hampa.

“Ikuti suara jam yang berdetak dalam diam.”

Liora terus berjalan, hingga akhirnya sampai di hutan tua yang mengelilingi desa. Di sanalah suara itu menjadi lebih jelas. Bukan suara jam biasa—melainkan perpaduan antara bisikan, gema metalik, dan detakan ritmis yang menyerupai napas.

Hutan yang dulu akrab kini terasa asing. Kabut tipis menyelimuti pepohonan, dan angin tak lagi bertiup. Tapi suara itu menuntunnya—menuju sebuah gua tersembunyi yang tertutup akar-akar pohon besar. Tak pernah ada yang menyadari keberadaannya, seolah gua itu baru muncul saat waktu berhenti.

Dengan susah payah, Liora menyingkirkan akar-akar tersebut. Begitu masuk ke dalam, udara berubah drastis. Tidak dingin, tidak panas—tapi penuh tekanan seperti berada dalam gelembung waktu. Dinding gua dihiasi jam-jam kuno, semua menunjukkan waktu berbeda. Tapi tak satu pun dari mereka berdetak… kecuali satu.

Di ujung gua, sebuah jam raksasa tergantung di atas batu altar, berdetak pelan.

Tik… tok… tik… tok…

Di bawah jam itu, bola logam biru yang ia temui sebelumnya mengambang, kini berpendar lebih terang. Suaranya menyambut:

“Liora Elvaria. Kau telah menemukan aku.”

“Chrono… jadi ini kau sebenarnya?”

“Benar. Aku adalah fragmen kesadaran waktu, diciptakan oleh generasi pertama Penjaga Waktu. Tugasku: membimbing pewaris terakhir. Kau.”

Liora mendekat, memandangi bola bercahaya itu dengan tatapan sulit percaya. “Apa yang sebenarnya terjadi? Siapa Si Pemutar Mundur itu? Dan kenapa cuma aku yang bisa bergerak?”

Chrono mulai berputar perlahan, memproyeksikan hologram di udara. Sebuah pemandangan muncul—dunia yang cerah, penuh arsitektur masa depan, dan manusia yang hidup berdampingan dengan waktu yang dikendalikan.

“Di tahun 2199, manusia menciptakan sistem pengatur waktu pusat yang disebut The Axis. Sistem itu mampu memperlambat atau mempercepat waktu di wilayah tertentu, untuk efisiensi dan kontrol sosial. Tapi ada yang memperingatkan—waktu bukan mainan. Ia harus dijaga, bukan dikendalikan.”

Tiba-tiba, pemandangan berubah. Seorang pria bertopeng berdiri di tengah ruang kendali, melepaskan jam pasir raksasa yang pecah dan menyebarkan cahaya ungu ke seluruh dunia.

“Pria itu dulunya adalah Penjaga Waktu bernama Alzair. Ia percaya masa depan manusia terlalu rusak untuk diselamatkan. Ia menciptakan virus temporal untuk menghapus semua masa depan dan mengembalikan dunia ke ‘awal yang bersih’. Dunia pun membeku. Waktu berhenti… kecuali bagi satu darah yang tersisa: kau.”

Liora menggeleng tak percaya. “Lalu, apa yang harus aku lakukan?”

“Di dunia ini tersebar lima Fragmen Jam Kuno. Masing-masing bagian mengandung kekuatan untuk menyalakan kembali arus waktu. Tapi mereka disembunyikan di tempat paling berbahaya, yang hanya bisa dijangkau oleh seseorang dengan akses ke semua dimensi waktu.”

Liora menelan ludah. “Dan aku… punya akses itu?”

“Iya. Liontinmu adalah kunci. Tapi… ada harga yang harus dibayar untuk membangunkan waktu.”

Sebelum Liora sempat bertanya lebih jauh, gua berguncang. Batu runtuh dari langit-langit. Cahaya ungu menembus masuk dari celah gua, dan terdengar suara menggema:

“Kau terlalu cepat, anak jam… tapi waktu selalu berpihak pada yang tahu cara memutarnya kembali.”

Liora menoleh ke arah sumber suara. Sebuah bayangan muncul dari kabut. Sosok tinggi, berjubah, dengan topeng tanpa ekspresi dan mata yang bersinar ungu. Suara itu dingin, menembus jiwa.

Chrono berteriak, “Lari, Liora! Dia bisa menembus lapisan waktu lebih awal dari yang kami perkirakan!”

Liora berlari keluar gua, menyelamatkan liontin dan Chrono. Di belakangnya, suara si Pemutar Mundur menggelegar:

“Kau bisa coba melawan waktu, tapi bahkan detik tak pernah benar-benar milikmu.”

Saat Liora berlari, jam di dalam liontin berdetak semakin cepat. Waktu mulai menyesuaikan dirinya di sekelilingnya, membentuk lingkaran pelindung. Tapi ia tahu, ini baru permulaan.

Dunia beku menunggu detiknya kembali. Dan ia… gadis pembuat jam yang dulu hanya tahu cara memperbaiki jam rusak… kini memegang kendali waktu dunia.

Bab 3: Fragmen Pertama

Tokyo, atau lebih tepatnya sisa-sisa dari kota megapolitan itu, kini menjadi kota hantu dalam waktu yang membeku. Awan kelabu menggantung tanpa gerak di atas reruntuhan. Bangunan pencakar langit miring dalam posisi yang seolah-olah tertahan sebelum tumbang. Jalan-jalan kosong dari suara, lampu-lampu kota menyala tanpa alasan—karena tak ada yang tinggal untuk menyaksikannya.

Liora berdiri di atas jembatan kereta api yang terputus, menatap kota yang pernah jadi pusat kehidupan. Ia mengenakan mantel tebal yang ia temukan di rumah penduduk beku, dan liontin peninggalan kakeknya menggantung di leher, memancarkan cahaya redup yang menghangatkan dada.

Chrono, yang kini bersembunyi dalam liontin, berbisik di pikirannya.

“Fragmen pertama berada di Ruang Waktu Shinkai, laboratorium tersembunyi di bawah Stasiun Tokyo. Dahulu, tempat itu adalah pusat penelitian waktu alternatif.”

