Bab 1: Kotak Kenangan
Hujan rintik-rintik membasahi jendela kamar Nadira, menciptakan simfoni pelan yang menenangkan. Udara dingin memaksanya menyelubungi diri dengan sweater lusuh favoritnya. Hari ini adalah salah satu dari sedikit akhir pekan yang bisa ia nikmati di rumah, tanpa harus tergesa-gesa memeriksa tugas siswa atau menghadiri rapat sekolah.
Sambil memutar lagu-lagu mellow dari playlist lamanya, Nadira mulai membersihkan kamar. Aktivitas yang ia tahu akan berujung pada satu hal: membongkar lemari kecil di pojok ruangan, tempat ia menyimpan barang-barang yang jarang disentuh.
“Waktunya bersih-bersih sungguhan,” gumamnya sambil tersenyum kecil.
Ia menarik keluar beberapa tumpukan buku tua, map berisi dokumen kerja, hingga satu kotak kayu kecil yang tersembunyi di belakang. Kotak itu tidak besar, hanya sebesar kotak sepatu, dengan ukiran sederhana di bagian tutupnya. Nadira terdiam sejenak, tangannya berhenti tepat di atas kotak itu. Sudah bertahun-tahun ia tidak menyentuh benda ini.
Perasaan aneh mulai muncul di dadanya. Ia tahu apa yang ada di dalam kotak itu, dan kenangan yang menyertainya mulai membanjiri pikirannya. Setelah menarik napas panjang, Nadira membuka kotak itu perlahan.
Di dalamnya, tersimpan rapi tumpukan surat-surat dengan amplop warna-warni. Beberapa sudah menguning, yang lainnya masih terlihat seperti baru. Tulisan tangannya menghiasi setiap amplop: Untuk Bima.
Hatinya berdesir. Nama itu kembali membawanya ke masa lalu yang manis sekaligus menyakitkan. Bima, pria yang pernah menjadi pusat dunianya, dan yang pada akhirnya meninggalkannya dengan sebuah alasan yang dulu sulit ia pahami.
Dengan tangan sedikit gemetar, Nadira mengambil satu amplop paling atas. Ia tahu, membuka surat ini sama saja dengan membuka luka lama yang belum sepenuhnya sembuh. Namun, rasa penasaran mengalahkan rasa takutnya. Amplop itu berisi surat pertama yang ia tulis untuk Bima, tepat saat mereka baru beberapa bulan menjalin hubungan.
“Hai, Bima.
Hari ini aku merasa menjadi orang paling beruntung di dunia karena bisa memanggilmu milikku. Kau tahu, kadang aku takut. Takut kalau semua ini terlalu indah untuk menjadi nyata. Aku harap kita selalu bisa seperti ini, tertawa bersama, berbagi mimpi, dan saling mendukung. Terima kasih sudah ada di hidupku. Aku mencintaimu.”
Senyum tipis muncul di bibir Nadira, tetapi air mata juga mulai menggenang di sudut matanya. Surat itu mengingatkan betapa polos dan penuhnya ia dengan harapan saat itu. Ia tidak pernah mengirimkan surat itu, seperti surat-surat lainnya di dalam kotak ini. Entah mengapa, Nadira selalu merasa surat-surat ini lebih baik menjadi rahasia kecilnya.
Ia mengambil surat berikutnya, kali ini ditulis beberapa bulan sebelum hubungan mereka berakhir. Surat itu terasa lebih berat, penuh dengan emosi yang ia tahan pada saat itu.
“Bima,
Aku merasa kita semakin jauh. Aku tahu pekerjaanmu sangat penting, dan aku tidak ingin menjadi orang yang menghalangi impianmu. Tapi aku juga tidak bisa mengabaikan perasaan ini. Kau sibuk, selalu sibuk, dan aku… aku merasa sendirian. Aku rindu obrolan panjang kita, rindu senyummu, dan rindu menjadi bagian dari duniamu. Apakah kau juga merasa seperti ini?”
Nadira mengembuskan napas panjang. Ia ingat betul perasaan kesepian itu. Akhirnya, mereka memutuskan berpisah karena jarak dan ambisi yang tidak sejalan. Bima pergi mengejar karier di luar negeri, meninggalkan dirinya dengan perasaan hampa.
Satu dekade telah berlalu sejak itu. Namun, melihat surat-surat ini membuat kenangan itu terasa seperti kemarin. Nadira merapikan surat-surat itu kembali ke dalam kotak, lalu menutupnya dengan pelan. Matanya menatap kosong ke jendela, di mana hujan masih terus turun.
“Mengapa aku masih menyimpan ini semua?” gumamnya pelan.
Ia tahu jawabannya. Sebagian dari dirinya masih ingin menggenggam masa lalu itu, meskipun ia tahu itu tidak sehat. Namun, ia tidak pernah benar-benar punya keberanian untuk melepaskan.
Ponselnya tiba-tiba bergetar di atas meja, membuat Nadira tersentak. Sebuah pesan muncul di layar:
“Nadira, reuni kampus minggu depan. Kau datang, kan? – Rani.”
Nadira menatap pesan itu dengan ragu. Ia tahu reuni ini kemungkinan besar akan mempertemukannya kembali dengan Bima. Tapi mungkin ini juga adalah kesempatan untuk akhirnya menghadapi masa lalu dan menemukan penutupan yang ia butuhkan.
Bab 2: Jejak Masa Lalu
Nadira menatap cermin di ruang tamunya. Gaun simpel berwarna biru pastel yang ia kenakan tampak serasi dengan kulitnya yang cerah, tetapi mata Nadira lebih fokus pada bayangan dirinya sendiri. Ada keraguan yang jelas di sana.
Reuni kampus. Sebuah acara yang sempat ia abaikan bertahun-tahun, dan kali ini, ia tidak tahu mengapa ia memutuskan untuk datang. Mungkin, tanpa sadar, ia memang ingin melihat Bima lagi—pria yang sudah menjadi bayang-bayang di pikirannya sejak ia menemukan kotak kenangan itu.
Dengan menarik napas panjang, Nadira mengambil tas tangannya dan melangkah keluar. Udara malam itu dingin, tetapi hati Nadira terasa lebih dingin. Ia mencoba mengalihkan pikirannya dengan memainkan playlist di mobil. Namun, lagu-lagu yang diputar justru semakin menggiringnya ke masa lalu.
Flashback:
Tujuh tahun lalu, di halaman kampus yang ramai, Nadira pertama kali bertemu dengan Bima. Ia adalah mahasiswa teknik yang punya reputasi sebagai pemimpin kelompok diskusi, sementara Nadira adalah mahasiswi pendidikan yang sering menghabiskan waktu di perpustakaan.
Pertemuan mereka terjadi saat seminar kampus. Nadira sedang mencari tempat duduk ketika Bima menawarkan kursi di sebelahnya. Mereka mengobrol santai tentang materi seminar, tetapi diskusi itu berlanjut hingga ke topik hobi, impian, dan hal-hal kecil lainnya.
“Aku ingin jadi insinyur yang bisa bikin perubahan,” kata Bima dengan mata berbinar.
