Namaku Gayatri. Saat menulis kisah ini, usiaku baru menginjak dua puluh sembilan tahun. Aku bekerja sebagai agen properti di Jakarta, khusus menangani apartemen-apartemen mewah di kawasan pusat kota. Sebuah pekerjaan yang awalnya membuatku bangga, meski sering kali melelahkan. Aku terbiasa menghadapi klien-klien kaya raya, berdandan rapi setiap hari, dan berbicara penuh sopan santun sambil tersenyum ramah.
Selama bertahun-tahun aku mencoba menjalani hidup mandiri dan membantu keluarga sebisaku. Tetapi aku tidak pernah menyangka, semua yang kulakukan ternyata tidak cukup. Tanpa pernah aku ketahui, ayahku terjerat utang dalam jumlah yang tidak kecil. Semua itu dia lakukan demi menyelamatkan usaha kecilnya yang nyaris bangkrut. Namun justru utang itulah yang menjadi awal kisah hidupku berubah.
Suatu sore yang gerimis, aku dipanggil pulang lebih awal ke rumah orang tuaku di pinggiran kota. Di ruang tamu, ayah dan ibu sudah menungguku dengan wajah yang sulit kubaca. Awalnya aku mengira ini hanya tentang usaha keluarga atau mungkin sebuah masalah rumah tangga biasa. Namun saat aku duduk di hadapan mereka, ayah dengan suara berat akhirnya berkata bahwa ia telah berjanji kepada seseorang untuk menikahkan aku sebagai bagian dari penyelesaian utangnya.
Aku benar-benar terdiam. Rasanya seperti petir menyambar di siang hari. Di pikiranku hanya ada satu pertanyaan besar: siapa pria yang akan kunikahi? Ayah hanya menyebut namanya: Nurdin. Seorang pria yang sering kulihat di kantor, salah satu klien paling berpengaruh yang biasa membeli dan menyewakan apartemen dalam jumlah banyak. Aku tahu siapa dia. Aku tahu bahwa dia adalah seorang duda berusia lima puluh tahun, dengan bisnis properti besar, koleksi mobil mewah, dan reputasi sebagai pengusaha yang disegani.
Tentu saja aku tidak siap. Dalam perjalanan pulang ke apartemen kecilku malam itu, aku hanya bisa menangis dalam diam. Rasanya seperti semua rencana hidupku runtuh begitu saja. Aku pernah bermimpi menikah dengan seseorang yang kucintai, membangun rumah kecil yang hangat, dan hidup sederhana tapi penuh cinta. Kenyataan yang kini kuterima sangat jauh dari bayanganku.
Beberapa hari kemudian, persiapan pernikahan berjalan cepat. Semua sudah diatur oleh keluarga Nurdin. Aku hanya tinggal menurut. Gaun, lokasi acara, bahkan daftar tamu sudah diurus. Aku seperti penumpang di mobil yang tidak kukemudikan sendiri. Aku hanya diam menjalani semuanya, sambil menyimpan tangis yang tak pernah benar-benar kering setiap malam.
Hari itu akhirnya datang juga. Aku mengenakan kebaya putih dengan detail renda halus, didandani sedemikian rupa hingga semua orang memuji penampilanku. Namun hanya aku yang tahu, di balik riasan sempurna ini, mataku sembap karena semalaman tak bisa tidur. Ketika prosesi pernikahan berlangsung, aku nyaris tidak berani menatap wajah Nurdin. Suaranya terdengar dalam saat mengucapkan ijab kabul, penuh wibawa namun tetap tenang.
Selesai sudah. Aku resmi menjadi istri Nurdin.
Sepanjang hari, aku mencoba bersikap sebaik mungkin. Banyak tamu datang memberi selamat, beberapa dari mereka bahkan menggodaku sambil tersenyum. Namun hatiku tetap terasa kosong. Dalam benakku, aku hanya ingin cepat berakhir, pulang, dan menenangkan diri.
Malam itu, ketika akhirnya aku berdiri di dalam apartemen baruku di kawasan Thamrin, aku tidak tahu lagi harus merasa apa. Apartemen itu sangat luas dan mewah, jauh lebih indah dari semua unit yang pernah kujual kepada klienku. Lantai marmer putih berkilau, langit-langit tinggi, jendela kaca besar yang menyuguhkan pemandangan Jakarta dari ketinggian. Semua tampak begitu sempurna.
Tapi entah kenapa, hatiku justru terasa sesak.
