Di Kota Arco yang dikuasai mafia, Adrien, pewaris organisasi kriminal besar yang menolak takdir kelamnya, berusaha mengungkap rahasia dokumen penting yang dapat menghancurkan kekuasaan sang bos mafia, Andrei. Dalam pengungsinya, ia diselamatkan oleh Luna, seorang penari klub malam yang ternyata memiliki masa lalu kelam sebagai anak angkat salah satu bos mafia.
Bersama-sama, mereka menghadapi bahaya, pengkhianatan, dan pertempuran sengit untuk mencari kebebasan dan kehidupan baru. Namun, di tengah intrik dan bahaya, cinta mereka tumbuh, menjadi kekuatan yang membantu mereka melawan dunia penuh kekacauan.
Bab 1: Jejak di Balik Cahaya Neon
Di bawah gemerlap lampu neon yang menghiasi jalan sempit Kota Arco, Luna berjalan tergesa-gesa menuju pintu belakang klub malam tempatnya bekerja. Dinding-dinding batu bata yang dipenuhi graffiti menciptakan suasana kelam, seolah menjadi cerminan dari kehidupan kota yang dikuasai mafia itu. Klub malam, bernama Velvet Moon, adalah salah satu tempat hiburan terbesar di kota. Namun bagi Luna, tempat itu hanyalah panggung yang membatasi mimpinya.
Malam itu, angin dingin menusuk kulit, membawa aroma aspal basah bercampur alkohol dari gang sempit di belakang klub. Luna merapatkan jaket tipisnya sambil menghela napas panjang. Hari itu ia merasa lebih lelah dari biasanya setelah tampil di tiga pertunjukan beruntun. Sepatu hak tingginya nyaris mengkhianatinya, tapi ia berusaha menjaga keseimbangan hingga tiba di pintu logam tua yang berkarat. Saat hendak membuka pintu, suara aneh menghentikan langkahnya.
“Ugh…” Suara itu seperti rintihan seseorang yang kesakitan.
Luna menoleh, memicingkan mata ke arah kegelapan di sudut gang. Awalnya, ia ragu. Kota ini penuh orang yang mencari masalah, dan ia bukan seseorang yang suka mencampuri urusan orang lain. Namun, rasa penasaran menguasainya. Ia melangkah hati-hati, mendekati sumber suara.
Di bawah lampu jalan yang berkedip-kedip, ia melihat seorang pria tergeletak dengan tubuh berlumur darah. Pakaiannya robek, wajahnya penuh luka, dan napasnya terdengar berat. Ada sesuatu yang aneh pada sosoknya, sesuatu yang membuat Luna merinding. Namun, tatapan matanya yang sayu memancarkan permohonan, seolah meminta pertolongan.
“Siapa kau?” tanya Luna, suaranya nyaris tenggelam oleh detak jantungnya sendiri.
Pria itu tidak menjawab, hanya mengangkat tangan gemetar, mencoba meraih bantuan. Luna menggigit bibirnya, berjuang melawan instingnya untuk lari. Akhirnya, ia berjongkok dan menepuk bahu pria itu dengan hati-hati.
“Kau butuh dokter,” katanya.
“Jangan…” pria itu berbisik, suaranya hampir tak terdengar. “Jangan bawa siapa pun…”
Luna mengerutkan kening. Luka pria itu cukup parah. Ada bekas tembakan di bahunya, dan darah menetes membentuk genangan kecil di bawah tubuhnya. “Kalau tidak segera diobati, kau bisa mati!” protesnya.
“Lebih baik mati… daripada mereka menemukanku,” balas pria itu dengan suara lirih namun tegas.
Kata-katanya membuat Luna bergidik. ‘Mereka’? Siapa yang dimaksud pria ini? Gangster? Polisi? Atau mungkin pembunuh bayaran? Otaknya dipenuhi berbagai spekulasi.
Sebelum Luna sempat berpikir lebih jauh, suara langkah kaki bergema dari ujung gang. Suara itu berat dan tergesa-gesa, seperti sekelompok orang yang mendekat. Luna segera menoleh ke arah pria itu. “Kau dikejar?” tanyanya dengan nada mendesak.
Pria itu hanya mengangguk lemah.
Tanpa berpikir panjang, Luna memutuskan untuk bertindak. Ia membantu pria itu berdiri, menopang tubuhnya yang hampir tak berdaya. “Ayo, kita harus keluar dari sini!” ucapnya, meskipun ia tahu itu adalah keputusan yang berbahaya.
Dengan susah payah, mereka bergerak menuju pintu belakang klub. Luna membuka pintu dengan cepat dan menyeret pria itu masuk ke dalam gudang kecil yang penuh dengan kotak-kotak bir dan minuman keras. Ia menutup pintu rapat-rapat, menahan napas saat suara langkah kaki semakin mendekat.
“Dia pasti di sekitar sini!” terdengar suara kasar dari luar.
Luna merasakan detak jantungnya semakin cepat. Ia menoleh ke arah pria itu, yang kini duduk bersandar di dinding dengan wajah pucat. “Siapa mereka?” bisiknya.
Pria itu tidak menjawab. Matanya terpejam, seolah kehabisan tenaga. Luna memutuskan untuk tetap diam, berharap orang-orang di luar akan pergi. Beberapa menit berlalu dalam ketegangan, hingga akhirnya suara langkah kaki mulai menjauh.
Luna menghela napas lega, tetapi ia tahu ini belum selesai. Ia menatap pria misterius itu dengan campuran rasa ingin tahu dan ketakutan. Siapa sebenarnya orang ini? Dan mengapa hidupnya terasa begitu berbahaya?
“Baiklah,” kata Luna, suaranya lebih tenang. “Aku akan membantumu malam ini. Tapi besok, kau harus pergi.”
Pria itu membuka matanya perlahan, menatap Luna dengan sorot mata yang sulit diartikan. “Terima kasih,” katanya singkat sebelum kembali terpejam.
Luna tidak tahu, bahwa keputusan kecil malam itu akan mengubah hidupnya untuk selamanya.
Bab 2: Identitas yang Tersembunyi
Pagi yang dingin menyelimuti Kota Arco, namun keheningan di apartemen kecil milik Luna terasa penuh ketegangan. Pria misterius yang diselamatkannya malam sebelumnya terbaring di sofa, dengan perban seadanya yang melilit bahunya. Luna duduk di kursi kayu di dekatnya, memandangi wajah pria itu dengan campuran rasa ingin tahu dan waspada.
Sinar matahari pagi yang masuk melalui jendela memperlihatkan lebih banyak detail tentang pria itu. Wajahnya tampak muda, mungkin tidak jauh berbeda dengan usia Luna, namun garis rahang tegas dan sorot mata tajamnya memberikan kesan bahwa ia telah melalui banyak hal dalam hidup. Meski luka di bahunya mulai membaik setelah dirawat semalam, pria itu tetap terlihat lemah.
Saat Luna hendak membersihkan luka pria itu, matanya tiba-tiba terbuka. Tatapannya langsung menghujam Luna, membuatnya sedikit mundur. “Kau… siapa?” tanya pria itu dengan suara serak.
Luna memutar matanya. “Seharusnya aku yang bertanya. Aku yang menyelamatkanmu. Jadi, siapa kau sebenarnya?”
Pria itu tidak langsung menjawab. Ia menggerakkan tubuhnya perlahan, mencoba duduk, meskipun rasa sakit jelas terpancar dari raut wajahnya. “Namaku Adrien,” katanya akhirnya.
“Adrien siapa?” Luna menyelidik.
Adrien menghela napas, seolah mempertimbangkan seberapa banyak yang bisa ia katakan. “Adrien saja. Aku hanya seorang pelancong yang… mengalami sedikit masalah.”
Luna tertawa kecil, tapi tanpa humor. “Masalah? Luka tembak di bahu dan sekelompok pria bersenjata yang mencarimu itu lebih dari sekadar masalah biasa.”