“Kalau aku, cukup jadi guru yang bisa membuat siswa-siswaku mencintai belajar,” jawab Nadira sambil tersenyum.
Percakapan mereka terasa begitu ringan namun mendalam. Setelah itu, Bima sering mengajaknya bertemu. Mereka berbagi cerita, saling mendukung mimpi, dan perlahan jatuh cinta. Masa-masa itu adalah momen paling bahagia dalam hidup Nadira.
Namun, kebahagiaan itu tidak bertahan lama. Setelah lulus, Bima mendapatkan tawaran kerja di luar negeri. Awalnya, mereka mencoba menjalani hubungan jarak jauh, tetapi seiring waktu, Bima semakin sibuk dengan pekerjaannya, dan komunikasi mereka mulai renggang.
Akhir Flashback.
Setibanya di lokasi reuni, Nadira disambut oleh teman-teman lamanya. Suasana nostalgia memenuhi ruangan, dengan tawa dan cerita-cerita lama yang dihidupkan kembali. Nadira berusaha menikmati acara itu, tetapi matanya terus mencari sosok yang ia tahu akan sulit untuk diabaikan: Bima.
“Dia belum datang,” kata Rani tiba-tiba, membuat Nadira terkejut. Rani adalah salah satu sahabatnya di kampus yang selalu tahu apa yang ada di pikirannya.
“Siapa?” Nadira berusaha terlihat biasa saja.
Rani hanya tersenyum penuh arti. “Bima, siapa lagi?”
Nadira tidak bisa menjawab. Ia meneguk jus jeruk di tangannya untuk menutupi kegelisahannya.
Namun, saat ia sedang mencoba melarikan diri ke sudut ruangan, sebuah suara familiar memanggil namanya.
“Nadira?”
Suara itu menghentikan langkahnya. Nadira berbalik, dan di sana berdiri Bima. Masih dengan gaya khasnya: rambut rapi, kemeja putih, dan senyum yang dulu selalu membuat Nadira merasa istimewa.
“Hai,” jawab Nadira dengan suara nyaris bergetar.
Bima tersenyum lebih lebar, seolah-olah waktu tidak pernah memisahkan mereka. “Lama tak bertemu.”
“Iya, lama sekali,” kata Nadira pelan.
Percakapan itu dimulai dengan formalitas. Mereka berbicara tentang pekerjaan, hidup masing-masing, dan bagaimana waktu telah mengubah banyak hal. Namun, bagi Nadira, ada sesuatu yang tetap sama: cara Bima membuatnya merasa nyaman dan gugup sekaligus.
“Bisa kita bicara sebentar? Di tempat yang lebih sepi?” tanya Bima tiba-tiba.
Nadira ragu, tetapi akhirnya mengangguk. Mereka keluar dari ruangan, menuju balkon yang sepi, tempat mereka bisa berbicara tanpa gangguan.
Di balkon, angin malam menerpa wajah mereka. Untuk beberapa saat, hanya ada keheningan di antara mereka. Lalu, Bima berbicara.
“Aku sering memikirkanmu,” katanya dengan nada serius.
Kata-kata itu seperti pukulan di hati Nadira. Ia mencoba tetap tenang. “Apa maksudmu?”
“Setelah aku pergi… aku selalu merasa ada yang hilang. Kita mungkin tidak saling bicara lagi, tapi aku tidak pernah benar-benar melupakanmu, Nadira.”
Nadira mengalihkan pandangannya ke langit malam. Perasaan lama yang ia pikir telah ia kubur muncul kembali, membawa kerumitan yang tidak ia inginkan.
“Kenapa baru sekarang bilang begitu, Bima?” tanya Nadira akhirnya, dengan suara yang lebih terdengar seperti bisikan.
Bima terdiam. Jawaban itu masih belum keluar dari mulutnya, dan Nadira tidak yakin apakah ia siap mendengarnya.
Bab 3: Kembali ke Kota
Pagi itu, Nadira menatap keluar jendela ruang kerjanya di sekolah. Ia baru saja tiba dan sedang bersiap untuk hari yang sibuk. Namun, pikirannya masih tertinggal di acara reuni tadi malam. Pertemuan dengan Bima terus mengusik hatinya. Kata-kata terakhir yang diucapkan Bima—tentang perasaan yang tidak pernah benar-benar hilang—menggema dalam pikirannya seperti nada yang tak kunjung selesai.
“Bu Nadira, sudah siap untuk rapat?” Fikri muncul di depan pintu, membuyarkan lamunannya. Fikri adalah rekan kerja yang selalu terlihat tenang, meskipun ia terkenal sebagai guru yang paling tegas di sekolah.
“Oh, ya. Saya datang sebentar lagi,” jawab Nadira cepat. Ia mengalihkan pandangannya dari jendela dan mengumpulkan berkas-berkasnya.
Fikri memperhatikan Nadira dengan saksama, seperti bisa membaca ada sesuatu yang mengganggunya. “Kamu baik-baik saja? Kelihatannya agak lelah.”
Nadira menggeleng pelan dan tersenyum. “Hanya sedikit kurang tidur. Banyak yang dipikirkan.”
Fikri tidak mendesak, tapi matanya mengatakan bahwa ia tahu lebih banyak daripada yang ia ungkapkan. Nadira menghargai itu. Fikri selalu tahu kapan harus memberi ruang.
Rapat berlangsung biasa saja, tetapi Nadira merasa pikirannya terus melayang. Setelah rapat selesai, ia kembali ke ruangannya, berharap bisa mendapatkan waktu sejenak untuk menenangkan diri. Namun, langkah kakinya terhenti ketika ia melihat seseorang berdiri di dekat pintu ruang guru.
Bima.
Ia mengenakan kemeja biru muda dan celana panjang gelap. Penampilannya sama santainya seperti saat reuni, tetapi kehadirannya di sini terasa jauh lebih personal. Nadira tidak pernah membayangkan akan melihatnya lagi secepat ini.
“Nadira,” panggil Bima, tersenyum.
“Kenapa kamu di sini?” Nadira berusaha terdengar biasa saja, tetapi suaranya sedikit bergetar.
“Aku baru tahu dari Rani kalau kamu mengajar di sini. Kebetulan aku sedang ada proyek kerja sama antara perusahaan tempatku bekerja dengan sekolah ini,” jelas Bima. “Aku tidak menyangka akan bertemu lagi secepat ini.”
Nadira mengerutkan kening. “Proyek apa?”
“Pengembangan fasilitas laboratorium untuk sekolah. Aku ditunjuk sebagai pengawas proyek ini.”
Nadira terdiam. Hidupnya yang sebelumnya tenang kini terasa seperti diacak-acak oleh takdir. Sejak tadi malam, ia masih mencoba merapikan pikirannya, dan sekarang Bima kembali hadir, membawa lebih banyak tanda tanya.
Hari-hari berikutnya, kehadiran Bima di sekolah menjadi bagian dari rutinitas Nadira. Meskipun mereka tidak selalu berinteraksi langsung, kehadirannya cukup untuk membuat Nadira terus merasa tidak nyaman. Bima sering muncul di ruang guru untuk rapat atau berdiskusi dengan kepala sekolah, tetapi pandangannya sering mencari Nadira di antara para guru lainnya.
