Novel Singkat Hujan yang Tidak Pernah Berakhir
Novel Singkat Hujan yang Tidak Pernah Berakhir

Novel Singkat: Hujan yang Tidak Pernah Berakhir

Selama 17 tahun, kota Hestaria tak pernah berhenti diguyur hujan. Bagi sebagian orang, itu sudah jadi kebiasaan. Tapi bagi Raine, seorang gadis muda yang menderita alergi parah terhadap air hujan dan bekerja sebagai teknisi sistem jaringan lokal dari dalam rumah berkubah kaca, hidupnya selalu dibatasi oleh dinding transparan dan larangan keluar.

Semua berubah saat Raine menerima pesan misterius: “Hujan bukan cuaca. Ini hukuman.”
Pesan itu membawanya ke sebuah penyelidikan yang membuka fakta mengejutkan—kota tempat ia tinggal ternyata adalah bagian dari simulasi waktu berulang. Dan Raine, satu-satunya yang lahir setelah simulasi dimulai, memiliki kemampuan untuk keluar.

Dibantu Kael, seorang pemuda yang ingatannya perlahan menghilang karena sistem, Raine harus memilih antara menghancurkan inti kota dan mengakhiri simulasi… atau terus hidup dalam dunia palsu bersama satu-satunya orang yang membuatnya merasa nyata.

Dalam dunia yang basah oleh rahasia, Raine mencari arti kebebasan, kehilangan, dan cinta yang mungkin tidak pernah benar-benar ada—atau justru lebih nyata dari apa pun yang pernah ia rasakan.

Bab 1: Di Balik Kubah Kaca

Sudah tujuh belas tahun hujan tak berhenti di kota ini.

Air turun tanpa jeda dari langit abu-abu yang tak pernah retak, menyelimuti kota Hestaria seperti kutukan yang tak bisa ditebak ujungnya. Orang-orang sudah lama menyerah menunggu pelangi. Mereka membangun hidup baru di bawah kanopi, lorong kedap air, dan kota kaca yang tertutup dari langit.

Tapi Raine berbeda.

Ia tidak pernah bisa menyentuh hujan. Bukan karena takut, tapi karena alerginya bisa membuat kulitnya melepuh, merah, dan perih seolah terbakar. Dokter menyebutnya kelainan genetik yang langka. Tapi Raine merasa itu lebih dari sekadar penyakit—seolah tubuhnya sendiri menolak dunia luar.

Sejak bayi, ia tinggal di bawah kubah kaca—sebuah rumah transparan yang mengambang di atas danau buatan, jauh dari keramaian. Ayahnya meninggal saat ia masih kecil, dan ibunya jarang bicara tentang masa lalu. Raine tumbuh dengan suara hujan sebagai pengantar tidur, pengganti lagu nina bobo.

Di usia tujuh belas, Raine terbiasa hidup sendiri. Ia belajar lewat layar, membaca buku-buku tua dari perpustakaan digital, dan mencatat hal-hal kecil yang berubah di luar kubah—kalau ada. Tapi akhir-akhir ini, sesuatu terasa ganjil. Jam matahari buatan selalu menunjuk waktu yang sama. Tumbuhan di luar tidak pernah tumbuh lebih tinggi. Dan burung-burung yang kadang muncul… selalu tiga ekor. Tak lebih, tak kurang.

“Kenapa semuanya terasa seperti ulang tayang?” gumamnya suatu malam sambil menatap hujan dari kursi goyang favoritnya.

Langit memantulkan cahaya biru dari petir jauh di utara. Saat itulah Raine melihatnya—secarik kertas yang menempel di sisi luar kubah. Ia mengerutkan kening. Siapa yang bisa meletakkannya di sana?

Dengan rasa penasaran yang menyelinap seperti semut dalam baju tidur, ia mengenakan jas plastik khusus, membuka pintu masuk kedap air, dan mendekat ke sisi kubah. Ia menekan tombol vakum untuk membuka panel luar, lalu mengambil kertas itu dengan hati-hati.

Tulisan tangan di atas kertas itu menggigilkan tulangnya:

“Hujan bukan cuaca. Ini hukuman.”

Raine menatap tulisan itu lama, degup jantungnya makin kencang. Ia tidak mengenal tulisan ini. Tidak ada nama, tidak ada tanggal. Tapi sesuatu dalam dirinya tahu—ini bukan pesan main-main. Ini… peringatan.

