novel singkat senja yang hilang
novel singkat senja yang hilang

Novel Singkat: Senja yang Hilang

Bab 1: Pernikahan Tanpa Senyum

Raka mematut diri di depan cermin besar di kamar tidurnya. Jas abu-abu yang melekat di tubuhnya tampak rapi, seperti biasa. Ia menghela napas panjang sambil melirik jam di dinding. Pukul tujuh pagi. Rutinitas pagi yang sama seperti hari-hari sebelumnya, tanpa percakapan berarti dengan istrinya, Tania.

Tania muncul dari dapur dengan wajah datar, mengenakan baju tidur satin berwarna pastel. Rambutnya masih terikat asal, menunjukkan bahwa ia baru saja selesai menyiapkan sarapan. “Kopi di meja,” katanya singkat, tanpa menoleh ke arah Raka.

Raka mengangguk kecil, meski Tania tak melihatnya. Ia berjalan menuju meja makan, mendapati segelas kopi hitam yang sudah mulai mendingin. Aroma kopi itu tercium kuat, tetapi entah kenapa terasa hambar di lidah. Sama seperti pernikahan mereka yang kini berjalan tanpa rasa.

“Pagi ini ada rapat penting?” Tania bertanya dari kejauhan, suaranya datar seperti nada pesawat yang kehilangan sinyal.

“Hmm, ya. Banyak klien yang harus diurus,” jawab Raka pendek, tanpa menoleh. Ia tak ingin membahas lebih jauh. Tania hanya mengangguk dan kembali tenggelam dalam layar ponselnya.

Sepanjang perjalanan ke kantor, Raka tak bisa menghilangkan perasaan kosong yang meliputi dirinya. Sudah tiga tahun ia menikah dengan Tania, namun hubungan mereka terasa seperti rutinitas belaka. Tak ada lagi momen-momen kecil yang membuatnya merasa hidup. Dulu, Tania adalah wanita yang ceria, penuh tawa dan kejutan. Kini, semuanya terasa datar, seperti warna-warna dalam hidup mereka telah pudar.

Saat Raka melewati toko bunga di sudut jalan, ia teringat sesuatu. Hari ini adalah ulang tahun pernikahan mereka. Tiga tahun sejak janji itu diucapkan. Namun, tidak ada rasa antusiasme dalam dirinya. Ia bahkan ragu apakah Tania juga mengingatnya.

Di sisi lain, Tania duduk di sofa ruang tamu, memandangi bunga plastik yang tertata rapi di vas kecil. Ia mengingat hari itu, tiga tahun lalu, ketika Raka berdiri di altar dengan mata penuh cinta. Kini, pria itu lebih sering tenggelam dalam pekerjaannya. Semua terasa hampa, seperti hubungan mereka hanya berlangsung atas nama kewajiban.

Telepon berdering, menyela lamunannya. Dimas, sahabat lama mereka, menelepon untuk menanyakan kabar. Tania tersenyum tipis, merasa ada seseorang yang masih peduli.

“Bagaimana kabar kalian?” tanya Dimas di ujung telepon.

“Kami baik,” jawab Tania, meski hatinya berkata lain.

Sore harinya, Raka pulang terlambat. Ia masuk ke rumah dengan wajah lelah, tanpa membawa apa-apa. Tak ada bunga, tak ada kue, tak ada ucapan selamat. Hanya deru langkahnya yang terdengar hingga ke ruang tamu, tempat Tania menunggunya.

“Kamu lupa hari ini hari apa?” tanya Tania dingin, matanya menatap lurus ke arah Raka.

Raka terdiam sejenak. Ia tahu apa yang dimaksud Tania, tetapi terlalu lelah untuk berdebat. “Aku sibuk,” jawabnya akhirnya, mencoba menghindari konflik.

“Sibuk selalu jadi alasanmu,” balas Tania pelan, namun sarat dengan kekecewaan.

Raka hanya berdiri di sana, tak tahu harus berkata apa. Keheningan yang berat menyelimuti ruangan itu. Dua orang yang pernah saling mencintai kini hanya berdiri seperti dua orang asing yang terjebak di bawah atap yang sama.

Malam itu, mereka tidur tanpa satu kata pun. Dan untuk kesekian kalinya, pernikahan mereka terasa seperti sebuah senja yang kehilangan cahaya.

Bab 2: Pertemuan di Tengah Jalan

Raka memarkir mobilnya di depan gedung galeri seni yang terletak di tengah kota. Seharusnya ia langsung masuk ke dalam, menghadiri rapat bersama investor yang mengusulkan kerja sama untuk memasang instalasi seni di kantor barunya. Tapi entah kenapa, kakinya justru melangkah ke trotoar di seberang jalan, di mana para seniman jalanan memamerkan karya mereka.

Angin sore membawa aroma cat minyak yang samar. Matanya tertuju pada seorang wanita muda dengan rambut sebahu yang terurai acak, sibuk mencoret-coret kanvas besar di depannya. Wanita itu mengenakan kaos putih yang belepotan cat dan jeans robek. Namun, ada sesuatu dalam sorot matanya—ketenangan sekaligus semangat—yang langsung menarik perhatian Raka.

“Lukisan ini untuk dijual?” tanya Raka tanpa sadar, mendekati wanita itu.

Wanita itu, Sheila, menoleh dan tersenyum tipis. “Tergantung, apakah Anda benar-benar menyukainya, atau hanya ingin kelihatan keren dengan membelinya?”

Raka terdiam sejenak, lalu tertawa kecil. Jawaban yang tidak ia duga. “Saya suka. Lukisan ini seperti… memiliki cerita.”

Sheila menatap Raka dengan kepala sedikit miring, seakan menilai apakah pria di depannya jujur atau hanya basa-basi. “Semua lukisan punya cerita, Pak. Tapi mungkin Anda lebih suka mendengar cerita hidup saya?”

Raka tersenyum tipis. “Kalau begitu, ceritakan.”

Sheila tertawa. “Anda serius?”

“Sangat,” jawab Raka dengan nada datar tapi penuh rasa ingin tahu.

Sheila meletakkan kuasnya dan mengusap tangan yang belepotan cat dengan kain. “Baiklah, saya akan bercerita. Tapi, sebagai gantinya, Anda harus membeli lukisan ini.”

Raka mengangguk. Ia jarang melakukan hal spontan seperti ini, tapi untuk pertama kalinya, ia merasa seperti hidup. “Deal.”

Sheila mulai bercerita tentang lukisan itu, sebuah gambaran abstrak dengan nuansa jingga dan biru yang menggambarkan langit senja. Ia menceritakan inspirasinya, tentang perjalanan ke sebuah pantai terpencil, tentang kebebasan yang ia rasakan saat memandangi matahari tenggelam tanpa batasan waktu.

“Senja itu… selalu menjadi pengingat bahwa segala hal indah tidak bertahan selamanya. Tapi, justru karena itu, ia jadi lebih berarti,” ucap Sheila dengan suara pelan, seakan berbicara kepada dirinya sendiri.

Raka tertegun. Kata-kata Sheila menggema di pikirannya. Entah kenapa, ia merasa bahwa kata-kata itu menggambarkan kehidupannya yang kosong. Pernikahannya yang dulu indah kini berubah menjadi rutinitas yang hambar.

“Saya Raka, by the way,” katanya, mencoba memecah keheningan.

“Sheila,” jawab wanita itu sambil mengulurkan tangan. “Senang bertemu Anda, Pak Raka.”