Liora melangkah hati-hati melewati rel yang menggantung. Ia mulai terbiasa dengan dunia yang sunyi, namun tetap tak bisa menyingkirkan rasa dingin di punggungnya. Seolah ia diawasi. Selalu.

Setibanya di stasiun, ia menyusuri lorong-lorong yang remang. Di sinilah waktu terasa benar-benar mati. Seorang penumpang membeku di tengah langkah, dengan kopi tumpah menggantung di udara. Seorang anak kecil berdiri dengan tatapan ceria menghadap ibunya—wajah yang membeku selamanya dalam senyum yang menyakitkan untuk dilihat.

“Berapa lama dunia seperti ini?” gumam Liora, setengah bertanya pada dirinya sendiri.

“Tiga minggu dalam waktu kita,” jawab Chrono. “Tapi di dunia luar? Bisa jadi tiga tahun. Atau tiga abad. Waktu telah kehilangan makna.”

Liora akhirnya menemukan pintu menuju ruang tersembunyi di balik eskalator mati. Liontin di lehernya menyala dan membuka pintu dengan dentingan lembut. Ia memasuki ruang bawah tanah yang sunyi, gelap, dan dipenuhi mesin raksasa yang tertutup debu.

Tiba-tiba, suara retakan terdengar dari balik bayangan. Liora membekap napas. Cahaya liontin memperlihatkan sesosok makhluk… bukan manusia. Tingginya dua meter, tubuhnya seperti jam mekanik yang cacat. Tubuhnya terdiri dari roda gigi berkarat dan kabel waktu yang menjuntai. Di wajahnya terdapat lubang seperti jam tanpa jarum.

Chrono berbisik, penuh kewaspadaan.

“Itu De-Timer. Makhluk waktu rusak. Diciptakan oleh Si Pemutar Mundur untuk menjaga fragmen.”

Makhluk itu mengeluarkan suara berdengung seperti jarum jam yang rusak. Liora mundur, lalu berlari ke arah ruang utama. Di sana, di tengah laboratorium, tergeletak Fragmen Waktu pertama—sebuah roda jam emas sebesar telapak tangan yang melayang di udara.

Saat Liora berlari ke arahnya, De-Timer mengejarnya, roda gigi di kakinya berputar cepat dan menimbulkan kilatan percikan api. Liora melompat, menghindar, lalu bersembunyi di balik mesin raksasa.

“Liora, kau harus menjebaknya,” ujar Chrono. “Gunakan arus waktu dari liontinmu. Dekatkan liontin ke generator.”

Dengan napas berat, Liora berlari ke generator tua di sudut ruangan. Ia menekan liontin ke konsol mesin. Tiba-tiba, semburan cahaya biru menyelimuti seluruh ruangan. De-Timer mengerang keras, tubuhnya melambat, lalu membeku total—seolah tertelan oleh arus waktu itu sendiri.

Dengan langkah cepat, Liora mendekati fragmen dan meraihnya. Saat tangannya menyentuh benda itu, seluruh laboratorium bergetar. Fragmen bercahaya terang, dan gambar-gambar masa lalu mulai berkelebat: kejadian-kejadian dunia, wajah-wajah orang yang pernah hidup… lalu gelap.

Saat Liora membuka mata, ia sudah berada di luar stasiun. Fragmen berada di tangannya, kini menyatu dengan liontin. Cahaya dari liontin itu lebih kuat, lebih stabil. Detakan waktu kembali mengalir lembut di sekitarnya—tapi hanya di sekitarnya.

“Fragmen pertama telah bergabung,” kata Chrono. “Empat lagi tersisa. Tapi Si Pemutar Mundur pasti tahu keberadaanmu sekarang.”

Liora menghela napas, tubuhnya lelah, pikirannya penuh tanya. Namun satu hal pasti: ini baru permulaan.

Saat ia melangkah pergi dari reruntuhan Tokyo, angin perlahan mulai bergerak. Satu helai daun jatuh ke tanah.

Waktu mulai menetes. Dan dunia… perlahan membuka matanya.

Bab 4: Jejak Masa Lalu

Venesia, kota yang dulu memukau dengan kanal-kanal indahnya, kini menjadi kota sunyi yang terendam sebagian. Air tenang membeku di permukaannya, menjadikan seluruh kota seperti lukisan kaca. Gondola yang biasa melayang lembut kini mengambang tak bergerak. Merpati tak beterbangan. Dan lonceng-lonceng gereja, yang biasanya berdentang tiap jam, kini diam membisu.

Liora menapaki jalanan batu yang licin dengan hati-hati. Suara langkah sepatunya menggema dalam keheningan yang memekakkan. Di belakangnya, suara dentingan samar dari liontin terus berdetak, satu-satunya penanda bahwa waktu masih hidup—setidaknya untuk dirinya.

Chrono berbicara pelan dari dalam liontin.

“Fragmen kedua disembunyikan di bawah Basilika San Marco, di ruang catatan Penjaga Waktu. Tapi… ada sesuatu yang harus kau tahu.”

Liora menghentikan langkahnya. “Apa itu?”

“Tempat ini… menyimpan kebenaran tentang masa lalu kakekmu. Dan tentang awal mula musuhmu, Alzair—Si Pemutar Mundur.”

Liora menggenggam liontin lebih erat. Kakeknya, Ardent Elvaria, adalah satu-satunya keluarga yang ia punya, sosok yang mengajarinya membaca detakan jam sejak kecil, yang selalu berkata bahwa waktu harus dihormati, bukan dikendalikan. Tapi kini, suara Chrono terdengar seolah mengisyaratkan rahasia gelap yang tersembunyi.

Ia tiba di depan pintu basilika. Bangunan megah itu menjulang anggun meski tak bernyawa. Dengan cahaya liontin, Liora membuka gerbang besar, lalu melangkah masuk ke ruang utama yang dipenuhi mosaik dan patung suci. Tapi yang ia cari bukanlah doa—melainkan rahasia waktu.

Di balik altar utama, ia menemukan simbol yang sama dengan yang ada di liontin—lingkaran terpecah dengan jarum di tengah. Ia menyentuhnya. Sebuah celah terbuka di lantai, memperlihatkan tangga batu menurun ke kegelapan.

