Novel Singkat Pernikahan Kontrak yang Berujung Cinta
Novel Singkat Pernikahan Kontrak yang Berujung Cinta

Novel Singkat: Pernikahan Kontrak yang Berujung Cinta

Raka Mahendra, seorang CEO muda yang bertekad, terpaksa menikah demi menyelamatkan keluarganya dari kehancuran bisnis. Ia memilih Aira, seorang barista penuh semangat, untuk menjalani pernikahan kontrak yang seharusnya hanya bersifat formal.

Namun, hubungan mereka yang semula didasari oleh kesepakatan bisnis mulai berubah saat perasaan cinta perlahan tumbuh. Konflik memuncak ketika rahasia gelap alasan pernikahan itu terungkap, membuat mereka harus memilih antara mempertahankan cinta atau menjalani takdir masing-masing.

Bab 1: Tawaran yang Tak Bisa Ditolak

Pagi itu, gedung megah tempat kantor utama keluarga Mahendra berdiri menjulang di tengah hiruk-pikuk kota. Raka Mahendra, pria muda berusia 30 tahun, duduk di balik meja kerja yang rapi. Wajahnya tampak tegang meski ia berusaha menjaga sikap tenang di hadapan ayahnya, Pak Mahendra, seorang pengusaha besar yang kini menyerahkan beban berat pada anak semata wayangnya.

“Raka, ini bukan hanya tentang perusahaan. Ini tentang keluarga kita,” suara berat ayahnya memecah keheningan di ruang kerja itu.

“Aku mengerti, Pak,” jawab Raka, mencoba terdengar meyakinkan meski hatinya penuh pergolakan.

Perusahaan keluarganya, Mahendra Corporation, sedang berada di ambang kehancuran akibat salah langkah dalam investasi besar-besaran. Satu-satunya cara untuk menyelamatkan bisnis tersebut adalah dengan merger dengan perusahaan milik keluarga Wijaya, keluarga yang sudah lama menjadi rekan bisnis mereka. Namun, ada satu syarat yang membuat Raka merasa terpojok—ia harus menikahi putri sulung keluarga Wijaya, Celine.

“Tapi aku tidak mencintainya,” kata Raka tegas. “Aku tidak bisa menikah hanya demi perusahaan.”

Ayahnya menghela napas panjang. “Ini bukan tentang cinta, Raka. Ini tentang tanggung jawab. Kalau bukan kamu, siapa lagi yang akan menyelamatkan nama keluarga kita?”

Raka terdiam. Dia tahu benar bahwa keluarganya sepenuhnya bergantung padanya. Namun, membayangkan hidup bersama seseorang yang sama sekali tidak ia cintai membuat hatinya semakin berat.

Di tengah kebimbangannya, malam itu Raka memutuskan untuk mencari pelarian sejenak dari tekanan. Ia menuju kafe kecil yang sering ia datangi diam-diam. Kafe itu terletak di sudut kota, jauh dari hiruk-pikuk gedung pencakar langit. Di sanalah ia bertemu dengan Aira.

Aira adalah seorang barista yang penuh semangat dan selalu tersenyum, bahkan kepada pelanggan yang datang hanya untuk menatap kosong secangkir kopi, seperti dirinya. Rambut hitamnya dikuncir sederhana, dan mata cokelatnya selalu memancarkan ketulusan. Ada sesuatu tentang Aira yang membuat Raka merasa lebih ringan, meski hanya sedikit.

“Apa kabar hari ini, Pak?” tanya Aira sambil menyajikan secangkir kopi hitam, pesanannya yang selalu sama.

Raka hanya mengangguk singkat. Tapi, kali ini Aira tidak menyerah.

“Sepertinya hari ini berat sekali, ya? Kopinya kubuat ekstra pahit supaya semangat,” katanya dengan senyum lebar.

Tanpa sadar, Raka tersenyum kecil. “Hari yang berat mungkin lebih baik dilawan dengan kopi yang manis.”

“Wah, ide bagus. Lain kali bilang saja kalau mau pesan yang manis. Hidup ini sudah cukup pahit,” jawab Aira sambil terkekeh.

Percakapan singkat itu menjadi awal dari sesuatu yang berbeda. Malam itu, Raka memutuskan untuk membuka diri sedikit. Mereka berbicara cukup lama—tentang kopi, tentang pekerjaan Aira di kafe, dan sedikit tentang hidup Raka tanpa menyebutkan statusnya sebagai CEO.

Aira mendengarkan dengan perhatian tulus, sesuatu yang jarang Raka temukan. Dalam hati, ia merasa ada kenyamanan yang tak biasa saat berbicara dengannya.

Ketika Raka kembali ke rumah, sebuah ide mulai muncul di pikirannya. Jika ia benar-benar harus menikah demi menyelamatkan perusahaan, mengapa harus dengan orang yang tidak ia kenal dan tidak ia cintai? Mengapa tidak dengan seseorang yang membuatnya merasa nyaman, meski hanya untuk sementara?

Pagi berikutnya, Raka kembali ke kafe itu. Aira tampak terkejut saat Raka datang lebih awal dari biasanya.

“Ada yang bisa kubantu hari ini, Pak?” tanya Aira, sedikit bingung dengan sikap serius Raka.

“Ya,” jawab Raka tegas. “Aku butuh bicara denganmu. Ini mungkin terdengar aneh, tapi aku ingin menawarkan sesuatu yang bisa mengubah hidupmu.”

Aira mengerutkan kening, tetapi ia tetap mendengarkan. “Apa itu?”

Raka menghela napas, mencoba merangkai kata-kata dengan hati-hati. “Bagaimana kalau kamu menikah denganku? Ini hanya kontrak, tapi aku janji, kamu tidak akan menyesal.”

Mata Aira membelalak. “Apa? Menikah? Kamu serius?”

“Aku tidak punya banyak waktu untuk menjelaskan. Tapi percayalah, aku akan memastikan ini menguntungkan untukmu. Tidak ada paksaan. Kamu bisa berpikir dulu,” ucap Raka dengan nada penuh kesungguhan.

Aira terdiam, tidak tahu harus berkata apa. Dalam hatinya, ia merasa ada sesuatu yang besar di balik tawaran ini, tetapi ia tidak bisa mengabaikan nada serius di suara pria itu.

Di antara kebingungannya, Aira menyadari bahwa hidupnya yang sederhana mungkin tidak akan pernah sama lagi setelah malam ini.

Bab 2: Kontrak Pernikahan

Aira masih tertegun. Malam itu, ia pulang ke apartemen kecilnya dengan kepala penuh pertanyaan. Tawaran Raka terdengar gila, tidak masuk akal. Namun, di balik kegilaannya, ada sesuatu dalam mata pria itu yang membuatnya merasa bahwa tawaran tersebut bukan sekadar omong kosong.

Keesokan harinya, saat Aira tengah menyusun kembali pikiran di kafe tempat ia bekerja, pintu kaca berderit terbuka. Raka melangkah masuk, mengenakan jas rapi yang memancarkan aura otoritas. Beberapa pelanggan bahkan melirik ke arahnya dengan kekaguman.

“Kita bisa bicara sebentar?” tanya Raka, suaranya rendah namun tegas.

Aira mengangguk ragu, lalu mengarahkan Raka ke meja paling pojok yang jarang digunakan. Setelah memastikan tidak ada pelanggan lain yang membutuhkan perhatian, Aira duduk berhadapan dengan Raka, hatinya masih diliputi kebingungan.

“Aku tahu tawaranku terdengar aneh,” kata Raka, membuka pembicaraan. “Tapi aku serius. Ini bukan soal cinta atau hubungan pribadi. Ini tentang bisnis, dan aku butuh seseorang sepertimu untuk membantuku.”