“Jangan panggil saya ‘Pak’. Saya merasa tua,” kelakar Raka, membuat Sheila tertawa.

Mereka berbicara lebih lama dari yang Raka bayangkan. Sheila menceritakan kehidupannya sebagai pelukis jalanan yang hidup dari hari ke hari, tanpa rencana panjang. Sementara Raka, untuk pertama kalinya, menceritakan sedikit tentang dirinya—tentang tekanan pekerjaan dan kehidupannya yang terasa datar.

“Kenapa Anda terus melukis di sini?” tanya Raka pada akhirnya.

“Karena di sini, saya merasa bebas. Tidak ada orang yang mengatur bagaimana saya harus menjalani hidup,” jawab Sheila sambil menatap senja yang mulai memerah di langit. “Bagaimana dengan Anda, Raka? Apa Anda merasa bebas?”

Pertanyaan itu menghantam Raka seperti palu. Ia tidak punya jawaban. Ia hanya tersenyum kecil, kemudian berpamitan karena waktu rapatnya hampir habis. Tapi saat ia berjalan kembali ke mobilnya, ada sesuatu yang berubah di dalam dirinya. Ia tidak tahu pasti apa itu, tetapi pertemuan dengan Sheila meninggalkan bekas.

Sementara itu, Sheila menatap kepergian Raka dengan senyum samar. Ia sudah sering bertemu orang-orang seperti Raka—orang sibuk yang sesekali ingin melarikan diri dari rutinitas. Tapi, entah kenapa, ada sesuatu dalam diri pria itu yang membuatnya ingin tahu lebih banyak.

Di perjalanan pulang, Raka memikirkan pertanyaan Sheila. Apakah ia merasa bebas? Ia tahu jawabannya: tidak. Tapi, untuk pertama kalinya, ia merasa bahwa ada cara untuk mencari kebebasan itu. Dan mungkin, Sheila adalah bagian dari jawabannya.

Bab 3: Rahasia yang Mulai Retak

Tania duduk di sudut kafe, menggulung ujung sedotan di antara jemarinya. Ia melirik arlojinya sesekali, memastikan ia tidak menunggu terlalu lama. Tidak ada yang tahu ia di sini, terutama Raka. Baginya, ini adalah momen pelarian kecil yang tak perlu diketahui suaminya.

Dimas masuk ke kafe dengan langkah santai, mengenakan kemeja biru polos yang tampak sederhana namun rapi. Ia tersenyum saat melihat Tania, dan wanita itu membalasnya dengan senyum kecil, meski dalam hatinya campur aduk.

“Aku kira kau akan membatalkan lagi,” ucap Dimas begitu ia duduk.

“Aku hampir saja,” jawab Tania, meletakkan sedotan itu dan menatap Dimas. “Tapi… aku butuh teman bicara.”

Dimas memesan kopi, lalu menatap Tania dengan penuh perhatian. “Jadi, bagaimana kabarmu? Dan Raka?”

Tania menghela napas panjang. Pertanyaan itu membuat pikirannya berkelana. “Kami baik… Maksudku, kami terlihat baik. Tapi semuanya terasa kosong, Dim. Aku bahkan tidak yakin kapan terakhir kali kami benar-benar berbicara seperti pasangan.”

Dimas menatap Tania dengan penuh simpati. Ia mengenalnya cukup lama untuk tahu bahwa Tania sedang terjebak dalam sesuatu yang berat. “Dan kau? Apa yang kau rasakan?”

Tania terdiam, menatap jendela kafe yang dipenuhi embun. “Aku merasa… sendirian. Seolah-olah aku hidup dengan seseorang yang bahkan tidak mengenalku lagi.”

Dimas menggenggam tangan Tania di atas meja, membuat wanita itu terkejut. “Kau tidak sendirian, Tan. Aku di sini.”

Sentuhan itu membawa kehangatan yang telah lama hilang dari hidup Tania. Ia tahu ia tak seharusnya membiarkan ini terjadi, tetapi bagian kecil dalam dirinya menikmati perhatian yang diberikan Dimas.

Sementara itu, Raka duduk di kantornya, matanya terpaku pada kanvas besar yang baru saja dipasang di ruangannya. Lukisan karya Sheila itu telah menghiasi dinding, warna jingga dan birunya menenangkan pikirannya yang kusut. Ia teringat percakapan mereka di trotoar, bagaimana wanita itu berbicara tentang kebebasan.

Ponselnya berbunyi, mengalihkan perhatiannya. “Halo?”

“Raka,” suara Sheila terdengar di seberang sana. “Maaf mengganggu. Aku hanya ingin memastikan lukisan itu sesuai ekspektasimu.”

“Lebih dari itu, Sheila,” jawab Raka dengan nada lebih lembut dari biasanya. “Lukisan ini sempurna.”

Sheila tertawa kecil. “Aku senang kau menyukainya. Jadi, kapan kita mulai proyek untuk kantor barumu?”

“Secepatnya. Aku akan mengatur jadwal dan menghubungimu.”

Setelah percakapan itu selesai, Raka merasa hatinya sedikit lebih ringan. Ia belum pernah merasa seperti ini sejak bertahun-tahun. Ada sesuatu tentang Sheila yang membuatnya merasa hidup. Tetapi di sisi lain, perasaan bersalah mulai muncul, meski ia berusaha mengabaikannya.

Tania pulang lebih awal dari biasanya. Ia mendapati rumah kosong, seperti yang ia harapkan. Raka jarang pulang sebelum larut malam akhir-akhir ini. Ia duduk di sofa, memikirkan pertemuannya dengan Dimas. Perasaan hangat yang ia rasakan tadi siang masih tersisa, tetapi diiringi kegelisahan yang tak bisa ia abaikan.

Tiba-tiba, ponselnya berbunyi. Nama Dimas muncul di layar. Tania ragu sejenak sebelum akhirnya mengangkat telepon itu.

“Ada apa, Dim?”

“Aku hanya ingin memastikan kau baik-baik saja,” suara Dimas terdengar tulus di seberang sana.

Tania tersenyum kecil. “Aku baik. Terima kasih.”

Di saat yang sama, pintu depan terbuka. Raka masuk dengan langkah berat, membawa beberapa berkas di tangannya. Ia melihat Tania sedang berbicara di telepon, tetapi tidak menanyakannya. Ia hanya melemparkan tas kerjanya ke sofa dan berjalan ke dapur.

“Raka,” panggil Tania, mencoba menyembunyikan nada gugupnya. “Kau sudah makan?”

“Belum,” jawab Raka singkat. “Aku akan ambil sesuatu di dapur.”

Tania menutup teleponnya dengan cepat. Ia tahu sesuatu sedang berubah di antara mereka, tetapi ia terlalu takut untuk menghadapinya.

Sementara itu, Raka berdiri di dapur, menatap cermin kecil di lemari dapur. Di balik kesibukannya, ia merasa ada jarak yang semakin lebar antara dirinya dan Tania. Dan di sela-sela pikiran itu, wajah Sheila melintas di benaknya.

Malam itu, mereka tidur dalam diam lagi, masing-masing membawa rahasia kecil yang mulai retak.

Bab 4: Langit yang Berwarna

Sheila berdiri di depan gedung kantor baru Raka, menggenggam kanvas besar di tangannya. Angin pagi yang sejuk berhembus pelan, membawa aroma beton basah dari proyek pembangunan di sekitar mereka. Ketika pintu kaca otomatis terbuka, Sheila melangkah masuk dengan percaya diri, seperti biasa, meskipun ia sedikit gugup di dalam hati.