Di sisi lain, Fikri mulai menyadari ada sesuatu yang berbeda. Nadira sering terlihat gelisah, dan ia tahu itu bukan karena pekerjaan.
Saat mereka sedang membereskan dokumen di ruang guru, Fikri memutuskan untuk membuka pembicaraan.
“Nadira, kamu terlihat berbeda akhir-akhir ini,” katanya pelan sambil menyusun dokumen ke dalam map. “Ada yang ingin kamu ceritakan?”
Nadira terdiam sejenak, lalu menghela napas panjang. “Aku bertemu seseorang dari masa lalu.”
Fikri menghentikan kegiatannya dan menatap Nadira. “Seseorang yang penting?”
Nadira mengangguk, lalu melanjutkan, “Bima… Dia kembali ke kota, dan kebetulan perusahaan tempat dia bekerja sekarang bekerja sama dengan sekolah ini.”
Fikri tidak segera merespons. Ia hanya mengangguk pelan, seolah memahami beratnya situasi Nadira. “Dan kamu belum yakin bagaimana harus bersikap?”
“Kurang lebih begitu,” jawab Nadira dengan nada lelah. “Aku tidak tahu apakah ini kesempatan untuk memperbaiki sesuatu, atau justru mengulang luka lama.”
Fikri menatapnya dengan serius. “Yang terpenting adalah memastikan apa yang kamu inginkan, Nadira. Jangan biarkan masa lalu membebani keputusanmu sekarang.”
Kata-kata Fikri terasa menenangkan, tetapi Nadira tahu hal itu lebih mudah diucapkan daripada dilakukan. Ia tersenyum tipis dan mengangguk. “Terima kasih, Fikri.”
Beberapa hari kemudian, saat Nadira sedang berjalan melewati koridor sekolah, ia melihat Bima berdiri di dekat laboratorium, sedang berbicara dengan kepala sekolah. Ketika pandangan mereka bertemu, Bima menghentikan pembicaraannya dan melangkah mendekatinya.
“Nadira, ada waktu sebentar?” tanyanya.
Nadira ragu sejenak, tetapi akhirnya mengangguk. “Apa yang ingin kamu bicarakan?”
“Aku tahu kehadiranku di sini membuatmu tidak nyaman,” kata Bima dengan nada serius. “Aku tidak bermaksud mengganggu. Aku hanya ingin memastikan kita punya kesempatan untuk berbicara dengan jujur tentang apa yang pernah terjadi.”
Nadira menghela napas. “Bima, sudah tujuh tahun. Aku pikir kita sudah melewati semua itu.”
“Benar,” jawab Bima. “Tapi aku tidak pernah benar-benar menjelaskan alasanku pergi, dan aku merasa itu tidak adil untukmu. Aku ingin membereskan semuanya, bahkan jika itu berarti kita hanya bisa menjadi teman.”
Nadira terdiam. Sebagian dari dirinya ingin mendengar penjelasan itu, tetapi bagian lain merasa takut akan apa yang mungkin ia dengar.
“Baiklah,” katanya akhirnya. “Kita bisa bicara, tapi tidak sekarang. Aku butuh waktu.”
Bima mengangguk. “Aku mengerti. Aku akan menunggu.”
Bab 4: Surat yang Terbaca
Malam itu, Nadira duduk di meja belajarnya, memandangi kotak kayu kecil yang kini tergeletak di pojok meja. Ia sudah berulang kali berniat untuk membuang kotak itu, tetapi selalu gagal. Kotak itu terlalu penuh dengan kenangan yang, meskipun menyakitkan, masih terasa berarti baginya.
Ia membuka kotak itu lagi, menarik salah satu surat dari tumpukannya. Surat itu tertanggal beberapa bulan sebelum perpisahan mereka. Dengan hati-hati, Nadira membuka lipatan kertas itu dan membaca tulisannya sendiri.
“Bima,
Aku tahu hubungan ini semakin sulit. Kau sibuk dengan duniamu, dan aku tidak tahu apakah aku masih punya tempat di sana. Tapi aku tetap berharap. Aku ingin percaya bahwa kita masih bisa bersama, meskipun jarak ini terasa begitu berat.
Aku mencintaimu, meski aku tidak tahu sampai kapan aku bisa bertahan.”
Air mata Nadira menggenang. Membaca surat itu membuatnya merasa seperti kembali ke masa itu, ketika ia berusaha keras mempertahankan sesuatu yang sudah mulai memudar. Ia melipat kembali surat itu dan menaruhnya di atas meja.
Sementara itu, ponselnya berbunyi. Sebuah pesan masuk dari Fikri:
“Nadira, tugas esai siswa kelas 9 sudah saya kumpulkan di ruang guru. Kalau sempat, cek ya. Saya juga bisa bantu kalau kamu sibuk.”
Nadira tersenyum kecil membaca pesan itu. Fikri selalu punya cara untuk membuatnya merasa diperhatikan tanpa terkesan berlebihan. Ia membalas singkat, “Terima kasih, besok aku cek.”
Setelah itu, ia memutuskan untuk tidur lebih awal, berharap bisa melupakan kegelisahan yang terus menghantui pikirannya.
Keesokan harinya, Nadira tiba di sekolah lebih pagi dari biasanya. Ia ingin memeriksa tugas siswa sebelum hari dimulai. Ketika ia membuka pintu ruang guru, ia terkejut melihat Fikri sudah ada di sana, sedang menyiapkan materi pelajaran.
“Pagi-pagi sekali,” kata Nadira sambil tersenyum.
Fikri menoleh dan membalas senyumnya. “Aku sering datang lebih awal. Kamu sendiri? Biasanya baru muncul di bel terakhir.”
Nadira tertawa kecil. “Hari ini aku ada banyak yang harus diselesaikan.”
Mereka berbicara sebentar sebelum Nadira kembali ke mejanya. Namun, ia tidak menyadari bahwa ia meninggalkan salah satu suratnya di atas meja. Surat itu jatuh dari tumpukan buku catatan yang ia bawa. Fikri, yang lewat di dekat mejanya, melihat kertas itu.
“Nadira, ini punyamu?” tanya Fikri, sambil mengambil kertas itu dan menyerahkannya.
Namun, sebelum Nadira sempat menjawab, Fikri melihat tulisan di kertas itu. Namanya, “Bima,” tertulis jelas di atasnya. Fikri terdiam sejenak, lalu melirik Nadira yang terlihat gugup.
“Apa ini?” tanyanya pelan, nada suaranya penuh rasa ingin tahu tetapi tidak menghakimi.
Nadira mengambil kertas itu dengan cepat. “Hanya… surat lama. Tidak penting.”
Fikri tidak menekan lebih jauh, tetapi ekspresinya menunjukkan bahwa ia tahu ada sesuatu yang besar di balik surat itu.
Setelah jam pelajaran selesai, Fikri kembali mendekati Nadira. “Nadira, aku tidak bermaksud ikut campur, tapi kalau ada sesuatu yang mengganggumu, aku di sini untuk mendengar.”
