Dara Saraswati, seorang astronom muda berbakat, terpesona oleh aurora misterius yang muncul setiap malam dan memiliki kekuatan yang terhenti waktu. Penelitiannya mengungkap fakta mengejutkan: aurora itu terkait dengan eksperimen waktu yang dilakukan Arga, mantan kekasihnya yang hilang dalam kecelakaan dua tahun lalu.
Ketika rahasia kelam dan pihak-pihak jahat mulai mengejarnya, Dara harus menghadapi pilihan sulit—membuka luka lama untuk menyelamatkan dunia atau membiarkan teknologi berbahaya itu terus mengancam. Dengan cinta dan pengorbanan sebagai jangkar waktu, Dara berjuang menghadapi konflik batin dan ancaman dari luar, demi menjaga apa yang paling berharga.
Bab 1: Aurora di Tengah Malam
Dara menyeka layar teleskopnya yang basah oleh embun malam. Sudah tiga bulan terakhir, fenomena aurora misterius menghiasi langit Arcapolis setiap pukul 23.00. Fenomena ini membuat para ilmuwan di seluruh dunia kebingungan, namun hanya Dara yang menyadari efek anehnya—waktu berhenti. Tepat ketika aurora muncul, semua aktivitas di kota membeku. Orang-orang seperti patung, suara menghilang, dan hanya dia yang tetap bergerak.
Malam itu, seperti biasa, Dara berada di observatorium kecilnya di atas bukit. Langit Arcapolis memancarkan cahaya hijau, ungu, dan biru yang menari perlahan di kegelapan. Fenomena ini seharusnya indah, tapi bagi Dara, itu lebih menyeramkan daripada memukau. Selalu ada rasa dingin yang merayap ke tulang punggungnya, seolah-olah aurora itu memiliki mata yang mengawasinya.
“Kenapa hanya aku yang sadar?” gumam Dara, sambil mengetik hasil pengamatannya di laptop. Setiap hari ia mencoba menganalisis pola aurora, namun tak ada yang masuk akal. Data yang ia kumpulkan menunjukkan bahwa fenomena ini tidak sepenuhnya alami—ada energi asing yang terdeteksi, energi yang tidak berasal dari Bumi.
Saat dia asyik mencatat, waktu menunjukkan pukul 23.00. Detik berikutnya, semuanya diam. Dunia di sekelilingnya terhenti. Embusan angin pun tak lagi terasa. Dara berdiri dari kursinya, melihat ke luar jendela. Di jalanan kota di bawah sana, kendaraan dan orang-orang membeku di tengah aktivitas mereka, seperti adegan film yang tiba-tiba dijeda.
Dara keluar dari observatorium, menembus dinginnya malam. Dia berjalan menyusuri jalan setapak menuju tebing, tempat dia bisa melihat aurora lebih dekat. Tapi malam ini berbeda. Ada sesuatu yang berubah. Cahaya aurora tampak lebih terang, dan ada suara aneh yang bergema di udara. Suara itu seperti bisikan—pelan, tapi cukup jelas untuk membuat bulu kuduknya meremang.
“Siapa di sana?” Dara bertanya, meskipun dia tahu tak ada siapa pun yang bisa menjawab. Namun, suara itu tetap terdengar, semakin jelas.
“Kenangan adalah kunci…”
Dara tertegun. Kata-kata itu seperti menusuk ke dalam pikirannya. Dia merasa pernah mendengar suara itu sebelumnya, tapi tak bisa mengingat di mana atau kapan. Auroranya berkilauan semakin cepat, seolah-olah merespons sesuatu. Lalu, di antara kilauan cahaya, Dara melihat bayangan seorang pria berdiri di ujung tebing. Sosoknya samar, tapi cukup nyata untuk membuat darahnya berdesir.
“Siapa kau?” teriak Dara, suaranya gemetar. Dia melangkah maju, tapi pria itu hanya diam, membelakangi Dara. Saat dia hampir mendekat, aurora tiba-tiba memudar. Waktu kembali bergerak. Suara kendaraan, angin, dan kehidupan kota perlahan kembali normal.
Pria itu menghilang. Yang tersisa hanyalah Dara, berdiri di bawah langit malam, dengan satu pertanyaan yang terus berputar di kepalanya.
“Kenangan apa yang harus aku temukan?”
Dara kembali ke observatoriumnya dengan kepala penuh teka-teki. Dia tahu malam ini berbeda dari biasanya. Sosok pria itu dan bisikan aneh tadi adalah petunjuk yang tak bisa dia abaikan. Namun, semakin dia mencoba mengingat, semakin besar perasaan hampa yang membayangi dirinya. Apa yang sebenarnya tersembunyi di balik aurora ini?
Bab 2: Jejak yang Hilang
Dara duduk di depan laptopnya, menatap data yang telah ia kumpulkan selama tiga bulan terakhir. Grafik pola aurora, pengukuran energi aneh yang ia rekam, hingga foto-foto fenomena tersebut. Semua tampak seperti teka-teki yang tidak memiliki jawaban. Namun, satu hal terus menghantui pikirannya sejak malam itu: bayangan pria di tebing dan bisikan misterius, “Kenangan adalah kunci.”
Dara membuka file pribadi yang ia simpan dalam folder terenkripsi. Di dalamnya terdapat catatan harian yang ia tulis setelah kecelakaan besar dua tahun lalu—kecelakaan yang merenggut sebagian besar ingatannya. Meski dokter mengatakan ingatannya perlahan akan pulih, ada bagian dari dirinya yang merasa ada sesuatu yang sengaja dia lupakan. Dan kini, aurora ini seperti membuka pintu ke masa lalu itu.
Saat dia menelusuri catatannya, sebuah nama muncul di layar: Arga. Nama ini sering ia sebut dalam catatan awal setelah kecelakaan, tapi tanpa penjelasan detail. Siapa Arga? Apa hubungannya dengan kehidupannya sebelum kecelakaan?
Dara memutuskan untuk berjalan-jalan di kota untuk menjernihkan pikirannya. Malam itu, aurora belum muncul, dan dunia terasa damai. Ia melangkah menuju kafe kecil di dekat pusat kota. Saat dia masuk, lonceng di atas pintu berbunyi lembut, dan aroma kopi hangat menyambutnya.
“Espresso seperti biasa?” tanya barista sambil tersenyum.
Dara mengangguk. Kafe ini adalah tempat favoritnya untuk berpikir. Dia sering datang ke sini saat merasa buntu. Tapi malam ini, ada sesuatu yang berbeda. Di sudut ruangan, seorang pria duduk sendirian. Wajahnya teduh, dengan sorot mata tajam yang tampak akrab. Saat Dara berjalan melewati mejanya, pria itu mengangkat kepalanya dan menatap langsung ke arahnya.
“Kau Dara, kan?” tanyanya.
Dara terkejut. Dia tidak mengenal pria ini, tapi ada sesuatu dalam suaranya yang membuat jantungnya berdegup kencang. “Ya. Maaf, kita pernah bertemu sebelumnya?”
Pria itu tersenyum tipis. “Tidak secara langsung. Tapi aku tahu kau. Namaku Eland. Aku bekerja di observatorium milik universitas lokal. Aku mendengar tentang penelitianmu soal aurora.”
Dara mengerutkan kening. “Bagaimana kau tahu aku meneliti aurora?”
Eland mengeluarkan sebuah buku kecil dari sakunya dan meletakkannya di meja. Buku itu terlihat tua, dengan sampul kulit yang sudah usang. “Karena aurora itu bukan fenomena biasa, Dara. Dan aku pikir kau berhak tahu sesuatu.”
Dara menatap buku itu dengan rasa ingin tahu. “Apa ini?”
“Buku catatan seseorang yang dulu bekerja di observatorium ini. Seorang pria bernama Arga.“
Mata Dara melebar. Nama itu lagi. Nama yang terus menghantui catatan pribadinya. “Apa hubungannya dengan aurora?”
Eland menatapnya dalam-dalam. “Arga bukan hanya astronom biasa. Dia menemukan cara untuk memanipulasi waktu melalui energi aurora. Dan lebih dari itu, dia sangat peduli padamu.”
Dara terdiam. Ada rasa sesak di dadanya, seperti sebuah emosi lama yang mencoba kembali ke permukaan. “Aku tidak mengerti. Aku bahkan tidak ingat siapa dia.”