Di luar jendela, lampu-lampu kota Jakarta berkelip indah, namun tidak mampu menghapus rasa sedih yang masih menyelimuti dadaku. Dalam hati aku hanya bisa berbisik pelan pada diriku sendiri: apakah aku akan bahagia di sini? Ataukah ini hanya awal dari hidup yang penuh penyesalan?
Aku tidak tahu jawabannya saat itu. Yang kutahu, aku sudah menjadi istri seorang pria yang tidak kucintai, demi menyelamatkan keluarga. Dan itu adalah kenyataan yang harus kuterima, bagaimanapun beratnya.
Bab 2
Hari-hari pertama setelah pernikahan seolah berjalan begitu lambat. Setiap pagi aku terbangun di apartemen luas di kawasan Thamrin, dengan pemandangan kota Jakarta yang selalu berkilau. Rasanya seperti tinggal di dunia lain. Apartemen ini dipenuhi dengan furnitur mahal, ornamen artistik, dan wangi segar bunga segar yang selalu diganti setiap hari oleh petugas kebersihan. Semua tampak sempurna, bahkan terlalu sempurna untuk ukuran seorang perempuan biasa sepertiku.
Tapi di balik semua itu, hatiku tetap terasa kosong.
Sejak hari pertama tinggal di sini, aku berusaha menyesuaikan diri. Kamar tidur utama begitu luas dan nyaman, dengan jendela kaca yang membentang dari lantai hingga langit-langit, menyuguhkan panorama kota dari ketinggian. Di ruang tamu, sofa empuk dengan karpet lembut menanti, sementara rak kaca di sudut menampilkan berbagai koleksi kecil yang tampak elegan. Bahkan dapur pun tak kalah indah dengan marmer putih berkilau, seperti majalah dekorasi rumah yang selama ini hanya kubaca untuk mencari inspirasi kerja.
Namun setiap sudut apartemen ini juga terasa dingin. Tidak ada suara tawa atau obrolan hangat seperti di rumah orang tuaku. Di sini segalanya teratur, rapi, bahkan sepi.
Setiap pagi aku bangun lebih awal untuk bersiap ke kantor. Nurdin sudah mengatur semuanya. Di lobi, salah satu mobil mewahnya selalu menungguku, lengkap dengan sopir berseragam yang sigap membukakan pintu. Kadang Rolls Royce hitam dengan kursi kulit yang lembut, kadang BMW putih yang lebih ramping, kadang juga Mercedes yang lega. Semua orang di kantor selalu memandangku dengan iri, seolah aku perempuan paling beruntung di dunia. Mereka tak pernah tahu, di balik senyumku ada hati yang masih memberontak dengan keadaan.
Nurdin sendiri selalu ada di apartemen ketika aku berangkat kerja. Ia hanya menyapa dengan anggukan kecil, lalu kembali sibuk dengan kegiatannya. Kami hampir tidak banyak bicara, seolah kami hanya dua orang asing yang kebetulan tinggal di tempat yang sama. Mungkin ia juga tidak tahu bagaimana harus memperlakukanku, mungkin ia hanya berusaha memberiku ruang untuk beradaptasi. Aku tidak tahu pasti.
Di kantor, aku berusaha bekerja seperti biasa. Menunjukkan unit-unit apartemen kepada calon pembeli, mempersiapkan brosur, menjawab pertanyaan klien. Semuanya seperti biasa, hanya saja kini aku menyandang status yang berbeda. Status itu membuat orang lain memperlakukanku dengan cara berbeda, tapi tak lantas membuatku merasa lebih baik.
Di malam hari, saat kembali ke apartemen, aku selalu mendapati suasana yang sama. Lampu-lampu hangat menyala, udara ruangan sejuk, hidangan makan malam sudah tertata rapi di meja. Kadang Nurdin masih duduk di ruang tamu membaca berkas-berkas pekerjaan. Ia tidak pernah tampak marah atau kasar, tapi juga tidak banyak bicara. Segalanya terasa formal, sopan, dan sepi.
Aku sering berdiri di dekat jendela besar, menatap ribuan lampu kota Jakarta dari atas sini. Dari jauh semua tampak indah, tetapi tetap saja membuatku merasa sendirian. Mungkin aku butuh waktu lebih lama untuk menerima semuanya, untuk benar-benar menganggap tempat ini sebagai rumah, dan untuk bisa melihat Nurdin sebagai seseorang yang lebih dari sekadar pria yang menolong keluargaku.