Adrien tidak membalas. Ia hanya menundukkan kepala, membiarkan keheningan mengisi ruangan. Namun, Luna tidak berniat membiarkan pria itu lolos tanpa jawaban.
“Kau tidak mungkin orang biasa,” lanjutnya. “Jadi, apa kau penjahat? Pembunuh? Atau anggota geng?”
“Bukan,” Adrien memotong cepat, nada suaranya tiba-tiba dingin. “Aku bukan penjahat.”
Luna mengerutkan kening. Jawaban itu terasa jujur, tapi tetap ada sesuatu yang disembunyikan Adrien.
“Kalau begitu, siapa mereka yang mengejarmu?” tanya Luna lagi.
Adrien menatapnya sejenak, seolah sedang menilai apakah ia bisa mempercayai gadis ini. Akhirnya, ia berkata, “Mereka adalah orang-orang yang bekerja untuk organisasi besar. Mereka pikir aku tahu sesuatu yang penting… sesuatu yang bisa menghancurkan mereka.”
“Organisasi besar?” Luna mengulang, bingung.
Adrien mengangguk, lalu mengalihkan pandangannya ke jendela. “Aku tidak bisa menjelaskan lebih banyak. Tapi aku harus segera pergi dari sini. Jika aku tetap tinggal, mereka akan menemukanmu juga.”
Kata-katanya membuat Luna bergidik. Bahaya yang mengelilingi Adrien terasa seperti sesuatu yang jauh lebih besar dari yang pernah ia bayangkan. Namun, entah mengapa, ada sesuatu dalam diri pria ini yang membuatnya ingin membantu.
“Bagaimana kau bisa pergi kalau kau bahkan tidak bisa berdiri tanpa kesakitan?” tanya Luna, mencoba menyembunyikan rasa cemasnya.
Adrien tidak menjawab. Ia hanya menatap Luna dengan sorot mata yang tajam, seolah berkata bahwa ia tidak punya pilihan.
“Aku bisa membantumu,” kata Luna akhirnya, meski ia tahu itu adalah keputusan yang berbahaya. “Tapi kau harus memberitahuku segalanya. Aku tidak akan terjebak dalam situasi ini tanpa tahu apa yang sedang kuhadapi.”
Adrien terlihat ragu, tapi akhirnya ia mengangguk pelan. “Baik. Aku akan memberitahumu… nanti. Tapi untuk sekarang, aku hanya butuh tempat untuk bersembunyi selama satu atau dua hari. Setelah itu, aku akan pergi.”
Luna menghela napas panjang. Ia tahu ini adalah keputusan yang gila, tapi untuk alasan yang bahkan ia sendiri tidak mengerti, ia merasa harus membantu pria ini. “Baiklah,” katanya. “Tapi kau harus berjanji untuk tidak membawa masalah ke tempat ini.”
Adrien tersenyum tipis, meski raut lelah masih terpancar dari wajahnya. “Aku akan berusaha.”
Hari itu, Luna meninggalkan Adrien di apartemennya dan pergi bekerja seperti biasa. Namun, sepanjang hari, pikirannya terus dipenuhi pertanyaan tentang pria misterius itu. Apa sebenarnya yang ia sembunyikan? Dan mengapa Luna merasa bahwa kehadirannya akan membawa perubahan besar dalam hidupnya?
Sementara itu, di sebuah gedung tinggi di pusat kota, sekelompok pria berpakaian hitam berdiskusi dengan serius. “Adrien berhasil lolos lagi,” kata salah satu dari mereka, nada suaranya penuh kemarahan.
“Dia tidak akan jauh,” jawab pria lain dengan suara rendah tapi mengintimidasi. “Kita akan menemukannya. Dan kali ini, tidak ada yang akan menghalangi kita.”
Mereka tidak tahu bahwa Adrien kini berada di tempat yang jauh dari dugaan mereka—di bawah perlindungan seorang gadis penari klub malam yang sama sekali tidak terlibat dalam permainan berbahaya ini.
Namun, permainan itu baru saja dimulai.
Bab 3: Pelarian di Kota Gelap
Malam mulai turun di Kota Arco, membawa kabut tipis yang menyelimuti jalan-jalan sempitnya. Luna menatap keluar jendela apartemennya, memperhatikan keramaian lampu kendaraan yang bergerak tanpa arah pasti. Ia sudah pulang lebih awal dari klub, sesuatu yang jarang ia lakukan, tapi pikirannya terus terikat pada pria yang kini terbaring di sofa kecilnya.
Adrien terlihat lebih baik, meski masih lemah. Ia duduk dengan punggung bersandar pada bantal, tangan kirinya memegang secangkir teh yang dibuatkan Luna. Ada sesuatu yang berbeda dari dirinya malam ini. Mata tajamnya terus bergerak, seperti memindai setiap sudut ruangan, seolah ia sedang bersiap menghadapi sesuatu yang buruk.
“Kau yakin mereka tidak akan menemukanku di sini?” tanyanya tiba-tiba, memecah keheningan.
Luna mendesah. “Apartemen ini tidak istimewa. Hanya salah satu dari ratusan tempat kumuh di kota ini. Kau aman, untuk sementara.”
Adrien tidak tampak puas dengan jawaban itu. Ia menaruh cangkir tehnya di meja kecil di samping sofa dan mulai mencoba berdiri, meskipun rasa sakit jelas terpancar di wajahnya.
“Kau mau apa?” tanya Luna, sedikit panik melihat Adrien berusaha memaksa tubuhnya untuk bergerak.
“Aku tidak bisa terus di sini,” jawab Adrien tegas. “Mereka pasti sedang mencariku. Semakin lama aku tinggal, semakin berbahaya untukmu.”
Luna mendekatinya, menahan bahunya agar ia tidak jatuh. “Kau bahkan tidak bisa berjalan tanpa kesakitan! Bagaimana kau mau pergi?”
Adrien terdiam, tapi sorot matanya tetap keras kepala. Luna tahu, pria ini tidak akan berhenti sampai ia melakukan apa yang menurutnya benar, bahkan jika itu berarti mempertaruhkan nyawanya.
“Kita harus mencari cara,” kata Adrien akhirnya. “Aku tahu tempat aman di pinggiran kota, tapi aku tidak bisa ke sana sendirian.”
“Pinggiran kota? Maksudmu keluar dari distrik ini?” Luna mengerutkan dahi. “Kau gila? Setiap sudut jalan di luar sana pasti sedang diawasi.”
Adrien menatapnya, matanya penuh keyakinan. “Itu sebabnya aku butuh bantuanmu.”
Luna terdiam. Ia tahu ini adalah keputusan yang gila, tapi melihat tekad Adrien, ia merasa tidak punya pilihan. Bagaimanapun, ia sudah terlibat terlalu jauh untuk mundur sekarang.
“Baik,” kata Luna akhirnya, meski suaranya terdengar ragu. “Tapi kita harus melakukannya dengan hati-hati. Jika mereka menangkap kita…”
Adrien mengangguk. “Aku tahu risikonya. Tapi ini satu-satunya cara.”
Beberapa jam kemudian, mereka keluar dari apartemen Luna dengan hati-hati. Adrien mengenakan hoodie hitam yang menutupi sebagian besar wajahnya, sementara Luna memimpin jalan di depannya. Jalanan sekitar apartemen cukup sepi, hanya beberapa orang yang berlalu-lalang. Namun, ketegangan terasa nyata di udara.
“Kita akan lewat jalan kecil di belakang pasar,” bisik Luna. “Kurang diawasi, tapi agak gelap.”
Adrien hanya mengangguk, mengikuti langkah Luna yang cepat tapi tenang. Mereka berusaha untuk tidak menarik perhatian, meskipun setiap langkah terasa seperti bom waktu.
Ketika mereka mencapai jalan kecil yang dimaksud Luna, suara langkah kaki lain tiba-tiba terdengar di belakang mereka. Adrien segera berhenti dan menarik Luna ke balik sebuah dinding.
