Novel Singkat: Harmoni di Antara Bintang
Novel Singkat: Harmoni di Antara Bintang

Novel Singkat: Harmoni di Antara Bintang

Bab 1: Proyek Galaksi

Di tahun 2157, Bumi telah mencapai puncak kemajuan teknologi, tetapi juga berada di ambang kehancuran. Perubahan iklim, eksploitasi sumber daya, dan populasi yang terus meningkat membuat manusia harus mencari rumah baru di luar angkasa. Di tengah krisis ini, sebuah proyek ambisius bernama Proyek Galaksi dipimpin oleh ilmuwan muda bernama Dr. Aruna Kalista.

Aruna adalah seorang ahli fisika kuantum dengan pemikiran visioner. Dia memiliki dedikasi tinggi terhadap pekerjaannya, sebagian karena mimpi masa kecilnya untuk menjelajah bintang, dan sebagian lagi karena ayahnya, seorang astronot yang hilang saat misi luar angkasa bertahun-tahun lalu. Baginya, menyelesaikan teknologi perjalanan antar galaksi bukan hanya tentang menyelamatkan umat manusia, tetapi juga tentang mewujudkan janji kepada almarhum ayahnya.

Fasilitas penelitian tempat Aruna bekerja terletak di sebuah kota futuristik bernama Asterion, sebuah kompleks terapung yang melayang di atas Samudra Pasifik. Proyek ini didanai oleh Aliansi Global, organisasi internasional yang dibentuk untuk mengatasi masalah keberlanjutan umat manusia. Di fasilitas itu, para ilmuwan dan insinyur bekerja siang dan malam menciptakan mesin hyperdrive pertama yang dapat memungkinkan perjalanan melampaui kecepatan cahaya.

Aruna berdiri di depan mesin prototipe, yang diberi nama Stellar Nexus. Mesin itu berbentuk cincin besar yang memancarkan cahaya biru berdenyut seperti detak jantung. Aruna melaporkan kemajuan kepada timnya, menjelaskan bahwa mereka hanya tinggal beberapa langkah lagi untuk menguji coba mesin tersebut.

Namun, tidak semua berjalan mulus. Beberapa anggota dewan Aliansi Global mulai kehilangan kepercayaan karena keterlambatan proyek. Di sisi lain, tekanan dari pemerintah dunia semakin besar. Mereka ingin hasil cepat, sementara Aruna tahu bahwa satu kesalahan kecil dapat berakibat fatal, bukan hanya bagi proyeknya, tetapi juga bagi Bumi.

Ketegangan di ruang rapat terasa pekat. Aruna, yang biasanya tenang, mulai kehilangan kesabaran saat salah satu investor bertanya dengan nada sinis, “Berapa lama lagi kita harus menunggu? Apakah ini hanya proyek mimpi, Dr. Kalista?”

“Ini bukan mimpi, ini kebutuhan. Jika kita gagal, kita kehilangan kesempatan terakhir untuk bertahan hidup sebagai spesies,” jawab Aruna tegas.

Setelah rapat, Aruna kembali ke ruang kerjanya. Ia melihat foto ayahnya yang selalu ia letakkan di meja. “Aku akan menyelesaikan ini, Ayah,” gumamnya.

Namun malam itu, saat semua orang sudah pulang, sesuatu yang tak biasa terjadi. Sistem keamanan fasilitas mendeteksi energi aneh di luar perimeter. Sebuah sinyal asing, seperti suara berdengung, terdengar di seluruh area. Aruna, yang sedang lembur, berhenti bekerja dan melihat layar monitor.

“Ini… bukan dari Bumi,” gumamnya.

Sebuah pesan kode muncul di layar: “Unit tak dikenal terdeteksi di zona utara.”

Dengan rasa ingin tahu yang bercampur dengan ketakutan, Aruna memutuskan untuk pergi sendiri ke lokasi tersebut. Di tengah gelap malam dan hembusan angin dingin, ia menemukan sesuatu yang mengubah segalanya—sebuah kapsul logam asing tergeletak di tanah, mengeluarkan cahaya lembut.

Bab 2: Tamu Tak Diundang

Angin malam berhembus lembut di atas platform penelitian Asterion, tetapi malam itu terasa lebih dingin dari biasanya bagi Dr. Aruna Kalista. Ia berdiri beberapa meter dari kapsul logam asing yang bersinar redup di bawah sinar bulan. Permukaannya yang halus memantulkan cahaya biru, seolah-olah benda itu hidup. Sebagai ilmuwan, Aruna terbiasa dengan hal-hal luar biasa, tetapi ini… ini melampaui apa pun yang pernah ia bayangkan.

“Ini bukan dari Bumi…” gumamnya lagi, mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa ini bukan mimpi.

Tangannya gemetar saat ia mengaktifkan perangkat analisis di pergelangan tangannya. Perangkat itu segera memindai kapsul tersebut, tetapi hasilnya hanya menampilkan anomali data. Tidak ada logam atau senyawa yang cocok dengan elemen yang dikenal di tabel periodik. “Ini teknologi yang tidak kita miliki,” pikir Aruna.

Tiba-tiba, kapsul itu bergetar. Aruna mundur dengan cepat, jantungnya berpacu. Pintu kapsul perlahan terbuka, mengeluarkan uap tebal yang berpendar. Dari dalam, muncul sosok humanoid. Tingginya lebih dari dua meter, dengan kulit pucat kebiruan yang tampak seperti marmer hidup. Matanya memancarkan cahaya kehijauan yang lembut, sementara rambut putih keperakan menjuntai sampai bahunya. Sosok itu tampak terluka, memegang sisi tubuhnya yang berdarah dengan cairan berwarna ungu gelap.

Aruna terdiam. Ketakutan bercampur rasa ingin tahu membekukan tubuhnya. Sosok itu menatapnya, lalu berbicara dalam bahasa yang tidak bisa dimengerti—seperti alunan melodi yang penuh ritme, namun asing di telinga manusia.

“Siapa… kamu?” Aruna mencoba bertanya dengan suara pelan, meski tidak yakin sosok itu bisa memahami.

Sosok itu tampak kesulitan berdiri. Ia tersandung, hampir jatuh, tetapi Aruna dengan refleks menangkapnya. Kulitnya dingin, tetapi ada sesuatu yang menenangkan dalam sentuhan itu. “Kamu terluka,” ujar Aruna, meski tahu ia tak akan mendapat jawaban.

Dengan segera, Aruna memutuskan membawa sosok itu ke laboratoriumnya. Dia memasukkan perintah ke perangkat komunikasi di lengannya, menonaktifkan sistem keamanan agar tidak menarik perhatian orang lain. “Jika mereka tahu tentang ini, semuanya akan kacau,” pikirnya.

Di dalam lab pribadinya, Aruna bekerja keras membersihkan dan merawat luka makhluk itu. Ia menggunakan peralatan medis canggih, meski bahan kimia manusia tampak tidak begitu efektif. Tubuh alien itu perlahan beradaptasi, dan setelah beberapa jam, luka di tubuhnya mulai menutup sendiri.

Aruna memperhatikan sosok itu dengan hati-hati. Meski penampilannya aneh, ada sesuatu yang membuatnya terlihat… familier. Mungkin bentuk wajahnya yang menyerupai manusia, atau mungkin caranya bernapas perlahan seakan ia berusaha menenangkan diri.

Setelah beberapa waktu, makhluk itu membuka matanya dan menatap Aruna. Ia mencoba berbicara lagi, kali ini menggunakan nada yang lebih lambat, seolah berusaha menyelaraskan dirinya dengan Aruna.

“Aku tidak mengerti,” ujar Aruna, merasa frustrasi.