Di sanalah, di ruang bawah tanah kuno yang dipenuhi buku-buku tua dan jam tak berdetak, Liora menemukan catatan yang ditulis dengan tangan yang ia kenali. Tulisan kakeknya. Buku tua dengan kulit retak itu berjudul “Pengakuan Ardent: Dosa Waktu.”

Tangannya gemetar saat membuka halaman pertama.


“Kepada siapa pun yang membaca ini: aku adalah Penjaga Waktu ke-12. Dan aku telah gagal.”

“Alzair, teman seperjuanganku, adalah Penjaga ke-11. Kami bersumpah untuk menjaga keseimbangan waktu, tapi kami berbeda dalam pandangan. Aku ingin memperbaiki dunia dari dalam. Ia… ingin mengulang dunia dari awal.”

“Kami bertarung. Ia hampir terbunuh, tapi aku tak sanggup membunuhnya. Sebagai gantinya, aku menyegel jiwanya dalam mesin jam waktu di bawah Pegunungan Zagros. Tapi… kini aku tahu segel itu rapuh. Dan aku telah mewariskan beban ini pada cucuku, Liora, tanpa bisa meminta izin.”

“Maafkan aku, jika suatu hari kau membaca ini. Dunia beku karena dosa masa lalu kami. Dan hanya darahmu yang bisa menebusnya.”


Liora menutup buku itu perlahan, air mata menetes tanpa ia sadari. Ia tidak marah. Ia tidak kecewa. Tapi kini ia paham—perjuangan ini bukan hanya miliknya. Ini adalah warisan dari generasi Penjaga Waktu yang telah kehilangan arah. Termasuk kakeknya.

“Kenapa tak pernah kau ceritakan padaku…?” bisiknya lirih.

Seketika, ruangan bergetar. Buku-buku terbang dari rak, dan suara detakan keras terdengar dari dinding. Sebuah pintu rahasia terbuka, memperlihatkan jam besar melayang di udara. Di tengahnya: Fragmen kedua.

Namun, sebelum ia bisa bergerak, sosok muncul dari balik bayangan. Sesosok lelaki berpakaian hitam dengan wajah separuh ditutupi topeng logam. Tatapannya tajam, dan aura waktu di sekitarnya terasa berbeda—seperti melawan arus.

“Liora Elvaria,” ujarnya datar. “Kau datang lebih cepat dari yang kukira.”

Liora mundur setengah langkah. “Kael…?”

Ia mengenali pria itu. Ia adalah sosok yang muncul sesaat dalam penglihatannya di laboratorium Tokyo. Sekarang, ia hadir nyata di hadapannya.

Kael tersenyum miring. “Aku hanya utusan. Ayahku—Alzair—sudah tahu kau akan datang. Dan dia memberiku satu tugas: menghentikanmu sebelum kau mendapatkan semua fragmen.”

Tanpa peringatan, waktu di sekeliling Liora melambat. Kael melompat dengan kecepatan luar biasa, mencoba merebut liontin dari lehernya. Namun Liora melindunginya dengan cahaya biru yang menyembur dari Fragmen pertama.

Pertarungan waktu pun terjadi. Kael memanipulasi arus waktu dengan membekukan jalur gerakan Liora, sementara Liora memutar balik ruang di sekitarnya menggunakan kekuatan liontin. Dinding runtuh. Udara bergetar. Detik dan menit bentrok dalam pusaran waktu yang tak terduga.

Akhirnya, dengan satu gerakan nekad, Liora melompat ke arah Fragmen kedua dan menggenggamnya. Cahaya meledak, menelan Kael dan mendorongnya keluar dari ruangan. Saat debu mereda, ia telah menghilang.

“Fragmen kedua tergabung,” ujar Chrono dengan suara berat. “Tapi Kael… dia bukan sekadar utusan. Ia adalah darah dari musuh terbesarmu. Dan kini ia tahu kekuatanmu.”

Liora berdiri di tengah reruntuhan, napas terengah, tangan masih menggenggam catatan kakeknya.

Ia tak hanya membawa Fragmen Waktu sekarang. Ia membawa sejarah. Dosa. Dan warisan yang harus ditebus dengan detik demi detik.

Bab 5: Konstelasi yang Terhenti

Antartika, benua putih yang selalu sunyi, kini benar-benar mati. Tidak ada angin menggulung salju. Tidak ada cahaya kutub yang menari di langit. Semua terdiam dalam kebekuan waktu yang menyeluruh. Es-Es raksasa membeku di tengah runtuhan laboratorium tua yang dulu dikenal sebagai Observatorium Polaris. Tempat di mana para ilmuwan pernah memetakan alur bintang dan waktu melalui konstelasi langit.

Liora berdiri di ujung tebing es, menatap ke cakrawala yang tak pernah berubah. Liontin di lehernya terus berdetak pelan, menyinari jalan beku di hadapannya. Fragmen waktu pertama dan kedua kini telah menyatu dengan liontin, membuatnya bisa mendengar alur waktu lebih jelas… dan juga suara-suara dari masa lalu yang bergema samar di telinganya.

“Fragmen ketiga tersembunyi di inti observatorium,” bisik Chrono. “Namun, ini bukan hanya tempat pengamatan bintang… tapi juga tempat lahirnya teori manipulasi waktu.”

Liora mengangguk dan menapaki jalur es menuju bangunan observatorium tua. Tiang-tiang penyangga logam telah membeku, dan kubah utama terbuka, menghadap langit yang beku tanpa bintang. Anehnya, tidak ada salju yang jatuh—hanya butiran kristal es yang melayang di udara, seolah tertahan sebelum menyentuh tanah.

Di dalam observatorium, ruang kendali masih utuh. Panel-panel mesin kuno menyala samar karena energi yang tersisa. Dan di tengahnya, sebuah bola transparan besar berputar pelan—menampilkan peta langit malam. Konstelasi bergerak… tetapi lambat, hampir tak terdeteksi. Dan di pusat peta itu, titik bercahaya biru berkedip.

“Fragmen ketiga ada di sana,” ujar Chrono. “Tapi hati-hati… kita tidak sendirian.”

Liora menajamkan pendengaran. Dan benar saja. Ada langkah kaki. Lembut. Teratur. Ia berbalik, dan di sana, di ambang pintu yang membeku oleh es, berdiri Kael.

