Novel Singkat Lagu Kenangan di Tengah Hujan
Novel Singkat Lagu Kenangan di Tengah Hujan

Novel Singkat: Lagu Kenangan di Tengah Hujan

Bab 1: Pertemuan Tak Terduga

Hujan turun deras membasahi jalanan kota sejak sore. Langit kelabu menggantung, menggiring setiap orang untuk mencari tempat berteduh. Arian, seorang pria berusia tiga puluhan dengan kamera tergantung di lehernya, berlari kecil sambil menutupi kepalanya dengan tas selempang. Ia menepi ke sebuah kafe kecil di sudut jalan yang tak terlalu ramai. Aroma kopi yang hangat langsung menyambutnya begitu ia melangkah masuk.

Dentingan lonceng di pintu kafe menarik perhatian beberapa pengunjung. Arian mengusap rambut basahnya dan melepaskan jaket yang basah kuyup. Pandangannya menyapu ruangan hingga terhenti pada sosok perempuan yang duduk di sudut dekat jendela. Rambut hitamnya yang bergelombang jatuh ke bahu, wajahnya menatap lekat tetesan hujan yang membasahi kaca.

Arian tertegun. Wajah itu terlalu familiar untuk dilupakan. Aluna.

Detak jantungnya mendadak terasa lebih cepat. Ia mencoba meyakinkan dirinya bahwa itu hanyalah kebetulan. Namun, seberapa kecil kemungkinan bertemu dengan cinta pertama di tempat seperti ini? Perlahan, ia mengatur napas dan melangkah mendekat.

“Aluna?” sapanya ragu, suaranya nyaris tenggelam oleh suara hujan.

Perempuan itu menoleh. Mata cokelatnya membulat saat mengenali sosok Arian. Setelah beberapa detik hening, sudut bibirnya terangkat membentuk senyum kecil.

“Arian… lama sekali,” jawab Aluna dengan suara lembut, seolah mereka hanya berpisah kemarin.

Arian duduk di kursi di depannya, masih tak percaya pada apa yang ia lihat. Ia memperhatikan setiap detail Aluna yang tampak sama seperti dulu—hanya saja kini lebih dewasa dengan aura yang lebih tenang.

“Sudah berapa tahun, ya?” tanya Arian, meskipun ia tahu jawabannya. Tujuh tahun. Tujuh tahun tanpa kabar.

Aluna tersenyum tipis. “Cukup lama untuk membuat kita seperti orang asing.”

Ucapan itu membuat hati Arian tercekat. Mereka memang tak lagi seperti dulu, namun ada sesuatu di dalam dirinya yang masih sama—sebuah rasa yang belum hilang, meskipun sudah terkubur oleh waktu.

Di tengah percakapan awal mereka, pelayan kafe datang membawa menu. Arian memesan kopi hitam, sementara Aluna memilih teh hangat. Setelah pelayan pergi, keheningan singkat kembali menyelimuti mereka. Suara hujan di luar seperti lagu latar yang mengiringi pertemuan mereka.

“Kau masih suka hujan, ya?” tanya Arian dengan senyum samar, mencoba mencairkan suasana.

Aluna menoleh ke jendela lagi dan mengangguk pelan. “Hujan selalu mengingatkanku pada sesuatu yang tak selesai.”

Kata-kata itu menampar Arian secara halus namun menyakitkan. Ia tahu persis apa yang dimaksud Aluna. Mereka pernah menjadi cerita yang terputus di tengah jalan, tak sempat menemukan akhirnya.

Kopi dan teh mereka datang, uapnya mengepul di udara, menghangatkan dinginnya sore itu. Arian mencoba mengumpulkan keberanian untuk bertanya lebih jauh, tetapi sebuah rasa takut muncul—takut mendengar jawaban yang bisa menghancurkan kenangan yang ia simpan bertahun-tahun.

Namun, sebelum ia sempat berkata apa-apa, Aluna mendahuluinya. “Kenapa kamu ada di sini, Arian?”

Arian terdiam sejenak, lalu menjawab sambil tersenyum samar. “Cuma kebetulan. Lagi hunting foto hujan.”

Aluna menatapnya seolah mencoba menembus lapisan di balik kalimat sederhana itu. “Kebetulan, ya?” gumamnya sambil mengaduk tehnya pelan.

Hening kembali menyelimuti mereka, tetapi kali ini tak terasa canggung. Mereka seolah tenggelam dalam suasana yang hanya bisa dipahami oleh mereka berdua. Hujan terus turun di luar sana, menjadi saksi pertemuan tak terduga yang menghidupkan kembali sesuatu yang dulu pernah ada—sesuatu yang belum sepenuhnya berlalu.

Di sudut ruangan itu, di tengah alunan hujan, babak baru cerita mereka dimulai kembali.

Bab 2: Aroma Masa Lalu

Arian menatap Aluna yang tengah menyeruput teh hangatnya. Ada ketenangan di gerakannya, tapi sorot matanya menyimpan banyak cerita. Ia tampak seperti seseorang yang telah melalui banyak hal, namun tetap memelihara sisi lembut yang dulu dikenalnya.

“Kapan kamu kembali ke kota ini?” tanya Arian, memecah keheningan.

“Baru sebulan,” jawab Aluna sambil tersenyum tipis. “Aku pikir kota ini tak banyak berubah… tapi mungkin akulah yang berubah.”

Arian mengangguk, memahami maksudnya. Setelah tujuh tahun berlalu, kehidupan mereka pasti telah membawa perubahan besar. Namun, duduk bersama seperti ini, di tengah hujan dan aroma kopi, membuat waktu terasa melambat. Mereka seolah kembali ke masa SMA—masa yang penuh tawa, lagu, dan kenangan di bawah payung yang sama.

“Kamu masih ingat tempat favorit kita?” tanya Aluna tiba-tiba.

Arian tertawa kecil. “Tentu saja. Bukit kecil di belakang sekolah. Kita sering kabur ke sana hanya untuk mendengarkan musik dari radio bututku.”

Aluna ikut tertawa, matanya berbinar seperti dulu. “Radio itu sering mogok, tapi kita selalu bersikeras menyalakannya.”

Arian merasakan sesuatu yang hangat menyusup ke dadanya. Tawa Aluna adalah melodi lama yang membangkitkan kenangan—kenangan tentang mereka yang berlari menembus hujan, duduk di atas rumput basah, berbagi cerita dan mimpi. Lagu-lagu sederhana dari radio tua itu menjadi saksi perjalanan rasa yang pernah tumbuh di antara mereka.