Namun, alien itu tiba-tiba mengangkat tangannya dan menyentuh perangkat komunikasi di meja Aruna. Dengan gerakan cekatan, ia memodifikasi sistem tersebut, memasukkan serangkaian kode yang tidak dikenali Aruna. Dalam hitungan detik, perangkat itu mulai mengeluarkan suara-suara yang aneh, hingga akhirnya, sebuah suara mekanis muncul.

“Nama saya Cael,” ujar perangkat itu dengan nada datar.

Aruna terpana. “Kamu… bisa bicara? Maksudku, melalui ini?”

Cael mengangguk perlahan. “Bahasa… berbeda. Aku adaptasi.”

“Darimana kamu berasal?” tanya Aruna, meski ratusan pertanyaan lain berlomba-lomba di pikirannya.

Cael tampak berpikir, lalu menjawab, “Aku dari galaksi yang jauh. Sistem bintang Aldirion. Kapalku rusak… Aku jatuh di sini.”

Aruna mencoba mencerna informasi itu. Ia pernah mendengar tentang Aldirion—sebuah sistem bintang yang diduga memiliki planet mirip Bumi, tetapi belum pernah dikonfirmasi. Apa yang dilakukan makhluk ini di Bumi? Dan mengapa ia tampak seperti sedang melarikan diri?

“Kenapa kamu datang ke sini? Apa kamu sendirian?” tanya Aruna lagi.

Ekspresi Cael berubah menjadi gelap. “Aku… dikejar. Mereka ingin… mengambil sesuatu dariku. Aku kabur untuk melindungi itu.”

Aruna menyipitkan mata. “Siapa ‘mereka’?”

Namun sebelum Cael sempat menjawab, alarm fasilitas berbunyi keras. Sistem keamanan mendeteksi pergerakan tak dikenal di sekitar perimeter. Aruna langsung menyadari bahwa ini bukan kebetulan.

“Mereka sudah sampai di sini,” ujar Cael, dengan nada dingin yang membuat bulu kuduk Aruna meremang.

“Siapa mereka? Apa yang mereka inginkan?” desak Aruna.

Cael berdiri meski tubuhnya masih lemah. “Mereka bukan manusia… dan mereka tidak akan berhenti sampai mendapatkan aku.”

Bab 3: Bahasa Tanpa Kata

Alarm terus menggema di seluruh fasilitas Asterion. Cahaya merah berkedip-kedip, memberikan suasana genting yang memacu adrenalin. Aruna memandang Cael, sosok asing yang kini tampak lebih tegas meski tubuhnya masih menunjukkan sisa-sisa luka. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukan, tetapi satu hal yang pasti: ancaman ini nyata.

“Cael, apa mereka datang untukmu?” tanya Aruna cepat.

Cael mengangguk. “Mereka adalah pemburu. Dari galaksiku… mereka ingin menangkapku dan merebut sesuatu yang kubawa.”

“Apa yang kamu bawa?” desak Aruna.

Namun, sebelum Cael sempat menjawab, suara robotik terdengar dari sistem keamanan pusat. “Pergerakan objek asing terdeteksi di perimeter utara. Level ancaman: tinggi.”

“Tidak ada waktu untuk menjelaskan. Kita harus pergi dari sini,” kata Cael, nada suaranya berubah menjadi tegas.

Aruna ragu. Fasilitas penelitian ini adalah tempat paling aman di Bumi, tetapi ancaman yang mereka hadapi jelas tidak berasal dari dunia ini. Ia hanya bisa berharap tim keamanan mampu menahan makhluk yang mengejar mereka. “Oke, ikut aku,” ujar Aruna sambil memimpin Cael ke lorong rahasia yang hanya diketahui oleh staf senior.

Setelah berhasil keluar dari fasilitas dan berlindung di salah satu kendaraan pribadi Aruna, keduanya akhirnya mendapat waktu untuk berbicara. Mobil otonom itu melaju melintasi lautan dengan kecepatan tinggi, meninggalkan Asterion yang perlahan tampak seperti titik kecil di kejauhan.

“Kita sudah cukup jauh. Sekarang jelaskan, Cael. Apa sebenarnya yang kamu bawa?” Aruna tidak bisa lagi menahan rasa ingin tahunya.

Cael memejamkan mata sejenak, lalu menjawab, “Aku membawa inti energi. Sumber daya yang dapat memecahkan masalah energi di galaksiku… atau menghancurkan galaksiku jika jatuh ke tangan yang salah.”

Aruna terkejut. Teknologi ini terdengar seperti mimpi bagi manusia. Sebuah inti energi yang tak terbatas berarti tidak ada lagi ketergantungan pada bahan bakar fosil, tidak ada lagi krisis energi. Namun, ia juga bisa membayangkan bagaimana teknologi ini dapat disalahgunakan.

“Jadi, para pemburu itu ingin merebut inti energi itu?” tanya Aruna.

“Ya,” jawab Cael singkat. “Dan jika mereka mendapatkannya, mereka tidak hanya akan menghancurkan galaksiku, tetapi juga menemukan cara untuk menjangkau galaksi lain… termasuk milikmu.”

Mendengar itu, Aruna merasa perutnya mual. Tiba-tiba, masalah yang dihadapinya terasa jauh lebih besar dari sekadar proyek penelitian. Ini bukan lagi tentang menyelamatkan umat manusia dari krisis energi, tetapi tentang menyelamatkan seluruh Bumi dari ancaman yang belum pernah mereka hadapi sebelumnya.

Namun, sebelum ia bisa berkata apa-apa lagi, kendaraan otonom mereka tiba-tiba berhenti mendadak. Sistem navigasi menampilkan peringatan: “Obstruksi tak dikenal terdeteksi.”

“Tidak mungkin…” gumam Aruna.

Di depan mereka, sebuah pesawat berbentuk oval melayang di udara. Warnanya hitam pekat, hampir menyatu dengan kegelapan malam, kecuali pola-pola bercahaya merah di permukaannya. Pesawat itu terlihat seperti sesuatu yang keluar dari mimpi buruk. Pintu pesawat terbuka, dan tiga sosok humanoid muncul, tetapi berbeda dengan Cael. Mereka memiliki kulit hitam berkilau, mata merah menyala, dan gerakan kaku seperti robot.

“Mereka menemukanku,” bisik Cael.

Aruna menatapnya, ketakutan bercampur kebingungan. “Apa yang mereka inginkan darimu? Hanya inti energi itu?”

Cael menatap lurus ke arah makhluk-makhluk itu. “Mereka tidak hanya ingin inti energiku. Mereka ingin membuatku contoh… sebuah pesan bahwa tidak ada yang bisa melawan mereka.”

Salah satu makhluk itu mengeluarkan suara melengking yang membuat telinga Aruna berdengung. Suara itu bukan sekadar suara—ia bisa merasakan otaknya seperti dipenuhi pesan. Seolah makhluk itu mencoba berkomunikasi melalui pikirannya.

“Serahkan inti energi atau Bumi hancur,” suara itu bergema di kepala Aruna. Ia memegangi kepalanya, merasa pusing, tetapi segera sadar bahwa makhluk itu tidak hanya bicara padanya, melainkan pada Cael.

“Aku tidak akan menyerahkan apa pun,” jawab Cael dengan nada dingin.

Seketika, salah satu makhluk itu mengarahkan senjata yang memancarkan cahaya merah ke arah mereka. Namun, sebelum sempat menembak, Cael bergerak lebih cepat dari yang bisa Aruna tangkap dengan matanya. Dalam hitungan detik, ia sudah berada di depan makhluk itu, menjatuhkannya dengan kekuatan yang luar biasa.

Pertarungan singkat tetapi brutal terjadi. Cael bergerak dengan kecepatan dan kelincahan yang mustahil untuk manusia. Aruna hanya bisa menyaksikan, tubuhnya membeku oleh ketakutan. Akhirnya, ketika semua makhluk itu berhasil dikalahkan, pesawat mereka melarikan diri, meninggalkan medan pertempuran.