Di lobi, Raka sudah menunggu. Ia mengenakan setelan kasual—tanpa jas kali ini—membuatnya terlihat lebih santai dibandingkan kesan profesional yang biasanya ia pancarkan. Ketika melihat Sheila, ia tersenyum kecil, sesuatu yang jarang ia tunjukkan kepada siapa pun, apalagi di tempat kerja.

“Selamat datang, Sheila,” ucap Raka. “Terima kasih sudah mau datang pagi-pagi.”

Sheila mengangkat alisnya, tersenyum iseng. “Tentu saja. Pelukis jalanan seperti saya selalu bangun pagi. Kita kan harus merebut matahari sebelum hilang.”

Raka tertawa kecil. Humor Sheila yang spontan dan jujur selalu membuatnya merasa lebih ringan. “Ayo, aku tunjukkan ruangannya.”

Mereka berjalan bersama ke lantai atas, di mana Sheila akan membantu mendekorasi ruang kerja dengan lukisan dan instalasi seni. Ruangan itu masih kosong, dengan dinding putih polos dan jendela besar yang menghadap ke langit kota. Sheila langsung mendekati jendela itu, memandangi pemandangan di depannya dengan mata berbinar.

“Langit di sini luar biasa,” gumamnya.

“Langit itu biasa saja. Yang membuatnya luar biasa adalah caramu melihatnya,” balas Raka.

Sheila menoleh dan menatapnya sejenak, tersenyum tanpa berkata apa-apa. Di balik percakapan ringan itu, ada sesuatu yang perlahan tumbuh—sesuatu yang bahkan tidak ingin mereka akui, tetapi sudah mulai terasa.

Hari itu, Sheila menghabiskan waktu di kantor Raka, mengecat sebagian dinding dengan motif abstrak yang ia ciptakan secara spontan. Ia bekerja sambil bersenandung kecil, membuat suasana yang tadinya serius menjadi lebih santai. Raka, yang biasanya tenggelam dalam spreadsheet dan rapat, mendapati dirinya duduk di sofa, mengamati Sheila melukis seperti seorang anak kecil yang menemukan sesuatu yang baru.

“Kenapa kamu memilih warna-warna itu?” tanya Raka, memecah keheningan.

Sheila menoleh, memiringkan kepalanya seperti sedang berpikir. “Karena ini warna yang aku bayangkan saat aku bahagia.”

Raka terdiam. Kalimat itu sederhana, tetapi menggetarkan sesuatu di dalam dirinya. Ia tidak ingat kapan terakhir kali ia benar-benar merasa bahagia, tanpa tekanan, tanpa rasa bersalah. Hidupnya selama ini penuh dengan target dan tanggung jawab, tetapi tidak pernah penuh dengan warna seperti yang Sheila gambarkan.

“Dan kamu, Raka?” Sheila bertanya tiba-tiba, tanpa menoleh dari kanvasnya. “Apa warna kebahagiaanmu?”

Raka bingung harus menjawab apa. Ia menatap Sheila, mencoba menemukan jawaban di balik tatapannya yang ceria. “Aku… tidak tahu. Mungkin aku sudah lupa.”

Sheila berhenti melukis dan menatap Raka dengan serius. “Kalau begitu, sudah waktunya kau mengingatnya.”

Sementara itu, di rumah, Tania duduk sendirian di ruang tamu, menggulir layar ponselnya dengan jari gemetar. Ia memandangi pesan terakhir dari Dimas, yang mengajaknya bertemu lagi malam itu. Pesan itu membuat hatinya campur aduk. Ada rasa bersalah yang terus menghantuinya, tetapi ada juga kenyamanan yang hanya bisa ia temukan dalam diri Dimas.

Tanpa sadar, Tania membuka galeri foto di ponselnya. Ia menemukan foto pernikahannya dengan Raka—senyum lebar mereka saat itu tampak begitu tulus. Tapi foto itu terasa seperti kenangan yang terlalu jauh untuk diraih kembali. Ia bertanya-tanya, apakah masih ada cinta yang tersisa di antara mereka, atau semuanya sudah hilang, seperti senja yang perlahan memudar.

Tania menarik napas panjang dan mengetik balasan untuk Dimas. “Aku tidak bisa malam ini. Mungkin lain waktu.” Ia menutup ponselnya dengan tegas, mencoba meyakinkan dirinya bahwa ia masih bisa menyelamatkan sesuatu yang telah lama rapuh.

Saat senja tiba, Sheila menyelesaikan lukisan dindingnya, menambahkan sentuhan terakhir berupa goresan jingga di tengah biru tua. Raka berdiri di belakangnya, mengamati hasil karyanya dengan penuh kekaguman.

“Ini luar biasa,” ucap Raka jujur.

Sheila tersenyum, menyeka cat yang menempel di pipinya. “Senja selalu luar biasa. Itu yang aku coba tangkap di sini.”

Raka mendekat, menatap lukisan itu lebih dalam. “Kenapa senja?”

“Karena senja adalah akhir dari sesuatu yang indah, tapi juga awal dari sesuatu yang baru,” jawab Sheila pelan, suaranya hampir seperti bisikan.

Kata-kata itu kembali menggetarkan hati Raka. Ia menatap Sheila, dan untuk sesaat, ia merasa seperti telah menemukan sesuatu yang hilang dari hidupnya—sesuatu yang tidak pernah ia sadari bahwa ia butuhkan.

Namun, di belakang rasa kagum itu, ada bayang-bayang keraguan. Ia tahu bahwa kebahagiaan yang ia rasakan saat ini tidak selamanya tanpa konsekuensi.

Malam itu, ketika Raka pulang ke rumah, ia mendapati Tania sudah tertidur di sofa dengan televisi yang masih menyala. Ia menatap wajah istrinya yang tenang dalam tidur, dan hatinya kembali dipenuhi rasa bersalah. Tapi bersamaan dengan itu, bayangan Sheila dan senyumnya terus menghantui pikirannya.

Di lantai atas, Tania membuka matanya perlahan setelah mendengar langkah kaki Raka menaiki tangga. Ia tetap berpura-pura tidur, membiarkan suaminya melewatinya begitu saja. Di dalam hati, ia tahu sesuatu sedang berubah—di antara mereka berdua.

Bab 5: Jatuh di Dua Dunia

Matahari pagi menyinari kaca jendela kantor Raka, menyoroti lukisan dinding karya Sheila yang kini sepenuhnya selesai. Raka duduk di kursinya, menatap goresan warna jingga dan biru tua yang membentuk senja abstrak di dinding. Ia merasa ruangan ini menjadi lebih hidup, seakan memancarkan energi yang selama ini hilang dari kehidupannya.

Namun, pikirannya tak sepenuhnya tenang. Ia memikirkan Sheila—cara wanita itu berbicara, senyumnya yang penuh percaya diri, dan caranya melihat dunia dengan begitu sederhana namun bermakna. Raka tahu bahwa perasaannya terhadap Sheila telah berkembang lebih dari sekadar kekaguman.

Sheila muncul di pintu kantor, mengenakan jaket denim dengan bercak-bercak cat. “Raka, aku sudah selesai. Kau puas dengan hasilnya?” tanyanya dengan senyum lebar.