Eland menghela napas. “Itu karena kecelakaanmu dua tahun lalu. Tapi aku yakin, semua ini berhubungan. Aurora, ingatanmu, dan Arga. Kau hanya perlu mencari potongan yang hilang.”
Malam itu, Dara membawa buku catatan Arga pulang. Saat membukanya, dia menemukan catatan rumit tentang teori waktu, energi kosmik, dan eksperimen aurora buatan. Namun, di antara halaman-halaman itu, ada sesuatu yang membuat hatinya berhenti sejenak—gambar dirinya.
Di salah satu halaman, ada sketsa dirinya yang tengah duduk di bawah langit berbintang. Di bawah sketsa itu tertulis:
“Untuk Dara, cahaya di balik kegelapan.”
Air mata menggenang di sudut matanya. Meski ingatannya kabur, ia bisa merasakan emosi yang kuat dari sketsa itu. Ada sesuatu yang menghubungkannya dengan Arga, sesuatu yang lebih dalam dari sekadar hubungan profesional.
Namun, sebelum ia sempat memproses semua itu, alarm di laptopnya berbunyi. Waktu menunjukkan pukul 23.00. Aurora muncul, dan dunia membeku sekali lagi. Tapi kali ini, Dara melihat sesuatu yang berbeda—bayangan Arga, berdiri di sudut kamarnya, menatapnya dengan ekspresi penuh makna.
“Arga?” Dara berbisik, tetapi bayangan itu lenyap seiring dengan cahaya aurora yang perlahan memudar.
Dara kini yakin bahwa aurora ini lebih dari sekadar fenomena kosmik. Ini adalah pesan dari masa lalunya—pesan dari Arga. Tapi untuk memahami semuanya, dia harus mengungkap rahasia di balik aurora, meski itu berarti menggali kembali kenangan yang mungkin akan menyakitinya.
Bab 3: Ingatan yang Terpendam
Pagi yang dingin di Arcapolis membawa Dara kembali ke rutinitasnya di observatorium. Tapi kali ini, pikirannya penuh dengan bayangan-bayangan yang tidak bisa dia abaikan. Buku catatan milik Arga tergeletak di mejanya, seperti memohon untuk dibaca lebih dalam. Sketsa dirinya di dalam buku itu, tulisan-tulisan tentang aurora, dan kata-kata Eland tentang Arga membuat hatinya terasa berat.
Dara memutuskan untuk membuka halaman-halaman berikutnya. Semakin dalam dia membaca, semakin banyak dia menemukan hubungan antara aurora dan eksperimen waktu yang dilakukan Arga. Salah satu catatan paling mencolok menyebutkan sesuatu yang disebut “Proyek Aurora”—sebuah eksperimen untuk menciptakan celah dalam waktu dengan memanfaatkan energi kosmik. Di antara catatan itu, ada frasa yang berulang kali tertulis:
“Cinta adalah jangkar waktu.”
Dara berhenti membaca. Kata-kata itu terasa familiar, meskipun dia tidak tahu kenapa. Ada dorongan dalam dirinya untuk mengingat, tapi ingatannya terasa seperti dinding tebal yang tidak bisa ditembus.
Malam itu, Dara kembali ke tebing tempat dia melihat bayangan pria misterius. Angin dingin menerpa wajahnya saat dia berdiri di tempat yang sama. Tiba-tiba, dia merasakan sesuatu yang berbeda. Tanah di bawah kakinya terasa bergetar halus, seolah-olah ada sesuatu yang bergerak di bawahnya. Dia mengarahkan senter ke sekeliling dan menemukan sesuatu yang aneh: sebuah pintu logam kecil yang terkubur di tanah, tertutup semak-semak.
Dengan hati-hati, Dara membuka pintu itu. Tangga spiral yang gelap menunggu di bawahnya. Perasaan takut dan penasaran bercampur menjadi satu, tapi Dara tahu dia tidak bisa mundur sekarang. Dia menyalakan lampu senter dan mulai menuruni tangga.
Di ujung tangga, Dara menemukan sebuah ruangan kecil yang dipenuhi alat-alat laboratorium tua. Monitor yang sudah usang, kabel-kabel berserakan, dan coretan rumus fisika di dinding. Namun, yang paling menarik perhatiannya adalah sebuah perangkat besar di tengah ruangan, berbentuk seperti bola logam yang berkilauan dalam kegelapan. Di bagian atas perangkat itu, ada ukiran kecil yang bertuliskan:
“Aurora Generator – Prototipe #01. Dibuat oleh Arga.”
Dara tertegun. “Jadi ini yang menciptakan aurora?” gumamnya. Tapi sebelum dia bisa memeriksa lebih jauh, suara langkah kaki terdengar dari tangga di belakangnya.
“Seharusnya kau tidak berada di sini.”
Dara berbalik cepat. Eland berdiri di depan pintu masuk ruangan, wajahnya tegang. “Bagaimana kau tahu tempat ini?” tanya Dara dengan nada curiga.
Eland mendekat, tatapannya tajam. “Karena aku adalah bagian dari tim Arga. Tempat ini adalah laboratorium rahasia kami. Aku tahu kau akan menemukannya cepat atau lambat.”
“Kenapa kau tidak memberitahuku dari awal?” Dara melangkah mundur, bingung dengan sikap Eland.
“Ada alasan kenapa ini semua harus tetap menjadi rahasia,” kata Eland dengan suara pelan. “Aurora ini… bukan hanya eksperimen ilmiah biasa. Arga menciptakannya untuk alasan yang sangat personal. Dia mencoba menyelamatkanmu.”
Dara menatap Eland, bingung dan marah sekaligus. “Menyelamatkanku dari apa?”
Eland menghela napas. “Dua tahun lalu, kau dan Arga sedang melakukan penelitian tentang fenomena kosmik. Tapi ada kecelakaan besar saat kalian menguji prototipe pertama generator aurora ini. Ledakan energi menyebabkan celah waktu yang hampir menghancurkan kota ini. Arga menyelamatkanmu, tapi dengan harga besar—dia terjebak dalam celah waktu itu.”
Kata-kata Eland seperti pukulan keras di dada Dara. “Itu tidak mungkin… Aku tidak ingat apa-apa tentang itu.”
“Karena ledakan itu juga menghapus sebagian besar ingatanmu,” jawab Eland. “Arga tahu ini akan terjadi, jadi dia memprogram aurora untuk membantumu memulihkan kenangan itu secara perlahan. Tapi waktu kita semakin sedikit, Dara. Jika aurora terus berlangsung, dunia ini bisa runtuh karena ketidakstabilan waktu.”
Dara merasa lututnya lemas. “Jadi… aurora ini adalah pesan dari Arga? Dia mencoba berbicara denganku?”
Eland mengangguk. “Ya. Dia ingin kau menemukan ingatanmu kembali. Karena hanya kau yang bisa menghentikan aurora dan membawanya kembali.”
Dara memandang perangkat aurora di depannya. Di satu sisi, dia ingin tahu lebih banyak tentang Arga dan masa lalu mereka. Tapi di sisi lain, dia takut dengan apa yang mungkin dia temukan. “Bagaimana caranya aku menghentikan ini semua?”
Eland menunjuk ke bagian atas perangkat. “Kau harus masuk ke inti generator ini dan membuka portal ke celah waktu. Tapi ada risiko besar, Dara. Jika kau gagal, kau bisa terjebak di sana selamanya… sama seperti Arga.”
Dara terdiam lama. Pikirannya dipenuhi berbagai emosi—rasa kehilangan, kebingungan, dan rasa tanggung jawab yang besar. Akhirnya, dia menatap Eland dengan tekad di matanya. “Aku harus mencobanya. Aku harus menemukan Arga dan menghentikan aurora ini sebelum semuanya terlambat.”
Eland mengangguk pelan. “Kalau begitu, kita mulai besok. Tapi ingat, Dara… ini tidak akan mudah.”
Dara kembali ke observatoriumnya dengan hati yang berat namun penuh tekad. Dia tahu risiko yang harus diambil, tapi untuk pertama kalinya, dia merasa langkah ini adalah satu-satunya jalan menuju kebenaran. Di bawah langit yang dipenuhi bintang, Dara berbisik pelan, “Arga, aku akan menemukanmu.”
Bab 4: Cinta yang Terhapus
Pagi yang cerah tidak membawa ketenangan bagi Dara. Setelah semalaman penuh memikirkan kata-kata Eland, pikirannya dipenuhi oleh bayangan-bayangan tentang Arga. Siapa dia sebenarnya? Kenapa Dara tidak bisa mengingat apa pun tentangnya? Dan yang lebih penting, apa yang terjadi pada mereka berdua dua tahun lalu?