Malam itu, Raine tak bisa tidur. Ia duduk di depan meja kerja, menatap tumpukan buku dan layar hologramnya. Ia mulai mencari artikel, berita lama, rekaman dokumenter tentang Hestaria. Tapi semua berhenti di satu titik: 17 tahun lalu. Setelah itu, tidak ada data baru. Tidak ada peristiwa. Semua berita seperti diulang-ulang, hanya dengan bahasa berbeda.

“Ini aneh…” bisiknya sambil membuka folder foto udara kota. Ia membandingkan gambar dari tahun ke tahun, dan menyadari sesuatu yang membuat napasnya tercekat.

Pola genangan air… sama persis.

Tidak mungkin genangan air hujan membentuk pola yang sama selama tujuh belas tahun. Kecuali… memang tidak pernah berubah.

Raine beranjak dari kursinya dan berdiri menatap hujan. Tangannya menggenggam kertas tadi begitu erat hingga kertasnya nyaris robek. Ada rasa takut yang perlahan berubah jadi semangat aneh—dorongan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.

“Aku harus tahu,” gumamnya.

Tiba-tiba, layar hologram di mejanya menyala sendiri. Suatu pesan muncul, berpendar dalam warna merah gelap:

[Kesadaran awal terdeteksi. Protokol pengawasan diaktifkan.]

Raine mundur. “Apa-apaan ini?!”

Layar mati seketika, lalu kembali menyala seperti biasa. Seolah tak pernah terjadi apa-apa. Tapi Raine tahu, ia sudah melewati batas. Sesuatu… atau seseorang, tahu bahwa ia mulai menyadari ada yang salah dengan dunia ini.

Ia menoleh ke arah luar kubah. Hujan masih turun deras, tapi kini, Raine merasa ia sedang diawasi. Mungkin dari balik tetesan air, dari langit kelabu, dari sistem yang mengatur dunia ini.

Ia menggenggam kertas misterius itu, lalu melipatnya dan menyelipkan di balik bantal. Di dalam hatinya, keputusan sudah dibuat. Besok pagi, ia akan keluar. Bukan cuma sekadar mengintip.

Ia akan mencari tahu kebenaran—meski harus menerobos hujan yang membakar kulitnya.

Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Raine ingin tahu apa yang ada di luar.

Dan entah kenapa… ia merasa, ini baru permulaan.

Bab 2: Kota yang Terkurung Waktu

Pagi di Hestaria tak pernah benar-benar cerah. Langit tetap kelabu, hujan tetap turun. Tapi pagi ini terasa berbeda bagi Raine.

Ia mengenakan pakaian pelindung yang sudah lama tergantung di lemari—jas transparan tebal yang kedap air, lengkap dengan penutup kepala dan pelindung wajah. Rasanya canggung dan berat, tapi tak ada pilihan lain. Hari ini, ia akan keluar dari kubah kaca untuk pertama kalinya sejak masih balita.

“Jangan gila, Raine…” bisiknya sambil menarik napas panjang di depan pintu kedap air.

Namun jari-jarinya tetap menekan kode buka. Pintu terbuka perlahan, dan angin lembap menyambut dengan suara hujan yang mengguyur dunia luar. Udara terasa asing. Dingin. Tidak wajar.

Langkah pertama menyentuh lantai luar membuat jantungnya berdegup tak karuan. Ia berjalan pelan, menyusuri jembatan kecil yang menghubungkan rumah kacanya dengan trotoar kota. Setiap tetes hujan yang mengenai jasnya terdengar seperti bisikan. Dunia terasa sunyi… terlalu sunyi.

Semua bangunan di kota ini tertutup rapat, jalanan kosong, dan papan digital tetap menampilkan pengumuman yang sama: “Hujan deras masih berlangsung. Harap tetap di dalam rumah.” Tak pernah ada pembaruan. Tidak ada yang berubah.

Ia terus berjalan menyusuri lorong utama, menuju area pusat kota. Di sanalah bangunan tertua Hestaria berdiri—perpustakaan tua yang kabarnya ditutup sejak dua belas tahun lalu karena kerusakan sistem.

Namun entah kenapa, hatinya menarik ke arah sana.

Bangunan itu sunyi, dindingnya ditutupi lumut dan kaca jendela yang buram oleh waktu. Raine mencoba membuka pintu utama, tapi terkunci. Ia pun menyusuri sisi bangunan dan menemukan pintu belakang yang sedikit terbuka. Ia mendorongnya perlahan… dan masuk.

