Reza, seorang arsitek berbakat yang meninggal dalam kecelakaan tragis, diberi kesempatan kembali ke dunia selama 100 hari untuk menepati janji terakhirnya kepada Liana, wanita yang ia cintai. Namun, ia kembali ke dalam wujud yang berbeda, tanpa bisa mengungkapkan identitasnya.
Liana, seorang editor buku yang masih terjebak dalam kesedihan setelah kehilangan Reza, mulai merasakan kehadiran seseorang yang terasa familiar. Seiring waktu, ingatan yang telah lama terkubur mulai kembali, membawa Liana pada pencarian surat yang menyimpan rahasia janji mereka.
Bab 1: Kembali dari Ketiadaan
Dunia di sekitarku samar, seperti melihat dari balik kabut tebal yang perlahan-lahan menipis. Suara-suara menggema, samar, seperti seseorang memanggilku dari kejauhan. Aku mencoba bergerak, tetapi tubuhku terasa ringan, seakan tak sepenuhnya nyata.
Kemudian, dalam sekejap, semuanya menjadi jelas.
Aku berdiri di tengah keramaian, di sebuah kota yang familiar namun terasa asing. Orang-orang berlalu-lalang, kendaraan melintas, dan lampu-lampu jalan menyala terang. Aku memandang sekeliling, mencoba memahami di mana aku berada, atau lebih tepatnya, bagaimana aku bisa berada di sini?
Sesuatu yang dingin terasa di tanganku. Aku menunduk dan melihat pantulan wajah di jendela toko di depanku.
Bukan wajahku.
Aku terkesiap. Mata yang menatap balik dari pantulan itu berbeda—bukan mataku. Rambutku seharusnya berwarna hitam pekat, tapi kini sedikit lebih terang, seperti cokelat tua yang tersapu matahari. Wajah itu terasa asing, namun ada sesuatu yang tetap terasa akrab.
Aku mengangkat tangan, menyentuh pipiku, memastikan bahwa ini nyata.
“Selamat datang kembali.”
Suara itu membuatku menoleh. Seorang pria tua berdiri di dekatku, mengenakan jas abu-abu panjang dan topi fedora yang menutupi sebagian wajahnya. Matanya tajam, penuh arti, seakan mengetahui sesuatu yang bahkan aku sendiri tidak pahami.
“Apa yang terjadi?” tanyaku, suaraku bergetar.
Pria itu tersenyum kecil. “Kau mendapatkan kesempatan yang jarang diberikan pada siapa pun.”
Aku mengernyit. “Kesempatan apa?”
“Kau telah meninggal, Reza. Tapi takdir mengizinkanmu kembali. Selama seratus hari, kau bisa memperbaiki hal yang tertinggal, memenuhi janji terakhirmu.”
Dadaku sesak. Kenangan itu menyeruak begitu cepat. Aku… meninggal?
Lalu, aku mengingatnya.
Kecelakaan itu. Mobil yang melaju terlalu cepat. Kilatan cahaya dari lampu jalan. Tubuhku terhempas, suara teriakan menggema. Dan yang terakhir, wajahnya—wajah seseorang yang selalu ada dalam pikiranku, meski sekarang terasa begitu jauh.
Liana.
Aku menatap pria itu dengan mata melebar. “Liana… bagaimana keadaannya?”
Pria itu menghela napas. “Ia masih di sini, hidup dengan luka yang tak bisa terlihat. Dan sekarang, kau punya kesempatan untuk kembali ke sisinya, tanpa ia tahu siapa dirimu.”
Aku menggenggam tanganku erat. Seratus hari. Itu waktu yang sedikit, tapi cukup untuk setidaknya… membuatnya bahagia sekali lagi.
“Tapi ingat,” pria itu memperingatkan. “Kau bukan lagi dirimu yang dulu. Tak boleh ada yang tahu siapa kau sebenarnya. Jika melanggar, hukumannya lebih berat dari sekadar kehilangan kesempatan ini.”
Aku menelan ludah. “Apa hukumannya?”
Pria itu menatapku lama sebelum menjawab. “Jika kau mengungkapkan identitasmu, Liana akan mengingat segalanya. Namun, itu akan membawa konsekuensi yang tak bisa kau bayangkan. Kau tidak akan bisa pergi dengan tenang, dan dia… akan hidup dalam kesedihan abadi.”
Jantungku berdegup kencang. Jadi, aku harus membuatnya bahagia tanpa pernah mengatakan siapa aku sebenarnya?
Aku mengembuskan napas berat. Itu terdengar mustahil, tapi aku tahu satu hal—aku tak akan menyia-nyiakan kesempatan ini.
“Di mana dia sekarang?” tanyaku.
Pria itu tersenyum tipis, kemudian mengulurkan tangannya. Aku tak tahu bagaimana, tapi saat aku menyentuhnya, dunia di sekitarku berubah. Seperti angin yang berputar kencang, sekelilingku berganti dalam sekejap.
Dan tiba-tiba, aku berdiri di seberang sebuah kafe kecil.
Aku mengenali tempat itu. Kafe tempat kami sering menghabiskan waktu bersama. Tempat di mana aku dulu berjanji akan selalu ada untuknya, janji yang tak sempat kutepati.
Di dalam, di dekat jendela, seorang gadis duduk sendirian.
Liana.
Aku menatapnya. Wajahnya masih sama, tetapi ada sesuatu yang berbeda—senyumnya menghilang. Matanya menatap kosong ke luar jendela, seakan sedang mencari sesuatu yang tak pernah bisa ia temukan.
Hatiku mencengkeram erat.
Aku ada di sini sekarang. Aku punya waktu.
Dan aku akan memastikan, sebelum senja merenggut janji ini dariku, aku akan menepatinya.
Bab 2: Gadis dengan Senyum yang Pudar
Hujan turun perlahan, membasahi jalanan kota. Aku masih berdiri di seberang kafe, memperhatikan Liana yang duduk sendirian di dekat jendela. Ia memegang cangkir kopi yang sudah setengah dingin, jemarinya bermain di tepian gelas dengan gerakan kecil yang hampir tak terlihat. Pandangannya kosong, seolah pikirannya melayang ke tempat yang jauh.
Senyumnya telah hilang.
Dulu, aku selalu bisa membuatnya tersenyum, bahkan dalam keadaan terburuk sekalipun. Tapi sekarang, di hadapanku, dia seperti seseorang yang telah kehilangan bagian terpenting dalam hidupnya.
Dan aku tahu, akulah bagian itu.
Aku menarik napas panjang, lalu melangkah masuk ke dalam kafe. Aroma kopi yang khas menyeruak, bercampur dengan suara dentingan gelas dan bisikan pelanggan. Aku bergerak perlahan, mencoba untuk tidak menarik perhatian, lalu mendekat ke arah meja tempat Liana duduk.
“Ada yang bisa saya bantu, Kak?” seorang barista menyapaku dengan ramah.
Aku tersenyum tipis. “Kopi hitam, tanpa gula.”
