Novel Singkat Melodi Pilihan Hati
Novel Singkat Melodi Pilihan Hati

Novel Singkat: Melodi Pilihan Hati

Kiara, putri seorang CEO ternama, terjebak dalam perjodohan dengan Arsen, seorang Presdir muda yang ambisius. Di tengah tekanan keluarga dan dunia bisnis yang penuh intrik, Kiara bertemu Raka, seorang mahasiswa biasa yang memberinya rasa kebebasan.

Namun, Pengkhianatan tak terduga membuka wawasan tentang kepercayaan dan cinta sejati. Dalam perjalanan menemukan jati diri, Kiara harus memilih antara cinta, ambisi, dan kebebasan untuk menentukan jalan hidupnya sendiri. Akankah ia menemukan harmoni di antara pilihan-pilihan tersebut?

Bab 1: Dunia Mewah Sang Putri

Kiara duduk malas di depan meja riasnya yang besar, dikelilingi oleh pantulan lampu-lampu mewah yang memancarkan keindahan wajahnya. Hari ini adalah hari pertamanya masuk universitas, tapi bukannya bersemangat, ia justru merasa berat meninggalkan kenyamanan rumah. Sebagai putri tunggal dari CEO ternama, hidup Kiara selalu serba ada. Namun, di balik semua itu, ia merasa seperti burung dalam sangkar emas.

“Kiara, kamu sudah siap?” Suara lembut tetapi tegas ibunya, Laras, terdengar dari balik pintu.
“Belum, Ma. Aku nggak yakin aku mau masuk kuliah hari ini,” balas Kiara dengan nada lesu.

Laras membuka pintu dan masuk dengan elegan, seperti biasa. “Sayang, ini kesempatanmu untuk mengenal dunia luar. Kamu nggak bisa terus-terusan di rumah atau hanya ikut acara-acara bisnis ayahmu. Hidup itu lebih dari sekadar pesta dan kemewahan.”

Kiara menghela napas. Ia tahu ibunya benar, tetapi ia merasa dunia luar terlalu keras dan asing untuknya. Ia terbiasa dilayani, dimanja, dan jarang menghadapi kesulitan. Bahkan masuk universitas pun bukan karena mimpinya, melainkan keputusan ayahnya, Hardi. “Kamu harus belajar mengelola orang, mengelola waktu, dan mengelola hidup, Kiara,” begitu ayahnya selalu berkata.

Di meja makan, Hardi sudah menunggu dengan jas mahalnya. Pria itu adalah simbol kesuksesan dan kekuatan di mata banyak orang, tetapi bagi Kiara, ia adalah figur ayah yang sulit didekati. “Pagi, Kiara. Aku dengar kamu belum siap?” tanyanya tanpa basa-basi.

“Aku nggak yakin kalau aku bisa cocok di sana, Yah,” jawab Kiara jujur.
“Kamu harus mencoba. Dunia ini nggak selamanya akan memanjakanmu. Kamu harus belajar berdiri di atas kaki sendiri,” jawab Hardi dingin.

Percakapan itu seperti dialog yang diulang-ulang. Hardi sering menekankan pentingnya tanggung jawab dan kemandirian, tetapi bagi Kiara, kata-kata itu lebih terdengar seperti perintah tanpa empati. Ia hanya bisa memaksakan senyum kecil dan menurut.

Siang harinya, di Kampus Emerald College

Emerald College adalah universitas swasta ternama yang dikelilingi gedung-gedung megah dan taman luas. Kiara turun dari mobil mewahnya dengan langkah ragu. Tatapan mahasiswa lain langsung tertuju padanya. Mereka berbisik-bisik, memandangi pakaian mahal dan penampilan Kiara yang terlihat seperti model majalah.

“Lihat tuh, anak baru. Kayaknya anak orang kaya,” gumam seorang mahasiswa di sudut.
“Pasti. Lihat aja mobilnya,” balas yang lain.

Kiara mendengar semuanya, tetapi memilih untuk tetap berjalan lurus. Ia tak ingin terlibat, tetapi tatapan itu membuatnya merasa terasing. Di kelas, ia duduk di barisan belakang, berharap bisa menghindari perhatian. Namun, saat dosen masuk dan memulai perkenalan, ia tak bisa menghindar.

“Selamat pagi. Sebelum kita mulai, saya ingin setiap mahasiswa memperkenalkan diri,” ujar dosen itu.
Saat gilirannya tiba, Kiara berdiri dengan canggung. “Nama saya Kiara Hardianti. Saya… anak jurusan Manajemen.” Ia duduk secepat mungkin setelah memperkenalkan diri, berharap tak ada yang menanyakan lebih jauh.

Namun, seorang mahasiswa berambut keriting di depan langsung mengangkat tangan. “Kiara Hardianti? Apakah Anda putri dari Pak Hardi Wijaya, pemilik Wijaya Group?” tanyanya.

Kiara tertegun. Ia tahu nama keluarganya terkenal, tetapi ia tak menyangka akan dikenali secepat ini. “Iya,” jawabnya singkat. Bisikan-bisikan langsung terdengar lagi, dan Kiara merasa semakin tidak nyaman.

Setelah hari yang panjang, Kiara meringkuk di tempat tidurnya. Ia merasa lelah, bukan karena pelajaran, tetapi karena tekanan sosial yang ia rasakan di kampus. Ia membuka ponselnya dan melihat pesan dari ayahnya.

“Kiara, jangan lupa menghadiri acara makan malam besok. Ada rekan bisnis penting yang harus kamu temui.”

Ia menutup ponselnya dengan kesal. Hidupnya terasa seperti tak pernah ada jeda dari tuntutan. Kampus di siang hari, bisnis ayahnya di malam hari. Kiara hanya bisa memandangi langit-langit kamarnya sambil berpikir, apakah ini benar-benar hidup yang ia inginkan?

Di balik kemewahan dan segala fasilitas, Kiara merasa ada sesuatu yang hilang. Sebuah kebebasan, sebuah pilihan, atau mungkin… cinta sejati yang tidak pernah ia rasakan?

Bab 2: Pertemuan Tak Terduga

Langit sore di kota itu mulai berwarna jingga saat Kiara turun dari mobil hitam mewah milik ayahnya. Ia mengenakan gaun panjang berwarna biru pastel, dengan riasan minimalis yang menonjolkan kecantikannya. Malam ini, ia harus menghadiri acara makan malam resmi yang diadakan di hotel bintang lima milik salah satu mitra bisnis ayahnya. Meski penampilannya sempurna, wajah Kiara tampak enggan.

“Kiara, ingat, ini penting. Pak Arsen itu aset besar untuk bisnis kita,” kata Hardi sambil melangkah masuk ke aula besar hotel.

Kiara hanya mengangguk malas. Ia tahu malam ini bukan sekadar makan malam biasa. Ayahnya sudah memberitahu sejak pagi bahwa ia akan dikenalkan pada seorang pria muda yang katanya memiliki potensi besar. Kiara curiga, jangan-jangan ini adalah bagian dari rencana perjodohan yang selalu ia dengar dari ayahnya.

Di Dalam Aula Megah

Aula hotel dipenuhi tamu-tamu berpakaian formal. Meja-meja berhiaskan bunga segar dan lilin mewah, sementara pelayan mondar-mandir membawa nampan minuman. Kiara mengikuti ayahnya dengan langkah setengah malas, matanya menyapu ruangan tanpa minat. Di sudut ruangan, ia melihat seorang pria muda berdiri dengan percaya diri, mengenakan setelan jas hitam yang terlihat pas di tubuh tegapnya.