“Hujan selalu membuatku ingat lagu itu,” ujar Aluna lirih.

“Lagu yang sama,” tambah Arian pelan. “Tapi kisahnya… sudah berbeda.”

Aluna terdiam sejenak, lalu menatap keluar jendela. Tetesan hujan terus mengalir, membentuk jalur-jalur tak beraturan di kaca. “Menurutmu, Arian… kenapa sesuatu yang indah bisa berubah begitu cepat?”

Pertanyaan itu membuat Arian terdiam. Ia tahu Aluna tidak sedang bertanya tentang cuaca atau lagu, melainkan tentang mereka—tentang kisah yang terhenti sebelum mencapai akhir yang bahagia.

“Aku rasa,” Arian menarik napas dalam. “Kadang kita terlalu muda untuk tahu cara menjaga sesuatu yang berharga.”

Aluna mengangguk, meski ada sedikit senyum getir di bibirnya. “Mungkin kau benar.”

Arian ingin berkata lebih banyak, ingin menjelaskan bahwa perasaannya tak pernah benar-benar berubah. Tapi kata-kata itu terasa berat, seperti tertahan oleh keinginan untuk menghormati jarak yang sudah ada. Hujan di luar semakin deras, menciptakan simfoni yang membangkitkan semua kenangan itu semakin jelas.

“Masih suka main gitar?” Aluna mencoba mengalihkan pembicaraan, meskipun nadanya terdengar penuh rasa penasaran.

Arian menggeleng sambil tersenyum. “Jarang. Gitar itu masih ada, tapi… aku jarang memainkannya. Tanpa alasan khusus.”

Aluna menatapnya lama, seolah mengingat setiap detail dari Arian yang dulu. “Dulu kamu bilang, kamu main gitar karena ingin menghiburku setiap hujan turun.”

Arian terdiam. Kenangan itu kembali berputar—melodi sederhana yang ia petik dengan gitar tua, dan suara lembut Aluna yang bernyanyi di bawah guyuran hujan. Momen itu terasa begitu hidup kembali di ingatannya, membuat hatinya hangat sekaligus hancur pada saat yang bersamaan.

“Sepertinya banyak hal berubah,” gumam Aluna.

Arian menatap matanya yang tampak kosong sesaat. “Tapi tidak semua hal berubah, Aluna.”

Kata-kata itu meluncur begitu saja dari bibir Arian, dan ia tak peduli apakah Aluna menyadari artinya. Sore itu, di antara percakapan ringan dan kenangan yang mengudara, mereka saling terhubung oleh sesuatu yang tak kasat mata—sesuatu yang tak hilang, hanya tersembunyi.

Aluna tersenyum samar, tapi ada sesuatu dalam tatapannya yang membuat Arian tahu bahwa masih ada kisah yang belum selesai. Hujan terus mengalun di luar sana, membasuh jalanan, membawa aroma tanah yang basah. Aroma yang sama seperti dulu, saat mereka masih menjadi dua anak muda yang percaya bahwa lagu dan hujan bisa menyembuhkan segalanya.

Namun kini, keduanya tahu bahwa kenyataan tak sesederhana itu. Di balik senyum Aluna, Arian merasakan ada sesuatu yang lain—sebuah rahasia yang mungkin mengubah segalanya.

Bab 3: Rasa yang Belum Usai

Hujan masih turun dengan ritme yang sama, seperti orkestra alam yang enggan berhenti. Arian memperhatikan wajah Aluna yang sesekali menatap ke luar jendela, tenggelam dalam pikirannya sendiri. Setelah beberapa saat, ia menarik napas dan mencoba mencairkan suasana.

“Jadi, apa yang membuatmu kembali ke sini?” tanya Arian dengan nada lembut.

Aluna mengaduk tehnya pelan, lalu menatap Arian dengan mata yang menyiratkan sesuatu yang dalam. “Aku hanya… ingin melihat kembali tempat-tempat yang dulu berarti untukku.”

Arian tersenyum samar. “Kafe ini bukan tempat biasa untuk berteduh, ya?”

Aluna mengangguk pelan. “Benar. Aku ingat kita pernah bicara ingin buka kafe kecil yang penuh lagu-lagu favorit kita sendiri.” Ia tertawa kecil, namun tawa itu terdengar pahit. “Tapi hidup membawa kita ke arah yang berbeda.”

Arian menatap meja di hadapannya, mengingat impian-impian lama yang tak pernah mereka wujudkan. Ia masih bisa mendengar suara Aluna yang dulu penuh semangat membicarakan dekorasi kafe impian mereka—dengan rak penuh piringan hitam klasik dan aroma kopi yang menenangkan.

“Aku tidak tahu apakah kembali ke sini adalah keputusan yang benar,” lanjut Aluna dengan suara pelan. “Terkadang, kenangan terlalu indah untuk dihadapi.”

Arian merasakan sesuatu mencubit hatinya. Ada kejujuran dalam kata-kata Aluna yang membuatnya sulit bernapas. “Tapi kenangan itu bukan cuma milikmu,” ujar Arian lirih. “Aku juga membawanya ke mana pun aku pergi.”

Aluna menatapnya lekat-lekat, dan Arian bisa melihat kilatan emosi di matanya. “Arian… kamu masih menyimpan semuanya, ya?”

Arian tak mengalihkan pandangannya. “Semuanya.”

Keheningan yang mengikuti terasa berat. Keduanya sama-sama tahu bahwa pembicaraan ini bukan lagi soal nostalgia biasa. Ini tentang sesuatu yang masih menggantung di udara, sesuatu yang tak pernah benar-benar selesai meski waktu terus berjalan.

“Kamu tahu…,” suara Aluna melembut, “Ada hal-hal yang sulit dilupakan, bahkan jika kita mencoba.”

Arian mengangguk. “Dan ada hal-hal yang tidak pernah bisa kita gantikan.”

Aluna menggigit bibirnya, seolah menahan sesuatu yang hendak ia ungkapkan. “Tujuh tahun berlalu, Arian. Kamu tidak pernah bertanya kenapa aku pergi begitu saja?”

Pertanyaan itu membuat Arian terdiam. Tentu saja ia bertanya-tanya—ribuan kali dalam pikirannya sendiri. Namun, setiap kali ia ingin mencari jawaban, sesuatu menahannya. Takut pada kenyataan yang mungkin lebih menyakitkan daripada ketidaktahuan itu sendiri.

