Novel Singkat Taman Rahasia Para Penghapus
Novel Singkat Taman Rahasia Para Penghapus

Novel Singkat: Taman Rahasia Para Penghapus

Bab 1: Undangan ke Taman yang Terlupakan

Senja tidak percaya hal-hal mistis. Ia tidak pernah takut hantu, tidak percaya takdir, apalagi soal tempat-tempat tersembunyi yang katanya hanya muncul untuk orang-orang tertentu. Tapi undangan yang ia terima pagi ini membuatnya duduk terdiam di pinggir ranjang lebih lama dari biasanya.

Sepotong kertas lusuh, ditulis tangan dengan tinta ungu keabu-abuan yang mulai pudar, seolah terlalu lama disimpan dalam waktu.

“Datanglah ke koordinat ini sebelum matahari tenggelam. Jangan ajak siapa pun. Bawa hanya satu hal: kenangan yang ingin kau buang.”

Dan di bawahnya, ada sesuatu yang membuat dada Senja menegang. Coretan yang sederhana namun penuh luka: —R.

R?

Nama itu menghantam pikirannya seperti ombak gelap dari masa lalu.

Ruvan.

Nama yang dulu hanya cukup disebut satu huruf, karena rasanya sudah terlalu berat untuk diucapkan utuh. Nama yang sejak dua tahun lalu selalu ia hindari, ia kubur di antara lagu-lagu sendu, dan mimpi buruk yang datang tiap malam.

Dia adalah cinta pertama. Dan juga, luka paling dalam.

Senja mengusap wajahnya. Ia menatap ponselnya—sinyal hilang. Laptopnya menyala tapi WiFi tak tersambung. Bahkan jam dinding di kamarnya terasa… diam.

Sesuatu terasa aneh. Tapi bukan aneh yang membuat takut, melainkan seperti tarikan halus dari sesuatu yang ia kenal… sesuatu yang dulu hangat, kini tinggal bayang samar.

Koordinat yang tertera di surat itu membawanya ke sebuah lorong tua di antara dua bangunan apartemen usang. Tak ada tanda arah, tak ada penunjuk nama jalan. Hanya satu pintu besi setengah karat di ujung gang, tertutup ranting dan daun yang mengering.

Pintu itu seolah muncul dari dimensi lain—tak cocok dengan suasana kota yang modern. Tidak ada CCTV, tidak ada suara kendaraan, hanya hembusan angin sore dan napasnya yang mulai berat karena jantungnya berdetak terlalu cepat.

Senja meraih gagang pintu dan menariknya perlahan. Dingin. Suara decit berkarat mengiringi langkahnya masuk.

Yang ia lihat di dalam… bukan lagi kota.

Taman itu seperti potongan dunia lain. Rumputnya biru kehijauan, bunga-bunga berpendar lembut seperti lampu senja. Udara di sana terlalu tenang, seperti ruang yang tak tersentuh oleh waktu. Dan di tengah taman, berdiri lima sosok berjubah gelap tanpa wajah. Hanya satu yang berdiri lebih dekat darinya, seolah memang menunggunya.

Sosok itu melangkah perlahan. Langkahnya ringan, tapi menyisakan bekas pada tanah seperti bayangan kabur yang hidup. Ia berhenti hanya beberapa meter dari Senja dan bicara dengan suara dalam, tapi tak menggema.

“Kau membawa kenangan yang ingin dibuang?”

Senja ragu. Mulutnya kering. Tapi entah mengapa, hatinya menjawab lebih dulu daripada pikirannya.

“Iya,” ucapnya. “Namanya Ruvan.”

Sosok itu mengangguk. Ia membuka tangan kanannya. “Berikan padaku kenangan itu. Tapi sekali kau lepaskan, ia tak bisa kembali. Tak ada versi ulang. Tak ada pintu kedua.”

“Apa aku… akan melupakannya sepenuhnya?” tanya Senja, suaranya nyaris pecah.

“Bukan hanya lupa. Tapi tidak akan pernah ada. Seolah dia tidak pernah menyentuh hidupmu.”

Senja menghela napas. Ia melihat sekeliling—taman ini terlalu indah untuk dipercaya. Tapi juga terlalu nyata untuk jadi mimpi.

“Bagaimana caranya?”

“Sentuh telapak tanganku. Fokus pada satu momen yang paling ingin kau hapus. Maka kami akan menyedotnya keluar.”

Ia menatap tangan itu.

Seandainya ia menghapus semua—semua tawa, semua pelukan, semua rasa sakit di dada saat malam terasa terlalu sunyi—apa yang akan tersisa darinya?

Tapi ia sudah sampai di sini.

Dengan tangan bergetar, Senja menyentuh telapak si Penghapus.

Dan saat itu juga, tubuhnya seperti terseret masuk ke dalam kenangan paling gelap.

Ia kembali pada hari di mana Ruvan menghilang. Hari hujan deras, suaranya yang bilang: “Aku harus pergi, Senja. Maaf, aku bukan orang yang kau pikirkan.” Wajahnya saat itu pucat, matanya kosong, seperti sudah lama mati di dalam.

Semua itu kembali ia rasakan dalam sekali sentuhan. Lalu… hilang.

Seperti asap.

Seperti Ruvan tak pernah ada.

Ia membuka mata dan menarik tangannya. Dadanya ringan. Otaknya kosong. Bahkan… ia tak ingat kenapa ia datang ke tempat ini.

Si Penghapus menunduk. “Sudah selesai. Silakan kembali.”

Tapi Senja justru menatap pria itu lebih lama. Ada sesuatu yang… aneh.

Tatapan mata itu. Gerakan tangannya. Cara ia berdiri sedikit miring ke kiri—seperti Ruvan.

Dan sebelum ia sempat berpaling, Senja bertanya pelan, “Kita… pernah kenal sebelumnya?”

Sosok itu diam sesaat. Tapi tepat saat Senja menatap lebih dalam, ia melihatnya—sekelebat bayangan wajah lelaki yang dulu sangat ia cintai, bersembunyi di balik jubah hitam itu.

Senja keluar dari taman dengan tubuh bergetar. Ia sudah tak ingat siapa Ruvan. Tapi hatinya—masih berdegup kencang untuk seseorang yang ia rasa pernah memeluknya erat. Seseorang yang kini… hanya bisa ia temui dalam taman yang tak pernah ada di peta.

Dan di balik gerbang yang tertutup kembali, seorang Penghapus berdiri menatap langit jingga.

Tangan kanannya gemetar.
Karena ia baru saja menghapus kenangan… tentang dirinya sendiri.

Bab 2: Jejak yang Tak Bisa Hilang

Sejak kembali dari taman itu, Senja merasa kosong. Tapi bukan seperti lupa hal sepele—ini lebih seperti kehilangan bagian penting dari dirinya sendiri, tanpa tahu apa yang hilang.

Ia duduk di kursi kafe favoritnya, memandangi secangkir cokelat panas yang sudah dingin. Biasanya, tempat ini penuh kenangan. Tapi sekarang, semua terasa datar. Tak ada emosi yang melekat. Orang-orang datang dan pergi seperti gambar kabur dalam mimpi.

“Senja?”

Suara itu membuatnya mendongak. Seorang pria berdiri di depan meja, tinggi, dengan rambut hitam agak berantakan dan mata tajam yang entah kenapa… membuat dadanya nyeri sesaat.

“Aku… boleh duduk?”

“Eh, iya. Maaf, kita… kenal?”