“Ada yang mengikuti kita,” bisiknya pelan.
Luna menahan napas. Ia menoleh ke arah jalan utama, tapi tidak melihat siapa pun. “Kau yakin?”
Adrien mengangguk. “Instingku tidak pernah salah.”
Beberapa detik kemudian, seorang pria berjaket hitam muncul di ujung jalan, melihat ke sekeliling dengan tatapan tajam. Ia membawa sesuatu di pinggang—sebuah pistol.
“Dia salah satu dari mereka,” kata Adrien pelan.
“Lalu apa yang kita lakukan sekarang?” tanya Luna, panik.
Adrien menatap sekeliling, mencari jalan keluar. “Ada lorong di sana,” katanya, menunjuk ke sebuah gang kecil di sebelah kanan. “Kita harus bergerak cepat.”
Mereka segera berlari ke arah gang, menjaga langkah mereka tetap senyap. Namun, pria itu tampaknya menyadari keberadaan mereka dan mulai mengejar.
“Ayo, lebih cepat!” desak Adrien.
Luna berusaha mengikuti, tapi rasa takut membuat tubuhnya terasa lemah. Ia hampir jatuh, namun Adrien menangkap lengannya dan menariknya ke depan.
Saat mereka hampir mencapai ujung gang, suara tembakan terdengar, memecah keheningan malam. Peluru menghantam dinding di sebelah mereka, membuat Luna berteriak kecil.
“Kita tidak bisa terus lari seperti ini!” kata Luna, napasnya tersengal.
Adrien mengangguk, lalu tiba-tiba menarik Luna masuk ke dalam sebuah toko kosong yang pintunya terbuka sedikit. Mereka bersembunyi di balik rak tua, menahan napas saat suara langkah kaki mendekat.
Pria itu berhenti di depan toko, melihat sekeliling dengan curiga. Adrien memegang sebuah pipa besi yang ia temukan di lantai, bersiap jika pria itu masuk.
Namun, setelah beberapa menit, pria itu tampaknya menyerah dan pergi. Adrien dan Luna tetap diam sampai suasana benar-benar tenang.
“Dia sudah pergi,” kata Adrien akhirnya.
Luna menghela napas lega, meskipun tangannya masih gemetar. “Ini terlalu berbahaya,” gumamnya.
Adrien menatapnya dengan penuh penyesalan. “Maaf. Tapi aku berjanji, kita hampir sampai.”
Luna tidak tahu apakah ia harus mempercayai janji itu, tapi untuk saat ini, ia tidak punya pilihan lain selain terus maju. Di bawah langit malam Kota Arco, mereka melanjutkan pelarian mereka—menuju tempat aman yang masih terasa seperti mimpi yang jauh.
Bab 4: Pewaris yang Dicari
Luna dan Adrien tiba di sebuah rumah kecil di pinggiran Kota Arco, jauh dari hiruk-pikuk distrik pusat. Rumah itu tampak tua, dengan dinding kayu yang mulai lapuk dan jendela yang tertutup tirai tebal. Adrien menyuruh Luna menunggu di luar sementara ia memeriksa keadaan.
“Kau yakin tempat ini aman?” bisik Luna, matanya terus mengawasi jalan.
Adrien mengangguk. “Rumah ini milik seseorang yang pernah menolongku. Dia bisa dipercaya.”
Setelah memastikan tidak ada ancaman, Adrien mengetuk pintu tiga kali dengan pola tertentu. Beberapa detik kemudian, pintu terbuka sedikit, menampilkan seorang pria tua dengan wajah keras dan sorot mata tajam.
“Adrien?” Pria itu terlihat terkejut, namun suaranya rendah dan penuh kewaspadaan.
“Ini aku, Marco. Aku butuh bantuanmu,” jawab Adrien.
Marco membuka pintu sepenuhnya, mempersilakan mereka masuk. “Cepat, sebelum ada yang melihat kalian.”
Di dalam rumah, Luna mengamati sekeliling. Ruangan itu sederhana, dengan hanya beberapa perabotan tua dan rak buku yang penuh dengan dokumen. Marco mempersilakan mereka duduk, lalu mengunci pintu dan menurunkan semua tirai.
“Apa yang terjadi padamu, Adrien? Dan siapa dia?” Marco melirik Luna dengan curiga.
“Namaku Luna,” jawab Luna sebelum Adrien sempat berbicara. “Aku yang menyelamatkannya.”
Marco menatap Adrien, menunggu penjelasan. Adrien menghela napas panjang, lalu mulai berbicara.
“Aku dalam pelarian,” katanya. “Orang-orang dari faksi Andrei mencariku. Mereka pikir aku tahu sesuatu yang bisa menghancurkan mereka.”
Marco mengangkat alis. “Dan apa itu? Apa yang mereka pikir kau tahu?”
Adrien terdiam sejenak, seolah ragu untuk mengungkapkan kebenaran. Namun, akhirnya ia berkata, “Aku adalah pewaris organisasi Ayahku. Ketika Ayah meninggal, aku seharusnya mengambil alih, tapi aku menolak. Aku ingin keluar dari dunia itu. Aku tidak ingin menjadi bagian dari apa yang telah ia bangun.”
Luna terperangah mendengar pengakuan itu. “Jadi, kau… anak dari bos mafia?” tanyanya dengan nada tidak percaya.
Adrien menatap Luna, matanya dipenuhi rasa bersalah. “Ya. Ayahku adalah pemimpin salah satu organisasi kriminal terbesar di kota ini. Tapi aku tidak pernah setuju dengan caranya menjalani hidup.”
Marco mengangguk pelan. “Aku tahu Ayahmu, Adrien. Dia keras, tapi dia punya prinsip. Dan kau, kau lebih mirip ibumu—selalu mencari jalan keluar dari kegelapan.”
Luna masih mencoba mencerna semuanya. “Jadi, mereka mencarimu karena kau menolak menjadi pemimpin?”
Adrien menggeleng. “Bukan hanya itu. Sebelum meninggal, Ayah meninggalkan dokumen penting—catatan tentang semua kegiatan ilegal organisasi, termasuk nama-nama orang penting yang terlibat. Jika dokumen itu jatuh ke tangan musuh, organisasi ini bisa runtuh.”
Marco memotong, “Dan mereka pikir kau tahu di mana dokumen itu.”
Adrien mengangguk. “Padahal aku tidak tahu. Aku bahkan tidak tahu apakah dokumen itu benar-benar ada. Tapi mereka tidak peduli. Selama aku hidup, mereka akan terus mencariku.”
Luna merasa jantungnya berdebar. Situasi ini jauh lebih rumit daripada yang ia bayangkan. Ia ingin bertanya lebih banyak, tapi Marco menyela.
“Kau tidak bisa tinggal di sini lama-lama,” kata Marco. “Rumah ini terlalu mudah ditemukan. Aku akan mengatur tempat lain untukmu, tapi kau harus bergerak malam ini.”
Adrien tampak lelah, namun ia mengangguk setuju. “Terima kasih, Marco. Aku tahu ini berisiko untukmu.”
Marco menepuk bahunya. “Aku sudah berhutang budi pada Ayahmu. Ini hal kecil dibandingkan apa yang pernah ia lakukan untukku.”
Malam itu, Luna dan Adrien kembali melanjutkan perjalanan. Luna tidak bisa berhenti memikirkan semua yang telah ia dengar. Ia tidak pernah membayangkan bahwa pria yang diselamatkannya adalah pewaris organisasi mafia besar.
“Kenapa kau tidak bilang dari awal?” tanya Luna saat mereka berjalan di jalan setapak yang gelap.
Adrien tersenyum tipis. “Karena aku tidak ingin kau takut. Kau sudah cukup membantu. Aku tidak ingin menyeretmu lebih dalam.”