Nadira ragu sejenak, tetapi akhirnya memutuskan untuk berbagi sedikit. “Itu surat untuk seseorang dari masa lalu. Aku tidak pernah mengirimkannya, dan sekarang dia kembali ke hidupku.”
Fikri mengangguk pelan, seolah memahami beratnya situasi Nadira. “Dan kamu belum yakin apa yang harus dilakukan?”
“Ya. Aku merasa… bingung. Sebagian dari diriku ingin tahu apa yang akan terjadi jika aku memberinya kesempatan lagi. Tapi di sisi lain, aku takut akan terluka lagi.”
Fikri menatapnya dengan lembut. “Kamu tidak harus mengambil keputusan sekarang. Yang penting adalah memastikan keputusan itu datang dari dirimu sendiri, bukan dari tekanan atau harapan orang lain.”
Kata-kata Fikri membuat Nadira merasa lebih tenang. Ia mengangguk dan tersenyum kecil. “Terima kasih, Fikri.”
Malam itu, di rumah, Nadira duduk kembali di mejanya, memandangi surat yang tadi hampir terbaca oleh Fikri. Ia mulai menyadari bahwa surat-surat itu adalah caranya untuk mengungkapkan perasaan yang tidak pernah bisa ia ucapkan. Namun, ia juga mulai bertanya-tanya apakah ia benar-benar membutuhkan surat-surat itu lagi.
“Apakah aku masih hidup di masa lalu?” gumamnya pelan.
Di luar, hujan mulai turun, menciptakan suara yang menenangkan. Nadira menutup kotak surat itu sekali lagi, tetapi kali ini ia merasa sedikit lebih damai. Ia tahu, perjalanan untuk menemukan jawaban masih panjang, tetapi setidaknya ia tidak perlu melaluinya sendirian.
Bab 5: Teman Lama, Luka Lama
Siang itu, matahari bersinar terang, menyapu halaman sekolah dengan kehangatan yang membuat anak-anak bersemangat bermain di lapangan. Nadira duduk di bangku dekat taman kecil sekolah, mencoba menikmati sejenak ketenangan di tengah hari yang sibuk. Ia membuka buku catatan siswa yang perlu ia koreksi, tetapi pikirannya melayang ke arah lain.
Hari-hari terakhir terasa berat. Kehadiran Bima di sekolah membawa kembali kenangan yang tak pernah ia ingin ingat, namun juga tak pernah benar-benar ia lupakan. Ia merasa seperti berdiri di persimpangan yang tidak ia pahami.
“Nadira,” suara itu membuatnya terkejut. Ketika ia menoleh, Bima berdiri di sana dengan senyuman yang pernah ia kenal begitu baik.
“Ya?” jawab Nadira, mencoba menjaga nada suaranya tetap tenang.
“Bisakah kita bicara sebentar?” tanya Bima sambil melirik bangku kosong di sampingnya.
Nadira ragu sejenak, tetapi akhirnya mengangguk. Ia tahu, percakapan ini tidak bisa dihindari selamanya.
Bima duduk di sampingnya, mengambil waktu sejenak sebelum akhirnya berbicara. “Aku ingin menjelaskan sesuatu yang mungkin belum sempat aku katakan saat itu.”
Nadira tetap diam, membiarkan Bima melanjutkan.
“Aku pergi bukan karena aku ingin meninggalkanmu,” katanya pelan. “Aku pergi karena aku pikir itu yang terbaik untuk kita. Aku ingin fokus membangun karierku, dan aku takut tidak bisa memberikan yang kamu butuhkan saat itu.”
Nadira menatapnya, matanya dipenuhi campuran emosi. “Tapi kamu tidak pernah memberiku pilihan. Kamu hanya pergi. Bagiku, itu sama saja seperti menghilangkan segalanya tanpa penjelasan.”
Bima terlihat menyesal. “Aku tahu, aku salah. Aku hanya… aku terlalu pengecut untuk menghadapi kenyataan. Aku pikir dengan pergi, semuanya akan lebih mudah.”
“Untukmu, mungkin,” balas Nadira, suaranya mulai bergetar. “Tapi untukku, aku harus bertahan sendirian, mencoba memahami apa yang sebenarnya terjadi.”
Hening mengisi udara di antara mereka. Bima menundukkan kepalanya, tidak tahu harus berkata apa lagi.
Saat itu, Fikri yang sedang berjalan menuju ruang guru melihat mereka dari kejauhan. Ia memperhatikan ekspresi Nadira yang terlihat penuh emosi, dan meskipun ia tidak mendengar percakapannya, ia tahu bahwa apa pun yang sedang terjadi pasti cukup berat untuk Nadira.
Fikri tidak mendekat. Ia memilih untuk memberi Nadira ruang, tetapi hatinya terusik. Ia tidak pernah melihat Nadira sekacau ini sebelumnya, dan itu membuatnya ingin melindungi wanita itu lebih dari apa pun.
Setelah percakapan panjang yang diakhiri dengan keheningan, Bima akhirnya berdiri. “Aku tidak berharap kau langsung memaafkanku, Nadira. Tapi aku ingin kau tahu bahwa aku menyesal atas apa yang terjadi.”
Nadira hanya mengangguk pelan, terlalu lelah untuk berkata apa-apa. Ketika Bima pergi, ia tetap duduk di bangku itu, memandangi taman kecil yang tiba-tiba terasa begitu kosong.
Beberapa saat kemudian, Fikri mendekat dengan membawa dua cangkir kopi dari kantin sekolah. Ia duduk di samping Nadira tanpa berkata apa-apa, hanya menyodorkan salah satu cangkir itu.
Nadira tersenyum kecil. “Kamu tahu aku butuh ini, ya?”
“Sudah terlihat dari wajahmu,” jawab Fikri sambil tersenyum ringan. “Kalau mau cerita, aku di sini.”
Nadira menatapnya, merasa lega bahwa ada seseorang yang tidak menuntut penjelasan darinya. Ia mengangguk pelan. “Mungkin nanti. Terima kasih, Fikri.”
Malamnya, Nadira kembali membuka kotak suratnya. Ia menatap surat terakhir yang pernah ia tulis untuk Bima, tetapi kali ini ia tidak membukanya. Ia menyadari sesuatu: meskipun surat-surat itu adalah bagian penting dari hidupnya, mereka juga adalah pengingat betapa ia terus menggenggam masa lalu.
Dengan hati-hati, ia mengikat tumpukan surat itu dengan pita kecil, lalu menyimpannya kembali ke dalam kotak. Kali ini, ia tidak melakukannya dengan rasa rindu, tetapi dengan perasaan menerima. Mungkin, ia belum siap untuk benar-benar melepaskan, tetapi ia tahu bahwa langkah kecil ini adalah awal dari proses yang lebih besar.