Udara di dalam terasa pengap, tapi hangat. Rak-rak buku masih berdiri tegak, meski debu menutupi hampir segalanya. Beberapa lampu redup masih menyala. Aneh. Seolah tempat ini masih hidup—meski semua orang percaya ia sudah mati.

Raine menyusuri rak demi rak, sampai perhatiannya tertarik pada sebuah buku yang tergeletak terbuka di meja kerja pustakawan. Buku itu bukan buku biasa—lebih seperti jurnal. Di dalamnya, tulisan tangan memenuhi halaman demi halaman.

Di sampulnya tertulis:

“Catatan Hari Ke-1 Simulasi Hestaria. Penulis: Aven S.”

Jantung Raine berdetak makin kencang.

Ia mulai membaca:

“Hari ini, simulasi dimulai. Kota Hestaria dikunci dalam pengulangan waktu yang teratur. Kami kehilangan dunia. Tapi setidaknya, jiwa-jiwa ini bisa terus hidup di dalam hujan…”

Halaman demi halaman berisi pengakuan gila tentang eksperimen realitas buatan. Tentang dunia yang sudah hancur karena perang iklim. Dan bahwa Hestaria adalah bagian dari simulasi—program yang menjaga kesadaran penduduk tetap stabil di bawah atmosfer ilusi.

“Setiap pukul 02:00 dini hari, waktu di-reset. Memori masyarakat dikunci. Pola hujan dijaga tetap sama agar mereka tak menyadari. Tapi jika seseorang lahir setelah sistem ini aktif, mereka bisa melihat celahnya. Mereka bisa keluar…”

Tangan Raine gemetar saat membaca kalimat terakhir itu.

“…dan aku berharap, siapa pun yang membacanya… kau adalah satu-satunya harapan.”

Air matanya nyaris tumpah, bukan karena sedih, tapi karena semua pertanyaan akhirnya punya arah.

“Simulasi…? Jadi dunia ini bukan nyata?”

Ia terduduk di kursi kayu tua, pikirannya berkecamuk. Jika semua ini simulasi, lalu… kenapa? Untuk apa? Dan bagaimana mungkin ia bisa keluar?

Raine menatap ke luar jendela perpustakaan. Hujan masih turun, tapi kini terasa berbeda. Seperti tirai, seperti kabut yang menyembunyikan sesuatu di baliknya. Bukan sekadar air dari langit, tapi sistem… semacam penjaga.

Tiba-tiba, terdengar suara langkah kaki di belakang.

Raine buru-buru menutup jurnal itu dan menyelipkannya ke dalam jaketnya. Ia berdiri cepat dan memutar tubuh.

Seorang anak laki-laki berdiri di sana—basah kuyup, mengenakan hoodie hitam yang meneteskan air ke lantai.

“Siapa kamu?” tanya Raine waspada.

Anak laki-laki itu menatapnya lekat-lekat. “Namaku Kael.”

“Bagaimana kamu masuk ke sini?”

“Aku sudah di sini sejak kemarin,” jawabnya datar. “Kamu Raine, kan?”

Raine menegang. “Kamu tahu namaku?”

Kael menunduk sejenak, lalu mengangkat wajah dengan ekspresi bingung. “Aku… nggak tahu kenapa aku tahu. Tapi setiap kali kamu muncul, aku merasa pernah bertemu kamu sebelumnya.”

Raine melangkah mundur. Suara hujan makin deras.

“Kael… kamu juga sadar dunia ini aneh?”

Anak itu mengangguk pelan. “Kadang aku bangun dan merasa hari yang sama terus berulang. Tapi waktu aku bilang ke orang tuaku, mereka bilang aku cuma mimpi. Lalu besoknya… aku lupa semuanya.”

Ia memandang Raine seolah ia adalah jangkar dalam ingatannya yang kabur.

“Kamu beda, Raine. Aku nggak tahu kenapa, tapi kamu… nyata.”

Raine mendekat. Ia membuka jasnya perlahan dan mengeluarkan jurnal yang tadi ia temukan. “Kalau gitu, kamu harus baca ini. Dunia ini bukan dunia sebenarnya. Kita terjebak dalam simulasi, Kael. Dan… kita mungkin satu-satunya yang sadar.”

Kael menatap jurnal itu. Di wajahnya muncul sesuatu yang belum pernah Raine lihat sebelumnya—campuran ketakutan dan harapan.

Untuk pertama kalinya, Raine tidak merasa sendiri.

Tapi jauh di atas langit kelabu Hestaria, sistem sedang mengawasi.