“Arsen!” panggil Hardi sambil melambaikan tangan. Pria itu menoleh dan tersenyum, lalu berjalan mendekat dengan langkah mantap. Kiara mendapati dirinya tertegun sejenak. Pria itu terlihat lebih muda dari yang ia bayangkan. Wajahnya tegas, dengan mata tajam yang memancarkan keseriusan, tetapi senyumnya memberikan kesan hangat.

“Pak Hardi, senang bisa bertemu lagi,” ujar Arsen sambil menjabat tangan ayah Kiara dengan ramah.

“Arsen, kenalkan, ini putri saya, Kiara,” ujar Hardi sambil meletakkan tangannya di bahu Kiara.

Kiara memaksakan senyum kecil. “Halo,” sapanya singkat. Ia berharap perkenalan ini selesai secepat mungkin.

Namun, Arsen tampak tidak terganggu dengan sikap dingin Kiara. Ia mengulurkan tangan. “Senang akhirnya bisa bertemu dengan Anda, Kiara. Saya sering mendengar tentang Anda dari ayah Anda,” katanya.

Kiara ragu sejenak sebelum menjabat tangan Arsen. “Oh, ya? Semoga hal-hal baik saja yang diceritakan,” jawabnya dengan nada setengah bercanda.

“Tidak semuanya,” jawab Arsen dengan senyuman kecil, membuat Kiara sedikit tersentak. Ia tidak tahu apakah itu lelucon atau sindiran, tetapi ia memutuskan untuk tidak memperpanjang percakapan.

Saat makan malam dimulai, Kiara duduk di sebelah Arsen, seperti yang sudah direncanakan Hardi. Sepanjang makan, ayahnya terus membicarakan bisnis, mengabaikan ekspresi canggung Kiara. Arsen, di sisi lain, terlihat nyaman dan percaya diri, sesekali melibatkan Kiara dalam percakapan.

“Jadi, Kiara, apa kesibukanmu sekarang?” tanya Arsen sambil memotong steaknya.

“Aku baru mulai kuliah,” jawab Kiara singkat, berharap percakapan berhenti di situ.

“Ah, jurusan manajemen, ya? Ayahmu bilang kamu sangat berbakat,” ujar Arsen dengan nada yang terdengar tulus.

Kiara tertawa kecil, meski tawanya tidak terdengar alami. “Aku rasa itu hanya ayahku yang terlalu percaya padaku.”

“Aku mengerti. Tekanan dari keluarga besar memang berat, tapi itu bukan alasan untuk menyerah,” balas Arsen sambil menatap Kiara. Tatapannya serius, seolah ia sedang mencoba memahami lebih dalam tentang dirinya.

Kiara merasa tidak nyaman. “Kau bicara seperti kau tahu segalanya tentang tekanan,” ujarnya tanpa sadar.

Arsen tersenyum tipis. “Aku tahu sedikit. Tapi kurasa ini bukan tempat yang tepat untuk membahas hal itu.”

Percakapan itu berhenti, tetapi Kiara tidak bisa menghilangkan rasa penasaran tentang pria ini. Arsen tampak begitu tenang dan dewasa, seolah ia sudah melewati banyak hal dalam hidupnya.

Sebuah Janji yang Tak Diinginkan

Setelah makan malam, Hardi meminta Kiara dan Arsen untuk berbicara di balkon. Dengan berat hati, Kiara mengikuti permintaan ayahnya.

“Ayahmu ingin kita lebih saling mengenal,” kata Arsen sambil bersandar di pagar balkon.

Kiara mendesah. “Aku tahu. Ayahku selalu punya rencana.”

Arsen tertawa kecil. “Dan kau tidak setuju dengan rencana itu?”

“Bukan begitu. Aku hanya tidak suka dipaksa. Aku ingin hidupku berjalan sesuai pilihanku,” jawab Kiara dengan jujur.

“Kalau begitu, mari kita buat kesepakatan,” kata Arsen sambil menatap Kiara. “Aku juga tidak suka perjodohan ini. Tapi, bagaimana jika kita mencoba untuk saling mengenal dulu? Tidak ada paksaan. Jika kita tidak cocok, kita bisa bicara pada orang tua kita.”

Kiara terkejut dengan sikap terbuka Arsen. Ia tidak menyangka pria itu akan setuju dengan pemikirannya. Setelah beberapa detik berpikir, Kiara akhirnya mengangguk. “Baiklah. Tapi jangan berharap banyak dariku.”

“Tidak akan,” balas Arsen sambil tersenyum, tetapi tatapannya tetap penuh teka-teki.

Malam itu, Kiara pulang dengan perasaan campur aduk. Arsen adalah orang yang sulit ditebak. Meski ia tampak baik dan pengertian, ada sesuatu dalam dirinya yang membuat Kiara merasa penasaran sekaligus waspada. Apakah pria ini sekadar ingin memenuhi keinginan ayahnya, atau ada sesuatu yang lebih dalam di balik sikap tenangnya?

Kiara tahu, ini baru permulaan dari sesuatu yang rumit.

Bab 3: Kehidupan Kampus vs Dunia Bisnis

Pagi itu, Kiara melangkahkan kakinya menuju kampus dengan perasaan berat. Setelah pertemuannya dengan Arsen, pikirannya penuh dengan berbagai pertanyaan. Ia mulai bertanya-tanya, apakah perjodohan ini benar-benar hanya soal bisnis, atau ada tujuan lain yang ayahnya sembunyikan. Namun, ia berusaha menyingkirkan semua pikiran itu. Fokusnya hari ini adalah mencoba menjalani kehidupan kampus yang terasa asing baginya.

Di kampus, suasananya sangat berbeda dari lingkungan bisnis mewah yang biasa ia hadiri. Suara tawa mahasiswa yang bercampur dengan riuh rendah diskusi di sudut-sudut taman membuat Kiara merasa kecil. Ia sadar, meski ia putri seorang CEO, ia hanyalah gadis biasa di sini. Ia mencari tempat duduk di kantin, berharap bisa menikmati sarapan tanpa ada yang mengganggu.

Namun, rencana itu tidak berjalan mulus.

“Hey, boleh duduk di sini?” tanya seorang pria yang tiba-tiba muncul di depannya sambil membawa nampan makanan.

Kiara mengangkat wajahnya dan melihat seorang pria dengan rambut agak berantakan, mengenakan jaket denim yang terlihat usang. Wajahnya terlihat ramah, dengan senyum lebar yang memperlihatkan gigi putihnya.

“Silakan,” jawab Kiara dengan nada datar. Ia berharap percakapan itu selesai di situ, tetapi pria itu tampaknya memiliki rencana lain.

“Aku Raka,” katanya sambil duduk. “Kamu anak baru, kan? Jurusan manajemen?”

Kiara mengangguk sambil memainkan sedotan di gelas jusnya. “Iya, benar.”

“Aku juga di jurusan manajemen, tapi tahun ketiga,” lanjut Raka dengan semangat. “Aku sering lihat kamu di kelas dosen Bu Nita. Tapi kayaknya kamu nggak terlalu suka ngomong, ya?”

Kiara tersenyum tipis. “Aku hanya nggak terbiasa.”

“Terbiasa apa? Ngobrol sama mahasiswa biasa kayak aku?” Raka tertawa kecil, tetapi nada suaranya terdengar santai, tanpa sindiran.

“Bukan begitu,” Kiara membalas dengan senyum kecil. “Aku hanya belum terlalu kenal siapa-siapa di sini.”

“Kalau begitu, anggap saja aku teman pertamamu di kampus ini,” ujar Raka sambil mengulurkan tangan.

Meski awalnya ragu, Kiara akhirnya menjabat tangan Raka. Percakapan mereka mengalir lebih santai setelah itu. Raka bercerita tentang kehidupannya yang sederhana, bagaimana ia harus bekerja sambil kuliah untuk membantu keluarganya. Ceritanya membuat Kiara sadar betapa berbeda kehidupan mereka. Raka hidup penuh perjuangan, sementara ia selalu mendapatkan segala sesuatu dengan mudah.