Cael kembali ke kendaraan dengan napas berat. Luka di tubuhnya kembali terbuka, dan kali ini tampak lebih serius. Aruna, masih gemetar, langsung meraih peralatan medisnya.

“Kamu gila,” katanya sambil membersihkan luka Cael. “Kita tidak bisa terus seperti ini. Kamu perlu tempat aman. Kita perlu rencana.”

Cael menatapnya dengan mata yang penuh keseriusan. “Aku tidak ingin melibatkanmu dalam ini, Aruna. Tapi sekarang kamu sudah tahu terlalu banyak. Mereka akan mencarimu juga.”

Aruna menghela napas panjang. Di tengah ketakutan dan kebingungan, ia tahu satu hal: ia tidak bisa meninggalkan Cael. Tidak setelah semua yang ia lihat, dan tidak setelah memahami betapa pentingnya inti energi yang dibawanya.

“Kalau begitu kita harus melawan bersama,” kata Aruna dengan suara tegas. “Aku tidak akan membiarkan mereka menghancurkan planet ini.”

Cael tersenyum tipis, sebuah ekspresi yang aneh bagi wajah aliennya. “Kamu lebih berani daripada yang aku kira.”

Bab 4: Rahasia di Antara Bintang

Aruna dan Cael akhirnya menemukan tempat persembunyian di sebuah laboratorium tua di pinggiran kota bawah laut, salah satu fasilitas penelitian yang sudah lama ditinggalkan oleh pemerintah setelah dianggap usang. Lokasinya tersembunyi dan jauh dari pantauan satelit, cocok untuk sementara waktu berlindung dari pemburu yang terus memburu Cael.

Di dalam laboratorium, Aruna mulai mengatur ulang peralatan yang masih berfungsi, mencoba menciptakan lingkungan yang layak untuk bekerja. Sementara itu, Cael duduk di sudut ruangan, memperbaiki perangkat kecil berbentuk seperti bola logam yang ia bawa sejak pertama kali ditemukan di kapsulnya.

“Kamu belum menjelaskan semuanya,” kata Aruna, memecah keheningan. Suaranya terdengar tegas namun tidak menghakimi. “Apa sebenarnya inti energi yang kamu bawa itu, dan kenapa mereka begitu menginginkannya?”

Cael menatapnya sejenak, kemudian menghela napas pelan. “Inti energi ini bukan sekadar sumber daya. Ia adalah… bagian dari jantung kehidupan galaksiku, Aldirion.”

“Jantung kehidupan?” Aruna mengerutkan kening, mencoba memahami maksudnya.

Cael melanjutkan, “Aldirion adalah galaksi yang memiliki kehidupan melimpah karena energi ini. Inti energi ini seperti pusat jaringan kehidupan yang menghubungkan planet-planet dan memastikan stabilitas ekosistem di seluruh sistem bintang. Tanpanya, semua planet di Aldirion akan perlahan mati.”

Aruna terdiam, mencerna informasi yang baru saja ia dengar. Inti energi ini tidak hanya memiliki fungsi ilmiah, tetapi juga biologis. “Tapi kenapa kamu membawanya ke sini? Bukankah itu berisiko besar?”

Wajah Cael berubah gelap. “Aku tidak punya pilihan. Pemerintah galaksiku jatuh ke tangan kelompok bernama Exion. Mereka menganggap inti energi ini sebagai senjata untuk mendominasi sistem lain, bukan sebagai alat kehidupan. Aku mencurinya dan melarikan diri untuk menyelamatkan galaksiku… dan galaksi lainnya.”

Aruna menggeleng tak percaya. “Jadi, inti energi ini bisa digunakan sebagai senjata?”

“Jika disalahgunakan, ya,” jawab Cael dengan nada penuh penyesalan. “Ia dapat menghasilkan ledakan yang cukup besar untuk menghancurkan planet… bahkan mungkin sebuah sistem bintang.”

Aruna merasa mual. Ia membayangkan apa yang akan terjadi jika teknologi semacam itu jatuh ke tangan manusia. Selama ini, umat manusia sudah cukup merusak Bumi dengan senjata-senjata mereka. Apalagi jika mereka mendapatkan sesuatu seperti ini.

“Kamu sadar, jika mereka menemukan kita, mereka tidak hanya akan memburu inti itu, tetapi juga menghancurkan semua yang ada di sekitar kita,” kata Aruna serius.

Cael mengangguk. “Itu sebabnya aku harus segera memperbaiki pesawatku dan membawa inti ini kembali ke Aldirion. Tapi aku butuh waktu… dan bantuanmu.”

Aruna mendesah berat. Ia tahu, dengan membantunya, ia tidak hanya mempertaruhkan hidupnya tetapi juga melibatkan umat manusia dalam konflik yang lebih besar. Namun, ia tidak bisa mengabaikan tanggung jawabnya sebagai ilmuwan dan manusia. “Baiklah. Tapi aku ingin tahu satu hal lagi. Apakah hanya inti energi ini yang menjadi masalah, atau ada sesuatu yang lain yang kamu sembunyikan?”

Wajah Cael menjadi semakin muram. Ia menunduk sejenak sebelum menjawab, “Ada alasan lain kenapa aku melarikan diri… sesuatu yang lebih besar dari inti energi ini.”

Aruna menatapnya penuh rasa ingin tahu. “Apa itu?”

Cael mengangkat bola logam kecil yang sejak tadi ia perbaiki. “Ini adalah Nexus, perangkat yang dapat membuka pintu ke dimensi lain. Exion ingin menggunakan inti energi ini untuk memperluas kekuasaan mereka melampaui batas galaksi Aldirion, bahkan mungkin ke dimensi lain. Aku membawanya pergi agar mereka tidak pernah berhasil.”

Mata Aruna membesar. “Dimensi lain? Kamu serius?”

“Sepenuhnya serius,” jawab Cael. “Nexus adalah teknologi kuno yang ditemukan di Aldirion. Ia memiliki potensi untuk menciptakan jembatan ke realitas yang berbeda. Tapi jika digunakan dengan cara yang salah, ia dapat merusak struktur ruang-waktu.”

Aruna merasakan jantungnya berdegup lebih cepat. Jika apa yang dikatakan Cael benar, maka bahaya ini jauh lebih besar dari yang ia bayangkan. Nexus bukan hanya ancaman bagi galaksi Aldirion, tetapi juga bagi seluruh alam semesta.

Ketegangan meningkat ketika malam itu, sinyal dari perangkat komunikasi Aruna menangkap pesan aneh. Pesan itu berupa kode-kode yang tidak dikenali, tetapi setelah dianalisis, ternyata berasal dari Asterion. Salah satu tim keamanan berhasil menemukan jejak mereka.

“Bagaimana mereka bisa melacak kita?” tanya Aruna panik.

Cael melihat Nexus di tangannya. “Mereka tidak melacakmu. Mereka melacak ini.”

Aruna menggeleng. “Kita tidak bisa terus bersembunyi. Kita harus menemukan cara untuk melawan mereka.”

“Tapi kamu tidak punya senjata untuk melawan mereka,” kata Cael. “Teknologi di sini tidak cukup untuk menghadapi mereka.”

Aruna terdiam sejenak, lalu berkata, “Tidak, tapi kita punya otak. Kita bisa menciptakan sesuatu.”

Cael menatapnya, lalu tersenyum tipis. “Kamu manusia yang sangat keras kepala. Tapi aku suka semangatmu.”

Bab 5: Percikan Harmoni

Pagi di laboratorium tua itu terasa sunyi, hanya diisi oleh suara dengungan perangkat yang sedang dipasang oleh Aruna. Laboratorium tersebut kini telah berubah menjadi tempat pertempuran ide, di mana Aruna dan Cael bekerja sama menciptakan sesuatu yang dapat melindungi mereka dari ancaman Exion.