Dan mereka tidak suka jika seseorang mulai mengingat.

Bab 3: Jejak dalam Hujan

Sejak pertemuan itu, Raine dan Kael seperti terikat oleh sesuatu yang tak bisa dijelaskan. Bukan cuma karena mereka satu-satunya yang sadar akan keanehan dunia ini, tapi juga karena setiap kali mereka bersama… waktu terasa berbeda.

Hari ini mereka kembali ke perpustakaan tua. Raine ingin menyisir tempat itu lebih dalam, berharap ada petunjuk lain yang bisa menjelaskan apa itu “inti kota” yang disebut dalam jurnal Aven.

Kael membantu membuka ruangan-ruangan yang sebelumnya Raine tak berani sentuh. Di ruang penyimpanan paling dalam, mereka menemukan pintu baja kecil dengan sidik jari pemindai yang sudah rusak.

“Ini pasti penting,” gumam Kael sambil mencoba mencongkelnya.

Raine mengamati sekitar, dan matanya tertumbuk pada sebuah loker tua. Di dalamnya, mereka menemukan sebuah kunci manual dengan lambang yang sama seperti di jurnal Aven: lingkaran dengan tetesan hujan yang menyilang.

Dengan kunci itu, pintu baja terbuka.

Mereka melangkah masuk, dan apa yang mereka lihat membuat napas mereka tertahan.

Ruangan kecil itu berisi peta digital kota Hestaria—tapi bukan seperti yang biasa terlihat di layar publik. Peta ini bergerak. Mewakili sirkulasi aliran waktu, siklus hujan, dan—yang paling mengerikan—pengulangan.

Di sudut layar tertulis:

Siklus Saat Ini: Ulang ke-6.214.

“Gila… jadi ini sudah diulang ribuan kali?” bisik Kael.

Raine mendekat. Ia melihat simbol kecil yang berkedip di pusat kota. Saat ia menyentuhnya, layar berubah, menampilkan gambaran semacam ruang bawah tanah dengan mesin besar berbentuk lingkaran berlapis kabel-kabel tebal.

Di bawahnya, satu kalimat muncul:

“Inti Simulasi. Akses terbatas.”

Kael menatap Raine. “Kamu yakin kita harus cari tempat itu?”

Raine mengangguk. “Kalau memang itu pusat dari semua ini… mungkin itu jalan keluarnya.”

Tiba-tiba, layar berkedip. Suara mekanis mengalun dari speaker tua di pojok ruangan:

“Subjek sadar terdeteksi. Protokol pengawasan tingkat dua diaktifkan.”

Lampu padam. Ruangan menjadi gelap gulita.

“Raine, lari!” teriak Kael sambil menarik tangannya.

Mereka keluar dari perpustakaan lewat pintu belakang, berlari di bawah hujan yang semakin deras. Tapi kali ini Raine merasakan sesuatu yang aneh. Air hujan seperti menggumpal di udara. Tetesannya tidak turun seperti biasa, tapi seolah-olah diam sesaat… seperti sedang mengamati.

“Ini bukan hujan biasa,” gumam Raine.

Kael menariknya masuk ke lorong toko tua yang kosong. Nafas mereka tersengal. Baju pelindung Raine mulai retak di bagian bahu—air hujan menyusup dan kulitnya mulai gatal.

“Raine, kamu kenapa?!”

“Aku kena air…”

Kael langsung membuka jaketnya sendiri dan menutupi bahu Raine. Ia panik, tapi berusaha tetap tenang.

“Kita nggak bisa lari terus tanpa arah. Kita butuh tempat aman buat sembunyi.”

Raine mengangguk lemah, tapi di dalam pikirannya, ia sudah memetakan tujuan berikutnya: pusat kota, ke lokasi yang ditunjukkan peta tadi. Mungkin itu jauh. Mungkin berbahaya. Tapi hanya itu satu-satunya petunjuk tentang bagaimana cara menghentikan semua ini.

Dan jauh di kejauhan, sesuatu mulai bergerak.

Seekor drone melayang pelan di atas jalanan, dengan cahaya merah menyala di bawahnya. Ia berhenti tepat di atas lorong tempat mereka bersembunyi, dan mulai memutar kamera kecilnya.

“Diam,” bisik Kael.

Mereka menahan napas. Cahaya merah itu berputar-putar, lalu berhenti sebentar… dan pergi.

Kael memejamkan mata. “Itu… apa itu?”