Bab 6: Perhatian yang Tersamarkan
Pagi itu, langit mendung, seolah mencerminkan suasana hati Nadira. Ia berdiri di depan kelas, menjelaskan pelajaran sejarah dengan nada yang lebih datar dari biasanya. Murid-muridnya memperhatikan, tetapi Nadira tahu pikirannya tidak sepenuhnya ada di tempat itu. Percakapannya dengan Bima beberapa hari yang lalu terus bergema dalam pikirannya.
Ketika bel akhirnya berbunyi, Nadira menghela napas lega. Ia mengemasi buku-bukunya dan berjalan ke ruang guru. Di sana, ia menemukan Fikri sedang sibuk mengetik di laptopnya. Pria itu menoleh ketika melihat Nadira masuk.
“Kamu kelihatan lelah,” kata Fikri, sambil menutup laptopnya.
“Sepertinya semua orang memperhatikan itu,” balas Nadira dengan senyum tipis. Ia meletakkan buku-bukunya di meja, mencoba terlihat santai.
Fikri berdiri, berjalan ke meja Nadira. “Kenapa tidak ambil istirahat sejenak? Kadang-kadang, menjauh dari rutinitas bisa membantu.”
Nadira mengangkat bahu. “Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan. Rasanya seperti semua hal datang bersamaan.”
Fikri tersenyum kecil, lalu mengeluarkan sesuatu dari tasnya. Sebuah buku bersampul biru tua. “Aku baru selesai membaca ini. Mungkin bisa membantu mengalihkan perhatianmu. Ceritanya ringan, tapi penuh makna.”
Nadira mengambil buku itu dengan ragu. “Terima kasih, Fikri. Kamu selalu tahu cara membuat segalanya terasa lebih baik.”
“Itu karena aku peduli,” jawab Fikri, nada suaranya ringan tetapi penuh makna.
Beberapa hari berikutnya, Fikri terus menunjukkan perhatian kecilnya. Ia akan muncul di meja Nadira dengan secangkir kopi hangat, menawarkan bantuan saat Nadira kewalahan dengan tugas siswa, atau sekadar mengajaknya mengobrol untuk mencairkan suasana. Perhatian Fikri terasa tulus, tidak menuntut, dan itu membuat Nadira merasa dihargai.
Namun, di sisi lain, Bima juga semakin sering muncul di sekolah, berinteraksi dengan Nadira untuk urusan proyek laboratorium. Setiap kali mereka bertemu, Bima mencoba membawa percakapan ke arah pribadi, tetapi Nadira selalu menjaga jarak. Ia tahu, membiarkan Bima terlalu dekat hanya akan membuat semuanya semakin rumit.
Suatu sore, setelah jam sekolah selesai, Nadira memutuskan untuk tinggal lebih lama di ruang guru untuk menyelesaikan pekerjaannya. Ia sedang fokus menulis catatan ketika suara ketukan di pintu membuatnya menoleh. Fikri berdiri di sana dengan senyuman ramah.
“Kamu belum pulang?” tanyanya.
“Aku ingin menyelesaikan ini dulu,” jawab Nadira sambil menunjuk dokumen di mejanya.
“Kalau begitu, aku akan menemanimu,” kata Fikri, masuk ke ruangan dan duduk di kursi di seberangnya.
Mereka menghabiskan waktu dalam keheningan yang nyaman. Fikri sibuk dengan laptopnya, sementara Nadira menyelesaikan pekerjaannya. Sesekali, mereka bertukar komentar ringan, tetapi tidak ada percakapan mendalam.
Ketika Nadira akhirnya selesai, ia meregangkan tubuhnya dengan lega. “Akhirnya selesai.”
Fikri menutup laptopnya dan tersenyum. “Bagus. Sekarang kamu bisa pulang dan istirahat.”
Nadira menatapnya, merasa bersyukur atas kehadirannya. “Terima kasih, Fikri. Aku tidak tahu apa jadinya kalau tidak ada kamu.”
“Aku akan selalu ada di sini kalau kamu butuh,” jawab Fikri pelan, matanya menatap Nadira dengan penuh arti.
Nadira merasa dadanya bergetar. Kata-kata Fikri sederhana, tetapi ada sesuatu di dalamnya yang membuatnya merasa aman. Perasaan yang berbeda dari apa yang ia rasakan saat bersama Bima.
Malamnya, di rumah, Nadira membuka buku yang diberikan Fikri. Ia membaca beberapa halaman, dan cerita di dalamnya membawanya ke dunia yang jauh dari kekacauan pikirannya. Ia tersenyum kecil, merasa bahwa untuk pertama kalinya dalam beberapa hari, pikirannya sedikit lebih tenang.
Namun, saat ia meletakkan buku itu di samping tempat tidurnya, ponselnya berbunyi. Sebuah pesan muncul dari Bima:
“Nadira, aku ingin bertemu lagi. Ada sesuatu yang belum sempat kukatakan.”
Nadira menatap pesan itu lama, tidak tahu harus menjawab apa. Sebagian dari dirinya ingin tahu apa yang ingin Bima katakan, tetapi bagian lain merasa enggan untuk membuka luka lama lagi.
Dengan berat hati, ia mengetik balasan singkat: “Aku butuh waktu. Jangan terburu-buru.”
Ia meletakkan ponselnya di meja dan menatap langit malam dari jendela kamarnya. Perasaan campur aduk memenuhi pikirannya. Ia tahu bahwa di antara perhatian Fikri yang tulus dan kehadiran Bima yang mendesak, ia harus segera mengambil keputusan. Tapi bagaimana caranya?
Bab 7: Malam yang Mengubah Segalanya
Malam itu, sekolah mengadakan acara perpisahan sederhana untuk salah satu guru senior yang memasuki masa pensiun. Aula dihiasi dengan lampu-lampu kecil yang berkelap-kelip, meja-meja dihiasi bunga segar, dan musik lembut mengalun dari sudut ruangan. Nadira berdiri di tepi ruangan, memegang segelas jus jeruk, mencoba menikmati suasana tanpa terlalu banyak menarik perhatian.
Namun, pikirannya terusik saat melihat dua orang pria yang sudah menjadi bagian dari kekacauan emosinya: Fikri, yang sedang berbincang santai dengan beberapa rekan kerja, dan Bima, yang berdiri tidak jauh darinya, jelas sedang mencarinya dengan pandangan mata.
Bima akhirnya melangkah mendekat. “Nadira,” katanya, suaranya lembut tetapi penuh intensitas. “Kita harus bicara. Sekarang.”
Nadira merasa dadanya berdesir. Ia ingin menolak, tetapi melihat ekspresi serius Bima, ia mengangguk pelan. “Baiklah. Tapi tidak di sini.”
Bima mengisyaratkan untuk mengikuti, dan mereka berjalan keluar aula menuju taman kecil di belakang gedung. Udara malam itu dingin, dan lampu taman memberikan suasana remang-remang yang tenang.
Percakapan dengan Bima
“Aku tidak ingin terus menunda ini,” kata Bima setelah beberapa saat keheningan. “Aku harus jujur padamu, Nadira. Aku kembali ke kota ini bukan hanya karena pekerjaan. Aku kembali karena aku sadar, meninggalkanmu adalah kesalahan terbesar dalam hidupku.”