“Lebih dari puas,” jawab Raka. “Ruangan ini terasa berbeda sekarang. Terima kasih, Sheila.”

Sheila tersenyum, tetapi kali ini ada rasa canggung yang tidak biasa. Ia melangkah masuk, mendekati Raka. “Aku senang kau suka, tapi… aku juga merasa harus mengatakan sesuatu.”

Raka menatapnya, bingung. “Apa itu?”

“Aku tidak ingin melangkah lebih jauh dari apa yang seharusnya,” Sheila berkata pelan. “Kau pria yang sudah menikah, dan aku tidak ingin menjadi alasan kau melupakan tanggung jawabmu.”

Raka terdiam. Kata-kata Sheila seperti tamparan yang membangunkannya dari lamunannya. Ia tahu apa yang ia rasakan, tetapi ia juga tahu bahwa Sheila benar.

“Sheila, aku tidak—” Raka mencoba menjelaskan, tetapi Sheila memotongnya.

“Kau mungkin tidak menyadarinya, Raka, tapi aku tahu. Dan aku juga manusia, aku bisa merasakan apa yang terjadi di antara kita.” Sheila menarik napas dalam, berusaha menahan emosi. “Aku tidak mau jadi seseorang yang menghancurkan kehidupan orang lain.”

Raka tidak tahu harus berkata apa. Ia ingin menyangkal, tetapi dalam hatinya ia tahu Sheila berkata jujur.

Di sisi lain kota, Tania sedang duduk bersama Dimas di sebuah taman kecil yang sepi. Pertemuan ini tidak direncanakan, tetapi ketika Dimas mengirim pesan untuk mengajaknya berbicara, Tania merasa ia membutuhkan pelarian. Mereka duduk di bangku taman, membiarkan angin sepoi-sepoi mengisi keheningan di antara mereka.

“Kau terlihat lelah,” kata Dimas, memecah kebisuan.

Tania menghela napas panjang. “Aku tidak tahu harus mulai dari mana, Dim. Aku merasa… kehilangan. Bukan hanya Raka, tapi juga diriku sendiri.”

Dimas menatap Tania dengan penuh perhatian. “Kau tidak kehilangan dirimu, Tania. Kau hanya terlalu lama mengorbankan kebahagiaanmu untuk sesuatu yang tidak lagi membuatmu bahagia.”

“Kau bicara seperti kau tahu segalanya,” ujar Tania dengan senyum kecil yang pahit.

Dimas tersenyum samar. “Aku tidak tahu segalanya. Tapi aku tahu satu hal: Kau pantas bahagia, Tan. Dan jika Raka tidak bisa memberimu itu, mungkin sudah saatnya kau mencari kebahagiaanmu sendiri.”

Tania terdiam, memikirkan kata-kata Dimas. Ia tahu Dimas benar, tetapi hatinya masih terbelah antara keinginan untuk mempertahankan pernikahannya dan kebutuhan untuk menemukan kembali kebahagiaannya.

Malam itu, Raka pulang ke rumah dengan pikiran berat. Ia mendapati Tania sedang membaca buku di sofa ruang tamu. Tatapan mereka bertemu sejenak, tetapi tidak ada percakapan yang mengikuti. Hanya keheningan yang biasa terjadi di antara mereka.

Raka duduk di kursi di seberang Tania, mencoba mencari kata-kata untuk memulai percakapan. “Tania… kita sudah lama tidak bicara, ya?” ucapnya akhirnya.

Tania menutup bukunya perlahan, menatap Raka. “Apa yang ingin kita bicarakan, Raka? Tentang pekerjaanmu? Atau tentang pernikahan kita yang sudah tidak terasa seperti pernikahan lagi?”

Kata-kata Tania menusuk hati Raka, tetapi ia tahu istrinya hanya mengungkapkan kebenaran. “Aku tidak tahu bagaimana kita sampai di titik ini, Tan. Tapi aku ingin memperbaikinya.”

“Memperbaikinya?” Tania tertawa kecil, getir. “Raka, aku tidak tahu apakah ada yang bisa diperbaiki. Kita bahkan tidak tahu apa yang salah.”

Keheningan kembali menyelimuti mereka. Raka ingin mengatakan sesuatu, tetapi pikirannya dipenuhi bayangan Sheila. Di sisi lain, Tania memikirkan Dimas dan bagaimana ia merasa lebih dimengerti oleh pria itu dibandingkan oleh suaminya sendiri.

Sementara itu, Sheila duduk sendirian di balkon apartemennya, memandangi langit malam. Ia tahu bahwa apa yang ia rasakan terhadap Raka adalah sesuatu yang tidak seharusnya ia biarkan berkembang. Namun, perasaan itu tetap ada, meskipun ia berusaha menepisnya.

“Raka,” gumamnya pelan, seakan berbicara kepada angin malam. “Aku tidak tahu apa yang kau cari, tapi aku harap kau menemukannya. Tanpa aku.”

Di tempat lain, Dimas menatap ponselnya, memikirkan pesan yang baru saja ia terima dari Tania. Pesan itu sederhana, tetapi penuh makna: “Terima kasih sudah ada untukku.” Ia tersenyum kecil, meskipun di dalam hatinya, ia tahu bahwa hubungan mereka tidak akan pernah benar-benar sederhana.

Malam itu, setiap dari mereka—Raka, Tania, Sheila, dan Dimas—terbaring di tempat tidur masing-masing, terjebak dalam pikiran mereka sendiri. Tidak ada yang tahu ke mana semua ini akan membawa mereka, tetapi satu hal pasti: mereka semua sedang jatuh, masing-masing dalam dunianya sendiri.

Bab 6: Jejak yang Mulai Terlihat

Pagi itu, Tania duduk di meja makan dengan secangkir teh di tangannya. Raka sudah berangkat lebih awal, seperti biasa, meninggalkannya sendirian di rumah. Suasana sepi yang dulu terasa nyaman kini hanya menambah perasaan hampa di hatinya. Saat ia memandangi ponselnya, pesan dari Dimas masuk.

Dimas: Aku tahu kau sibuk, tapi mungkin kita bisa makan siang bersama hari ini?

Tania menggigit bibirnya, ragu. Ia tahu tidak seharusnya terus bertemu Dimas, tetapi di saat yang sama, ia merasa Dimas adalah satu-satunya orang yang membuatnya merasa diperhatikan. Ia mengetik balasan cepat: “Aku pikir aku bisa. Jam 1, tempat biasa.”

Di sisi lain kota, Sheila sedang membereskan perlengkapan melukisnya di studio kecil yang ia sewa bersama beberapa teman seniman. Pikirannya melayang ke percakapannya dengan Raka beberapa hari yang lalu. Ia merasa bersalah karena membiarkan perasaannya tumbuh, tetapi ia juga tahu bahwa menghindari Raka sepenuhnya bukanlah hal yang mudah.

“Lagi mikirin siapa, Sheila?” suara temannya, Fira, memecah lamunannya.

Sheila tertawa kecil, mencoba menyembunyikan kegelisahannya. “Nggak ada. Cuma kepikiran proyek lukisan di kantor klien.”

“Klien yang kaya itu?” goda Fira sambil menaikkan alisnya. “Yang suka datang ke sini terus buat lihat kamu melukis?”

“Dia nggak seperti itu,” jawab Sheila cepat, meski wajahnya memerah. “Dia sudah menikah.”