Kembali ke Dunia Bisnis

Sore harinya, Kiara dijemput oleh sopir pribadi untuk menghadiri rapat bisnis kecil bersama ayahnya dan Arsen. Ia belum sepenuhnya pulih dari kelelahan di kampus, tetapi ia tahu bahwa menolak permintaan ayahnya bukanlah pilihan.

Di ruang rapat, Arsen sudah menunggu dengan laptop terbuka di depannya. Ia terlihat fokus, seperti biasa, tetapi ketika Kiara masuk, ia tersenyum tipis.

“Hari yang panjang?” tanya Arsen setelah Kiara duduk.

“Bisa dibilang begitu,” jawab Kiara singkat.

Arsen menatapnya sejenak sebelum berkata, “Kamu kelihatan berbeda. Lebih… lelah.”

Kiara terdiam, merasa bahwa Arsen memperhatikannya lebih dari yang ia perkirakan. Namun, sebelum ia bisa membalas, Hardi masuk ke ruangan dan rapat dimulai. Selama rapat, Kiara hanya menjadi pendengar. Ayahnya dan Arsen mendiskusikan angka-angka, rencana kerja sama, dan strategi pemasaran. Dunia ini terasa jauh dari kehidupannya di kampus.

Ketika rapat selesai, Arsen menghampiri Kiara sebelum ia sempat pergi. “Kamu baik-baik saja?” tanyanya.

Kiara terkejut dengan pertanyaan itu. “Aku baik. Kenapa?”

“Kamu terlihat seperti seseorang yang sedang berpikir keras,” jawab Arsen sambil menyandarkan tubuhnya pada meja. “Kampus terlalu berat?”

Kiara menghela napas. “Bukan itu. Hanya saja… kehidupan kampus dan dunia bisnis ini terasa sangat berbeda.”

Arsen tersenyum kecil. “Itu karena kamu masih mencoba menyesuaikan diri. Tapi percayalah, kamu akan menemukan keseimbangan pada waktunya.”

Malam itu, Kiara merenung di kamarnya. Ia merasa terjebak di antara dua dunia yang sama-sama menuntut perhatiannya. Di kampus, ia harus beradaptasi dengan lingkungan yang asing dan menghadapi teman-teman baru seperti Raka. Sementara di dunia bisnis, ia harus memenuhi ekspektasi ayahnya dan berhadapan dengan pria seperti Arsen yang penuh dengan ambisi dan rahasia.

Ia mulai bertanya-tanya, mana yang lebih cocok untuk dirinya? Dunia kampus yang penuh kebebasan tetapi juga tantangan, atau dunia bisnis yang mewah tetapi penuh tekanan?

Kiara tahu, suatu saat ia harus memilih, tetapi untuk sekarang, ia hanya berharap bisa menemukan tempat di mana ia benar-benar merasa dirinya sendiri. Ia menutup matanya, berharap esok hari akan lebih mudah. Namun, jauh di dalam hatinya, ia tahu bahwa hidupnya baru saja mulai menjadi lebih rumit.

Bab 4: Tuntutan Perjodohan

Hari itu, Kiara bangun dengan perasaan berat. Baru saja ia mulai merasa sedikit nyaman dengan kehidupannya di kampus, ayahnya kembali memberinya kabar yang membuatnya semakin gelisah.

“Kiara, nanti malam kita ada acara keluarga di rumah. Aku sudah mengundang Arsen untuk makan malam bersama,” kata Hardi di meja sarapan pagi.

Kiara yang sedang mengaduk kopi mendadak berhenti. “Lagi? Aku baru bertemu Arsen kemarin di rapat. Kenapa aku harus terus bertemu dengannya?”

Hardi menatap putrinya dengan tegas. “Karena ini penting, Kiara. Hubungan kita dengan Arsen bukan hanya soal bisnis. Kamu tahu perjodohan ini dirancang untuk memastikan masa depanmu stabil. Dia pria yang baik, dewasa, dan mampu melindungi kamu.”

Kiara hanya menghela napas panjang. “Tapi aku nggak butuh perlindungan, Ayah. Aku bisa melindungi diriku sendiri.”

“Percayalah, kamu tidak tahu apa yang terbaik untukmu saat ini,” balas Hardi sambil bangkit dari meja.

Percakapan itu mengganggu Kiara sepanjang hari. Ia merasa hidupnya semakin tidak memiliki kendali. Apakah semua keputusan besar dalam hidupnya harus selalu ditentukan oleh orang lain?

Malam yang Canggung

Makan malam di rumah Kiara terasa seperti formalitas yang canggung. Laras, ibunya, mencoba mencairkan suasana dengan percakapan ringan, tetapi baik Kiara maupun Arsen tampak enggan berbicara. Wanita itu lebih banyak memandangi piringnya, sementara Arsen sesekali meliriknya dengan tatapan penuh arti.

“Kiara, bagaimana kuliahmu sejauh ini?” tanya Arsen mencoba memulai percakapan.

Kiara mengangkat bahu. “Baik-baik saja. Tidak banyak yang menarik.”

“Benarkah? Aku dengar dari ayahmu bahwa kamu mulai berteman dengan seorang mahasiswa bernama Raka,” ujar Arsen dengan nada santai, tetapi Kiara menangkap sedikit nada penasaran di sana.

Kiara menatap Arsen dengan alis terangkat. “Ayah cerita soal itu? Memangnya kenapa?”

Arsen tersenyum tipis. “Tidak apa-apa. Hanya saja, kamu harus berhati-hati. Tidak semua orang mendekatimu karena mereka tulus.”

Ucapan itu membuat Kiara merasa tidak nyaman. “Maksudmu, aku nggak bisa memilih teman sendiri?” tanyanya dengan nada defensif.

“Bukan begitu,” jawab Arsen dengan tenang. “Aku hanya ingin kamu tahu bahwa di dunia ini, tidak semua orang memiliki niat baik.”

Percakapan itu terhenti ketika Hardi masuk ke ruang makan. “Kiara, Arsen benar. Kamu harus lebih berhati-hati. Sebagai putri dari seorang CEO, kamu adalah target empuk bagi orang-orang yang punya niat buruk.”

Kiara mendesah. Ia merasa tidak ada gunanya berdebat lebih jauh. Malam itu ia hanya ingin semuanya cepat selesai.

Setelah makan malam, Kiara duduk di taman belakang rumah untuk mencari udara segar. Ia merasa sesak dengan semua tekanan yang terus menerus datang dari keluarganya. Tak lama kemudian, Arsen menyusulnya.

“Boleh aku duduk?” tanya Arsen sambil menunjuk bangku kosong di sebelahnya.

Kiara mengangguk tanpa banyak bicara.

“Maaf soal ucapan tadi di meja makan,” kata Arsen setelah beberapa saat hening. “Aku tidak bermaksud menghakimimu atau teman-temanmu.”

Kiara memandangnya, kali ini dengan sedikit penasaran. “Kenapa kamu harus peduli? Kamu bahkan tidak mengenalku dengan baik.”

Arsen tersenyum kecil. “Mungkin aku peduli karena aku tahu bagaimana rasanya hidup di bawah tekanan. Ayahku dulu juga seperti ayahmu—selalu menentukan segala sesuatu untukku. Dan saat aku seusiamu, aku sering merasa ingin lari dari semua itu.”

Kiara terdiam. Ia tidak menyangka bahwa Arsen, dengan segala ketenangannya, ternyata pernah merasakan hal yang sama seperti dirinya.

“Jadi, apa yang kamu lakukan?” tanya Kiara akhirnya.