Aira memiringkan kepala, mencoba memahami maksud Raka. “Kenapa aku? Aku hanya barista biasa. Apa yang membuatmu berpikir aku cocok untuk ini?”

Raka tersenyum tipis. “Karena kamu berbeda. Kamu bukan bagian dari dunia palsu yang selalu aku hadapi. Kamu jujur, sederhana, dan punya sesuatu yang orang-orang di lingkaranku tidak miliki: ketulusan.”

Aira mengerutkan kening, merasa pujian itu terlalu berlebihan. “Tapi menikah hanya demi bisnis? Apa kamu yakin ini jalan yang benar?”

“Tidak ada jalan lain,” jawab Raka mantap. “Keluarga dan perusahaan kami sedang berada di ujung tanduk. Pernikahan ini bisa menjadi solusi. Aku akan membuat perjanjian yang jelas dan adil. Kamu akan mendapat kompensasi yang setimpal, termasuk perlindungan penuh selama perjanjian berlangsung.”

Raka meletakkan sebuah map di atas meja, isinya beberapa lembar dokumen yang terlihat resmi. “Ini perjanjian yang sudah kususun. Kamu bisa membacanya dulu sebelum mengambil keputusan.”

Aira mengambil dokumen itu dengan ragu. Isi kontraknya tertulis dengan bahasa hukum yang formal, tapi inti dari perjanjian itu cukup jelas: mereka akan menikah selama satu tahun, dengan hak dan kewajiban yang sudah diatur. Setelah satu tahun, pernikahan itu akan berakhir tanpa ikatan apapun.

“Aku akan menanggung semua biaya hidupmu, termasuk apartemen, kebutuhan harian, dan tabungan di akhir kontrak,” jelas Raka. “Sebagai gantinya, aku butuh kamu tampil sebagai istri yang sempurna di depan publik.”

Aira membaca ulang dokumen itu, matanya berhenti pada angka kompensasi di bagian akhir. Jumlahnya cukup untuk mengubah hidupnya yang pas-pasan menjadi jauh lebih baik.

“Tapi, bagaimana dengan keluargamu? Apa mereka setuju aku, orang biasa, menjadi bagian dari rencana ini?” tanya Aira hati-hati.

“Mereka tidak punya pilihan,” jawab Raka sambil menghela napas. “Yang penting, aku menikah. Identitasmu tidak penting bagi mereka selama semuanya berjalan sesuai rencana.”

Aira terdiam cukup lama. Tawaran itu menggiurkan, tapi ia tahu risiko yang akan ia ambil jika setuju. Pernikahan seharusnya bukan sesuatu yang dibuat berdasarkan kontrak, pikirnya. Tapi hidupnya sendiri tidak sempurna—ia sudah lama berjuang sendirian setelah kehilangan orang tuanya dan bekerja keras hanya untuk bertahan.

“Baik,” Aira akhirnya bersuara. “Aku akan mempertimbangkannya. Beri aku waktu untuk berpikir.”

Raka mengangguk. “yah aku mengerti. Ambillah waktu yang kamu butuhkan. Tapi, aku harap kamu bisa memberikan jawaban sebelum minggu ini berakhir.”

Setelah Raka pergi, Aira mencoba mencerna apa yang baru saja terjadi. Ia tidak bisa mengabaikan kenyataan bahwa tawaran itu adalah peluang besar untuk memperbaiki hidupnya. Namun, ada sesuatu tentang Raka yang membuatnya bertanya-tanya. Apakah pria itu benar-benar tulus, ataukah ia menyembunyikan sesuatu?

Dua hari kemudian, Raka kembali ke kafe, kali ini tanpa jas formal. Ia terlihat lebih santai, meski tetap memancarkan aura seorang pemimpin.

“Aku sudah memutuskan,” kata Aira sambil menyerahkan dokumen yang telah ia tandatangani.

Raka menatapnya dengan sorot mata yang sulit diartikan, campuran antara lega dan kebingungan. “Kamu yakin dengan keputusan ini?”

Aira mengangguk. “Aku yakin. Tapi aku punya satu syarat.”

“Apa itu?” tanya Raka.

“Kalau pernikahan ini selesai, aku ingin bisa pergi tanpa ada campur tangan lagi dari hidupmu,” kata Aira tegas. “Aku ingin kebebasan penuh.”

Raka terdiam sejenak, lalu mengangguk. “Setuju. Kamu akan mendapatkan kebebasan yang kamu inginkan.”

Hari itu, mereka resmi memulai hubungan yang tidak biasa—sebuah pernikahan berdasarkan kontrak, tanpa cinta, tanpa janji masa depan. Namun, baik Raka maupun Aira tidak menyadari bahwa perjalanan ini akan mengubah hidup mereka selamanya.

Bab 3: Awal yang Canggung

Hari pernikahan Raka dan Aira tiba lebih cepat dari yang keduanya bayangkan. Upacara pernikahan itu berlangsung megah, meskipun penuh kesan formal. Ruangan besar yang dihias dengan bunga putih dan lampu kristal penuh dengan tamu-tamu penting dari dunia bisnis dan politik. Para tamu sibuk berbisik, bertanya-tanya siapa wanita misterius yang berhasil menaklukkan hati Raka Mahendra, CEO muda yang dikenal dingin dan ambisius.

Aira berdiri di sisi Raka dengan gaun pengantin putih yang indah. Wajahnya menampilkan senyum sopan, meskipun dalam hati ia merasa seperti berada di panggung sandiwara besar. Raka, di sisi lain, tetap memasang wajah tenang, namun sesekali ia melirik ke arah Aira untuk memastikan semuanya berjalan sesuai rencana.

Saat mereka berdua melangkah keluar dari aula pernikahan menuju mobil pengantin, Aira berbisik pelan, “Raka, aku rasa aku hampir pingsan karena semua orang terus menatapku.”

Raka menahan tawa kecil. “Santai saja, mereka hanya penasaran. Sebentar lagi semua ini akan berakhir.”

Aira menghela napas lega ketika akhirnya mereka sampai di apartemen penthouse milik Raka, tempat mereka akan tinggal bersama selama kontrak berlangsung. Namun, kenyamanan apartemen mewah itu tak sepenuhnya menenangkan kegugupan Aira.

“Ini kamarmu,” kata Raka sambil menunjukkan sebuah ruangan besar yang sudah dilengkapi dengan segala kebutuhan. “Aku akan tidur di kamar lain. Kita tidak perlu berbagi ruang.”

Aira mengangguk, merasa sedikit lega. “Terima kasih. Aku rasa itu ide yang bagus.”

Namun, meskipun mereka tidak berbagi kamar, hidup bersama tetap menjadi tantangan besar.

Di hari pertama mereka tinggal bersama, Aira mencoba membiasakan diri dengan kehidupan barunya. Dia memutuskan untuk memasak sarapan, sesuatu yang biasa ia lakukan untuk menenangkan pikiran. Tapi dapur di apartemen Raka berbeda jauh dari yang pernah ia gunakan sebelumnya.

“Di mana garamnya?” gumam Aira sambil membuka satu per satu laci dapur. Setelah hampir menyerah, Raka tiba-tiba muncul dengan ekspresi bingung.

“Kamu sedang apa?” tanyanya, sambil melipat lengan di dada.

“Mencari garam,” jawab Aira sambil tersenyum kecil. “Aku ingin memasak, tapi dapur ini seperti labirin.”

Raka menggeleng sambil tertawa pelan. “Kamu tidak perlu repot. Biasanya aku memesan makanan dari luar.”

“Aku tahu,” balas Aira. “Tapi aku lebih nyaman memasak sendiri. Ini juga cara untuk membuatku merasa seperti di rumah.”

