Skip to content

Baca Novel Singkat Di sini

Menu
  • Home
  • Pilihan Novel
    • Romansa
    • Fiksi Ilmiah
    • Petualangan
  • Tentang Kami
  • Kontak Kami
  • Privacy Policy
  • Disclaimer
  • Terms and Conditions
Menu
Novel Singkat Di Antara Realita yang Pecah

Novel Singkat: Di Antara Realita yang Pecah

Posted on April 18, 2025

Sena, seorang ilustrator lepas yang baru pindah ke kota Velis, mulai menyadari bahwa dunia di sekitarnya perlahan-lahan melupakannya. Bayangannya di cermin tak lagi mengikuti gerakannya, orang-orang tidak mengingat namanya, dan identitasnya mulai menghilang. Ia menemukan bahwa dirinya bukan berasal dari dunia ini, ia adalah anomaly realitas, versi alternatif dari seseorang yang seharusnya telah mati di semesta lain.

Dalam pencariannya untuk memahami siapa dirinya, ia bertemu Kairan, sosok misterius yang mengaku sebagai pemandu dari dunia sebelumnya. Bersama, mereka menyusuri retakan-retakan realitas, menghadapi bayangan Sena sendiri, dan menemukan bahwa eksistensi tidak hanya soal hidup, tapi juga tentang pilihan untuk tetap ada tanpa menyakiti yang lain.

Namun ketika Sena yang kini hidup dengan nama Aven mulai berdamai dengan dirinya, sebuah entitas baru muncul: seorang anak kecil yang membawa bagian terakhir dari masa lalunya. Akankah Aven menyelesaikan kisahnya, atau dunia akan kembali menolak keberadaannya?

Bab 1 – Aku yang Tidak Diingat

Hari itu seharusnya biasa saja.

Langit kota Nevaline masih abu-abu seperti kemarin, suara klakson kendaraan bersahut-sahutan dari bawah apartemen kecilku yang berada di lantai lima. Jam dinding menunjukkan pukul 07.46 saat aku menyeduh kopi sachet terakhir, mengaduknya tanpa semangat. Rasanya pahit dan agak asam, seperti pikiranku pagi itu.

Aku baru seminggu pindah ke kota ini. Tak ada yang istimewa. Kota besar, apartemen mungil, dan pekerjaan baru di penerbitan buku yang bahkan belum sempat kukenal siapa-siapa.

Namun pagi itu, sesuatu aneh terjadi.

Saat aku menatap cermin di kamar, aku membeku.

Bayanganku… tersenyum padaku.
Padahal wajahku datar, bahkan sedikit cemberut karena rambutku kusut parah. Tapi di sana, pantulan diriku—dengan rambut dan baju yang sama—tersenyum. Lalu kembali normal secepat kilat, seolah aku hanya berhalusinasi.

Aku mengusap wajah. “Kurang tidur, Sen,” gumamku, menenangkan diri.
Tapi anehnya, bukan cuma itu.

Saat aku sampai di kantor, lebih aneh lagi—tak ada yang mengenaliku.

Resepsionis yang kemarin menyambutku dengan hangat kini menatapku bingung. “Maaf, kamu siapa?”

“Eh? Saya Sena, editor baru? Saya udah masuk dua hari lalu, Bu Rina yang interview saya…”

Wanita itu memelototiku. “Nggak ada yang namanya Sena di data kami. Kamu yakin nggak salah gedung?”

Aku tertawa kecil, canggung. “Saya kerja di lantai tiga, bagian naskah fiksi.”

Dia tetap tak percaya. Bahkan satpam yang dua hari lalu membantuku membawa koper menatapku seperti aku orang asing. Aku naik ke lantai tiga, penuh keyakinan… dan kekacauan.

Meja tempat aku duduk sudah ditempati orang lain. Ruanganku tidak ada namaku. Dan semua rekan kerja yang sebelumnya sempat ngobrol denganku di pantry… benar-benar tidak mengenaliku.

Seakan aku tidak pernah ada.

Aku pulang ke apartemen dalam kondisi linglung.

Di kamar, aku mengacak-acak koper lamaku, mencoba mencari apa pun yang bisa meyakinkanku bahwa aku tidak gila. Dan di sela tumpukan buku… aku menemukannya.

Satu lembar tiket kereta.

Tertulis:

Pemberangkatan: 21 Januari 2127 – Kota Aetheria
Atas nama: Sena Averille
Tempat duduk: Kapsul A17

Aku menatap tanggal hari ini di ponselku. 14 Maret 2125.

Dua tahun lebih cepat.

Tanganku gemetar memegang tiket itu. Aku tidak pernah ke kota Aetheria. Aku bahkan tidak tahu ada kota dengan nama itu. Dan yang lebih aneh—foto di tiket itu… adalah aku, mengenakan coat hitam yang belum pernah kumiliki.

Apa ini semacam lelucon? Kesalahan cetak? Atau… pertanda sesuatu yang lebih besar?

Pikiran itu belum sempat kuproses saat ketukan terdengar dari pintu apartemen.

Aku menahan napas. Tak ada yang tahu aku tinggal di sini, kecuali manajemen gedung.
Pelan-pelan, aku buka pintu.

Seorang pria berdiri di sana. Umurnya sekitar 25-an, mengenakan hoodie abu-abu dan ransel kecil di punggungnya. Rambutnya agak berantakan tapi matanya… tajam. Seolah melihat langsung ke dalam pikiranku.

“Sen,” katanya pelan.
Aku membeku. “Kamu… siapa?”

Dia menatapku lama, lalu tersenyum tipis. “Namaku Kairan. Dan kamu nggak seharusnya ada di sini.”

“Apa maksudmu?” tanyaku curiga, mundur selangkah.

Dia mengeluarkan sebuah buku kecil lusuh dari ranselnya, membuka halaman tengah, dan menunjukkannya padaku. Aku melihat namaku tertera di sana, lengkap dengan tanggal lahir dan… tanggal kematian.

14 Maret 2123.

Dua tahun yang lalu.

Aku menatapnya, kehilangan kata. “Ini… lelucon?”

Kairan menggeleng. “Dua tahun lalu kamu seharusnya mati dalam sebuah kecelakaan eksperimen waktu. Tapi seseorang menolak melepaskanmu. Itu menciptakan retakan dalam realitas.”
Dia menatapku dalam. “Dan sekarang realitas sedang menolak kamu. Kamu akan perlahan-lahan dilupakan oleh dunia ini. Dihapus.”

Aku menatap tanganku sendiri. Tadi pagi… cermin aneh. Kantor melupakanku. Sekarang… tiket dua tahun ke depan dan seseorang tahu tentang kematianku?