“Aku memilih untuk bermain sesuai aturan mereka, tapi dengan caraku sendiri. Aku belajar memahami permainan mereka, lalu menemukan celah untuk menciptakan jalanku sendiri,” jawab Arsen.

Jawaban itu membuat Kiara merenung. Apakah ia juga harus melakukan hal yang sama? Bermain sesuai aturan keluarganya, tetapi tetap menjaga apa yang ia inginkan?

“Kiara,” lanjut Arsen, “aku tahu kamu merasa terjebak sekarang. Tapi aku percaya, kamu punya kekuatan untuk menentukan apa yang terbaik untuk dirimu sendiri.”

Benih Pertentangan

Percakapan itu sedikit mengubah pandangan Kiara tentang Arsen. Meski ia masih merasa ragu tentang perjodohan ini, ia mulai melihat sisi lain dari pria itu. Arsen bukan sekadar pengusaha ambisius seperti yang ia bayangkan. Ia adalah seseorang yang juga memahami perjuangan untuk menemukan identitas diri di tengah tuntutan keluarga.

Namun, perasaan Kiara semakin rumit ketika ia kembali mengingat Raka. Di kampus, Raka adalah satu-satunya orang yang membuatnya merasa bebas. Berbeda dengan Arsen yang penuh formalitas, Raka selalu bersikap apa adanya. Tapi, setelah peringatan Arsen tadi malam, Kiara mulai bertanya-tanya, apakah Raka benar-benar tulus, ataukah ia hanya salah satu dari orang-orang yang mendekatinya karena nama besar keluarganya?

Di tengah kebingungannya, Kiara menyadari bahwa kehidupannya mulai berubah menjadi sesuatu yang lebih rumit daripada yang ia bayangkan. Ia tahu, ini baru permulaan dari konflik besar yang akan datang.

Bab 5: Rahasia di Balik Arsen

Setelah percakapan mendalam dengan Arsen di taman, Kiara mulai memperhatikan pria itu dengan sudut pandang berbeda. Ada sesuatu yang menarik sekaligus misterius tentangnya. Arsen tidak seperti pria dewasa lain yang hanya bicara soal bisnis atau kesuksesan. Dia sepertinya menyimpan sisi manusiawi yang jarang ia tunjukkan pada dunia luar.

Namun, keesokan harinya, sesuatu terjadi yang membuat Kiara semakin penasaran.

Siang itu, Kiara memutuskan untuk melewatkan makan siang di kantin kampus dan pergi ke sebuah kafe kecil dekat perpustakaan. Tempat itu sepi, cocok untuk melarikan diri dari hiruk-pikuk kampus. Saat ia sedang menikmati segelas kopi, matanya menangkap sosok yang sangat familiar. Arsen.

Dia duduk di sudut kafe, mengenakan kemeja santai dan celana jins, jauh dari kesan formal yang biasanya melekat padanya. Di depannya, seorang wanita muda duduk dengan ekspresi serius, memegang tumpukan dokumen. Kiara memperhatikan mereka dari kejauhan, mencoba menebak siapa wanita itu.

Rasa penasaran mendorongnya untuk mendekat. Ia tidak berniat menguping, tetapi suara mereka cukup jelas terdengar.

“Arsen, aku tahu ini sulit, tapi kamu harus menghadapi keluargamu. Kamu nggak bisa terus menyembunyikan ini,” ujar wanita itu dengan nada serius.

“Aku sedang mencoba. Tapi kamu tahu bagaimana mereka. Mereka nggak akan menerima ini dengan mudah,” jawab Arsen dengan nada pelan tetapi tegas.

Kiara menahan napas. Apa yang sedang mereka bicarakan? pikirnya.

Setelah beberapa saat, Arsen dan wanita itu bangkit dari tempat duduk mereka. Arsen tampak memasukkan sesuatu ke dalam tasnya, lalu pergi tanpa menyadari kehadiran Kiara. Rasa penasaran yang menggelitik membuat Kiara ingin tahu lebih jauh.

Konfrontasi di Rumah

Malam harinya, saat Arsen datang ke rumah Kiara untuk membahas urusan bisnis dengan Hardi, Kiara tidak bisa menahan diri lagi. Ia menunggu momen ketika ayahnya keluar ruangan untuk menerima telepon, lalu menghampiri Arsen yang sedang duduk di ruang tamu.

“Aku melihatmu tadi siang,” ujar Kiara tanpa basa-basi.

Arsen mengangkat alis, sedikit terkejut. “Melihatku? Di mana?”

“Di kafe dekat perpustakaan kampusku. Kamu sedang bersama seorang wanita,” jawab Kiara dengan nada menantang. “Siapa dia? Dan apa yang kalian bicarakan?”

Arsen terdiam sejenak, lalu menghela napas panjang. “Itu urusan pribadi, Kiara.”

“Kalau itu urusan pribadi, kenapa kamu terlihat begitu serius? Apa ini ada hubungannya dengan keluargamu?” desak Kiara.

Arsen menatap Kiara, ekspresinya berubah menjadi lebih lembut. “Kiara, aku menghargai perhatianmu, tapi ini bukan sesuatu yang bisa aku ceritakan dengan mudah. Hanya saja, percayalah, tidak ada yang perlu kamu khawatirkan.”

Jawaban itu membuat Kiara frustrasi. “Kenapa kamu selalu menyembunyikan sesuatu? Aku tahu kamu punya banyak rahasia, Arsen. Dan aku rasa aku berhak tahu, terutama karena aku dipaksa untuk terus bertemu denganmu.”

Arsen menatap Kiara dalam-dalam, lalu berkata dengan nada serius, “Baik. Kalau kamu benar-benar ingin tahu, aku akan memberitahumu. Tapi tidak di sini. Beri aku waktu.”

Kiara mengangguk meski hatinya dipenuhi rasa penasaran. Ia merasa Arsen menyimpan sesuatu yang besar, sesuatu yang mungkin bisa menjelaskan sikap misteriusnya selama ini.

Rahasia yang Terungkap

Dua hari kemudian, Arsen mengajak Kiara bertemu di sebuah taman kota yang sepi. Ia tampak lebih santai daripada biasanya, tetapi raut wajahnya menunjukkan bahwa apa yang akan ia bicarakan tidaklah mudah.

“Aku yakin kamu sudah menyadari bahwa aku bukan hanya pria yang sempurna di dunia bisnis,” kata Arsen membuka percakapan.

Kiara menatapnya penuh perhatian. “Aku tahu. Jadi, apa yang sebenarnya kamu sembunyikan?”

Arsen menghela napas panjang. “Keluargaku… mereka tidak seperti keluargamu. Kami tidak harmonis. Ayahku sangat keras, bahkan sampai menyakitiku secara fisik ketika aku masih kecil. Itu sebabnya aku belajar menjadi kuat, agar aku bisa keluar dari bayang-bayangnya.”

Kiara terkejut mendengar pengakuan itu. “Aku tidak menyangka…”

“Dan itu belum semuanya,” lanjut Arsen. “Wanita yang kamu lihat di kafe itu adalah seorang pengacara. Aku sedang mengurus dokumen untuk memutuskan hubungan bisnis dengan ayahku. Aku sudah cukup lama menjadi alat untuk ambisinya, dan sekarang aku ingin lepas.”

Kiara terdiam, mencoba mencerna semuanya. Ia tidak menyangka bahwa di balik sosok Arsen yang terlihat kuat dan percaya diri, ada luka mendalam yang ia sembunyikan.

“Tapi kenapa kamu tetap setuju dengan perjodohan ini, kalau kamu ingin lepas dari keluargamu?” tanya Kiara akhirnya.