Raka menatapnya sejenak sebelum mengeluarkan garam dari rak tinggi. “Kalau begitu, semoga sukses dengan eksperimen dapurmu.”

Ketika sarapan siap, Aira dengan bangga menyajikan hasil masakannya di meja makan. Namun, ketika Raka mencicipinya, ia terdiam.

“Kenapa? Tidak enak?” tanya Aira, merasa cemas.

Raka mengangkat alis, lalu tersenyum kecil. “Tidak, ini enak. Aku hanya tidak terbiasa makan makanan rumahan.”

“Serius?” tanya Aira, sedikit terkejut. “Kamu tidak pernah makan masakan rumah?”

Raka mengangkat bahu. “Ibuku jarang memasak. Hidangan di rumah biasanya dibuat oleh koki.”

Aira terdiam sejenak, merasa ada sisi lain dari Raka yang selama ini tidak pernah ia duga. Meski hidupnya tampak sempurna, ternyata pria itu memiliki celah kosong dalam kehidupannya.

Hari-hari berikutnya diwarnai oleh perbedaan kecil yang membuat hidup bersama terasa canggung, namun juga penuh kejutan. Aira yang terbiasa hidup sederhana sering merasa kikuk dengan kemewahan di sekitarnya. Suatu hari, ia bahkan hampir membuat piring mahal di meja makan jatuh.

“Awas!” seru Raka, menangkap piring itu tepat waktu.

“Maaf!” kata Aira sambil menunduk. “Aku tidak terbiasa dengan barang-barang seperti ini.”

Raka menghela napas, tapi bukannya marah, ia justru tersenyum. “Tidak apa-apa. Aku akan memastikan kamu tidak menyentuh barang antik lagi.”

Kehidupan baru mereka memang jauh dari kata sempurna. Meski kontrak itu hanya bertujuan untuk menyelamatkan bisnis, kebersamaan mereka perlahan-lahan mengubah cara pandang Raka terhadap hidupnya. Di balik sikap tegas dan seriusnya, ia mulai merasa bahwa kehadiran Aira membawa warna baru dalam dunianya yang sebelumnya terasa dingin.

Namun, baik Aira maupun Raka tidak menyadari bahwa hari-hari tenang mereka ini hanya awal dari perjalanan panjang yang penuh dengan tantangan dan rahasia yang tersembunyi.

Bab 4: Merajut Kebiasaan

Sebulan telah berlalu sejak pernikahan kontrak mereka dimulai. Kehidupan Raka dan Aira perlahan menemukan pola baru. Meski awalnya penuh kecanggungan, kehadiran Aira mulai membawa suasana hangat di apartemen yang selama ini terasa dingin dan kosong.

Pagi itu, Aira tengah sibuk di dapur, menyiapkan sarapan seperti biasa. Ia sudah terbiasa dengan letak barang-barang dapur yang awalnya membuatnya bingung. Aroma kopi dan roti panggang memenuhi ruangan, menggantikan keheningan yang sebelumnya menjadi ciri khas tempat tinggal Raka.

Raka keluar dari kamarnya, mengenakan setelan jas lengkap seperti biasa. Ia berjalan ke meja makan dan menatap sarapan yang sudah tertata rapi. “Kamu tidak pernah lupa membuat sarapan, ya?” tanyanya sambil duduk.

“Bukan hanya untuk kamu, tapi untukku juga,” jawab Aira dengan nada santai. “Lagipula, ini semacam rutinitas yang membuatku merasa normal.”

Raka tersenyum tipis. Meski ia tidak pernah mengakuinya, ia mulai menikmati perhatian kecil seperti ini. Sebagai seseorang yang terbiasa hidup sendiri dengan segalanya serba formal, masakan rumahan dan suasana santai yang diciptakan Aira menjadi sesuatu yang baru baginya.

Saat mereka sarapan, Aira memperhatikan ekspresi Raka yang serius sambil membaca email di tablet. “Kamu kelihatan tegang. Ada masalah di kantor?” tanyanya.

Raka mengangguk tanpa mengalihkan pandangan. “Ada beberapa proyek yang membutuhkan perhatian lebih. Dunia bisnis itu rumit.”

Aira menatapnya dengan cermat. “Kamu tahu? Kadang-kadang aku merasa pekerjaanmu lebih mirip perang daripada pekerjaan biasa.”

Raka tertawa kecil. “Tidak salah. Setiap keputusan bisa membawa keuntungan besar atau menghancurkan segalanya. Tidak ada ruang untuk kesalahan.”

“Tapi kamu harus istirahat juga,” ujar Aira dengan nada khawatir. “Kalau terus-terusan stres, kamu bisa sakit.”

Raka menatap Aira, terkejut dengan nada perhatian dalam suara gadis itu. “Aku akan mencoba, tapi jangan terlalu berharap banyak. Hidupku tidak semudah itu.”

Hari itu berlalu seperti biasa, dengan Raka yang sibuk di kantor dan Aira menghabiskan waktu di rumah. Namun, malam harinya, ketika Raka pulang, ia mendapati Aira duduk di ruang tamu dengan secangkir teh di tangannya.

“Kamu sudah makan malam?” tanya Aira tanpa menoleh, matanya terpaku pada layar TV.

“Belum. Tapi aku tidak lapar,” jawab Raka sambil melepas jasnya.

Aira menatapnya tajam. “Raka, kamu harus makan. Setidaknya sedikit. Aku tidak mau punya suami kontrak yang pingsan karena kelaparan.”

Raka mendengus, tapi ia menurut. Ia duduk di meja makan, dan Aira menyajikan semangkuk sup hangat yang ia buat tadi sore.

“Kamu tahu,” ujar Raka setelah mencicipi sup itu, “Aku tidak pernah membayangkan punya seseorang yang peduli dengan kebiasaan makan malamku.”

Aira hanya tersenyum. “Anggap saja ini bagian dari kontrak. Aku tidak mau dianggap istri yang buruk.”

Hari-hari berikutnya semakin memperlihatkan perubahan kecil dalam hubungan mereka. Raka, yang awalnya dingin dan kaku, mulai terbiasa dengan kehadiran Aira. Ia bahkan sesekali melibatkan Aira dalam kegiatannya, seperti mengajaknya menghadiri acara makan malam formal.

Di salah satu acara tersebut, Aira mengenakan gaun biru tua yang sederhana namun anggun. Ia terlihat berbeda dari biasanya, dan Raka tidak bisa mengalihkan pandangannya.

“Kamu terlihat… sangat cantik malam ini,” ujar Raka saat mereka berjalan memasuki aula.

Aira tersipu, tidak menyangka pujian itu datang dari Raka. “Terima kasih. Aku hanya mencoba tidak mempermalukanmu.”

Raka tersenyum. “Kamu tidak pernah mempermalukanku, Aira. Kamu justru membuatku terlihat lebih baik.”

Malam itu, Raka memperkenalkan Aira kepada beberapa rekan bisnisnya. Meski awalnya merasa gugup, Aira berhasil berbaur dengan sikap ramahnya yang natural. Setelah acara selesai, Raka merasa bangga sekaligus heran bagaimana Aira mampu menyesuaikan diri dengan cepat.

“Kamu memang penuh kejutan,” kata Raka saat mereka dalam perjalanan pulang.

Aira hanya tersenyum. “Kamu terlalu sering menganggapku remeh, mungkin.”

Namun, di balik momen-momen hangat itu, Aira mulai merasakan sesuatu yang berbeda. Ada perasaan tak dikenal yang perlahan tumbuh di hatinya. Ia mulai melihat sisi lain Raka, sisi yang manusiawi di balik topeng dingin dan profesionalnya.