Semuanya mulai terasa… terlalu nyata untuk sekadar ilusi.

Kairan menyimpan bukunya. “Kalau kamu mau tahu kenapa semua ini terjadi, ikut aku. Tapi kamu harus siap… menghadapi sesuatu yang bahkan kamu sendiri mungkin belum siap untuk terima.”

Aku diam. Lalu perlahan mengangguk.

Bab 2 – Tiket Menuju Dunia yang Hilang

Aku mengikuti Kairan tanpa banyak bertanya.

Langkah kami menyusuri lorong apartemen seperti gema di kepalaku sendiri—kosong, sepi, dan penuh tanya. Entah kenapa, aku merasa dunia di sekitarku… semakin sunyi, seolah udara dan waktu mencoba menjauh dariku perlahan.

Kami tiba di lantai dasar. Tidak ada satu pun penghuni yang kulihat, padahal biasanya jam segini orang-orang sibuk berangkat kerja.

“Aku merasa seperti mimpi,” bisikku, lebih pada diri sendiri.

Kairan hanya menoleh sedikit. “Bukan mimpi, tapi juga bukan kenyataan yang kau kenal.”

Aku menggenggam tiket kereta di sakuku—tiket dua tahun ke depan yang entah bagaimana ada di antara barang-barangku. “Jadi… semua ini karena aku tidak seharusnya hidup?”

Kairan berhenti di depan halte kosong. Di belakangnya, jalanan terlihat normal. Tapi tak ada kendaraan. Tak ada suara. Seperti… dunia membeku, tapi bukan secara harfiah. Lebih seperti sedang berpura-pura menjadi dunia.

“Kau pernah merasa dunia ini… aneh?” tanyanya tiba-tiba.

Aku mengangguk pelan. “Sejak kecil. Kadang aku merasa seperti hanya numpang lewat. Seperti semuanya bukan milikku.”

“Itu karena memang bukan.”

Aku menatapnya tajam. “Apa maksudmu? Katanya aku terlibat dalam eksperimen waktu? Tapi aku bahkan bukan ilmuwan.”

Kairan duduk di bangku halte. Ia menghela napas. “Kau bukan subjek utama. Kau hanya penumpang… yang tersesat.”

Ia membuka kembali buku lusuhnya. Kali ini ia menunjukkan halaman dengan gambar sketsa kompleks mesin waktu besar berbentuk kubah, dengan dua kapsul di dalamnya.

“Dua tahun lalu, sebuah proyek bernama Relife Spiral sedang diuji. Tujuannya adalah mengulang satu momen yang paling berarti dalam hidup seseorang. Tapi sistemnya gagal. Dua kapsul kembali—hanya satu yang utuh. Dan kapsul itu… milikmu.”

“Dan orang lain di kapsul kedua?” tanyaku.

Kairan menunduk. “Tidak pernah kembali.”

Aku menelan ludah. “Jadi aku… menyusup ke dunia ini dari masa lalu?”

Kairan menatapku. “Bukan. Kamu datang dari realitas alternatif, bukan hanya waktu berbeda. Kamu bukan dari dunia ini, Sen. Kamu masuk ke semesta ini karena sistem mesin itu panik—dan menempatkanmu di satu-satunya celah: tubuhmu yang telah mati di dunia ini.”

Tubuhku bergetar. “Tapi… itu berarti… aku sekarang menempati jasad seseorang?”

“Tidak,” katanya cepat. “Yang meninggal adalah ‘versi kamu’ di semesta ini. Tapi kamu, dari realitas lain, masih hidup. Dan sekarang dua realitas menolak berbagi. Maka dimulailah… proses penghapusan.”

Aku terdiam. “Aku… tidak ingin menghilang.”

Kairan berdiri, menatapku lekat-lekat. “Satu-satunya cara untuk bertahan, adalah dengan kembali ke titik masuk.”

Aku menatap tiket dalam genggamanku. “Tiket ini…”

“Itu bukan sekadar tiket. Itu adalah penanda jalur retakan waktu yang masih aktif. Jalur yang tersisa. Tapi tidak mudah untuk mencapainya. Dunia ini akan berusaha menghentikanmu.”

Seketika, lampu jalan di dekat halte mulai padam satu per satu.
Langit menjadi lebih gelap—meski belum waktunya malam. Angin berhembus kencang, membawa suara aneh, seperti bisikan. Bulu kudukku meremang.

“Apa itu?” bisikku, melangkah mundur.

“Manifestasi penolakan realitas,” kata Kairan tenang. “Setiap menit kamu tetap di sini, dunia akan mencoba menghancurkan keberadaanmu, Sen.”

Aku menarik napas dalam-dalam, menatap langit yang mulai meretakkan awannya. “Lalu kita mau ke mana?”

Ia menatapku, kali ini dengan ekspresi yang… nyaris sendu. “Kita naik kereta menuju Kota Aetheria. Titik awal retakan.”

Aku menggenggam tiket itu erat. “Apa aku akan tetap jadi diriku setelah itu?”

“Jika kamu berhasil kembali, kamu akan menjadi satu-satunya manusia yang pernah menolak takdir penghapusan. Tapi harga yang harus kau bayar…”

Aku menatapnya. “Apa?”

“…adalah semua orang yang kau kenal sekarang, semua momen, semua perasaan—akan hilang. Kamu akan menjadi orang baru, di dunia yang tidak kamu kenal… tanpa ingatan tentang Kairan, tentang hidup ini. Bahkan mungkin tanpa ingatan tentang dirimu sendiri.”

Aku menatapnya lama. Ada pertanyaan membuncah, tetapi mulutku tak sanggup mengucapkannya.

Karena aku tahu, jauh di dalam diriku, aku sudah punya jawabannya.

Aku lebih takut menghilang dalam diam, daripada hidup tanpa kenangan.

Bab 3 – Kereta Menuju Retakan

Langit Nevaline berubah menjadi jingga kusam, seperti kanvas usang yang dilukis dengan sisa warna dunia.
Kami berlari. Bukan karena dikejar sesuatu yang terlihat—tapi karena waktu terasa makin menipis, seperti pasir dalam jam raksasa yang tak bisa dihentikan.

“Kereta berangkat pukul 18.47,” kata Kairan sambil menatap tiketku. “Tapi stasiun itu… tidak bisa dijangkau seperti biasa.”

Aku menatap arlojiku. 18.12.

“Berarti kita cuma punya 35 menit?”

Kairan mengangguk. “Dan perjalanan ini bukan soal jarak, tapi kesadaran. Hanya mereka yang setengah terhapus yang bisa melihat jalurnya.”