Fira mengangkat bahu. “Ya, tapi kamu kayaknya nggak bisa berhenti mikirin dia.”

Sheila terdiam. Temannya tidak salah. Semakin ia mencoba menjauh dari Raka, semakin ia merasa tertarik. Tapi ia tahu batasannya, dan ia tidak ingin melewati garis itu lagi.

Di kantor, Raka sibuk dengan jadwal rapatnya. Namun, pikirannya terus terganggu oleh bayangan Sheila. Ia membuka galeri foto di ponselnya dan menatap gambar lukisan Sheila yang ia ambil diam-diam saat proyek di kantornya selesai. Warna-warna senja itu seolah berbicara kepadanya, mengingatkannya pada percakapan mereka tentang kebahagiaan.

Tiba-tiba, pintu kantornya diketuk, dan Dimas masuk dengan senyum lebar. “Raka, ada waktu sebentar?”

“Tentu,” jawab Raka sambil mematikan layar ponselnya. “Ada apa?”

Dimas duduk di kursi depan meja Raka. “Aku cuma mau ngobrol. Lama nggak lihat kau santai, jadi kupikir aku mampir.”

Raka tersenyum kecil. “Santai? Aku bahkan lupa kapan terakhir kali bisa benar-benar santai.”

“Dan itu masalahnya,” balas Dimas. “Kau terlalu sibuk dengan pekerjaan sampai lupa kalau hidup bukan cuma tentang angka dan target.”

“Aku tahu,” ujar Raka sambil menghela napas. “Tapi kadang sulit untuk berhenti.”

Dimas menatap sahabatnya dengan serius. “Kau tahu, Raka, aku hanya ingin kau bahagia. Apapun itu, selama kau tidak kehilangan dirimu sendiri.”

Kata-kata Dimas membuat Raka tertegun. Ia merasa ada makna lain di balik ucapan Dimas, tetapi ia tidak ingin menanyakannya lebih jauh. Ada sesuatu tentang sikap Dimas belakangan ini yang terasa berbeda, tetapi Raka terlalu sibuk dengan pikirannya sendiri untuk menyadarinya sepenuhnya.

Saat makan siang, Tania bertemu Dimas di kafe kecil yang biasa mereka kunjungi. Suasananya akrab, seperti dua teman lama yang saling memahami. Namun, di bawah permukaan percakapan ringan mereka, ada ketegangan yang tidak terucapkan.

“Tania,” kata Dimas sambil menatapnya dalam-dalam. “Apa kau benar-benar bahagia dalam pernikahanmu?”

Pertanyaan itu membuat Tania terdiam. Ia menunduk, memainkan sendok di atas piringnya. “Aku tidak tahu, Dim. Kadang aku merasa semuanya sudah terlambat untuk diperbaiki.”

“Tidak ada yang terlambat,” jawab Dimas lembut. “Kau hanya perlu memutuskan apa yang benar-benar kau inginkan.”

Tania mengangguk pelan, tetapi hatinya tetap bimbang. Ia merasa Dimas adalah tempat pelariannya, tetapi ia juga tahu bahwa melangkah terlalu jauh dengannya bisa menghancurkan segalanya.

Di malam yang sama, Raka kembali terlambat pulang. Tania sudah berbaring di tempat tidur, pura-pura tidur saat ia mendengar langkah Raka memasuki kamar. Namun, ketika Raka mengunci pintu kamar mandi, Tania membuka matanya dan mengamati tas kerja suaminya yang tergeletak di atas meja.

Dorongan rasa ingin tahu membuatnya bangkit. Ia membuka tas itu, dan matanya langsung tertuju pada foto lukisan yang tersimpan di dalam salah satu map. Lukisan itu tidak ia kenal, tetapi nama “Sheila” yang tertulis kecil di sudut bawahnya membuat Tania bertanya-tanya.

Siapa Sheila? Dan kenapa lukisannya ada di tas Raka?

Tania mengembalikan foto itu ke tempatnya dengan hati-hati sebelum Raka keluar dari kamar mandi. Ia berbaring kembali, tetapi pikirannya tidak bisa tenang. Untuk pertama kalinya, ia merasa ada sesuatu yang disembunyikan oleh suaminya.

Di apartemennya, Sheila memandangi layar ponselnya. Ada pesan dari Raka yang hanya berbunyi, “Terima kasih atas lukisannya. Membuat hariku lebih baik.”

Sheila tersenyum tipis, tetapi hatinya terasa berat. Ia tahu bahwa semakin jauh ia melibatkan dirinya dengan Raka, semakin sulit ia melepaskan diri. Dan semakin banyak jejak yang tertinggal, semakin besar kemungkinan rahasia ini terbongkar.

Bab 7: Luka yang Terbuka

Malam itu, suasana di rumah Raka dan Tania terasa lebih dingin dari biasanya. Tania memandangi ponselnya yang tergeletak di meja, menggulirkan nama “Sheila” di pikirannya. Ia tidak bisa mengabaikan rasa penasaran yang menggerogoti dirinya sejak menemukan foto lukisan itu di tas Raka. Namun, ia tahu menanyakannya secara langsung hanya akan memicu perdebatan yang tidak ia inginkan.

Sementara itu, Raka duduk di ruang kerja di lantai atas, berusaha fokus pada laptopnya, tetapi pikirannya melayang. Ia memikirkan Sheila, perasaan aneh yang terus tumbuh meskipun ia berusaha mengabaikannya. Di sisi lain, ia tahu hubungannya dengan Tania semakin jauh, dan itu membuat rasa bersalah menghantuinya.

Keesokan harinya, Tania memutuskan untuk mencari jawaban sendiri. Ia menghubungi seorang teman lama yang bekerja di bidang seni untuk menanyakan tentang Sheila. Dari percakapan itu, ia mengetahui bahwa Sheila adalah seorang pelukis jalanan yang belakangan ini sering bekerja untuk proyek-proyek dekorasi kantor.

“Dia terkenal?” tanya Tania, mencoba terdengar santai.

“Tidak terlalu. Tapi dia punya gaya yang unik, dan banyak orang mulai tertarik pada karyanya,” jawab temannya. “Kenapa kamu tanya tentang dia?”

“Ah, cuma penasaran,” balas Tania, meski hatinya semakin gelisah.

Sore itu, tanpa memberitahu Raka, Tania pergi ke tempat di mana Sheila sering melukis, seperti yang diberitahukan oleh temannya. Ia menemukan Sheila duduk di trotoar, memegang kuas dan kanvas besar. Tania memperhatikan wanita itu dari kejauhan, merasa ada sesuatu yang aneh tetapi tidak bisa dijelaskan.

Sheila merasakan tatapan Tania dan menoleh. “Permisi, ada yang bisa saya bantu?” tanyanya sopan.

Tania tersentak, tetapi ia segera menguasai diri. “Kamu Sheila, kan? Aku suka lukisanmu.”

Sheila tersenyum, meskipun ia sedikit bingung. “Oh, terima kasih. Anda pernah melihat karya saya?”

“Ya, di kantor suami saya,” jawab Tania, memilih kata-katanya dengan hati-hati.

Sheila mengangguk, mencoba terlihat tenang. “Suami Anda… Raka?”

Tania mengangguk, matanya meneliti reaksi Sheila. “Ya, Raka. Dia sering menyebutkan namamu. Dia bilang lukisanmu sangat menginspirasi.”