Pria itu tertawa kecil, suara yang entah kenapa seperti gema dari kejauhan.

“Kayaknya kamu nggak ingat aku, ya.”

“Aku emang pelupa akhir-akhir ini,” jawab Senja pelan. “Banyak yang hilang. Tapi nggak tahu apa.”

Pria itu menatapnya lama. Senja bisa lihat ada luka yang belum sembuh di balik senyum kecilnya. Tapi ia nggak bilang apa-apa. Ia cuma memperkenalkan diri:

“Namaku Arven.”

Senja mengangguk. “Aku Senja.”

“Nama yang indah,” katanya sambil menatap mata Senja dalam-dalam. Tapi tidak ada nada menggoda dalam suaranya—hanya rasa kehilangan yang tertahan.

Malam itu, Senja kembali bermimpi. Tapi bukan mimpi seperti biasanya.

Ia berjalan di taman yang sama—taman dengan bunga berpendar dan rumput biru yang bergoyang tanpa angin. Tapi taman itu kini sepi. Tak ada Penghapus. Tak ada suara. Hanya satu kursi kayu di tengah dan satu sosok duduk membelakanginya.

Pria itu menoleh perlahan. Wajahnya hanya setengah terlihat, tapi sorot matanya mengunci jantung Senja. Mata itu… menyedot udara dari dadanya. Ia tidak tahu kenapa, tapi ia ingin menangis.

“Kenapa kau datang lagi?” tanya pria itu dalam mimpi.

“Aku… nggak tahu. Aku cuma jalan, dan tiba di sini,” jawab Senja lirih.

“Jangan terlalu sering ke sini. Taman ini bukan tempat untuk yang sudah melupakan.”

Saat pria itu berdiri dan melangkah menjauh, Senja memanggil, “Tunggu! Siapa kamu?”

Pria itu berhenti. “Kau sudah memilih untuk melupakan. Jangan mencoba mengingat lagi.”

Pagi harinya, Senja terbangun dengan napas memburu. Ia membuka laci meja dan menemukan kertas lusuh itu lagi—undangan ke taman. Padahal sebelumnya, kertas itu sudah ia buang ke tong sampah.

Tangannya gemetar. Ia tahu betul ini bukan kebetulan.

Di hari yang sama, Arven kembali muncul. Kali ini, ia menunggu di halte tempat Senja biasa pulang kerja.

“Ngomong-ngomong,” katanya pelan sambil berjalan di sampingnya. “Pernah ngerasa de javu yang aneh nggak?”

Senja menatapnya. “Maksudnya?”

“Kayak… kamu pernah ketemu seseorang, jatuh cinta sama dia, lalu… kehilangan semuanya. Tapi rasa itu masih ada, walau kamu nggak tahu siapa orangnya.”

Senja berhenti melangkah.

“Kenapa kamu ngomong gitu?”

Arven tersenyum tipis. Tapi tatapan matanya serius. “Karena kamu ngerasain itu sekarang, kan?”

Malamnya, Senja kembali ke taman.

Kali ini, gerbangnya tidak terkunci.

Saat ia melangkah masuk, para Penghapus berdiri diam seperti patung. Tapi salah satu dari mereka—yang ia temui pertama kali—berjalan ke arahnya. Senja tahu, dia yang dulu menyentuhnya. Dia yang menghapus segalanya.

“Aku ingin tanya sesuatu,” ujar Senja pelan.

Sosok berjubah itu tidak menjawab.

“Arven… dia siapa?”

Masih tak ada reaksi.

“Dia nggak asing. Tapi aku juga nggak bisa ingat. Tapi setiap aku deket dia, rasanya kayak jantungku tahu sesuatu yang otakku lupa.”

Penghapus itu akhirnya bicara, “Kau mulai membuka jalur kenanganmu.”

“Aku tidak ingat dia. Tapi aku… mulai jatuh cinta.”

Sosok itu terdiam lama, lalu berkata dengan suara berat, “Cinta itu adalah bentuk ingatan yang paling membandel. Ia tidak butuh nama, tidak butuh wajah. Ia tinggal di napasmu, di cara kau menatap dunia.”

Senja pulang malam itu dengan dada berat.

Ia menatap foto-foto di dinding, dan baru sadar—salah satu bingkai kosong. Ia tidak ingat siapa yang pernah ada di sana. Tapi tangan dan matanya… pernah mencintai sosok itu.

Lalu ia memutar lagu lama yang dulu terasa familiar, dan menangis tanpa tahu kenapa.

Dan jauh di dalam taman yang tak bisa ditemukan siapa pun, seorang Penghapus melepaskan jubahnya untuk pertama kalinya setelah dua tahun.

Wajahnya adalah wajah yang Senja lupakan.

Nama aslinya adalah Ruvan. Tapi kini, ia hanya bisa mencintai Senja… dari dalam bayangan yang tak bisa diingat.

Bab 3: Wajah Tanpa Nama

Senja berdiri di depan cermin kamar, menatap wajahnya sendiri seperti baru pertama kali melihatnya. Ada sesuatu dalam dirinya yang terasa berubah sejak malam itu. Bukan cuma karena ia bertemu Arven, tapi karena hatinya terus berdesir aneh tiap kali suara atau gerakan lelaki itu muncul di kepalanya.

Ia memejamkan mata dan menarik napas panjang.

“Siapa kamu sebenarnya…?” bisiknya pada bayangan samar yang muncul di pikirannya—sosok lelaki berjubah hitam dengan mata kosong, tapi penuh kesedihan. Sosok yang sekarang hidup dalam mimpinya setiap malam, dan dalam detak jantungnya setiap kali ia melihat Arven.

Di pagi yang seharusnya biasa, Senja kembali ke taman. Ia bilang pada dirinya sendiri itu bukan karena rasa penasaran. Tapi kakinya berjalan sendiri, seperti dituntun oleh kenangan yang belum selesai dihapus.

Namun kali ini, taman itu… berbeda.

Langit di atasnya berwarna abu kehijauan. Tanahnya seperti basah oleh sesuatu yang bukan air. Bunga-bunga tak lagi bersinar, melainkan layu dan gelap, seolah kehilangan sumber kehidupan.

Dan tak ada satu pun Penghapus yang berdiri di tempat biasa.

Hanya ada satu kursi kayu… kosong.

Senja melangkah mendekat dengan hati-hati, lalu duduk dan menatap sekeliling. Dunia terasa terbelah di sini. Setengah seperti mimpi, setengah seperti tempat masa kecil yang hancur.

Lalu, dari balik pohon berwarna hitam, seseorang berjalan mendekat.

Dia tidak memakai jubah seperti sebelumnya. Kini, ia berpakaian seperti manusia biasa. Kemeja abu yang sobek di bagian bahu, celana gelap yang terlihat usang. Tapi yang membuat Senja terpaku adalah wajahnya.

Ia tidak bisa mengingat namanya.

Tapi air matanya langsung jatuh begitu melihat sorot mata lelaki itu.

“Kamu…”

Lelaki itu tersenyum kecil, pahit.

“Kamu ingat?”

Senja menggeleng. “Nggak… Tapi aku ngerasa… aku nyakitin kamu.”

“Bukan kamu. Sistem ini,” jawabnya pelan. “Kau datang ke taman ini karena kau ingin menghapus rasa. Tapi cinta… nggak bisa dihapus begitu aja.”

Senja menatap matanya lama. “Kamu bukan Arven, ya?”

Lelaki itu menghela napas. “Arven adalah nama baru yang aku pakai setelah kehilangan namaku. Namaku dulu… Ruvan.”