Malam-malam panjang di apartemen ini membuatku banyak berpikir. Tentang hidup, tentang pilihan yang pernah kubuat, dan tentang jalan yang kini harus kutempuh. Di satu sisi, aku tahu aku tidak bisa kembali ke masa lalu. Di sisi lain, aku juga belum sepenuhnya yakin dengan masa depan.
Yang kupahami hanyalah satu hal: kini aku berada di tengah kehidupan yang serba mewah, dengan segala kenyamanan yang tidak pernah kubayangkan sebelumnya. Tetapi semua itu belum cukup untuk mengisi ruang kosong di dalam hatiku.
Dan mungkin, waktu akan menunjukkan jawaban dari semua pertanyaan yang masih menggantung di benakku.
Bab 3
Waktu berjalan tanpa terasa. Aku mulai terbiasa dengan rutinitas baruku. Setiap pagi mobil mewah sudah menunggu di lobi apartemen untuk mengantarku ke kantor. Setiap sore aku kembali lagi ke apartemen luas itu, melepas penat dengan menyusun laporan dan menatap lampu-lampu kota dari balik jendela. Hari-hariku kini berjalan tenang dan teratur, meski tetap saja terasa asing di hati.
Sampai suatu hari, masa laluku datang tanpa permisi.
Pagi itu aku sedang memandu seorang klien yang ingin melihat-lihat unit apartemen baru di salah satu gedung yang mewah di bilangan Kuningan. Saat langkahku menapaki koridor menuju ruang pamer, aku tiba-tiba berhenti. Pandanganku tertumbuk pada sosok yang sudah lama tidak kulihat, namun tak pernah benar-benar kulupakan.
Aditya.
Nama itu langsung terlintas di kepalaku begitu melihat pria yang berdiri di ujung lorong itu, mengenakan jas rapi, dengan senyum kecil yang masih sama seperti dulu. Dia mantan kekasihku, seseorang yang dulu pernah membuatku percaya pada cinta, hanya untuk akhirnya pergi meninggalkan luka yang sulit kering.
Aku mencoba mengabaikan kehadirannya, melanjutkan tugas seperti biasa, memperkenalkan fasilitas unit dan menjelaskan harga sewa. Namun sesekali aku menangkap tatapannya yang seolah terus mengikuti setiap gerak-gerikku. Tatapan yang membuat langkahku sedikit goyah, meski aku berusaha tampak tenang di hadapan klien.
Hari itu berlalu seperti biasa, namun pikiran tentang Aditya masih melekat di benakku saat aku duduk di kursi mobil dalam perjalanan pulang. Kota Jakarta seperti biasa macet dan bising, namun di dalam mobil semua terasa sunyi. Aku menyandarkan kepala pada kursi kulit lembut, memandangi langit sore yang keemasan. Bayangan Aditya berkelebat lagi di kepalaku, bersama kenangan-kenangan lama yang sudah lama kupendam.
Di satu sisi, aku ingin menepis semua perasaan itu. Bukankah dia yang dulu pergi meninggalkan semua janji-janji manis begitu saja? Bukankah dia yang membuatku pernah merasakan sakit yang tak ingin kurasakan lagi? Tetapi di sisi lain, ada suara kecil dalam hati yang bertanya, apakah aku benar-benar sudah melupakannya?
Malam itu aku berdiri lama di jendela apartemen, menatap kota yang tak pernah tidur. Di bawah sana, ribuan lampu mobil menyala bergerak perlahan, seperti aliran waktu yang terus berjalan tanpa henti. Aku bertanya pada diri sendiri, apakah hidupku saat ini benar-benar seperti yang kuinginkan? Atau apakah aku hanya menjalani semua ini karena keadaan memaksaku begitu?
Di belakangku, apartemen ini tetap terasa sepi meski segala kemewahan memenuhi setiap sudutnya. Suasana hening yang selama ini kuterima sebagai bagian dari konsekuensi pilihanku, tiba-tiba terasa lebih berat malam ini.
Perasaan campur aduk menyelimuti dadaku. Aku tahu, kehidupanku kini berbeda. Aku punya rumah yang indah, mobil-mobil mewah yang setiap hari menjemputku, dan seorang suami yang tak pernah bersikap kasar meski aku masih sering menjaga jarak. Namun bayangan masa lalu seolah kembali menguji keyakinanku, seolah ingin menunjukkan bahwa hati manusia memang tak pernah mudah ditebak.