“Aku takut jawabanmu akan membuatku sulit melangkah,” jawab Arian jujur.

Aluna mengalihkan pandangannya ke jendela, menatap butiran hujan yang jatuh tanpa henti. “Mungkin… aku juga takut.”

“Takut apa?”

“Takut kembali dan menyadari… bahwa semuanya masih terasa sama.”

Kata-kata itu menghantam Arian seperti petir di tengah hujan. Ia menatap Aluna, mencoba membaca seluruh emosi yang ada di wajahnya. Hatinya berkata bahwa Aluna masih menyimpan rasa yang sama—perasaan yang mungkin tak pernah benar-benar hilang.

“Aku masih sama, Aluna,” ujar Arian dengan suara yang penuh ketulusan. “Dan aku rasa… kamu juga.”

Aluna terdiam, dan di matanya ada bayangan keraguan serta kejujuran yang saling bersinggungan. “Arian… ada sesuatu yang harus kamu tahu.”

Arian menahan napas, menunggu kata-kata berikutnya. Tetapi sebelum Aluna sempat melanjutkan, suara notifikasi dari ponselnya berbunyi. Aluna melirik layarnya sejenak, dan ekspresinya berubah. Sesaat kemudian, ia menekan tombol untuk mematikan nada dering.

“Kita harus berbicara lain kali,” ucapnya dengan senyum tipis yang terasa pahit.

Arian ingin bertanya lebih jauh, namun ia tahu tidak ada gunanya memaksa. “Lain kali?”

Aluna berdiri dan mengambil tasnya. “Jika takdir masih berpihak pada kita… kita akan bertemu lagi.”

Arian hanya bisa memandangnya pergi, meninggalkan jejak langkah di lantai kafe yang basah oleh air hujan. Saat pintu kafe terbuka, angin dingin menyapu masuk, dan suara hujan kembali mendominasi ruangan. Arian merasa kehilangan sesuatu—lagi.

Namun, di dalam hatinya, ia tahu satu hal pasti: rasa itu belum usai.

Bab 4: Ganjalan yang Tersembunyi

Hujan masih mengguyur kota dengan intensitas yang sama, tetapi kafe itu terasa jauh lebih sunyi setelah Aluna pergi. Arian tetap duduk di tempatnya, menatap kosong ke arah cangkir kopi yang sudah dingin. Perasaan hampa menyelimutinya, seperti bayangan panjang yang tak bisa ia usir.

Pikirannya mengembara ke masa-masa lalu, ke momen-momen ketika ia dan Aluna begitu dekat. Setiap kenangan terasa seperti potongan puzzle yang tak lengkap. Ia tahu ada sesuatu yang disembunyikan Aluna—sesuatu yang menjadi alasan di balik kepergiannya tujuh tahun lalu.

“Apa yang sebenarnya terjadi?” bisik Arian pada dirinya sendiri.

Keesokan harinya, Arian terbangun dengan perasaan tak tenang. Pikirannya masih dipenuhi wajah Aluna dan kata-kata terakhirnya. Meski tahu bahwa mengorek masa lalu bisa menyakitkan, dorongan untuk menemukan jawaban jauh lebih kuat. Ia memutuskan untuk mencari tahu lebih banyak.

Arian mengunjungi seorang teman lama mereka, Ben, yang kini bekerja sebagai pemilik toko musik kecil. Ben adalah orang yang dulu cukup dekat dengan mereka berdua dan mungkin mengetahui sesuatu.

“Ben,” Arian memulai saat duduk di salah satu sudut toko. “Kamu masih ingat Aluna?”

Ben, yang sedang merapikan beberapa piringan hitam, menoleh dan tersenyum. “Tentu saja. Sulit melupakan gadis seperti Aluna.”

Arian mengangguk, lalu menghela napas. “Dia kembali ke kota ini… dan aku bertemu dengannya kemarin.”

Ben meletakkan piringan hitam dengan pelan. “Serius? Sudah lama sekali, ya?”

“Ya. Tapi ada yang aneh, Ben,” ujar Arian sambil mengusap wajahnya. “Dia menghindar untuk menceritakan sesuatu. Seolah-olah ada hal besar yang ia sembunyikan dariku.”

Ben menghela napas panjang, lalu menatap Arian dengan raut serius. “Arian… ada hal yang mungkin tidak pernah kamu tahu.”

Arian menegakkan tubuhnya. “Apa maksudmu?”

Ben menggigit bibirnya sebelum akhirnya berkata, “Aluna pergi bukan karena dia mau. Ada sesuatu yang memaksanya.”

Mata Arian membelalak. “Apa?”

Ben merunduk, seperti ragu untuk melanjutkan. “Keluarganya punya masalah besar waktu itu. Mereka terlibat konflik finansial, dan orang tuanya memutuskan pindah ke luar kota untuk menghindari masalah. Aluna… dia tidak punya pilihan.”

Arian terdiam. Perasaan campur aduk menghantamnya seperti ombak besar. Selama ini, ia berpikir bahwa Aluna meninggalkannya karena keinginannya sendiri. Ia tak pernah tahu bahwa kepergian itu bukan keputusan Aluna.

“Kenapa dia tidak pernah memberitahuku?” bisik Arian dengan suara serak.

“Karena dia tahu… kamu akan mencoba menghentikannya,” jawab Ben pelan. “Dan dia tidak ingin membuat semuanya lebih sulit untukmu.”

Arian menatap lantai dengan tatapan kosong. Potongan puzzle yang hilang akhirnya ditemukan, tapi kenyataan itu membuat dadanya terasa lebih sesak.

Malam itu, Arian duduk di balkon apartemennya, ditemani suara hujan yang kembali turun. Di genggamannya ada gitar tua yang sudah lama tak ia mainkan. Jemarinya perlahan memetik senar, memainkan melodi yang pernah ia buat untuk Aluna. Setiap nada mengingatkannya pada senyum dan tawa yang kini terasa begitu jauh.

Arian tahu bahwa pertemuan mereka bukanlah kebetulan. Ada alasan mengapa Aluna kembali. Dan meskipun ada ganjalan yang belum terselesaikan, ia bertekad untuk mencari tahu kebenaran di balik semua ini—karena perasaan yang belum usai ini layak mendapatkan akhir yang sejujurnya.