Dunia seperti runtuh di sekeliling Senja. Nama itu menggema dalam otaknya seperti suara hantu yang sudah lama menunggu untuk dipanggil.

“Ruvan…”

Itu nama yang dulu ia kubur.

Dan kini ia tahu… kenapa Arven terasa terlalu dekat. Karena ia bukan orang baru. Ia adalah kenangan itu sendiri.

“Aku… aku minta maaf…” ucap Senja tergagap. “Aku yang minta kamu dihapus. Aku yang—”

“Kamu ingin bebas dari luka. Aku mengerti. Aku sendiri yang bantu kamu melupakan. Aku sendiri yang tarik kenangan itu keluar dari matamu… dari hatimu.”

Senja menatapnya. “Lalu kenapa kamu balik lagi? Kenapa kamu ngikutin aku sebagai Arven?”

“Karena cinta kita belum selesai.”

Mereka duduk berdua di bangku itu, diam. Angin di taman mulai menderu seperti bisikan makhluk-makhluk yang tak terlihat. Langit berubah lebih gelap. Taman seperti menolak keberadaan dua orang yang seharusnya tidak bersatu lagi.

“Ada sesuatu yang belum kau tahu,” kata Ruvan akhirnya.

“Apa?”

“Aku bukan satu-satunya yang kamu hapus.”

Senja menegang.

“Apa maksudmu?”

Ruvan menatapnya dalam-dalam. “Kamu datang ke taman ini bukan cuma sekali. Kamu sudah tiga kali datang. Kamu terus mencoba melupakan aku. Tapi hati kamu terus menarikku kembali. Kamu selalu kembali, bahkan kalau otakmu melupakanku.”

Senja menutup mulutnya. Tiga kali?

“Kenapa aku nggak inget?”

“Karena ingatanmu… sudah rusak. Sistem penghapusan tidak dirancang untuk bekerja berulang. Sekarang taman ini mulai kacau. Dan kamu mulai lihat serpihan masa lalu dalam mimpi, dalam bayangan, dalam lagu-lagu lama.”

Suara taman mulai gemuruh. Daun-daun terbang seperti badai kecil. Pohon-pohon bergerak. Seolah dunia itu akan runtuh kapan saja.

“Kalau kamu ingat semuanya… taman ini akan musnah,” kata Ruvan pelan. “Karena di dalam ingatanmu ada rahasia tentang asal kami. Tentang kenapa kami diciptakan. Tentang apa yang terjadi pada mereka yang ingin mengingat cinta yang seharusnya dilupakan.”

“Kalau aku ingat semua… kamu juga akan hilang?”

“Entah aku akan musnah… atau kamu akan ikut menjadi sepertiku.”

Senja berdiri, gemetar. “Aku nggak peduli kalau dunia ini runtuh. Tapi aku ingin tau… aku ingin ingat kenapa aku cinta kamu. Aku ingin tahu kenapa aku bisa rela datang ke tempat ini berkali-kali cuma untuk melupakan seseorang yang hatinya masih tinggal di sini.”

Ruvan tersenyum sedih. Ia mengangkat tangannya perlahan.

“Aku bisa bantu kamu ingat. Tapi sekali kamu tahu semuanya… kamu nggak bisa balik.”

Senja menatap tangannya. Untuk sesaat, ia ragu.

Tapi kemudian… ia menyentuhnya.

Dan saat itu, taman runtuh.

Langit sobek seperti kertas. Akar-akar naik ke permukaan, melilit kaki mereka. Teriakan samar terdengar dari berbagai arah. Tapi Senja tak melepaskan tangan Ruvan. Ia menatap wajah itu. Wajah yang dulu membuatnya jatuh, dan bangkit, dan hancur berkali-kali.

Dan perlahan, serpihan-serpihan masa lalu mulai kembali ke pikirannya.

Pelukan pertama mereka. Janji yang tak pernah ditepati. Ciuman terakhir sebelum Ruvan masuk ke taman dan menjadi Penghapus.

Semua kembali.

Dan bersamanya, datang kenyataan… bahwa Ruvan adalah manusia pertama yang memilih menghapus dirinya sendiri demi menyelamatkan taman dari kerusakan.

Dan kini, karena cinta mereka kembali menyatu… taman itu tidak bisa lagi menampung kenangan siapapun.

Bab 4: Kenangan yang Menjadi Luka Dunia

Taman itu runtuh bukan seperti gedung yang ambruk. Ia hancur perlahan, seperti mimpi buruk yang tak ingin bangun. Akar-akar di tanah mulai memudar jadi debu, bunga-bunga kehilangan warna, dan langit di atas Senja serta Ruvan merekah seperti kaca retak yang menganga.

Senja berdiri mematung di tengah pusaran kehancuran itu, masih menggenggam tangan Ruvan.

“Kita… sedang memusnahkan tempat ini,” bisik Senja.

“Bukan kita,” jawab Ruvan pelan. “Kamu.”

Ketika semua kenangan itu kembali—tentang cinta mereka, tentang malam terakhir Ruvan sebagai manusia, tentang pengorbanannya menjadi Penghapus pertama—taman tak lagi mampu menampung beratnya. Sistem yang menjaga ilusi melupakan jadi lumpuh. Dan para Penghapus lain satu per satu mulai hilang bentuknya, berubah menjadi bayangan kosong, lalu larut ke udara.

“Apa yang terjadi sama mereka?” tanya Senja lirih.

“Mereka tidak pernah benar-benar ada. Mereka diciptakan dari kenangan orang-orang yang tak sanggup menghadapi rasa sakit. Begitu kamu ingat aku, kamu ingat asal kami semua. Dan karena kamu memilih untuk tidak lagi lupa… tempat ini tidak punya alasan untuk ada.”

Tiba-tiba, bumi bergetar. Tapi bukan tanah taman yang goyah—melainkan dunia nyata.

Senja terlempar dari pusaran cahaya. Saat matanya terbuka, ia sudah kembali ke apartemennya.

Tapi sesuatu terasa sangat salah.

Ia keluar kamar. Dunia di luar jendelanya… kacau. Orang-orang berjalan dengan wajah bingung, sebagian menangis, sebagian marah. Jalanan dipenuhi poster-poster lama yang tiba-tiba muncul. Lagu-lagu lama diputar dari speaker kota tanpa alasan. Dan suara di kepalanya berkata:

“Kenangan orang-orang sedang kembali, secara paksa.”

Senja turun ke jalan dan melihat seorang anak kecil memeluk seorang wanita sambil berkata, “Mama, kenapa dulu Mama tinggalin aku?”
Wanita itu membeku. Matanya kosong. Lalu ia menangis keras, seolah ingatan itu datang bagai pukulan keras ke kepala.

Di sudut taman kota, seorang pria tua memeluk dirinya sendiri sambil berteriak, “Mereka sudah mati! Aku ingat sekarang! Aku ingat semuanya!”

Senja mulai panik. Ini bukan hanya tentang dirinya dan Ruvan. Ini tentang seluruh dunia yang mulai mengingat rasa sakit yang seharusnya terkunci selamanya.

Ruvan muncul di balik kerumunan, mengenakan kembali jubah hitamnya.

“Kenapa kamu di sini?” tanya Senja.

“Karena batas antara taman dan dunia sudah runtuh. Sekarang, aku bisa berada di dunia ini. Tapi dengan harga mahal.”

“Apa maksudmu?”