“Terlambat,” balas Luna tajam. “Aku sudah terlibat. Dan sekarang aku juga menjadi target mereka, kan?”
Adrien berhenti sejenak, menatap Luna dengan sorot penuh penyesalan. “Aku minta maaf. Kalau aku bisa melindungimu, aku akan melakukannya.”
Luna mendesah, mencoba meredam amarahnya. “Baiklah. Kita sudah sejauh ini. Aku hanya berharap kau tahu apa yang kau lakukan.”
Adrien tidak menjawab. Dalam hatinya, ia tahu bahwa perjalanan ini tidak akan mudah. Namun, ia juga tahu bahwa ia tidak bisa mundur. Di bawah langit malam Kota Arco, mereka terus melangkah, tanpa menyadari bahwa bahaya yang lebih besar sudah menunggu mereka di depan.
Bab 5: Aliansi Tak Terduga
Di tengah malam yang sunyi, Adrien dan Luna sampai di sebuah bangunan tua di pinggir kota. Bangunan itu tampak seperti gudang kosong, dengan pintu besi besar yang berkarat dan jendela-jendela kecil yang hampir tertutup debu. Adrien mengetuk pintu dengan pola tertentu, seperti yang ia lakukan sebelumnya di rumah Marco.
“Tempat apa ini?” tanya Luna, suaranya rendah.
“Tempat perlindungan,” jawab Adrien singkat. “Mereka yang ada di sini bukan bagian dari organisasi besar, tapi mereka punya sejarah panjang dengan Ayahku. Mereka bisa dipercaya.”
Pintu akhirnya terbuka, menampilkan seorang pria tinggi dengan tubuh kekar dan bekas luka di wajahnya. Tatapannya tajam, dan meskipun ia tampak tidak ramah, ada rasa hormat yang terpancar ketika matanya bertemu dengan Adrien.
“Adrien?” tanya pria itu dengan suara berat.
“Ya, ini aku, Elias,” jawab Adrien. “Aku butuh bantuanmu.”
Elias membuka pintu lebih lebar, memberi isyarat agar mereka masuk. Di dalam, gudang itu terlihat jauh lebih sibuk daripada yang Luna bayangkan. Beberapa orang sedang duduk di meja panjang, membersihkan senjata dan berbicara dengan pelan. Di sudut ruangan, ada peta besar Kota Arco yang penuh dengan tanda-tanda dan catatan kecil.
“Siapa dia?” Elias menunjuk ke arah Luna.
“Dia Luna,” kata Adrien tanpa ragu. “Dia menyelamatkanku.”
Elias menatap Luna dari atas ke bawah, lalu mengangguk. “Kalau dia bersamamu, berarti dia aman di sini.”
Luna merasa sedikit lega, meskipun suasana di dalam gudang masih membuatnya gugup. Adrien dan Elias berbicara lebih jauh di sudut ruangan, sementara Luna duduk di salah satu kursi, mencoba memahami apa yang sedang terjadi.
Tak lama kemudian, Adrien kembali dan duduk di hadapannya. “Mereka setuju untuk membantu. Elias dan timnya punya koneksi di luar kota. Mereka bisa mengatur pelarian kita.”
“Pelarian? Ke mana?” tanya Luna, bingung.
“Ke tempat yang lebih aman,” jawab Adrien. “Mungkin di luar Arco, jauh dari semua ini.”
Luna terdiam sejenak. Ia tahu ini adalah kesempatan untuk mengakhiri semua kekacauan yang telah ia alami sejak menyelamatkan Adrien. Namun, ada sesuatu yang mengganjal di hatinya.
“Kau yakin mereka bisa dipercaya?” tanyanya akhirnya.
Adrien mengangguk. “Mereka mungkin terlihat kasar, tapi mereka memiliki loyalitas yang tinggi. Ayahku pernah membantu mereka, dan sekarang mereka membalas budi itu.”
Malam itu, Adrien dan Luna diberikan kamar kecil di bagian belakang gudang untuk beristirahat. Namun, Luna sulit tidur. Pikirannya terus dipenuhi pertanyaan—tentang Adrien, bahaya yang mengintai mereka, dan bagaimana hidupnya berubah begitu drastis hanya dalam beberapa hari.
“Apa kau pernah berpikir untuk menyerah?” tanya Luna tiba-tiba, memecah keheningan.
Adrien, yang duduk di sudut kamar dengan memandangi peta kecil di tangannya, menoleh. “Menyerah bukan pilihan. Kalau aku menyerah, mereka akan menang. Dan itu berarti lebih banyak orang tak bersalah yang akan menderita karena organisasi itu.”
Luna mengangguk pelan. “Tapi kau tidak merasa sendirian menghadapi semua ini?”
Adrien tersenyum tipis. “Tentu saja aku merasa sendirian. Tapi sekarang, aku punya alasan untuk terus bertahan.”
“Alasan?” Luna mengerutkan kening.
Adrien menatapnya langsung, matanya penuh ketulusan. “Kau.”
Luna terdiam, merasakan wajahnya memanas. Ia tidak tahu harus berkata apa, jadi ia hanya mengalihkan pandangannya dan berpura-pura tidak mendengar.
Namun, momen itu segera terganggu oleh suara gaduh dari luar kamar. Adrien langsung berdiri, mengisyaratkan Luna untuk tetap diam. Ia membuka pintu perlahan dan melihat Elias sedang berbicara dengan seseorang yang tampaknya tidak diundang.
“Kau pikir kami tidak tahu kau menyembunyikan Adrien di sini?” Suara pria asing itu terdengar keras dan penuh ancaman.
Luna mendekat dengan hati-hati, mencoba mengintip dari balik pintu. Ia melihat seorang pria berpakaian rapi namun membawa pistol di tangannya. Di belakangnya, ada tiga pria lain yang tampak seperti pengawal.
“Kalian salah tempat,” jawab Elias dengan tenang. “Tidak ada Adrien di sini.”
Pria itu tertawa kecil. “Kami tahu dia ada di sini, Elias. Jangan buat ini lebih sulit.”
Adrien kembali masuk ke kamar dan menutup pintu perlahan. Wajahnya serius. “Mereka menemukanku,” bisiknya.
Luna merasa jantungnya berdebar kencang. “Apa yang akan kita lakukan?”
Adrien mengambil senjata kecil yang diberikan Elias sebelumnya. “Kita harus keluar sekarang. Mereka tidak akan berhenti sampai mereka menangkapku.”
Ketegangan semakin memuncak. Adrien dan Luna tahu, mereka tidak bisa terus berlari tanpa menghadapi musuh yang mengejar mereka. Dalam situasi genting ini, Adrien menyadari bahwa satu-satunya cara untuk bertahan adalah dengan melawan—dan memastikan bahwa rahasia yang ia miliki tetap aman, berapa pun harganya.
Malam itu menjadi awal dari pertempuran yang lebih besar, di mana Adrien dan Luna harus memutuskan apakah mereka bisa mempercayai aliansi ini, atau jika mereka hanya bisa mengandalkan satu sama lain.
Bab 6: Rahasia Luna
Ketegangan semalam meninggalkan jejak pada semua orang di gudang. Elias dan timnya memperketat penjagaan, sementara Adrien dan Luna mencoba mencerna apa yang baru saja terjadi. Mereka berhasil lolos dari ancaman, tetapi perasaan tidak aman terus menghantui.
Pagi itu, Luna duduk sendirian di sudut ruangan, memandangi cahaya matahari yang masuk melalui celah-celah jendela gudang. Pikirannya penuh dengan bayangan tentang apa yang telah ia lalui selama beberapa hari terakhir.
Adrien mendekat, membawa secangkir kopi. “Kau kelihatan seperti sedang memikirkan sesuatu,” katanya sambil duduk di sebelahnya.
Luna tersenyum tipis. “Aku hanya mencoba memahami bagaimana hidupku berubah begitu cepat. Aku hanya penari klub malam, Adrien. Aku bukan seseorang yang terbiasa dengan kejar-kejaran dan ancaman senjata.”