Sambil menunggu pesananku, aku kembali melirik ke arah Liana. Ia membuka ponselnya, membaca sesuatu, lalu mendesah pelan. Aku tak tahu apa yang ia lihat, tapi ekspresinya berubah sedih.
Aku ingin mendekatinya. Aku ingin menyapa dan mengatakan bahwa aku masih di sini. Tapi aku tahu itu mustahil.
Aku bukan lagi Reza yang ia kenal.
Beberapa menit kemudian, pesananku datang. Aku mengambil cangkir kopi dan mencari tempat duduk yang tak terlalu jauh dari Liana. Aku harus mencari cara untuk mendekatinya, tapi tanpa mencurigakan.
Kesempatan itu datang lebih cepat dari yang kuduga.
Saat Liana hendak berdiri, ia tanpa sengaja menjatuhkan ponselnya ke lantai. Aku segera bergerak, mengambilnya sebelum ia sempat membungkuk.
“Ini,” kataku sambil menyerahkan ponselnya.
Liana mengangkat wajahnya, dan untuk pertama kalinya dalam sekian lama, mata kami bertemu. Ada kehangatan dalam tatapannya, tapi juga kehampaan yang sulit dijelaskan.
“Terima kasih,” ucapnya pelan.
Aku tersenyum kecil. “Sepertinya kau sedang banyak pikiran.”
Ia mengerutkan kening, tampak sedikit terkejut dengan komentarku. “Dari mana kau tahu?”
Aku mengangkat bahu. “Hanya tebakan. Kadang, seseorang butuh tempat untuk berbicara, bahkan dengan orang asing.”
Liana menatapku cukup lama sebelum akhirnya tersenyum tipis—senyum yang hampir tak terlihat. “Kau benar.”
Ia kembali duduk, dan aku tahu ini adalah kesempatan yang harus kugunakan. Aku menunjuk kursi di depannya.
“Boleh aku duduk?” tanyaku.
Ia menatapku, seolah mempertimbangkan sesuatu. Lalu, setelah beberapa detik yang terasa lama, ia mengangguk.
Aku duduk di hadapannya, berusaha menyembunyikan kegugupanku. Ini aneh—berada begitu dekat dengannya, berbicara dengannya, tanpa bisa mengatakan siapa aku sebenarnya.
“Kau sering ke sini?” tanyaku, mencoba membuka percakapan.
Liana mengaduk kopinya pelan. “Dulu, iya. Sekarang… hanya saat aku butuh tempat untuk berpikir.”
“Apa yang kau pikirkan?”
Ia menatapku sekilas, lalu menghela napas. “Seseorang yang sudah pergi.”
Jantungku berdegup kencang. Aku ingin bertanya lebih jauh, tapi aku harus hati-hati. “Seseorang yang penting?”
Ia mengangguk, pandangannya menerawang. “Sangat penting.”
Aku menahan diri untuk tidak bertanya lebih jauh. Aku hanya bisa mendengarkan, berharap setidaknya kehadiranku bisa sedikit mengurangi beban yang ia rasakan.
Setelah beberapa saat hening, Liana akhirnya berbicara lagi. “Aku selalu berpikir… jika aku diberi satu kesempatan lagi, aku ingin mengatakan sesuatu padanya.”
Aku menelan ludah. “Apa yang ingin kau katakan?”
Ia tersenyum, tetapi matanya berkabut. “Bahwa aku menyesal… karena tidak pernah cukup menunjukkan betapa aku mencintainya.”
Kata-kata itu menghantamku seperti ombak besar. Aku ingin mengatakan bahwa aku mendengarnya, bahwa aku tahu semua itu. Tapi aku hanya bisa duduk diam, menggenggam cangkir kopi dengan erat.
“Menurutmu, apakah orang yang sudah pergi masih bisa mendengar apa yang kita katakan?” tanyanya tiba-tiba.
Aku menatapnya, mencoba menyembunyikan emosiku.
“Mungkin,” jawabku pelan. “Atau mungkin, mereka ada di dekat kita, tanpa kita sadari.”
Liana menatapku cukup lama, seolah sedang mencari sesuatu dalam diriku. Aku takut jika ia akan mengenali sesuatu—sebuah tanda, sebuah ingatan. Tapi pada akhirnya, ia hanya tersenyum samar.
“Aku harap begitu,” katanya.
Dan saat itu, aku tahu bahwa misiku baru saja dimulai. Aku harus memastikan bahwa sebelum senja terakhir, aku bisa membuatnya bahagia sekali lagi.
Tanpa harus mengungkapkan siapa aku sebenarnya.
Bab 3: Jejak Kenangan yang Hilang
Malam sudah larut ketika aku meninggalkan kafe, namun langkahku terasa berat. Pertemuan dengan Liana hari ini meninggalkan banyak perasaan bercampur aduk. Aku berhasil mendekatinya tanpa membuatnya curiga, tapi mendengar langsung betapa ia menyesali kehilangan diriku… rasanya seperti luka lama yang kembali terbuka.
Aku berjalan menyusuri trotoar, membiarkan udara dingin kota menyapu wajahku. Aku harus menemukan cara untuk membantunya mengatasi kesedihannya, tanpa melanggar batas yang telah ditentukan.
Seratus hari. Aku tidak boleh menyia-nyiakan waktu.
Tapi ada satu hal yang menggangguku.
Selama percakapan tadi, aku merasa ada sesuatu yang aneh. Liana mengatakan bahwa ia menyesal karena tidak cukup menunjukkan betapa ia mencintaiku.
Itu tidak masuk akal.
Aku mengingat dengan jelas bagaimana ia selalu menunjukkan perasaannya. Ia bukan tipe yang malu atau ragu dalam hal cinta. Bahkan, akulah yang sering kali merasa tidak cukup layak menerima cintanya.
Jadi, apa yang sebenarnya terjadi setelah aku pergi?
Aku butuh jawaban.
Mencari Petunjuk dalam Masa Lalu
Keesokan harinya, aku memutuskan untuk mencari sesuatu yang bisa membantuku memahami keadaan Liana setelah kepergianku. Aku tidak bisa bertanya langsung padanya, jadi aku harus mencari cara lain.
Dan orang pertama yang muncul dalam pikiranku adalah Adrian.
Adrian adalah sahabatku sejak kecil, sekaligus orang yang paling tahu tentang hubunganku dengan Liana. Jika ada seseorang yang tahu apa yang terjadi setelah aku pergi, dialah orangnya.
Aku menemukan akun sosial medianya dengan mudah. Tak butuh waktu lama untuk mencari tahu di mana ia sekarang. Aku berdiri di depan sebuah bengkel kecil di pinggiran kota, tempat ia bekerja. Dari luar, aku bisa mendengar suara mesin dan obrolan ringan para pekerja.
Dengan langkah mantap, aku masuk.
“Selamat datang, ada yang bisa saya bantu?” seorang pria paruh baya menyapaku dari balik meja kasir.
“Apa Adrian ada di sini?” tanyaku.
Pria itu menunjuk ke dalam. “Dia di bagian belakang, sedang memperbaiki motor.”
Aku mengangguk dan melangkah ke arah yang ditunjukkan. Dan di sanalah dia—Adrian, dengan pakaian kerja yang berlumuran oli, sibuk membongkar mesin.