Arsen tersenyum tipis. “Awalnya, aku berpikir perjodohan ini hanya bagian dari strategi bisnis. Tapi setelah mengenalmu, aku melihat sesuatu yang berbeda. Kamu membuatku merasa bahwa hidup tidak selalu harus berjalan sesuai rencana orang lain.”

Jawaban itu membuat Kiara tertegun. Ia tidak tahu harus berkata apa. Untuk pertama kalinya, ia melihat Arsen bukan sebagai pria ambisius yang selalu berorientasi pada kesempurnaan, tetapi sebagai seseorang yang rapuh, sama seperti dirinya.

“Tapi kamu tahu, aku belum yakin dengan semua ini,” ujar Kiara pelan.

Arsen mengangguk. “Aku juga belum yakin. Tapi aku ingin mencoba. Bukan karena bisnis, bukan karena keluargamu atau keluargaku. Tapi karena aku ingin tahu, apa yang bisa kita temukan bersama.”

Malam itu, Kiara pulang dengan perasaan yang bercampur aduk. Rahasia Arsen membuka sisi lain dari dirinya yang tidak pernah ia bayangkan. Namun, apakah ia siap untuk membuka hatinya kepada pria ini? Atau justru rahasia ini akan membawa mereka ke arah yang lebih rumit?

Kiara tahu, ini baru awal dari hubungan yang penuh tantangan.

Bab 6: Konflik Hati

Setelah percakapan di taman bersama Arsen, pikiran Kiara semakin kacau. Setiap ucapan Arsen seolah terus terngiang di benaknya. Ia mulai melihat pria itu dengan cara yang berbeda—bukan hanya sebagai mitra bisnis ayahnya atau sosok Presdir muda yang ambisius, tetapi sebagai seseorang yang memiliki luka dan perjuangan. Namun, di sisi lain, ada Raka, pria kampus yang membuatnya merasa bebas dan lepas dari tekanan hidupnya yang serba formal.

Hari itu, Kiara memutuskan untuk mencoba melupakan Arsen sejenak dan fokus pada kehidupan kampus. Ia menghabiskan waktu bersama Raka di taman kampus, di mana mereka sering berbicara tentang banyak hal, mulai dari kelas hingga mimpi-mimpi mereka.

“Kiara, kamu kelihatan beda akhir-akhir ini,” ujar Raka sambil menyeruput kopinya.

“Beda bagaimana?” Kiara menoleh, mencoba menyembunyikan kegelisahannya.

“Lebih pendiam, kayak lagi banyak pikiran,” jawab Raka. “Kalau ada yang bisa aku bantu, bilang aja. Aku di sini untuk kamu.”

Perhatian Raka membuat Kiara merasa nyaman, tetapi juga menambah kebingungannya. Ia tahu Raka orang yang tulus dan menyenangkan, tetapi hubungannya dengan Arsen sudah terlalu rumit untuk dijelaskan.

“Aku baik-baik saja, kok,” jawab Kiara akhirnya. “Mungkin cuma perlu waktu buat menyesuaikan diri dengan semua hal baru.”

Raka mengangguk, meski ia tampak tidak sepenuhnya percaya. “Kalau ada apa-apa, jangan ragu cerita, ya. Aku tahu kamu tipe orang yang suka menyimpan semuanya sendiri.”

Kiara hanya tersenyum. Ia merasa bersalah karena tidak bisa sepenuhnya jujur pada Raka.

Saat Kiara kembali ke rumah, ia mendapati Arsen sedang duduk di ruang tamu bersama ayahnya. Mereka tengah membahas rencana bisnis untuk proyek baru. Kiara mencoba menghindar, tetapi Arsen menangkap kehadirannya.

“Kiara, kemari sebentar,” panggil Hardi.

Dengan berat hati, Kiara melangkah masuk. Ayahnya menatapnya dengan senyum puas. “Aku baru saja berdiskusi dengan Arsen. Kami punya rencana besar untuk perusahaan, dan aku ingin kamu terlibat.”

“Terlibat?” Kiara mengerutkan kening. “Maksud Ayah?”

“Proyek ini adalah peluang besar. Aku ingin kamu belajar langsung dari Arsen. Kamu bisa ikut dalam beberapa pertemuan dan melihat bagaimana bisnis sebenarnya dijalankan,” jelas Hardi.

Kiara melirik Arsen yang duduk dengan tenang, seolah sudah mengetahui rencana ini sebelumnya. “Aku belum yakin aku siap,” jawab Kiara pelan.

“Kamu harus mencoba,” kata Hardi tegas. “Ini demi masa depanmu.”

Kiara tidak punya pilihan selain mengangguk setuju. Setelah ayahnya pergi, ia menoleh ke Arsen dengan tatapan penuh tanda tanya.

“Kamu tahu soal ini?” tanyanya.

Arsen mengangguk. “Aku diberitahu pagi tadi. Aku tahu ini mungkin membuatmu tidak nyaman, tapi aku akan memastikan semuanya berjalan lancar.”

“Kenapa kamu selalu setuju dengan apa yang Ayahku katakan?” tanya Kiara dengan nada frustrasi.

“Karena aku tahu dia hanya ingin yang terbaik untukmu,” jawab Arsen tenang. “Dan, jujur saja, aku juga ingin mengenalmu lebih jauh, Kiara. Tapi aku ingin melakukannya tanpa tekanan.”

Jawaban itu membuat Kiara terdiam. Ia tidak tahu harus merasa marah, bingung, atau tersentuh.

Konflik dengan Raka

Beberapa hari kemudian, Kiara mulai menjalani perannya dalam proyek bisnis tersebut. Waktunya bersama Arsen semakin sering, dan ia mulai melihat sisi lain dari pria itu yang tidak pernah ia duga sebelumnya. Namun, hubungan ini mulai memengaruhi hubungannya dengan Raka.

“Kamu sibuk banget belakangan ini,” keluh Raka ketika mereka bertemu di kantin kampus.

“Aku ada banyak urusan keluarga,” jawab Kiara singkat.

“Urusan keluarga atau… seseorang?” tanya Raka sambil memandangnya dengan serius.

Kiara terkejut. “Apa maksudmu?”

“Aku dengar soal perjodohanmu, Kiara,” ujar Raka akhirnya. “Kamu tahu aku suka sama kamu, kan? Tapi kalau kamu memang memilih dia, aku nggak akan maksa.”

Kata-kata Raka membuat Kiara semakin bingung. Ia tidak pernah berniat menyakiti siapa pun, tetapi kini ia terjebak di antara dua pria yang sama-sama membuatnya merasa hidup.

“Aku nggak tahu harus bilang apa, Raka,” jawab Kiara dengan suara pelan. ” nggak memilih siapa pun… bingung.”

“Kalau kamu bingung, itu berarti kamu belum tahu apa yang kamu mau,” kata Raka sebelum pergi meninggalkannya.

Dua Pilihan yang Berat

Malam itu, Kiara merenung di kamarnya. Ia tahu perasaannya terhadap Raka adalah rasa nyaman dan bebas, tetapi Arsen memberikan rasa aman dan kedewasaan yang berbeda. Di tengah semua ini, ia mulai bertanya pada dirinya sendiri: Apakah ia harus memilih berdasarkan apa yang ia inginkan, atau apa yang diinginkan orang-orang di sekitarnya?

Kiara merasa seperti terjebak di antara dua dunia—dunia kampus yang penuh spontanitas dan dunia bisnis yang penuh tanggung jawab. Satu hal yang ia tahu pasti: hidupnya tidak akan pernah sama lagi.

Namun, apa yang akan terjadi jika ia tidak bisa memilih? Dan bagaimana jika pilihan yang salah justru membuat semuanya berantakan? Kiara menyadari, konflik ini hanyalah awal dari sesuatu yang lebih besar.