Cael, meskipun terluka, menunjukkan pengetahuan teknis yang luar biasa. Ia tidak hanya memahami teknologi Aldirion tetapi juga mampu beradaptasi dengan teknologi manusia. Aruna, yang sebelumnya ragu-ragu dengan kehadiran makhluk asing itu, kini mulai menyadari bahwa mereka memiliki banyak kesamaan, terutama dalam cara mereka memandang ilmu pengetahuan sebagai kunci untuk menyelamatkan kehidupan.

“Aku butuh logam lebih kuat untuk memperkuat inti pelindung Nexus ini,” kata Cael sambil memegang perangkat berbentuk bola itu. “Logam di Bumi terlalu rapuh.”

Aruna mengangguk. “Kita punya beberapa cadangan di bagian penyimpanan bawah. Tapi butuh waktu untuk mengaksesnya. Sistem pengaman di fasilitas ini sudah lama rusak.”

“Aku akan membantumu,” kata Cael tegas.

Saat mereka bekerja bersama, suasana antara mereka mulai berubah. Aruna tidak lagi merasa gugup atau takut terhadap Cael. Sebaliknya, ia mulai merasa nyaman. Ada sesuatu dalam cara Cael berbicara dan bertindak—ketenangan, kesabaran, dan kepercayaannya pada Aruna—yang perlahan membuatnya melihat makhluk ini bukan hanya sebagai alien, tetapi juga sebagai sekutu, mungkin lebih.

Ketika Aruna mengangkat salah satu panel perangkat, tangannya hampir jatuh karena beratnya. Cael dengan sigap menahannya dari belakang, membuat tubuh mereka hampir bersentuhan.

“Kamu baik-baik saja?” tanya Cael sambil menatap Aruna.

Aruna sedikit gugup, lalu mengangguk. “Aku baik-baik saja. Terima kasih.”

Ada jeda di antara mereka. Aruna merasa jantungnya berdegup lebih cepat dari biasanya. Tidak mungkin, pikirnya. Ia tidak mungkin merasa seperti ini terhadap makhluk dari galaksi lain. Namun, setiap kali ia menatap mata hijau Cael yang berpendar lembut, ia merasa ada sesuatu yang lebih dalam dari sekadar perbedaan fisik. Ada rasa kemanusiaan yang ia lihat di sana.

Setelah beberapa jam bekerja keras, mereka akhirnya berhasil membuat pelindung sementara untuk Nexus. Perangkat itu kini memiliki lapisan logam khusus yang memungkinkannya menyembunyikan sinyal energinya dari pelacak Exion. Namun, masalah baru muncul. Prototipe itu terlalu berat untuk dipasang di pesawat Cael, yang masih dalam keadaan rusak.

“Kita butuh waktu lebih lama untuk memperbaiki pesawatku,” kata Cael dengan nada frustasi. “Sementara itu, mereka pasti sedang mempersempit lokasi kita.”

Aruna menghela napas. “Kalau begitu, kita harus berpikir di luar kotak. Mungkin kita bisa menggunakan sesuatu dari Bumi untuk melawan mereka.”

“Seperti apa?” tanya Cael, tertarik.

Aruna berjalan ke salah satu rak dan mengambil prototipe senjata energi yang ditinggalkan di laboratorium ini. “Ini adalah Proton Accelerator. Teknologi ini masih eksperimental, tapi jika aku bisa menggabungkannya dengan Nexus, kita mungkin bisa menciptakan senjata yang cukup kuat untuk menahan mereka.”

Cael menatap perangkat itu dengan ragu. “Menggabungkan teknologi manusia dengan Nexus bisa sangat berbahaya. Struktur energi Nexus tidak stabil jika diganggu. Kamu tahu risikonya, kan?”

Aruna mengangguk. “Aku tahu. Tapi kita tidak punya pilihan lain. Jika kita terus bersembunyi tanpa melawan, mereka akan menemukan kita, dan saat itu terjadi, semuanya akan berakhir.”

Melihat tekad di mata Aruna, Cael akhirnya setuju. Mereka mulai bekerja tanpa henti, menggabungkan Proton Accelerator dengan Nexus, menciptakan senjata pertama yang memadukan teknologi manusia dan Aldirion. Sementara itu, di sela-sela pekerjaan mereka, percakapan kecil mulai mengisi ruang laboratorium.

“Apa yang membuatmu memilih melawan Exion sendirian?” tanya Aruna suatu malam, saat mereka beristirahat sejenak.

Cael terdiam beberapa saat sebelum menjawab. “Karena aku percaya bahwa tidak ada satu pun kekuatan yang berhak memonopoli kehidupan di galaksi. Exion ingin menguasai semuanya, mengorbankan planet-planet yang lemah demi kekuasaan mereka. Aku tidak bisa membiarkan itu.”

Aruna tersenyum tipis. “Kamu lebih manusiawi daripada kebanyakan manusia yang aku kenal.”

Cael menatapnya dengan rasa ingin tahu. “Kamu bilang manusia suka menghancurkan diri mereka sendiri. Tapi kenapa kamu berbeda? Kenapa kamu memilih melawan bersamaku?”

Aruna memandang Cael dalam-dalam. “Karena aku percaya bahwa ilmu pengetahuan harus digunakan untuk melindungi, bukan menghancurkan. Sama seperti kamu.”

Mereka berdua terdiam sesaat. Ada keheningan yang nyaman di antara mereka, tetapi juga sebuah ketegangan yang tidak bisa dijelaskan. Aruna merasa hatinya berdebar lagi, tetapi ia memilih mengabaikannya. Tidak mungkin ada sesuatu di antara mereka, pikirnya. Namun, bagian lain dari dirinya merasa bahwa mungkin, hanya mungkin, mereka adalah dua jiwa yang ditakdirkan bertemu di tengah kekacauan ini.

Namun, ketenangan itu tidak berlangsung lama. Sistem keamanan di laboratorium tiba-tiba menyala, memperingatkan adanya objek asing yang mendekat. Kamera menunjukkan pesawat Exion sedang melayang di atas lokasi mereka.

“Mereka menemukan kita,” kata Cael dengan nada dingin.

Aruna meraih senjata yang baru saja mereka ciptakan. “Kita tidak akan lari lagi. Kita melawan.”

Bab 6: Ancaman di Depan Mata

Langit di atas laboratorium tua itu berubah menjadi gelap. Pesawat Exion melayang rendah, membayangi tempat persembunyian Aruna dan Cael. Suara mekanis dari pesawat itu menggema, diiringi dengan lampu merah yang berputar-putar, memberikan suasana mencekam. Aruna merasakan jantungnya berdegup kencang, tetapi ia menggenggam senjata yang baru mereka ciptakan dengan erat.

“Kita tidak punya banyak waktu,” kata Cael, suaranya tegas namun tenang. “Mereka tidak akan ragu menghancurkan tempat ini.”

“Berapa banyak yang akan datang?” tanya Aruna, mencoba menyusun strategi di tengah ketegangan.

“Sulit diprediksi,” jawab Cael. “Tapi jika mereka mengirimkan pesawat sebesar itu, kemungkinan ada puluhan pasukan di dalamnya.”

Aruna menggigit bibirnya. Ia bukan prajurit, ia hanya seorang ilmuwan. Namun, di saat genting seperti ini, ia tahu bahwa pilihan untuk bertarung adalah satu-satunya cara untuk melindungi Nexus, Bumi, dan dirinya sendiri.


Pintu pesawat Exion terbuka, dan dari dalamnya muncul pasukan berbaju logam hitam dengan senjata yang memancarkan cahaya merah menyala. Mereka bergerak cepat dan terorganisir, menyebar ke seluruh area laboratorium. Salah satu dari mereka mengeluarkan perangkat bulat yang mengeluarkan sinyal sonar, mencoba mendeteksi posisi Cael dan Aruna.