Satu hal yang ia sadari di bawah langit yang basah malam itu: cinta pertama tak pernah benar-benar pergi, hanya tersimpan dalam hujan yang terus bernyanyi.

Bab 5: Lagu yang Sama, Kisah Berbeda

Hujan kembali turun lebat saat Arian memutuskan untuk kembali ke kafe kecil itu keesokan harinya. Ia berharap menemukan Aluna di tempat yang sama, tapi kursi di sudut dekat jendela itu kosong. Hanya aroma kopi yang masih sama, mengingatkannya pada percakapan singkat yang menggantung tanpa jawaban utuh.

Arian menghela napas dan duduk. Ia memesan kopi hitam seperti biasa, tapi pikirannya tidak benar-benar ada di tempat itu. Suara pintu yang berderit menarik perhatiannya, membuatnya menoleh. Aluna masuk, basah kuyup dengan senyum yang samar. Ia memeluk tas di dadanya seperti mencoba melindungi diri dari sesuatu yang tak kasat mata.

Arian berdiri dan melambaikan tangan. “Aluna!”

Aluna melihatnya dan berjalan ke arah meja dengan langkah ragu. Matanya tampak lelah, tapi ada kehangatan kecil yang kembali menyapa. “Kamu benar-benar sering ke sini, ya?” tanyanya sambil tersenyum kecil.

Arian tertawa pelan. “Mungkin sekarang iya.”

Mereka duduk berhadapan lagi, dan keheningan sesaat tercipta. Aluna menatap keluar jendela, sementara Arian menatapnya—seolah takut kehilangan momen itu lagi.

“Ada banyak hal yang belum sempat aku tanyakan kemarin,” ujar Arian pelan.

Aluna mengangguk, seperti mengerti arah pembicaraan itu. “Ben bilang sesuatu padamu, ya?”

Arian mengangguk. “Dia cerita soal keluargamu dan alasan kamu pergi.”

Aluna menutup mata sesaat, lalu tersenyum getir. “Seharusnya aku tahu… Ben tidak akan membiarkan rahasia itu tetap terkubur.”

“Kamu tahu aku tidak akan menyalahkanmu, kan?” suara Arian terdengar berat. “Aku hanya… ingin tahu kenapa kamu memilih pergi sendiri tanpa memberitahuku.”

Aluna menggenggam cangkir tehnya dengan kedua tangan. “Karena aku takut… takut kamu akan membenci hidupmu jika kamu mencoba bertahan untukku. Waktu itu, kita terlalu muda untuk melawan keadaan.”

Arian merasakan dadanya kembali sesak. Aluna tidak pergi karena ia ingin menghindar—ia pergi karena mencintainya dengan cara yang tak bisa ia mengerti saat itu.

“Lalu… kenapa kamu kembali?” tanya Arian penuh rasa ingin tahu.

Aluna menatap lurus ke matanya. “Aku pikir aku sudah berdamai dengan semuanya. Tapi ternyata… kenangan tentang kita tidak pernah benar-benar hilang.”

Arian tersenyum pahit. “Bukan hanya kamu. Aku juga masih merasakan hal yang sama. Setiap hujan turun, aku selalu ingat lagu yang dulu kita dengar.”

Aluna tertawa kecil. “Lagu itu, ya? Masih ingat liriknya?”

Arian mengangguk dan mulai bersenandung pelan. Lagu itu sederhana, tapi melodi dan liriknya penuh makna tentang janji yang tak pernah selesai. Suara Arian membuat Aluna terdiam. Ada air mata yang menggenang di sudut matanya, tapi ia berusaha tersenyum.

“Aku pikir kita sudah berbeda,” bisik Aluna. “Tapi ternyata tidak. Kita masih orang yang sama… dengan rasa yang sama.”

“Rasa itu memang belum berubah,” balas Arian, suaranya lembut namun penuh kepastian.

Namun, sebelum Arian bisa berkata lebih jauh, Aluna menggenggam tangannya pelan. Sentuhan itu membuat dunia seakan berhenti berputar. Tapi Arian merasakan ada sesuatu yang lain—sesuatu yang membuat senyum Aluna penuh luka.

“Arian… ada satu hal lagi yang harus kamu tahu.”

Arian menatapnya dengan cemas. “Apa itu?”

Aluna menundukkan pandangannya dan menarik napas dalam sebelum berkata, “Aku… akan menikah bulan depan.”

Seakan petir menyambar tepat di atas kepala Arian. Suara hujan di luar mendadak terasa seperti dentuman keras yang menampar telinganya. Kata-kata itu menghancurkan apa pun yang tersisa dari harapannya.

“Bulan depan?” ulang Arian, suaranya serak.

Aluna mengangguk, matanya basah. “Aku sudah mencoba meyakinkan diriku bahwa aku harus bahagia… meski mungkin bukan denganmu.”

Arian merasakan seluruh dunianya runtuh. Lagu lama yang selalu menjadi penghubung mereka kini terasa seperti pengingat pahit akan sebuah cerita yang harus mereka lepaskan.

“Kamu bahagia, Aluna?” tanya Arian, suaranya bergetar.

Aluna tak langsung menjawab. Setelah beberapa saat, ia menggeleng perlahan. “Aku tidak tahu. Yang aku tahu… hatiku masih ada di tempat yang sama, bersamamu.”

Arian mengepalkan tangannya di bawah meja, mencoba menahan emosi yang bergemuruh. Mereka memang masih memiliki rasa yang sama, tapi kisahnya sudah berbeda. Di dunia nyata, cinta tidak selalu cukup untuk melawan semua kenyataan.

“Aku tidak bisa memaksamu… dan aku tidak akan menghentikanmu,” ujar Arian akhirnya, meski kata-kata itu terasa seperti belati yang menancap di hatinya.

Air mata Aluna jatuh perlahan, tapi ia tetap tersenyum. “Terima kasih, Arian.”

Hujan di luar tak kunjung reda, seperti ikut merasakan kesedihan yang mereka bagi sore itu. Lagu lama mereka masih terngiang di kepala Arian—lagu yang mengikat mereka dalam rasa yang tak pernah benar-benar usai. Namun, ia tahu bahwa melodi itu kini akan menjadi bagian dari kenangan yang lebih berat dari sebelumnya.

Kisah mereka tetap indah, meski jalannya penuh luka. Lagu yang sama, tapi kisah mereka tak lagi seperti dulu.