Malam itu aku tidur lebih larut dari biasanya. Dalam gelap, aku menyadari satu hal: perjalananku untuk menemukan kebahagiaan yang sesungguhnya masih panjang. Dan mungkin, dalam perjalanan itu, aku akan dihadapkan pada pilihan-pilihan yang lebih sulit lagi.
Bab 4
Beberapa hari setelah pertemuan tak terduga itu, tubuhku mulai menunjukkan tanda-tanda kelelahan. Pekerjaan yang menumpuk, pikiran yang terus dipenuhi keraguan, dan perasaan campur aduk yang tidak pernah kutemukan jawabannya seolah menguras seluruh tenagaku.
Awalnya hanya sakit kepala ringan dan tubuh yang terasa lemas. Kupikir itu hanya karena kurang tidur. Aku tetap memaksakan diri bekerja seperti biasa, melayani klien dengan senyum yang sudah terbiasa kupakai seperti topeng. Namun tubuh punya caranya sendiri untuk memberi peringatan. Suatu pagi, aku terbangun dengan demam tinggi dan seluruh tubuh terasa berat.
Hari itu aku tidak pergi ke kantor. Aku hanya berbaring di tempat tidur, menatap langit-langit kamar yang putih polos. Sinar matahari menerobos tipis melalui tirai, tetapi tidak cukup untuk menghangatkan tubuhku yang menggigil. Aku merasa sangat lemah, dan untuk pertama kalinya sejak tinggal di sini, aku merasa benar-benar sendirian.
Sore hari, langkah kaki pelan terdengar mendekat ke kamar. Aku menoleh sedikit ketika pintu terbuka, memperlihatkan Nurdin yang berdiri di ambang pintu dengan wajah tenang. Tanpa banyak bicara, ia masuk dan duduk di sisi tempat tidur. Di tangannya ada semangkuk bubur hangat dan segelas air putih. Ia meletakkannya di meja kecil di samping ranjang, lalu menyentuh dahiku dengan tangan yang terasa hangat.
Hari itu aku melihat sisi lain dari Nurdin yang tidak pernah kusadari sebelumnya. Ia tidak hanya memastikan aku makan dan minum obat, tetapi juga mengganti kompres di dahiku setiap beberapa jam, bahkan mendudukkan diri di kursi dekat tempat tidur sambil membaca dokumen kerjanya untuk memastikan ia ada jika aku membutuhkan sesuatu.
Dalam kondisi tubuh yang lemah, perasaanku jadi lebih peka. Ada ketulusan dalam setiap gerak-geriknya. Ia tidak mengeluh atau menunjukkan kejengkelan sedikit pun, padahal aku sadar aku bukan istri yang hangat atau penuh perhatian selama ini. Ia hanya terus merawatku dengan sabar, seolah itu adalah hal yang wajar bagi seorang suami.
Malam itu aku tertidur dengan tubuh masih terasa panas. Namun kali ini hatiku tidak lagi terasa sepi. Di balik tirai kamar, kota Jakarta tetap bercahaya dengan gemerlap lampu-lampunya. Tapi aku menyadari, di sini, di apartemen ini, ada seseorang yang diam-diam memperhatikanku, merawatku, dan hadir saat aku membutuhkan.
Rasa sesak di dadaku perlahan mulai mengendur. Mungkin untuk pertama kalinya sejak semua ini dimulai, aku merasa ada sedikit kehangatan di balik dinding apartemen yang dingin ini.
Dan di tengah demam yang membuat pikiranku melayang-layang, aku sempat bertanya dalam hati, apakah semua ini pertanda bahwa aku sudah mulai belajar melihat sisi baik dari pernikahan ini? Atau mungkin, tanpa kusadari, aku sedang melangkah pelan-pelan menuju sesuatu yang lebih indah?
Waktu yang akan menjawabnya. Untuk saat ini, aku hanya ingin memejamkan mata dan menikmati sedikit rasa damai yang baru saja kutemukan.
Bab 5
Setelah hari itu, perasaanku terhadap Nurdin perlahan berubah. Ia tetap sama seperti sebelumnya, tenang, sabar, dan tidak banyak bicara. Namun aku mulai melihat setiap perhatiannya sebagai sesuatu yang tulus, bukan sekadar kewajiban seorang suami. Sikapnya yang selalu lembut membuatku merasa sedikit lebih nyaman, bahkan meski aku masih sering merasa canggung.