Sheila tersenyum kecil, tetapi Tania bisa melihat rasa gugup di wajahnya. “Saya hanya melakukan pekerjaan saya. Senang kalau dia menyukainya.”

Tania tidak ingin berlama-lama di sana. Ia mengucapkan terima kasih singkat dan pergi, tetapi pertemuan itu hanya memperkuat kecurigaannya. Cara Sheila bereaksi membuatnya yakin ada sesuatu yang lebih antara wanita itu dan Raka.

Malam itu, Tania memutuskan untuk menghadapi Raka. Saat mereka duduk di meja makan, ia akhirnya membuka percakapan yang sudah lama ia tahan.

“Raka, siapa Sheila?” tanyanya tiba-tiba, membuat Raka yang sedang menyuap makan malamnya terhenti.

Raka menatap Tania dengan kaget. “Sheila? Dia hanya pelukis yang bekerja untuk proyek kantor.”

“Benarkah?” tanya Tania dengan nada yang lebih tajam. “Karena aku bertemu dengannya hari ini. Dan aku merasa ada sesuatu yang tidak kau ceritakan.”

Raka terdiam, mencoba meredakan rasa paniknya. “Apa maksudmu, Tan? Tidak ada apa-apa antara aku dan Sheila.”

“Kalau begitu, kenapa namanya ada di pikiranmu belakangan ini? Kenapa kau membawa-bawa fotonya di tasmu?” Tania menatapnya tajam, matanya penuh dengan emosi yang tertahan.

Raka menghela napas berat, merasa terpojok. “Dia hanya seorang teman, Tan. Tidak lebih.”

“Teman?” Tania tertawa pahit. “Kau tahu apa yang lebih menyakitkan daripada berbohong, Raka? Berpura-pura seolah semuanya baik-baik saja padahal aku tahu kau sudah menjauh dariku.”

Raka tidak bisa membalas. Kata-kata Tania seperti pisau yang menusuknya. Ia ingin menyangkal semuanya, tetapi di dalam hatinya ia tahu bahwa istrinya benar. Ia memang telah menjauh, dan Sheila adalah alasan utamanya.

Sementara itu, Sheila duduk di balkon apartemennya, merasa tidak tenang setelah pertemuannya dengan Tania. Ia memegang ponselnya, ragu untuk menghubungi Raka. Namun, rasa bersalah membuatnya merasa ia harus jujur.

“Sheila,” suara Raka terdengar di telepon setelah ia akhirnya mengangkat panggilan itu. “Ada apa?”

“Aku bertemu Tania hari ini,” ujar Sheila tanpa basa-basi.

Raka terdiam. “Apa yang dia katakan?”

“Dia tidak mengatakan banyak, tapi aku bisa merasakan dia tahu sesuatu,” jawab Sheila. “Raka, aku tidak ingin berada di tengah masalahmu dengan istrimu. Kita harus berhenti bertemu.”

“Sheila, dengar aku…” Raka mencoba memprotes, tetapi Sheila memotongnya.

“Raka, aku serius. Aku tidak ingin merusak apa pun. Jangan hubungi aku lagi.”

Telepon itu terputus, meninggalkan Raka dalam kebingungan dan frustrasi. Ia tahu hubungannya dengan Sheila tidak pernah seharusnya terjadi, tetapi sekarang, ia merasa kehilangan sesuatu yang ia bahkan belum benar-benar miliki.

Malam itu, Tania duduk di tempat tidur sambil menatap Raka yang berbaring membelakanginya. Ia merasa luka di hatinya semakin dalam, tetapi ia tidak tahu harus bagaimana. Sementara itu, Raka memejamkan matanya, mencoba melawan rasa bersalah yang terus menghantui pikirannya.

Di sisi lain kota, Sheila duduk sendirian di balkon, memandang ke arah langit malam. Air mata perlahan mengalir di pipinya. Ia tahu ia telah membuat keputusan yang benar, tetapi mengucapkan selamat tinggal kepada seseorang yang membuatnya merasa hidup adalah hal yang paling sulit yang pernah ia lakukan.

Bab 8: Badai di Tengah Senja

Malam itu, hujan deras mengguyur kota, menciptakan irama berisik di atap rumah Raka dan Tania. Di ruang tamu, Tania duduk sendirian, matanya tertuju pada foto pernikahan mereka yang tergantung di dinding. Wajah-wajah bahagia dalam foto itu terasa seperti kenangan yang begitu jauh, nyaris seperti milik orang lain.

Raka masuk ke rumah dengan pakaian basah kuyup, membawa tas kerja di tangannya. Ia melihat Tania duduk di sana, tapi tidak mengucapkan apa-apa. Ia merasa keheningan itu berat, seolah ada sesuatu yang menunggu untuk diungkapkan.

“Kau terlambat lagi,” ujar Tania akhirnya, suaranya dingin.

“Hujan deras, Tan. Aku terjebak di kantor,” jawab Raka sambil menaruh tasnya di sofa.

Tania berdiri, menatap suaminya dengan tajam. “Apa kau benar-benar di kantor? Atau kau bersama Sheila?”

Raka terkejut mendengar nama itu disebutkan lagi. Ia menghela napas berat, menyadari bahwa ia tidak bisa terus menghindar. “Tania, aku sudah bilang, Sheila hanyalah pelukis yang bekerja untuk proyekku.”

“Benarkah?” Tania melangkah mendekat, matanya memancarkan emosi yang tertahan. “Kalau dia hanya pelukis, kenapa kau membawa namanya ke rumah ini? Kenapa aku merasa kau lebih peduli pada dia daripada pada pernikahan kita?”

Raka terdiam. Ia tidak tahu harus menjawab apa. Selama ini, ia berusaha menyembunyikan perasaannya, tetapi malam ini, semuanya terungkap.

“Tania,” kata Raka dengan suara rendah. “Aku tidak tahu bagaimana ini bisa terjadi. Aku tidak pernah berniat untuk menyakiti—”

“Jadi kau mengakuinya,” potong Tania, suaranya pecah. “Kau jatuh cinta pada wanita lain.”

“Aku… aku tidak tahu, Tania,” Raka mengakui, suaranya bergetar. “Aku merasa kehilangan diriku sendiri dalam pernikahan ini, dan Sheila… dia mengingatkanku pada sesuatu yang sudah lama hilang.”

Tania terdiam, air mata mengalir di pipinya. “Dan kau pikir aku tidak merasa kehilangan juga? Kau pikir aku bahagia menjalani pernikahan yang kosong ini? Tapi aku bertahan, Raka. Aku bertahan, karena aku percaya kita masih bisa memperbaiki ini.”

Raka tidak bisa membalas. Kata-kata Tania membuatnya merasa seperti pria paling egois di dunia.

Di tempat lain, Sheila duduk di studio lukisannya, mencoba melupakan percakapannya dengan Tania dan telepon terakhirnya dengan Raka. Ia mencelupkan kuasnya ke cat, tetapi tidak bisa menghasilkan apa-apa. Pikirannya terlalu kacau. Hujan di luar menambah suasana hatinya yang suram.

Fira, teman sekamarnya di studio, masuk sambil membawa dua gelas kopi panas. “Kau terlihat seperti habis dikejar badai,” kata Fira sambil menyodorkan salah satu gelas kepada Sheila.

Sheila tersenyum kecil, tetapi tidak mengatakan apa-apa. Ia tahu Fira akan bertanya lebih jauh jika ia terlihat terlalu emosional.