Bab 6: Malam yang Tak Terlupakan

Malam itu, hujan turun lebih deras dari biasanya, seakan langit menumpahkan seluruh kesedihannya ke bumi. Arian berjalan sendirian di sepanjang trotoar setelah meninggalkan kafe. Payungnya melindungi tubuhnya dari tetesan air, tetapi tidak bisa menahan dinginnya kenyataan yang baru saja ia hadapi.

Ia tak tahu ke mana harus melangkah. Kakinya terasa berat, seolah ingin berbalik ke kafe dan memohon pada Aluna agar tetap tinggal. Namun, ia tahu itu mustahil. Ia menoleh ke atas, menatap langit yang gelap dan penuh luka air hujan.

Beberapa jam berlalu, dan Arian mendapati dirinya kembali berdiri di depan apartemennya. Namun sebelum ia masuk, sebuah suara familiar terdengar dari kejauhan.

“Arian…”

Ia berbalik. Aluna berdiri di ujung jalan, basah kuyup tanpa payung. Rambutnya menempel di wajah, dan napasnya terengah-engah seakan ia berlari menembus hujan untuk mencapainya.

“Aluna?!” Arian langsung berlari menghampirinya, membuka payung di atas kepala mereka berdua. “Apa yang kamu lakukan? Kamu basah kuyup!”

Aluna menggeleng pelan, matanya penuh air mata bercampur dengan tetesan hujan. “Aku tidak peduli. Aku hanya ingin… malam ini kita tidak berakhir seperti tadi.”

Arian terdiam. Hatinya bergemuruh melihat Aluna berdiri di depannya dengan mata yang penuh rasa sakit. “Masuklah dulu. Kamu akan sakit.”

Namun Aluna menahan tangan Arian. “Tidak… Aku ingin kita bicara di sini saja.”

Hujan semakin deras. Suara rintiknya terdengar seperti simfoni pilu yang melengkapi suasana.

Mereka berdiri di bawah payung yang sama, memandang satu sama lain dengan pandangan yang penuh emosi.

“Arian…,” suara Aluna bergetar. “Aku tidak pernah ingin membuatmu terluka. Tapi aku terlalu pengecut untuk melawan takdir.”

Arian menggenggam tangan Aluna dengan lembut. “Aluna, hidup kita memang tak sempurna. Tapi kamu selalu jadi bagian terindah yang aku miliki.”

Air mata Aluna kembali mengalir. “Kenapa kita harus seperti ini? Kenapa kita tidak bisa memilih cinta kita sendiri?”

Arian menggeleng pelan. “Karena kita hidup di dunia nyata, bukan di dalam lagu yang selalu kita dengar.”

Aluna menundukkan kepala, menangis dalam diam. Arian menariknya ke dalam pelukan. Tubuh Aluna terasa dingin, tetapi pelukan itu hangat—seperti rumah yang telah lama ia rindukan.

“Malam ini… mari lupakan semua hal selain kita,” bisik Arian.

Aluna mengangguk di pelukannya, tak ingin melepaskan momen itu meskipun ia tahu semuanya sementara.

Mereka berjalan tanpa arah, menyusuri jalanan kota yang sepi. Hujan masih mengguyur, tetapi mereka tetap berbagi payung yang sama. Tawa kecil Aluna akhirnya pecah ketika Arian menyebut kembali lelucon lama mereka tentang lagu-lagu hujan yang selalu mengiringi momen absurd dalam hidup mereka.

Arian berhenti sejenak di sebuah taman kecil dan menarik Aluna ke bangku kayu yang basah. “Aku tahu ini gila, tapi aku tidak peduli.”

Aluna duduk di sampingnya dan mendekatkan diri. “Kalau kita bisa menghentikan waktu, aku ingin malam ini berlangsung selamanya.”

Arian mengangguk pelan. “Aku juga. Tapi kita tahu… waktu tak pernah mau berkompromi.”

Mereka duduk berdua, mendengarkan bunyi hujan dan membiarkan keheningan berbicara. Tangan mereka saling menggenggam erat seolah takut terlepas.

“Malam ini… adalah kenangan terakhir kita, ya?” tanya Aluna dengan suara serak.

Arian menatap wajahnya dengan sedih. “Aku harap tidak. Tapi jika iya… aku akan selalu mengingatnya seperti ini.”

Aluna mengangguk pelan. Hujan akhirnya mereda, tetapi di hati mereka badai belum berhenti. Malam itu mereka memutuskan satu hal: meskipun dunia mereka tak bisa menyatu, mereka akan selalu punya satu kenangan yang tidak akan pernah luntur—malam di tengah hujan yang mempertemukan mereka dalam rasa yang tak terganti.

Dan saat mereka berpisah di depan pintu apartemen Arian, Aluna berbisik pelan sebelum pergi: “Terima kasih untuk malam yang tak terlupakan.”

Arian hanya bisa melihatnya pergi dengan perasaan yang bercampur aduk, tapi ia tahu… malam itu akan selalu menjadi lagu indah yang mengiringi langkah hidupnya selamanya.

Bab 7: Kenyataan yang Menghampiri

Keesokan paginya, langit masih mendung, namun hujan telah berhenti. Arian duduk di meja kerjanya, menatap kosong layar laptop yang menyala tanpa arti. Bayangan malam tadi terus menghantuinya—tatapan mata Aluna, pelukan hangat di bawah hujan, dan kalimat perpisahan yang lirih namun penuh makna.

Ia menghela napas berat, membuka ponselnya, dan menemukan sebuah notifikasi yang tak terduga: undangan pernikahan digital. Nama yang tertera di sana membuat dadanya terasa sesak. “Aluna & Reza – 14 Februari”. Undangan itu adalah kenyataan yang tak bisa ia hindari.

Arian menatap undangan itu lama, lalu membanting ponselnya ke meja dengan frustrasi. “Kenapa harus sekarang? Kenapa setelah semua ini?” gumamnya.

Suara ketukan pintu membuatnya tersentak. Ben muncul dengan wajah penuh kekhawatiran. “Hei, kau baik-baik saja? Aku dengar tentang Aluna.”

Arian hanya mengangguk lemah, tak mampu menjawab dengan kata-kata. Ben berjalan mendekat dan duduk di sampingnya. “Arian… kalau kamu ingin pergi ke pernikahannya, pergilah. Kadang menghadapi kenyataan adalah cara terbaik untuk menemukan jawaban.”