Adrien mengangguk, memahami beban yang dirasakan Luna. “Aku minta maaf karena menyeretmu ke dalam ini. Tapi kau lebih kuat dari yang kau pikirkan.”
Luna menatapnya sejenak, ingin berkata sesuatu, tetapi ia menahan diri. Ada sesuatu yang ia sembunyikan, sesuatu yang selama ini ia coba lupakan. Namun, situasi ini memaksanya untuk menghadapi kenyataan.
“Ada sesuatu yang harus aku katakan padamu,” Luna akhirnya berkata, suaranya pelan.
Adrien menoleh, penasaran. “Apa itu?”
Luna menghela napas panjang, mencoba mencari kata-kata yang tepat. “Aku… Aku bukan hanya seorang penari klub malam.”
Adrien menatapnya dengan kening berkerut. “Maksudmu?”
Luna menarik napas dalam-dalam sebelum melanjutkan. “Aku dibesarkan oleh salah satu bos mafia di kota ini. Dia bukan Ayah kandungku, tapi dia menganggapku seperti anak sendiri. Aku meninggalkan hidup itu beberapa tahun lalu karena aku ingin memulai dari awal. Tapi… aku tahu terlalu banyak tentang mereka. Itulah sebabnya aku selalu mencoba untuk tetap di bawah radar.”
Adrien terdiam, mencoba mencerna informasi itu. “Jadi, kau punya hubungan dengan mereka? Dengan organisasi yang mengejarku?”
Luna mengangguk pelan. “Bos mereka, Andrei, dia yang membesarkanku. Aku tahu dia terobsesi untuk menguasai kota ini, dan aku tahu dia tidak akan berhenti sampai ia mendapatkan apa yang diinginkannya.”
Adrien menghela napas panjang, mencoba memahami situasi yang semakin rumit. “Luna, kenapa kau tidak memberitahuku sejak awal?”
“Aku takut,” jawab Luna, suaranya hampir berbisik. “Aku takut kau tidak akan mempercayaiku. Dan aku takut jika mereka tahu aku bersamamu, itu akan membuat semuanya lebih buruk.”
Adrien menatap Luna dengan sorot mata yang sulit diartikan. Ia ingin marah karena Luna menyembunyikan ini darinya, tetapi ia juga tahu bahwa Luna sudah mengambil risiko besar dengan membantunya.
“Aku tidak akan memintamu untuk memilih antara aku dan mereka,” kata Adrien akhirnya. “Tapi aku butuh tahu—apakah kau di sisiku?”
Luna menatapnya dengan mata penuh keyakinan. “Aku di sisimu, Adrien. Aku sudah meninggalkan mereka bertahun-tahun lalu, dan aku tidak akan kembali.”
Percakapan mereka terhenti ketika Elias masuk ke ruangan dengan wajah serius. “Kita punya masalah,” katanya tanpa basa-basi.
Adrien dan Luna berdiri. “Apa yang terjadi?” tanya Adrien.
Elias mengangkat telepon yang ada di tangannya. “Orang-orang Andrei sudah tahu bahwa kau ada di sini. Mereka sedang dalam perjalanan.”
Adrien mengepalkan tangannya. “Berapa banyak waktu yang kita punya?”
“Tidak banyak,” jawab Elias. “Mungkin satu atau dua jam sebelum mereka sampai di sini.”
Adrien melihat ke arah Luna, lalu kembali menatap Elias. “Kita harus pergi. Sekarang juga.”
Elias mengangguk. “Aku akan menyiapkan kendaraan. Tapi ini tidak akan mudah. Mereka punya mata-mata di mana-mana.”
Adrien memegang bahu Luna. “Kau siap untuk ini?”
Luna menatap Adrien dengan penuh keyakinan. “Aku tidak punya pilihan lain.”
Mereka segera bersiap untuk pelarian berikutnya, tetapi Luna tahu bahwa semakin jauh mereka melangkah, semakin banyak rahasia yang harus ia ungkapkan. Masa lalunya mungkin menjadi senjata yang bisa membantu Adrien, tetapi juga bisa menjadi alasan untuk kehancuran mereka berdua.
Di bawah langit yang mulai mendung, perjalanan mereka memasuki fase yang lebih berbahaya—di mana kepercayaan adalah satu-satunya hal yang bisa menyelamatkan mereka dari dunia penuh intrik dan pengkhianatan.
Bab 7: Dansa di Bawah Bulan Merah
Malam itu, di bawah langit Kota Arco yang dihiasi bulan merah purnama, Adrien dan Luna mendapati diri mereka dalam situasi yang tidak biasa. Mereka berhasil melarikan diri dari gudang Elias setelah mengetahui bahwa orang-orang Andrei sudah berada di dekatnya. Sekarang, mereka bersembunyi di salah satu distrik elite kota, menghadiri sebuah pesta penyamaran yang diselenggarakan oleh salah satu geng saingan Andrei.
Pesta itu diadakan di sebuah mansion mewah yang dikelilingi pagar tinggi dan penjagaan ketat. Lampu-lampu kristal menggantung di langit-langit, menciptakan suasana megah yang kontras dengan ketegangan yang menyelimuti mereka. Adrien dan Luna mengenakan topeng untuk menyembunyikan identitas mereka.
“Kenapa kita di sini?” tanya Luna dengan nada berbisik, matanya terus mengawasi keramaian tamu yang berdansa di aula utama.
Adrien menatapnya, matanya penuh keyakinan. “Informasi. Pesta ini adalah tempat di mana banyak orang penting berkumpul, termasuk mereka yang bekerja untuk Andrei. Aku yakin ada sesuatu yang bisa kita gunakan di sini.”
Luna menghela napas, merasa tidak nyaman. “Dan kau pikir mereka tidak akan mengenalimu?”
Adrien tersenyum tipis, menyentuh topeng hitam yang ia kenakan. “Itulah gunanya penyamaran. Lagipula, mereka tidak mengira aku cukup gila untuk muncul di sini.”
Luna ingin membalas, tetapi suara musik yang mengalun lembut tiba-tiba menarik perhatian mereka. Di tengah aula, pasangan-pasangan mulai berdansa, mengisi lantai dansa yang luas. Adrien menoleh ke Luna, mengulurkan tangannya.
“Dansa denganku,” katanya, nada suaranya lembut namun mendesak.
Luna terkejut. “Apa? Di tengah ini? Kau serius?”
Adrien tersenyum. “Semakin kita terlihat seperti tamu biasa, semakin kecil kemungkinan mereka mencurigai kita.”
Dengan ragu, Luna menerima uluran tangan Adrien. Ia merasa canggung, tetapi Adrien dengan cekatan memandu langkahnya ke lantai dansa. Dalam sekejap, mereka tenggelam dalam irama musik.
“Aku tidak percaya aku melakukan ini,” gumam Luna sambil mencoba mengikuti langkah Adrien.
Adrien tertawa kecil. “Kau melakukannya dengan baik. Bahkan mungkin terlalu baik.”
Meski suasana di sekitar mereka penuh ancaman, Luna mulai merasa sedikit tenang. Ada sesuatu dalam cara Adrien menatapnya—sesuatu yang membuatnya merasa aman, meski dunia di sekitar mereka sedang berantakan.
Ketika mereka berdansa, Adrien berbicara pelan, hanya cukup keras untuk didengar Luna. “Lihat pria di sudut itu. Yang memakai jas abu-abu.”
Luna melirik sekilas tanpa mencolok. “Apa tentang dia?”
“Dia salah satu informan Andrei. Jika kita bisa mendekatinya, mungkin kita bisa mendapatkan informasi tentang rencana mereka,” jelas Adrien.
“Dan bagaimana caranya kita mendekatinya tanpa membahayakan diri kita sendiri?” tanya Luna, mulai merasa cemas lagi.