“Aku bukan lagi Penghapus. Tapi aku juga bukan manusia utuh. Aku… hanya kenangan hidup yang kamu pertahankan.”

Senja menatap matanya. Tatapan yang kini lebih sendu dari biasanya.

“Kalau kamu hanya hidup dari ingatanku… apa yang terjadi kalau aku lupa kamu lagi?”

“Aku akan lenyap. Tapi bukan hanya aku. Seluruh dunia akan kembali kacau. Karena sekarang aku adalah kunci.”

“Kunci apa?”

“Kunci asal mula para Penghapus.”

Ruvan menarik napas panjang, seolah mengumpulkan keberanian.

“Aku adalah eksperimen pertama. Dulu, manusia menciptakan taman ini agar orang bisa menghapus trauma. Tapi dibalik itu, taman ini digunakan untuk mengumpulkan fragmen kenangan yang paling dalam, untuk menciptakan makhluk-makhluk seperti aku.”

Senja memicingkan mata. “Kamu… bukan sepenuhnya manusia?”

“Tidak lagi. Aku gabungan dari puluhan fragmen cinta yang gagal. Aku dibentuk dari kenangan-kenangan yang dibuang—dan kamu adalah satu dari sedikit orang yang pernah mengingatku utuh.”

Senja mundur selangkah.

“Jadi semua cinta yang aku punya ke kamu…”

“Adalah nyata. Tapi juga… bukan cuma milikmu. Aku adalah bagian dari banyak cinta yang patah. Tapi hanya kamu yang pernah datang tiga kali, berusaha melupakan, dan tetap kembali.”

Senja merasa napasnya tercekat. Ia ingin lari, tapi jantungnya menolak. Ia ingin marah, tapi matanya justru basah.

“Kalau kamu gabungan dari banyak cinta… kenapa kamu pilih bertahan untuk aku?”

“Karena di antara semua ingatan yang pernah aku rasakan… rasa sakitmu yang paling jujur.”

Tiba-tiba, angin menggila. Cahaya menyilaukan muncul di langit—tanda bahwa taman benar-benar mulai lenyap.

Dan semua yang pernah dihapus, kini mulai muncul tanpa filter.

Senja melihat temannya yang dulu bunuh diri. Ia muncul di sudut jalan, tersenyum padanya sejenak, lalu menghilang. Ia melihat ayahnya, yang dulu pergi tanpa alasan, tiba-tiba muncul dalam bayang cahaya dengan wajah penuh penyesalan.

Dan di tengah semua itu, Ruvan berkata pelan, “Kamu harus pilih, Senja. Pertahankan aku… dan biarkan dunia tenggelam dalam kenangan. Atau hapus aku sekali lagi, dan kunci kembali taman ini.”

Senja menatapnya.

Hatinya berteriak. Tapi logikanya mengguncang. Ia tahu, tidak bisa punya keduanya.

Dan kali ini… keputusan akan mengubah segalanya.

Bab 5: Pilihan yang Tidak Menyelamatkan Siapa-Siapa

Senja berdiri di tengah kota yang kini nyaris seperti mimpi buruk yang hidup. Orang-orang menangis di jalan, mengigau tentang masa lalu yang tiba-tiba muncul. Seorang wanita meraung sambil memeluk boneka anaknya yang sudah meninggal bertahun-tahun lalu. Seorang pria berlutut di atas aspal, menatap langit, berteriak menyebut nama kekasih yang bunuh diri karena ia selingkuh.

Dan di tengah itu semua, Ruvan masih berdiri. Ia tak bergerak. Tatapannya tertuju hanya pada Senja.

“Kita nggak bisa menyelamatkan semuanya,” katanya pelan.

“Kamu minta aku pilih… antara kamu atau dunia,” gumam Senja, suaranya nyaris pecah. “Tapi keduanya akan terluka. Gimana aku bisa milih?”

“Kamu harus.”

Langkah-langkah kaki terdengar dari ujung jalan. Tiga sosok berjubah hitam muncul, wajah mereka tidak jelas, hanya bayangan kabur. Mereka bukan Penghapus biasa. Mereka adalah Pemulih—entitas terakhir yang muncul jika taman benar-benar berada di ambang kehancuran.

Salah satu dari mereka menunjuk ke arah Ruvan. Suaranya serak dan berat.

“Kau seharusnya tidak kembali.”

“Aku tidak kembali,” jawab Ruvan tenang. “Aku dipanggil. Oleh cinta.”

“Cinta itu racun jika ia membangunkan luka dunia.”

Pemulih lain membuka gulungan kertas dari tubuhnya. Di sana tertera nama-nama. Nama-nama orang yang selama ini membuang kenangannya ke taman. Nama-nama yang kini sedang tersiksa karena semuanya kembali tanpa filter.

Dan di urutan paling atas, ada satu nama yang membuat Senja kaku.

Senja Mardika.

“Semua ini dimulai dari kamu,” ucap salah satu Pemulih. “Kamu adalah pintu pertama yang membuka jalur balik bagi kenangan yang seharusnya hilang.”

Senja mundur setapak, tubuhnya gemetar.

“Aku cuma… aku cuma mau melupakan. Aku cuma pengin hidup tenang.”

“Dan kamu datang lagi. Berkali-kali. Melanggar perjanjian.”

Ruvan melangkah maju, melindungi Senja dengan tubuhnya.

“Jangan salahkan dia. Dia hanya ingin mencintai tanpa sakit.”

“Tidak ada cinta tanpa luka,” jawab Pemulih serentak.

Tiba-tiba, tanah di bawah mereka retak. Bukan seperti gempa, tapi seperti dunia nyata dan taman yang mulai menyatu. Langit jadi ungu kehijauan. Bangunan mulai melengkung seperti lukisan Salvador Dali. Waktu tidak berjalan lurus lagi. Detik-detik terasa seperti ditarik, lalu dilepas, lalu ditarik lagi.

Dan Senja tahu, waktu mereka tidak banyak.

“Katakan apa yang harus aku lakukan…” katanya pelan. “Kalau aku hapus kamu lagi… apakah dunia akan tenang?”

Ruvan menunduk.

“Iya. Karena kamu adalah pintu. Kamu adalah pengingat pertama. Dan aku adalah bayangan yang keluar dari pintu itu.”

“Tapi kalau aku ingat kamu…?”

“Dunia akan belajar menerima semua kenangan yang pernah mereka buang. Mereka akan mengingat, merasa sakit… tapi juga mungkin sembuh. Tapi harganya mahal. Mungkin akan banyak yang kehilangan akal. Banyak yang tidak kuat.”

Senja menutup mata.

Bayangan-bayangan masa lalu datang menghantamnya.

Ruvan mencium dahinya di tepi danau.

Ruvan berkata, “Kalau suatu hari kamu lupa aku, aku akan datang lagi. Karena cinta seharusnya selalu menemukan jalannya pulang.”

Ruvan… yang dia pikir hanya mimpi.

Ternyata nyata.

Dan sekarang ia diminta untuk memilih… untuk menghapus lelaki yang paling ia cinta, demi orang-orang yang tidak akan pernah tahu pengorbanannya.

“Aku tidak ingin kehilangan kamu lagi,” kata Senja pelan.

“Tapi kamu juga tidak ingin dunia kehilangan kewarasannya,” sahut Ruvan, perlahan mendekat dan menyentuh pipinya.

“Lalu… kenapa harus aku yang menanggung semua ini?” isak Senja.

“Karena kamu satu-satunya yang cukup kuat untuk mengingat semuanya dan masih tetap bertahan.”