Aku berdeham, mencoba menarik perhatiannya.
“Adrian?”
Ia menoleh, lalu mengernyit. “Ya? Siapa ya?”
Aku tersenyum kecil. “Aku orang baru di kota ini. Aku dengar kau kenal Liana.”
Wajahnya langsung berubah. Ada sedikit kejutan di matanya, tetapi juga sesuatu yang lain—kesedihan.
“Kenapa kau menanyakannya?” tanyanya curiga.
“Aku hanya ingin tahu tentang seseorang yang pernah dekat dengannya,” jawabku hati-hati.
Adrian menghela napas panjang, melepaskan sarung tangannya, lalu duduk di kursi kayu dekatnya. Ia mengamati wajahku beberapa detik sebelum akhirnya berbicara.
“Kalau kau bertanya tentang Liana, maka kau pasti tahu tentang Reza.”
Aku menahan napas.
“Ya… aku tahu sedikit.”
Adrian tersenyum pahit. “Dia sahabatku. Meninggal dalam kecelakaan dua tahun lalu.”
Dua tahun? Aku merasa sedikit terkejut. Aku tidak menyadari sudah selama itu sejak aku pergi.
“Liana pasti sangat kehilangan,” kataku pelan.
Adrian tertawa kecil, tapi tanpa kebahagiaan. “Itu tidak cukup untuk menggambarkan apa yang terjadi. Liana benar-benar hancur.”
Aku merasakan sesuatu mencengkeram dadaku.
“Seberapa parah?” tanyaku.
Adrian menatapku, lalu menggeleng pelan. “Aku tidak tahu apakah aku harus memberitahumu ini… tapi sejak hari itu, Liana bukan orang yang sama.”
Aku menggenggam tanganku erat. “Apa maksudmu?”
Adrian menunduk, memainkan kunci pas di tangannya. “Ada sesuatu yang terjadi setelah kematian Reza. Aku tidak tahu bagaimana menjelaskannya, tapi… Liana kehilangan sebagian ingatannya.”
Jantungku serasa berhenti berdetak.
“Apa maksudmu?”
“Ia masih mengingat Reza, masih mengingat hubungan mereka. Tapi ada beberapa bagian yang hilang—terutama tentang saat-saat terakhir mereka bersama. Dia sering bilang ada sesuatu yang penting yang ingin ia ingat, tapi tidak bisa.”
Aku terdiam, otakku mencoba mencerna informasi ini.
Kenapa Liana bisa kehilangan ingatannya? Dan bagian mana yang hilang?
Adrian menghela napas berat. “Yang lebih aneh lagi, setiap kali dia mencoba mengingat, dia selalu mengalami mimpi buruk.”
Aku menggigit bibirku. Ini lebih dari sekadar kehilangan. Ini seperti ada sesuatu yang sengaja dihapus dari ingatannya.
Tapi siapa yang bisa melakukan itu?
Aku berdiri, merasa semakin gelisah. “Terima kasih, Adrian. Aku harap… dia bisa menemukan apa yang ia cari.”
Adrian menatapku sekali lagi, lalu mengangguk. “Kalau kau peduli padanya, pastikan kau tidak menambah bebannya.”
Aku hanya tersenyum tipis sebelum melangkah pergi.
Misteri yang Harus Dipecahkan
Langit mulai berwarna jingga ketika aku kembali ke apartemen kecil yang kutinggali sekarang. Aku menatap diriku di cermin, wajah asing yang masih sulit kupercaya sebagai milikku sendiri.
Liana kehilangan ingatan tentang sesuatu yang penting.
Dan entah kenapa, aku merasa bahwa sesuatu itu berhubungan denganku.
Apakah ini bagian dari aturan yang mengikatku? Ataukah ada sesuatu yang lebih besar yang belum kuketahui?
Aku menghela napas panjang.
Aku harus mencari tahu.
Dan sebelum senja terakhir tiba, aku akan memastikan Liana mengingat semua yang seharusnya ia ingat.
Bab 4: Hati yang Mulai Mengenali
Hujan turun perlahan, menciptakan suara gemericik di luar jendela apartemen kecil yang kutinggali. Aku duduk di kursi kayu dekat meja, menatap secangkir kopi yang belum kusentuh. Pikiranku terus berputar pada percakapan dengan Adrian tadi siang.
Liana kehilangan sebagian ingatannya.
Ini lebih dari sekadar duka biasa. Ada sesuatu yang hilang, sesuatu yang membuatnya merasa kosong. Jika aku tidak tahu apa yang hilang, bagaimana aku bisa membantunya?
Aku memejamkan mata, mencoba mengingat kembali momen terakhir sebelum aku meninggal. Tapi semua terasa kabur, seperti bayangan yang tertutup kabut tebal.
Satu hal yang pasti: aku harus lebih dekat dengannya.
Aku tak bisa sekadar menjadi orang asing dalam hidupnya. Aku harus masuk lebih dalam, menjadi seseorang yang bisa ia percayai.
Dan untuk itu, aku membutuhkan waktu lebih banyak bersamanya.
Mendekat dengan Cara yang Tepat
Keesokan harinya, aku kembali ke kafe tempat aku dan Liana pertama kali bertemu kembali. Aku datang lebih awal, berharap bisa melihatnya sebelum ia pergi.
Saat aku tiba, aku melihatnya di dalam, duduk di meja yang sama, seperti kemarin. Kali ini, ia sibuk menulis sesuatu di buku catatannya.
Aku berjalan mendekat, memastikan suaraku terdengar santai.
“Sepertinya kita bertemu lagi.”
Liana menoleh dan sedikit terkejut melihatku. Tapi kali ini, ia tidak tampak keberatan.
“Kau lagi,” katanya sambil tersenyum tipis. “Kau suka kafe ini?”
Aku duduk di kursi di depannya tanpa menunggu izin. “Aku baru pertama kali ke kota ini, jadi sedang mencari tempat yang nyaman. Dan sepertinya aku menemukannya di sini.”
Liana tersenyum samar. Aku melihat sekilas bukunya—catatan tangan dengan beberapa coretan yang tidak selesai.
“Kau menulis sesuatu?” tanyaku, mencoba membuka percakapan.
Liana menatap bukunya sebentar sebelum menutupnya. “Bukan apa-apa. Hanya… sesuatu yang ingin kuingat.”
Aku merasakan dadaku mencengkeram erat.
“Mengingat sesuatu yang terlupakan?” aku memberanikan diri bertanya.
Ia terdiam sesaat, lalu mengangguk pelan. “Kadang aku merasa ada bagian dari hidupku yang hilang. Aku tahu aku pernah bahagia, tapi aku tidak bisa mengingat semuanya.”
Aku menelan ludah. Ini terlalu dekat dengan apa yang Adrian katakan.
“Dan saat aku mencoba mengingat…” lanjutnya, suaranya semakin pelan, “…aku merasa seperti melihat bayangan seseorang yang ada di dekatku, tapi aku tidak tahu siapa.”