Nadira terdiam, mencoba mencerna kata-kata itu. “Bima, kamu tidak bisa datang begitu saja dan mengharapkan semuanya kembali seperti semula. Sudah bertahun-tahun berlalu. Kita bukan lagi orang yang sama.”
“Aku tahu,” jawab Bima dengan nada serius. “Tapi perasaanku tidak pernah berubah. Aku mencoba melupakanmu, Nadira. Tapi aku gagal. Aku tidak bisa.”
Nadira merasa air mata mulai menggenang di matanya. Sebagian dari dirinya masih merindukan pria ini, tetapi ia tahu perasaan itu terbungkus luka yang dalam. “Bima, aku butuh waktu. Aku tidak bisa memberikan jawaban sekarang.”
Bima mengangguk, meskipun terlihat kecewa. “Aku akan menunggu. Berapa lama pun itu.”
Momen Bersama Fikri
Ketika Nadira kembali ke aula, ia menemukan Fikri berdiri di dekat pintu, menatapnya dengan cemas. “Apa semuanya baik-baik saja?” tanyanya.
Nadira mengangguk kecil, meskipun wajahnya masih menunjukkan kebingungan. “Ya, hanya… percakapan yang sulit.”
Fikri tidak bertanya lebih lanjut. Sebaliknya, ia menyodorkan segelas air putih. “Kamu terlihat seperti butuh ini.”
Nadira mengambil gelas itu dan tersenyum kecil. “Terima kasih, Fikri. Kamu selalu ada di waktu yang tepat.”
“Aku hanya ingin memastikan kamu baik-baik saja,” jawab Fikri pelan.
Malam itu, setelah acara selesai, Nadira memutuskan untuk tinggal sebentar di aula yang mulai kosong. Ia duduk di salah satu kursi, memandangi lampu-lampu yang perlahan dimatikan. Fikri, yang masih ada di sana, mendekatinya.
“Kamu tidak ingin pulang?” tanyanya.
“Aku hanya ingin berpikir,” jawab Nadira jujur. “Semua ini terasa begitu rumit.”
Fikri duduk di sampingnya, memberikan ruang tanpa memaksa. Setelah beberapa saat, ia akhirnya berbicara. “Nadira, aku tidak tahu apa yang terjadi antara kamu dan Bima, dan aku tidak akan berpura-pura mengerti semuanya. Tapi aku ingin kamu tahu, aku ada di sini. Apapun yang kamu butuhkan, kapanpun kamu butuh seseorang.”
Kata-kata itu sederhana, tetapi membuat Nadira merasa nyaman. Ia menoleh ke arah Fikri dan melihat ketulusan di matanya. “Terima kasih, Fikri. Aku tidak tahu apa jadinya aku tanpa kamu.”
Fikri hanya tersenyum. “Kamu akan baik-baik saja, Nadira. Aku yakin itu.”
Konflik Batin Nadira
Di perjalanan pulang, Nadira tidak bisa berhenti memikirkan kejadian malam itu. Kata-kata Bima terus bergema di pikirannya, mengingatkannya pada cinta yang dulu mereka miliki. Tetapi di sisi lain, ada Fikri—sosok yang selalu ada untuknya, yang membuatnya merasa aman tanpa harus memaksakan apa pun.
Nadira tahu bahwa ia tidak bisa terus berada dalam kebimbangan ini. Ia harus mengambil keputusan, tetapi ia tidak tahu ke mana hatinya sebenarnya ingin pergi.
Sambil berbaring di tempat tidur malam itu, Nadira menatap langit-langit kamarnya. “Apa yang sebenarnya aku inginkan?” gumamnya pelan.
Ia tahu malam ini adalah titik balik. Malam ini, ia mulai menyadari bahwa hidupnya tidak bisa terus-menerus tergantung pada masa lalu atau perhatian orang lain. Ia harus berdiri di atas keinginannya sendiri.
Bab 8: Hujan dan Jawaban
Langit gelap dan awan tebal menggantung di atas kota ketika Nadira berjalan menuju kedai kopi kecil di sudut jalan. Bima mengiriminya pesan pagi tadi, memintanya untuk bertemu. Setelah malam penuh kebingungan, Nadira merasa bahwa ini mungkin kesempatan untuk menemukan kejelasan.
Hujan mulai turun ketika ia tiba di depan kedai. Aroma kopi hangat bercampur dengan udara hujan menyambutnya begitu ia melangkah masuk. Bima sudah menunggu di salah satu sudut, mengenakan sweater abu-abu yang membuatnya terlihat lebih santai. Ia tersenyum saat melihat Nadira mendekat.
“Terima kasih sudah datang,” katanya saat Nadira duduk.
Nadira hanya mengangguk. “Apa yang ingin kamu bicarakan?”
Bima menarik napas panjang, seolah-olah mencoba merangkai kata-kata yang tepat. “Aku ingin kamu tahu betapa aku menyesal, Nadira. Meninggalkanmu adalah keputusan yang tidak pernah benar-benar aku pahami sampai sekarang.”
“Kamu sudah bilang itu,” jawab Nadira pelan. “Tapi apa yang sebenarnya kamu inginkan, Bima? Kamu ingin aku memaafkanmu? Atau kamu ingin kita kembali seperti dulu?”
Bima terdiam sesaat. “Aku ingin kesempatan untuk memperbaiki semuanya. Aku ingin kita kembali, Nadira. Aku tahu itu sulit, tapi aku percaya kita masih punya peluang.”
Kejujuran yang Berat
Kata-kata Bima membuat hati Nadira bergetar. Dulu, mendengar hal seperti ini darinya adalah sesuatu yang ia impikan. Namun sekarang, semua terasa lebih rumit. Ia memandangi hujan yang turun di luar jendela, mencoba merangkai pikirannya.
“Bima,” katanya akhirnya, “aku menghargai keberanianmu untuk mengatakannya. Tapi aku tidak yakin apakah kita benar-benar bisa kembali seperti dulu. Bukan hanya karena luka yang kamu tinggalkan, tapi juga karena aku sudah berubah.”
“Aku mengerti,” jawab Bima, meskipun ada nada kecewa dalam suaranya. “Tapi aku tidak bisa menyerah begitu saja. Aku tahu, kalau kita mencoba lagi, kita bisa membuat ini berhasil.”
Nadira menatapnya, mencoba menemukan kejujuran di balik kata-katanya. “Masalahnya bukan hanya soal mencoba, Bima. Masalahnya adalah apakah aku masih punya ruang untuk itu.”
Hujan Membawa Pemikiran
Setelah percakapan yang panjang, Nadira dan Bima berpisah dengan rasa yang berbeda. Bima masih penuh harapan, sementara Nadira merasa semakin yakin bahwa jawabannya tidak sesederhana yang ia bayangkan.
Hujan masih turun ketika Nadira melangkah keluar dari kedai. Ia tidak membawa payung, jadi ia membiarkan air hujan membasahi rambut dan bajunya. Dalam perjalanan pulang, pikirannya dipenuhi oleh semua kata-kata yang diucapkan Bima. Ia tahu bahwa cinta yang mereka miliki dulu adalah sesuatu yang indah, tetapi apakah itu cukup untuk membawa mereka kembali bersama?