Para Pemulih sudah mulai mendekat.

Waktu hanya tinggal beberapa detik.

Dan saat dunia mulai runtuh dari setiap sisi, Senja menarik napas panjang.

“Aku tidak akan menghapusmu.”

Ruvan terpaku.

“Aku akan mengingat. Aku akan menyimpan semuanya. Luka, bahagia, dan semua alasan kenapa aku jatuh cinta pada kamu.”

Dunia pecah.

Langit terbuka seperti halaman buku tua yang disobek paksa. Orang-orang terdiam. Waktu berhenti. Para Pemulih membeku.

Dan dari tengah kehancuran itu, satu cahaya muncul—cahaya kecil, berasal dari dada Senja.

Itu bukan sihir. Itu kenangan.

Satu-satunya hal yang bertahan dari apapun.

Dalam kediaman semesta yang beku itu, Ruvan tersenyum.

“Kamu menyelamatkanku… tapi juga menyelamatkan mereka.”

“Aku nggak tahu apa yang terjadi selanjutnya.”

“Tidak ada yang tahu. Tapi kita bisa bangun dunia baru dari kenangan yang tidak lagi disembunyikan.”

Dan begitu cahaya itu meledak perlahan, dunia terlahir ulang.

Bukan dunia yang melupakan, tapi dunia yang menerima.

Namun Senja dan Ruvan… tidak lagi terlihat di mana-mana.

Karena mereka kini hidup di tempat paling rahasia.

Bukan taman…

Tapi ruang kecil dalam ingatan manusia—di mana cinta yang nyaris terhapus menjadi abadi.

Bab 6: Dunia yang Tidak Lagi Melupakan

Senja terbangun di tempat yang tak ia kenali. Sebuah rumah kayu kecil di tepi hutan, dikelilingi kabut tipis dan suara daun berbisik. Udara terasa bersih, terlalu bersih—seolah dunia baru ini belum disentuh oleh kekacauan.

Ia duduk pelan, memegang kepalanya yang berat oleh ingatan.

Bukan karena ia lupa, tapi karena sekarang… ia mengingat semuanya.

Ruvan. Penghapus. Pemulih. Taman. Tiga kali penghapusan. Tiga kali kembali. Cinta yang seharusnya terkunci, tapi ia buka dengan kedua tangan.

Dan sekarang ia harus hidup dengan semua itu.

Di luar rumah, Ruvan duduk di pinggir beranda, memandangi hutan yang kini menggantikan taman. Tak ada langit pecah. Tak ada jubah hitam. Ia tampak lebih manusia. Lebih nyata.

Tapi sorot matanya… belum bebas.

“Kamu bangun,” katanya pelan tanpa menoleh.

Senja duduk di sebelahnya. Mereka hanya diam.

“Dunia ini… beda ya,” gumam Senja.

“Bukan dunia yang berubah. Hanya cara orang menghadapinya.”

“Apa semua orang ingat sekarang?”

Ruvan mengangguk. “Tidak semuanya kuat. Banyak yang terpuruk. Tapi sebagian… mulai berdamai.”

Senja menarik napas panjang. Ada beban yang menempel di dadanya. Ia pikir semuanya akan terasa lebih ringan setelah itu—setelah menyelamatkan dunia dan mencintai kembali.

Tapi ternyata, beban itu justru tumbuh.

Karena ketika semua orang mengingat kembali luka mereka, Senja pun ikut menanggungnya. Ia mulai bisa “merasakan” kenangan orang lain. Tangisan anak yang kehilangan ibunya. Jeritan seseorang yang disiksa dalam masa lalunya. Aroma darah. Isak tawa yang berubah jadi trauma.

Ia tak tahu kenapa.

Tapi seolah, sebagai satu-satunya pintu yang terbuka, semua kenangan itu ikut mengalir ke dalam dirinya.

“Aku… kayak spons,” ucap Senja lirih. “Menyerap semua kenangan orang. Aku bisa rasain mereka. Suaranya, lukanya, semuanya. Bahkan yang nggak aku kenal.”

“Itu karena kamu bukan hanya penyimpan kenanganmu sendiri lagi,” kata Ruvan. “Kamu penyambung.”

“Penyambung apa?”

“Antara mereka yang pernah melupakan, dengan diri mereka yang lama hilang.”

Hari-hari berikutnya terasa kabur. Setiap malam, Senja bermimpi tentang orang asing. Tentang wanita tua yang kehilangan anaknya karena perang. Tentang gadis kecil yang dipaksa melupakan nama aslinya. Tentang pria muda yang dihapus dari sejarah karena memilih cinta yang salah.

Semua wajah, semua nama, semua perasaan itu mengendap dalam dirinya.

Kadang ia terbangun dengan tubuh basah oleh keringat, dadanya sesak, dan suara-suara yang tidak bisa ia keluarkan dengan mulut sendiri.

Dan di pagi hari, Ruvan selalu menemaninya duduk, tanpa banyak tanya.

Sampai suatu malam, tubuh Senja benar-benar kolaps.

Ia jatuh pingsan di tengah halaman. Dan saat ia sadar, ia tidak tahu siapa dirinya.

Ia mengira dirinya adalah Lia, seorang istri yang kehilangan suami karena gempa. Beberapa jam kemudian, ia merasa jadi Maran, seorang anak laki-laki yang dibuang ibunya saat masih bayi. Ingatannya berlipat. Berkeping. Berkabut.

Ia tidak tahu mana yang miliknya, dan mana yang milik orang lain.

Ruvan panik. Ia mencoba menyentuhnya, memanggil namanya.

“Senja… dengar aku…”

Tapi Senja menatapnya asing. “Kamu siapa?”

Ruvan menggigit bibirnya. Dunia ini tidak seharusnya begini. Ia pikir dengan membebaskan taman, mereka bisa menciptakan hidup yang lebih jujur. Tapi ia lupa satu hal:

Kenangan adalah kekuatan. Tapi juga bisa jadi kutukan.

Senja terlalu terbuka. Terlalu dalam. Dan sekarang, dia sedang perlahan hancur karena terlalu banyak membawa luka dunia di dalam kepalanya.

Malam itu, Ruvan menatap langit.

“Aku salah,” katanya pada dirinya sendiri.

Lalu ia bangkit, dan menulis sesuatu di kertas tua dari tas kulitnya.

Keesokan harinya, Senja terbangun di ranjang kayu, sendirian.

Dan di meja, ada surat dari Ruvan.

“Kalau kamu membaca ini, berarti kamu sudah ingat lagi siapa kamu.”
“Aku pergi. Bukan karena aku ingin menghilang, tapi karena kamu butuh ruang untuk menjadi dirimu sendiri.”
“Kamu bukan hanya seseorang yang mencintaiku. Kamu adalah tempat kenangan-kenangan dunia mencari rumah.”
“Dan aku… hanyalah satu dari ratusan cinta yang singgah di hatimu.”
“Tapi ketahuilah, jika kamu pernah merasa kehilangan… aku selalu di dalam ingatanmu yang paling kamu jaga.”
“Ruvan.”

Air mata Senja jatuh tanpa suara.

Ia tidak marah. Tidak juga hancur.

Tapi ia merasa… lebih hidup dari sebelumnya.

Dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia membuka jendela rumah kecil itu, dan berkata pelan ke angin:

“Aku akan belajar hidup… dengan semua ingatan ini. Karena itu satu-satunya cara agar luka tak lagi jadi beban—tapi jadi kekuatan.”