Sementara itu, Raka pun merasakan hal yang sama. Meski ia tahu hubungan ini hanya sementara, kehadiran Aira mulai memengaruhi caranya memandang dunia. Tetapi, ia masih menyimpan rahasia besar yang terus menghantui pikirannya.

Malam itu, ketika mereka berpisah menuju kamar masing-masing, Aira duduk di tepi ranjangnya, memikirkan hal yang sama. “Apa yang sedang terjadi padaku?” bisiknya pada diri sendiri.

Namun, baik Aira maupun Raka, belum siap mengakui bahwa perasaan mereka mulai melampaui batasan kontrak. Dan mereka tidak tahu bahwa perjalanan mereka baru saja dimulai.

Bab 5: Rasa yang Mulai Tumbuh

Hari-hari berlalu dengan perlahan, namun ada sesuatu yang berubah di antara Raka dan Aira. Hubungan yang awalnya hanya sebatas perjanjian kontrak mulai terasa lebih dalam, meski tidak ada yang berani mengakuinya.

Pagi itu, Aira sedang sibuk di dapur menyiapkan sarapan. Sementara itu, Raka, yang biasanya langsung tenggelam dalam email dan pekerjaan, memperhatikan Aira dari kejauhan. Ada sesuatu yang menenangkan dalam cara Aira bekerja—kesederhanaannya yang begitu kontras dengan kehidupannya yang penuh tekanan.

“Kopi atau teh hari ini?” tanya Aira tiba-tiba, membuyarkan lamunan Raka.

“Kopi,” jawab Raka singkat sambil berjalan mendekat. “Tapi jangan terlalu pahit.”

Aira tersenyum kecil. “Akhirnya, kamu belajar menikmati rasa manis.”

Raka tertawa kecil. “Mungkin aku mulai terbiasa dengan cara hidupmu.”

Percakapan ringan seperti itu mulai menjadi bagian dari rutinitas mereka. Namun, di balik obrolan santai itu, ada sesuatu yang lebih besar—sebuah kehangatan yang perlahan tumbuh tanpa disadari.

Sore di Taman Kota

Suatu sore, Raka yang biasanya tenggelam dalam pekerjaan memutuskan untuk pulang lebih awal. Ia terkejut mendapati Aira tidak berada di apartemen. Setelah bertanya kepada petugas keamanan, ia mengetahui bahwa Aira pergi ke taman kota.

Dengan rasa penasaran, Raka memutuskan untuk menyusul. Di taman itu, ia menemukan Aira duduk di bangku kayu, membaca buku sambil sesekali tertawa kecil. Pemandangan itu membuat Raka merasa aneh—seperti ada sesuatu yang hangat menyelinap ke dalam hatinya.

“Apa yang kamu baca?” tanya Raka sambil duduk di sebelahnya.

Aira menoleh, sedikit terkejut. “Kamu pulang lebih awal? Aku pikir kamu sedang sibuk.”

“Memang, tapi aku merasa ingin keluar sebentar. Jadi, apa yang membuatmu tertawa?”

Aira menunjukkan buku itu padanya. “Novel ringan, tentang kehidupan sehari-hari. Kadang kita perlu hal sederhana untuk membuat kita bahagia.”

Raka tersenyum kecil. “Aku rasa aku belum pernah punya waktu untuk menikmati hal-hal seperti itu.”

Aira menatapnya dengan penuh perhatian. “Kamu terlalu keras pada dirimu sendiri, Raka. Hidup bukan hanya tentang pekerjaan.”

“Sulit untuk tidak berpikir begitu ketika aku harus memikul tanggung jawab sebesar ini,” balas Raka, suaranya rendah.

Aira meletakkan buku itu di pangkuannya dan menatap lurus ke depan. “Tapi kamu juga manusia. Kamu berhak bahagia.”

Kata-kata itu menghantam hati Raka dengan cara yang tak pernah ia duga. Sejak kapan ada seseorang yang begitu peduli padanya, bukan karena kekayaannya, bukan karena statusnya, tetapi karena ia hanyalah dirinya?

Malam itu, setelah makan malam sederhana yang mereka buat bersama, Aira duduk di balkon sambil menatap langit malam. Raka, yang biasanya sibuk dengan laptopnya, memutuskan untuk bergabung.

“Kamu suka memandang bintang?” tanya Raka sambil duduk di sebelah Aira.

“Suka,” jawab Aira tanpa menoleh. “Mereka mengingatkanku bahwa dunia ini lebih besar dari masalah yang kita hadapi.”

Raka terdiam, merenungi kata-kata Aira. “Aku rasa aku tidak pernah punya waktu untuk memikirkan hal seperti itu.”

Aira tersenyum, kali ini menoleh padanya. “Mungkin sudah waktunya kamu mencoba. Bintang-bintang itu tidak pernah terburu-buru, tapi mereka tetap ada di sana, memberi kita harapan.”

Keheningan melingkupi mereka. Malam itu, Raka merasakan sesuatu yang aneh—seperti ada bagian dirinya yang selama ini hilang dan sekarang mulai kembali.

“Aira,” panggil Raka pelan.

“Hm?” Aira menoleh.

“Terima kasih.”

“Untuk apa?” tanya Aira, bingung.

Raka menghela napas. “Untuk ada di sini. Untuk menjadi… dirimu sendiri.”

Kata-kata itu membuat Aira terdiam. Ada kehangatan di matanya yang sulit ia sembunyikan, meski ia tidak yakin bagaimana harus merespon.

Malam itu, ketika mereka kembali ke kamar masing-masing, baik Aira maupun Raka merasa ada sesuatu yang berubah. Dinding yang mereka bangun sejak awal pernikahan kontrak ini perlahan runtuh.

Namun, keduanya masih enggan mengakui bahwa perasaan itu bukan lagi sekadar kewajiban atau kontrak. Itu adalah sesuatu yang nyata, sesuatu yang membuat hati mereka berdebar, meski mereka tahu bahwa rahasia besar masih menggantung di antara mereka.

Perasaan itu, meskipun hangat, juga membawa pertanyaan yang sulit: apa yang akan terjadi ketika kontrak ini berakhir? Dan apakah mereka siap menghadapi kenyataan ketika cinta mulai masuk ke dalam permainan?

Bab 6: Ketika Masa Lalu Kembali

Hari-hari yang awalnya tenang berubah menjadi tegang ketika sosok dari masa lalu Raka tiba-tiba muncul, mengguncang dinamika yang perlahan tumbuh di antara mereka. Pagi itu, Raka sedang bersiap untuk rapat penting ketika ponselnya berbunyi.

Ia melihat layar, lalu wajahnya seketika berubah serius. Sebuah pesan singkat dari seseorang yang tidak ia duga: “Kita perlu bicara. Ini tentang pernikahanmu.”

Tanpa menjawab, Raka memasukkan ponselnya ke dalam saku. Wajahnya kaku sepanjang hari, dan bahkan saat ia pulang, keheningan masih menyelimuti dirinya. Aira, yang biasanya tidak ingin terlalu ikut campur, akhirnya memberanikan diri bertanya.

“Kamu kenapa?” tanya Aira saat mereka makan malam.

Raka mengangkat wajahnya, berusaha menyembunyikan kegelisahan. “Hanya pekerjaan. Tidak ada yang perlu kamu khawatirkan.”

Namun, Aira tahu ada sesuatu yang disembunyikan Raka. Ia tidak menekan lebih jauh, tapi hatinya merasa tidak nyaman.

Beberapa hari kemudian, ketika Aira sedang menata bunga di ruang tamu, bel apartemen berbunyi. Ia membuka pintu, dan di hadapannya berdiri seorang wanita cantik dengan penampilan anggun. Wajah wanita itu memancarkan rasa percaya diri, tapi senyumnya dingin.