Hatiku berdebar. Apakah dia sedang berbicara tentang aku?
Aku harus berhati-hati. Jika aku mengatakan sesuatu yang salah, aku bisa membuatnya semakin terjebak dalam kebingungan.
“Apa kau percaya pada takdir?” tanyaku, mencoba mengalihkan fokus.
Liana menatapku, sedikit terkejut dengan pertanyaanku yang tiba-tiba.
“Takdir?” Ia menghela napas pelan. “Aku tidak tahu. Aku pernah percaya pada sesuatu… tapi setelah kehilangan seseorang, aku merasa takdir itu kejam.”
Aku menggenggam tanganku di bawah meja, menahan diri untuk tidak bereaksi terlalu emosional.
“Kehilangan memang sulit,” kataku akhirnya. “Tapi mungkin takdir tidak selalu kejam. Mungkin dia hanya memberi kita waktu untuk menemukan jawaban yang tepat.”
Liana tersenyum kecil. “Kau terdengar seperti seseorang yang sudah melewati banyak hal.”
Aku tertawa kecil. “Mungkin.”
Aku tahu aku mulai mendapatkan tempat dalam pikirannya. Ini langkah pertama untuk bisa lebih dekat dengannya.
Pertanda yang Tak Terduga
Hari itu, kami menghabiskan waktu lebih lama dari yang kuduga. Aku mendengarkan ceritanya, tentang hidupnya sekarang, tentang bagaimana ia berusaha untuk tetap menjalani hari-hari meski hatinya masih dipenuhi kehilangan.
Dan aku melihat sesuatu yang berbeda—ia mulai lebih terbuka.
Namun, ada satu momen yang membuat jantungku hampir berhenti.
Ketika ia hendak mengambil gelasnya, jarinya tanpa sengaja menyentuh punggung tanganku.
Seharusnya ini hanya sentuhan kecil, tidak berarti. Tapi saat itu terjadi, aku melihat matanya melebar.
Seakan ada sesuatu yang berputar dalam pikirannya, sesuatu yang asing tapi familiar.
Dan selama beberapa detik, ia hanya menatapku, seolah-olah mengenaliku.
Aku langsung menarik tanganku perlahan, mencoba mengalihkan perhatiannya. “Maaf, aku tidak sengaja.”
Liana masih menatapku, matanya sedikit berkabut.
“Tidak, itu bukan… Aku hanya merasa…” Ia menggigit bibirnya, seakan mencoba mencari kata-kata yang tepat. “Sentuhan itu… terasa familiar.”
Aku terdiam.
Apakah ini hanya kebetulan? Atau sesuatu dalam dirinya mulai mengenali kehadiranku?
Aku tidak bisa mengambil risiko.
Aku tersenyum kecil, mencoba terlihat santai. “Mungkin kau pernah bertemu seseorang yang memiliki tangan seperti aku.”
Liana tertawa pelan, tetapi ekspresinya masih menyimpan kebingungan. “Mungkin.”
Tapi aku tahu dari tatapannya—itu bukan mungkin. Ia benar-benar merasa ada sesuatu dalam diriku yang familiar.
Dan ini bisa jadi awal dari sesuatu yang berbahaya.
Jika dia mulai mengenaliku… jika dia mulai mengingat… apa yang akan terjadi?
Apakah ini pertanda baik?
Atau awal dari akhir misiku?
Bab 5: Batas Waktu yang Tak Terhindarkan
Hari-hari berlalu lebih cepat dari yang kuduga. Aku semakin dekat dengan Liana, lebih sering berbincang dengannya, bahkan sesekali menemaninya ke tempat-tempat yang dulu sering kami kunjungi bersama.
Namun, aku tidak bisa mengabaikan fakta bahwa waktu terus berjalan.
Aku hanya memiliki seratus hari, dan kini aku telah melewati lebih dari tiga puluh hari.
Setiap detik yang kulewatkan bersamanya terasa begitu berharga, tapi di saat yang sama, aku semakin sadar bahwa aku tak bisa selamanya ada di sisinya.
Aku mulai bertanya pada diri sendiri—apakah aku benar-benar bisa pergi begitu saja?
Namun, sebelum aku bisa menemukan jawabannya, sesuatu terjadi.
Kilasan Masa Lalu yang Kembali
Hari itu, aku dan Liana berjalan-jalan di taman kota. Udara sore terasa sejuk, dan matahari mulai condong ke barat, menyisakan cahaya jingga yang menyelimuti pepohonan.
“Aku merasa aneh akhir-akhir ini,” kata Liana tiba-tiba.
Aku menoleh padanya. “Aneh bagaimana?”
Ia mengayunkan kakinya pelan saat berjalan. “Aku sering mengalami mimpi yang sama berulang kali. Mimpi yang terasa begitu nyata, tapi aku tidak bisa mengingatnya dengan jelas saat terbangun.”
Aku menahan napas. “Mimpi seperti apa?”
Liana mengerutkan kening, seolah mencoba mengingat. “Aku berdiri di bawah langit senja. Ada seseorang di hadapanku, tapi aku tidak bisa melihat wajahnya. Aku merasa ingin menangis, tapi aku tidak tahu kenapa.”
Dadaku mencengkeram erat. Itu pasti kenangan tentang hari terakhir kami bersama.
Aku menelan ludah. “Mungkin itu hanya bayangan dari masa lalu.”
Liana tersenyum kecil, tetapi matanya masih menyimpan kebingungan. “Aku harap begitu. Tapi entah kenapa, aku merasa ada sesuatu yang ingin aku ingat… sesuatu yang sangat penting.”
Aku menahan diri untuk tidak mengatakan apa pun. Jika aku mendorongnya terlalu jauh, aku bisa membuatnya semakin curiga.
Tapi aku tahu satu hal—ingatannya perlahan-lahan kembali.
Dan aku tidak tahu apakah itu hal yang baik atau justru awal dari bencana.
Peringatan dari Dunia Lain
Malam itu, aku terbangun dengan keringat dingin.
Aku bermimpi.
Dalam mimpiku, aku kembali ke tempat kosong itu—ruang tanpa cahaya, tanpa warna. Dan di hadapanku, pria tua berjas abu-abu yang dulu menemuiku saat pertama kali kembali.
“Kau semakin melampaui batas,” suaranya terdengar tegas.
Aku menatapnya, masih setengah sadar dari mimpi. “Apa maksudmu?”
“Kau mulai membawa Liana terlalu dekat dengan kebenaran,” pria itu melanjutkan. “Jika ia mengingat siapa dirimu sebelum waktunya, maka semuanya akan berakhir lebih cepat dari yang kau kira.”
Aku mengernyit. “Apa yang akan terjadi?”
Pria itu menatapku lama sebelum menjawab. “Jika ia mengingat sebelum waktumu habis, kau akan menghilang—bukan hanya dari dunia ini, tapi dari semua kenangan yang pernah ada.”
Aku terkejut. “Apa maksudmu?”
“Bukan hanya kau yang akan pergi,” lanjutnya, suaranya semakin dalam. “Semua yang pernah ada tentangmu akan terhapus. Bagi dunia ini, kau tidak akan pernah ada.”