Bab 7: Lelaki yang Pernah Menghapus Segalanya

Sudah dua minggu sejak Ruvan pergi.

Dan selama itu, Senja hidup dalam dunia yang terasa seperti transisi—antara mimpi dan kenyataan, antara luka dan penyembuhan. Rumah kayu kecil itu berubah menjadi tempat singgah bagi orang-orang asing. Bukan karena mereka tahu siapa dia, tapi karena mereka ditarik oleh sesuatu.

Oleh rasa.

Orang-orang datang—mengetuk pintunya tanpa alasan logis, hanya karena merasa… ada sesuatu di sana. Sesuatu yang bisa membuat mereka tenang. Mereka duduk di depan perapian, menceritakan kenangan yang kembali menyakitkan, lalu pergi dengan sedikit beban yang lebih ringan.

Dan Senja hanya mendengar.

Ia tidak memberi saran. Ia tidak menyuruh mereka melupakan. Ia hanya ada di sana. Mendengarkan. Menjadi saksi bagi apa yang tak pernah ingin dilihat dunia lagi.

Dan perlahan, ia mulai mengerti.
Inilah tugasnya sekarang.

Sampai suatu malam, ketika kabut begitu tebal dan cahaya bulan seperti ditelan langit, seseorang datang dengan langkah berat.

Dia mengenakan jas tua, topi fedora gelap, dan membawa koper besar yang penuh cap dari negara-negara yang bahkan tidak ada di peta dunia baru.

Wajahnya dipenuhi bekas luka, dan tatapannya… seperti menyimpan abad-abad yang sudah dilupakan sejarah.

“Senja Mardika,” katanya pelan. “Akhirnya aku menemukanmu.”

Senja menegang.

“Siapa kamu?”

Lelaki itu menaruh kopernya, lalu duduk di bangku kayu tanpa menunggu dipersilakan.

“Namaku Carvel. Aku bukan dari dunia ini. Tapi aku adalah saksi pertama saat taman itu diciptakan.”

Senja mengerutkan kening. “Taman itu… kamu ada sejak awal?”

Carvel mengangguk.

“Aku bukan Penghapus. Aku bukan Pemulih. Aku adalah arsitek awal dari sistem kenangan. Yang dulu percaya bahwa melupakan adalah bentuk penyembuhan tercepat.”

“Jadi… taman itu ciptaanmu?”

“Bukan seluruhnya. Tapi aku yang menanam benih pertama. Aku membangun sistemnya. Aku menciptakan cara agar manusia bisa meninggalkan bagian tergelap dalam diri mereka di satu tempat, lalu kembali ke dunia dengan kepala ringan.”

Senja mulai menggigil. Dunia yang ia pikir sudah cukup gila, ternyata lebih dalam dari yang ia tahu.

“Kalau begitu… kenapa kamu di sini sekarang?”

“Karena sistem itu telah rusak. Dan kamu adalah pusat dari kerusakannya.”

Senja berdiri. “Kalau kamu datang buat menyalahkanku, lebih baik kamu pergi.”

Carvel tersenyum kecil. “Aku tidak menyalahkanmu. Justru aku ingin memberimu pilihan.”

Ia membuka kopernya.

Di dalamnya… bukan barang-barang. Tapi fragmen-fragmen cahaya kecil, seperti potongan mimpi yang dibekukan. Dan di salah satu fragmen itu, Senja melihat dirinya—versi lain, berdiri bersama Ruvan, tertawa di atas padang rumput yang tidak pernah ia datangi sebelumnya.

Itu bukan kenangan. Itu… kemungkinan.

“Ini adalah jalan alternatif,” ujar Carvel. “Versi dunia yang bisa kamu pilih. Jika kamu masuk ke dalam fragmen ini, kamu akan hidup bahagia bersama Ruvan. Tidak ada dunia runtuh. Tidak ada tanggung jawab. Hanya cinta dan damai.”

“Dan dunia di luar?”

“Tidak akan pernah tahu kamu ada. Tapi mereka juga tidak akan mengalami sakit karena kenangan mereka kembali. Semua kembali normal. Seperti taman itu tak pernah ada.”

Senja menatap fragmen itu lama. Hatinya gemetar. Itu… godaan terbesar. Hidup yang utuh bersama Ruvan. Cinta yang tak diganggu luka dunia. Bahagia yang tak harus dibayar mahal.

Tapi ia juga tahu… itu artinya ia menyerah.

“Kalau aku masuk ke sana, siapa yang akan mendengar cerita mereka? Siapa yang akan jadi tempat pulang bagi kenangan yang tak ingin mati?”

“Tidak ada,” jawab Carvel jujur. “Tapi kamu akan tenang.”

Senja memejamkan mata.

Dan dalam sekejap, ia melihat Ruvan dalam pikirannya. Senyumnya. Tangan hangatnya. Tatapan yang selalu bicara tanpa suara. Tapi ia juga melihat anak kecil yang datang ke rumahnya dua hari lalu, menceritakan mimpi tentang ayahnya yang pernah memukulnya, lalu menangis saat pertama kali diingatkan bahwa ia punya hak untuk tidak takut.

Ia tidak bisa tinggalkan itu.

Ia tidak mau tinggalkan itu.

“Aku nggak akan pilih fragmen itu,” ucap Senja akhirnya.

Carvel menatapnya dalam-dalam. Lalu perlahan… tersenyum.

“Bagus. Itu jawaban yang hanya bisa diberikan oleh seseorang yang sudah mengerti arti dari menjadi utuh.”

Ia menutup koper itu dan berdiri.

“Ada satu hal lagi yang harus kamu tahu sebelum aku pergi,” ujarnya.

“Apa?”

“Ruvan tidak pergi begitu saja. Dia sedang mencari pintu lain. Pintu menuju ruang asal semua kenangan. Tempat di mana inti dari taman pertama ditanam. Dan dia mencarimu di sana.”

Senja terdiam.

“Kenapa?”

“Karena dia tahu kamu belum selesai. Karena ada satu kenangan yang belum kamu buka sepenuhnya. Kenangan yang bisa mengubah bukan hanya dunia ini… tapi semua realitas tempat manusia pernah mencintai dan melupakan.”

Carvel melangkah pergi.

Dan Senja hanya bisa berdiri, menggenggam satu kata yang terngiang di telinganya:

“Inti taman.”

Sesuatu yang belum pernah disebutkan sebelumnya.
Sesuatu yang bisa membawa segalanya kembali… atau menghapus cinta selamanya.

Bab 8: Ruang Asal dan Kenangan Pertama

Senja berdiri di tengah kabut pagi yang pekat, tubuhnya dingin meski matahari mulai naik. Di tangannya, ada selembar peta tua yang diberikan Carvel sebelum ia menghilang—peta tanpa arah mata angin, tanpa petunjuk, hanya dipenuhi simbol aneh dan jejak tinta yang bergerak seperti hidup.

Peta itu bukan petunjuk lokasi. Itu adalah pembaca kenangan.

Dan setiap kali Senja menyentuhnya, peta itu berubah bentuk—mengarah pada fragmen kenangan terkuat yang tertanam dalam jiwanya. Fragmen yang belum pernah ia izinkan keluar.

Di sanalah, katanya, Ruang Asal berada.

Perjalanan tidak mudah. Bukan karena jaraknya, tapi karena dunia ini sudah tidak bekerja seperti dulu. Jalan bisa berubah menjadi sungai. Langit bisa pecah di tengah hari. Dan waktu bisa melambat atau melaju semau hati.