Kami berbelok ke gang kecil di antara dua gedung tinggi. Gang itu awalnya tampak biasa, hingga langkah kami menapaki ubin ke-7. Udara berubah. Bau logam menusuk hidung, dan semua suara kota hilang seketika. Bahkan langkah kami tak menghasilkan gema.

Aku menoleh ke belakang. Jalan masuk gang menghilang.

“Selamat datang di jalur antara realitas,” bisik Kairan.

Lorong di depan kami terus menyempit. Dindingnya dipenuhi jam rusak, semuanya berdetak mundur. Beberapa jam bahkan tidak memiliki jarum. Lalu kami tiba di ujung gang, di mana sebuah stasiun tua berkarat berdiri, dikelilingi kabut ungu yang mengambang seperti asap beku.

Tak ada penumpang lain. Hanya kami.

Kairan menarik nafas dalam. “Stasiun ini hanya muncul untuk mereka yang sedang ‘ditolak’ oleh realitas. Dan kamu, Sena… adalah prioritas tertinggi.”

Aku menggenggam tiket itu erat. Tiba-tiba… suara kereta terdengar dari balik kabut.
Pelan, menggeram rendah, seperti napas makhluk besar.

Kereta itu muncul.

Bukan kereta biasa. Badannya panjang dan ramping, dengan kaca hitam seperti cermin di seluruh sisinya. Di atasnya terdapat deretan angka digital yang terus berubah, seolah kereta ini melintasi waktu, bukan hanya tempat.

Kami menaiki gerbong pertama.

Di dalamnya—kosong. Tapi saat kami duduk, kaca jendelanya tidak memantulkan interior, melainkan memutar ingatan-ingatanku sendiri.

Di sebelah kanan, aku melihat diriku usia 12 tahun, berdiri di depan lukisan dinding kelas, saat aku menangis karena warnanya tumpah.
Di kiri, aku melihat diriku di rumah sakit, memeluk bantal dan menangis diam-diam saat Ayah meninggal.

Aku membeku. “Apa ini…?”

“Kereta ini hanya mau membawamu kalau kau jujur pada semua bagian dari dirimu. Termasuk yang paling kamu tolak,” jawab Kairan pelan.

Aku menarik napas. Lalu sesuatu mengganggu pandanganku.

Di ujung gerbong… ada sosok hitam. Tinggi, tanpa wajah. Tubuhnya kabur seperti kabut. Ia berdiri diam, tapi aku bisa merasa matanya mengawasi kami meski tidak punya wajah. Dan entah kenapa… aku merasa ia pernah muncul dalam mimpiku.

Kairan berdiri. “Itu… Manifestasi utama penolakan.”

“Apa yang harus kita lakukan?” bisikku.

Ia meraih tanganku. “Jangan lari. Hadapi. Dia bagian dari kamu juga.”

Tapi saat aku menatap makhluk itu, hatiku mulai sakit. Bukan fisik, tapi rasa hampa yang luar biasa, seolah semua harapan, cinta, dan makna hidupku direnggut dalam sekejap. Air mataku mengalir tanpa bisa kucegah.

“Aku… nggak pantas hidup,” bisikku.

Sosok itu semakin mendekat, dan suara berbisik terdengar di kepalaku:
“Kamu cuma salinan. Dunia ini bukan milikmu. Biarkan kami menghapusmu agar ia bisa kembali…”

Ia? Siapa “ia”?

Lalu aku sadar.

Selama ini… ada seseorang yang digantikan agar aku bisa hidup. Seseorang yang tempatnya kuambil. Dunia tidak membenciku. Dunia hanya… memperjuangkan dia.

Kairan menunduk. “Dia… versi kamu yang seharusnya hidup di semesta ini. Yang kamu gantikan tanpa sengaja.”

“Kalau begitu… siapa yang harus bertahan?”

Kairan mendekat. “Itu pilihanmu. Tapi jika kamu memilih pergi… semua kenangan, semua rasa… akan lenyap. Termasuk aku.”

Mataku menatapnya. “Kamu… siapa sebenarnya?”

Ia tersenyum tipis. “Aku… bagian dari sistem penyeimbang realitas. Tapi untuk alasan yang aneh, aku… memilih berpihak padamu.”
Napasnya bergetar. “Mungkin karena aku ingin tahu… bagaimana rasanya memilih bukan karena sistem, tapi karena hati.”

Sosok hitam itu kini hanya selangkah dariku. Ia mengulurkan tangan. Di tangannya ada bola cahaya, yang berisi kenangan yang tidak kumiliki—tapi entah mengapa, terasa seperti milikku.

Kairan berbisik, “Kalau kamu ambil itu, kamu akan menggantikan tempatnya secara penuh. Dunia akan menghapus dia. Dan kamu akan hidup… sebagai dia.”

Aku menatap cahaya itu. Lalu beralih pada tiket di tanganku.
Lalu pada wajah Kairan… yang mulai kabur.

Aku harus memilih.
Menjadi milik dunia ini dengan mengambil tempat seseorang.
Atau…
Keluar, dan kehilangan segalanya.

Dan kereta terus melaju ke arah yang tak bisa diputar ulang.

Bab 4 – Aku, Atau Dia

Kereta terus melaju tanpa suara, tapi di dalam diriku, semuanya berisik.

Tanganku gemetar di antara dua pilihan—bola cahaya kenangan, dan tiket kereta yang nyaris hangus oleh panas dari keputusan yang belum kupilih. Sosok hitam itu berdiri tak bergerak, seperti hanya menunggu. Sementara Kairan, duduk tenang, tapi aku tahu… dalam dirinya pun ada sesuatu yang retak.

Aku menatap bola cahaya itu.

Dalam kilat cahaya yang berdenyut lembut, aku melihat hidup yang bukan milikku, tapi terasa seperti potongan puzzle yang pernah hilang dariku.
– Tawa masa kecil dengan orang tua yang utuh.
– Cinta pertama yang tak sempat terjadi.
– Hari kelulusan yang kupandangi dari balik mata orang lain, tapi terasa seperti kenangan sendiri.

Lalu aku menatap Kairan.
Satu-satunya yang ingat aku saat semua melupakanku.
Satu-satunya yang memanggilku Sen ketika dunia mencoba menyebutku bukan siapa-siapa.

“Aku nggak tahu harus pilih yang mana…” bisikku lemah.

Kairan berdiri perlahan. “Itu karena kamu masih punya hati.”
Ia berjalan ke arahku. “Kalau kamu tidak memilikinya, kamu sudah mengambil cahaya itu sejak tadi.”