Aku merasa tubuhku menegang. Ini lebih dari sekadar kehilangan kesempatan untuk tetap di sisinya. Jika aku gagal, aku akan benar-benar lenyap.
“Lalu, apa yang harus kulakukan?” tanyaku.
Pria itu menatapku dengan dingin. “Jaga jarak. Biarkan ia melupakan, dan jalani sisa waktumu tanpa mengungkapkan siapa dirimu sebenarnya.”
Aku menggenggam tanganku erat. “Dan jika aku tidak bisa?”
Ia mendekat, menatap mataku tajam.
“Maka Liana akan hidup dalam kesedihan abadi.”
Dan sebelum aku bisa mengatakan apa pun, semuanya kembali gelap.
Aku terbangun dengan napas memburu.
Pesan itu jelas—aku harus menjaga jarak.
Tapi bagaimana bisa aku melakukannya, ketika setiap hari Liana semakin dekat dengan kebenaran?
Dilema yang Tak Terhindarkan
Keesokan harinya, aku duduk di kafe yang biasa aku datangi bersama Liana.
Aku masih memikirkan peringatan tadi malam. Aku tahu apa yang harus kulakukan, tetapi aku tidak yakin aku sanggup melakukannya.
Saat aku sedang termenung, suara lembut menyapaku.
“Kau tidak seperti biasanya.”
Aku mendongak. Liana sudah berdiri di depanku, membawa dua cangkir kopi. Ia meletakkan satu di hadapanku sebelum duduk di kursi seberang.
Aku mencoba tersenyum. “Aku hanya sedikit lelah.”
Liana mengamati wajahku, lalu menghela napas. “Aku tidak tahu kenapa, tapi aku merasa kau sedang menyembunyikan sesuatu.”
Aku menegang. “Menyembunyikan apa?”
Liana menggigit bibirnya, tampak ragu sebelum akhirnya berkata, “Aku merasa seperti pernah mengenalmu sebelumnya.”
Jantungku serasa berhenti berdetak.
“Apa maksudmu?” tanyaku, mencoba tetap tenang.
Liana tersenyum tipis. “Aku tidak tahu. Aku hanya merasa nyaman berada di dekatmu. Rasanya seperti… aku tidak sendiri.”
Aku menatapnya, perasaan bercampur aduk.
Jika aku menjauh sekarang, aku bisa menyelamatkan ingatan dan hidupnya.
Tapi jika aku tetap di sisinya, aku mungkin bisa membuatnya bahagia sekali lagi… meskipun itu berarti aku akan benar-benar lenyap dari dunia ini.
Dan saat Liana tersenyum padaku—senyum yang dulu selalu membuatku merasa utuh—aku tahu bahwa aku tidak bisa pergi begitu saja.
Aku telah melanggar batas.
Dan sekarang, aku harus siap menghadapi akibatnya.
Bab 6: Rahasia yang Terkubur
Hujan turun deras malam itu. Aku duduk di balkon apartemen kecil yang kutinggali, membiarkan dinginnya angin menerpa wajahku. Pikiranku berputar tanpa henti—tentang Liana, tentang ingatan yang perlahan kembali, dan tentang peringatan yang kudapat dari dunia tempatku berasal.
Aku harus menjaga jarak.
Aku tahu itu.
Tapi semakin aku berusaha menjauh, semakin kuat dorongan dalam hatiku untuk tetap berada di sisinya.
Aku tidak bisa membiarkan Liana hidup dalam kesedihan abadi.
Namun, aku juga tidak bisa mengabaikan ancaman yang diberikan kepadaku. Jika ia mengingat semuanya sebelum waktuku habis, aku tidak hanya akan menghilang, tetapi juga akan terhapus dari semua kenangan yang pernah ada.
Dan entah kenapa, aku merasa ada sesuatu yang lebih besar dari semua ini. Ada sesuatu yang disembunyikan dariku.
Aku harus mencari tahu.
Sebuah Petunjuk dari Masa Lalu
Keesokan harinya, aku kembali ke kafe tempat aku sering bertemu Liana. Kali ini, aku datang lebih awal dan duduk di meja dekat jendela, tempat biasanya ia duduk. Aku menatap keluar, mencoba menyusun langkah berikutnya.
Saat itulah aku melihatnya.
Seorang wanita paruh baya berdiri di depan kafe, menatap ke dalam seolah sedang mencari seseorang. Wajahnya tampak familiar.
Aku mencoba mengingat, dan kemudian sesuatu terlintas di benakku.
Ibu Liana.
Hatiku berdegup kencang. Aku tidak pernah berpikir untuk menemui ibunya sejak aku kembali ke dunia ini. Aku bahkan tidak tahu apakah ia akan mengenali wajahku yang sekarang.
Namun, sebelum aku bisa membuat keputusan, ia masuk ke dalam kafe dan duduk di salah satu meja di pojok.
Aku menarik napas panjang, lalu dengan hati-hati menghampirinya.
“Permisi, apakah Anda ibu dari Liana?” tanyaku dengan suara tenang.
Wanita itu menatapku dengan sedikit terkejut, lalu mengangguk pelan. “Iya, benar. Siapa Anda?”
Aku mencoba tersenyum. “Saya… seorang teman Liana.”
Ia mengamatiku beberapa detik, lalu tersenyum kecil. “Liana jarang bercerita tentang temannya. Anda dari mana?”
Aku harus berhati-hati dalam menjawab. “Saya baru pindah ke kota ini, dan secara kebetulan bertemu dengannya.”
Ibunya mengangguk pelan, lalu menyesap teh yang baru saja dipesannya. “Kalau begitu, Anda pasti tahu tentang seseorang yang sangat berarti bagi Liana.”
Aku menahan napas.
“Ia masih sering membicarakan seseorang bernama Reza.”
Dadaku mencengkeram erat, tetapi aku berusaha tetap tenang. “Reza?”
Ibunya tersenyum sedih. “Ya. Liana sangat mencintainya. Setelah kepergiannya, dia tidak pernah benar-benar kembali menjadi dirinya yang dulu.”
Aku ingin bertanya lebih jauh, tetapi aku tidak bisa terlalu terburu-buru.
“Bolehkah saya bertanya sesuatu?” tanyaku hati-hati.
Ibunya mengangguk.
“Apa yang terjadi pada Liana setelah Reza meninggal?”
Ekspresi wanita itu berubah. Ia tampak ragu, seolah ada sesuatu yang tidak ingin ia katakan.
“Ada sesuatu yang aneh, bukan?” desakku pelan.
Ia terdiam cukup lama sebelum akhirnya berbicara.
“Saat itu, Liana mengalami trauma yang sangat dalam. Ia tidak hanya kehilangan seseorang yang ia cintai… tetapi juga sebagian ingatannya.”
Aku mengangguk pelan. Aku sudah mendengar ini dari Adrian.
“Tapi yang paling mengkhawatirkan adalah mimpi-mimpi buruk yang terus menghantuinya,” lanjut ibunya. “Ia sering terbangun di tengah malam sambil menangis, mengatakan bahwa ia melihat bayangan seseorang, tetapi tidak bisa mengingat siapa.”