Tapi kali ini… ia tidak mengenakan jubah hitamnya. Ia tidak memakai topeng. Wajahnya terlihat jelas—muda, tampan, namun penuh luka masa lalu. Mata gelapnya menatap Liora, bukan dengan kebencian… tapi dengan kelelahan.

“Liora,” katanya pelan. “Aku tak datang untuk bertarung.”

Liora tetap siaga. Tangannya menggenggam liontin erat. “Kau berharap aku percaya?”

Kael menghela napas. “Aku cuma ingin… bicara.”

Diam sesaat mengisi ruang, lalu Liora perlahan menurunkan tangan.

Kael berjalan mendekat, dan duduk di salah satu kursi logam tua. Ia menatap langit beku di atas mereka.

“Dulu, aku pikir ayahku adalah pahlawan. Ia bilang, dunia ini terlalu rusak. Bahwa waktu harus dihentikan agar penderitaan manusia tak terus berulang. Aku percaya padanya. Aku belajar dari dia. Tapi sekarang… setelah melihatmu, aku mulai ragu.”

Liora terdiam, memandangi pria di hadapannya. Kael bukan sekadar musuh. Ia adalah hasil dari warisan yang hancur—seperti dirinya.

“Lalu kenapa kau menyerangku di Venesia?” tanya Liora dingin.

Kael tersenyum miris. “Karena aku takut. Ayah bilang… kalau kau berhasil menyatukan semua fragmen, waktu akan kembali berjalan. Dan jika itu terjadi, dia akan kehilangan segalanya. Termasuk… aku.”

Liora menelan ludah. “Tapi waktu bukan milik kita untuk dimatikan. Kita tidak berhak membekukannya hanya karena dunia tidak sempurna.”

Kael menunduk. “Aku tahu. Dan mungkin itulah sebabnya aku di sini… untuk membiarkanmu mengambil fragmen itu.”

Ia berdiri, lalu berjalan ke panel bintang dan menekan satu tombol tersembunyi. Bola langit terbuka, dan di dalamnya terdapat benda kecil melingkar—Fragmen Waktu ketiga. Warnanya ungu tua, berkilau seperti malam.

Kael memungutnya dan menyerahkannya pada Liora. Tangannya menyentuh tangan Liora sejenak—hangat, rapuh, seperti seseorang yang lelah melawan takdir.

“Satu hari nanti,” ucapnya pelan, “kau akan tahu, bahwa waktu juga bisa menjadi kutukan.”

Seketika, alarm berbunyi.

Chrono berseru, “Itu jebakan! Seseorang telah mengaktifkan portal waktu balik!”

Dinding retak. Lantai bergetar. Dari langit observatorium, cahaya ungu menyilaukan memancar, dan dari dalamnya, muncul sosok berjubah hitam pekat: Alzair.

Wajahnya tertutup topeng penuh. Jam pasir besar melayang di belakangnya, berputar mundur. Suara beratnya menggema seperti ledakan.

“Kael. Kau berani mengkhianatiku?”

Kael berdiri di depan Liora, melindunginya. “Ayah… cukup. Dunia harus hidup kembali.”

Tapi Alzair tak memberi ampun. Ia melempar waktu seperti senjata. Lantai es mencair. Udara mengeras. Liora terpaksa menarik Kael dan melompat ke dalam ruang pelarian observatorium, tepat sebelum ledakan waktu menghancurkan atap.

Mereka mendarat keras di luar. Terengah, terluka. Tapi Fragmen ketiga aman di tangan Liora, kini menyatu dengan liontin.

“Tiga dari lima,” kata Chrono. “Tapi kita kehilangan banyak hal hari ini. Termasuk waktu yang dulu tenang.”

Liora menatap Kael yang tergeletak di sampingnya. Ia kini bukan lagi musuh… melainkan seorang yang tersesat, seperti dirinya. Dan langit malam perlahan mulai bergerak. Konstelasi—bintang-bintang itu—kembali berkelip.

Untuk pertama kalinya dalam ratusan malam, langit berbicara lagi.

Bab 6: Pengkhianatan Waktu

Liora menatap liontin di lehernya yang kini berpendar tiga warna—biru, emas, dan ungu. Tiga fragmen waktu telah berhasil digabungkan. Waktu di sekitarnya perlahan mulai bergerak, tak lagi sepenuhnya beku. Angin bertiup pelan. Debu kembali jatuh ke tanah. Tapi semua itu masih terbatas—waktu belum sepenuhnya pulih. Masih ada dua fragmen lagi.

Mereka kini berlindung di reruntuhan stasiun luar kota Praha, tempat tersembunyi yang tak dijangkau oleh sinyal temporal Alzair. Kael terbaring lemah di samping perapian kecil yang dibuat Liora. Tubuhnya terluka akibat ledakan waktu dari ayahnya, tapi ia masih sadar.

“Liora…” gumam Kael pelan, “kau harus pergi tanpaku… dia akan mencarimu.”

Liora duduk di sampingnya, menggenggam tangannya. “Aku tak akan meninggalkanmu. Kau menyelamatkanku di observatorium. Aku tidak melupakan itu.”

Mereka saling diam. Namun dalam keheningan, suara yang biasanya menenangkan terdengar… berbeda.

Chrono.

Ia muncul dari liontin sebagai bola cahaya biru yang kini bergetar tak stabil.

“Liora… kita harus segera bergerak. Alzair semakin mendekat. Lokasi fragmen keempat telah terdeteksi… di Atlantis yang muncul kembali di atas permukaan.”

“Tunggu,” potong Liora, tatapannya menajam. “Kenapa kau baru sekarang memberi tahuku tentang Atlantis? Dan… kenapa kau tak pernah menjelaskan siapa sebenarnya kau?”

Chrono terdiam sejenak. Getarannya berubah menjadi denyut yang tidak teratur.

Kael, yang tadinya lemah, kini perlahan bangkit. “Liora… ada sesuatu yang harus kau tahu. Ini tentang Chrono.”

Liora memalingkan wajah ke Kael, bingung. “Apa maksudmu?”