“Masih tentang klienmu itu?” tanya Fira sambil duduk di sebelah Sheila.

Sheila menatap temannya, ingin mengatakan semuanya, tetapi tidak tahu harus mulai dari mana. “Aku… aku merasa aku sudah melangkah terlalu jauh, Fir. Dan sekarang aku harus berhenti, tapi itu sulit.”

Fira menepuk pundak Sheila. “Kau tahu apa yang benar, Sheila. Kau hanya perlu percaya pada dirimu sendiri.”

Sheila mengangguk pelan. Ia tahu temannya benar, tetapi perasaan itu tidak semudah diabaikan.

Di rumah, perdebatan antara Raka dan Tania semakin memanas. Tania, yang selama ini menahan rasa sakitnya, akhirnya meledak.

“Kau tidak pernah melihatku, Raka. Bahkan saat aku berusaha untuk tetap mencintaimu, kau malah mencari kebahagiaan di tempat lain,” katanya dengan suara bergetar. “Kau tahu betapa sakitnya itu?”

“Aku juga merasa kosong, Tan!” balas Raka. “Aku merasa seperti kita hanya menjalani hidup tanpa arah. Aku tidak tahu bagaimana menghadapimu lagi. Setiap kali aku mencoba, rasanya seperti aku bicara dengan orang asing.”

“Kalau begitu, mungkin kita memang sudah jadi orang asing,” ucap Tania dengan nada dingin. “Dan mungkin, sudah saatnya kita berhenti berpura-pura.”

Keheningan menyelimuti ruangan. Hanya suara hujan di luar yang terdengar. Raka tahu bahwa kata-kata Tania mungkin benar, tetapi ia tidak siap untuk menghadapi kenyataan itu.

Malam itu, Tania mengirim pesan singkat kepada Dimas. “Aku butuh bicara. Bisakah kita bertemu besok?”

Dimas membalas dengan cepat. “Aku akan selalu ada untukmu, Tan.”

Sementara itu, Raka duduk di ruang kerja, menatap layar ponselnya. Ia ingin menghubungi Sheila, tetapi ia tahu itu hanya akan memperburuk segalanya. Ia mematikan ponselnya dan memutuskan untuk tidur, meskipun pikirannya terus berputar.

Hujan masih mengguyur kota, membawa badai yang sama di hati masing-masing dari mereka. Hubungan yang rumit ini tidak hanya melukai satu pihak, tetapi semua orang yang terlibat. Dan badai ini belum menunjukkan tanda-tanda akan reda.

Bab 9: Keputusan yang Berat

Pagi itu, Tania duduk di sebuah kafe kecil di sudut kota, menunggu Dimas yang berjanji akan datang lebih awal. Ia memandangi secangkir kopi di depannya, tetapi pikirannya melayang jauh. Semalam adalah salah satu malam terberat dalam hidupnya. Perdebatan dengan Raka membuat hatinya terasa seperti dihancurkan berkali-kali.

Saat Dimas masuk ke kafe, senyumnya yang hangat memberinya sedikit rasa nyaman. Ia menarik kursi di seberang Tania, meletakkan tasnya, dan menatap wanita itu dengan perhatian penuh.

“Kau kelihatan lelah,” kata Dimas pelan.

Tania mengangguk. “Aku tidak tahu harus mulai dari mana, Dim. Semua terasa berantakan.”

“Kau tidak perlu tergesa-gesa,” balas Dimas sambil menggenggam tangan Tania di atas meja. “Aku di sini untuk mendengarkan.”

Air mata Tania mulai mengalir, meski ia mencoba menahannya. “Aku sudah mencoba mempertahankan semuanya, tapi aku merasa seperti berbicara dengan dinding. Raka sudah tidak lagi peduli pada aku… pada kita.”

Dimas menarik napas dalam, mencoba menenangkan dirinya sendiri. Ia ingin mengatakan bahwa Tania pantas mendapatkan yang lebih baik, tetapi ia tahu ini bukan saatnya untuk mendorong wanita itu ke arah mana pun. “Apa yang kau inginkan, Tan?” tanyanya lembut.

Tania menggeleng pelan. “Aku tidak tahu. Aku hanya ingin… menemukan diriku sendiri lagi.”

Dimas tersenyum kecil. “Kalau begitu, mulailah dari sana. Lupakan apa yang orang lain pikirkan. Lakukan apa yang membuatmu bahagia.”

Di tempat lain, Raka duduk di ruangannya di kantor, menatap kosong ke dinding yang dihiasi lukisan Sheila. Warna-warna senja itu tidak lagi memberinya ketenangan seperti sebelumnya. Sebaliknya, lukisan itu kini menjadi pengingat akan semua kesalahan yang telah ia buat.

Ponselnya bergetar. Sebuah pesan dari Sheila muncul: “Raka, aku harap kau baik-baik saja. Aku hanya ingin kau tahu, aku akan meninggalkan kota minggu depan untuk sebuah proyek baru. Terima kasih atas segalanya.”

Pesan itu membuat hati Raka terasa berat. Sheila pergi? Ia ingin segera membalas pesan itu, tetapi ia menahan dirinya. Sheila telah membuat keputusan untuk menjauh, dan ia tidak ingin menjadi alasan untuk membuat wanita itu berubah pikiran.

Malam itu, Raka pulang lebih awal dari biasanya. Tania sedang duduk di ruang tamu, membaca buku, tetapi ia tidak terlihat benar-benar tenggelam dalam bacaannya. Saat Raka masuk, mereka saling bertukar pandang singkat, tetapi tidak ada yang berbicara.

Akhirnya, Tania menutup bukunya dan memulai percakapan. “Kita tidak bisa terus seperti ini, Raka.”

Raka mengangguk pelan. “Aku tahu. Aku juga tidak ingin kita terus saling menyakiti.”

“Apa yang harus kita lakukan?” tanya Tania, suaranya bergetar.

Raka terdiam lama sebelum menjawab. “Aku rasa… kita butuh waktu untuk berpikir. Mungkin berpisah sementara adalah yang terbaik.”

Kata-kata itu terasa seperti pisau bagi Tania, tetapi ia tahu Raka benar. Mereka sudah terlalu jauh dari satu sama lain untuk memperbaiki semuanya dalam waktu singkat.

“Kau benar,” jawab Tania akhirnya, meski hatinya terasa kosong. “Mungkin kita memang butuh waktu untuk memahami apa yang sebenarnya kita inginkan.”

Di malam yang sama, Sheila sedang berkemas di apartemennya. Ia memandang koper yang sudah penuh dengan pakaian dan perlengkapan melukisnya. Keputusan untuk meninggalkan kota adalah salah satu keputusan terberat yang pernah ia buat, tetapi ia tahu itu adalah hal yang benar.

Fira masuk ke kamar dengan ekspresi khawatir. “Kau yakin dengan ini, Sheila?”

Sheila mengangguk. “Aku harus pergi, Fir. Aku butuh jarak untuk bisa melupakan semuanya.”

“Kau tahu, kau tidak harus melupakan segalanya. Terkadang, kita hanya perlu berdamai dengan apa yang terjadi,” kata Fira sambil memeluk Sheila.

Sheila tersenyum tipis, tetapi ia tidak menjawab. Ia tahu berdamai dengan perasaannya akan memakan waktu lama.