Adrien tersenyum kecil. “Biarkan aku yang mengurusnya. Aku hanya butuh kau untuk tetap tenang dan ikut bermain.”
Setelah lagu berakhir, Adrien memandu Luna keluar dari lantai dansa, menuju meja minuman yang cukup dekat dengan pria yang dimaksud. Adrien berpura-pura mengambil segelas sampanye, sementara Luna berdiri di sebelahnya dengan tenang.
Pria berjas abu-abu itu akhirnya mendekati meja, dan Adrien dengan santai memulai percakapan. “Malam yang luar biasa, bukan?”
Pria itu mengangguk, matanya memeriksa Adrien dan Luna dengan cepat. “Ya, sangat menarik. Tapi saya tidak mengenali Anda sebelumnya. Dari pihak mana Anda datang?”
Adrien tersenyum tenang. “Saya baru di sini. Seseorang merekomendasikan pesta ini kepada saya. Dan Anda?”
Percakapan berlanjut dengan nada ringan, meskipun ketegangan jelas terasa di bawah permukaan. Luna hanya diam, memainkan perannya sebagai pendamping Adrien.
Namun, ketika percakapan mulai mendalam, pria itu menyebut sesuatu yang membuat Adrien langsung waspada. “Andrei akan membuat gerakan besar dalam waktu dekat. Banyak orang tidak tahu, tetapi dokumen itu… bisa menjadi senjatanya.”
Adrien hampir kehilangan kendali, tetapi ia berhasil menjaga wajahnya tetap tenang. “Dokumen?” tanyanya santai, mencoba menggali lebih dalam.
Pria itu tertawa kecil. “Oh, Anda tidak perlu tahu detailnya. Tapi jika saya jadi Anda, saya akan berhati-hati berada di kota ini terlalu lama.”
Percakapan mereka terhenti ketika seseorang memanggil pria itu dari kejauhan. Ia pergi dengan cepat, meninggalkan Adrien dan Luna dalam kebingungan.
“Apa maksudnya?” bisik Luna, suaranya penuh kecemasan.
Adrien menatapnya dengan wajah serius. “Dokumen itu benar-benar ada. Dan Andrei sedang merencanakan sesuatu yang besar.”
Sebelum mereka bisa berbicara lebih jauh, salah satu penjaga keamanan mulai memperhatikan mereka. Adrien segera meraih tangan Luna. “Kita harus pergi. Sekarang.”
Mereka bergegas meninggalkan pesta, melarikan diri ke kegelapan malam di luar mansion. Di bawah bulan merah yang bersinar terang, Adrien dan Luna tahu bahwa langkah mereka menuju kebenaran hanya membawa mereka lebih dekat ke bahaya. Namun, mereka juga tahu bahwa mereka tidak bisa berhenti sekarang.
“Adrien,” kata Luna, memecah keheningan saat mereka berjalan cepat. “Jika dokumen itu ada, apa yang akan kau lakukan?”
Adrien menatapnya, matanya penuh tekad. “Aku akan menghancurkannya. Apa pun risikonya.”
Di bawah bulan merah itu, mereka tidak hanya berdansa untuk menyembunyikan diri—mereka berdansa di ambang kekacauan yang lebih besar dari apa pun yang pernah mereka bayangkan.
Bab 8: Pengkhianatan di Tengah Malam
Hembusan angin malam di Kota Arco terasa menusuk, membawa aroma hujan yang hampir turun. Adrien dan Luna berlari melintasi gang-gang sempit, mencoba menjauh dari mansion tempat mereka hampir tertangkap. Namun, langkah mereka terhenti ketika sebuah van hitam meluncur dari ujung jalan dan berhenti tepat di depan mereka.
“Cepat, masuk!” suara Elias terdengar dari dalam van, membuat mereka terkejut sekaligus lega.
Adrien dan Luna segera masuk ke dalam tanpa banyak bertanya. Elias duduk di kursi pengemudi, menyalakan mesin dengan ekspresi serius. “Kalian bodoh,” katanya tanpa basa-basi. “Pesta itu penuh dengan mata-mata. Kalian bisa terbunuh.”
“Kami mendapatkan informasi penting,” balas Adrien. “Dokumen itu benar-benar ada, dan Andrei sedang merencanakan sesuatu yang besar.”
Elias mengangguk pelan, tetapi raut wajahnya tetap tegang. “Itu tidak mengubah fakta bahwa sekarang mereka tahu kalian ada di kota ini. Kita harus segera keluar dari sini.”
Van melaju dengan kecepatan tinggi, melewati jalan-jalan yang semakin gelap. Luna duduk diam, matanya memandangi Adrien dengan cemas. Namun, sebelum ia sempat berbicara, suara keras tiba-tiba terdengar—seperti sesuatu yang menghantam bagian belakang van.
“Apa itu?” tanya Luna, panik.
Elias mengintip melalui kaca spion, wajahnya berubah serius. “Mereka mengejar kita.”
Adrien menoleh ke belakang dan melihat dua mobil hitam melaju kencang, mendekati mereka. Dari jendela salah satu mobil, seorang pria dengan senjata muncul, bersiap menembak.
“Pegang sesuatu!” teriak Elias.
Tembakan pertama menghantam bagian belakang van, tetapi Elias dengan cekatan membelokkan kendaraannya ke gang sempit. Adrien segera mengambil senjata kecil yang ada di dashboard dan membuka jendela.
“Apa yang kau lakukan?” tanya Luna, ketakutan.
“Melindungi kita,” jawab Adrien singkat sebelum membidik salah satu mobil yang mengejar mereka. Tembakannya mengenai ban depan mobil itu, membuatnya meluncur ke dinding dan berhenti.
Namun, mobil kedua tetap mengejar dengan kecepatan tinggi. Tembakan terus terdengar, memecahkan kaca belakang van. Luna menunduk, melindungi kepalanya, sementara Elias terus mengemudi dengan penuh konsentrasi.
“Tidak ada jalan keluar di sini,” kata Elias dengan nada putus asa.
Adrien melihat peta kecil di dashboard dan menemukan jalan tikus yang mungkin bisa mereka gunakan. “Belok ke kiri di ujung jalan ini,” katanya.
Elias mengikuti instruksinya, membawa mereka ke gang yang lebih sempit. Mobil kedua mencoba mengikuti, tetapi terlalu besar untuk masuk. Mereka akhirnya berhasil kehilangan pengejar mereka, meskipun van Elias dalam kondisi buruk.
Mereka berhenti di sebuah gudang kosong untuk berlindung sementara. Luna turun dari van, napasnya masih tersengal. “Ini gila,” gumamnya. “Kita tidak bisa terus seperti ini.”
Adrien mendekat, menepuk bahunya. “Aku tahu ini sulit, tapi kita tidak punya pilihan. Kita harus terus maju.”
Namun, momen itu segera terganggu ketika Elias menarik Adrien ke samping, wajahnya penuh dengan kecemasan. “Kita punya masalah.”
Adrien mengerutkan kening. “Apa lagi sekarang?”
Elias menarik napas panjang sebelum menjawab. “Ada seseorang yang memberi tahu lokasi kita tadi malam. Pesta itu seharusnya rahasia, tapi mereka tahu kau akan ada di sana.”
Adrien terdiam, mencoba mencerna kata-kata Elias. “Kau bilang… ada pengkhianat?”
Elias mengangguk. “Seseorang di antara kita sedang bekerja untuk Andrei.”
Adrien menoleh ke arah Luna, yang sedang duduk di dekat pintu gudang, tampak kelelahan. “Tidak mungkin,” katanya, suaranya rendah.
“Aku tidak menuduh siapa pun,” balas Elias. “Tapi kau harus berhati-hati, bahkan terhadap orang yang paling kau percaya.”
Adrien tidak menjawab. Ia tahu Elias mungkin benar, tetapi hatinya menolak untuk percaya bahwa Luna, yang telah menyelamatkan hidupnya, bisa mengkhianatinya.