Jantungku berdegup kencang.
“Apakah ada sesuatu yang bisa mengembalikan ingatannya?” tanyaku.
Wanita itu menatapku dengan mata yang seakan bisa melihat lebih dalam dari yang kuinginkan.
“Saya tidak tahu. Tapi saya percaya bahwa jika seseorang itu cukup penting baginya, ingatan itu akan kembali dengan sendirinya.”
Aku menelan ludah.
Dan itulah masalahnya.
Jika Liana benar-benar mengingat siapa aku, maka semuanya akan berakhir lebih cepat.
Aku harus mencari cara untuk membuatnya bahagia tanpa membiarkan ingatannya pulih terlalu cepat.
Tapi bagaimana caranya?
Rahasia yang Terhapus
Malam itu, aku kembali ke apartemenku dengan pikiran yang penuh. Aku mencoba mengingat semua yang terjadi sebelum kecelakaan itu, mencoba mencari petunjuk tentang bagian yang hilang dari ingatan Liana.
Dan kemudian sesuatu muncul di benakku.
Surat.
Sebelum aku meninggal, aku dan Liana pernah menulis surat untuk satu sama lain. Surat itu berisi janji-janji yang kami buat, sesuatu yang ingin kami lakukan bersama di masa depan.
Tapi aku tidak pernah tahu apa yang terjadi dengan surat itu setelah kepergianku.
Jika aku bisa menemukannya… mungkin aku bisa mengetahui apa yang sebenarnya hilang dari ingatan Liana.
Aku tidak tahu di mana surat itu sekarang, tapi aku punya firasat kuat bahwa Liana masih menyimpannya.
Aku harus menemukannya sebelum ingatannya kembali dengan sendirinya.
Karena jika itu terjadi…
Maka aku akan benar-benar kehilangan kesempatan terakhirku bersamanya.
Bab 7: Kehadiran yang Terancam
Malam itu, aku tak bisa tidur. Kata-kata ibu Liana terus terngiang di kepalaku. Jika seseorang itu cukup penting baginya, ingatan itu akan kembali dengan sendirinya.
Aku tahu aku sedang berjalan di batas yang berbahaya. Semakin dekat aku dengan Liana, semakin besar risiko dia mengingat segalanya. Dan jika itu terjadi sebelum waktuku habis, maka aku akan lenyap—bukan hanya dari dunia ini, tapi juga dari ingatannya selamanya.
Namun, aku tidak bisa membiarkannya terus hidup dalam kehampaan. Aku harus menemukan surat itu.
Tapi bagaimana caranya?
Menemukan Jejak yang Hilang
Keesokan harinya, aku kembali menemui Adrian. Aku tahu dia adalah sahabatku dulu, dan jika ada seseorang yang mungkin tahu tentang surat itu, dia orangnya.
Aku menemukannya di bengkel seperti biasa. Ketika ia melihatku datang, ia menatapku dengan alis berkerut.
“Lagi?” katanya sambil menyeka tangannya dengan kain lap. “Kau benar-benar tertarik dengan cerita Liana, ya?”
Aku tersenyum kecil. “Aku hanya ingin tahu lebih banyak tentangnya.”
Adrian menatapku lama sebelum akhirnya menghela napas. “Baiklah, apa yang ingin kau tanyakan kali ini?”
“Apa kau tahu tentang surat yang pernah ditulis Liana dan Reza sebelum… kecelakaan itu?” tanyaku hati-hati.
Adrian mengernyit, tampak berpikir. “Surat?”
Aku mengangguk. “Ya, surat yang mereka tulis untuk satu sama lain. Sesuatu yang berisi janji-janji mereka.”
Adrian menghela napas panjang. “Aku pernah mendengar tentang itu. Dulu, Liana pernah bercerita padaku bahwa mereka membuat surat yang akan mereka baca bersama di masa depan. Tapi setelah Reza meninggal, dia tidak pernah lagi membicarakannya.”
Jantungku berdegup lebih cepat.
“Jadi, kau tidak tahu di mana surat itu sekarang?”
Adrian menggeleng. “Tidak ada yang tahu. Aku bahkan tidak yakin apakah Liana masih menyimpannya atau sudah membuangnya.”
Aku menggigit bibir. Jika surat itu masih ada, maka kemungkinan besar Liana menyimpannya di suatu tempat yang berarti baginya. Aku hanya harus mencari tahu di mana.
Sinyal Bahaya
Aku memutuskan untuk menemui Liana malam itu. Aku tahu ini berisiko, tetapi aku tak punya pilihan lain.
Aku menemukan Liana duduk di balkon apartemennya, menatap langit malam yang dipenuhi bintang. Aku berdiri di ambang pintu, mengamatinya selama beberapa saat sebelum akhirnya melangkah masuk.
“Kau menyukai bintang?” tanyaku pelan.
Liana menoleh dan tersenyum tipis. “Dulu, ya.”
Aku menarik kursi di sebelahnya dan duduk. “Kenapa hanya dulu?”
Liana terdiam sejenak sebelum menjawab, “Karena seseorang yang selalu menatap bintang bersamaku sudah pergi.”
Hatiku mencengkeram erat.
“Kau masih mengingatnya?” tanyaku pelan.
Liana mengangguk. “Aku mengingatnya. Tapi ada sesuatu yang aneh… ada bagian dari kenanganku yang terasa kosong. Aku merasa seperti ada sesuatu yang penting yang hilang, tetapi aku tidak tahu apa.”
Aku menelan ludah.
“Dan akhir-akhir ini, aku sering mengalami mimpi yang aneh,” lanjutnya. “Aku melihat seseorang berdiri di bawah langit senja, tapi aku tidak bisa melihat wajahnya.”
Aku menegang.
“Apa kau merasa takut saat melihat mimpi itu?” tanyaku.
Liana menggeleng. “Tidak. Aku merasa… hangat. Seperti seseorang sedang menungguku di sana.”
Aku ingin mengatakan sesuatu, tetapi sebelum aku sempat, Liana tiba-tiba menggenggam tanganku.
Dan saat itu terjadi, sesuatu dalam dirinya berubah.
Matanya melebar, napasnya tercekat, dan dalam sekejap, aku melihat sorot keterkejutan di wajahnya.
“Aku… aku ingat sesuatu…” bisiknya pelan.
Jantungku berdegup kencang. Ini terlalu cepat!
“Apa yang kau ingat?” tanyaku, mencoba tetap tenang.
Liana menatapku, matanya berkabut. “Aku ingat… aku pernah menulis sesuatu. Sesuatu yang sangat penting… tapi aku tidak tahu di mana aku menyimpannya.”
Aku menelan ludah. Surat itu. Dia mulai mengingat.
Namun, sebelum aku bisa mengatakan sesuatu, tubuhku tiba-tiba terasa aneh.
Dadaku terasa sesak, seperti ada sesuatu yang menarikku dari dalam.
Aku menggenggam sisi kursi, mencoba tetap sadar, tetapi pandanganku mulai kabur.