Keesokan harinya, Tania dan Raka duduk bersama untuk membicarakan rencana mereka. Mereka sepakat untuk tinggal terpisah sementara waktu. Raka akan pindah ke apartemen kecil dekat kantornya, sementara Tania akan tetap di rumah.

“Ini bukan akhir, Tania,” kata Raka dengan suara lembut. “Aku hanya ingin kita punya waktu untuk menemukan diri kita sendiri lagi.”

Tania menatapnya dengan mata berkaca-kaca. “Aku harap kau menemukan apa yang kau cari, Raka.”

Mereka berpisah dengan rasa berat di hati masing-masing, tetapi ada juga sedikit kelegaan. Keputusan ini memberi mereka ruang untuk bernapas, sesuatu yang sudah lama mereka butuhkan.

Sementara itu, Sheila naik ke dalam kereta yang akan membawanya ke kota lain. Ia memandangi pemandangan yang perlahan bergerak di luar jendela, mencoba meyakinkan dirinya bahwa ini adalah awal yang baru. Namun, di dalam hatinya, ia tahu ia meninggalkan sebagian dirinya di kota ini—di dalam hubungan rumit yang tidak pernah ia rencanakan.

Bab 10: Senja yang Hilang

Beberapa bulan telah berlalu sejak Tania dan Raka memutuskan untuk tinggal terpisah. Rumah mereka kini terasa sunyi, hanya dihuni oleh Tania. Ia menghabiskan hari-harinya dengan mencoba mencari kembali dirinya—bertemu teman-teman lama, mengikuti kelas yoga, dan melanjutkan pekerjaannya. Namun, di dalam hatinya, ada ruang kosong yang sulit diisi.

Suatu sore, Dimas datang ke rumah dengan membawa sekotak kue kesukaan Tania. Mereka duduk di ruang tamu, membicarakan hal-hal ringan. Dimas, seperti biasa, menjadi tempat bagi Tania untuk melampiaskan kegelisahannya.

“Bagaimana perasaanmu sekarang?” tanya Dimas dengan nada lembut.

Tania menghela napas panjang. “Lebih baik, mungkin. Tapi aku tidak tahu apa aku benar-benar sudah pulih.”

“Kau kuat, Tania,” jawab Dimas sambil menggenggam tangannya. “Apa pun yang kau pilih nantinya, aku yakin itu akan membuatmu bahagia.”

Tania tersenyum kecil. Kata-kata Dimas selalu memberikan ketenangan, tetapi di dalam hatinya, ia tahu ada keputusan besar yang harus ia buat.

Di apartemennya yang kecil, Raka menatap keluar jendela, memandangi senja yang perlahan memudar. Ia telah banyak merenung selama waktu sendirinya. Hubungan dengan Sheila benar-benar telah berakhir sejak wanita itu meninggalkan kota. Namun, lukisan Sheila yang menggambarkan senja masih tergantung di dinding, mengingatkannya akan kebebasan dan kebahagiaan yang dulu ia cari.

Ia menyadari bahwa kebahagiaan itu bukan tentang mencari di tempat lain, tetapi tentang membangun kembali apa yang telah hilang di dalam dirinya. Raka mulai memperbaiki hubungan dengan orang-orang di sekitarnya, termasuk sahabatnya, Dimas. Namun, ia tahu ada satu hal yang masih harus ia selesaikan: hubungan dengan Tania.

Suatu hari, Raka menghubungi Tania dan mengajaknya bertemu. Mereka sepakat untuk bertemu di sebuah taman tempat mereka dulu sering menghabiskan waktu bersama saat baru menikah. Saat Tania tiba, ia melihat Raka duduk di bangku taman dengan senyum kecil, terlihat lebih tenang dari sebelumnya.

“Tania,” kata Raka, memulai percakapan. “Terima kasih sudah mau datang.”

Tania mengangguk. “Apa yang ingin kau bicarakan, Raka?”

Raka menarik napas dalam-dalam. “Aku ingin meminta maaf. Untuk semuanya. Untuk rasa sakit yang aku sebabkan, untuk jarak yang aku ciptakan di antara kita. Aku tidak akan menyalahkanmu jika kau tidak ingin kembali bersama.”

Tania menatapnya, matanya penuh emosi yang bercampur aduk. “Raka, aku tidak tahu apa aku bisa melupakan semua yang terjadi. Tapi aku juga tidak ingin terus hidup dengan rasa pahit di hati.”

“Kita tidak harus memutuskan sekarang,” kata Raka. “Aku hanya ingin kau tahu bahwa aku ingin memperbaiki semuanya. Jika kau bersedia, aku ingin kita memulai dari awal.”

Tania terdiam lama, membiarkan kata-kata itu meresap. Ia tahu cinta mereka tidak akan pernah kembali seperti dulu, tetapi ia juga merasakan bahwa mungkin masih ada harapan untuk membangun sesuatu yang baru.

Sementara itu, Sheila, yang kini tinggal di kota lain, memulai hidup barunya sebagai pelukis lepas. Ia sibuk dengan proyek seni yang memberinya rasa kebebasan dan kedamaian. Meski kadang-kadang ia merindukan kota lamanya dan orang-orang yang pernah ada di hidupnya, ia tahu keputusannya untuk pergi adalah yang terbaik.

Di sebuah pameran seni, Sheila berdiri di depan kanvas besar yang menggambarkan senja yang hampir hilang. Seorang pengunjung bertanya, “Kenapa kau selalu melukis senja?”

Sheila tersenyum kecil. “Karena senja mengingatkan kita bahwa meskipun sesuatu berakhir, ada keindahan di dalamnya. Dan selalu ada awal yang baru setelahnya.”

Di taman, Tania akhirnya berkata kepada Raka, “Aku butuh waktu, Raka. Tapi aku juga ingin percaya bahwa kita bisa menemukan cara untuk bahagia bersama lagi.”

Raka tersenyum lega. “Aku akan menunggumu, Tania. Apa pun yang kau putuskan, aku hanya ingin kau bahagia.”

Saat mereka berdua duduk di bangku taman, matahari perlahan tenggelam di cakrawala, menciptakan pemandangan senja yang indah. Meskipun perjalanan mereka belum selesai, ada rasa damai di hati masing-masing. Senja itu tidak lagi terasa seperti akhir, tetapi sebagai awal dari babak baru dalam hidup mereka.

Epilog: Dimas menyadari bahwa perannya di kehidupan Tania adalah untuk membantu wanita itu menemukan dirinya kembali, bukan untuk menjadi tempat pelarian. Ia memutuskan untuk menjaga jarak, membiarkan Tania dan Raka memperbaiki hubungan mereka tanpa gangguan. Dimas tahu, cinta sejati adalah tentang membiarkan orang yang kita pedulikan menemukan kebahagiaannya, bahkan jika itu berarti tidak berada di sisinya.

Sheila terus melukis, menciptakan karya-karya yang membawa harapan bagi banyak orang. Ia menemukan kedamaian dalam kebebasan, dan meski kisahnya dengan Raka berakhir, ia tetap membawa pelajaran itu ke dalam hidupnya.

Tania dan Raka, meskipun menghadapi perjalanan yang panjang, memutuskan untuk mencoba memperbaiki hubungan mereka. Karena di balik setiap senja yang hilang, selalu ada fajar yang menanti.

Novel ini ditulis oleh Evi Fauzi, Penulis dari Novel Singkat. Baca juga novel singkat Surat Surat yang Tak Terkirim.

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

    Leave a Reply

    Your email address will not be published. Required fields are marked *