Malam itu, Adrien mendekati Luna yang duduk memandangi bulan. Cahaya merah bulan purnama memantulkan bayangan di wajahnya, membuatnya terlihat lebih rapuh.
“Luna,” panggil Adrien lembut.
Luna menoleh, senyumnya tipis. “Kau baik-baik saja?”
Adrien duduk di sebelahnya, mencoba membaca ekspresi wajahnya. “Aku hanya ingin bertanya… apa kau yakin kau tidak menyimpan sesuatu dariku?”
Pertanyaan itu membuat Luna terdiam. Ia tahu apa yang dimaksud Adrien, tetapi ia merasa tidak adil jika harus terus membuktikan dirinya.
“Aku sudah meninggalkan dunia itu, Adrien,” jawabnya akhirnya. “Tapi jika kau tidak percaya padaku, aku mengerti.”
Adrien merasakan rasa bersalah menyusup ke dalam dirinya. Ia tahu Luna sudah banyak berkorban, tetapi situasi ini membuatnya tidak bisa sepenuhnya tenang.
“Aku percaya padamu,” katanya akhirnya. “Aku hanya ingin memastikan kita bisa melewati ini bersama.”
Luna menatapnya, matanya berkilau. “Aku juga percaya padamu, Adrien. Apa pun yang terjadi, aku ada di sisimu.”
Percakapan mereka berakhir dengan keheningan yang canggung, tetapi keduanya tahu bahwa badai yang lebih besar sedang mendekat. Di tengah malam yang sunyi, mereka menyadari bahwa kepercayaan adalah senjata paling kuat yang mereka miliki—dan senjata itu akan diuji seiring waktu.
Bab 9: Perang di Atas Kota
Angin dingin berhembus kencang di atas gedung pencakar langit di pusat Kota Arco. Adrien dan Luna berdiri di tepi atap, mata mereka terfokus pada helikopter yang melayang di atas mereka dengan lampu sorot yang menyilaukan. Suara baling-baling yang memekakkan telinga bercampur dengan suara sirene dari jalan di bawah. Mereka telah sampai pada titik akhir pelarian mereka—pertarungan ini tidak lagi bisa dihindari.
“Ini jebakan,” kata Luna, matanya menatap tajam ke arah Adrien. “Kita seharusnya tidak datang ke sini.”
Adrien menarik napas panjang, memandang ke arah helikopter. “Aku tahu. Tapi kita tidak punya pilihan lain. Jika dokumen itu ada di sini, aku harus menemukannya.”
Di tengah percakapan mereka, pintu akses ke atap terbuka dengan keras. Sekelompok pria bersenjata keluar, dipimpin oleh seseorang yang Adrien kenal betul—Andrei, bos mafia yang selama ini memburu mereka.
“Adrien,” sapa Andrei dengan nada dingin, suaranya menggema di atas atap. “Kau benar-benar anak yang keras kepala. Aku sudah memberi kesempatan untukmu menyerah, tetapi kau justru memilih jalan yang lebih sulit.”
Adrien menatap Andrei dengan penuh kebencian. “Aku tidak akan membiarkanmu terus menguasai kota ini. Aku akan menghentikanmu, apa pun yang terjadi.”
Andrei tertawa kecil, menepuk tangan sambil melangkah lebih dekat. “Berani sekali kau mengatakan itu, padahal kau tidak punya apa-apa. Bahkan teman-temanmu mungkin tidak benar-benar di pihakmu.”
Luna merasakan tatapan Andrei beralih padanya, membuat darahnya membeku. “Dan kau, Luna. Gadis kecil yang kabur dari rumah. Kau pikir menyelamatkan Adrien akan menebus pengkhianatanmu?”
Luna mengepalkan tangan, mencoba menahan ketakutan yang merayap di tubuhnya. “Aku tidak pernah menjadi milikmu, Andrei. Kau tidak punya hak atas hidupku.”
Andrei mendekat, tetapi Adrien melangkah di depannya, melindungi Luna. “Jangan sentuh dia,” kata Adrien dengan nada tajam.
Ketegangan di udara memuncak. Andrei mengisyaratkan anak buahnya untuk bersiap, dan dalam sekejap, suasana berubah menjadi medan perang. Adrien menarik pistol dari sabuknya, sementara Luna bersembunyi di balik ventilasi besar di tepi atap.
Adu tembak terjadi dalam hitungan detik. Adrien bergerak cepat, mencari perlindungan sambil membalas tembakan. Anak buah Andrei terus menekan dari berbagai sudut, membuat Adrien sulit mendapatkan celah untuk menyerang balik.
Luna, meskipun takut, tidak tinggal diam. Ia menemukan pipa logam yang tergeletak di dekatnya dan menggunakannya untuk menyerang salah satu anak buah Andrei yang mendekatinya. Meskipun tubuhnya gemetar, ia tahu ia harus bertahan.
Di tengah kekacauan, Adrien berhasil melumpuhkan beberapa lawan dan mendekati Andrei. Dengan langkah penuh tekad, ia mengarahkan pistol ke kepala pria itu.
“Berhenti!” teriak Adrien, suaranya penuh kemarahan.
Andrei tersenyum dingin, tidak menunjukkan rasa takut. “Kau benar-benar berani, Adrien. Tapi kau lupa satu hal.”
Sebelum Adrien sempat bereaksi, seseorang muncul dari bayangan—Elias, dengan senjata yang diarahkan ke punggung Adrien.
“Elias?” Adrien menoleh, matanya melebar karena terkejut.
Elias tidak mengatakan apa-apa, tetapi tatapannya penuh rasa bersalah. “Maaf, Adrien,” katanya pelan. “Aku tidak punya pilihan.”
Andrei tertawa puas. “Lihat? Bahkan orang yang paling kau percayai tidak benar-benar setia padamu. Dunia ini memang seperti itu, Adrien. Tidak ada yang benar-benar di pihakmu.”
Adrien merasa dikhianati, tetapi ia tidak menyerah. Dengan gerakan cepat, ia menjatuhkan senjata Elias dan memukulnya hingga terjatuh. Namun, hal itu memberi Andrei cukup waktu untuk menyerang. Dalam pergulatan singkat, pistol Adrien terlempar jauh.
Pertarungan fisik antara Adrien dan Andrei berlangsung sengit. Keduanya saling melempar pukulan, berjuang untuk mendominasi. Luna, yang melihat kesempatan, berlari mengambil pistol Adrien dan mengarahkan senjatanya ke Andrei.
“Berhenti, atau aku tembak!” teriak Luna, suaranya gemetar tetapi tegas.
Andrei berhenti sejenak, menatap Luna dengan tatapan penuh ejekan. “Kau tidak punya nyali untuk melakukannya.”
Luna menarik pelatuk tanpa ragu, menembakkan peluru ke udara, cukup untuk menunjukkan bahwa ia serius. Andrei mundur, mengangkat tangan perlahan.
“Kau menang kali ini, Adrien,” kata Andrei sambil menyeringai. “Tapi ingat, perang ini belum selesai.”
Dengan sinyal dari Andrei, helikopter mendekat untuk menjemputnya. Ia dan sisa anak buahnya pergi, meninggalkan Adrien dan Luna yang terengah-engah di atap.
Setelah Andrei pergi, Adrien berdiri dengan sisa tenaganya, memandang Luna. “Kau menyelamatkanku,” katanya pelan, suaranya penuh rasa syukur.
Luna menggeleng. “Kita saling menyelamatkan. Kita tidak akan bisa melewati ini sendirian.”
Adrien tersenyum tipis, meskipun tubuhnya penuh luka. Di bawah sinar bulan merah yang menyinari mereka, keduanya menyadari bahwa perjalanan mereka masih panjang. Dokumen itu mungkin belum ditemukan, tetapi mereka tahu satu hal pasti—mereka harus tetap bersama untuk melawan semua bahaya yang menghadang.