Aku menatap tiket di tanganku. “Kalau aku pergi… aku akan melupakan semuanya, kan?”

“Iya. Termasuk aku.”
Ia menahan napas, lalu berkata lirih, “Tapi kamu akan hidup. Dengan cara yang benar. Tanpa harus merebut tempat siapa pun.”

Sosok hitam itu mulai bergetar. Ia seperti mulai kehilangan bentuk. Dunia seperti tahu bahwa keputusanku akan segera datang.

“Kalau aku tinggal dan mengambil ini… dia akan benar-benar hilang?” tanyaku.

Kairan mengangguk pelan. “Dia, versi kamu di semesta ini, sedang menunggu. Tapi jika kamu ambil cahaya itu, pintu untuknya tertutup selamanya. Dan kamu akan menjadi dirinya—kamu akan hidup di dunia ini, tapi sebagai dia. Kamu akan menggantikannya secara utuh.”

Aku mengatupkan mulutku.

Karena dalam hatiku, aku tahu… aku ingin hidup. Aku ingin diingat. Aku ingin menyatu dengan dunia ini. Aku ingin cinta. Ingin rumah. Ingin… Kairan.

Tapi jika semua itu harus didapatkan dengan menghapus orang lain yang seharusnya memiliki hidup ini terlebih dulu, apakah itu pantas?

“Sen…” suara Kairan nyaris berbisik. “Aku akan tetap memilihmu. Bahkan kalau kamu nggak ingat aku. Bahkan kalau kamu pergi. Karena hatiku bukan dibentuk dari logika sistem, tapi dari keputusan yang nggak pernah diajarkan siapa pun.”

Aku merasa mataku basah.

Lalu kulangkahkan kaki ke depan. Sosok hitam itu menggigil hebat saat aku mendekat. Cahaya itu berdenyut kian cepat.

Tanganku hampir menyentuhnya.

Namun…
Aku berhenti.

Lalu memutar tubuhku ke arah Kairan.

“Kalau aku memilih untuk keluar… aku akan ke mana?”

Kairan menatapku. “Kamu akan dikirim ke realitas kosong. Sebuah awal baru. Kamu akan kehilangan memori, tapi kamu akan hidup… tanpa harus merebut milik siapa pun.”

“Lalu kamu?”

“Aku tidak bisa ikut.”

“Kenapa?”

“Karena aku terikat pada realitas ini. Aku cuma bisa memandumu… bukan bersamamu.”

Hening.

Seketika, semua kenangan di kaca jendela kereta mulai bergetar. Dunia tahu aku hampir memilih.
Dan untuk pertama kalinya dalam hidupku… aku merasa kuat.

Tanganku merobek tiket itu perlahan.
Kertasnya berpendar sebelum lenyap.
Sosok hitam di ujung gerbong berteriak tanpa suara, lalu meledak menjadi debu hitam yang hilang bersama angin.

Aku menatap Kairan, tersenyum. “Aku nggak akan rebut hidup orang lain. Aku akan cari hidupku sendiri.”

Ia menahan napas. “Kamu yakin?”

Aku mengangguk. “Aku akan kehilangan kamu. Tapi itu bukan alasan untuk jadi egois.”

Kairan tersenyum. “Kalau begitu… sampai jumpa, Sena. Atau siapa pun kamu nanti.”

Cahaya dari langit-langit gerbong membungkus tubuhku. Panas, tapi damai. Waktu berhenti.

Lalu…

Gelap.

Saat aku membuka mata, aku berada di sebuah taman.
Langitnya biru cerah. Angin sejuk. Anak-anak bermain.
Di tangan kiriku, ada gelang kertas bertuliskan nama:

Aven

Aku mengernyit. Entah kenapa, nama itu terasa asing… dan hangat.

Lalu seseorang duduk di bangku taman di depanku.
Seorang pria dengan hoodie abu-abu.
Ia menatapku… dan tersenyum.

“Hai,” katanya. “Kita pernah ketemu?”

Aku menatapnya.
Jantungku berdetak sedikit lebih cepat.
Tak tahu kenapa, aku menjawab:

“Entah kenapa… aku merasa pernah mengenalmu.”

Bab 5 – Dunia yang Tak Mengingat, Tapi Menunggu

Aku tak tahu siapa diriku sekarang.
Yang kutahu hanyalah ini: namaku Aven, aku tinggal di kota kecil bernama Velis, dan dunia ini… terasa terlalu sempurna untuk menjadi kenyataan.

Langitnya terlalu biru. Anginnya terlalu tenang. Bahkan senyum orang-orang terasa terlalu ramah.

Sejak aku terbangun di bangku taman kemarin, semua hal berjalan seolah aku memang milik dunia ini. Aku punya apartemen kecil yang bersih, catatan identitas lengkap, bahkan ada riwayat pekerjaan sebagai guru ilustrasi lepas.

Tapi… di balik itu semua, ada sesuatu yang aneh.

Tidak ada kenangan.
Tidak ada perasaan familiar.
Hanya rutinitas… dan satu bayangan wajah pria dengan hoodie abu-abu yang terus muncul dalam mimpi-mimpiku, menatapku dari kejauhan, tak pernah bicara.

Dia seperti hantu dari hidup yang tidak kumiliki.


Hari ini, aku duduk di kafe pojok yang nyaman. Aku memesan teh hangat dan mulai menggambar. Tanganku bergerak tanpa arahan jelas, seolah otot-otot ini mengingat sesuatu yang otakku tidak.

Lalu… gambar itu jadi: seorang pria berdiri di antara kabut ungu. Ia memegang buku kecil lusuh.

Aku menatapnya lama.

“Aku… pernah melihatmu,” bisikku.

“Siapa?” suara seseorang mengagetkanku.

Aku mendongak. Pria itu berdiri di depan mejaku.
Rambutnya cokelat gelap, matanya tajam tapi tenang, dan… hoodie abu-abu.

Aku terpaku.

“Kita pernah ketemu?” tanyanya.
Nada suaranya… persis seperti mimpi-mimpiku.

“Entah kenapa… aku merasa pernah mengenalmu,” jawabku, hampir tanpa suara.

Dia tersenyum. “Boleh duduk?”

Aku mengangguk. Jantungku berdetak pelan tapi mantap. Seperti tubuhku ingat sesuatu yang pikiranku tolak.

Dia memperkenalkan diri.
“Namaku Kairan.”

Jadi… dia memang nyata? Tapi bagaimana mungkin dia ada di sini? Bukankah dia bagian dari realitas lama?

“Sen…,” bisiknya pelan setelah menatap gambar yang kubuat. “Kau masih menyimpan aku, meski tak sadar.”