Tapi Senja terus melangkah, karena satu nama terus bergema di dalam dirinya.

Ruvan.

Ia tahu, jika Ruvan benar-benar pergi ke Ruang Asal, maka ia sedang mencari kebenaran yang paling berbahaya—asal-usul para Penghapus, dan apa yang terjadi jika semua kenangan dikembalikan ke titik awalnya.

Tiga hari kemudian, Senja sampai di sebuah padang kosong berwarna abu-abu, tanpa suara, tanpa angin. Tidak ada kehidupan di sana. Hanya satu pohon tua berdiri di tengah, daunnya terbuat dari potongan cahaya yang perlahan jatuh satu per satu ke tanah seperti hujan bintang.

Saat Senja mendekat, udara berubah.

Pohon itu… hidup.

Bukan sebagai makhluk, tapi sebagai ingatan kolektif.

Setiap daun adalah satu kenangan yang pernah dibuang oleh manusia sejak awal zaman. Dan saat Senja menyentuh salah satu daun, ia melihat potongan-potongan dunia yang belum pernah ia alami—kenangan seorang ibu kehilangan anak karena perang kuno, seorang lelaki dari masa lampau yang dihukum karena mencintai lawan jenisnya, seorang wanita yang menghapus dirinya agar tak lagi mengingat semua yang pernah ia cintai.

Semua itu membentuk sesuatu yang besar.

Sumber.

“Senja…”

Suaranya terdengar dari balik pohon.

Dan Ruvan muncul, langkahnya lambat, matanya merah. Tapi bukan karena menangis.

Karena ia sudah terlalu dalam menyelami pohon itu.

“Kamu sampai juga,” katanya, lelah.

“Kamu gila datang ke sini sendiri,” jawab Senja dengan napas tercekat.

“Aku harus tahu. Aku harus tahu kenapa aku tercipta. Kenapa taman itu ada. Dan sekarang aku tahu…”

Ia menatap Senja dalam-dalam.

“Kita bukan hanya korban cinta. Kita adalah produk dari ketakutan.”

Pohon di belakang mereka bergetar.

Dan dari akarnya, muncul sosok samar. Wajahnya tidak jelas, tubuhnya dibalut kabut hitam dan serpihan cahaya.

Itu bukan manusia. Bukan juga makhluk. Ia adalah Penjaga Inti—fragmen pertama dari cinta yang paling menyakitkan di dunia. Ia bicara bukan dengan suara, tapi dengan rasa yang langsung menusuk ke dalam kepala Senja dan Ruvan.

“Taman diciptakan dari satu cinta yang terlalu kuat, hingga seluruh dunia ingin melupakannya.”
“Dan dari cinta itu… terbentuklah inti pertama.”
“Kalian… adalah bayangan dari cinta itu.”

Senja tidak mengerti.

“Apa maksudnya kami bayangan?”

Penjaga itu menjawab pelan.

“Kamu, Senja… adalah reinkarnasi dari perempuan yang pernah menjadi pemilik cinta pertama yang dibuang ke taman. Dan Ruvan… adalah pecahan jiwanya.”
“Itulah kenapa kamu terus kembali ke taman.”
“Kenapa kamu tidak bisa melupakan dia meski tiga kali menghapus.”
“Karena kamu sedang jatuh cinta… pada bagian dirimu yang dulu kamu buang sendiri.”

Dunia runtuh dalam sunyi.

Senja mematung. Ruvan mundur perlahan, matanya mulai kabur.

“Kamu… membuang aku?” tanya Ruvan pelan, nyaris tak terdengar.

“Tidak… aku nggak tahu… aku—”

“Dulu, kamu adalah dia. Dan kamu memutuskan untuk melupakan cinta yang terlalu menyakitkan. Tapi rasa itu tidak lenyap. Ia hidup. Menjadi aku.”

“Dan kamu jadi Penghapus… karena aku?”

“Karena kamu… menolak mencintaiku sampai akhir.”

Senja jatuh berlutut. Semua yang ia rasakan selama ini—dekat, jauh, rindu, takut—ternyata bukan hanya karena kehilangan. Tapi karena dosa yang ia bawa dari kehidupan sebelumnya.

Ia menghapus seseorang yang ia ciptakan sendiri.

Dan kini, ia jatuh cinta pada apa yang ia buang.

Pohon kembali bergetar.

Dan Penjaga berkata,

“Jika kamu ingin menebusnya, kamu harus ambil keputusan terakhir.”
“Hancurkan pohon ini… dan bebaskan semua kenangan yang tertanam.”
“Dunia akan hancur sementara. Tapi manusia akan belajar menghadapi luka mereka sendiri.”
“Atau… biarkan pohon hidup. Dan kamu akan kembali pada siklus cinta-terhapus selamanya.”
“Dan Ruvan… akan lenyap, karena cinta yang ditolak tak bisa hidup tanpa pengakuan.”

Senja menatap mata Ruvan.

Ia tahu, ini bukan sekadar cinta lagi. Ini tentang keberanian untuk menghadapi luka pertama… agar luka-luka lain bisa sembuh.

Tangannya terangkat.

Dan untuk pertama kalinya, ia tidak memilih untuk melupakan… tapi menghancurkan pohon itu.

Bukan karena benci. Tapi karena cinta sejati tidak seharusnya hidup di dalam ketakutan.

Saat pohon itu retak dan roboh, cahaya meledak seperti matahari kedua.

Ruvan menatap Senja dengan senyum paling lembut yang pernah ia berikan.

“Kamu ingat semuanya, akhirnya…”

Lalu tubuhnya mulai memudar.

Bukan karena musnah. Tapi karena ia telah selesai.

Dan di tengah kehancuran Ruang Asal, Senja berdiri sendiri—tapi kali ini tidak kosong.

Ia tidak kehilangan cinta itu.

Karena cinta itu… telah kembali ke dalam dirinya.

Dan kini, ia siap membawa cinta itu… ke dunia yang mulai belajar untuk tidak melupakan.

Bab 9: Pohon yang Tumbuh dari Luka

“Kamu gila datang ke sini sendiri,” ucap Senja pelan, langkahnya mendekat, tapi jantungnya justru menjauh—takut dengan apa yang akan ia dengar.

Ruvan berdiri lemah di depan pohon cahaya. Tubuhnya bukan lagi seperti sebelumnya. Sebagian kulitnya memudar, seperti diserap waktu. Matanya sayu, tapi sorotnya masih sama—sorot yang tak pernah ia lihat dari orang lain.

“Aku nggak bisa biarin kamu sendiri di sini,” lanjut Senja, kini berdiri tepat di hadapannya.

Ruvan mengangguk. “Aku harus tahu… dari mana semua ini bermula. Dari mana para Penghapus lahir. Dan kenapa… hanya kamu yang bisa mengingat semua.”

Senja menatap pohon itu. Setiap daunnya masih berjatuhan, pelan-pelan berubah jadi serpihan cahaya lalu hilang.

“Aku pikir taman adalah tempat melupakan. Tapi ternyata, semua kenangan itu tidak hilang. Mereka… disimpan di sini,” bisik Senja.

Ruvan menatap langit yang tak lagi biru. “Iya. Pohon ini bukan hanya tempat asal para Penghapus. Tapi juga tempat lahirnya kenangan pertama manusia yang… terlalu menyakitkan untuk disimpan dalam satu jiwa.”

Ia menunjuk bagian paling bawah pohon, tempat akar menjalar dalam bentuk pusaran.