Percakapan yang Menenangkan
Sesampainya di rumah, Nadira mendapati ponselnya bergetar. Sebuah pesan dari Fikri:
“Kamu baik-baik saja? Aku melihat hujan deras. Kalau butuh sesuatu, kabari aku.”
Nadira tersenyum kecil membaca pesan itu. Fikri selalu tahu kapan harus hadir, meskipun tidak pernah memaksakan dirinya. Ia mengetik balasan:
“Aku baik-baik saja. Terima kasih, Fikri.”
Namun, beberapa detik kemudian, Fikri meneleponnya. Suaranya terdengar hangat dan penuh perhatian. “Aku tahu ini bukan waktu yang tepat, tapi kalau kamu ingin bicara, aku di sini.”
Nadira ragu sejenak, tetapi akhirnya berkata, “Fikri, apa menurutmu seseorang bisa mencintai orang lain setelah bertahun-tahun berlalu, bahkan setelah mereka menyakitinya?”
Fikri terdiam sejenak, lalu menjawab dengan lembut, “Aku percaya cinta bisa bertahan lama, tapi aku juga percaya cinta yang sehat tidak akan membuatmu ragu untuk memilih. Jika itu membuatmu terus merasa bingung atau terluka, mungkin bukan cinta yang kamu butuhkan.”
Jawaban itu menusuk hati Nadira dengan kejujuran yang sederhana. Ia mengucapkan terima kasih pada Fikri dan menutup telepon, tetapi kata-katanya terus terngiang di pikirannya.
Keputusan yang Mulai Terbentuk
Malam itu, Nadira duduk di samping kotak suratnya. Ia membuka salah satu surat terakhir yang ia tulis untuk Bima, surat yang tidak pernah ia kirimkan. Isinya penuh dengan harapan dan keinginan untuk memperbaiki hubungan mereka.
Namun, ketika membacanya sekarang, ia menyadari bahwa kata-kata itu berasal dari dirinya yang dulu—dirinya yang belum belajar untuk melepaskan. Ia melipat kembali surat itu, tetapi kali ini ia tahu, surat itu tidak lagi mencerminkan apa yang ia rasakan sekarang.
“Aku harus membuat keputusan,” gumamnya pelan. “Bukan untuk Bima, bukan untuk Fikri, tapi untuk diriku sendiri.”
Hujan di luar perlahan mereda, meninggalkan udara malam yang segar. Nadira merasa seperti telah mengambil langkah kecil menuju sesuatu yang lebih baik, meskipun ia belum tahu apa bentuk akhirnya.
Bab 9: Surat yang Tak Lagi Dibutuhkan
Pagi itu, sinar matahari menembus tirai jendela kamar Nadira, menyentuh wajahnya yang terlihat tenang meskipun semalaman ia hampir tidak tidur. Kotak surat yang biasa ia letakkan di meja kerjanya kini berada di atas tempat tidur. Amplop-amplop warna-warni berisi kenangan masa lalu tersebar di sekitarnya.
Nadira telah menghabiskan malam membaca surat-surat itu satu per satu, menghadapi setiap emosi yang ia sembunyikan selama bertahun-tahun. Terkadang ia menangis, terkadang ia tersenyum, tetapi yang paling sering ia rasakan adalah rasa lega.
Ketika ia membaca surat terakhirnya untuk Bima, Nadira tahu bahwa surat itu adalah yang paling penuh dengan harapan. Tapi harapan itu bukan lagi sesuatu yang ia rasakan hari ini. Ia menutup surat itu, merapikan semua amplop, dan menaruhnya kembali ke dalam kotak.
Menghadapi Kenangan
Dengan langkah mantap, Nadira membawa kotak surat itu keluar ke halaman belakang rumahnya. Ia menyiapkan sebuah keranjang logam kecil, mengisinya dengan sedikit kayu kering, dan menyalakan api. Tangannya gemetar ketika ia membuka kotak itu lagi, mengambil satu surat pertama, lalu melemparkannya ke dalam api.
Asap tipis naik ke udara, membawa pergi setiap kata yang dulu ia tuliskan dengan penuh cinta. Nadira berdiri di sana, membakar surat-surat itu satu per satu, membiarkan kenangan lama berubah menjadi abu. Namun, alih-alih merasa sedih, ia merasa seperti beban berat yang selama ini ia bawa perlahan-lahan hilang.
Saat surat terakhir terbakar, Nadira tersenyum kecil. “Aku tidak butuh ini lagi,” gumamnya. Masa lalu itu adalah bagian dari dirinya, tetapi ia tahu bahwa ia tidak bisa terus hidup di dalamnya.
Percakapan dengan Fikri
Sore itu, Nadira memutuskan untuk pergi ke sekolah lebih awal. Ia ingin menyelesaikan beberapa dokumen sebelum rapat dimulai. Ketika ia tiba di ruang guru, ia menemukan Fikri sedang duduk sendirian, membaca sebuah buku.
“Fikri,” panggil Nadira pelan.
Fikri menoleh dan tersenyum. “Kamu datang lebih awal hari ini.”
“Aku butuh bicara,” kata Nadira sambil duduk di depan Fikri.
Fikri menutup bukunya, fokus sepenuhnya pada Nadira. “Tentu, ada apa?”
Nadira menghela napas panjang sebelum mulai berbicara. “Aku sudah selesai dengan masa laluku, Fikri. Aku sudah membakar semua surat yang pernah aku tulis untuk Bima.”
Fikri terlihat sedikit terkejut, tetapi ia tidak berkata apa-apa. Ia membiarkan Nadira melanjutkan.
“Aku pikir aku akan merasa hancur ketika melakukannya, tapi ternyata tidak,” lanjut Nadira. “Aku merasa lega. Aku menyadari bahwa aku tidak lagi ingin kembali ke masa itu. Aku tidak lagi ingin mempertahankan sesuatu yang tidak lagi sesuai dengan diriku yang sekarang.”
Fikri tersenyum hangat. “Itu keputusan besar, Nadira. Aku bangga kamu bisa melakukannya.”
“Dan aku ingin berterima kasih padamu,” kata Nadira, menatapnya dengan mata yang penuh kejujuran. “Kamu selalu ada di sini, mendukungku tanpa menekan, tanpa menghakimi. Aku tidak tahu apa jadinya aku tanpa kamu.”
Fikri tersenyum tipis. “Kamu tidak perlu berterima kasih. Aku hanya ingin kamu bahagia.”
Pertemuan Terakhir dengan Bima
Sore itu, Nadira juga tahu bahwa ia harus bertemu dengan Bima untuk terakhir kalinya. Ia mengirim pesan singkat, memintanya bertemu di taman tempat mereka dulu sering menghabiskan waktu bersama. Ketika Bima tiba, Nadira sudah duduk di bangku, menunggu.
“Ada apa, Nadira?” tanya Bima sambil duduk di sampingnya.