Di observatorium, Dara mempersiapkan segala hal untuk percobaan malam ini. Dia akan kembali ke laboratorium tersembunyi bersama Eland untuk mencoba membuka portal waktu di generator aurora. Namun, sebelum itu, Dara memutuskan untuk membaca kembali buku catatan Arga. Dia berharap menemukan petunjuk lebih dalam tentang hubungan mereka.
Saat membaca, Dara menemukan halaman yang ditandai dengan bintang kecil. Di sana tertulis sebuah paragraf yang seolah ditulis untuknya:
“Dara, jika kau membaca ini, berarti aku gagal melindungimu sepenuhnya. Aku tahu aku mungkin telah menghilang dari hidupmu, tapi percayalah, segalanya yang kulakukan adalah untukmu. Aku hanya berharap suatu hari kau akan mengerti kenapa aku harus mengambil risiko ini.”
Tangannya gemetar. Kata-kata itu begitu personal, penuh emosi, dan membawa air mata mengalir di pipinya. Dara tidak tahu apa yang lebih menyakitkan—kenyataan bahwa dia tidak ingat Arga, atau fakta bahwa pria ini begitu peduli padanya, bahkan dalam bahaya sekalipun.
Namun, sesuatu di dalam dirinya mulai bergerak. Fragmen kecil ingatan tiba-tiba muncul. Dara melihat dirinya duduk di bawah langit berbintang, tertawa bersama seseorang. Wajah pria itu samar, tapi suaranya terdengar jelas.
“Dara, apa kau percaya bahwa cinta bisa mengubah segalanya?”
Dia mengerjap. Kenangan itu menghilang secepat kilat, meninggalkannya dengan rasa rindu yang tidak bisa dijelaskan. Dara memegang dadanya, mencoba menenangkan detak jantungnya yang tak beraturan. “Arga… siapa sebenarnya kau bagiku?”
Malam tiba. Dara dan Eland kembali ke laboratorium tersembunyi. Perangkat generator aurora berdiri megah di tengah ruangan, seperti raksasa yang menunggu untuk dihidupkan. Eland mempersiapkan mesin dengan hati-hati, sementara Dara berdiri di sampingnya, memegang buku catatan Arga.
“Aku masih tidak yakin dengan semua ini,” kata Dara, suaranya gemetar. “Bagaimana jika aku tidak menemukan dia? Bagaimana jika aku hanya memperburuk keadaan?”
Eland berhenti sejenak, menatapnya dengan serius. “Dara, aku tahu ini berat. Tapi Arga percaya padamu. Dia tahu kau adalah satu-satunya yang bisa menyelamatkannya. Dan aku percaya itu juga.”
Dara mengangguk pelan, mencoba meyakinkan dirinya sendiri. Dia melihat ke arah mesin itu, yang kini mulai bergetar perlahan saat Eland menghidupkannya. Cahaya aurora mulai muncul di sekitar ruangan, membuat suasana terasa magis sekaligus menegangkan.
“Begitu kau masuk ke inti generator, kau akan berada di antara dimensi waktu,” jelas Eland. “Kau harus menemukan Arga sebelum celah itu menutup. Jika tidak, kau mungkin tidak akan pernah kembali.”
Dara menarik napas dalam-dalam. “Aku siap.”
Saat generator mencapai puncak energinya, sebuah portal terbuka di tengah ruangan. Cahaya biru keperakan memancar, memantulkan kilauan aurora di dinding. Suara mesin bergemuruh, membuat ruangan itu terasa seperti medan perang.
Dara melangkah mendekati portal, jantungnya berdebar kencang. Sebelum masuk, dia menoleh ke Eland. “Terima kasih, Eland. Untuk semuanya.”
Eland hanya mengangguk. “Hati-hati di dalam, Dara. Jangan biarkan dirimu tersesat.”
Dara menguatkan hati dan melangkah masuk ke dalam portal. Dunia di sekelilingnya berubah menjadi lautan cahaya dan bayangan. Dia merasa seperti ditarik ke dalam pusaran waktu, tubuhnya melayang tanpa arah. Tapi di tengah kekacauan itu, dia mulai melihat sesuatu—fragmen kenangan yang tersembunyi di balik aurora.
Dia melihat dirinya sendiri, tertawa bersama seorang pria di observatorium. Dia melihat mereka bekerja bersama, saling bertukar pandang penuh cinta. Dia melihat malam kecelakaan itu—ledakan besar yang menghancurkan laboratorium, dan Arga berlari ke arahnya, melindunginya dengan tubuhnya.
“Aku tidak akan membiarkanmu terluka, Dara,” suara Arga terdengar di benaknya. “Jika aku harus menghilang, aku akan menghilang untukmu.”
Air mata mengalir di pipi Dara. Kenangan itu begitu nyata, begitu menyakitkan. Tapi sebelum dia bisa merenungkannya lebih jauh, dia melihat sosok seseorang di kejauhan, berdiri di tengah lautan cahaya. Itu Arga.
“Arga!” Dara berteriak, melangkah maju. Tapi langkahnya terasa berat, seolah-olah waktu sendiri mencoba menghentikannya. “Arga, tunggu!”
Pria itu berbalik, dan untuk pertama kalinya, Dara melihat wajahnya dengan jelas. Wajah itu adalah wajah yang selalu ada di dalam mimpinya, meskipun dia tidak pernah bisa mengingat namanya. Wajah seseorang yang dia cintai.
“Dara,” kata Arga dengan suara lembut, tapi penuh emosi. “Kau tidak seharusnya ada di sini.”
Dara mendekat, tapi setiap langkah terasa seperti perjuangan melawan arus waktu. Dia ingin memeluk Arga, ingin memberitahunya bahwa dia mengingat segalanya. Tapi sebelum dia bisa sampai, cahaya aurora di sekeliling mereka mulai memudar, dan suara Eland terdengar samar di kejauhan.
“Dara, kau harus kembali sekarang! Portalnya hampir menutup!”
Dara terpaksa membuat pilihan: tetap tinggal untuk bersama Arga atau kembali ke dunia nyata untuk menyelamatkan semuanya. Tapi waktu tidak memberi banyak kesempatan, dan keputusan besar itu ada di tangannya.
Bab 5: Rahasia di Balik Aurora
Cahaya aurora yang memancar di sekitar Dara dan Arga mulai meredup. Suara Eland yang memanggil Dara terdengar semakin jelas, memaksa Dara menyadari bahwa waktunya hampir habis. Namun, tatapan Arga yang penuh emosi membuat Dara tidak mampu bergerak. Tubuhnya seakan terikat oleh rasa rindu yang tak pernah dia mengerti sebelumnya.
“Arga, aku di sini untuk membawamu pulang,” ujar Dara, suaranya serak.
Arga menggeleng pelan, senyumnya penuh kesedihan. “Kau tidak bisa, Dara. Jika aku kembali, aurora ini akan menjadi lebih tidak stabil. Dunia ini bisa hancur. Aku membuat kesalahan besar, dan aku harus memperbaikinya dari sini.”
Dara tertegun. “Apa maksudmu? Kau menciptakan aurora ini… untuk apa? Apa hubungannya denganku?”
Arga menatapnya dalam-dalam. “Aurora ini awalnya hanya eksperimen. Aku ingin menciptakan energi waktu untuk membantu dunia, tetapi semuanya berubah ketika aku menyadari risikonya. Ketika kecelakaan itu terjadi, aku melihat kau hampir kehilangan nyawamu. Aku tidak bisa membiarkan itu terjadi, jadi aku mengorbankan diriku untuk melindungimu.”
Air mata Dara mengalir. “Tapi kenapa aku kehilangan ingatan tentangmu? Kenapa aku bahkan tidak tahu siapa kau selama ini?”
Arga terdiam sejenak, lalu menundukkan kepala. “Itu disengaja. Aku menghapus sebagian kenanganmu tentangku untuk melindungimu. Aku tahu jika kau mengingat semuanya, rasa bersalahmu akan terlalu besar. Aku ingin kau bisa melanjutkan hidupmu tanpa beban, bahkan jika itu berarti kau melupakanku.”
Dara terisak, merasa campuran marah, sedih, dan bersalah. “Tapi aku tidak ingin melupakanmu, Arga. Kau bagian dari hidupku, dan aku berhak mengetahui kebenaran.”