Kael menggenggam liontin itu dengan tangan gemetar, dan tiba-tiba, aliran waktu di dalam ruangan berhenti sesaat. Ruang menjadi sunyi total. Dan dalam kehampaan itu, suara muncul—bukan dari Chrono, tapi dari suara manusia… suara yang sangat mirip dengan Alzair.

“Jika kau mendengar ini, berarti bagian terakhir dari jiwaku telah menyatu kembali…”

Cahaya biru Chrono berubah… menjadi ungu. Bentuk bola cahayanya berdenyut seperti jantung mekanik. Liora mundur. Matanya membelalak.

“Tidak… kau—Chrono… siapa kau sebenarnya?”

Chrono menunduk, suaranya kini berat dan jauh lebih dalam.

“Aku… adalah pecahan kesadaran dari Alzair yang terlepas saat ia menyatu dengan Mesin Waktu Utama. Aku diciptakan untuk membimbingmu… ya. Tapi juga untuk memantau dan… mengawasi setiap langkahmu.”

Liora merasa tubuhnya melemas. “Kau mengkhianatiku… sejak awal?”

“Tidak sepenuhnya,” jawab Chrono. “Sebagian dari diriku memang ingin dunia dibekukan. Tapi bagian lainnya… terpengaruh olehmu. Oleh keputusanmu. Oleh caramu menghargai waktu, bukan mengendalikannya.”

Kael bangkit sepenuhnya, berdiri di antara Liora dan Chrono. “Kau tak bisa memiliki keduanya. Pilih: tetap sebagai alat ayahku… atau bebaskan dirimu.”

Cahaya Chrono berkedip cepat. “Aku… tidak bisa… memilih…”

Tiba-tiba, liontin di leher Liora meledakkan cahaya yang amat terang. Tiga fragmen di dalamnya memaksa Chrono kembali dalam bentuk mentah. Ia berteriak… atau lebih tepatnya… berderit seperti jam pecah. Fragmen di dalam liontin mulai memisahkan kesadaran Chrono dari Alzair.

“Liora… aku tidak bisa kembali. Tapi aku bisa… memberikan sesuatu sebelum aku hilang…”

Dalam ledakan cahaya terakhirnya, Chrono melepaskan bola kecil—sebuah inti data berisi peta lokasi dua fragmen terakhir, serta rahasia terakhir tentang Jam Utama, alat yang mampu memutar ulang atau mempercepat waktu dunia secara total.

Liora menggenggam bola itu sambil menangis. Meski pengkhianatan menyakitkan, ia tahu Chrono juga berjuang dari dalam. Ia adalah korban… seperti dirinya.

“Kita harus bergerak ke Atlantis,” ujar Kael, kini dengan mata penuh tekad. “Tapi kali ini… kita pergi bukan sebagai musuh.”

Liora mengangguk. “Kita pergi… sebagai dua anak dari masa lalu yang ingin menyelamatkan masa depan.”

Saat mereka berjalan menjauh dari reruntuhan, butiran salju perlahan mulai jatuh dari langit. Untuk pertama kalinya… salju benar-benar jatuh, bukan membeku di udara.

Waktu mulai melunak.

Dan kebenaran… mulai terkuak.

Bab 7: Kota yang Terhapus

Legenda mengatakan, Atlantis adalah kota yang ditelan laut. Tapi tak ada yang pernah tahu bahwa kota itu sebenarnya hanya… tersembunyi. Terkunci dalam lipatan waktu, terisolasi dari dunia yang terus bergerak. Dan kini, karena gangguan arus waktu dari tiga fragmen yang telah dipulihkan, kota itu muncul kembali ke permukaan laut—terperangkap antara dimensi masa lalu dan sekarang.

Liora berdiri di atas tebing batu yang menghadap samudra biru pucat. Di bawah sana, di balik kabut dan buih laut yang membeku, siluet kota megah terlihat perlahan-lahan naik dari kedalaman seperti kapal hantu. Menara kristal, jalanan spiral, dan kubah emas yang memantulkan cahaya ungu waktu kini mengambang diam di tengah laut, seperti mimpi yang tertunda.

Kael berdiri di sampingnya, diam.

“Atlantis bukan kota biasa,” ujar Kael pelan. “Ini markas pertama para Penjaga Waktu. Tempat semua dimulai… dan tempat rahasia terdalam disimpan.”

Liora menggenggam liontin yang kini berisi tiga fragmen waktu. Bola data dari Chrono yang mereka dapatkan sebelumnya memandu mereka ke pusat kota. Namun ada satu hal yang membuat langkah Liora berat: nama ibunya muncul dalam arsip yang terbuka dari bola data itu.

“Levana Elvaria – Penjaga Waktu ke-13. Lokasi terakhir: Atlantis.”

“Ibuku… hidup?” Liora membisikkan kata-kata itu dengan suara gemetar.

Selama ini, ia percaya ibunya meninggal dalam kecelakaan waktu saat Liora masih kecil. Tak ada makam, tak ada jenazah. Hanya jam rusak yang ditinggalkan. Sekarang, ada secercah harapan… dan juga rasa takut. Bagaimana jika ibunya ternyata terlibat dalam kekacauan ini?

Dengan bantuan teknologi jam yang ditanamkan dalam liontin, Liora dan Kael melintasi permukaan laut beku, menciptakan jalan dari aliran waktu yang mengalir di bawah kaki mereka. Ketika mereka memasuki gerbang utama Atlantis, dunia berubah.

Waktu di kota itu berjalan… namun dengan cara berbeda. Burung-burung terbang mundur. Air mancur melompat ke atas lalu kembali ke dasar. Penduduk kota—ya, ada penduduk di sana—hidup dalam lingkaran waktu pendek, mengulang rutinitas yang sama tanpa sadar. Seorang gadis kecil menyiram bunga—lalu bunga itu layu—dan ia menyiramnya lagi. Terus menerus.

“Ini bukan hidup,” kata Liora. “Ini penjara waktu.”

Mereka menuju pusat kota, sebuah menara tinggi bernama Menara Inersia, tempat konon semua arsip Penjaga Waktu disimpan. Di dalamnya, lorong-lorong dihiasi roda waktu melayang dan jam pasir berputar melawan gravitasi. Semuanya indah… sekaligus mengerikan.