“Lakukan apa yang aku katakan,” bisik Cael sambil menatap Aruna dengan serius. “Ambil Nexus dan senjata itu, lalu bersembunyi di ruangan bawah tanah. Aku akan mengalihkan perhatian mereka.”

“Tidak, aku tidak akan meninggalkanmu sendirian,” protes Aruna. “Kita berdua tahu mereka tidak akan berhenti sampai mereka mendapatkan apa yang mereka inginkan.”

Cael tersenyum tipis, senyum yang penuh kehangatan meskipun situasinya begitu genting. “Kamu manusia yang keras kepala. Tapi baiklah, kita akan melawan bersama.”

Mereka menyusun strategi cepat. Cael akan menyerang dari depan untuk menarik perhatian pasukan Exion, sementara Aruna menggunakan senjata Proton Accelerator untuk melindungi Nexus dari jarak aman. Mereka juga menyiapkan jebakan energi di beberapa titik laboratorium, memanfaatkan teknologi lama yang masih bisa diaktifkan.

Serangan pertama datang tanpa peringatan. Pasukan Exion mulai menembakkan senjata mereka, menghancurkan dinding dan pintu laboratorium. Aruna bersembunyi di balik konsol besar, menggenggam senjata dengan tangan gemetar. Dari kejauhan, ia melihat Cael melompat ke tengah-tengah pasukan itu dengan kecepatan luar biasa.

Cael bertarung dengan cara yang tidak pernah Aruna bayangkan. Tubuhnya bergerak dengan kelincahan yang tak mungkin dimiliki manusia. Dalam hitungan detik, ia berhasil melumpuhkan tiga pasukan Exion, menggunakan keunggulan fisiknya untuk menyerang mereka dari sudut-sudut tak terduga.

Namun, jumlah pasukan Exion terlalu banyak. Mereka segera menyadari ancaman dari Cael dan mulai menyerangnya secara bersamaan. Meski Cael berusaha menghindar, sebuah tembakan mengenai bahunya, membuatnya terjatuh.

“Cael!” teriak Aruna.

Ia tahu ia harus bertindak. Dengan nekat, ia keluar dari persembunyiannya dan menembakkan Proton Accelerator ke arah pasukan Exion. Senjata itu mengeluarkan semburan energi biru yang menghancurkan salah satu pasukan dalam sekejap. Namun, dampaknya juga memantul ke sekitarnya, membuat beberapa alat di laboratorium meledak.

“Aruna, hati-hati! Energinya tidak stabil!” teriak Cael sambil bangkit perlahan.

“Saat ini aku tidak peduli!” jawab Aruna, berusaha mengendalikan senjata itu dengan lebih hati-hati.

Tembakan demi tembakan dilancarkan oleh Aruna, sementara Cael kembali bergabung dalam pertempuran. Mereka berdua bertarung dalam harmoni, seolah-olah sudah lama bekerja sama. Cael melindungi Aruna dari jarak dekat, sementara Aruna memberikan serangan jarak jauh yang menghancurkan.

Namun, situasi menjadi semakin buruk ketika salah satu pemimpin pasukan Exion muncul. Makhluk itu jauh lebih besar, dengan armor yang tampak tidak bisa ditembus. Ia membawa senjata berbentuk tombak energi, dan setiap kali ia menyerang, lantai laboratorium retak akibat kekuatannya.

“Kamu pikir kamu bisa melarikan diri dariku, Cael?” suara makhluk itu berat dan mengintimidasi. “Aku sudah mengejarmu melintasi galaksi. Tidak ada tempat lagi untukmu bersembunyi.”

Cael menggeram. “Kamu tidak akan pernah mendapatkan Nexus, Zareth.”

“Lihat sekelilingmu,” jawab Zareth sambil mengayunkan tombaknya. “Kamu kalah jumlah, kalah kekuatan. Serahkan Nexus, dan aku mungkin akan menyelamatkan teman manusiamu.”

Aruna menatap Cael, melihat keraguan singkat di matanya. Ia tahu Cael mempertimbangkan kata-kata itu, tetapi ia juga tahu bahwa menyerahkan Nexus berarti menghancurkan segalanya.

“Jangan dengarkan dia!” teriak Aruna. “Kita bisa melawan. Bersama.”

Zareth tertawa sinis. “Kamu terlalu percaya diri, manusia.”

Namun, di saat Zareth lengah, Aruna menggunakan seluruh keberaniannya untuk menembakkan Proton Accelerator langsung ke arahnya. Energi biru itu mengenai Zareth dengan keras, membuatnya terhuyung mundur. Namun, tombaknya memantulkan sebagian energi itu, menciptakan ledakan besar yang membuat seluruh ruangan bergetar.

“Aruna, keluar dari sini sekarang!” teriak Cael sambil menyeret Aruna ke arah pintu belakang.

“Tapi—”

“Tidak ada tapi!” potong Cael. “Aku akan menahan mereka. Kamu harus melindungi Nexus.”

Dengan berat hati, Aruna akhirnya berlari keluar dari laboratorium, membawa Nexus di tangannya. Ia tahu bahwa ini mungkin terakhir kalinya ia melihat Cael, tetapi ia juga tahu bahwa ini adalah satu-satunya cara untuk menyelamatkan Bumi.

Bab 7: Pengkhianatan di Dalam Tim

Aruna terus berlari dengan Nexus di genggamannya. Napasnya terengah-engah, tetapi ia tidak berhenti. Laboratorium di belakangnya kini berubah menjadi medan perang yang memekakkan telinga. Ia tahu Cael masih berada di sana, bertarung melawan pasukan Exion dan pemimpin mereka, Zareth. Namun, sesuatu di dalam dirinya memberitahu bahwa bahaya yang lebih besar masih mengintainya.

Setelah menempuh perjalanan selama beberapa jam, Aruna tiba di sebuah bunker bawah tanah, tempat penyimpanan rahasia yang pernah digunakan fasilitas Asterion untuk eksperimen terlarang. Bunker ini tersembunyi di dalam jurang yang dipenuhi reruntuhan bangunan tua, terlindung dari pantauan radar apa pun.

Aruna membuka pintu bunker menggunakan kode akses kuno yang hampir ia lupakan. Saat pintu itu terbuka, ia segera masuk dan mengunci diri di dalam. Ruangan itu dingin, penuh dengan debu dan peralatan usang yang sudah ditinggalkan. Ia meletakkan Nexus di meja logam, lalu menjatuhkan dirinya di kursi, mencoba menenangkan diri.

“Cael…” bisiknya pelan, berharap ia baik-baik saja.


Beberapa jam berlalu. Aruna mencoba mengatur strategi untuk melindungi Nexus sekaligus mencari cara untuk kembali membantu Cael. Namun, saat ia sedang menganalisis energi Nexus, layar komputernya tiba-tiba menampilkan pesan masuk. Pesan itu berasal dari fasilitas Asterion.

“Dr. Aruna, ini aku, Dr. Rian. Kamu di mana? Kami melihat ada serangan di laboratorium tua. Apa kamu selamat?”

Aruna tertegun. Dr. Rian adalah salah satu koleganya di proyek Stellar Nexus. Mereka pernah bekerja bersama selama bertahun-tahun, dan ia selalu menganggap Rian sebagai teman dekat. Namun, bagaimana ia tahu tentang serangan itu?

Aruna segera membalas pesan itu. “Aku selamat. Aku di tempat aman. Tapi bagaimana kamu tahu soal serangan itu?”

Jawaban Rian muncul beberapa detik kemudian. “Kami menerima laporan dari sistem keamanan yang sempat aktif di laboratorium tua. Kami melihat pergerakan pasukan asing. Apa kamu bersama mereka?”