Arga mengulurkan tangan, menyentuh pipi Dara dengan lembut. “Kau sudah mengetahui kebenarannya sekarang, dan itu cukup bagiku. Tapi kau harus kembali, Dara. Dunia ini butuh kau untuk menghentikan aurora.”
Suara Eland semakin keras, mendesak Dara untuk kembali ke portal. Namun, Dara tidak bisa memutuskan. Bagaimana dia bisa meninggalkan Arga di sini, sendirian, terjebak di antara dimensi waktu?
“Aku tidak akan pergi tanpamu,” Dara berkata dengan tegas. “Kita akan menemukan cara lain untuk menghentikan aurora tanpa meninggalkanmu di sini.”
Arga tersenyum tipis. “Kau keras kepala, seperti biasa. Tapi kali ini, kau harus mendengarkanku. Hentikan aurora, dan dunia akan selamat. Aku sudah membuat rencana untuk ini.”
Arga lalu menunjukkan sebuah perangkat kecil di tangannya, seperti kristal bercahaya. “Ini adalah inti generator aurora. Jika kau menghentikan generator di dunia nyata dan menghancurkan ini, aurora akan berhenti selamanya. Tapi itu berarti aku akan menghilang bersama aurora.”
Dara memeluk Arga dengan erat, tidak peduli pada apa pun di sekitarnya. “Aku tidak ingin kehilanganmu lagi. Harus ada cara lain.”
Arga membalas pelukannya dengan lembut. “Kadang cinta berarti melepaskan, Dara. Dunia ini lebih besar dari kita, dan kau harus menyelamatkannya.”
Dengan berat hati, Dara menerima kristal dari tangan Arga. Cahaya di sekitar mereka semakin memudar, menunjukkan bahwa portal hampir tertutup sepenuhnya.
“Dara, waktunya habis!” teriak Eland, suaranya bercampur panik.
Arga melepaskan pelukan mereka, mendorong Dara perlahan menuju portal. “Hiduplah dengan baik, Dara. Jangan pernah berhenti mengejar mimpimu. Aku akan selalu ada di hatimu.”
Saat air mata mengalir deras di pipinya, Dara akhirnya melangkah ke dalam portal. Cahaya biru menyelimuti dirinya, membawa kembali ke laboratorium di dunia nyata.
Dara terjatuh ke lantai laboratorium, terengah-engah. Eland segera membantunya berdiri, tapi tatapan Dara terpaku pada generator aurora yang masih bergetar. Dia memegang kristal itu erat-erat di tangannya.
“Apa yang kau temukan di sana?” tanya Eland.
Dara menatap Eland dengan mata penuh air mata. “Arga… dia menyerahkan segalanya untuk menghentikan ini. Dia memberiku cara untuk mengakhiri semuanya.”
Tanpa membuang waktu, Dara dan Eland mempersiapkan penghancuran generator aurora. Kristal yang diberikan Arga adalah kunci untuk menghentikan mesin tersebut. Dara meletakkan kristal itu di inti generator, dan mesin mulai bergetar hebat.
“Setelah ini, aurora akan berhenti,” jelas Eland. “Tapi kau yakin dengan keputusannya?”
Dara mengangguk, meskipun hatinya hancur. “Ini adalah apa yang Arga inginkan. Aku tidak bisa mengabaikan pengorbanannya.”
Saat generator berhenti dan aurora menghilang dari langit Arcapolis untuk selamanya, Dara berdiri di luar laboratorium, menatap langit yang kini gelap tanpa cahaya aurora.
Namun, meski aurora telah pergi, Dara merasa ada sesuatu yang berubah dalam dirinya. Ingatannya tentang Arga kembali sedikit demi sedikit, membawa campuran kebahagiaan dan kesedihan. Dia tahu dia harus melanjutkan hidup, tetapi cinta dan pengorbanan Arga akan selalu menjadi bagian dari dirinya.
Dara memutuskan untuk menulis buku tentang aurora, Arga, dan kisah cinta mereka. Dia ingin dunia tahu tentang pria yang telah berkorban demi semua orang, bahkan jika dunia tidak pernah mengenalnya. Saat dia menulis, Dara berbisik pelan ke udara malam yang sepi:
“Terima kasih, Arga. Aku tidak akan melupakanmu.”
Bab 6: Kebenaran yang Menyakitkan
Seminggu setelah aurora menghilang dari langit Arcapolis, Dara mencoba kembali ke rutinitasnya sebagai astronom. Namun, semuanya terasa berbeda. Langit malam yang sebelumnya penuh dengan cahaya aurora kini terasa hampa. Tidak ada lagi warna-warni yang menari, tidak ada lagi waktu yang membeku. Meski begitu, Dara tahu pengorbanan Arga telah menyelamatkan dunia.
Dara duduk di ruang kerjanya, menatap buku catatan Arga yang sudah pudar oleh waktu. Di antara semua catatan dan rumus, dia menemukan satu halaman yang tidak pernah dia sadari sebelumnya. Halaman itu terkunci di bagian belakang buku, tertutup oleh kertas kosong. Dengan hati-hati, dia membuka lipatannya dan membaca isinya.
“Jika kau membaca ini, Dara, maka aurora telah berhenti, dan aku mungkin sudah tidak ada di sisimu. Tapi ada sesuatu yang harus kau tahu—kebenaran tentang kecelakaan dua tahun lalu.”
Mata Dara membelalak. Jantungnya berdetak lebih cepat saat ia melanjutkan membaca.
“Kecelakaan itu bukan murni karena kesalahan teknis. Ada pihak yang sengaja mengganggu eksperimen kita. Seseorang ingin mengambil teknologi ini untuk kepentingan pribadi, dan aku terpaksa melindungimu dengan cara menghapus sebagian ingatanmu. Aku tahu ini mungkin sulit diterima, tapi mereka tidak akan berhenti sampai mereka mendapatkan teknologi ini. Jika aurora berhenti, mereka akan datang mencarimu.”
Dara terdiam. Seluruh tubuhnya terasa dingin. “Mereka?” bisiknya pada dirinya sendiri. Siapa yang dimaksud Arga?
Malam itu, Dara pergi ke observatorium untuk memeriksa data terakhir dari generator aurora sebelum dihancurkan. Eland menemaninya, membantu menganalisis hasil energi yang dihasilkan aurora sebelum portal ditutup.
“Semua data ini menunjukkan stabilitas waktu telah kembali normal,” kata Eland, menatap layar monitor. “Tapi apa yang sebenarnya kau temukan di buku Arga? Kau terlihat gelisah sejak seminggu terakhir.”
Dara menghela napas panjang, menatap Eland dengan ragu. Namun, dia tahu dia tidak bisa menyimpan ini sendirian. “Aku menemukan catatan Arga yang mengatakan bahwa kecelakaan itu bukan hanya kesalahan teknis. Ada seseorang yang mencoba mencuri teknologi aurora.”
Eland menatap Dara dengan ekspresi terkejut. “Itu… tidak mungkin. Teknologi itu sangat eksperimental, hanya kau dan Arga yang tahu detailnya.”
Dara menggigit bibirnya, mencoba menenangkan pikirannya. “Aku tidak tahu siapa yang dia maksud, tapi aku merasa ini belum berakhir. Jika Arga benar, maka penghentian aurora hanya awal dari sesuatu yang lebih besar.”
Saat mereka berbicara, suara langkah kaki terdengar dari arah pintu observatorium. Dara dan Eland berhenti, menatap pintu dengan waspada. Seorang pria berjas hitam masuk, ekspresinya datar dan penuh otoritas.
“Dara Saraswati?” tanyanya, suaranya dalam dan tegas.
Dara mengangguk pelan. “Ya, itu saya. Siapa Anda?”
Pria itu mengeluarkan lencana kecil dari sakunya. “Saya Letnan Kavin dari Badan Penelitian Energi Nasional. Saya datang untuk meninjau hasil penelitian Anda tentang aurora.”
Eland maju, mencoba melindungi Dara. “Penelitian itu sudah selesai. Generator aurora sudah dihancurkan.”
Kavin tersenyum tipis. “Kami tahu. Tapi yang kami cari bukan generatornya. Kami ingin tahu apa yang disimpan Arga di buku catatannya.”
Dara membeku. Tiba-tiba, semua yang dikatakan Arga dalam suratnya terasa nyata. Dia menatap Kavin dengan tatapan tajam. “Buku itu tidak relevan lagi. Teknologi aurora sudah tidak bisa digunakan.”