Aku mengerutkan alis. “Kamu bilang… Sen?”

Ia terdiam. Menatapku dengan mata penuh sesuatu—penyesalan? Harapan? Kerinduan?

“Aku nggak tahu kamu bisa mengingat sejauh ini. Tapi aku bersyukur. Aku pikir semuanya akan hilang.”

“Kita pernah… bertemu?” tanyaku lirih.

Ia mengangguk. “Di dunia yang sekarang sudah tertutup. Dunia yang tak mau menerimamu.”

Aku terdiam, tenggorokanku tercekat.

“Lalu… kamu siapa di dunia ini?” tanyaku.

Kairan menunduk. “Aku bukan siapa-siapa. Aku… entitas sisa dari realitas lama. Tapi saat kamu memilih jalan yang tak membunuh siapa pun, sistem memberiku satu kesempatan terakhir untuk mengikutimu. Bukan sebagai pemandu. Tapi sebagai… orang biasa.”

Mataku mulai berkaca-kaca, tanpa tahu alasan jelasnya.

“Aku nggak punya memori,” kataku. “Aku bahkan nggak tahu siapa aku sebelum ini. Tapi kenapa saat lihat kamu, aku merasa… tenang?”

Kairan tersenyum sendu. “Karena hatimu yang dulu belum sepenuhnya mati.”

Hening sejenak.
Di luar jendela kafe, hujan mulai turun perlahan. Bukan badai. Bukan kabut. Hanya hujan biasa.

Dan untuk pertama kalinya… aku tidak takut kehilangan.


Sore itu, kami berjalan di trotoar, tanpa arah.

Aku tak lagi ingin tahu segalanya.
Karena kadang… cukup tahu bahwa seseorang tetap memilih bertahan bersamamu, bahkan ketika kamu sudah melupakan semuanya.

Kami tak membicarakan masa lalu. Kami bicara tentang es krim rasa kacang, tentang daun yang menguning, tentang toko buku tua di ujung blok. Hal-hal kecil yang terasa nyata.

Hal-hal kecil yang membentuk cinta, mungkin untuk kedua kalinya.

Dan saat langit mulai gelap, aku menoleh padanya dan bertanya pelan,

“Kalau suatu hari aku ingat semuanya…
Kamu masih akan ada di sini?”

Kairan menatapku dan tersenyum. “Aku nggak pernah ke mana-mana.”

Bab 6 – Retakan di Balik Damai

Sudah tiga minggu sejak aku—Aven—hidup di kota Velis.

Hari-hariku berjalan tenang. Aku mengajar ilustrasi anak-anak, rutin ke taman tiap sore, dan… perlahan mulai dekat dengan Kairan. Kami tidak pernah membahas siapa aku dulu. Tidak pernah memaksa ingatan untuk kembali. Kami hanya hidup di hari ini.

Namun, kedamaian itu mulai terasa aneh.

Terlalu sunyi. Terlalu rapi. Terlalu… teratur.

Pagi ini, aku menyusuri toko buku tua di ujung blok. Seperti biasa, aku mampir ke bagian puisi. Tapi mataku terpaku pada buku bersampul abu-abu tua, dengan judul kecil tak terbaca.

Saat kubuka halaman pertama—semuanya kosong.

Kecuali satu halaman di tengah, yang bertuliskan:

“Aven, ini bukan akhir. Ini hanya ‘sela’.”

Tubuhku menggigil. Tulisan itu jelas. Rapi. Dan… menggunakan tulisan tanganku sendiri.

“Apa-apaan ini…” bisikku, napas mulai tak teratur.

Aku menutup buku itu dan buru-buru meninggalkan toko.


Saat malam tiba, Kairan datang membawakanku martabak ke apartemen. Kami duduk di balkon, memandangi kota yang tenang.

Tapi pikiranku tidak tenang.

“Aku nemu buku aneh di toko tadi,” kataku akhirnya.

Kairan menoleh. “Buku macam apa?”

“Buku kosong. Tapi di tengahnya… ada tulisan. Pakai tanganku. Dan itu buatku takut.”

Kairan terdiam. Lalu berkata pelan, “Berarti realitas ini mulai… mengenalmu.”

Aku mengerutkan alis. “Maksudnya?”

Ia menatap langit. “Dunia ini diciptakan untuk menjadi tempat baru. Aman, bersih, damai. Tapi seperti semua dunia… ia punya kesadaran sendiri. Dan kadang, saat penghuninya berasal dari dunia lain, realitas ini… merasa terganggu.”

Aku menahan napas. “Terganggu gimana?”

“Seperti air yang tenang tapi diberi tetes tinta. Lama-lama warna aslinya berubah. Kamu—dan aku—adalah tinta itu.”

Aku memeluk lutut. “Jadi dunia ini akan… menolak kita lagi?”

“Belum tentu,” kata Kairan cepat. “Tapi tanda-tandanya bisa muncul.”

Aku menatap matanya. “Kamu tahu dari awal ini akan terjadi?”

Ia mengangguk. “Tapi aku nggak mau kamu terbebani. Aku harap kamu bisa hidup tenang. Meskipun itu artinya… aku harus pergi sebelum realitas memicunya lebih cepat.”

Aku memelototinya. “Jangan omong gitu.”

Kairan tersenyum kecil. “Aku janji belum akan pergi. Tapi kalau dunia mulai rusak… kamu harus pilih. Bertahan, atau pindah lagi. Tapi kali ini… kamu mungkin gak dapat tempat baru.”


Malam itu, aku tidur dengan gelisah. Dan seperti dipanggil oleh sesuatu, aku bermimpi.

Dalam mimpiku, aku berdiri di tengah stasiun kosong.
Kereta hitam melaju cepat… tapi tak berhenti.
Di ujung peron, aku melihat seseorang: diriku sendiri.

Tapi dia berbeda. Rambutnya panjang. Matanya tajam. Ia mengenakan coat hitam.
Dan saat aku mendekat, dia berkata:

“Aven adalah nama palsu. Kamu adalah versi yang tersisa. Tapi aku adalah versi yang… tertinggal.”

Aku terbangun dengan napas terengah-engah. Keringat dingin menetes di pelipis. Jam menunjukkan pukul 3:33.

Aku bangkit. Menatap bayanganku di cermin.

Dan untuk pertama kalinya sejak dunia ini menerima aku… bayanganku menatap balik dengan mata yang bukan milikku.

Bab 7 – Bayangan yang Tidak Pergi

Sejak mimpi itu, aku tidak bisa lagi melihat cermin dengan tenang.