“Anda pasti Aira,” kata wanita itu sambil melangkah masuk tanpa diundang.

Aira terkejut, tapi ia berusaha tetap tenang. “Iya, saya. Maaf, Anda siapa?”

Wanita itu tersenyum tipis. “Nama saya Celine. Saya yakin Raka pernah menyebut saya.”

Aira mengerutkan kening, mencoba mengingat apakah nama itu pernah muncul. Tidak ada.

“Aku datang untuk berbicara denganmu. Tentang Raka. Dan… pernikahan kalian,” kata Celine, duduk dengan anggun di sofa.

Aira mencoba menyembunyikan kebingungannya. “Maaf, saya tidak mengerti. Apa yang ingin Anda sampaikan?”

Celine menatapnya tajam, lalu mengeluarkan sesuatu dari tasnya—foto-foto lama Raka bersama dirinya. Beberapa di antaranya memperlihatkan mereka dalam acara formal, dan yang lain tampak lebih personal.

“Kamu tahu, aku dan Raka sudah lama saling mengenal,” kata Celine dengan nada tenang namun menusuk. “Kami hampir menikah sebelum semua ini terjadi.”

Aira terdiam. Kata-kata Celine seperti angin dingin yang menusuk. Ia tidak tahu bagaimana harus merespons.

“Tapi, tentu saja, semuanya berubah karena keluarganya memutuskan untuk membuat rencana baru. Dan sekarang, kamu yang ada di posisiku,” lanjut Celine, matanya menyelidik.

Aira mencoba menjaga sikap tenang. “Saya tidak tahu apa yang terjadi antara Anda dan Raka. Tapi pernikahan ini… memiliki alasannya sendiri.”

Celine tertawa kecil, tapi tawanya terdengar pahit. “Alasan, ya? Kamu pikir alasan itu cukup untuk menggantikan apa yang aku dan Raka miliki?”

Saat itu, suara pintu apartemen terbuka. Raka muncul, dan ketika ia melihat Celine, wajahnya langsung berubah gelap.

“Celine, apa yang kamu lakukan di sini?” tanyanya dingin.

“Aku hanya ingin mengenal istrimu,” jawab Celine dengan nada santai. “Bukankah itu wajar?”

“Keluar,” kata Raka tegas.

Celine berdiri, menatap Raka dengan senyum tipis. “Kamu tahu, Raka, cepat atau lambat dia akan tahu kebenarannya. Dan saat itu, aku ingin melihat bagaimana kamu menghadapi semuanya.”

Setelah Celine pergi, Raka menatap Aira, yang masih memegang foto-foto itu. Ada keheningan canggung di antara mereka.

“Siapa dia?” tanya Aira akhirnya, suaranya pelan namun penuh ketegasan.

Raka menghela napas panjang, mencoba merangkai kata-kata. “Dia bagian dari masa laluku. Kami pernah bertunangan, tapi itu sudah lama berakhir.”

“Tapi kenapa dia datang ke sini? Apa yang dia maksud dengan ‘kebenaran’?” desak Aira.

Raka terdiam. Ia tahu bahwa ini adalah saat yang genting, tapi ia tidak bisa mengungkapkan semuanya begitu saja. Rahasia yang ia simpan terlalu besar, dan ia tidak ingin menghancurkan apa yang telah mereka bangun, meski hanya sedikit.

“Aku akan menjelaskan semuanya, tapi tidak sekarang,” jawab Raka akhirnya. “Aku hanya butuh waktu.”

Aira menatapnya dalam diam, merasa ada jarak yang kembali tercipta di antara mereka. Ia tidak tahu apakah ia bisa mempercayai Raka sepenuhnya, tapi di sisi lain, ia juga tidak ingin menyerah begitu saja.

Malam itu, Aira duduk sendirian di kamar, memandangi foto-foto yang ditinggalkan Celine. Hatinya dipenuhi dengan pertanyaan. Siapa sebenarnya Raka? Dan apa rahasia yang begitu besar hingga ia berusaha menyembunyikannya?

Di sisi lain, Raka berdiri di balkon, memandangi kota yang berkilauan di bawahnya. Ia tahu waktunya hampir habis. Cepat atau lambat, rahasia itu akan terungkap. Dan ketika itu terjadi, ia tidak yakin apakah Aira akan tetap di sisinya.

Malam itu, keduanya terjebak dalam pikiran masing-masing, tidak menyadari bahwa hubungan mereka sedang menghadapi ujian terbesar yang pernah ada.

Bab 7: Kepercayaan yang Retak

Setelah kehadiran Celine di apartemen mereka, hubungan antara Raka dan Aira berubah drastis. Aira mulai merasa ada dinding besar yang memisahkan mereka, dan setiap usaha untuk mencari jawaban dari Raka selalu berakhir dengan keheningan yang menyakitkan.

Pagi itu, Aira menyiapkan sarapan seperti biasa, tapi suasana di meja makan terasa dingin. Raka hanya berkata sepatah-dua patah kata, sibuk dengan ponselnya, dan menghindari kontak mata.

“Aku ingin tahu, Raka,” kata Aira tiba-tiba, menghentikan aktivitas makannya. “Apa sebenarnya yang kamu sembunyikan dariku?”

Raka mengangkat wajahnya, terkejut dengan nada serius Aira. “Aku sudah bilang, Aira. Aku akan menjelaskan semuanya pada waktunya.”

“Waktunya kapan, Raka?” tanya Aira, suaranya mulai bergetar. “Kamu terus bilang ‘nanti,’ tapi sampai kapan aku harus menunggu? Aku tidak bisa hidup di bawah bayangan masa lalumu tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi.”

Raka terdiam, tatapannya turun ke piringnya. Ia tidak tahu bagaimana menjelaskan semuanya tanpa melibatkan Aira lebih dalam ke dalam konflik yang ia coba lindungi selama ini.

“Ini bukan sesuatu yang mudah untuk dijelaskan,” kata Raka akhirnya. “Aku hanya ingin melindungimu.”

“Melindungiku?” Aira tertawa pahit. “Melindungiku dari apa? Dari kebenaran?”

Raka ingin menjawab, tapi ia tidak tahu harus berkata apa. Dalam hati, ia tahu Aira benar. Tapi mengungkapkan semuanya berarti membuka luka yang ia sembunyikan selama ini, dan ia tidak yakin apakah Aira siap menghadapi itu.

Pertemuan Tak Terduga

Hari itu, Aira memutuskan untuk pergi keluar. Ia tidak ingin terus berada di apartemen yang membuatnya merasa terjebak. Ia berjalan tanpa tujuan hingga menemukan dirinya kembali di taman tempat ia dan Raka pernah menghabiskan sore bersama.

Saat ia duduk di bangku kayu, seseorang memanggil namanya. Aira menoleh dan menemukan Celine berdiri tak jauh darinya, tersenyum kecil.

“Kebetulan sekali,” kata Celine sambil mendekat.

Aira ingin pergi, tapi rasa penasarannya mengalahkan keinginannya untuk menghindar.

“Kamu sengaja mencariku?” tanya Aira langsung.

Celine tersenyum tipis, lalu duduk di bangku sebelahnya. “Tidak juga. Tapi sepertinya semesta ingin kita bertemu lagi.”

“Kalau kamu ingin bicara tentang Raka, aku rasa aku sudah cukup mendengarnya,” kata Aira tegas.

“Tapi apakah Raka sudah cukup jujur padamu?” balas Celine, nada suaranya penuh dengan sindiran halus.

Aira terdiam, tidak tahu harus menjawab apa.