Kavin mendekat, senyumnya memudar. “Kami tahu buku itu mengandung informasi penting tentang energi waktu. Serahkan kepada kami, dan tidak akan ada yang terluka.”
Eland melangkah di depan Dara, menantang pria itu. “Anda tidak memiliki hak untuk mengambil hasil penelitian pribadi.”
Kavin memberi isyarat, dan dua orang bersenjata masuk ke ruangan. Dara mundur, merasa terjebak. Dia tahu dia harus melindungi buku catatan itu, apa pun yang terjadi. Itu adalah warisan Arga, dan dia tidak akan membiarkan pihak lain menyalahgunakannya.
Dalam keputusasaan, Dara melihat ke arah monitor di belakangnya. Data terakhir aurora masih aktif, menunjukkan pola energi yang tersisa. Dengan cepat, dia menyusun rencana.
“Eland,” bisiknya pelan. “Aku butuh kau memindahkan data ini ke server cadangan. Jangan biarkan mereka mendapatkannya.”
Eland mengangguk, lalu mulai mengetik dengan cepat. Sementara itu, Dara berusaha mengalihkan perhatian Kavin. “Bahkan jika Anda mendapatkan buku ini, teknologi itu tidak akan berfungsi lagi. Arga menghancurkan semua prototipe.”
Kavin tertawa kecil. “Itu mungkin benar, tapi kau lupa satu hal. Kau adalah kunci terakhir. Kau bekerja dengan Arga, dan kami tahu kau bisa merekonstruksi teknologinya.”
Dara terdiam. Dia menyadari bahwa dirinya tidak hanya menjadi target karena buku itu, tetapi juga karena kemampuannya sendiri.
Dalam momen tegang itu, Eland berhasil menyelesaikan pemindahan data. Dia memberi isyarat kepada Dara, lalu dengan cepat mematikan semua perangkat di observatorium, membuat ruangan menjadi gelap.
“Dara, lari!” teriak Eland.
Dara mengambil buku catatan Arga dan berlari menuju pintu belakang observatorium. Dia mendengar suara langkah kaki mengejarnya, tetapi adrenalinnya membuatnya terus berlari. Di luar, langit malam yang gelap menjadi saksi pelariannya, membawa serta rahasia besar yang ditinggalkan Arga.
Pengakhiran Bab: Dara berhasil melarikan diri, tetapi dia tahu ancaman ini belum berakhir. Buku cataBab 6: Kebenaran yang Menyakitkan
Seminggu setelah aurora menghilang dari langit Arcapolis, Dara mencoba kembali ke rutinitasnya sebagai astronom. Namun, semuanya terasa berbeda. Langit malam yang sebelumnya penuh dengan cahaya aurora kini terasa hampa. Tidak ada lagi warna-warni yang menari, tidak ada lagi waktu yang membeku. Meski begitu, Dara tahu pengorbanan Arga telah menyelamatkan dunia.
Dara duduk di ruang kerjanya, menatap buku catatan Arga yang sudah pudar oleh waktu. Di antara semua catatan dan rumus, dia menemukan satu halaman yang tidak pernah dia sadari sebelumnya. Halaman itu terkunci di bagian belakang buku, tertutup oleh kertas kosong. Dengan hati-hati, dia membuka lipatannya dan membaca isinya.
“Jika kau membaca ini, Dara, maka aurora telah berhenti, dan aku mungkin sudah tidak ada di sisimu. Tapi ada sesuatu yang harus kau tahu—kebenaran tentang kecelakaan dua tahun lalu.”
Mata Dara membelalak. Jantungnya berdetak lebih cepat saat ia melanjutkan membaca.
“Kecelakaan itu bukan murni karena kesalahan teknis. Ada pihak yang sengaja mengganggu eksperimen kita. Seseorang ingin mengambil teknologi ini untuk kepentingan pribadi, dan aku terpaksa melindungimu dengan cara menghapus sebagian ingatanmu. Aku tahu ini mungkin sulit diterima, tapi mereka tidak akan berhenti sampai mereka mendapatkan teknologi ini. Jika aurora berhenti, mereka akan datang mencarimu.”
Dara terdiam. Seluruh tubuhnya terasa dingin. “Mereka?” bisiknya pada dirinya sendiri. Siapa yang dimaksud Arga?
Malam itu, Dara pergi ke observatorium untuk memeriksa data terakhir dari generator aurora sebelum dihancurkan. Eland menemaninya, membantu menganalisis hasil energi yang dihasilkan aurora sebelum portal ditutup.
“Semua data ini menunjukkan stabilitas waktu telah kembali normal,” kata Eland, menatap layar monitor. “Tapi apa yang sebenarnya kau temukan di buku Arga? Kau terlihat gelisah sejak seminggu terakhir.”
Dara menghela napas panjang, menatap Eland dengan ragu. Namun, dia tahu dia tidak bisa menyimpan ini sendirian. “Aku menemukan catatan Arga yang mengatakan bahwa kecelakaan itu bukan hanya kesalahan teknis. Ada seseorang yang mencoba mencuri teknologi aurora.”
Eland menatap Dara dengan ekspresi terkejut. “Itu… tidak mungkin. Teknologi itu sangat eksperimental, hanya kau dan Arga yang tahu detailnya.”
Dara menggigit bibirnya, mencoba menenangkan pikirannya. “Aku tidak tahu siapa yang dia maksud, tapi aku merasa ini belum berakhir. Jika Arga benar, maka penghentian aurora hanya awal dari sesuatu yang lebih besar.”
Saat mereka berbicara, suara langkah kaki terdengar dari arah pintu observatorium. Dara dan Eland berhenti, menatap pintu dengan waspada. Seorang pria berjas hitam masuk, ekspresinya datar dan penuh otoritas.
“Dara Saraswati?” tanyanya, suaranya dalam dan tegas.
Dara mengangguk pelan. “Ya, itu saya. Siapa Anda?”
Pria itu mengeluarkan lencana kecil dari sakunya. “Saya Letnan Kavin dari Badan Penelitian Energi Nasional. Saya datang untuk meninjau hasil penelitian Anda tentang aurora.”
Eland maju, mencoba melindungi Dara. “Penelitian itu sudah selesai. Generator aurora sudah dihancurkan.”
Kavin tersenyum tipis. “Kami tahu. Tapi yang kami cari bukan generatornya. Kami ingin tahu apa yang disimpan Arga di buku catatannya.”
Dara membeku. Tiba-tiba, semua yang dikatakan Arga dalam suratnya terasa nyata. Dia menatap Kavin dengan tatapan tajam. “Buku itu tidak relevan lagi. Teknologi aurora sudah tidak bisa digunakan.”
Kavin mendekat, senyumnya memudar. “Kami tahu buku itu mengandung informasi penting tentang energi waktu. Serahkan kepada kami, dan tidak akan ada yang terluka.”
Eland melangkah di depan Dara, menantang pria itu. “Anda tidak memiliki hak untuk mengambil hasil penelitian pribadi.”
Kavin memberi isyarat, dan dua orang bersenjata masuk ke ruangan. Dara mundur, merasa terjebak. Dia tahu dia harus melindungi buku catatan itu, apa pun yang terjadi. Itu adalah warisan Arga, dan dia tidak akan membiarkan pihak lain menyalahgunakannya.
Dalam keputusasaan, Dara melihat ke arah monitor di belakangnya. Data terakhir aurora masih aktif, menunjukkan pola energi yang tersisa. Dengan cepat, dia menyusun rencana.
“Eland,” bisiknya pelan. “Aku butuh kau memindahkan data ini ke server cadangan. Jangan biarkan mereka mendapatkannya.”
Eland mengangguk, lalu mulai mengetik dengan cepat. Sementara itu, Dara berusaha mengalihkan perhatian Kavin. “Bahkan jika Anda mendapatkan buku ini, teknologi itu tidak akan berfungsi lagi. Arga menghancurkan semua prototipe.”
Kavin tertawa kecil. “Itu mungkin benar, tapi kau lupa satu hal. Kau adalah kunci terakhir. Kau bekerja dengan Arga, dan kami tahu kau bisa merekonstruksi teknologinya.”
Dara terdiam. Dia menyadari bahwa dirinya tidak hanya menjadi target karena buku itu, tetapi juga karena kemampuannya sendiri.
Dalam momen tegang itu, Eland berhasil menyelesaikan pemindahan data. Dia memberi isyarat kepada Dara, lalu dengan cepat mematikan semua perangkat di observatorium, membuat ruangan menjadi gelap.