Dan di ruang inti arsip, mereka menemukan kapsul waktu hidup. Di dalam kapsul transparan, seorang wanita tertidur, tubuhnya utuh, tak menua—dan wajahnya… adalah wajah yang selama ini hanya Liora lihat di foto lama.

“Ibu…”

Chrono yang sebelumnya hancur telah meninggalkan instruksi untuk membuka kapsul. Saat Liora menempelkan liontinnya ke panel, sinar putih menyinari ruangan. Perlahan, kapsul terbuka. Dan Levana membuka mata.

Ia menarik napas dalam, seperti seseorang yang baru lahir kembali.

“Liora… anakku…”

Liora jatuh ke lutut, menangis. “Ibu… kau hidup… kenapa kau tak pernah kembali?”

Levana memegang pipi Liora, penuh kasih. Tapi air matanya menetes juga.

“Aku tak bisa. Aku dikurung di sini oleh Alzair—setelah aku menolak membekukan waktu bersamanya. Aku menyembunyikan keberadaanku, berharap suatu hari kau akan datang… dan membawa cahaya waktu kembali.”

Kael menunduk. “Jadi semua ini… adalah bagian dari rencananya?”

Levana mengangguk. “Atlantis adalah inti sistem waktu. Fragmen keempat disimpan di inti jantung kota ini. Tapi untuk mendapatkannya, kalian harus memecahkan sistem berulang. Jika kalian gagal… kalian akan terjebak selamanya dalam pengulangan waktu ini.”

Liora berdiri, menghapus air mata. “Aku akan memecahkannya. Karena ini bukan hanya tentang waktu. Ini tentang keluarga. Tentang masa depan.”

Dengan bantuan ibunya dan Kael, Liora turun ke dasar Menara Inersia, ke ruang inti bernama Jantung Waktu. Di dalamnya, waktu tak hanya berulang—tapi melawan mereka. Lantai berganti bentuk, dinding berubah posisi, dan jarum-jarum jam raksasa menebas arah.

Tapi Liora sudah berubah. Ia kini bukan gadis pembuat jam biasa. Ia adalah pewaris waktu.

Dengan menggabungkan ketiga fragmen dan membiarkan jiwanya selaras dengan arus waktu, Liora memecahkan pola pengulangan. Ruangan berhenti bergerak. Dan dari tengah pusaran cahaya, Fragmen keempat muncul—berwarna perak bercahaya biru es.

Ia menggenggamnya… dan waktu di Atlantis berhenti berulang.

Penduduk tersadar. Air mengalir normal. Burung kembali mengepak ke depan.

Namun saat mereka keluar dari menara, langit berubah menjadi ungu tua. Awan menggulung cepat. Dan di ufuk, suara familiar terdengar.

“Satu fragmen lagi… dan dunia kembali berjalan. Tapi itu tak akan terjadi.”

Alzair muncul.

Dengan jam pasir di tangannya yang terus berputar mundur, ia berdiri di atas langit seperti dewa waktu.

“Kalian memaksaku membuka kartu terakhirku…”

Dari balik jubahnya, ia mengeluarkan Fragmen Kelima.

“Karena fragmen terakhir… tak pernah tersebar. Tapi kusimpan. Dalam tubuhku.”

Bab 8: Waktu Palsu

Langit terbelah. Fragmen kelima memancarkan cahaya ungu kelam yang membentuk retakan di udara, seperti luka di langit. Dunia tidak lagi sekadar membeku—ia mulai hancur perlahan. Jam-jam di seluruh penjuru bumi berdetak mundur, dan waktu mulai meluruh seperti cat yang luntur dari kanvas.

Liora, Kael, dan Levana hanya bisa menatap dari kejauhan saat Alzair menghilang ke dalam pusaran waktu yang ia ciptakan. Dengan Fragmen Kelima di tubuhnya, ia kini bukan hanya musuh… ia adalah inti dari kekacauan.

“Kita harus menghentikannya sekarang,” ujar Levana dengan mata tajam. “Sebelum waktu benar-benar terhapus.”

Kael menatap Liora. “Kau tahu apa artinya, kan? Kita harus masuk ke Markas Waktu—dunia buatan yang berada di luar waktu nyata. Tak ada jalan kembali kalau kita gagal.”

Liora mengangguk. “Aku siap.”


Markas Waktu tak terletak di tempat biasa. Ia hanya bisa dicapai lewat Gerbang Penyangga Dimensi, sebuah mekanisme kuno yang hanya dapat dibuka dengan keempat fragmen yang telah dikumpulkan. Dengan panduan dari liontin dan Chrono yang tersisa sebagai suara tak berwujud dalam sistem jam, Liora memutar keempat fragmen dalam konfigurasi tertentu. Gerbang terbuka, memperlihatkan kehampaan gelap berkilau.

Saat mereka melangkah masuk, segalanya berubah.

Mereka memasuki dunia yang tak memiliki warna—ruang hampa penuh menara jam terapung, tangga melayang, dan lorong-lorong yang tidak terikat gravitasi. Waktu tidak linier di sini. Kenangan dan masa depan menyatu seperti bayangan yang tak bisa dipegang. Suara-suara masa lalu bergema di setiap sudut.

“Selamat datang di Waktu Palsu,” bisik Levana.


Di tengah dunia hampa itu berdiri istana jam yang besar—menara waktu yang membungkus inti kekuatan Alzair. Liora dan yang lain menyusup masuk, melewati lorong-lorong penuh ilusi waktu: potongan kehidupan masa lalu yang membuat mereka ingin berhenti dan larut.

Liora melihat dirinya kecil, bersama kakeknya, belajar membongkar jam pertama. Ia melihat ibunya menangis dalam ruang tersembunyi, menyaksikan dunia membeku dari kapsul. Dan ia melihat… Kael kecil, duduk sendirian dalam ruang tanpa jendela, mendengar ayahnya berkata:

“Dunia ini tidak layak dijalani. Hanya dengan menghentikan waktu, kita bisa menyelamatkan mereka dari penderitaan.”

Kael menutup matanya. “Semua ini… adalah cuci otak.”

Mereka akhirnya sampai di inti istana.