Dan saat aku menatap ke langit, aku melihat sesuatu yang membuatku membeku.
Di atas sana, di antara bintang-bintang, ada bayangan pria berjas abu-abu—dia mengawasi.
ku tahu apa artinya ini, aku telah melampaui batas yang seharusnya tidak kulanggar.
Dan jika aku tidak segera mengendalikan situasi…
Maka aku akan menghilang lebih cepat dari yang seharusnya.
Bab 8: Aku Mengenalmu
Aku terengah-engah, berusaha menenangkan detak jantungku yang tak beraturan. Tubuhku masih terasa aneh, seolah ada sesuatu yang menarikku keluar dari dunia ini.
Liana masih menggenggam tanganku, matanya berkabut, seperti sedang mencoba menangkap ingatan yang menghilang begitu saja dari pikirannya.
“Aku ingat sesuatu…” bisiknya lagi, kali ini suaranya lebih tegas. “Aku menulis surat. Untuk seseorang yang sangat penting bagiku.”
Aku menelan ludah, mencoba tetap tenang meskipun tubuhku terasa semakin ringan, seolah-olah aku bisa menghilang kapan saja.
Ini terlalu cepat.
“Liana…” Aku mencoba menarik tanganku dengan lembut, tetapi genggamannya justru semakin erat.
“Kau…” ia menatapku lekat-lekat. “Aku merasa aku mengenalmu.”
Dadaku mencengkeram erat.
Aku tahu aku harus segera menjauh. Aku tidak bisa membiarkan ingatannya pulih sebelum waktuku habis, atau aku akan benar-benar lenyap.
Tapi melihatnya seperti ini—berjuang untuk mengingat sesuatu yang begitu penting baginya—aku tidak bisa bergerak.
Aku hanya bisa menatapnya, berharap waktu bisa berhenti sejenak.
“Aku…” Liana menarik napas dalam. “Aku tidak tahu kenapa, tapi saat aku bersamamu, aku merasa seperti aku sedang mengulang sesuatu yang pernah terjadi sebelumnya.”
Aku menelan ludah. “Mungkin itu hanya perasaanmu saja.”
“Tidak,” ia menggeleng cepat. “Aku yakin. Ada sesuatu tentangmu yang terasa… familiar.”
Aku menggigit bibir. Aku tidak boleh melakukan kesalahan.
“Liana,” kataku akhirnya. “Apa kau yakin tidak hanya berusaha mengisi bagian yang hilang dari ingatanmu?”
Ia menatapku dalam-dalam, lalu menghembuskan napas panjang.
“Aku tidak tahu.” Suaranya melemah. “Tapi aku ingin tahu jawabannya.”
Aku ingin mengatakan sesuatu, tapi saat itu juga, tubuhku kembali terasa ringan.
Aku menoleh ke langit.
Bayangan pria berjas abu-abu masih ada di sana.
Mereka mengawasi.
Aku kehabisan waktu.
Aku harus segera menjauh sebelum semuanya terlambat.
Tapi sebelum aku bisa berdiri, Liana tiba-tiba berkata, “Mungkin surat itu bisa membantuku mengingat.”
Aku langsung membeku.
Dia mengingatnya.
Aku tahu aku harus menghentikannya, tapi kata-kataku tercekat di tenggorokan.
“Aku harus menemukannya,” lanjutnya. “Aku harus tahu apa yang tertulis di sana.”
Aku menggenggam tanganku erat di bawah meja. Jika ia menemukan surat itu, maka semuanya akan berakhir lebih cepat.
Aku harus membuat pilihan.
Haruskah aku membantunya menemukan surat itu?
Atau…
Haruskah aku menghentikannya, meskipun itu berarti aku harus meninggalkannya dalam kebingungan selamanya?
Aku menatapnya lama.
Aku tahu aku tidak bisa selamanya menghindar dari ini.
Aku hanya punya sedikit waktu tersisa.
Dan aku harus mengambil keputusan… sebelum semuanya terlambat.
Bab 9: Senja yang Menentukan
Aku tahu aku harus menghentikan ini.
Tapi aku juga tahu bahwa aku tidak bisa berbohong padanya selamanya.
Liana telah mengingat sesuatu. Surat itu adalah kunci dari semua kenangan yang hilang. Jika ia menemukannya, maka ia akan mengingat aku.
Dan saat itu terjadi, aku tahu bahwa aku tidak akan punya banyak waktu lagi.
Namun, aku tak bisa membiarkannya hidup dalam kebingungan selamanya. Jika surat itu bisa memberinya kepastian, maka aku harus mengambil risiko.
Aku harus membantunya menemukannya.
Pencarian yang Mengubah Segalanya
Keesokan harinya, aku menunggu Liana di taman kota. Ia datang dengan wajah yang penuh dengan harapan, seperti seseorang yang akan menemukan bagian dirinya yang selama ini hilang.
“Aku sudah mencoba mengingat di mana aku menyimpan surat itu,” katanya begitu ia duduk di sampingku. “Aku ingat aku menaruhnya di suatu tempat yang aman, tapi aku tidak ingat di mana.”
Aku mencoba berpikir. “Apakah ada tempat yang memiliki makna khusus bagimu dan Reza?”
Liana terdiam, lalu menatapku. “Ada satu tempat.”
Aku menelan ludah. “Di mana?”
Ia menarik napas dalam. “Di rumah lama keluargaku. Kami dulu tinggal di sana sebelum pindah setelah… setelah dia pergi.”
Hatiku mencengkeram erat.
“Apakah rumah itu masih ada?” tanyaku.
Liana mengangguk. “Ya. Rumah itu sudah lama kosong, tapi kami tidak pernah menjualnya. Aku belum pernah kembali ke sana sejak hari itu.”
Aku menatapnya. Aku tahu ini adalah momen yang sangat penting.
“Apa kau ingin pergi ke sana?” tanyaku pelan.
Liana menggigit bibirnya. Aku bisa melihat ketakutan di matanya, tapi juga tekad yang kuat.
“Aku harus pergi,” katanya akhirnya. “Aku harus menemukan jawaban.”
Dan saat itulah aku tahu… bahwa aku harus menemaninya ke sana, meskipun itu berarti aku mungkin akan kehilangan segalanya.
Kembali ke Masa Lalu
Kami tiba di rumah lama Liana saat matahari mulai condong ke barat.
Bangunan itu masih berdiri kokoh, meskipun terlihat sedikit usang. Halamannya dipenuhi daun kering yang berguguran, dan jendela-jendelanya tertutup rapat, seolah menyimpan rahasia yang telah lama terlupakan.
Liana berdiri diam di depan pintu, tangannya gemetar saat ia memegang kunci lama yang dibawanya.
“Aku tidak tahu apakah aku siap,” bisiknya.
Aku menyentuh bahunya dengan lembut. “Aku di sini bersamamu.”
Ia menatapku, lalu mengangguk pelan sebelum akhirnya membuka pintu.
Saat kami melangkah masuk, aroma debu dan kayu tua langsung menyeruak. Aku melihat Liana berjalan perlahan ke dalam, matanya menyapu setiap sudut ruangan, seolah sedang mencari sesuatu yang familiar.