“Dara, lari!” teriak Eland.
Dara mengambil buku catatan Arga dan berlari menuju pintu belakang observatorium. Dia mendengar suara langkah kaki mengejarnya, tetapi adrenalinnya membuatnya terus berlari. Di luar, langit malam yang gelap menjadi saksi pelariannya, membawa serta rahasia besar yang ditinggalkan Arga.
Bab 7: Pilihan yang Sulit
Dara terhuyung masuk ke dalam apartemennya, napasnya terengah-engah. Buku catatan Arga tergenggam erat di tangannya, seolah itu satu-satunya hal yang menghubungkannya dengan pria yang ia cintai. Pikiran Dara masih kacau setelah kejadian di observatorium. Dia tidak hanya diburu oleh Letnan Kavin dan kelompoknya, tetapi juga oleh rasa takut bahwa pengorbanan Arga mungkin sia-sia jika teknologi aurora jatuh ke tangan yang salah.
Eland berhasil meloloskan diri juga, tetapi mereka terpisah di tengah pelarian. Dara hanya bisa berharap dia selamat. Saat dia mengunci pintu apartemennya, pikiran itu terus menghantuinya. “Bagaimana aku bisa melindungi buku ini? Dan bagaimana aku bisa menemukan siapa yang sebenarnya ada di balik semua ini?”
Malam itu, Dara membuka buku catatan Arga lagi. Dia memperhatikan setiap detail yang mungkin terlewat sebelumnya. Di salah satu halaman terakhir, dia menemukan sesuatu yang aneh—kode yang tertulis dengan tinta merah, yang tidak ada di halaman lain.
“L.10-S.5-A.3”
Dara mengernyit. Apa arti kode ini? Setelah memikirkannya sejenak, dia menyadari itu bisa jadi koordinat lokasi. Dia membuka laptopnya dan memeriksa peta digital. Ketika dia memasukkan kode itu, sebuah lokasi muncul—sebuah gudang tua di pinggiran Arcapolis.
“Kenapa Arga menyembunyikan sesuatu di sana?” Dara bertanya-tanya. Tapi dia tahu hanya ada satu cara untuk mengetahui jawabannya.
Keesokan harinya, Dara berangkat ke lokasi yang dimaksud. Gudang itu tampak tua dan terlantar, dengan cat yang sudah mengelupas dan pintu besar yang berkarat. Tapi ketika Dara masuk, dia terkejut melihat isi di dalamnya.
Ruangan itu penuh dengan peralatan canggih, monitor yang masih menyala, dan catatan-catatan lain yang tampak seperti bagian dari penelitian Arga. Di tengah ruangan, ada sebuah perangkat yang menyerupai generator aurora, tapi dalam ukuran yang lebih kecil. Dara mendekati perangkat itu, merasa deja vu yang kuat.
“Arga, apa yang kau lakukan di sini?” gumamnya.
Saat dia memeriksa meja di dekatnya, dia menemukan sebuah rekaman video. Dengan tangan gemetar, Dara memutar rekaman itu. Wajah Arga muncul di layar, tampak lelah tapi penuh tekad.
“Jika kau menemukan ini, Dara, berarti aku tidak berhasil kembali. Tapi aku meninggalkan ini untuk membantumu.”
Dara menahan napas, mendengarkan dengan saksama.
“Generator kecil ini adalah versi stabil dari teknologi aurora. Jika pihak yang mengejarmu mendapatkannya, mereka bisa menyalahgunakannya untuk tujuan jahat. Kau harus menghancurkannya, Dara. Jangan biarkan mereka menggunakan teknologi ini untuk mengacaukan waktu. Tapi hati-hati—penghancuran generator ini juga akan menghapus semua jejak keberadaanku dalam waktu. Aku tahu ini sulit, tapi dunia lebih penting daripada satu orang.”
Dara tertegun. Apa maksudnya? Jika dia menghancurkan generator ini, semua ingatannya tentang Arga akan hilang? Perasaan takut dan ragu menghantamnya seperti badai. Dia tidak bisa kehilangan Arga lagi, bahkan jika itu hanya berupa kenangan.
Saat Dara masih terpaku, suara langkah kaki terdengar dari luar gudang. Dia segera mematikan rekaman dan bersembunyi di balik meja. Dari balik celah pintu, dia melihat Letnan Kavin dan beberapa anak buahnya masuk.
“Periksa tempat ini,” perintah Kavin. “Generator itu pasti ada di sini.”
Dara menahan napas, tubuhnya bergetar. Dia tahu dia tidak bisa melawan mereka sendirian, tapi dia juga tidak bisa membiarkan mereka menemukan generator itu. Dengan hati-hati, dia meraih tas di sampingnya dan mengambil beberapa peralatan kecil yang dia bawa—termasuk pemantik dan cairan kimia yang mudah terbakar.
Dia menunggu hingga salah satu anak buah Kavin mendekat, lalu melempar cairan kimia ke arah rak-rak di belakang ruangan. Ketika rak itu terbakar, asap tebal mulai memenuhi gudang. Dalam kekacauan itu, Dara meraih generator aurora kecil dan berlari keluar melalui pintu belakang.
Di luar, Dara terus berlari, membawa generator itu dalam pelukannya. Hatinya masih diliputi konflik besar. Jika dia menghancurkan generator ini, dia akan kehilangan segalanya tentang Arga. Tapi jika dia tidak melakukannya, teknologi ini bisa jatuh ke tangan yang salah dan menghancurkan dunia.
Dia berhenti di tepi sungai yang sepi, mengatur napasnya. Generator itu terasa berat, tidak hanya secara fisik tetapi juga emosional. Rekaman Arga terngiang-ngiang di benaknya.
“Kadang cinta berarti melepaskan…”
Air mata mengalir di wajah Dara. Dia tahu apa yang harus dia lakukan, tapi hatinya menolak. Dia menatap generator itu dengan tangan gemetar, mencoba mencari keberanian dalam dirinya.
“Aku mencintaimu, Arga,” bisiknya. “Dan aku akan melakukannya… demi dunia.”
Dengan tangan yang berat, Dara melemparkan generator itu ke dalam sungai. Alat itu tenggelam, menghasilkan ledakan kecil yang memancarkan cahaya aurora terakhir di bawah air.
Dara duduk di tepi sungai, merasa hampa. Dia tahu dia telah melakukan hal yang benar, tetapi rasa kehilangan itu begitu nyata, begitu menyakitkan. Saat malam tiba, dia menatap langit yang kini gelap tanpa aurora. Meski hatinya terasa kosong, dia tahu satu hal pasti—Arga akan selalu hidup dalam keputusan yang telah dia buat.
Dan meskipun kenangannya tentang Arga perlahan mulai memudar, Dara berjanji pada dirinya sendiri untuk menjaga dunia yang telah mereka perjuangkan bersama.
Bab 8: Luka Lama yang Terbuka
Beberapa hari setelah menghancurkan generator aurora, Dara merasa hidupnya telah berubah sepenuhnya. Dunia di sekitarnya berjalan seperti biasa, tetapi hatinya dipenuhi kekosongan. Kenangannya tentang Arga mulai kabur, seperti foto lama yang warnanya memudar. Dia tahu ini adalah akibat dari tindakannya, tetapi rasa kehilangan itu tetap sulit untuk diterima.
Dara mencoba mengalihkan pikirannya dengan bekerja di observatorium. Malam itu, dia menatap bintang-bintang melalui teleskop, mencari penghiburan di antara konstelasi yang tak pernah berubah. Namun, setiap kali dia melihat langit, dia teringat pada Arga. Dia bertanya-tanya, apakah Arga benar-benar telah hilang, atau hanya tersembunyi di suatu tempat dalam dimensi waktu?
Sebuah ketukan di pintu membuatnya terkejut. Dia beranjak untuk membuka pintu, dan di sana berdiri Eland, terlihat lelah tetapi masih membawa aura ketenangan yang selalu dia miliki.
“Kau baik-baik saja?” tanya Eland sambil masuk.
Dara mengangguk pelan, meskipun air matanya menggenang. “Aku hanya… mencoba menerima semuanya. Rasanya aneh, seperti ada bagian dari diriku yang hilang.”
Eland duduk di kursi di depannya, menatapnya penuh simpati. “Apa kau menyesal?”
Dara menggeleng pelan. “Tidak. Aku tahu itu keputusan yang benar. Tapi kehilangan Arga… kehilangan kenangan tentangnya… itu adalah harga yang sangat besar.”