Hari-hari kami berjalan dengan ritme baru. Di pagi hari, ia memastikan aku sarapan sebelum berangkat kerja. Di sore hari, sopir selalu menjemputku tepat waktu. Sesekali, Nurdin sendiri yang menunggu di mobil, menyapaku dengan senyum ringan dan membukakan pintu. Perhatian-perhatian kecil itu yang tanpa kusadari mulai meluruhkan lapisan dingin di hatiku.
Aku pun mulai merasa lebih ringan setiap kali pulang ke apartemen. Dulu aku selalu merasa terasing di ruangan luas ini, tapi sekarang, aku mulai bisa menyebut tempat ini sebagai rumah. Bahkan kadang aku menemukan diriku diam-diam menunggunya pulang dari kantor, hanya untuk melihat sosoknya kembali hadir di ruang tamu dengan jas yang rapi dan langkah yang tenang.
Namun kenyataan tidak selalu berjalan searah dengan perasaan yang baru saja tumbuh.
Suatu siang, saat sedang makan siang di kafe dekat kantor, aku kembali bertemu Aditya. Ia datang tanpa aba-aba, duduk di meja yang sama, membawa aura percaya diri seperti dulu. Sekali lagi, ia menatapku dengan tatapan yang membuatku ingat akan masa lalu. Senyum kecilnya masih sama, cara bicaranya masih terdengar hangat, seolah waktu tidak pernah memisahkan kami.
Hanya saja, kali ini aku bukan lagi perempuan yang dulu.
Meski aku sudah mencoba mengabaikannya, kata-kata Aditya masih terngiang di kepalaku saat sore menjelang. Ia berbicara tentang penyesalan, tentang kesempatan kedua, tentang keinginannya untuk menebus semua yang telah ia lakukan padaku dulu. Kata-kata itu menusuk pelan, membuka kembali retakan lama yang kupikir sudah tertutup.
Sepanjang perjalanan pulang, pikiranku kacau. Aku duduk diam di kursi mobil, menatap lampu-lampu jalan yang berderet di luar jendela. Bayangan Nurdin menyapa dengan sabar saat aku tiba di apartemen bercampur dengan suara Aditya yang memintaku kembali padanya.
Malam itu aku berdiri lama di balkon, membiarkan angin malam menyapu wajahku. Dari atas sini, jalan-jalan kota terlihat bagaikan garis-garis cahaya yang tak pernah berhenti bergerak. Hatiku juga terasa sama gelisahnya. Ada dua arah yang menarikku, dua jalan yang begitu berbeda.
Di satu sisi ada Nurdin, yang perlahan mulai membuka mataku tentang arti kasih sayang yang tulus. Di sisi lain ada Aditya, yang pernah menghancurkan hatiku namun kini kembali dengan janji-janji baru.
Aku tidak bisa tidur malam itu. Pikiranku penuh dengan pertanyaan. Apakah aku harus mengikuti suara masa lalu yang memanggil, atau tetap bertahan dengan kehidupan baru yang perlahan mulai mengajarkanku arti rumah?
Hati kecilku tahu bahwa jawabannya tidak mudah. Retakan di hati yang selama ini kupendam kembali terasa nyata, seolah menguji keyakinanku untuk tetap melangkah ke depan.
Dan di antara semua kebisuan malam itu, aku hanya bisa berharap waktu akan membawaku pada jawaban yang benar.
Bab 6
Malam demi malam berlalu tanpa aku benar-benar menemukan jawaban yang pasti. Perasaan yang tak menentu terus bercampur di dalam hati. Pagi hari aku masih bisa tersenyum ketika Nurdin menyapaku lembut sebelum aku berangkat kerja, namun begitu melangkah ke luar apartemen, bayangan Aditya selalu datang menghantui.
Seolah masa lalu dan masa kini berebut tempat di dalam pikiranku.
Aku semakin sering termenung di balkon apartemen saat malam tiba. Kota Jakarta tetap berkilau seperti biasa, tetapi aku merasakan kegelisahan yang semakin berat. Seolah ribuan cahaya lampu di bawah sana hanya menambah bising isi kepalaku. Dalam sunyi, aku bertanya pada diriku sendiri: apakah aku benar-benar ingin kembali ke masa lalu? Atau apakah aku sudah cukup belajar untuk melihat apa yang sebenarnya ada di depan mataku sekarang?
Hari itu akhirnya datang juga. Setelah berhari-hari menunda, aku memutuskan untuk mengambil keputusan. Aku tidak ingin terus terjebak dalam keraguan. Aku sudah lelah dengan rasa ragu yang hanya membuatku merasa terombang-ambing.