Lalu, tiba-tiba ia berhenti di depan sebuah rak buku tua.
“Aku ingat,” katanya pelan. “Aku pernah menyimpan sesuatu di sini.”
Ia menarik salah satu laci kecil di rak itu, dan hatiku berdebar kencang saat aku melihatnya mengeluarkan sesuatu—sebuah amplop cokelat yang tampak sedikit usang.
Itu suratnya.
Tangannya gemetar saat ia membukanya. Aku bisa melihat matanya bergerak, membaca tulisan di dalamnya.
Dan saat itu terjadi, aku tahu bahwa semuanya telah berakhir.
Aku bisa merasakan sesuatu dalam diriku mulai berubah. Waktuku sudah habis.
Kenangan yang Kembali
Liana membaca surat itu dengan ekspresi yang sulit dijelaskan. Air mata mulai mengalir di pipinya, dan aku tahu bahwa ia telah mengingat segalanya.
Ia menatapku dengan mata yang dipenuhi keterkejutan, kebingungan, dan kesedihan.
“Reza…?” suaranya nyaris tak terdengar.
Aku menahan napas.
Dia akhirnya mengingatku.
Aku ingin mengatakan sesuatu, ingin memberitahunya bahwa aku di sini, bahwa aku tidak pernah benar-benar pergi.
Tapi tubuhku mulai terasa ringan. Aku bisa merasakan sesuatu menarikku ke tempat lain, seolah-olah dunia ini tidak lagi bisa menahanku.
“Aku ingat semuanya…” Liana menangis. “Ingat hari terakhir kita bersama. Aku ingat janji yang kau buat!”
Aku tersenyum lemah. “Aku menepatinya, bukan?”
Ia menggeleng, air matanya semakin deras. “Tidak! Kau tidak boleh pergi lagi! Aku baru saja mendapatkanmu kembali!”
Aku ingin menggenggam tangannya, tetapi aku tahu itu tidak akan mengubah apa pun.
“Liana…” Aku menghela napas, mencoba menahan gejolak di dadaku. “Aku bahagia bisa kembali menepati janjiku. Tapi waktuku sudah habis.”
“Tidak,” ia berbisik. “Aku tidak bisa kehilanganmu lagi.”
Aku ingin tetap di sini. Yah ingin tetap bersamanya.
Tapi aku tahu bahwa takdir tidak akan mengizinkan itu.
“Jangan bersedih,” kataku dengan suara yang mulai melemah. “Aku selalu bersamamu… bahkan jika kau tidak bisa melihatku.”
Liana menutup mulutnya, menangis lebih keras. “Aku mencintaimu… aku selalu mencintaimu.”
Aku tersenyum. “Dan aku selalu mencintaimu.”
Dan sebelum aku sempat mengatakan hal lain, tubuhku berubah menjadi butiran cahaya yang berpendar di udara.
Liana berusaha menggapai tanganku, tapi aku sudah mulai menghilang.
Saat aku menatapnya untuk terakhir kalinya, aku hanya berharap satu hal—
Semoga ia bisa menemukan kebahagiaannya… bahkan tanpaku.
Dan saat senja terakhir menelan cahaya di langit, aku akhirnya pergi.
Bab 10: Janji yang Tak Pernah Usai
Cahaya senja perlahan meredup, menggantikan kilau oranye dengan kegelapan malam.
Liana masih berdiri di tengah ruangan, tubuhnya gemetar, air mata membasahi pipinya. Ia mencoba menggapai butiran cahaya yang menghilang satu per satu di udara, tetapi yang tersisa hanya kehampaan.
“Reza…” bisiknya.
Tak ada jawaban.
Tak ada lagi sosok yang selama ini menemaninya.
Hanya kesunyian yang menyelimuti.
Surat di tangannya masih terbuka, tintanya mulai memudar, tetapi kata-katanya tetap jelas terbaca.
“Aku berjanji akan selalu ada untukmu, bahkan jika aku tak bisa lagi berada di sisimu.”
Dadanya terasa sesak. Reza sudah pergi… lagi. Tapi kali ini, ia tidak akan kembali.
Hidup Tanpa Bayangannya
Hari-hari berlalu dengan lambat. Liana kembali menjalani kehidupannya, tetapi semuanya terasa berbeda.
Ia masih datang ke kafe yang dulu sering di datangi. Walaupun masih menatap bintang di langit malam. Ia masih mendengarkan lagu-lagu favoritnya.
Tapi tidak ada lagi sosok yang menemaninya di seberang meja. Tidak ada lagi suara tawa yang familiar.
Tidak ada lagi Reza.
Namun, ada satu hal yang berubah—ia tidak lagi merasa kosong.
Kini, ia mengingat semuanya. Ia mengingat cinta yang pernah mereka bagi, tawa yang pernah mereka habiskan bersama, dan janji yang akhirnya ditepati.
Dan meskipun Reza sudah tidak ada, ia tahu bahwa pria itu tetap bersamanya dalam cara yang berbeda.
Ia tak perlu melihatnya untuk tahu bahwa cinta itu tidak akan pernah hilang.
Surat Terakhir
Suatu sore, Liana duduk di bangku taman kota, tempat di mana ia dan Reza sering menghabiskan waktu.
Di tangannya, ada secarik kertas yang baru saja ia tulis.
Ia tersenyum kecil, lalu membaca tulisan itu sekali lagi sebelum akhirnya melipatnya dan meletakkannya di bawah pohon besar di belakangnya.
“Reza, aku tahu kau tak benar-benar pergi. Aku bisa merasakan kehadiranmu di setiap langkahku, ku tidak akan melupakanmu, tapi aku juga tidak akan terjebak dalam masa lalu. Aku akan terus hidup, seperti yang kau harapkan. Ku akan menemukan kebahagiaanku, tetapi aku juga tahu bahwa kau akan selalu menjadi bagian dari hatiku.”
Hujan rintik-rintik mulai turun, tetapi Liana tetap duduk di sana, membiarkan angin membawa surat itu pergi.
Ia menutup matanya, merasakan kedamaian yang lama tak ia rasakan.
Dan untuk pertama kalinya sejak kepergian Reza, ia tersenyum dengan tulus.
Akhir yang Baru
Di suatu tempat yang tak terlihat oleh mata manusia, sosok Reza berdiri, mengamati Liana dari kejauhan.
Ia tersenyum, mengetahui bahwa misinya telah selesai.
Bahwa janji yang pernah ia buat telah terpenuhi.
Dan saat cahaya senja terakhir menyapu langit, ia perlahan menghilang, meninggalkan dunia ini untuk selamanya.
Tapi di hatinya, ia tahu bahwa cinta mereka tak pernah benar-benar usai.
Hanya berubah menjadi sesuatu yang tak bisa dilihat, tetapi selalu ada.
Seperti senja yang selalu datang, bahkan setelah malam yang paling gelap.
Selesai.
Novel ini ditulis oleh Evi Fauzi, Penulis dari Novel Singkat. Baca juga novel romantis dan fiksi ilmiah lainnya.