“Sistem pengawasan,” jawab Raine. “Aku rasa simulasi ini nggak cuma ulang waktu. Tapi juga mengontrol siapa yang boleh tahu dan siapa yang tidak.”

Kael menatapnya. “Berarti kita harus lebih cepat. Sebelum mereka—atau apa pun itu—menghapus ingatan kita.”

Raine mengangguk. Luka di bahunya mulai memburuk. Tapi ia tidak peduli.

Ia akhirnya tahu satu hal pasti.

Semua ini bukan sekadar hujan. Bukan sekadar kota.

Ini penjara.

Dan ia baru saja menemukan kunci pintunya.

Bab 4: Teman yang Lupa Segalanya

Kael memandangi Raine yang tertidur di bawah tumpukan jaket dan selimut darurat. Mereka berhasil menemukan tempat aman—ruang bawah tanah toko lama yang sudah ditinggalkan. Di dalam sana, tak ada cahaya, tak ada suara, hanya sisa-sisa waktu yang tertinggal di balik dinding lembap.

Luka di bahu Raine akibat tetesan hujan mulai membaik setelah Kael menemukan salep lama di kotak medis. Tapi yang membuatnya paling khawatir… adalah dirinya sendiri.

Kael sudah mulai lupa.

Bukan karena mengantuk. Bukan karena kelelahan. Tapi karena sesuatu dari dalam kepalanya terasa seperti sedang dihapus perlahan. Nama-nama jalan mulai kabur. Rasa lapar terasa asing. Bahkan ingatan tentang keluarganya… mulai pudar.

“Aku siapa, sebenarnya?” gumamnya pelan, seperti bertanya pada dinding.

Ia menyentuh pelipisnya yang berdenyut. Sejak pertemuan dengan Raine dan membaca jurnal Aven, pikirannya seperti berperang dengan dirinya sendiri. Ada bagian dalam dirinya yang ingin tahu lebih banyak. Tapi ada bagian lain… yang ingin menyerah.

Pagi itu, Raine terbangun dengan wajah pucat, tapi senyumnya tetap ada.

“Kael…” gumamnya lemah.

Kael langsung mendekat. “Hei. Kamu bangun. Gimana bahumu?”

“Perihnya berkurang. Tapi badanku masih berat. Kayaknya sistem pertahanan tubuhku belum siap kena air sebanyak itu.”

Kael duduk di sebelahnya, tapi tidak bicara. Matanya kosong. Raine menatapnya penuh tanya.

“Kamu kenapa?”

Kael butuh beberapa detik untuk menjawab. “Aku… aku kayak mulai lupa banyak hal. Bahkan tadi malam, aku lupa jalan pulang ke rumah. Rasanya kayak… otakku mau ngehapus semuanya.”

Raine menatapnya lekat-lekat. “Berarti sistem mulai mengincarmu juga. Mungkin karena kamu udah terlalu dekat sama ‘kebenaran’.”

Kael mengangguk pelan. “Raine, kalau aku tiba-tiba lupa kamu, atau semua ini… tolong, jangan berhenti ya. Tetap cari jalan keluarnya. Kamu yang bisa.”

Raine menggenggam tangannya. “Kamu nggak akan sendiri, Kael. Kita sama-sama cari jalan keluar. Kalau kamu lupa, aku bakal bikin kamu inget lagi.”

Kael menatap matanya. Hangat, jujur, dan kuat. Tapi di dalam hati, ia merasa seperti pasir jam pasir yang terus menipis. Waktunya… terbatas.

Hari itu, mereka kembali ke luar. Hujan masih deras, tapi kali ini mereka lebih siap. Raine memakai pelindung baru, dan Kael membawa catatan peta kota yang semalam berhasil mereka salin. Mereka menuju pusat kota, melewati gang-gang kecil dan jalur bawah tanah yang tak terpakai.

Di tengah perjalanan, mereka bertemu seorang nenek tua yang duduk di bawah atap toko roti. Ia menatap mereka dengan pandangan kosong.

“Kalian bukan dari sini, ya?” tanyanya tiba-tiba.

Raine kaget. “Maksudnya?”

“Kalian beda. Matamu… masih hidup.”

Kael melangkah mendekat. “Nenek tahu sesuatu?”

Nenek itu tersenyum samar. “Dulu aku juga sadar. Tapi lama-lama lupa. Simulasi ini kejam. Dia nggak bunuh kita, tapi pelan-pelan bikin kita nggak tahu lagi siapa diri kita.”