Di sana, Alzair duduk di atas singgasana melayang, tubuhnya berubah—fragmen kelima bersinar terang di dadanya seperti jantung buatan. Ia tampak tidak tua, tidak muda. Waktu telah berhenti padanya.

“Kalian datang… tepat di waktu yang salah,” katanya sambil tertawa kecil.

Liora maju. “Kembalikan fragmen itu. Biarkan waktu berjalan lagi!”

Alzair menatap Liora, matanya berkilat ungu. “Kau tidak mengerti. Dunia ini tak butuh waktu. Dunia hanya butuh… akhir.”

Ia bangkit dan menjentikkan jarinya. Dinding waktu meledak. Ruang di sekitar mereka mulai runtuh. Tapi Levana melangkah ke depan, membentuk pelindung dari liontin cadangan yang ia simpan—sisa miliknya dulu sebelum dikurung.

Pertempuran waktu pun dimulai.

Kael bertarung melawan para penjaga bayangan Alzair, makhluk tanpa bentuk yang terbuat dari waktu yang terdistorsi. Levana menahan energi gelombang balik yang dikirimkan Alzair. Dan Liora… ia menantang Alzair sendiri.

“Kalau memang aku tak bisa mengambil fragmennya darimu… maka aku akan menghentikan jantung waktumu sendiri!”

Liora menerobos ke tengah pusaran waktu di sekitar tubuh Alzair. Dengan liontin di tangan, ia menekan empat fragmen ke arah fragmen kelima. Tapi kekuatannya tidak cukup. Ia terdorong mundur, terluka, tergeletak.

“Kau tidak bisa menghancurkan sesuatu… yang hidup dalam darahku!” teriak Alzair.

Kael melihat itu—dan mengambil keputusan. Ia berlari ke arah Liora.

“Gunakan aku,” katanya. “Aku bagian dari dia. Gunakan darahku untuk menyatu dengan fragmen kelima. Kau bisa menghentikannya lewat aku.”

Liora terkejut. “Tapi kau bisa mati!”

Kael tersenyum. “Aku sudah mati di dunia ini sejak kecil. Tapi kalau dengan itu aku bisa hidup kembali… sebagai seseorang yang benar… aku rela.”

Dengan suara gemetar, Liora menekan liontin ke dada Kael—dan sesuatu yang tak pernah dirancang pun terjadi. Fragmen kelima mulai tertarik dari tubuh Alzair, menuju tubuh Kael… yang kini berpendar seperti wadah cahaya waktu.

Alzair menjerit. Ia berusaha menarik kembali fragmennya, tapi sudah terlambat. Fragmen kelima keluar dari tubuhnya, dan kekuatan waktu runtuh bersamanya. Ia terlempar ke pusaran gelap dan menghilang tanpa suara.

Kael jatuh ke pelukan Liora.

“Kau berhasil…” bisiknya. “Waktu… akan kembali…”

“Jangan mati… kumohon…”

Namun tubuh Kael perlahan berubah menjadi cahaya. Dan dalam desah terakhirnya, ia tersenyum.

“Terima kasih… karena membuatku percaya… pada waktu…”

Markas Waktu runtuh. Liora dan Levana berlari keluar melalui portal terakhir yang terbuka. Fragmen kelima kini menyatu dalam liontin. Waktu akhirnya… pulih.

Bab 9: Pertarungan di Ruang Tanpa Waktu

Waktu mulai bergerak kembali di bumi—perlahan, ragu-ragu, seperti anak kecil yang baru belajar berjalan. Burung-burung yang sebelumnya membeku kini beterbangan. Air terjun kembali mengalir dari tebing. Detik di jam dinding kembali berdetak… satu per satu. Tapi bagi Liora, waktu tak lagi terasa sama.

Ia berdiri di tengah ruang kosong putih yang tak memiliki arah. Tempat itu tidak memiliki langit, tidak memiliki tanah. Tempat yang hanya bisa dicapai ketika lima fragmen waktu telah bersatu. Ruang Tanpa Waktu. Tempat terakhir. Titik nol.

Di hadapannya, berdiri sebuah struktur besar: Jam Agung, roda waktu purba yang dikenal hanya dalam dongeng para Penjaga Waktu. Roda itu berputar pelan, memancarkan cahaya emas yang menyilaukan. Dan di sekelilingnya, terdapat dua jalan bercahaya—dua pilihan.

Levana berdiri di sisi lain ruangan, matanya menatap putrinya dengan raut berat.

“Kau telah menyatukan lima fragmen. Dunia bisa kembali seperti sedia kala. Tapi ada harga yang belum dibayar, Liora.”

Liora mengangguk pelan. Ia tahu. Chrono telah meninggalkan pesan terakhir sebelum hancur:

“Jam Agung hanya bisa diaktifkan dengan satu pilihan: mengembalikan waktu dan membiarkan dunia berjalan sesuai takdir… atau menghancurkan sistem waktu selamanya, membiarkan umat manusia hidup tanpa kendali atas waktu.”

Pilihan itu ada di tangannya.

Kael telah berkorban agar waktu bisa kembali. Tapi sekarang, Liora harus memilih: apakah akan membangun ulang sistem yang bisa disalahgunakan oleh generasi masa depan, atau… menghancurkannya untuk selamanya, dan melepaskan dunia dari belenggu waktu.

Tiba-tiba, sosok bayangan muncul di balik Jam Agung.

Bukan Alzair.

Melainkan… Liora lain.

Versi dirinya… dari masa depan.

Rambutnya lebih panjang, sorot matanya dingin. Ia mengenakan jubah waktu putih, dan di tangannya, liontin yang sama.

“Aku datang dari masa depan yang kau pilih saat ini,” ucapnya. “Jika kau memutar kembali waktu dan membiarkan dunia seperti semula… maka aku akan lahir. Tapi dengarkan aku… aku akan menjadi seperti Alzair.”

Liora mundur selangkah. “Apa maksudmu?”

“Sistem waktu akan kembali diperkuat. Tapi manusia serakah. Mereka akan menggunakannya, mengubah sejarah, membentuk masa depan sesuai keinginan. Dan aku… akan menjadi pemimpin yang akan membekukan waktu lagi.”

Levana tercengang. “Dia… versi masa depanmu?”