Nadira menatapnya, merasa damai dengan keputusan yang telah ia buat. “Bima, aku ingin berterima kasih untuk semua kenangan indah yang pernah kita bagi. Kamu adalah bagian penting dari hidupku, dan aku tidak akan pernah melupakan itu.”
Bima menatapnya, bingung. “Tapi?”
“Tapi aku tidak bisa kembali ke masa itu,” kata Nadira dengan lembut. “Aku tidak lagi menjadi orang yang sama, dan aku yakin kamu juga sudah berubah. Aku pikir kita harus menerima bahwa beberapa hal memang tidak dimaksudkan untuk bertahan selamanya.”
Bima terlihat kecewa, tetapi ia mengangguk. “Aku mengerti. Aku hanya ingin kamu tahu bahwa aku selalu berharap yang terbaik untukmu, Nadira.”
“Terima kasih,” jawab Nadira, tersenyum kecil. “Dan aku berharap kamu juga menemukan kebahagiaanmu.”
Mereka berjabat tangan untuk terakhir kalinya, dan ketika Bima berjalan pergi, Nadira merasa bahwa ia telah benar-benar menutup bab itu dalam hidupnya.
Langkah Baru
Malam itu, Nadira duduk di balkon rumahnya, menikmati angin malam yang sejuk. Ia memikirkan perjalanan panjang yang telah ia lalui, dari kenangan manis hingga luka mendalam, dan akhirnya ke keputusan untuk melepaskan semuanya.
Ia memegang ponselnya, mengetik sebuah pesan untuk Fikri: “Bisakah kita bertemu? Aku ingin bicara.”
Beberapa detik kemudian, balasan muncul: “Tentu. Kapanpun kamu siap.”
Nadira tersenyum. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasa seperti benar-benar mengendalikan hidupnya sendiri.
Bab 10: Awal yang Baru
Matahari pagi memancarkan sinarnya yang lembut ketika Nadira memasuki taman kecil dekat rumahnya. Ia mengenakan blus putih sederhana dan celana panjang cokelat muda, memancarkan ketenangan yang baru ia temukan. Di sudut taman, Fikri sudah menunggunya, duduk di bangku kayu di bawah pohon besar.
“Pagi,” sapa Nadira sambil tersenyum.
Fikri berdiri, menyambutnya dengan senyuman hangat. “Pagi. Kamu terlihat berbeda hari ini.”
“Berbeda bagaimana?” tanya Nadira, setengah bercanda.
“Lebih… damai,” jawab Fikri. “Seperti seseorang yang baru saja menemukan jawabannya.”
Nadira tertawa kecil. “Mungkin itu karena aku benar-benar sudah melepaskan semua yang selama ini menahanku.”
Fikri mengangguk, lalu memberi isyarat agar Nadira duduk di sampingnya. “Jadi, apa yang ingin kamu bicarakan?”
Nadira mengambil napas panjang, mencoba merangkai kata-kata di pikirannya. “Fikri, selama ini aku terlalu fokus pada masa lalu. Aku berpikir bahwa jawaban untuk kebahagiaanku ada di sana, bersama kenangan dan harapan yang pernah aku tuliskan.”
Ia berhenti sejenak, menatap Fikri dengan pandangan penuh kejujuran. “Tapi aku salah. Kebahagiaan itu tidak ada di masa lalu. Kebahagiaan itu ada di sini, di saat ini, dengan orang-orang yang membuatku merasa berarti.”
Fikri tidak berkata apa-apa, tetapi ia tetap memperhatikan setiap kata yang diucapkan Nadira.
“Aku ingin berterima kasih padamu, Fikri,” lanjut Nadira. “Kamu ada di sisiku ketika aku bahkan tidak yakin dengan diriku sendiri. Kamu tidak pernah memaksaku untuk memilih, tidak pernah memaksaku untuk menjadi sesuatu yang bukan diriku. Kamu membiarkanku tumbuh.”
“Dan aku menyadari,” kata Nadira dengan suara lebih pelan, “aku ingin terus tumbuh bersamamu.”
Jawaban yang Ditunggu
Fikri terdiam sejenak, mencoba memastikan bahwa ia mendengar dengan benar. Kemudian, sebuah senyuman besar muncul di wajahnya. “Aku tidak tahu harus berkata apa,” katanya jujur. “Tapi aku rasa aku tidak perlu berkata apa-apa, karena aku sudah menunggu ini sejak lama.”
Nadira tersenyum, merasa dadanya penuh dengan kehangatan yang baru. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasa seperti dirinya sendiri—bebas dari bayang-bayang masa lalu, dan siap menghadapi masa depan.
Perayaan Kecil
Beberapa hari kemudian, Nadira dan Fikri memutuskan untuk makan malam bersama di sebuah restoran kecil yang nyaman. Suasana malam itu penuh dengan tawa dan cerita ringan, tidak lagi dibayangi oleh kebingungan atau luka lama. Nadira merasakan sesuatu yang berbeda—bukan cinta yang penuh gairah seperti yang pernah ia rasakan dengan Bima, tetapi cinta yang stabil, tulus, dan penuh dukungan.
“Jadi, apa rencanamu setelah ini?” tanya Fikri sambil menyuapkan potongan kecil makanan ke mulutnya.
Nadira tersenyum. “Aku ingin fokus pada pekerjaanku, melanjutkan hidup dengan cara yang lebih sehat. Dan mungkin…” Ia berhenti sejenak, menatap Fikri. “Mungkin melihat ke mana hubungan kita bisa membawa kita.”
Fikri tertawa kecil. “Itu rencana yang bagus. Aku suka arah hubungan kita.”
Epilog
Beberapa bulan kemudian, Nadira berjalan di taman yang sama tempat ia pernah membakar surat-suratnya. Di tangannya, ada sebuah buku catatan kosong. Ia duduk di bangku yang teduh, membuka halaman pertama, dan mulai menulis.
“Untuk diriku sendiri,
Ini bukan akhir dari cerita, tetapi awal dari perjalanan baru. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan, tetapi aku tahu bahwa aku siap menghadapinya. Aku siap menciptakan kenangan baru, harapan baru, dan mungkin… cinta baru.”
Nadira menutup buku itu, tersenyum kecil. Ia tahu, hidup akan selalu penuh dengan tantangan, tetapi ia tidak lagi takut. Kali ini, ia melangkah dengan hati yang penuh keyakinan.
Dan di kejauhan, Fikri muncul, melambai padanya dengan senyuman khasnya—satu-satunya senyuman yang kini membuat dunia Nadira terasa lebih cerah.
Akhir Novel
Bab ini menjadi penutup yang manis dan penuh harapan untuk cerita Nadira. Ia telah melepaskan masa lalu, menerima cinta yang lebih sehat, dan menemukan keberanian untuk memulai hidup yang baru. Hubungannya dengan Fikri adalah simbol dari cinta yang tumbuh melalui kesabaran dan pengertian, melengkapi perjalanan emosionalnya yang kompleks.
Novel ini ditulis oleh Evi Fauzi, Penulis dari Novel Singkat.
Pingback: Novel singkat: Senja yang Hilang - Novelsingkat.com
Pingback: Novel Singkat: Lagu Kenangan di Tengah Hujan