Arian mengangkat wajahnya dan menatap Ben dengan pandangan bingung. “Pergi ke sana? Untuk apa? Melihatnya bersama orang lain? Itu seperti menancapkan pisau ke dadaku sendiri.”

Ben menghela napas. “Mungkin, tapi kamu juga perlu tahu sesuatu: hidup tidak akan berhenti hanya karena rasa sakit. Terkadang, melangkah ke arah yang paling menyakitkan justru akan membebaskanmu.”

Arian terdiam. Kata-kata Ben masuk ke pikirannya, meski terasa seperti duri. Ia tahu bahwa ia tidak bisa terus-menerus lari dari kenyataan ini.

Dua hari sebelum pernikahan, Arian mengumpulkan seluruh keberaniannya. Ia memutuskan untuk pergi ke rumah Aluna, bukan untuk mengganggu rencananya, tetapi untuk memberikan sesuatu yang berarti—sebuah kejujuran yang selama ini tertahan.

Di depan rumah itu, Arian berdiri dengan jantung yang berdebar. Ia mengetuk pintu dan disambut oleh sosok yang tak terduga—Reza, tunangan Aluna. Reza adalah pria yang berpenampilan tenang, dengan senyum ramah yang menghias wajahnya.

“Oh, kamu pasti Arian,” kata Reza sambil mengulurkan tangan.

Arian terkejut, tapi menjabat tangan Reza dengan ragu. “Bagaimana kamu tahu?”

Reza tertawa kecil. “Aluna sering menyebut namamu… kau adalah bagian penting dari hidupnya.”

Kalimat itu menusuk hati Arian. “Dia banyak bercerita, ya?” tanyanya, mencoba menjaga suaranya tetap stabil.

Reza mengangguk. “Ya… dan aku tahu kamu bukan sekadar kenangan baginya. Kamu… adalah seseorang yang ia sayangi dengan caranya sendiri.”

Arian menggigit bibirnya, berusaha menahan emosinya. “Bolehkah aku bertemu dengannya?”

Reza mengangguk dengan penuh pengertian. “Tentu, dia ada di taman belakang.”

Arian berjalan menuju taman, dan di sana ia melihat Aluna duduk di atas bangku kayu. Ia tampak begitu damai, meski bayangan pernikahan yang akan datang ada di hadapannya. Saat Arian menghampirinya, Aluna menoleh dan tersenyum lembut.

“Kamu datang…” bisik Aluna.

Arian duduk di sampingnya. “Ya, aku harus datang. Aku tidak bisa membiarkan semua ini berlalu begitu saja tanpa memberitahumu sesuatu.”

Aluna menatap Arian dengan pandangan lembut namun sendu. “Arian, aku sudah tahu apa yang ingin kamu katakan.”

“Biarkan aku mengatakannya,” potong Arian dengan suara tegas. “Aku mencintaimu, Aluna. Selalu. Dari dulu sampai sekarang. Aku tidak pernah berhenti.”

Aluna menundukkan kepala, meneteskan air mata. “Aku tahu, Arian. Aku tahu.”

“Apa kamu bahagia, Aluna?” tanya Arian, suaranya penuh luka.

Aluna menggenggam tangan Arian untuk terakhir kalinya. “Aku tidak tahu apa itu kebahagiaan yang sempurna. Tapi aku tahu… aku harus membuat pilihan.”

Arian merasakan tangannya gemetar di genggaman Aluna. “Aku hanya ingin kamu bahagia… meski itu bukan bersamaku.”

Air mata Aluna jatuh semakin deras. Ia ingin berkata sesuatu, tapi tak ada kata yang cukup untuk meredakan rasa sakit mereka berdua. Setelah beberapa saat, ia melepaskan genggaman tangannya perlahan.

“Arian… terima kasih untuk semuanya,” ujar Aluna pelan.

Arian berdiri dengan perasaan yang tak bisa dijelaskan. Ia tersenyum pahit dan mengangguk. “Selamat tinggal, Aluna.”

Aluna hanya bisa menatap punggung Arian yang menjauh, membawa seluruh kenangan dan perasaan yang tak pernah bisa ia lupakan. Kenyataan akhirnya menghampiri mereka berdua—mereka harus menerima bahwa tidak semua cinta bisa dimiliki, meski terasa begitu kuat.

Bab 8: Percikan Harapan di Tengah Dilema

Hari pernikahan Aluna akhirnya tiba. Hujan turun sejak pagi, membasahi jalanan kota seolah langit ikut merasakan kegetiran yang tersimpan di hati Arian. Ia berdiri di balkon apartemennya, menatap tetesan hujan yang jatuh dengan perasaan kosong. Di meja kecil di sampingnya, gitar tuanya tergeletak tanpa suara.

Notifikasi ponselnya berbunyi. Sebuah pesan masuk dari Ben:

“Kamu yakin nggak datang ke pernikahannya? Kadang perpisahan yang baik bisa menyembuhkan.”

Arian menatap pesan itu lama sebelum akhirnya mengetik jawaban:
“Aku sudah mengucapkan selamat tinggal. Itu cukup.”

Di sisi lain kota, Aluna berdiri di depan cermin dengan gaun pengantinnya yang sederhana namun anggun. Ruangan terasa sunyi meski para pengiring pengantin mondar-mandir di sekitar. Tatapannya kosong, dan jemarinya gemetar ketika ia merapikan veil di atas rambutnya. Semua terasa seperti mimpi—mimpi yang belum tentu membawanya pada kebahagiaan sejati.

Pintu ruang rias terbuka perlahan, dan Reza masuk dengan senyum lembut. “Semua sudah siap. Kamu baik-baik saja?”

Aluna memaksakan senyum. “Ya… hanya gugup.”

Reza menatapnya dalam-dalam, lalu menghela napas panjang. “Aluna… kalau kamu ragu, kamu boleh jujur padaku. Aku tidak ingin kamu menikahiku hanya karena merasa harus.”

Mata Aluna membelalak. “Reza, maksudmu?”

Reza menatapnya dengan tatapan penuh pengertian. “Aku ingin kamu bahagia, Aluna. Dengan atau tanpa aku.” Suaranya terdengar berat, namun tulus.

Aluna terdiam, menahan air mata yang sudah menggenang. Ia tahu Reza adalah pria baik, seseorang yang mampu mencintainya tanpa syarat. Namun, jauh di dalam hatinya, nama Arian masih bergema seperti lagu lama yang terus berulang.