“Kamu tahu, Aira,” lanjut Celine, “pernikahan kalian mungkin terlihat sempurna di luar, tapi aku yakin kamu merasakan bahwa ada sesuatu yang tidak beres, bukan?”

Aira menatap Celine dengan tajam. “Apa yang kamu coba katakan?”

Celine menghela napas, lalu menatap lurus ke depan. “Aku hanya ingin kamu tahu bahwa Raka tidak menikahimu karena cinta. Dia menikahimu karena dia tidak punya pilihan lain. Keluarganya terancam. Dan aku rasa kamu harus tahu alasannya.”

Aira merasa tubuhnya menegang. Ia sudah mendengar sedikit tentang alasan pernikahan mereka dari Raka, tapi mendengarnya dari orang lain membuatnya merasa terluka.

“Aku tahu ini kontrak,” kata Aira akhirnya. “Aku tidak pernah mengharapkan cinta darinya.”

“Tapi kamu mulai mencintainya, bukan?” tanya Celine dengan tatapan tajam.

Pertanyaan itu menghantam Aira seperti pukulan telak. Ia tidak menjawab, tapi wajahnya cukup untuk memberi Celine jawaban yang ia butuhkan.

“Dengarkan aku, Aira,” kata Celine dengan nada lebih lembut. “Raka bukan pria yang buruk. Tapi dia hidup dalam dunia yang penuh rahasia dan kebohongan. Kalau kamu tidak berhati-hati, kamu akan terluka lebih dalam.”

Setelah berkata demikian, Celine berdiri dan pergi, meninggalkan Aira sendirian dengan pikirannya.

Ketika Aira kembali ke apartemen, ia menemukan Raka sedang duduk di ruang tamu, masih mengenakan pakaian kerjanya. Wajahnya terlihat lelah, tapi ada kekhawatiran di matanya saat melihat Aira.

“Kamu ke mana?” tanyanya.

Aira tidak menjawab. Ia berjalan ke arahnya dan berdiri di depannya. “Aku bertemu Celine.”

Raka terdiam, lalu mengusap wajahnya dengan kedua tangan. “Apa yang dia katakan padamu?”

“Dia bilang kamu menikahiku karena tidak punya pilihan. Karena keluargamu terancam,” kata Aira dengan suara bergetar. “Itu benar, kan?”

Raka menatap Aira dengan ekspresi penuh rasa bersalah. “Aira, dengar aku—”

“Aku tidak butuh penjelasan panjang,” potong Aira. “Aku hanya ingin tahu apakah itu benar atau tidak.”

Raka menghela napas berat, lalu mengangguk perlahan. “Ya. Itu benar.”

Jawaban itu membuat Aira merasa seperti dunia runtuh di sekitarnya. Meski ia tahu sejak awal bahwa pernikahan ini hanyalah kontrak, mendengar pengakuan itu langsung dari Raka membuat hatinya terasa hancur.

“Kenapa kamu tidak pernah jujur sejak awal?” tanya Aira, air mata mulai mengalir di pipinya.

“Aku tidak ingin melibatkanmu lebih dalam,” jawab Raka, suaranya penuh penyesalan. “Aku tidak ingin kamu terluka karena semua ini.”

“Tapi aku sudah terluka, Raka,” kata Aira dengan suara bergetar. “Kamu mungkin berpikir kamu melindungiku, tapi sebenarnya kamu hanya membuatku merasa seperti pion dalam permainan ini.”

Raka mencoba mendekati Aira, tapi ia mundur, menghindar darinya. “Aku butuh waktu untuk memikirkan semuanya,” kata Aira sebelum berbalik dan masuk ke kamarnya, meninggalkan Raka sendirian di ruang tamu dengan rasa bersalah yang semakin dalam.

Malam itu, Aira tidak bisa tidur. Hatinya penuh dengan pertanyaan dan keraguan. Apakah ia harus tetap bertahan dalam pernikahan ini? Atau lebih baik pergi sebelum perasaannya semakin dalam?

Di sisi lain, Raka juga tidak bisa memejamkan mata. Ia tahu ia telah membuat kesalahan besar dengan tidak jujur pada Aira. Tapi apakah ia bisa memperbaiki semuanya sebelum semuanya benar-benar hancur?

Keheningan malam itu menjadi saksi dua hati yang terpisah oleh rasa sakit dan keraguan. Dan keduanya tidak tahu bahwa badai yang lebih besar sedang menunggu di depan.

Bab 8: Kebenaran yang Terungkap

Keheningan antara Aira dan Raka terus berlanjut setelah malam itu. Mereka berbicara hanya jika diperlukan, dan bahkan saat itu, kata-kata yang keluar terasa datar dan kaku. Aira menghabiskan lebih banyak waktu di luar rumah, sementara Raka tenggelam dalam pekerjaannya.

Namun, di balik jarak yang tercipta, ada sesuatu yang terus mengganjal hati Aira. Ia tidak bisa mengabaikan perasaan bahwa ada lebih banyak hal yang disembunyikan Raka.

Suatu pagi, saat Raka pergi lebih awal ke kantor, Aira tanpa sengaja menemukan sebuah map yang tertinggal di meja kerjanya. Awalnya, ia ragu untuk membukanya, tapi rasa penasaran yang mendalam mengalahkan keraguannya.

Ketika ia membuka map itu, matanya langsung terpaku pada isi dokumen di dalamnya. Di sana tertulis rincian kesepakatan antara Mahendra Corporation dan keluarga Wijaya. Yang membuat Aira terkejut adalah bagian yang menyebutkan bahwa pernikahan antara Raka dan dirinya adalah syarat utama untuk menyelamatkan bisnis keluarga Mahendra.

Aira merasa tubuhnya lemas. Selama ini ia tahu bahwa pernikahan mereka hanyalah kontrak, tapi melihat bukti hitam di atas putih membuatnya merasa seperti alat, bukan seseorang yang dihargai.

Di dokumen itu juga tertera sesuatu yang lebih mengejutkan: jika pernikahan ini gagal, seluruh aset keluarga Mahendra akan disita untuk melunasi utang. Itu berarti, hidup banyak orang bergantung pada kesuksesan hubungan palsu ini.

Ketika Raka pulang malam itu, Aira sudah menunggunya di ruang tamu. Ia duduk dengan map yang terbuka di pangkuannya, wajahnya tenang tapi matanya menyimpan kemarahan yang sulit disembunyikan.

“Raka,” panggil Aira pelan.

Raka berhenti di ambang pintu, tatapannya langsung tertuju pada map di tangan Aira. Ia tahu apa yang terjadi, dan wajahnya seketika memucat.

“Kamu tahu apa yang kutemukan hari ini?” tanya Aira, suaranya tetap tenang.

“Aira, aku bisa menjelaskan,” kata Raka cepat, tapi Aira mengangkat tangannya, menghentikannya.

“Aku tidak butuh penjelasanmu. Aku sudah membaca semuanya,” kata Aira tegas. “Jadi, selama ini, pernikahan kita bukan hanya tentang menyelamatkan bisnis, tapi juga tentang melindungi keluargamu dari kehancuran total. Dan aku hanyalah pion yang kamu gunakan untuk tujuan itu.”

Raka mencoba mendekati Aira, tapi ia tetap berdiri di tempatnya. “Aira, dengar aku. Aku tidak pernah bermaksud membuatmu merasa seperti itu.”

“Tapi itu yang terjadi, Raka!” seru Aira, suaranya mulai bergetar. “Aku mengerti pernikahan ini adalah kontrak. Tapi setidaknya aku berharap kamu bisa lebih jujur. Kamu menyuruhku percaya padamu, tapi kamu bahkan tidak memberitahuku kebenaran sepenuhnya.”