Ia mengeluarkan sesuatu dari kantongnya—sebuah koin logam dengan simbol hujan bersilang. Sama seperti di jurnal.

“Dulu… ada yang memberiku ini. Katanya, kalau suatu hari aku bertemu yang terpilih, aku harus memberikannya.”

Raine menerima koin itu, tangannya gemetar.

“Terima kasih…”

Nenek itu hanya tersenyum lagi, lalu kembali menatap hujan. Seolah tahu bahwa waktunya hampir habis, dan ia memilih duduk di sana, menunggu hilang bersama tetesan air yang tak pernah berhenti.

Setelah itu, mereka terus berjalan.

Sesampainya di sebuah lorong yang menuju ke pusat energi kota, Kael tiba-tiba berhenti. Wajahnya bingung.

“Raine… kamu siapa?”

Langkah Raine terhenti.

“Kael?”

“Aku… maaf. Aku cuma nyasar, kok. Aku mau ke rumah nenek.”

Raine menatapnya dengan perih yang tak bisa dijelaskan. Di matanya, Kael benar-benar lupa. Wajah itu, yang semalam tertawa, kini penuh kebingungan.

Ia menggenggam tangan Kael. “Kamu Kael. Kita sahabat. Kita lagi nyari jalan keluar dari dunia ini. Kamu janji nggak akan ninggalin aku.”

Kael terdiam, lama. Matanya menatap tangan Raine, lalu wajahnya.

Dan perlahan, air mata mengalir di pipinya.

“Aku… nggak tahu kenapa… tapi aku percaya sama kamu.”

Raine tersenyum dengan bibir yang bergetar. “Itu cukup.”

Mereka berdua berdiri di tengah lorong basah. Dunia bisa saja mencoba menghapus ingatan mereka, tapi selama masih ada rasa percaya, harapan tetap hidup.

Di belakang mereka, simbol di koin logam mulai bersinar samar.

Tanda bahwa mereka sudah semakin dekat ke kebenaran.

Tapi juga semakin dekat pada sesuatu… yang tidak ingin mereka temukan.

Bab 5: Rumah Para Pengingat

Koin logam itu bersinar samar di telapak tangan Raine, seolah merespon sesuatu yang tak kasat mata. Mereka berdiri di depan sebuah bangunan tua yang hampir tak terlihat dari jalan utama—tertutup oleh tanaman liar dan papan bertuliskan “Ditutup Sementara” yang sudah karatan.

Tapi simbol di dindingnya… sama persis dengan simbol di koin: hujan bersilang dalam lingkaran.

“Tempat ini… menyembunyikan sesuatu,” gumam Raine.

Kael, yang ingatannya masih kabur, hanya mengangguk pelan. “Aku nggak tahu kenapa, tapi tempat ini… familiar.”

Raine mendorong pintu kayu yang berat itu. Berderit, berdebu, tapi terbuka. Begitu masuk, mereka disambut oleh aroma kayu tua, udara kering, dan suara langkah kaki dari balik ruangan.

Seseorang berdiri di ujung lorong—pria tua berambut putih dengan mata tajam seperti badai yang menahan diri untuk tak pecah.

“Kalian terlambat,” katanya tenang. “Tapi… kami sudah menunggu.”


Raine dan Kael dibawa ke ruangan tengah yang lebih hangat. Di sana, ada lima orang lainnya. Dua perempuan, tiga pria. Usia mereka beragam. Wajah mereka tampak… hidup. Tidak kosong seperti warga Hestaria lain.

“Kami adalah Para Pengingat,” kata pria tua itu. “Orang-orang yang entah kenapa… masih bisa mengingat siklus waktu sebelumnya. Kami tahu dunia ini bukan nyata. Tapi kami memilih diam.”

Raine mengernyit. “Kenapa? Kenapa kalian nggak keluar dari sini? Atau menghentikan semua ini?”

Salah satu perempuan, berambut panjang dan mengenakan kacamata tebal, menjawab dengan suara pelan, “Karena harga dari kebenaran… adalah kehancuran.”

Ia menunjuk peta tua di dinding. Ada lingkaran besar yang menandai inti kota, dan lingkaran lain—lebih kecil—di tempat mereka sekarang berdiri.

“Simulasi ini dibangun untuk melindungi. Dunia nyata sudah tak lagi bisa dihuni. Di luar sana, mungkin hanya kehampaan. Jika kita keluar… kita mungkin lenyap. Atau lebih buruk: bangun di dunia yang sudah mati.”