Di luar gereja, Arian akhirnya memutuskan untuk pergi keluar. Hujan masih turun deras, namun ia tidak peduli. Dengan jaket dan gitar tuanya di tangan, ia melangkah menuju taman kecil di dekat gereja. Ia duduk di bawah pohon rindang yang basah dan mulai memetik senar gitar dengan perlahan.

Melodi yang ia mainkan adalah lagu kenangan mereka—lagu yang selalu menjadi pengingat akan semua rasa yang pernah ada. Hujan membasahi gitarnya, tapi ia terus bermain, menumpahkan semua perasaan yang selama ini ia pendam. Setiap nada adalah ungkapan cinta dan perpisahan.

Di dalam gereja, suara petikan gitar samar terdengar hingga ke ruangan. Aluna memejamkan matanya, dan entah kenapa ia tahu persis siapa yang memainkan lagu itu. Ia menggenggam buket bunga erat-erat, lalu membuka mata dengan air mata yang jatuh tanpa ia sadari.

Hatinya bergejolak. Ia tak bisa lagi berpura-pura. Ia harus membuat keputusan, meski itu berarti mengecewakan banyak orang.

Beberapa menit kemudian, Arian yang masih memainkan gitarnya mendengar suara langkah kaki mendekat. Ia mendongak dan terkejut melihat sosok Aluna berdiri di depannya, basah kuyup dengan gaun pengantin yang sudah kusut.

“Aluna?” Arian terbelalak. “Apa yang kamu lakukan di sini?”

Aluna tersenyum, meski air mata dan hujan bercampur di wajahnya. “Aku memilih, Arian. Aku memilih kamu.”

Arian terpaku, tidak yakin apakah ini nyata atau hanya ilusi. “Tapi… bagaimana dengan—”

Aluna menundukkan kepala, lalu menatap Arian dengan mantap. “Reza mengerti. Dia ingin aku bahagia… dan aku tahu kebahagiaanku ada bersamamu.”

Arian berdiri dan mendekatkan dirinya pada Aluna. “Aluna… kamu yakin?”

Aluna mengangguk. “Lebih dari apa pun.”

Arian menatap mata Aluna yang penuh rasa cinta. Tanpa ragu, ia menarik Aluna ke dalam pelukannya. Hujan terus turun deras, tetapi mereka tak peduli. Mereka berdiri di bawah langit yang menangis bahagia untuk mereka—akhirnya rasa yang terpendam bertahun-tahun menemukan jalannya sendiri.

Malam itu, hujan berhenti. Langit berubah cerah dengan bintang-bintang yang bermunculan seperti pertanda baru. Arian dan Aluna berjalan bergandengan, meninggalkan segala luka dan dilema di belakang. Di dalam hati mereka, ada satu keyakinan: meski perjalanan mereka panjang dan penuh rintangan, cinta mereka selalu menemukan jalannya.

Mereka akhirnya menulis ulang lagu kenangan mereka, kali ini dengan kisah yang berbeda—kisah yang tidak lagi berakhir di tengah hujan.

Bab 9: Pilihan yang Berat

Setelah malam penuh haru di bawah hujan, keesokan harinya terasa seperti babak baru yang penuh tanda tanya. Aluna dan Arian duduk di sebuah kafe kecil, jauh dari keramaian kota. Tidak ada suara hujan kali ini—hanya keheningan yang mengelilingi mereka, seolah menunggu keputusan besar yang akan mereka ambil.

Aluna menyesap teh hangatnya dengan perlahan. “Arian… kamu yakin kita bisa menjalani ini?”

Arian menatapnya dengan sorot mata penuh keyakinan. “Aku yakin. Tapi yang lebih penting… apa kamu yakin, Aluna?”

Pertanyaan itu membuat Aluna terdiam. Ia tahu keputusannya meninggalkan pernikahan bukan sesuatu yang kecil. Banyak hati yang terluka, termasuk Reza—pria baik yang pernah menjadi sandaran dalam hidupnya. Namun, ia tak bisa terus berpura-pura menjalani hidup yang tidak sesuai dengan isi hatinya.

“Aku yakin,” jawab Aluna akhirnya. “Tapi aku juga takut… akan banyak konsekuensi dari semua ini.”

Arian tersenyum lembut dan menggenggam tangan Aluna. “Takut itu wajar. Tapi aku ada di sini. Kita akan menghadapi semuanya bersama.”

Aluna membalas genggaman Arian dan menarik napas dalam-dalam. “Reza tidak marah padaku. Tapi aku tahu dia terluka.”

Arian mengangguk pelan. “Reza pria yang kuat… Dia akan menemukan kebahagiaannya sendiri. Dan aku bersyukur dia cukup baik untuk membiarkanmu pergi.”

Mata Aluna kembali berkaca-kaca. “Dia bilang… dia ingin aku bahagia. Dan aku tahu, aku hanya bisa bahagia bersamamu.”

Arian merasakan dadanya menghangat. Momen itu seakan menghapus semua keraguan yang pernah ada. Meski keputusan mereka membawa beban, mereka tahu bahwa cinta ini pantas diperjuangkan.

Beberapa hari berlalu. Kota mulai kembali seperti biasa, tapi kabar tentang pernikahan yang batal masih menjadi perbincangan di lingkungan sosial mereka. Aluna memutuskan untuk menemui keluarganya—membawa kejujuran yang selama ini terpendam.

Di ruang tamu rumahnya, kedua orang tua Aluna menatapnya dengan raut wajah bingung dan kecewa.

“Jadi… kamu benar-benar membatalkan pernikahan itu karena Arian?” tanya sang ibu dengan suara gemetar.

Aluna mengangguk pelan. “Iya, Bu. Aku tahu keputusan ini mengecewakan banyak orang, tapi aku harus jujur pada perasaanku sendiri.”

Ayahnya menghela napas panjang. “Kebahagiaanmu memang yang utama, Aluna… tapi hidup tidak selalu mudah hanya dengan cinta.”

Aluna menatap mereka dengan mata penuh keyakinan. “Aku tahu, Ayah. Tapi aku lebih memilih cinta yang penuh tantangan daripada hidup tanpa rasa sama sekali.”

Keheningan melingkupi ruangan. Akhirnya, sang ibu mendekati Aluna dan menggenggam tangannya. “Kalau itu memang pilihanmu, kami hanya bisa mendukung. Kami ingin kamu bahagia… dengan siapa pun itu.”