Bayangan itu bukan milikku—aku tahu.
Dia menatapku bukan sebagai pantulan, tapi seperti makhluk yang terjebak di balik kaca, menunggu aku lengah agar bisa menggantikanku.

Tiap malam, aku menutup semua cermin. Tapi tiap pagi, salah satunya terbuka kembali, seolah dia ingin berkata: “Aku masih di sini.”


Hari ini, aku memutuskan kembali ke toko buku tua tempat aku menemukan buku dengan tulisan tanganku. Tapi saat tiba di sana, toko itu…

sudah tak ada.

Yang tersisa hanya tembok bata usang dan papan kosong tanpa nama. Bahkan orang-orang yang berjalan melewatinya tampak tak peduli, seolah toko itu tidak pernah ada.

Aku mulai menggigil.

“Sen?”
Sebuah suara memanggilku.

Aku menoleh cepat. Kairan berdiri beberapa meter dariku, napasnya sedikit terburu-buru.

“Kamu ngapain ke sini?” tanyanya.
“Aku nyari toko buku itu. Tapi… hilang,” jawabku lirih.

Wajah Kairan menegang. “Aven, kamu mulai menyentuh lapisan batas. Semakin banyak kamu mencari, semakin tipis realitas ini menahanmu.”

Aku mengernyit. “Maksudmu dunia ini mulai… melemah?”

Ia mengangguk. “Dan bukan cuma itu. Ada sesuatu yang bergerak di balik sistem. Aku rasa… versi lain dari dirimu sedang mencoba kembali.”

“Aku melihatnya,” bisikku. “Di mimpi. Dia bukan aku… tapi dia merasa memiliki hidup ini.”


Malam harinya, aku menulis semua yang kuingat di buku gambar:

  • Kereta hitam yang tidak pernah berhenti.
  • Diriku sendiri dalam versi lain.
  • Suara yang berkata: “Aku adalah versi yang tertinggal.”

Lalu aku membuka internet dan mencari kata kunci:
“realitas paralel”, “anomali eksistensi”, “pantulan hidup”, “stasiun yang tidak bisa dijangkau.”

Dan dari antara hasil pencarian yang kacau, satu artikel muncul:

“Fenomena Cermin Ganda: Orang-orang yang melihat versi mereka sendiri bertindak berbeda di pantulan. Beberapa menghilang. Sebagian kembali bukan sebagai mereka.”

Di bawahnya ada testimoni anonim:
“Dia menatapku dengan tatapan kosong. Aku tahu itu bukan aku. Tapi dia… ingin menjadi aku.”

Aku menelan ludah.


Keesokan harinya, aku menceritakan semua pada Kairan.

Dia menatapku lama. “Kalau benar dia berasal dari realitas yang sudah hancur, dia bisa saja mengendap lewat titik lemahnya: kamu. Karena kamu pintu keluar terakhir.”

Aku menunduk. “Apa yang harus aku lakukan?”

Ia menjawab pelan. “Temui dia. Di tempat di mana dunia dan mimpi menyatu. Di sana kamu bisa bicara padanya.”

“Temui… pantulan diriku?”

“Iya. Tapi kamu harus siap. Kalau kamu kalah… kamu tidak akan kembali. Kamu akan tergantikan.”

Malam itu, aku kembali ke cermin di kamar. Tapi kali ini… aku tidak menutupinya.

“Aku tahu kamu di sana,” bisikku pelan.

Pantulan di cermin tersenyum. Kali ini… dia benar-benar berbeda.
Pupil matanya lebih besar. Senyumnya miring.

Dia angkat tangannya… dan mengetuk dari dalam cermin.

Tiga ketukan.
Dan dunia menjadi gelap.


Aku terbangun di stasiun kosong.

Kabut ungu bergulung pelan. Kereta hitam masih melaju tanpa berhenti. Di peron seberang, dia berdiri—diriku yang lain.

“Apa kamu datang untuk mengambil hidupku?” tanyaku.

Dia tersenyum. “Bukan. Aku datang untuk mengambil kembali apa yang dulu kurelakan.”

“Kamu siapa?”

“Aku adalah kamu… yang tidak dipilih. Yang tertinggal saat dunia menyelamatkan yang lain. Aku adalah penolakan. Aku adalah bayanganmu. Dan kali ini… giliranmu yang lenyap.”

Bab 8 – Aku Melawan Diriku

Dunia di dalam cermin terasa seperti mimpi buruk yang disusun dengan rapi.

Langitnya gelap, tapi tak berbintang. Udara tak berhembus, dan waktu seperti membeku. Stasiun tempatku berdiri terlihat sama seperti dalam mimpiku—sunyi, dingin, dan tidak memiliki pintu keluar.

Di seberang peron, dia berdiri.

Diriku. Tapi bukan aku.
Wajahnya sama, tubuhnya sama, tapi… sorot matanya kosong.
Mata yang menyimpan amarah dan luka yang tak pernah sembuh.

“Kalau kamu adalah aku,” kataku, suaraku goyah, “kenapa kamu ingin menghancurkanku?”

Dia tertawa pelan. “Bukan menghancurkan. Aku hanya ingin kembali. Ini hidupku. Dunia ini. Kairan. Kenangan. Semua ini seharusnya milikku. Tapi kamu… kamu yang dipilih.”

Aku menelan ludah. “Aku tidak pernah minta dipilih. Aku juga tidak tahu kenapa dunia memberiku kesempatan kedua.”

“Karena kamu pengecut!” bentaknya. “Kamu lari! Saat aku bertahan, saat aku mengorbankan segalanya… kamu malah muncul, mengambil tempatku!”

Aku mundur selangkah.

Dia melangkah maju.

“Dunia memanggilku lewat retakan-retakan. Lewat cermin. Lewat mimpi. Dan aku lihat kamu… hidup tenang. Bahagia. Dengan wajahku. Kamu pikir aku bisa diam?”

Tanganku mengepal.

“Aku memang gak sempurna,” kataku pelan. “Tapi aku belajar menerima. Aku gak minta dunia memberiku tempat. Tapi aku berusaha pantas untuk itu.”

Dia menyeringai. “Lucu. Kamu bicara soal pantas, padahal semua yang kamu miliki adalah hasil menggantikan aku.”

Tiba-tiba, suara kereta terdengar.
Kereta hitam yang selalu lewat tanpa berhenti… mengerem perlahan.

Pintu gerbong terbuka. Kabut mengalir dari dalam.
Sosok di depanku melangkah ke arah pintu. Tapi sebelum masuk, dia menoleh padaku.

“Aku akan kembali ke dunia itu. Dan kamu… akan tinggal di sini. Bersama bayangan dan waktu yang tak bergerak.”

Dia masuk ke gerbong.