Di atas gedung itu, dengan angin malam yang masih membawa bau mesiu, mereka membuat janji untuk tidak menyerah. Dunia di bawah mereka mungkin penuh kekacauan, tetapi di atas sana, mereka menemukan harapan kecil untuk terus berjuang.
Bab 10: Sebuah Awal Baru
Matahari terbit di Kota Arco, cahayanya menyapu sisa-sisa malam yang penuh kekacauan. Adrien dan Luna duduk di tepi atap gedung yang mereka pertahankan semalam. Angin pagi terasa lebih lembut, tetapi hati mereka masih dipenuhi berbagai pikiran.
Adrien menyentuh luka di pipinya, sisa dari pertarungan brutal dengan Andrei. “Aku tidak pernah berpikir kita akan keluar dari ini hidup-hidup,” katanya pelan.
Luna tersenyum kecil, meskipun lelah terlihat di wajahnya. “Aku juga tidak. Tapi aku tahu satu hal—kita sudah melangkah terlalu jauh untuk menyerah.”
Adrien mengangguk, menatap ke cakrawala kota yang dipenuhi gedung-gedung tinggi dan kabut tipis. “Andrei mungkin pergi untuk sementara, tapi dia akan kembali. Kita belum benar-benar aman.”
Luna menoleh ke arahnya, matanya penuh ketegasan. “Jadi, apa rencanamu sekarang? Kau tidak bisa terus berlari.”
Adrien terdiam sejenak, memikirkan kata-kata Luna. “Aku harus menemukan dokumen itu sebelum Andrei melakukannya. Itu satu-satunya cara untuk menghentikannya.”
“Dan setelah itu?” tanya Luna.
Adrien menoleh, menatap Luna dengan sorot mata yang lembut. “Setelah itu, aku ingin kehidupan yang normal. Jauh dari kota ini. Jauh dari semua kekacauan ini.”
Luna tersenyum kecil, meskipun ada rasa cemas di hatinya. “Kau yakin bisa melakukannya? Kehidupan normal?”
Adrien tertawa pelan. “Mungkin tidak akan mudah. Tapi denganmu, aku pikir itu mungkin.”
Luna terdiam, wajahnya memerah sedikit. Ia tahu hidup bersama Adrien tidak akan pernah sepenuhnya normal, tetapi ia juga tahu bahwa ia tidak bisa membayangkan hidup tanpa pria itu sekarang.
Beberapa hari kemudian, Adrien dan Luna bersembunyi di sebuah kota kecil di luar Arco. Mereka tinggal di sebuah rumah sederhana yang disediakan oleh salah satu teman lama Elias, meskipun Adrien masih merasa sulit sepenuhnya mempercayai siapa pun.
Di tempat persembunyian itu, Adrien menghabiskan waktu untuk mencari petunjuk tentang keberadaan dokumen yang ia yakini bisa menghancurkan Andrei. Ia menemukan peta lama yang ditinggalkan Ayahnya—peta yang menunjukkan lokasi sebuah brankas tersembunyi di distrik industri Arco.
“Ini dia,” kata Adrien sambil menunjuk peta itu kepada Luna. “Jika dokumen itu benar-benar ada, maka ini tempatnya.”
Luna mengerutkan kening. “Tapi itu di Arco. Kau tahu risikonya jika kembali ke sana.”
Adrien mengangguk, wajahnya serius. “Aku tahu. Tapi ini harus dilakukan. Jika tidak, Andrei akan terus memburu kita.”
Luna mendesah, menatap Adrien dengan campuran rasa cemas dan kekaguman. “Kalau begitu, aku ikut.”
“Tidak, Luna,” potong Adrien tegas. “Ini terlalu berbahaya. Aku tidak bisa membiarkanmu mengambil risiko lagi.”
“Kau tidak bisa menghentikanku,” balas Luna dengan nada tajam. “Kita sudah melalui semua ini bersama. Aku tidak akan membiarkanmu menghadapi Andrei sendirian.”
Adrien tahu bahwa berdebat dengan Luna tidak ada gunanya. Ia mengangguk pasrah. “Baik. Tapi kita harus hati-hati.”
Malam itu, mereka menyusup kembali ke distrik industri Arco. Tempat itu sepi, hanya dihuni oleh pabrik-pabrik tua yang sebagian besar sudah tidak digunakan lagi. Dengan peta di tangan, Adrien memimpin jalan, sementara Luna mengawasi sekeliling dengan hati-hati.
Setelah beberapa saat mencari, mereka menemukan pintu besi besar yang terkunci rapat. Adrien menggunakan alat sederhana untuk membukanya, dan dengan suara berderit, pintu itu terbuka, memperlihatkan ruang bawah tanah gelap.
Di dalam, mereka menemukan brankas besar yang sesuai dengan deskripsi di peta. Adrien membuka kombinasi kunci yang ia temukan di catatan lama Ayahnya, dan pintu brankas itu akhirnya terbuka.
Di dalamnya, mereka menemukan setumpuk dokumen tebal yang berisi semua informasi tentang operasi ilegal Andrei—nama-nama orang penting, lokasi transaksi, dan bukti kejahatan yang tak terbantahkan.
“Ini dia,” kata Adrien sambil mengangkat dokumen itu. “Dengan ini, kita bisa menghancurkan Andrei.”
Namun, sebelum mereka bisa pergi, suara langkah kaki terdengar dari arah pintu. Adrien dan Luna segera bersembunyi di balik dinding, tetapi mereka tahu mereka tidak sendirian.
“Andrei,” bisik Luna, mengenali suara pria yang masuk ke dalam ruangan.
Andrei, bersama beberapa anak buahnya, berjalan masuk dengan senjata di tangan. “Aku tahu kalian tidak bisa menahan diri untuk datang ke sini,” katanya sambil tertawa kecil.
Adrien mengepalkan tangan, memikirkan cara untuk keluar dari situasi ini. Luna menatapnya, menunggu isyarat.
Dengan gerakan cepat, Adrien menyerang salah satu anak buah Andrei, membuat kekacauan yang cukup untuk memungkinkan Luna berlari membawa dokumen itu. Adrien melawan Andrei dalam duel terakhir yang sengit, sementara Luna berlari ke luar untuk mencari bantuan.
Saat fajar menyingsing, Luna kembali bersama Elias dan timnya, yang akhirnya memutuskan untuk membantu. Dengan bantuan mereka, Adrien berhasil keluar dari pabrik dengan selamat, sementara Andrei dan anak buahnya terpaksa mundur.
Di luar pabrik, Luna menyerahkan dokumen itu kepada Adrien. “Kita berhasil,” katanya dengan senyum lega.
Adrien menatap Luna, matanya penuh rasa syukur. “Kita berhasil karena kita bersama.”
Dengan dokumen itu, Adrien dan Luna bekerja sama dengan pihak berwenang untuk menghancurkan jaringan kejahatan Andrei. Kota Arco perlahan mulai berubah, meskipun bayangan masa lalu masih tersisa.
Beberapa bulan kemudian, Adrien dan Luna memulai hidup baru di kota kecil yang damai. Meskipun luka-luka dari masa lalu mereka masih terasa, mereka tahu bahwa mereka akhirnya bisa bernapas lega—dan mereka melakukannya bersama.
Di bawah langit pagi yang cerah, Adrien menggenggam tangan Luna, tersenyum untuk pertama kalinya tanpa rasa cemas. “Kita akhirnya bebas,” katanya.
Luna mengangguk, merasakan kebahagiaan yang tulus untuk pertama kalinya dalam hidupnya. “Ya, akhirnya.”
Dan dengan itu, mereka melangkah ke arah awal baru mereka, meninggalkan kegelapan di belakang mereka untuk selamanya.
Tamat.
Novel ini ditulis oleh Evi Fauzi, Penulis dari Novel Singkat. Baca juga novel romantis dan fiksi ilmiah lainnya.