Bab 7: Persaingan yang Rumit

Setelah pertemuannya dengan Raka, Kiara tidak bisa mengabaikan rasa bersalah yang menghantui dirinya. Ia tahu Raka tulus menyukainya, tetapi perjodohannya dengan Arsen semakin mengikatnya dalam situasi yang sulit. Sementara itu, hubungan Kiara dengan Arsen mulai berkembang. Meski pada awalnya ia merasa terpaksa, kini ia mulai melihat sisi lembut dan perhatian dari pria itu.

Namun, Raka tidak tinggal diam. Ia memutuskan untuk memperjuangkan perasaannya.

Pagi itu, Kiara sedang duduk di taman kampus, mencoba menyelesaikan tugas kuliahnya. Raka datang menghampirinya, wajahnya serius. Ia duduk di hadapan Kiara tanpa basa-basi.

“Kiara, aku nggak bisa terus begini,” katanya langsung.

Kiara mengangkat wajahnya, bingung. “Apa maksudmu?”

“Aku nggak bisa terus berpura-pura nggak peduli soal perjodohanmu dengan Arsen,” ujar Raka dengan nada tegas. “Aku tahu kamu punya perasaan untukku, tapi kenapa kamu tetap bertahan di situasi ini?”

Kiara terdiam. Ia ingin menjelaskan, tetapi kata-kata seolah tersangkut di tenggorokannya. Akhirnya, ia berkata, “Raka, aku nggak pernah memilih ini. Ayahku yang memutuskan semuanya.”

“Itu alasanmu?” Raka menatapnya dengan tajam. “Kalau kamu benar-benar nggak ingin, kenapa kamu nggak melawan?”

Kiara menunduk, merasa terpojok. Ia tahu Raka benar, tetapi ia juga tahu bahwa melawan ayahnya bukan hal yang mudah.

“Aku hanya… nggak tahu harus mulai dari mana,” jawab Kiara pelan.

“Kalau begitu, aku akan membantumu,” kata Raka dengan tekad. “Kamu nggak harus menjalani hidup seperti yang diinginkan orang lain. Kamu berhak memilih.”

Pertemuan Tak Terduga

Di sisi lain, Arsen mulai menyadari perubahan sikap Kiara. Ia merasa gadis itu semakin menarik diri darinya, meskipun mereka menghabiskan banyak waktu bersama dalam proyek bisnis ayahnya. Suatu malam, setelah rapat selesai, Arsen mengajak Kiara bicara.

“Kiara, aku merasa ada sesuatu yang mengganggumu,” kata Arsen saat mereka berdiri di balkon kantor.

Kiara menghela napas. “Aku hanya… merasa semuanya terlalu berat. Dunia ini, perjodohan ini… semuanya.”

Arsen menatap Kiara dengan mata penuh pengertian. “Aku tahu ini tidak mudah. Aku juga tidak sepenuhnya setuju dengan perjodohan ini pada awalnya. Tapi aku mulai berpikir, mungkin ini bukan tentang bisnis atau keluarga. Mungkin ini tentang kita.”

Kiara menoleh, terkejut dengan kejujuran Arsen. “Maksudmu?”

“Aku mulai menyukaimu, Kiara,” ujar Arsen dengan nada serius. “Bukan karena perjodohan ini. Tapi karena kamu. Kamu adalah seseorang yang berbeda dari apa yang aku bayangkan. Kamu membuatku ingin menjadi lebih baik.”

Pernyataan itu membuat hati Kiara berdebar. Ia tidak tahu harus merasakan apa. Di satu sisi, Arsen adalah pria yang penuh perhatian dan dewasa, tetapi di sisi lain, ia tidak bisa mengabaikan perasaannya terhadap Raka.

Beberapa hari kemudian, saat Kiara sedang duduk di kafe dekat kampus, Arsen muncul tanpa diduga. Ia sedang mengantar dokumen untuk ayah Kiara dan memutuskan untuk mampir. Saat itu, Raka datang. Ketegangan antara kedua pria itu langsung terasa.

“Jadi, ini Raka?” tanya Arsen sambil menatap Raka dengan tenang.

“Dan kamu pasti Arsen,” balas Raka tanpa ragu.

Kiara merasa terjebak di antara keduanya. Ia mencoba mengalihkan perhatian mereka, tetapi Raka sudah terlalu emosi. “Aku nggak tahu kenapa kamu masih bertahan di perjodohan ini, Kiara. Kamu tahu ini nggak benar.”

“Raka, cukup,” potong Kiara, tetapi suaranya tenggelam oleh ketegangan yang memanas.

Arsen tetap tenang, tetapi ada kilatan emosi di matanya. “Kiara punya hak untuk memutuskan sendiri, Raka. Dan aku rasa, dia cukup cerdas untuk tahu apa yang terbaik untuk dirinya.”

“Cerdas?” Raka mendengus. “Kalau kamu benar-benar peduli padanya, kamu nggak akan membiarkan dia terjebak di situasi ini.”

“Sudah cukup!” Kiara akhirnya berseru. Kedua pria itu terdiam, menatapnya.

“Aku nggak mau kalian berdebat seperti ini. Aku butuh waktu untuk berpikir. Tolong, jangan buat semuanya semakin sulit,” ujar Kiara dengan suara bergetar.

Arsen dan Raka saling bertukar pandang sebelum akhirnya mundur. Namun, ketegangan itu masih terasa di udara.

Pilihan yang Sulit

Malam itu, Kiara merenung di kamarnya. Ia merasa berada di persimpangan jalan yang sulit. Arsen menawarkan kedewasaan dan stabilitas, sementara Raka memberikan kebebasan dan spontanitas. Keduanya memiliki tempat di hatinya, tetapi ia tahu bahwa ia tidak bisa terus berada di tengah-tengah.

“Aku harus membuat keputusan,” gumamnya pada dirinya sendiri. Tetapi keputusan itu bukan hanya tentang siapa yang ia pilih. Ini juga tentang menentukan hidupnya sendiri, tanpa tekanan dari siapa pun.

Kiara tahu, apa pun yang ia pilih, konsekuensinya akan besar. Dan ia harus siap menghadapi semuanya. Sebuah babak baru dalam hidupnya segera dimulai.

Bab 8: Pengkhianatan yang Tak Terduga

Hari-hari Kiara semakin berat. Hubungannya dengan Arsen dan Raka memuncak pada dilema yang tidak mudah. Namun, Kiara memutuskan untuk memberi waktu kepada dirinya sendiri, mencoba menemukan jawaban dari perasaan yang membingungkannya. Hingga suatu hari, sebuah rahasia yang tersembunyi di balik kebaikan Raka mulai terungkap, mengubah segalanya.

Kejadian yang Mencurigakan

Pagi itu, Kiara sedang berada di perpustakaan kampus, mencoba fokus pada tugas kuliahnya. Namun, perhatian Kiara terganggu saat melihat Raka duduk di sudut ruangan, berbicara serius dengan seseorang yang tidak ia kenal. Wajah Raka terlihat tegang, seperti sedang membahas sesuatu yang penting.

Kiara memutuskan untuk tidak mengganggu. Namun, saat pria yang berbicara dengan Raka pergi, ia menangkap secarik kertas yang terjatuh dari saku pria itu. Rasa penasaran membuat Kiara mendekati meja itu setelah Raka pergi.

Di atas kertas itu tertulis sesuatu yang membuat jantung Kiara berdetak lebih cepat.

“Dokumen lengkap tentang proyek Wijaya Group. Harus selesai minggu depan.”

Kiara mematung. Proyek Wijaya Group? Bukankah itu proyek besar ayahku dan Arsen? Kenapa Raka terlibat?