Aruna berpikir sejenak. Ia tidak yakin bisa mempercayai Rian sepenuhnya, tetapi ia butuh bantuan. Akhirnya, ia memutuskan untuk memberitahunya sebagian kebenaran. “Aku bersama seseorang… alien dari galaksi lain. Mereka sedang memburu sesuatu yang disebut Nexus. Aku mencoba melindunginya.”

Pesan balasan Rian muncul cepat. “Kamu tidak sendirian, Aruna. Kembali ke Asterion. Kami bisa membantumu.”

Aruna merasa ragu. Ia ingin percaya pada Rian, tetapi nalurinya mengatakan bahwa ada sesuatu yang tidak beres. Namun, sebelum ia bisa memutuskan, suara langkah kaki terdengar dari luar bunker. Langkah itu berat, penuh kehati-hatian, tetapi juga cukup keras untuk membuat bulu kuduknya berdiri.

Ia langsung mematikan komputer dan mengambil senjata Proton Accelerator. Dengan hati-hati, ia berjalan mendekati pintu. “Siapa di sana?” tanyanya tegas.

Tidak ada jawaban. Namun, suara langkah itu terus mendekat. Aruna mempersiapkan diri, siap menembak siapa pun yang berani masuk. Ketika pintu bunker terbuka, ia melihat sosok yang tak ia duga—Dr. Rian.

“Rian? Bagaimana kamu bisa di sini?” tanya Aruna, bingung dan curiga.

Rian tersenyum kecil. “Kami melacakmu melalui perangkat komunikasi yang kamu gunakan. Aku datang untuk membantumu.”

Aruna menurunkan senjatanya sedikit, tetapi masih menjaga jarak. “Kenapa kamu membahayakan dirimu untuk datang ke sini?”

“Aku peduli padamu, Aruna,” kata Rian dengan nada meyakinkan. “Dan aku peduli pada proyek ini. Jika Nexus benar-benar sekuat yang kamu katakan, kita harus melindunginya bersama-sama.”

Namun, ada sesuatu dalam cara Rian berbicara yang membuat Aruna merasa tidak nyaman. Tatapannya terlalu tenang, terlalu terkendali, seolah-olah ia menyembunyikan sesuatu. Aruna mulai menyadari bahwa ia tidak membawa peralatan apa pun, hanya sebuah perangkat kecil yang disembunyikan di balik jaketnya.

“Apa itu?” tanya Aruna sambil menunjuk perangkat tersebut.

Rian tampak terkejut, tetapi dengan cepat menguasai dirinya. “Ini? Oh, hanya alat pelacak. Untuk memastikan kita bisa kembali ke Asterion dengan selamat.”

Aruna memutar otaknya. Sesuatu tidak beres. Jika ini hanya alat pelacak, kenapa ia merasa sinyal di Nexus mulai berubah sejak Rian tiba? Ia segera memindai Nexus menggunakan perangkat komputernya, dan yang ia temukan membuat darahnya membeku.

Seseorang sedang mencoba meretas Nexus.

“Kamu mengkhianatiku,” ujar Aruna dengan nada rendah, tetapi penuh kemarahan.

Wajah Rian berubah serius. “Kamu tidak mengerti, Aruna. Nexus bukan milikmu, bukan milik alien itu. Ini adalah kesempatan bagi umat manusia untuk mengambil alih galaksi.”

Aruna mundur perlahan, mengangkat senjatanya lagi. “Jadi kamu bekerja untuk siapa? Exion?”

Rian tertawa kecil. “Exion hanya alat, Aruna. Aku bekerja untuk pihak yang jauh lebih besar dari itu. Aliansi Global ingin Nexus, dan aku hanya menjalankan perintah.”

“Kamu menjual Bumi demi kekuasaan mereka?” teriak Aruna, kecewa sekaligus marah. “Kamu tahu teknologi ini bisa menghancurkan segalanya!”

“Justru karena itu kami membutuhkannya. Dengan Nexus, manusia akan menjadi kekuatan terbesar di alam semesta,” balas Rian dengan nada dingin.

Saat itu, pintu bunker kembali terbuka. Pasukan Exion masuk dengan senjata terangkat, dipimpin oleh Zareth. Rian berdiri di antara mereka, menunjukkan senyum kemenangan.

“Kamu sudah kalah, Aruna,” kata Rian. “Serahkan Nexus, dan mungkin kami akan membiarkanmu hidup.”

Aruna menggenggam senjatanya lebih erat. Ia tahu ia tidak punya banyak waktu. Dengan cepat, ia menyalakan Nexus, mengaktifkan energi pelindungnya yang baru saja ia sempurnakan. Cahaya biru terang memenuhi ruangan, membuat pasukan Exion mundur sejenak.

“Kamu tidak akan pernah mendapatkannya!” teriak Aruna sebelum melepaskan tembakan besar dari Proton Accelerator.

Bab 8: Melawan Waktu

Kegelapan menyelimuti ruangan setelah ledakan besar di bunker. Debu memenuhi udara, membuat Aruna terbatuk-batuk. Ia meraba-raba dalam kegelapan, mencoba menemukan jalan keluar. Telinganya berdenging akibat ledakan tadi, tetapi ia tahu satu hal: ia harus segera pergi sebelum musuh pulih.

Di balik kehancuran itu, Nexus tetap bersinar lembut di genggamannya, seolah menjadi satu-satunya cahaya di tengah situasi yang kelam. Energi dari Nexus membuat medan pelindung singkat yang menyelamatkannya dari ledakan, tetapi ia tahu efek itu tidak akan bertahan lama.

Aruna mendengar suara langkah-langkah berat mendekat. Pasukan Exion mulai bangkit dari reruntuhan. Ia bergegas menuju lorong sempit di belakang bunker, berharap bisa keluar tanpa terdeteksi. Namun, pikirannya masih dihantui oleh pengkhianatan Dr. Rian.

“Aliansi Global ingin Nexus.”

Kata-kata itu terus terngiang di kepalanya. Ia tidak pernah menduga bahwa organisasi yang selama ini mendanai proyek ilmiah terbesar umat manusia ternyata memiliki agenda tersembunyi. Mereka tidak peduli pada penyelamatan umat manusia—mereka hanya peduli pada kekuasaan.

Aruna berlari secepat yang ia bisa, tetapi pikirannya terus memikirkan Cael. Apakah ia masih hidup? Apakah ia berhasil selamat dari serangan Zareth di laboratorium? Atau… apakah ia telah dikalahkan?

Di luar bunker, Aruna berhasil mencapai kendaraan lamanya yang tersembunyi di balik reruntuhan. Ia mengaktifkannya dengan cepat dan meluncur ke arah hutan lebat yang tidak jauh dari sana. Ia tahu lokasi ini tidak cukup aman, tetapi untuk saat ini, itu adalah satu-satunya pilihan.

Saat kendaraan melaju, Aruna mencoba menghubungi perangkat komunikasi cadangannya, berharap bisa mendapatkan sinyal. Setelah beberapa kali percobaan, suara lemah akhirnya terdengar.

“Aruna… kamu di mana?” Itu suara Cael.

“Cael! Kamu selamat!” Aruna merasa lega, hampir menangis.

“Aku berhasil keluar, tapi mereka masih mengejarku,” jawab Cael, suaranya terdengar lelah. “Aku tahu di mana kamu berada. Aku akan bertemu denganmu.”

“Tidak, jangan ke sini!” kata Aruna cepat. “Rian bekerja dengan mereka. Dia bisa melacak Nexus. Aku tidak bisa mengambil risiko mereka menemukanku.”

“Terlalu berbahaya bagimu sendirian,” balas Cael. “Kita harus tetap bersama.”