“Dan di sana… ada inti pertama. Kenangan yang membentuk taman pertama. Kenangan yang menciptakan aku. Dan… menciptakan kamu.”

Senja mematung.

“Apa maksudmu… menciptakan aku?”

Ruvan mendekat. Tangannya menyentuh pundak Senja, lembut, tapi terasa seperti beban berabad-abad.

“Senja… kamu bukan hanya penyambung. Kamu bukan hanya manusia yang ingat terlalu banyak.”

Napasnya berat. Sakit.

“Kamu adalah orang pertama yang pernah datang ke taman, jauh sebelum kamu sadar. Kamu adalah Kenangan Pertama yang tidak pernah mau dilupakan oleh siapa pun. Kamu bukan hanya pengunjung taman.”

“…Aku taman itu?” bisik Senja, nyaris tidak percaya.

Ruvan mengangguk, dan mata Senja mulai membasah.

“Seluruh sistem ini… seluruh para Penghapus… mereka lahir dari fragmen yang dibuang darimu. Saat kamu kecil, kamu menyimpan terlalu banyak luka orang. Kamu menyerap semuanya. Dan dunia… tidak tahu bagaimana mengatasimu. Jadi mereka membagi dirimu.”

“Membagi?”

“Mereka memecah kenanganmu menjadi ribuan bagian. Setiap bagiannya menjadi Penghapus. Dan sisamu… tumbuh menjadi manusia biasa, yang tidak tahu bahwa kamu adalah pusat dari segalanya.”

Senja terdiam. Dunia seperti berhenti bergerak.

Ia mulai mengerti kenapa dirinya selalu bisa merasakan luka orang. Kenapa ia bisa ingat sesuatu yang tidak pernah ia alami. Karena ia memang tidak pernah sepenuhnya “satu”.

Ia adalah tempat di mana kenangan tertua dan tergelap pernah tinggal.

Dan sekarang… ia dihadapkan pada pilihan terakhir.

“Kalau aku masuk ke akar pohon itu…” tanya Senja pelan, “apa yang terjadi?”

“Kamu akan kembali utuh. Semua fragmen akan melebur ke dalam dirimu. Taman akan lenyap. Para Penghapus akan hilang. Dan tidak akan ada lagi tempat untuk melupakan.”

“Dan kamu?”

Ruvan menatapnya dengan senyum pilu. “Aku akan kembali ke tempat asal. Aku adalah bagian dari kamu. Aku tidak bisa tetap ada kalau kamu jadi utuh.”

Air mata Senja jatuh tanpa suara.

“Jadi ini akhirnya?” bisiknya.

“Bukan akhir. Tapi awal dunia tanpa pelarian. Awal dunia yang belajar menghadapi luka, bukan membuangnya.”

Senja memeluk Ruvan. Erat. Seolah dunia belum pecah. Seolah waktu masih bisa dibekukan oleh cinta.

“Kamu tahu aku akan memilih untuk utuh, kan?” bisiknya.

“Iya,” jawab Ruvan lirih. “Karena itulah kenapa aku jatuh cinta sama kamu.”

Dan dengan langkah perlahan, Senja berjalan ke akar pohon.

Setiap langkah membuat tubuhnya makin terang. Setiap napasnya membawa suara-suara: tawa, tangis, teriakan, bisikan rindu, semua kenangan yang dulu dibuang manusia.

Ia menyentuh akar pohon itu.

Dan di saat terakhir, ia menoleh, menatap Ruvan—dan berkata pelan:

“Kalau kamu hanya bagian dari aku… maka kamu akan selalu ada. Bahkan saat dunia lupa.”

Lalu ia menutup matanya.

Dan segalanya… meledak dalam cahaya.

Bab 10: Dunia yang Belajar Mengingat

Tidak ada ledakan.

Tidak ada gemuruh atau langit yang pecah. Ketika Senja menyentuh akar pohon itu, dunia tidak hancur. Ia hanya… berubah.

Seperti embun yang perlahan menghapus debu dari jendela lama, membiarkan cahaya masuk ke dalam ruangan yang sudah terlalu lama gelap.

Senja terbangun di tengah padang rumput yang asing. Matahari hangat menyentuh wajahnya, dan angin berbisik pelan, seolah dunia menyambutnya kembali—bukan sebagai pecahan, tapi sebagai jiwa yang utuh.

Ia duduk perlahan. Tubuhnya ringan. Tidak ada suara kenangan lain di dalam kepalanya. Tidak ada jeritan, tidak ada fragmen asing. Hanya… dirinya sendiri.

Ia tidak tahu berapa lama waktu telah berlalu. Tapi saat ia berjalan menuju perbukitan kecil di kejauhan, ia mulai melihat dunia baru yang tumbuh dari reruntuhan.

Bukan dunia yang sempurna.

Tapi dunia yang belajar.

Orang-orang kini tidak datang ke taman untuk menghapus. Karena taman sudah tidak ada.

Sebagai gantinya, mereka berkumpul. Di tempat-tempat kecil yang dulu sepi. Mereka bercerita, berbagi kenangan. Mereka membentuk komunitas kecil, saling mendengar, saling menguatkan.

Dan di tengah-tengah itu, ada satu nama yang sering disebut dengan lembut:

Senja.

Ia bukan legenda. Ia bukan pahlawan.

Ia hanyalah seseorang yang berani memilih untuk tidak melupakan.

Suatu malam, di bawah langit penuh bintang, Senja duduk sendirian di atas batu datar. Ia menatap langit, lalu menutup matanya.

Dan untuk pertama kalinya, ia memanggil nama yang tidak pernah benar-benar hilang dari dadanya.

“Ruvan…”

Angin bertiup lembut.

Dan untuk sepersekian detik, ia merasakan pelukan yang tidak terlihat.

Hangat. Tenang.

Ia tahu, Ruvan tidak benar-benar pergi. Ia hidup di dalam dirinya—dalam setiap keberanian untuk mencintai meski terluka, dalam setiap senyum yang muncul meski hati pernah patah.

Keesokan harinya, Senja membangun sebuah taman kecil.

Bukan untuk menghapus.

Tapi untuk menyimpan.

Ia menanam bunga untuk setiap kenangan yang pernah datang padanya. Bunga untuk tawa. Bunga untuk duka. Bunga untuk pengkhianatan. Bunga untuk cinta pertama. Dan satu bunga paling dalam—yang ia tanam sendiri di tengah taman—untuk cinta yang tetap tinggal bahkan setelah dunia berubah.

Taman itu kini dikenal sebagai Taman Ingatan.

Tempat di mana orang datang bukan untuk menghilangkan, tapi untuk mengingat dengan damai.

Di sana, orang tidak menangis karena ingin melupakan, tapi karena akhirnya bisa merangkul rasa yang dulu mereka takuti.

Dan Senja?

Ia bukan lagi taman yang menyimpan luka dunia.

Tapi cahaya kecil yang menuntun orang-orang kembali ke diri mereka sendiri.

Karena ia tahu satu hal:

Cinta sejati bukan tentang menghindari luka. Tapi tentang menerima semuanya—dan tetap memilih untuk mencintai.

Akhir dari kisah ini bukan tentang dunia yang sempurna.

Tapi dunia yang akhirnya tidak takut untuk mengingat.

Dan itulah kemenangan yang sesungguhnya.


Selesai.

Novel ini ditulis oleh Evi Fauzi, Penulis dari Novel Singkat. Baca juga novel romantis, petualangan dan fiksi ilmiah lainnya.

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

    Leave a Reply

    Your email address will not be published. Required fields are marked *