Liora tak bisa berkata-kata. Di depannya berdiri dirinya sendiri—masa depan yang gelap.

“Tapi jika kau menghancurkan Jam Agung… aku tidak akan pernah ada. Dan dunia akan bebas. Waktu tak lagi bisa dikendalikan. Tak akan ada Penjaga Waktu. Tak akan ada tirani waktu. Tapi… Kael tidak akan bisa kembali.”

Liora menunduk. Liontin di tangannya terasa lebih berat dari sebelumnya. Ia memejamkan mata dan melihat semua yang telah ia lewati: desa yang beku, makhluk De-Timer, pertempuran di observatorium, penemuan ibunya, dan… pengorbanan Kael.

Hati dan logikanya saling bertabrakan. Apakah ia akan memilih cinta? Atau kebebasan manusia?

Akhirnya, Liora melangkah ke depan, mendekati Jam Agung. Ia berdiri di antara dua jalan bercahaya:

  • Jalan kanan: Mengaktifkan Jam Agung, memulihkan waktu, dan menerima semua konsekuensinya.
  • Jalan kiri: Menghancurkan sistem waktu, dan membiarkan dunia bebas, meski penuh ketidakpastian.

Ia menatap Levana. “Ibu… kalau aku memilih untuk menghancurkannya, ibu akan…”

Levana tersenyum lembut. “Aku adalah bagian dari sistem waktu, Liora. Seperti Chrono. Seperti Kael. Tapi hidupmu… adalah pilihanmu. Jangan hidup karena kami. Hidup karena apa yang benar.”

Liora menarik napas dalam.

Lalu, ia memilih.

Dia melangkah ke kiri.

Dengan satu sentuhan di pusat roda Jam Agung, sistem waktu mulai retak. Cahaya meledak ke segala arah. Ruang Tanpa Waktu mulai runtuh.

Sosok Liora masa depan berteriak sebelum menghilang menjadi debu cahaya.

Levana memeluk putrinya, lalu tersenyum sebelum lenyap bersama struktur waktu yang hancur.

Liora terlempar dari pusaran waktu, jatuh ke tanah… dan melihat dunia. Dunia yang hidup. Dunia yang bebas. Dunia tanpa sistem yang mengendalikan detik dan menit.

Jam telah hancur.

Tapi waktu… telah kembali menjadi milik manusia.

Liora berdiri di tengah padang rumput, di bawah langit biru yang bergerak perlahan.

Sendiri.

Namun untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia merasa benar-benar hidup.

Bab 10: Detik Terakhir

Padang rumput itu terasa asing dan akrab sekaligus. Angin berhembus lembut, menggoyang ilalang yang menjulang di sekitar Liora. Cahaya matahari menyusup lewat awan tipis. Tidak ada jam. Tidak ada fragmen. Tidak ada suara detakan. Dunia… bebas.

Liora duduk di tengah padang rumput itu, menggenggam liontin yang kini tak lagi bercahaya. Lima fragmen di dalamnya telah hancur bersama Jam Agung. Namun ia masih menyimpannya—bukan sebagai alat waktu, tapi sebagai kenangan.

Ia memandang langit, dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia tidak merasa dikejar oleh waktu.

Namun sunyi itu menyakitkan.

Kael tak kembali. Levana lenyap bersama sistem waktu. Chrono, makhluk pertama yang membimbingnya, tak lagi bersuara. Tapi Liora tahu, setiap dari mereka telah menjadi bagian dari perubahan dunia. Pengorbanan mereka… tidak sia-sia.

Beberapa minggu berlalu.

Liora kembali ke desanya—tempat segalanya bermula.

Kini, penduduk desa hidup seperti biasa. Mereka tak tahu dunia pernah berhenti. Tak tahu waktu pernah membeku. Bagi mereka, dunia hanya melewatkan beberapa menit… sementara bagi Liora, itu adalah perjalanan yang mengubah segalanya.

Ia membuka kembali bengkel tua milik kakeknya. Roda gigi, baut, pegas jam—semua ia sentuh dengan perasaan berbeda. Kini ia memperbaiki jam bukan untuk mengatur waktu, tapi untuk merayakan bahwa waktu ada. Bahwa waktu adalah hadiah, bukan senjata.

Setiap jam yang ia perbaiki ia ukir kecil di bagian belakang:
“Hargai setiap detik.”


Suatu malam, ketika bintang bertabur di langit dan angin membawa aroma bunga liar, Liora duduk di depan bengkel sambil menatap langit. Tangannya menggenggam liontin tua yang kini kosong. Tapi saat ia memejamkan mata…

…angin mendesir pelan.

Dan suara lembut berbisik di telinganya.

“Liora…”

Suara itu… Kael.

Ia menoleh, namun tak ada siapa pun.

Tapi di langit… satu bintang jatuh.

Dan ia tersenyum.

“Mungkin waktu tak bisa dikendalikan… tapi kenangan tidak akan pernah hilang.”

Beberapa tahun kemudian…

Seorang anak kecil datang ke bengkel tua, menatap kagum jam-jam yang berdetak harmonis.

“Apakah jam bisa menghentikan waktu, Nona?” tanyanya polos.

Liora tertawa kecil. “Tidak, sayang. Tapi jam bisa mengingatkan kita… bahwa hidup terus berjalan.”

“Kalau begitu… bolehkah aku belajar membuat jam sepertimu?”

Liora menatap anak itu, lalu menyerahkan obeng kecil.

“Boleh. Karena jam tak pernah hidup… tanpa seseorang yang tahu cara menghargainya.”


Di suatu tempat yang tak terikat ruang dan waktu, fragmen kecil dari cahaya biru masih berkelip di kehampaan. Sebuah suara halus bergema pelan.

“Jika dunia suatu hari kembali melupakan arti waktu… mungkin seorang pembuat jam akan lahir lagi…”

Dan jam pun berdetak.

Tik…

Tok…

Akhir.


TAMAT.

Novel ini ditulis oleh Evi Fauzi, Penulis dari Novel Singkat. Baca juga novel romantis, petualangan dan fiksi ilmiah lainnya.

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

    Leave a Reply

    Your email address will not be published. Required fields are marked *