Aruna terdiam. Ia tahu Cael benar, tetapi ia juga tidak ingin menarik perhatian lebih banyak musuh. Akhirnya, ia memberikan koordinat rahasia di hutan tempat ia akan bersembunyi, berharap Cael bisa sampai sebelum pasukan Exion atau Rian menemukan mereka.


Beberapa jam kemudian, di tengah kegelapan hutan, Aruna mendengar suara langkah mendekat. Ia meraih senjatanya, bersiap menghadapi siapa pun yang datang. Namun, ketika sosok itu muncul dari balik pepohonan, ia merasa lega. Itu adalah Cael. Tubuhnya penuh luka, tetapi ia masih berdiri tegak, dengan tatapan tegas yang tidak berubah.

“Kamu baik-baik saja?” tanya Cael, menghampirinya.

“Aku selamat, tapi kita punya masalah besar,” jawab Aruna. Ia segera menjelaskan tentang pengkhianatan Rian dan bagaimana Aliansi Global menginginkan Nexus untuk tujuan mereka sendiri.

Wajah Cael mengeras. “Aku sudah menduga. Itulah sebabnya teknologi seperti Nexus tidak boleh jatuh ke tangan siapa pun, tidak peduli seberapa besar mereka mengklaim melakukannya untuk kebaikan.”

“Tapi sekarang kita dikejar oleh dua pihak,” kata Aruna. “Exion dan Aliansi Global. Kita tidak punya tempat aman lagi.”

Cael terdiam sejenak, lalu berkata, “Ada satu cara untuk mengakhiri ini.”

“Apa itu?” tanya Aruna, penasaran.

“Kita harus mengaktifkan Nexus sepenuhnya,” jawab Cael. “Jika aku bisa memodifikasi Nexus untuk menciptakan jembatan ke dimensi lain, aku bisa memindahkannya ke tempat yang tidak bisa dijangkau oleh siapa pun.”

Aruna terkejut. “Kamu ingin membawa Nexus ke dimensi lain? Itu gila! Bagaimana kalau kita tidak bisa kembali? Bagaimana kalau itu justru membuka jalan bagi Exion untuk menyerang dimensi lain?”

Cael menatapnya dengan serius. “Itu risiko yang harus kita ambil. Kalau Nexus tetap di sini, perang ini tidak akan pernah berakhir. Setiap pihak akan terus berusaha merebutnya, dan itu akan menghancurkan segalanya, termasuk Bumi.”

Aruna merasa dilema. Ia tahu Cael benar, tetapi ide itu terlalu berbahaya. Nexus adalah teknologi yang melampaui pemahaman manusia. Jika sesuatu salah, mereka bisa menciptakan kehancuran yang lebih besar.

“Tapi bagaimana denganmu?” tanya Aruna pelan. “Kalau kamu membawa Nexus ke dimensi lain, kamu mungkin tidak akan bisa kembali ke Aldirion.”

Cael tersenyum tipis. “Aku sudah kehilangan rumahku sejak lama. Yang terpenting sekarang adalah melindungi Nexus, dan melindungi kamu.”

Kata-kata itu membuat Aruna terdiam. Ia merasakan sesuatu yang tidak bisa dijelaskan—sebuah rasa yang tumbuh semakin kuat di tengah kekacauan ini. Ia menyadari bahwa ia tidak ingin kehilangan Cael, tetapi ia juga tahu bahwa tugas mereka jauh lebih besar daripada perasaan pribadinya.

Mereka memulai pekerjaan berat untuk memodifikasi Nexus. Dengan menggunakan teknologi dari pesawat Cael yang berhasil ia bawa, mereka mencoba mengubah Nexus menjadi portal yang stabil. Namun, waktu tidak berpihak pada mereka. Pesawat Exion yang lain mulai mendekati lokasi mereka, dan sinyal dari Aliansi Global juga terdeteksi.

“Kita harus mempercepat,” kata Cael. “Mereka akan sampai di sini dalam hitungan jam.”

“Aku tahu,” jawab Aruna sambil terus bekerja. “Tapi stabilitas energinya belum sempurna. Kalau kita memaksakan ini…”

“Tidak ada pilihan lain,” potong Cael. “Kita tidak bisa menunggu lebih lama lagi.”

Bab 9: Keputusan Terakhir

Hutan malam itu berubah menjadi medan pertempuran. Cahaya merah dari pesawat Exion menyinari pepohonan, menciptakan bayangan yang bergerak seiring langkah-langkah berat pasukan mereka. Suara mesin dan dengungan senjata memecah keheningan, menandakan waktu bagi Aruna dan Cael semakin sempit.

Di dalam markas darurat mereka di tengah hutan, Nexus bergetar hebat. Energinya semakin tidak stabil seiring dengan upaya mereka mengubahnya menjadi portal antar dimensi. Aruna mengetik cepat di layar holografik, mencoba menyeimbangkan aliran energi agar tidak terjadi ledakan yang tidak terkendali.

“Kita hampir selesai,” kata Aruna, menoleh ke arah Cael. “Tapi energinya terlalu besar untuk dikontrol. Jika kita memaksakan ini, portalnya mungkin hanya terbuka beberapa menit.”

“Beberapa menit cukup,” jawab Cael sambil mempersiapkan perangkat pelindung di tubuhnya. “Aku hanya butuh waktu untuk membawa Nexus ke sisi lain. Setelah itu, mereka tidak akan bisa menyentuhnya.”

Aruna berhenti sejenak, menatap Cael dengan pandangan penuh kekhawatiran. “Kamu yakin bisa kembali? Dimensi itu mungkin tidak bisa dihuni, atau… bahkan mungkin tidak bisa diakses lagi.”

Cael menatapnya, senyumnya samar tetapi penuh keteguhan. “Aku tidak peduli dengan diriku. Yang penting Nexus tidak jatuh ke tangan mereka.”

Mata Aruna mulai basah, tetapi ia mencoba menahan diri. Ia tahu bahwa Cael selalu menempatkan tanggung jawabnya di atas segalanya. Namun, ada bagian dari dirinya yang tidak ingin kehilangan sosok yang telah menjadi bagian penting dalam hidupnya.

“Cael…” Aruna berbisik. “Ada banyak hal yang ingin aku katakan… tapi aku tidak tahu bagaimana caranya.”

Cael mendekat, meletakkan tangannya di bahu Aruna. “Kamu tidak perlu mengatakan apa pun. Aku tahu.”

Mereka saling menatap untuk waktu yang terasa seperti keabadian. Namun, saat itu tidak berlangsung lama. Suara ledakan terdengar dari kejauhan, menandakan pasukan Exion telah menemukan lokasi mereka. Aruna langsung kembali ke konsolnya, mempercepat proses stabilisasi Nexus.

“Cael, aku butuh beberapa menit lagi untuk membuka portal. Bisa kau tahan mereka?” tanya Aruna, mencoba mengalihkan fokusnya dari perasaan yang meluap.

Cael mengangguk. “Aku akan membuat waktu untukmu.”

Cael keluar dari markas darurat, membawa senjata energi yang mereka modifikasi sebelumnya. Pasukan Exion mulai mendekat, dipimpin oleh Zareth yang membawa tombak energinya.

“Kamu tidak punya tempat lagi untuk lari, Cael,” teriak Zareth dengan suara beratnya. “Serahkan Nexus, dan kami mungkin akan memberimu kematian yang cepat.”

Cael tersenyum tipis. “Sayangnya, aku punya rencana lain.”

Dengan kecepatan luar biasa, Cael melompat di antara pepohonan, menyerang pasukan Exion satu per satu. Meski ia kalah jumlah, ia menggunakan kelincahan dan strateginya untuk membuat mereka kewalahan. Tembakan demi tembakan dilepaskan, tetapi Cael terus bertahan, memberikan waktu bagi Aruna.