Eland terdiam sejenak sebelum akhirnya berkata, “Arga tahu kau kuat. Dia percaya kau bisa menjalani hidupmu meskipun tanpa dia. Aku yakin itu alasan kenapa dia mempercayakan semua ini padamu.”
Dara tersenyum lemah, tetapi di dalam hatinya, luka lama terbuka kembali. Dia masih merasa bersalah karena tidak bisa menyelamatkan Arga, meskipun dia tahu itu adalah pilihan terbaik untuk dunia.
Malam itu, saat Eland telah pergi, Dara memutuskan untuk membuka kembali file lamanya tentang aurora. Meski dia tahu teknologi itu sudah dihancurkan, dia merasa ada sesuatu yang masih belum selesai. Dia memeriksa data yang tersisa dan menemukan anomali kecil—sinyal energi lemah yang muncul setiap malam di lokasi tertentu di pinggiran kota.
Dara terpaku pada layar, jantungnya berdebar. “Apa ini? Tidak mungkin ada sisa energi aurora, kan?” gumamnya.
Dengan rasa penasaran yang tak terbendung, dia membawa alat-alat pengamatannya dan berangkat ke lokasi yang ditunjukkan oleh sinyal. Tempat itu adalah taman kecil di tengah hutan, jauh dari kebisingan kota. Ketika Dara sampai di sana, langit malam terasa lebih gelap dari biasanya, tetapi ada sesuatu yang aneh—seberkas cahaya biru redup bersinar dari kejauhan.
Dia berjalan perlahan mendekati sumber cahaya itu, dan apa yang dia temukan membuatnya terpaku. Di sana, berdiri sebuah monumen kecil yang terlihat seperti batu kristal, memancarkan kilauan lemah yang mirip dengan aurora. Di atas batu itu, ada ukiran kata-kata yang membuat air mata Dara langsung mengalir.
“Untuk Dara. Cinta adalah jangkar waktu.”
Dara menyentuh batu itu, merasakan kehangatan yang aneh. Pada saat itu, sepotong kenangan kembali ke pikirannya—kenangan tentang malam terakhir dia dan Arga bersama sebelum kecelakaan. Dia ingat mereka berdiri di bawah langit malam, berbicara tentang mimpi dan harapan mereka.
“Aku ingin menciptakan sesuatu yang abadi,” kata Arga dalam kenangan itu. “Sesuatu yang bisa menghubungkan kita, bahkan jika waktu memisahkan kita.”
Dara jatuh berlutut di depan monumen itu, menangis terisak. “Arga… kau masih ada di sini, bukan? Kau tidak benar-benar hilang.”
Cahaya dari batu itu memancar lebih terang untuk beberapa detik, seolah menjawabnya. Meski tidak ada suara atau kehadiran fisik, Dara merasa kehangatan yang familiar di sekitarnya. Itu adalah kehangatan cinta Arga, yang masih hidup di dunia ini meski dirinya telah tiada.
Saat Dara kembali ke observatorium malam itu, dia merasa sedikit lebih damai. Meski luka kehilangan Arga masih ada, dia kini memiliki sesuatu untuk dikenang. Monumen itu adalah simbol cinta mereka, jangkar yang menghubungkan mereka di luar batas waktu.
Namun, Dara juga tahu bahwa dunia tidak akan berhenti di situ. Ada ancaman yang masih mengintai, pihak-pihak yang mungkin tidak akan menyerah untuk mencoba menghidupkan kembali teknologi aurora. Dara harus tetap waspada, melindungi apa yang telah diperjuangkan Arga, dan memastikan dunia tetap aman.
Dara menatap langit malam melalui teleskopnya, melihat bintang-bintang yang bersinar terang. Untuk pertama kalinya, dia merasa ada harapan di tengah kesedihannya. Dia berbisik pelan ke dalam malam yang hening:
“Arga, aku akan melanjutkan hidupku seperti yang kau inginkan. Tapi aku tidak akan pernah melupakanmu.”
Bab 9: Akhir atau Awal Baru
Pagi yang cerah menyambut Dara di observatorium. Setelah malam penuh emosi di monumen kristal, dia merasa lebih tenang, meskipun hatinya masih berat dengan perasaan kehilangan. Kini, Dara merasa memiliki tanggung jawab baru: menjaga apa yang telah ditinggalkan Arga dan melindungi dunia dari pihak-pihak yang ingin menyalahgunakan teknologi aurora.
Hari itu, Dara memutuskan untuk berbicara dengan Eland. Dia tahu Eland adalah satu-satunya orang yang bisa dia percayai sepenuhnya. Mereka bertemu di sebuah kafe kecil di tengah kota, tempat yang sepi dan jauh dari hiruk-pikuk.
“Apa rencanamu sekarang?” tanya Eland, setelah mereka duduk dan memesan kopi.
Dara menghela napas, menatap secangkir kopinya yang masih beruap. “Aku ingin melindungi apa yang Arga tinggalkan. Teknologi aurora terlalu berbahaya untuk dibiarkan begitu saja. Tapi aku juga merasa ada yang belum selesai. Aku tidak tahu kenapa, tapi aku merasa seperti ada sesuatu yang masih tersembunyi.”
Eland menatapnya dengan serius. “Kau pikir apa yang kita alami belum berakhir?”
Dara mengangguk pelan. “Aku terus merasa ada sesuatu yang lebih besar di balik semua ini. Arga menyebutkan pihak-pihak yang ingin memanfaatkan teknologi aurora, tapi aku belum tahu siapa mereka. Jika kita tidak menghentikan mereka sekarang, mereka mungkin akan menemukan cara lain.”
Eland terdiam sejenak, lalu berkata, “Mungkin kau benar. Jika mereka cukup berani untuk mengejar teknologi ini sebelumnya, mereka pasti tidak akan berhenti.”
Malam itu, Dara dan Eland kembali ke monumen kristal di tengah hutan. Dara ingin menunjukkan kepada Eland tempat itu, berharap monumen itu bisa memberikan lebih banyak petunjuk. Ketika mereka sampai di sana, cahaya biru redup dari kristal masih memancar lembut.
“Ini tempat yang dia tinggalkan untukmu,” kata Eland pelan, memandang monumen itu. “Seolah-olah dia ingin kau tahu bahwa dia masih bersamamu, meski hanya dalam bentuk ini.”
Dara mengangguk, air mata mengalir di pipinya. “Aku merasa seperti dia meninggalkan sesuatu di sini, pesan terakhir yang belum aku pahami.”
Dia mendekati kristal itu, menyentuh permukaannya dengan hati-hati. Tiba-tiba, cahaya biru dari kristal itu memancar lebih terang, dan suara aneh mulai terdengar, seperti dengungan halus. Eland mundur selangkah, terkejut.
“Apa yang terjadi?” tanya Eland.
Dara menatap kristal itu dengan takjub. “Aku tidak tahu, tapi aku merasa… ini adalah pesan darinya.”
Dengungan itu berubah menjadi suara yang lebih jelas—suara Arga. Itu seperti rekaman yang diputar ulang dari dalam kristal.
“Dara, jika kau mendengar ini, berarti kau telah menemukan monumen ini. Aku tahu aku tidak ada di sana untuk mendampingimu, tetapi aku ingin kau tahu bahwa aku selalu percaya padamu. Dunia mungkin tidak akan pernah tahu apa yang kita perjuangkan, tapi itu tidak penting. Yang penting adalah kau tetap melangkah maju. Jika kau pernah merasa ragu, ingatlah bahwa cinta adalah jangkar waktu. Dan cintaku untukmu akan selalu ada, melintasi segala dimensi.”
Dara terisak mendengar kata-kata itu. Pesan itu adalah hadiah terakhir dari Arga, sesuatu yang dia tinggalkan untuk memastikan Dara tetap kuat. Eland menepuk pundaknya pelan, memberinya dukungan dalam keheningan.
Namun, momen itu terganggu oleh suara langkah kaki di belakang mereka. Dara dan Eland berbalik, dan di sana, berdiri Letnan Kavin bersama beberapa pria bersenjata.
“Akhirnya kau menunjukkan tempat ini,” kata Kavin dengan senyum dingin. “Kami tahu ada sesuatu yang kau sembunyikan, Dara. Dan ini dia.”
Eland segera berdiri di depan Dara, melindunginya. “Kalian tidak akan mendapatkan apa pun dari sini. Kristal ini tidak bisa digunakan untuk apa pun lagi.”