Air mata Aluna tumpah lagi, namun kali ini bukan karena luka, melainkan rasa lega. Ia memeluk ibunya erat-erat, merasa beban yang selama ini menghimpitnya mulai terangkat.

Di tempat lain, Arian juga mengalami perbincangan yang sulit dengan Ben.

“Kamu benar-benar menempuh jalan sulit, ya?” ujar Ben sambil menyesap kopi hitamnya.

Arian tersenyum kecil. “Memang sulit. Tapi ini hidupku, Ben. Aku nggak bisa mundur sekarang.”

Ben menepuk bahu Arian. “Kalau gitu, jalani dengan kepala tegak. Jangan biarkan rasa takut merusak apa yang sudah kamu perjuangkan.”

Arian mengangguk penuh keyakinan. “Aku tahu. Aku dan Aluna… kami akhirnya menemukan arah yang benar.”


Malam itu, Arian dan Aluna bertemu di tempat favorit mereka—taman kecil di dekat bukit, tempat mereka dulu sering duduk bersama saat hujan. Namun kali ini, tidak ada lagi rasa takut dan ganjalan.

Arian mengeluarkan gitar tuanya dan mulai memainkan melodi yang pernah menjadi kenangan mereka. Aluna mendengarkan dengan senyum hangat, lalu bergumam mengikuti lirik lagu itu.

“Kamu tahu,” ujar Arian setelah selesai memainkan lagu. “Lagu ini akhirnya punya akhir yang bahagia.”

Aluna tersenyum dan menggenggam tangannya. “Dan kisah kita juga.”

Di bawah langit malam yang bertabur bintang, mereka akhirnya menyadari bahwa meski perjalanan mereka penuh liku, cinta mereka akhirnya membawa mereka ke tempat yang tepat. Mereka telah membuat pilihan yang berat, namun akhirnya mereka memilih satu hal yang pasti— cinta yang tidak lagi ragu atau tersembunyi.

Bab 10: Hujan dan Jawaban

Langit sore itu kembali dipenuhi awan kelabu. Angin dingin bertiup pelan, membawa aroma hujan yang akrab bagi Arian dan Aluna. Mereka duduk berdampingan di bangku taman yang sama—tempat yang dulu menjadi saksi bisu kenangan masa lalu mereka. Tapi kali ini, suasananya berbeda. Tidak ada rasa takut akan kehilangan, tidak ada rahasia yang membebani hati mereka. Yang tersisa hanyalah perasaan lega setelah semua keputusan telah diambil.

Arian menatap langit yang mulai gerimis. “Sepertinya hujan akan turun lagi.”

Aluna tersenyum kecil. “Biarkan saja. Hujan selalu menjadi bagian dari cerita kita, kan?”

Arian menoleh dan menatap wajah Aluna yang teduh. “Dan aku bersyukur… cerita kita akhirnya menemukan akhir yang seharusnya.”

Aluna mengangguk pelan. “Tapi aku merasa ini bukan akhir, Arian. Ini baru permulaan.”

Arian meraih tangan Aluna dan menggenggamnya erat. “Kamu benar. Kita sudah melalui banyak hal untuk sampai ke sini. Aku tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini.”

Aluna tersenyum penuh kehangatan. “Aku juga.”


Hujan akhirnya turun, deras namun lembut seperti melodi yang akrab di telinga mereka. Namun, tidak ada satu pun dari mereka yang beranjak. Justru, Aluna berdiri dan merentangkan tangannya, membiarkan hujan membasahi tubuhnya.

“Aku selalu suka hujan,” kata Aluna dengan suara yang nyaris tenggelam dalam rintik-rintik. “Karena di bawah hujan, aku selalu merasa bebas.”

Arian bangkit dan berdiri di sampingnya. “Dan aku selalu suka hujan karena… di bawah hujan, aku selalu menemukan kamu.”

Aluna menoleh, menatap dalam-dalam ke mata Arian. Di antara mereka, tidak ada lagi kebimbangan. Arian mendekat, dan di tengah hujan yang turun seperti simfoni alam, ia mencium Aluna dengan lembut—mencium semua rasa rindu, cinta, dan luka yang akhirnya terobati.

Setelah beberapa saat, keduanya tertawa kecil, menikmati momen yang terasa seperti adegan dalam sebuah film romantis. Hujan tak lagi menjadi tanda perpisahan, melainkan simbol sebuah awal baru.

Arian menggenggam tangan Aluna lebih erat dan berkata dengan suara yang penuh keteguhan, “Aluna… aku ingin menghabiskan sisa hidupku bersamamu. Bukan hanya dalam lagu, bukan hanya dalam kenangan. Tapi dalam kenyataan.”

Mata Aluna berbinar. “Arian… aku juga ingin hal yang sama.”

Hujan masih terus turun, tetapi hati mereka kini lebih hangat daripada sebelumnya. Mereka berjalan perlahan menembus hujan, meninggalkan taman kecil itu dengan perasaan penuh keyakinan.

Beberapa waktu kemudian, di sebuah kafe kecil yang akrab bagi mereka, lagu lama yang dulu menjadi pengiring kenangan mereka kembali diputar. Tapi kali ini, lagu itu tak lagi terasa pahit. Melodi itu menjadi pengingat bahwa cinta sejati bisa bertahan melewati waktu, meski penuh cobaan.

Arian tersenyum dan berkata, “Aku ingin lagu ini menjadi soundtrack hidup kita. Bukan sebagai lagu perpisahan, tapi sebagai lagu tentang kita.”

Aluna mengangguk setuju. “Dan setiap hujan turun, aku akan selalu mengingat bahwa cinta kita bisa mengalahkan segalanya.”

Di luar, hujan terus turun. Tapi untuk pertama kalinya, hujan itu membawa jawaban—jawaban tentang rasa yang tak pernah usai dan keputusan yang akhirnya membawa mereka pada kebahagiaan yang sesungguhnya.

Di tengah derasnya hujan, mereka tahu bahwa kisah mereka bukan lagi tentang luka masa lalu, melainkan tentang harapan baru yang tumbuh di atas cinta yang tulus. Kini, “lagu kenangan di tengah hujan” mereka memiliki akhir yang bahagia—sebuah kisah cinta yang akhirnya menemukan rumahnya.

Novel ini ditulis oleh Evi Fauzi, Penulis dari Novel Singkat. Baca juga novel singkat Surat Surat yang Tak Terkirim.

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

    Leave a Reply

    Your email address will not be published. Required fields are marked *