Raka menundukkan kepalanya, merasa bersalah. “Aku hanya ingin melindungimu dari beban ini, Aira. Aku tahu ini tidak adil bagimu, tapi aku tidak punya pilihan lain.”

“Dan aku juga tidak punya pilihan lain saat menerima tawaranmu, Raka,” balas Aira. “Tapi tahu tidak? Di tengah semua kepalsuan ini, aku mulai merasa bahwa ada sesuatu yang nyata di antara kita. Tapi ternyata aku salah.”

Raka menatap Aira dengan mata penuh rasa bersalah. “Aira, dengarkan aku. Aku memang menikahimu karena tekanan, tapi semua itu berubah. Tidak lagi melihatmu sebagai bagian dari rencana. Aku…”

Raka berhenti, tidak yakin apakah ia bisa melanjutkan kata-katanya.

“Kamu apa, Raka?” desak Aira.

“Aku mencintaimu,” jawab Raka akhirnya, suaranya rendah tapi penuh emosi. “Aku tahu aku terlambat mengatakannya, dan aku tahu aku telah menyakitimu. Tapi itu kebenarannya. Aku mencintaimu.”

Aira terdiam, hatinya dipenuhi dengan emosi yang campur aduk. Ia ingin mempercayai Raka, tapi luka yang ia rasakan masih terlalu dalam.

Setelah beberapa saat hening, Aira akhirnya berbicara. “Aku butuh waktu, Raka. Aku tidak tahu apakah aku bisa memaafkanmu atau tidak. Tapi yang jelas, aku tidak bisa terus hidup seperti ini.”

Raka mengangguk, meski hatinya terasa hancur. “Aku mengerti. Aku tidak akan memaksamu untuk mengambil keputusan sekarang. Aku hanya ingin kamu tahu bahwa aku benar-benar mencintaimu.”

Aira tidak menjawab. Ia mengambil map itu dan berjalan menuju kamarnya, meninggalkan Raka yang berdiri sendirian di ruang tamu.

Malam itu, keduanya kembali terjebak dalam pikiran masing-masing. Aira mencoba mencari tahu apakah ia masih bisa mempercayai Raka, sementara Raka merenungkan kesalahannya dan memikirkan cara untuk memperbaiki semuanya.

Namun, keduanya tahu bahwa kebenaran ini hanya awal dari konflik yang lebih besar. Masa depan mereka kini tergantung pada keputusan Aira—dan pada apakah Raka mampu membuktikan bahwa perasaannya memang tulus.

Bab 9: Pertaruhan Terakhir

Hari-hari berlalu dengan dingin, dan jarak antara Raka dan Aira semakin terasa. Aira mencoba mencari ketenangan dengan kembali ke rutinitas lamanya—menghabiskan waktu di kafe atau berjalan-jalan ke taman. Namun, pikirannya terus dipenuhi oleh pengakuan Raka.

Raka, di sisi lain, tenggelam dalam rasa bersalah. Ia tahu ia telah mengecewakan Aira, dan ia tidak bisa membiarkan semuanya berakhir begitu saja. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia merasa bahwa apa yang ia perjuangkan bukanlah tentang bisnis atau keluarga, melainkan seseorang yang benar-benar penting baginya.

Rencana Raka

Raka memutuskan untuk bertindak. Ia sadar bahwa permintaan maaf saja tidak akan cukup. Ia membutuhkan cara untuk menunjukkan pada Aira bahwa ia tulus, bahwa perasaannya nyata, dan bahwa ia siap melakukan apa pun untuk memperbaiki kesalahan yang telah ia buat.

Ia memulai dengan hal kecil—mengirim pesan pada Aira setiap pagi, meski pesan itu sering kali tidak dibalas. Ia juga mulai menyiapkan sarapan sendiri, berharap bisa mengurangi beban Aira. Namun, Aira tetap menjaga jaraknya.

Raka tidak menyerah. Ia memutuskan untuk mengajak Aira berbicara secara langsung. Suatu malam, ketika Aira kembali ke apartemen, Raka sudah menunggunya di ruang tamu dengan meja makan yang dihias sederhana. Di atas meja, ada lilin kecil dan dua piring makanan yang ia masak sendiri.

“Aku tidak tahu apa kamu mau duduk dan makan bersamaku, tapi aku ingin mencoba,” kata Raka dengan nada penuh harapan.

Aira menatapnya, ragu-ragu. Setelah beberapa saat, ia akhirnya duduk di seberang meja.

“Kenapa kamu melakukan ini?” tanya Aira, matanya masih menyimpan kebingungan.

“Karena aku ingin kamu tahu bahwa aku benar-benar peduli padamu,” jawab Raka. “Aku tahu aku sudah mengecewakanmu. Tapi aku tidak ingin menyerah begitu saja.”

Mereka makan dalam keheningan, hanya sesekali saling melirik. Namun, keheningan itu terasa berbeda—bukan lagi dingin, melainkan penuh dengan rasa ragu yang perlahan mencair.

Beberapa hari kemudian, saat Aira mulai sedikit membuka dirinya, masalah baru muncul. Di tengah hari yang cerah, Aira menerima telepon dari seseorang yang tidak ia kenal.

“Aira, aku ingin memperingatkanmu,” suara di telepon itu berkata. “Raka mungkin mengaku mencintaimu, tapi kamu harus tahu bahwa keluarganya hanya peduli pada bisnis. Mereka tidak akan pernah menerima seseorang seperti kamu.”

Aira merasa tubuhnya menegang. “Siapa ini?” tanyanya tajam.

Namun, penelepon itu sudah memutuskan sambungan sebelum ia bisa mendapatkan jawaban.

Kejadian itu membuat Aira kembali merasa tidak yakin. Ia mulai meragukan apakah perasaan Raka benar-benar tulus, atau apakah ini hanya cara lain untuk mempertahankan rencana keluarganya.

Ketika Raka pulang malam itu, Aira langsung menghadapinya.

“Ada seseorang yang meneleponku,” kata Aira tanpa basa-basi. “Dia bilang keluargamu tidak akan pernah menerima aku. Itu benar, kan?”

Raka terdiam. Ia tahu apa yang dikatakan itu benar, meski ia sendiri telah bertekad untuk melawan keinginan keluarganya.

“Aira,” kata Raka pelan, “keluargaku memang peduli pada status, tapi aku tidak peduli apa yang mereka pikirkan. Yang aku pedulikan adalah kamu.”

“Tapi bagaimana aku tahu kamu tidak akan berubah?” tanya Aira, suaranya bergetar. “Bagaimana aku tahu kamu tidak akan memilih mereka di atas aku?”

“Aku tidak bisa memberimu jaminan apa pun, kecuali satu hal,” jawab Raka. “Aku akan memperjuangkanmu, apa pun yang terjadi.”

Raka tahu bahwa kata-katanya saja tidak cukup. Ia memutuskan untuk menghadapi keluarganya secara langsung. Pada malam yang sama, ia pergi ke rumah orang tuanya dan berbicara dengan ayahnya, Pak Mahendra, yang selama ini menjadi penghalang terbesar dalam hidupnya.

“Aku tidak akan menyerah pada Aira,” kata Raka tegas. “Kalau itu berarti aku harus kehilangan dukungan kalian, aku siap menerimanya.”

Pak Mahendra menatap putranya dengan tajam. “Kamu benar-benar akan mempertaruhkan semuanya untuk wanita itu?”

“Dia lebih dari sekadar wanita, Ayah,” jawab Raka. “Dia adalah seseorang yang membuatku melihat hidup dengan cara yang berbeda. Dan aku tidak akan melepaskannya.”