Malam harinya, Kiara tidak bisa tidur. Ia mencoba mencari penjelasan logis tentang apa yang ia lihat, tetapi semua petunjuk mengarah pada kemungkinan yang mengejutkan. Ia memutuskan untuk menghadapi Raka secara langsung.

Ketika mereka bertemu di taman kampus keesokan harinya, Kiara tidak bisa menyembunyikan kekecewaannya. “Raka, aku ingin bicara. Jujur padaku, apa sebenarnya yang sedang kamu lakukan?”

Raka terlihat terkejut. “Apa maksudmu, Kiara?”

“Aku melihatmu kemarin di perpustakaan. Aku tahu tentang dokumen proyek ayahku. Apa hubungannya denganmu?” suara Kiara bergetar, antara marah dan terluka.

Wajah Raka berubah, seperti seseorang yang sedang mencoba mencari alasan. “Kiara, aku bisa menjelaskan…”

“Jelaskan sekarang!” tuntut Kiara.

Raka menghela napas panjang. “Aku tidak bisa menyembunyikan ini lebih lama lagi. Ya, aku memang sedang bekerja sama dengan seseorang untuk mengumpulkan informasi tentang proyek ayahmu.”

Kiara terdiam, tidak percaya dengan apa yang ia dengar. “Kenapa? Untuk apa kamu melakukannya? Aku pikir kamu tulus selama ini.”

“Awalnya aku memang tulus, Kiara,” jawab Raka dengan nada bersalah. “Tapi keluargaku punya masalah besar. Kami terlibat utang yang tidak bisa kami bayar, dan satu-satunya cara untuk menyelamatkan mereka adalah dengan mengambil proyek ini. Aku tidak punya pilihan.”

“Jadi kamu hanya memanfaatkan aku?” tanya Kiara, matanya mulai basah. “Aku pikir kamu berbeda, Raka. Aku pikir kamu orang yang benar-benar peduli padaku.”

“Kiara, aku peduli padamu!” seru Raka. “Aku tidak pernah berpura-pura tentang perasaanku. Tapi aku juga punya tanggung jawab pada keluargaku.”

Kiara merasa dikhianati. Ia tidak bisa menerima alasan Raka, tidak peduli betapa masuk akalnya. “Kita selesai, Raka. Jangan pernah bicara padaku lagi.”

Setelah insiden itu, Kiara merasa perlu menceritakan semuanya kepada Arsen. Malam itu, ia mengundang Arsen ke rumahnya dan menceritakan apa yang terjadi. Arsen mendengarkan dengan tenang, tetapi Kiara bisa melihat ketegangan di wajahnya.

“Aku sudah curiga pada Raka sejak awal,” kata Arsen akhirnya. “Dia terlalu dekat denganmu, seolah-olah itu disengaja. Tapi aku tidak ingin mengganggu keputusanmu.”

“Aku merasa bodoh,” ujar Kiara, menundukkan wajahnya. “Aku percaya padanya.”

“Jangan merasa seperti itu,” kata Arsen, suaranya lembut. “Kepercayaan adalah hal yang baik, Kiara. Tapi kamu juga harus belajar untuk lebih berhati-hati.”

Kiara menatap Arsen, merasa ada kelegaan dalam kata-katanya. Untuk pertama kalinya, ia merasa seseorang benar-benar ada di sisinya tanpa motif tersembunyi.

Hari-hari berikutnya, Kiara memutuskan untuk lebih fokus pada dirinya sendiri. Ia mulai lebih serius terlibat dalam proyek ayahnya, mencoba memahami dunia bisnis yang dulu ia hindari. Dalam proses itu, ia semakin dekat dengan Arsen. Pria itu tidak pernah menekan atau memaksanya, tetapi selalu ada di sana, mendukungnya.

Kiara mulai melihat Arsen bukan hanya sebagai sosok yang dewasa dan ambisius, tetapi juga seseorang yang tulus ingin membantunya tumbuh. Namun, di dalam hatinya, Kiara tahu bahwa luka akibat pengkhianatan Raka masih membutuhkan waktu untuk sembuh.

Di tengah perjuangannya untuk bangkit, Kiara menyadari satu hal: hidupnya kini adalah miliknya sendiri. Ia tidak lagi ingin menjadi boneka yang dikendalikan oleh ayahnya, Arsen, atau siapa pun. Ia bertekad untuk menentukan jalannya sendiri.

Hanya waktu yang akan menjawab.

Bab 9: Menemukan Jati Diri

Kiara mulai merasakan hidupnya berubah setelah pengkhianatan Raka. Kekecewaan yang ia rasakan tidak hanya mengguncang hatinya, tetapi juga membuka matanya akan pentingnya kepercayaan dan memilih dengan bijak. Perlahan, Kiara memutuskan untuk mengambil alih kendali atas hidupnya, bukan lagi menjadi seseorang yang hidup di bawah bayang-bayang ayahnya atau tekanan lingkungan.

Kiara mulai menyibukkan dirinya dengan proyek bisnis ayahnya, di mana ia bekerja sama dengan Arsen. Meskipun awalnya ia merasa canggung, kini ia mulai menikmati perannya. Ia belajar memahami cara kerja dunia bisnis yang kompleks, dan Arsen selalu ada untuk membimbingnya.

“Arsen, aku ingin memimpin presentasi besok,” ujar Kiara suatu hari di ruang rapat. Pernyataan itu mengejutkan Arsen dan para anggota tim lainnya.

“Apakah kamu yakin?” tanya Arsen dengan nada lembut tetapi tegas. “Ini adalah presentasi besar. Banyak investor yang akan hadir.”

Kiara mengangguk mantap. “Aku yakin. Ini saatnya aku menunjukkan apa yang bisa aku lakukan.”

Arsen tersenyum tipis, tampak bangga dengan keberanian Kiara. “Baiklah. Aku akan membantumu mempersiapkannya.”

Hari presentasi tiba, dan Kiara berdiri di depan ruangan penuh investor dengan percaya diri. Ia mengenakan setelan formal yang memberikan kesan profesional, tetapi ia tetap menunjukkan sentuhan kepribadiannya dengan gaya bicara yang hangat dan menyentuh. Presentasinya berjalan lancar, dan ia berhasil memukau para investor dengan ide-idenya yang segar dan inovatif.

Setelah acara selesai, Arsen menghampirinya. “Kamu luar biasa tadi,” katanya dengan senyum yang tulus. “Aku tahu kamu bisa melakukannya.”

“Terima kasih,” jawab Kiara, merasa lega sekaligus bangga. “Tapi aku tidak bisa melakukannya tanpa bantuanmu.”

Arsen menatapnya dengan serius. “Tidak, ini semua karena usahamu. Kamu sudah membuktikan bahwa kamu bisa berdiri di atas kakimu sendiri.”

Keberhasilan dalam presentasi tersebut memberikan Kiara dorongan besar untuk terus maju. Ia mulai percaya bahwa dirinya mampu melakukan lebih dari yang ia bayangkan. Kini, ia tidak lagi melihat dirinya sebagai gadis manja yang hanya mengikuti kehendak ayahnya, tetapi sebagai seseorang yang memiliki potensi untuk menciptakan jalannya sendiri.

Namun, di tengah kebangkitannya, Kiara tidak bisa mengabaikan perasaan yang terus tumbuh terhadap Arsen. Waktu yang mereka habiskan bersama membuatnya menyadari bahwa Arsen bukan hanya seorang pria ambisius yang mematuhi perintah ayahnya, tetapi juga seseorang yang tulus ingin melihatnya sukses.

Di suatu sore, saat Kiara sedang berjalan-jalan di taman dekat rumahnya, ia melihat Raka dari kejauhan. Raka tampak lesu, berbeda dari sosoknya yang biasanya penuh semangat. Meskipun hatinya masih terluka, Kiara memutuskan untuk menghampirinya.