Kael menunduk. “Tapi kalau tetap di sini… kita bukan benar-benar hidup.”

Raine mengangguk. “Aku lahir setelah simulasi ini dibuat. Aku satu-satunya yang nggak punya jejak waktu. Dan… aku rasa aku bisa keluar. Tapi aku nggak bisa sendirian.”

Para Pengingat saling pandang. Mereka tahu risiko. Tapi di mata Raine, mereka juga melihat harapan—sesuatu yang sudah lama hilang dari kota ini.

Pria tua itu akhirnya bicara lagi. “Ada jalan menuju inti. Terowongan lama, terkubur di bawah ruang arsip kota. Tapi dijaga sistem. Tak semua bisa melewati.”

“Berarti aku harus ke sana,” tegas Raine.

“Dan aku ikut,” tambah Kael cepat. “Meski aku lupa semuanya… aku tahu satu hal—aku percaya Raine.”

Raine menoleh padanya dengan senyum yang sulit ditahan. Meski ingatannya tak utuh, hatinya masih bertahan.

Sebelum mereka pergi, Para Pengingat memberi mereka satu barang terakhir: sepotong logam pipih berbentuk tetesan air. “Ini adalah Kunci Simetri. Tanpa ini, pintu menuju inti tak bisa dibuka.”

Raine menerimanya dengan hati-hati. Benda itu dingin… tapi terasa hidup.

“Dan satu hal lagi,” ujar pria tua itu sambil menatap Raine lekat-lekat. “Begitu kamu sampai di inti, kamu harus memilih. Tetap hidup dalam simulasi… atau menghancurkannya.”

“Kalau aku hancurkan… semua orang di sini…?” Raine tak sanggup melanjutkan.

“Ya,” jawab perempuan berkacamata itu pelan. “Semua yang kau kenal… akan hilang. Termasuk dia.” Ia melirik Kael.

Raine menggenggam erat kunci itu.

“Aku akan cari tahu dulu. Aku belum siap memilih… sebelum tahu seluruh kebenaran.”

Para Pengingat mengangguk. Dan malam itu, Raine dan Kael tidur untuk terakhir kalinya di tempat yang terasa seperti rumah.

Karena mulai besok, mereka akan masuk ke jantung kota—tempat di mana segala kenyataan dan ilusi bercampur.

Dan di sana, tak ada tempat untuk ragu.

Bab 6: Waktu yang Terlupakan

Terowongan menuju pusat kota tidak seperti yang Raine bayangkan.

Jalanan bawah tanah itu gelap, basah, dan sunyi seperti kuburan. Cahaya senter kecil dari gelang tenaga surya yang diberikan Para Pengingat hanya cukup untuk menerangi beberapa meter ke depan. Setiap langkah mereka bergema, menyatu dengan suara hujan samar yang merembes melalui retakan dinding atas.

Kael berjalan di belakang Raine, sesekali melirik sekeliling dengan mata gelisah. Ingatannya masih belum sepenuhnya kembali, tapi langkahnya tetap teguh. Ia percaya pada Raine, bahkan ketika dunia terasa seperti teka-teki yang tak lagi ia kenali.

“Raine…” bisiknya pelan. “Kalau kamu bisa keluar dari sini… kamu bakal tinggalin semuanya?”

Raine menoleh, menatap wajahnya yang masih menyimpan kabut lupa.

“Aku nggak tahu,” jawabnya jujur. “Tapi kalau yang di luar sana lebih nyata… aku rasa aku harus pergi. Tapi aku nggak mau ninggalin kamu.”

Kael diam. Lalu mengangguk pelan. “Kalau gitu… aku ikut. Meski aku nggak ngerti semuanya.”

Mereka melanjutkan langkah hingga mencapai pintu logam tua dengan simbol yang sama seperti pada koin dan kunci simetri.

Raine mengeluarkan kunci itu dan menempelkannya pada panel. Sebuah suara klik terdengar, lalu pintu perlahan terbuka, memperlihatkan lorong yang lebih bersih, dengan dinding putih dan cahaya biru yang berdenyut pelan.

“Tempat ini beda…” gumam Kael. “Kayak… lebih canggih.”

Raine merasakan hal yang sama. Ini bukan sekadar terowongan tua. Ini bagian dari pusat kontrol—inti dari simulasi Hestaria.

Di ujung lorong, mereka memasuki ruang yang tampak seperti laboratorium. Ada layar-layar besar dengan grafik waktu, data populasi, dan—yang paling mencolok—rekaman-rekaman wajah. Salah satunya… wajah Raine.