Aku hanya punya satu pilihan.
Mengikutinya.


Aku masuk ke kereta. Pintu tertutup di belakangku.

Di dalam, tak ada kursi. Hanya cermin di sepanjang dinding.
Cermin-cermin itu memperlihatkan berbagai versi diriku:
– Aku yang hidup miskin.
– Aku yang menikah dengan orang asing.
– Aku yang menjadi seniman terkenal.
– Aku yang bunuh diri di usia 17.

Mataku bergetar.

“Ini semua… aku?”

Suara muncul dari langit-langit. Suara Kairan.

“Ini adalah ruang netral realitas. Tempat semua kemungkinan eksistensimu terekam. Tapi hanya satu yang bisa hidup. Yang lain akan hilang.”

Aku mencari pantulan “diriku” yang tadi—versi lama.
Dia berdiri di ujung gerbong, menatap pantulan kami sendiri.

“Ayo, Aven,” katanya sinis. “Buktikan kalau kamu lebih layak dari aku.”

Lalu dunia bergetar. Cermin meledak satu per satu, menyisakan ruang putih luas.

Dan kami—dua versi yang tak ingin menghilang—berdiri berhadapan.

Dia menyerang lebih dulu. Bukan secara fisik, tapi dengan ingatan.

Gambaran orangtuaku. Masa kecilku. Trauma. Ketakutan ditolak. Luka kehilangan ayah. Semua menyerbu pikiranku dalam hitungan detik.

“Apa kamu pikir kamu pantas hidup tanpa menerima luka ini?” teriaknya.

Aku jatuh berlutut. Tanganku gemetar.

Lalu… aku ingat.
Kairan.
Taman itu.
Tawa yang kurasakan saat makan es krim bersamanya.
Ketulusan yang muncul meski kami tahu aku tak akan mengingat masa lalu.

Aku berdiri perlahan.

“Bukan soal siapa yang lebih layak. Tapi siapa yang memilih untuk hidup tanpa menyakiti. Aku gak datang untuk mengambil hidupmu. Tapi kamu datang untuk menghancurkan hidupku.”

Ia membeku.

Aku mendekat. “Kalau kamu benar-benar aku… kamu tahu kita sama-sama takut. Tapi aku belajar… kalau takut bukan alasan untuk merebut yang bukan milik kita.”

Dia menatapku lama. Lalu… senyumnya memudar.

“Aku… cuma ingin diingat,” bisiknya.

Aku menatapnya dengan mata berkaca-kaca.

“Kalau begitu, jangan jadi aku. Jadilah dirimu sendiri.”

Dunia putih itu perlahan runtuh.

Versi lamaku mulai memudar. Tapi kali ini, ia tidak berteriak, tidak melawan.

Hanya berkata, “Terima kasih… karena tidak melupakan aku.”

Aku terbangun di apartemen. Nafasku tersengal. Keringat membasahi bantal.

Di sisi ranjang… ada gambar kecil tergambar dengan spidol di tangan kiriku.

Dua sosok. Duduk berdampingan di taman. Satu di antaranya hanya bayangan.
Tapi mereka tersenyum.

Dan di cermin kamar… hanya ada aku.

Bab 9 – Kebenaran yang Disembunyikan

Sudah dua hari sejak aku kembali dari ruang antara.

Dunia tampak normal. Cermin tak lagi berbohong. Dan untuk pertama kalinya sejak aku hidup sebagai Aven… aku merasa utuh. Tak sempurna, tapi lengkap. Aku tidak lagi bertanya siapa aku—aku tahu. Aku adalah satu dari banyak kemungkinan, tapi aku memilih untuk bertahan sebagai diriku.

Namun, Kairan mulai menjauh.

Ia masih datang ke apartemen. Masih duduk bersamaku di taman. Tapi ada sesuatu di sorot matanya—seperti seseorang yang sedang bersiap mengucapkan selamat tinggal.

Dan aku membencinya.


Hari itu, saat senja menari di langit, aku menatapnya sambil mencoret-coret buku gambar.

“Kamu kenapa akhir-akhir ini?” tanyaku, mencoba santai.

Ia tersenyum samar. “Kamu udah melewati semuanya. Kamu udah kuat tanpa aku sekarang.”

Aku mengernyit. “Apa maksudmu?”

“Realitas ini udah stabil. Kamu gak lagi ditolak. Aku… udah gak dibutuhkan.”

Aku menatapnya tajam. “Kairan, kamu bukan sistem. Kamu bukan alat. Kamu bukan pemandu. Kamu bagian dari hidupku.”

Ia menghela napas. “Aku memang bagian dari hidupmu, Sen—eh, Aven. Tapi kamu belum tahu semuanya.”

Aku menahan napas.

“Ada yang belum kamu ceritakan?”

Ia mengangguk pelan.

“Aku… bukan cuma pemandu dari realitas lama. Aku diciptakan… dari sisa-sisa keinginan seseorang. Keinginan untuk tidak dilupakan. Untuk dicintai kembali.”

Aku terdiam. Kata-katanya membentur pikiranku seperti palu.

“Siapa yang menciptakanmu?” bisikku.

Ia menunduk. “Kamu.”

“Apa…?”

“Di dunia asalmu. Saat tubuhmu berada di ambang kematian, kesadaranmu menolak pergi. Dalam retakan waktu, kamu menciptakan aku… sebagai jangkar, sebagai alasan untuk bertahan. Aku adalah bentuk keinginanmu untuk diselamatkan. Dan saat kamu dipindahkan ke dunia ini… aku ikut. Karena aku bukan hanya bagian dari sistem. Aku adalah bagian darimu.”

Dunia di sekitarku seperti hening seketika.

“Kamu… perasaan yang tertinggal?” tanyaku pelan.

Ia mengangguk. “Aku dibentuk dari rasa takut, harapan, cinta yang belum selesai, dan keputusan yang belum dibuat.”

Aku menggigit bibir bawahku. “Lalu… kalau kamu pergi… bagian itu juga ikut hilang?”

“Tidak,” katanya cepat. “Kamu sudah kuat sekarang. Bagian itu sudah menyatu denganmu. Tapi aku, sebagai bentuk fisik… tak lagi punya tempat. Aku akan larut dalam dunia ini, menjadi bagian dari langit, angin, daun, hujan. Tapi bukan sebagai ‘Kairan’.”

Mataku mulai panas.

“Jangan pergi…” bisikku.

Ia tersenyum. “Aku gak benar-benar pergi. Aku hanya akan berubah bentuk.”