“Raka,” panggil Kiara dengan nada lembut.

Raka menoleh, terkejut melihat Kiara. “Kiara… Aku tidak menyangka kamu masih mau bicara denganku.”

“Aku tidak akan memaafkan apa yang kamu lakukan,” ujar Kiara, suaranya tegas. “Tapi aku ingin tahu, apa yang terjadi padamu sekarang?”

Raka menghela napas panjang. “Aku kehilangan semuanya, Kiara. Orang yang memintaku mencuri dokumen proyek ayahmu tidak menepati janjinya. Aku merasa bodoh karena menghancurkan segalanya demi sesuatu yang tidak ada artinya.”

Kiara terdiam. Meski hatinya masih sakit, ia tidak bisa mengabaikan rasa kasihan terhadap Raka. “Aku berharap kamu bisa belajar dari kesalahanmu,” kata Kiara akhirnya. “Aku juga belajar banyak dari apa yang terjadi. Sekarang aku mencoba fokus pada diriku sendiri.”

Raka menunduk. “Aku benar-benar menyesal, Kiara. Aku harap kamu bisa bahagia, apa pun yang kamu pilih.”

Kiara tersenyum tipis. “Terima kasih, Raka. Aku harap kamu juga bisa menemukan jalanmu.”

Setelah pertemuannya dengan Raka, Kiara merasa semakin mantap untuk melangkah maju. Ia menyadari bahwa masa lalunya, baik yang manis maupun yang pahit, adalah bagian dari perjalanan yang membentuk dirinya.

Arsen, yang selalu mendukungnya, mulai menjadi sosok yang lebih dari sekadar mitra kerja. Di suatu malam, setelah mereka selesai rapat di kantor, Arsen mengajak Kiara makan malam di sebuah restoran kecil yang sederhana tetapi nyaman.

“Kiara, aku tahu kamu masih punya banyak hal yang harus kamu pikirkan,” ujar Arsen, menatapnya dengan penuh perhatian. “Tapi aku ingin kamu tahu, aku ada di sini untukmu. Bukan sebagai seseorang yang dipilihkan oleh keluargamu, tetapi sebagai seseorang yang benar-benar peduli.”

Kiara terdiam, hatinya berdebar mendengar kata-kata Arsen. Ia tahu bahwa perasaannya terhadap Arsen semakin nyata, tetapi ia juga ingin memastikan bahwa keputusan yang ia ambil adalah yang terbaik untuk dirinya sendiri.

“Aku butuh waktu, Arsen,” jawab Kiara dengan jujur. “Aku masih berusaha menemukan jati diriku.”

Arsen tersenyum, mengangguk dengan pengertian. “Aku akan menunggumu, Kiara. Selama yang kamu butuhkan.”

Bab 10: Cinta dalam Kebebasan

Hari itu, Kiara berdiri di depan kaca besar di ruang kerjanya. Ia tersenyum kecil, memandangi bayangannya. Perjalanan panjang yang penuh dengan tekanan, kebingungan, pengkhianatan, dan pembelajaran akhirnya membawa dirinya ke titik ini—titik di mana ia merasa bebas untuk menjadi dirinya sendiri. Namun, satu hal yang masih mengganjal di hatinya adalah keputusan tentang cinta. Apakah ia siap membuka hatinya untuk Arsen?

Sebuah Undangan

Suatu pagi, Kiara menerima undangan dari Arsen. Di dalam amplopnya ada catatan kecil dengan tulisan tangan yang khas.

“Kiara, aku ingin menunjukkan sesuatu yang penting. Aku akan menunggumu di tempat pertama kali kita bertemu—hotel tempat makan malam itu.”

Kiara membaca undangan itu berulang kali. Hatinya berdebar. Apakah ini saatnya? Dengan perasaan campur aduk, ia memutuskan untuk datang.

Saat Kiara tiba di hotel, ia disambut oleh Arsen yang tampak lebih santai dari biasanya. Ia mengenakan kemeja putih sederhana, jauh dari penampilan formalnya yang biasa.

“Terima kasih sudah datang,” kata Arsen, tersenyum hangat. “Ada sesuatu yang ingin aku katakan.”

Mereka duduk di balkon restoran hotel, tempat di mana semuanya bermula. Kiara memandang pemandangan kota yang terlihat indah dengan lampu-lampunya yang gemerlap.

“Kiara, aku tahu perjalanan ini tidak mudah untukmu,” ujar Arsen, memulai. “Aku juga tahu bahwa perjodohan ini awalnya hanya tentang bisnis. Tapi, seiring waktu, aku menyadari bahwa aku tidak bisa memaksakan dirimu untuk menerima sesuatu yang tidak kamu inginkan.”

Kiara menatap Arsen dengan bingung. “Apa maksudmu?”

“Aku memutuskan untuk menghentikan perjodohan ini,” kata Arsen tegas. “Akupun sudah berbicara dengan ayahmu, dan dia setuju. Akujuga tidak ingin kamu merasa terikat karena keputusan keluarga kita. Aku ingin kamu bebas memilih jalanmu sendiri, termasuk dalam hal cinta.”

Kiara terdiam, terkejut dengan keputusan Arsen. Namun, ada kehangatan yang menjalari hatinya. “Kamu benar-benar ingin aku bebas memilih?”

“Ya,” jawab Arsen dengan senyum tulus. “Aku ingin kita memulai dari awal. Jika kamu memilih untuk bersamaku, aku ingin itu karena kamu memang menginginkannya, bukan karena paksaan.”

Momen Kejujuran

Kata-kata Arsen membuat Kiara merenung dalam-dalam. Ia menyadari bahwa selama ini Arsen tidak pernah memaksanya, tetapi justru selalu mendukungnya. Ia juga menyadari bahwa di balik semua kebingungan dan tekanan, ia telah jatuh cinta pada sosok Arsen yang dewasa dan penuh pengertian.

“Arsen,” kata Kiara akhirnya. “Terima kasih karena selalu memberiku ruang untuk menjadi diriku sendiri. Aku pikir, selama ini aku terlalu fokus pada apa yang orang lain harapkan dariku. Tapi sekarang, aku tahu apa yang aku inginkan.”

Arsen menatapnya, menunggu dengan sabar.

“Aku ingin kita mencoba lagi,” lanjut Kiara dengan senyum kecil. “Tapi kali ini, tanpa tekanan. Aku ingin ini menjadi perjalanan kita, bukan perjalanan yang ditentukan oleh orang lain.”

Mendengar itu, Arsen tersenyum lebar. “Aku tidak bisa meminta hal lain selain itu, Kiara.”

Beberapa bulan kemudian, Kiara dan Arsen memulai hubungan mereka dari awal. Mereka tidak lagi terikat oleh perjodohan atau tekanan keluarga. Hubungan mereka tumbuh perlahan, penuh kejujuran dan pengertian.

Di sisi lain, Kiara juga semakin mantap dalam perannya di dunia bisnis. Ia belajar untuk mengambil keputusan yang tidak hanya menguntungkan perusahaan, tetapi juga dirinya sendiri. Meski jalan hidupnya tidak sempurna, ia merasa bahagia karena ia akhirnya bisa menentukan hidupnya sendiri.

Dan di antara tawa, kerja keras, dan momen-momen sederhana, Kiara menemukan sesuatu yang selama ini ia cari: cinta dalam kebebasan.

Aku tak butuh dunia sempurna, hanya seseorang yang bisa berjalan bersamaku, apa adanya, dan dalam langkah yang seirama.”

Tamat

Novel ini ditulis oleh Evi Fauzi, Penulis dari  Novel Singkat . Baca juga novel romantis dan fiksi ilmiah lainnya.

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

    Leave a Reply

    Your email address will not be published. Required fields are marked *