Kavin tertawa kecil. “Mungkin. Tapi kami tidak akan tahu sebelum mencobanya, bukan?”
Dara tahu mereka tidak punya waktu untuk berdiskusi. Dia memandang Eland, memberi isyarat agar mereka melarikan diri. Namun, Kavin sudah mengarahkan senjatanya ke arah mereka. “Jangan bergerak. Aku tidak ingin melukaimu, Dara, tapi aku akan melakukannya jika perlu.”
Dengan keberanian yang tiba-tiba, Dara berdiri tegak, menatap Kavin dengan tajam. “Kau tidak akan pernah bisa memahami apa yang Arga korbankan untuk dunia ini. Teknologi ini bukan untukmu, dan aku tidak akan membiarkanmu menyentuhnya.”
Sebelum Kavin bisa merespons, cahaya biru dari kristal tiba-tiba memancar lebih terang, menyilaukan semua orang di sana. Dara merasakan energi yang kuat mengalir dari monumen itu, seolah-olah Arga sendiri hadir di sana untuk melindunginya.
“Kau tidak pantas berada di sini,” bisik Dara, suaranya penuh keberanian.
Cahaya biru itu semakin terang, menciptakan ledakan energi kecil yang memukul mundur Kavin dan anak buahnya. Ketika cahaya mereda, Dara dan Eland menggunakan kesempatan itu untuk melarikan diri.
Dara dan Eland berhasil kembali ke kota dengan selamat. Namun, Dara tahu ancaman belum berakhir. Dia berjanji pada dirinya sendiri untuk menjaga monumen itu tetap tersembunyi dan melindungi warisan Arga, apa pun risikonya. Di dalam hatinya, Dara merasa lebih kuat. Cinta dan pengorbanan Arga telah menjadi jangkar yang membimbingnya untuk terus maju, meskipun jalan di depannya penuh dengan bahaya.
Malam itu, saat dia menatap bintang-bintang dari observatorium, Dara tersenyum kecil. “Terima kasih, Arga. Aku akan melindungi semuanya… untukmu.”
Bab 10: Aurora Tak Berujung
Malam itu terasa lebih sunyi dari biasanya. Dara duduk di observatorium, menatap langit malam yang gelap tanpa aurora. Meski rasa kehilangan masih menyelimutinya, dia tahu bahwa perjuangan belum selesai. Letnan Kavin dan kelompoknya mungkin telah mundur, tetapi mereka tidak akan berhenti sampai mereka mendapatkan apa yang mereka cari.
Eland memasuki ruangan dengan langkah pelan, membawa secangkir kopi untuk Dara. “Kau sudah memutuskan apa yang akan kau lakukan selanjutnya?” tanyanya.
Dara mengangguk pelan. “Aku tidak bisa hanya diam. Mereka tidak akan berhenti. Aku harus memastikan bahwa teknologi aurora benar-benar tidak bisa digunakan lagi, oleh siapa pun.”
Eland menatapnya dengan ragu. “Bagaimana caranya? Kita sudah menghancurkan generator utama dan kristal aurora yang tersisa.”
Dara menatap layar monitor yang menampilkan data sisa energi aurora dari monumen kristal. “Aku pikir ada satu cara terakhir. Energi yang ada di kristal itu masih terhubung dengan dimensi tempat Arga terjebak. Jika aku bisa menghancurkan sumber energi itu, semua jejak teknologi aurora akan lenyap. Tapi… itu juga berarti aku harus mengorbankan monumen terakhir yang ditinggalkan Arga.”
Eland terdiam. Dia tahu betapa pentingnya monumen itu bagi Dara. “Kau yakin ingin melakukannya? Itu adalah kenangan terakhir yang kau miliki tentangnya.”
Dara menunduk, suaranya gemetar. “Aku tidak ingin melakukannya. Tapi aku tahu ini yang harus kulakukan. Arga tidak akan memaafkanku jika aku membiarkan teknologi ini membahayakan dunia.”
Keesokan harinya, Dara dan Eland kembali ke monumen kristal. Mereka membawa peralatan yang diperlukan untuk menghancurkan inti energi terakhir yang masih tersimpan di sana. Saat mereka tiba, monumen itu bersinar lebih terang dari sebelumnya, seolah-olah tahu bahwa ini adalah akhir.
Dara menyentuh permukaan kristal, merasakan kehangatan yang familiar. “Maafkan aku, Arga,” bisiknya. “Aku harus melakukannya.”
Eland mulai menyiapkan perangkat penghancur energi, sementara Dara tetap berdiri di depan monumen itu. Dia memejamkan mata, membiarkan air matanya mengalir. Kenangan tentang Arga kembali mengalir di pikirannya—tawanya, senyumnya, dan kata-kata terakhirnya.
“Cinta adalah jangkar waktu.”
Saat Eland selesai menyiapkan perangkat, dia menatap Dara. “Ini siap. Begitu kita mengaktifkan perangkat ini, kristal akan hancur bersama energi di dalamnya.”
Dara mengangguk pelan, mengambil napas dalam-dalam. Dengan tangan gemetar, dia menekan tombol perangkat itu. Cahaya dari kristal mulai berkedip-kedip, dan suara dengungan lembut berubah menjadi gemuruh.
Tiba-tiba, sebuah suara terdengar di sekitar mereka. Itu adalah suara Arga.
“Dara…”
Dara terkejut, menoleh ke arah kristal. Cahaya dari monumen itu memancar, membentuk bayangan samar Arga. “Arga?” bisiknya, matanya membelalak.
Bayangan itu tersenyum. “Aku tahu kau akan datang ke sini suatu hari. Aku hanya ingin mengatakan bahwa aku bangga padamu. Kau telah melakukan yang terbaik untuk melindungi dunia ini. Dan meskipun aku tidak bisa kembali, aku akan selalu bersamamu.”
Dara menangis, mencoba meraih bayangan itu, tetapi tangannya hanya melewati udara kosong. “Aku tidak ingin kehilanganmu lagi.”
Arga menggeleng pelan. “Kau tidak pernah kehilangan aku, Dara. Aku selalu ada di dalam hatimu. Jangan biarkan rasa kehilangan ini menghentikanmu untuk melanjutkan hidupmu. Dunia membutuhkanmu.”
Cahaya dari kristal semakin terang, dan suara Arga perlahan memudar. “Selamat tinggal, Dara.”
Dara hanya bisa menangis saat bayangan itu menghilang. Sesaat kemudian, kristal itu meledak dalam cahaya yang memancar ke seluruh langit malam, meninggalkan keheningan yang mendalam.
Malam itu, Dara dan Eland kembali ke observatorium. Langit malam tampak berbeda—lebih gelap, tetapi juga lebih damai. Tidak ada lagi aurora, tidak ada lagi energi yang terhubung dengan dimensi waktu.
“Sudah selesai,” kata Dara pelan, menatap bintang-bintang. “Semua sudah berakhir.”
Eland menepuk pundaknya. “Arga akan bangga padamu, Dara. Kau telah melakukan hal yang benar.”
Dara mengangguk, meskipun air mata masih mengalir di pipinya. “Aku akan terus melanjutkan hidupku. Untuk Arga, untuk dunia ini, dan untuk diriku sendiri.”
Beberapa bulan kemudian, Dara menulis sebuah buku tentang aurora dan perjuangan Arga untuk melindungi dunia. Buku itu tidak menyebutkan detail tentang teknologi aurora, tetapi lebih fokus pada cinta dan pengorbanan yang tak pernah dia lupakan.
Di penghujung buku, dia menulis sebuah kalimat yang menjadi pengingat bagi dirinya sendiri:
“Cinta adalah jangkar waktu. Dan meskipun waktu memisahkan kita, cinta itu akan selalu hidup.”
Dara menutup buku itu dan menatap langit malam dari observatoriumnya. Meski Arga telah tiada, dia merasa kehadirannya masih ada, menyemangatinya untuk terus maju.
Dengan senyum kecil, Dara berbisik pada bintang-bintang, “Terima kasih, Arga. Kau akan selalu menjadi bagian dari hidupku.”
Langit malam tetap tenang, tetapi Dara tahu bahwa cinta mereka akan terus bersinar, seperti aurora yang tak berujung di dalam hatinya.
TAMAT.
Novel ini ditulis oleh Evi Fauzi, Penulis dari Novel Singkat . Baca juga novel romantis dan fiksi ilmiah lainnya.