Di dalam markas, Aruna memantau situasi melalui layar holografik. Jantungnya berdegup kencang setiap kali melihat Cael diserang. Namun, ia tidak punya pilihan selain mempercayainya. Tangannya terus bekerja, menghubungkan energi Nexus dengan perangkat stabilisasi terakhir.

“Sudah hampir selesai…” gumamnya.

Namun, suara pintu markas yang terbuka membuatnya membeku. Ia menoleh dan melihat Rian berdiri di sana, dengan wajah penuh kemenangan. Di belakangnya, dua pasukan Exion masuk dengan senjata terangkat.

“Kamu benar-benar keras kepala, Aruna,” kata Rian. “Aku sudah memberimu kesempatan untuk bergabung dengan kami, tapi kamu memilih alien itu daripada umat manusia.”

“Kamu tidak tahu apa yang kamu lakukan, Rian!” teriak Aruna, mencoba memprovokasinya. “Nexus bukan untuk manusia. Kalau kamu menyerahkannya ke Aliansi Global, kamu hanya akan membawa kehancuran.”

“Cukup,” potong Rian dengan nada dingin. Ia mengarahkan senjata ke Aruna. “Serahkan Nexus, atau aku akan mengakhiri semuanya di sini.”

Aruna merasa terpojok. Tapi saat itu, Nexus tiba-tiba memancarkan cahaya yang sangat terang. Portal antar dimensi mulai terbuka, menciptakan pusaran energi besar yang membuat semua orang di ruangan itu terhuyung-huyung.

“Apa yang kamu lakukan?” teriak Rian panik.

“Melindungi dunia dari orang-orang seperti kalian,” jawab Aruna dengan tegas.

Di luar, Cael melihat cahaya dari markas dan tahu saatnya telah tiba. Ia mengalahkan pasukan terakhir yang menghalanginya dan bergegas kembali ke dalam. Namun, Zareth menyusulnya, membawa tombaknya yang kini bersinar dengan energi merah.

“Kamu tidak akan pergi ke mana pun, Cael,” ujar Zareth, menyerang dengan kekuatan penuh.

Cael melawan dengan sekuat tenaga, tetapi Zareth terlalu kuat. Tombaknya mengenai tubuh Cael, membuatnya jatuh tersungkur. Namun, meskipun terluka, Cael masih memiliki kekuatan terakhirnya. Ia menembakkan senjata energi langsung ke tombak Zareth, menciptakan ledakan besar yang memaksa Zareth mundur.

Dengan sisa tenaganya, Cael masuk ke dalam markas. Ia melihat Nexus dan portal yang mulai stabil. Aruna berdiri di depan konsol, mencoba mengunci koordinasi portal agar lebih aman.

“Cael!” serunya.

“Aku di sini,” jawab Cael, meskipun tubuhnya hampir roboh.

Mereka saling berpandangan, tanpa kata-kata, tetapi memahami bahwa ini adalah akhir.

“Aku akan membawanya,” kata Cael. “Ini satu-satunya cara.”

“Tidak… Cael…” Aruna ingin menghentikannya, tetapi ia tahu ini tidak bisa dihindari.

Cael tersenyum lembut. “Kamu orang paling luar biasa yang pernah aku temui, Aruna. Aku tidak akan pernah melupakanmu.”

Dengan itu, Cael mengambil Nexus dan melangkah ke dalam portal. Cahaya biru menyelimuti tubuhnya, perlahan menghilangkan sosoknya dari pandangan.

“Cael…” bisik Aruna, air mata mengalir di pipinya.

Portal menutup, meninggalkan keheningan. Pasukan Exion yang tersisa melarikan diri setelah kehilangan pemimpin mereka, dan Rian terbaring tak sadarkan diri akibat ledakan energi.

Bab 10: Harmoni di Antara Bintang

Hari-hari berlalu sejak portal dimensi menutup dan membawa Cael ke tempat yang tak dikenal. Aruna kembali ke Asterion, dengan luka di hati yang lebih besar daripada apa pun yang pernah ia alami. Laboratorium utama dipenuhi dengan aktivitas, tetapi suasana berbeda dari sebelumnya. Meski proyek Stellar Nexus telah dihentikan sementara, Aruna menjadi pusat perhatian, tidak hanya karena usahanya menyelamatkan Nexus, tetapi juga karena keberaniannya melawan Exion.

Namun, di balik semua penghormatan itu, ada kehampaan yang tak bisa ia isi. Setiap malam, ia duduk di ruang kerjanya, memandangi bintang-bintang yang jauh, bertanya-tanya apakah Cael masih hidup di dimensi lain. Kadang-kadang, ia merasa seolah bisa mendengar suara lembutnya, memberi tahu bahwa semuanya akan baik-baik saja.


Enam bulan kemudian, Aliansi Global mencoba menghubungi Aruna. Mereka meminta penjelasan detail tentang Nexus dan bagaimana ia berhasil melindunginya. Namun, Aruna tidak memberikan jawaban yang lengkap. Ia tahu bahwa teknologi seperti Nexus terlalu berbahaya untuk dipegang manusia. Bahkan jika ia kehilangan segalanya, ia tidak akan membiarkan apa yang terjadi sebelumnya terulang.

Sementara itu, dunia perlahan kembali normal. Pasukan Exion tidak pernah kembali, dan ancaman dari luar galaksi tampaknya menghilang. Namun, Aruna tahu bahwa kedamaian ini rapuh. Setiap malam ia teringat akan kata-kata Cael: “Tidak ada satu pun kekuatan yang berhak memonopoli kehidupan di galaksi.”


Suatu malam, saat ia sedang duduk di atap fasilitas penelitian Asterion, mengamati bintang-bintang, layar kecil di komunikator pribadinya tiba-tiba menyala. Itu adalah pesan tanpa identifikasi, hanya berisi simbol yang asing tapi terasa familiar. Simbol itu adalah tanda dari Aldirion, galaksi tempat asal Cael.

Jantung Aruna berdetak lebih cepat. Dengan tangan gemetar, ia mengaktifkan pesan itu. Sebuah hologram kecil muncul, menampilkan wajah Cael. Wajahnya lelah, tetapi senyumnya tetap sama—hangat dan penuh keteguhan.

“Aruna,” suaranya terdengar melalui perangkat itu, membuat mata Aruna basah seketika. “Aku berhasil. Nexus aman di sini, di dimensi yang tidak bisa disentuh siapa pun. Aku tidak tahu apakah aku bisa kembali, tetapi aku ingin kamu tahu bahwa kamu telah menyelamatkan lebih dari yang kamu bayangkan.”

Aruna menyentuh layar hologram itu, seolah ingin merasakan kehadirannya. “Cael… aku pikir aku tidak akan pernah mendengar suaramu lagi.”

Cael tersenyum. “Aku tidak akan pernah melupakanmu, Aruna. Kamu adalah alasan aku bisa melanjutkan ini. Dunia ini, galaksi ini… semuanya lebih baik karena kamu.”

Pesan itu berakhir dengan cepat, meninggalkan Aruna dalam keheningan. Namun, untuk pertama kalinya dalam berbulan-bulan, ia merasa damai. Ia tahu bahwa meskipun mereka terpisah oleh dimensi, harmoni yang mereka ciptakan bersama tetap hidup.

Hari berikutnya, Aruna kembali ke ruang penelitian dengan semangat baru. Ia memutuskan untuk melanjutkan proyek Stellar Nexus, tetapi bukan untuk melarikan diri dari Bumi atau mencari kekuasaan. Ia ingin menciptakan teknologi yang benar-benar bisa membawa manfaat bagi kehidupan, seperti yang telah diajarkan Cael kepadanya.

Tamat.

Novel ini ditulis oleh Evi Fauzi, Penulis dari  Novel Singkat . Baca juga novel romantis dan fiksi ilmiah lainnya.

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

    Leave a Reply

    Your email address will not be published. Required fields are marked *