Malam itu aku berdiri lama di depan jendela kamar, menatap pemandangan kota yang sama seperti malam-malam sebelumnya. Tapi kali ini rasanya berbeda. Ada keyakinan kecil yang mulai tumbuh di dalam hatiku. Aku ingat kembali semua yang kulalui sejak hari pernikahan. Air mata yang kuteteskan, rasa asing yang kualami di rumah ini, perhatian-perhatian kecil yang tanpa kusadari telah meluluhkan hatiku. Semua itu membuatku melihat siapa yang benar-benar ada untukku selama ini.
Nurdin mungkin bukan sosok yang dulu pernah kubayangkan sebagai pendamping hidup. Ia bukan pria muda penuh janji-janji manis seperti Aditya. Namun justru dalam kesederhanaannya, ia memberi rasa aman yang selama ini tak pernah kudapatkan dari siapa pun.
Aku menarik napas panjang. Aku sudah memilih.
Pagi hari, saat matahari baru mulai menyinari gedung-gedung tinggi di Jakarta, aku berdiri di depan meja makan, menatap wajah Nurdin yang seperti biasa duduk dengan tenang. Ada getar kecil di hatiku, tapi aku tahu aku tidak bisa lagi terus diam.
Aku sudah memutuskan untuk bertahan.
Aku sudah memutuskan untuk melihat segala kebaikan yang selama ini kuterima sebagai bagian dari jalanku yang baru.
Hari itu menjadi awal dari langkahku yang lebih mantap. Untuk pertama kalinya sejak hari pernikahan, aku merasa yakin dengan jalan yang kupilih.
Hati kecilku berkata bahwa keputusan ini mungkin bukan yang sempurna, tetapi inilah yang terbaik untukku saat ini.
Dan entah bagaimana, untuk pertama kalinya aku merasa lega.
Bab 7
Waktu terus berjalan, membawa serta perasaan yang perlahan berubah.
Hari-hari di apartemen yang dulu terasa dingin kini mulai terasa berbeda. Aku tidak lagi melihat tempat ini sebagai sekadar bangunan mewah, melainkan sebagai rumah. Setiap pagi aku bangun dengan lebih ringan, menyapa hari dengan senyum kecil, bukan lagi dengan air mata seperti dulu.
Aku juga mulai menemukan diriku menikmati setiap perhatian yang Nurdin berikan. Aku terbiasa dengan cara dia memastikan semua kebutuhanku terpenuhi, cara dia diam-diam menyiapkan mobil favoritku di pagi hari, cara dia menunggu di ruang tamu saat aku pulang kerja. Semua itu tidak pernah diminta, tetapi selalu ada.
Ada ketenangan dalam cara dia hadir dalam hidupku.
Kini aku pun belajar menikmati peran baruku sebagai seorang istri. Kami sesekali berjalan bersama di showroom mobil, melihat-lihat koleksi baru meski hanya sekadar mengobrol ringan. Kadang kami makan malam di restoran kecil di bawah apartemen, kadang hanya duduk berdua di ruang tamu sambil menikmati teh hangat. Semua terasa sederhana, tetapi selalu meninggalkan kesan hangat di hati.
Aku sering berdiri di balkon apartemen saat malam tiba, memandangi kota Jakarta yang gemerlap di bawah sana. Dari ketinggian ini, semuanya tampak begitu indah. Dan di dalam hatiku pun begitu. Indah, meski sederhana. Hangat, meski tidak selalu sempurna.
Aku tidak pernah menyangka, pernikahan yang dulu kutangisi di awal ternyata justru menjadi jalan untuk menemukan makna rumah yang sesungguhnya. Dari seorang pria yang awalnya kuanggap asing, aku belajar tentang ketulusan yang jarang kutemukan. Dari kehidupan yang dulu kupikir hanya sekadar kewajiban, aku belajar tentang penerimaan.
Kini aku tahu, kebahagiaan tidak selalu hadir dalam bentuk yang kita bayangkan. Kadang ia datang dalam wujud yang tak terduga, menguji kita dengan air mata di awal, untuk kemudian memberi kita senyum di akhir.
Dan malam ini, ketika aku duduk di balkon bersama Nurdin, melihat senja perlahan berganti malam, aku merasakan satu hal yang dulu tak pernah ada: damai.
Aku belajar mencintai bukan karena terpaksa, melainkan karena aku akhirnya mampu melihat siapa yang benar-benar ada untukku.
Perjalanan yang dulu penuh tangis, kini berubah menjadi cerita cinta yang utuh.
Dan untuk itu, aku bersyukur.