Tiba-tiba, angin bertiup pelan. Langit jingga mulai redup. Dan di antara cahaya senja, tubuh Kairan mulai bersinar halus, seperti debu cahaya yang siap larut ke udara.

Aku berdiri. Menahan tangannya. “Aku ingin mengingatmu.”

Ia menatapku. “Kamu akan lupa. Tapi jiwamu gak akan pernah kehilangan aku.”

Dan sebelum aku sempat berkata apa pun lagi, ia menarikku ke dalam pelukan hangat. Pelukan terakhir.


Beberapa detik kemudian, aku berdiri sendiri di taman.

Langit tetap tenang. Angin tetap berembus. Tapi ada ruang kecil di dadaku yang terasa kosong, meski tak bisa kujelaskan isinya.

Saat aku kembali ke apartemen, ada gambar di mejaku.

Gambarku sedang duduk di taman, dengan seseorang di sebelahku. Wajahnya buram. Tapi tangan kami saling menggenggam.

Di bawahnya tertulis:

“Jika aku adalah bagian dari hatimu… maka aku akan selalu pulang, meski tak punya nama.”

Bab 10 – Yang Belum Selesai

Waktu berlalu.

Aku tidak tahu pasti berapa lama sejak hari terakhir aku melihat Kairan. Tapi sejak saat itu, aku menjalani hari-hari seperti manusia biasa. Tidak ada cermin aneh. Tidak ada mimpi tentang kereta. Tidak ada bayangan yang ingin menggantikanku.

Velis menjadi rumah.

Aku mengajar, menggambar, dan sesekali duduk di taman, berharap debu angin membawa kembali sepotong suara yang dulu menenangkanku. Tapi aku tahu, Kairan telah menjadi bagian dari sesuatu yang lebih besar. Sesuatu yang tidak bisa dijangkau hanya dengan rindu.

Namun, dunia tidak pernah benar-benar tenang untuk orang-orang yang pernah berjalan di batas realitas.


Pagi itu, aku duduk di tangga depan galeri seni kecil tempat aku bekerja. Anak-anak melukis, tertawa, sesekali mencoret tembok tanpa sengaja. Semua terasa hangat.

Sampai seorang anak laki-laki—usia sekitar 7 tahun—berdiri di depanku. Ia mengenakan hoodie abu-abu kebesaran dan membawa buku lusuh berwarna cokelat.

Aku menatapnya, merasa ada yang aneh tapi… akrab.

“Kamu tahu cara gambar mimpi?” tanyanya polos.

Aku tersenyum. “Mimpi kayak apa?”

Dia membuka bukunya. Di dalamnya, halaman demi halaman berisi gambar kereta hitam, stasiun berkabut, langit gelap, dan… seseorang dengan wajah buram berdiri di tengah semuanya.

Jantungku seperti dihantam palu.

“Siapa yang ngajarin kamu gambar ini?” tanyaku, berusaha tenang.

“Orang yang dulu pernah jadi ‘aku’,” katanya ringan. “Dia bilang kalau aku masih punya tugas. Katanya… kamu yang bisa bantu selesaikan.”

Aku menatap matanya.

Matanya…
matanya sama seperti Kairan.
Tenang, dalam, dan penuh cahaya yang belum padam.

“Apa kamu tahu siapa dia?” tanyaku perlahan.

Anak itu mengangguk. “Namanya hilang. Tapi katanya kamu pasti ingat… meski kamu udah lupa.”

Tanganku gemetar saat menyentuh halaman terakhir buku itu. Di sana tergambar sosok pria dan wanita duduk di taman. Wajah mereka masih samar, tapi di antara mereka, terlukis sebuah bayangan anak kecil.

“Aku bagian yang tersisa,” kata anak itu pelan. “Bagian dari ‘kalian’… yang belum selesai.”


Sore itu, aku duduk bersama anak itu di taman. Kami tidak bicara banyak. Tapi aku tahu, sesuatu telah kembali. Bukan karena dunia terganggu. Tapi karena dunia… masih berkembang.

Seperti cinta.
Seperti diri kita.
Seperti mimpi yang belum sempat digambar tuntas.

Dan di angin yang bertiup pelan, aku merasa suara yang sangat kukenal berbisik di telingaku:

“Terima kasih… karena tidak membiarkan bagian terakhirku hilang.”


Aven tidak lagi mencari siapa dirinya.
Dia tahu dirinya bukan hanya satu versi, bukan juga satu peristiwa.
Dirinya adalah kumpulan keputusan, luka, dan cinta yang membuatnya tetap hidup.

Dan saat bagian terakhir dari jiwanya—yang dulu bernama Kairan—kembali dalam bentuk baru,
hidupnya pun dimulai kembali.
Dengan cerita yang belum selesai…
Tapi kali ini, ia tidak takut untuk menyelesaikannya.


TAMAT
(atau mungkin… sebuah awal baru.)

Novel ini ditulis oleh Evi Fauzi, Penulis dari Novel Singkat. Baca juga novel romantis petualangan dan fiksi ilmiah lainnya.

Leave a Reply Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Novel Terbaru

  • Novel Singkat: Cinta di Ujung Sajadah
  • Novel Singkat: Lantai 38 – Antara Merger Perusahaan, Rumah Mewah
  • Senja di Balkon Penthouse – Novel Singkat 7 Bab
  • Novel Pendek: Istri Kontrak Sang Sultan
  • Novel Pendek: Try Begging – Simfoni untuk Sang Tuan

Arsip

  • August 2025
  • July 2025
  • June 2025
  • May 2025
  • April 2025
  • March 2025
  • February 2025
  • January 2025

Kategori

  • Fiksi Ilmiah
  • Petualangan
  • Romansa

Tentang Kami

Tentang Kami

aksi cinta dan kehilangan cinta dan pengorbanan Cinta dan Takdir cinta lintas dimensi cinta pertama cinta segitiga cinta sejati Cinta Terlarang cinta yang terlupakan dunia paralel eksperimen genetika Eksperimen Rahasia identitas ganda Ilmuwan kehilangan kisah cinta kisah cinta emosional kisah cinta menyedihkan kisah cinta sedih kisah cinta tragis konspirasi Misteri novel emosional novel fiksi ilmiah Novel Romantis pengkhianatan Pengorbanan Pengorbanan Cinta penjaga waktu perjalanan waktu Petualangan petualangan dimensi realitas paralel reinkarnasi romansa Romansa Cinta romansa tragis Romantis Romantis gelap romantis tragis teknologi canggih thriller thriller psikologis Thriller Waktu

Genre Favorit

  • Fiksi Ilmiah
  • Petualangan
  • Romansa
©2025 Baca Novel Singkat Di sini | Design: Newspaperly WordPress Theme