Pak Mahendra terdiam sejenak sebelum akhirnya menghela napas berat. “Kalau itu keputusanmu, maka hadapilah konsekuensinya.”

Raka pulang dengan hati yang lebih ringan, meski ia tahu apa yang baru saja ia lakukan akan membawa dampak besar.

Ketika Raka kembali ke apartemen, ia menemukan Aira duduk di sofa, menunggunya. Wajah Aira penuh dengan emosi, campuran antara rasa sakit, keraguan, dan harapan.

“Apa kamu serius dengan semua ini, Raka?” tanya Aira, suaranya pelan namun tegas.

Raka mendekatinya, lalu duduk di sebelahnya. “Aku serius, Aira. Aku siap kehilangan segalanya jika itu berarti aku bisa mempertahankanmu.”

Mata Aira mulai berkaca-kaca. Ia tahu bahwa perasaan Raka tulus, tapi bagian dari dirinya masih takut untuk percaya sepenuhnya.

“Aku hanya butuh waktu,” kata Aira akhirnya. “Aku butuh waktu untuk menerima semuanya.”

Raka mengangguk. “Aku akan menunggumu, selama apa pun itu.”

Malam itu, meski hubungan mereka belum sepenuhnya pulih, ada harapan baru yang mulai tumbuh. Raka telah mempertaruhkan segalanya untuk Aira, dan kini semuanya tergantung pada keputusan Aira untuk menerima atau meninggalkannya.

Bab 10: Cinta di Balik Kontrak

Pagi itu, apartemen terasa lebih hangat daripada sebelumnya. Matahari masuk melalui tirai jendela yang setengah terbuka, menyinari ruang tamu tempat Aira duduk dengan secangkir teh di tangannya. Hari itu adalah hari terakhir pernikahan kontrak mereka, hari di mana mereka harus memutuskan masa depan hubungan mereka—apakah akan melanjutkannya atau mengakhirinya.

Aira memandangi secarik kertas di tangannya, kontrak yang dulu ia tandatangani tanpa banyak berpikir. Kini, semua terasa berbeda. Apa yang awalnya hanya perjanjian bisnis telah berubah menjadi sesuatu yang lebih rumit, sesuatu yang melibatkan perasaan.

Raka muncul dari kamarnya, mengenakan pakaian kasual yang tidak biasa ia kenakan. Wajahnya tampak tegang, tapi ia mencoba tersenyum ketika melihat Aira.

“Pagi,” sapanya pelan.

Aira mengangguk. “Pagi.”

Mereka duduk di ruang tamu, saling diam selama beberapa saat sebelum akhirnya Raka memutuskan untuk berbicara.

“Aira,” katanya, menatapnya dalam-dalam. “Hari ini adalah hari terakhir kontrak kita. Tapi aku tidak ingin ini menjadi akhir.”

Aira mengangkat wajahnya, matanya bertemu dengan tatapan Raka. “Apa maksudmu?”

“Aku tahu aku telah banyak melakukan kesalahan,” lanjut Raka. “Aku tahu aku tidak jujur sejak awal, dan aku tahu aku telah membuatmu merasa seperti alat dalam permainan ini. Tapi apa yang aku rasakan untukmu, Aira, itu nyata. Aku mencintaimu.”

Aira terdiam. Kata-kata Raka membuat hatinya berdebar, tapi ia masih diliputi keraguan.

“Bagaimana aku tahu ini bukan hanya sekadar kata-kata, Raka?” tanyanya pelan.

Raka menghela napas, lalu mengeluarkan sebuah amplop dari sakunya. Ia meletakkannya di meja, tepat di depan Aira.

“Aku sudah menulis surat pengunduran diriku dari perusahaan,” katanya. “Aku siap meninggalkan semua ini—pekerjaan, harta, bahkan nama keluarga—kalau itu yang diperlukan untuk membuktikan bahwa aku tulus.”

Aira memandang amplop itu dengan mata terbelalak. “Kamu… serius?”

“Serius,” jawab Raka tegas. “Aku tidak peduli tentang perusahaan atau apa pun lagi. Yang aku pedulikan hanya kamu.”

Air mata mulai mengalir di pipi Aira. Ia merasa terharu sekaligus bingung. Ia tidak pernah membayangkan seseorang seperti Raka, yang selama ini ia anggap sebagai pria dingin dan ambisius, rela melakukan pengorbanan sebesar itu.

“Raka…” Aira mencoba bicara, tapi suaranya tercekat.

Raka mengulurkan tangannya, menggenggam tangan Aira dengan lembut. “Aku tidak meminta jawaban sekarang. Aku hanya ingin kamu tahu bahwa aku siap memperjuangkanmu, apa pun yang terjadi.”

Hari itu, Aira pergi ke taman tempat ia sering menghabiskan waktu sendiri. Ia duduk di bangku yang sama seperti sebelumnya, memandangi pohon-pohon yang bergoyang ditiup angin.

Ia memikirkan semua yang telah terjadi, dari awal pernikahan mereka hingga saat ini. Ia tahu Raka telah banyak berubah, dan ia bisa merasakan ketulusan di balik kata-katanya. Tapi ia juga tahu bahwa keputusan ini akan mengubah hidup mereka selamanya.

Setelah beberapa jam merenung, Aira akhirnya tahu apa yang harus ia lakukan.

Cinta yang Diperjuangkan

Malam itu, Aira kembali ke apartemen. Ia menemukan Raka duduk di ruang tamu, tampak gelisah. Ketika ia melihat Aira masuk, ia segera berdiri, wajahnya penuh dengan harapan.

“Aira,” panggilnya pelan.

Aira mendekat, berdiri hanya beberapa langkah darinya. “Aku sudah memutuskan,” katanya, suaranya tenang tapi tegas.

Raka menahan napas, menunggu jawabannya.

“Aku ingin kita mencoba lagi,” kata Aira akhirnya, matanya berkaca-kaca. “Bukan sebagai bagian dari kontrak, tapi sebagai dua orang yang saling mencintai.”

Raka merasa hatinya melompat. Ia tidak bisa menahan senyum yang muncul di wajahnya. “Aira, aku janji aku tidak akan mengecewakanmu lagi.”

Aira mengangguk, lalu tersenyum. “Aku percaya padamu, Raka. Tapi kali ini, mari kita lakukan semuanya dengan jujur.”

Raka mendekati Aira, lalu memeluknya dengan erat. Malam itu, untuk pertama kalinya, mereka merasa bebas—bebas dari tekanan, kebohongan, dan ketakutan.

Beberapa bulan kemudian, Raka dan Aira memulai kembali hubungan mereka, kali ini tanpa kontrak atau syarat apa pun. Mereka memutuskan untuk tinggal di sebuah rumah kecil yang jauh dari hiruk-pikuk kota, tempat di mana mereka bisa membangun hidup baru bersama.

Raka, meski tidak lagi menjadi CEO, menemukan kebahagiaan dalam pekerjaan sederhana yang memberinya waktu lebih banyak untuk bersama Aira. Sementara itu, Aira mulai mengejar mimpinya membuka kafe kecil, sesuatu yang selalu ia impikan.

Cinta mereka mungkin dimulai dengan cara yang tidak biasa, tapi mereka tahu bahwa perjuangan dan pengorbananlah yang membuat hubungan mereka menjadi lebih kuat.

Dan kini, mereka menjalani hidup baru mereka dengan penuh cinta dan kejujuran, membuktikan bahwa bahkan di balik kontrak, cinta sejati bisa tumbuh dan berkembang.

Tamat.

Novel ini ditulis oleh Evi Fauzi, Penulis dari Novel Singkat. Baca juga novel romantis dan fiksi ilmiah lainnya.

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

    Leave a Reply

    Your email address will not be published. Required fields are marked *