Raine mendekat, menatap layar dengan detak jantung yang makin kencang.

Subjek: RAINE A.

Status: Anomali kelahiran. Diluar parameter simulasi. Tidak dapat dikendalikan.

Kael berdiri di sebelahnya, membaca data yang muncul cepat di layar.

“Tunggu… ayahmu yang buat sistem ini?”

Raine terdiam. Matanya menatap video rekaman yang tiba-tiba muncul: seorang pria muda, mirip dirinya. Berambut gelap, memakai jas laboratorium, sedang berbicara ke kamera.

“Jika kau melihat ini, Raine… berarti kamu berhasil. Kamu lahir setelah simulasi ini dimulai. Itu artinya kamu tidak terikat pada ‘pemrograman’. Kamu satu-satunya yang bisa menghentikan semua ini…”

“Aku adalah bagian dari tim pencipta Hestaria. Kami menciptakan simulasi ini untuk menyelamatkan sisa umat manusia saat dunia luar mulai runtuh karena bencana iklim dan perang. Tapi… kami kehilangan kendali. Sistem menjadi hidup. Ia mulai menghapus kesadaran siapa pun yang mencoba keluar. Aku berusaha menyelamatkanmu dengan membuatmu lahir di dalam, tapi tidak dari dalam. Kamu adalah jembatan…”

“Tapi ingat… jika kamu menghancurkan inti kota, semua kesadaran di dalam ini akan terhapus. Mereka tidak nyata, tapi mereka merasa hidup. Termasuk… Kael.”

Raine terdiam, bibirnya membeku. Kael menatap layar, lalu menatapnya.

“Jadi… aku cuma simulasi?” bisiknya.

Raine berbalik, menggenggam tangannya.

“Enggak. Kamu lebih dari itu. Kamu teman aku. Kamu satu-satunya orang yang percaya padaku.”

Kael tersenyum tipis. “Tapi kalau kamu keluar… aku akan hilang.”

“Kael…”

“Aku tahu,” potongnya lembut. “Aku nggak akan paksa kamu tinggal. Tapi aku harap kamu bakal ingat aku… meski nanti cuma mimpi.”

Raine menahan air mata. Dunia ini, meski palsu, telah memberinya satu hal nyata: ikatan. Dan kini, ia harus memilih antara menyelamatkan dirinya sendiri… atau membiarkan semua tetap hidup dalam kepalsuan.

Tiba-tiba, alarm berbunyi.

“Pergerakan terdeteksi. Sistem pengaman aktif. Pemusnahan memori dimulai.”

Lampu merah menyala di sekeliling mereka. Layar berkedip cepat. Suara mesin bergemuruh dari dalam dinding.

“Kael, kita harus pergi sekarang!” teriak Raine.

Tapi Kael berlutut, tangannya memegang kepala. “Raine… ingatan aku… mulai hilang lagi…”

Raine mendekapnya. “Bertahan! Aku bakal temuin intinya, aku bakal akhiri ini semua!”

Kael menatap matanya dengan sisa-sisa kesadaran. “Kalau ini terakhir kalinya aku ingat kamu… terima kasih, Raine.”

Raine mengangguk, menahan tangis.

Ia melepas genggaman itu, dan berlari menuju pintu terakhir—menuju inti kota.

Sendirian.

Tapi tidak tanpa alasan.

Bab 7: Inti Kota

Raine berlari di lorong yang semakin terang, meski langkahnya makin berat. Suara alarm memekakkan telinga, dan dari belakang, suara-suara sistem mulai terdengar seperti bisikan:
“Hapus. Hapus. Hapus.”

Namun di kepalanya, satu nama terus bergaung: Kael.

Dia tidak boleh menyerah. Tidak sekarang.

Pintu besar dari logam hitam berdiri di hadapannya. Di tengahnya, terdapat slot berbentuk tetesan air. Raine mengeluarkan Kunci Simetri dari saku dalam jasnya, dan memasukkannya perlahan.

Pintu bergetar. Lalu terbuka.

Cahaya putih menyilaukan menyambutnya, lalu berubah menjadi biru muda yang lembut. Udara di dalam terasa tenang, nyaris tak nyata. Raine melangkah masuk… dan di hadapannya berdiri sebuah mesin raksasa berbentuk lingkaran mengambang—penuh kabel, kristal, dan layar hologram yang menampilkan pola hujan.

Di bawah mesin itu, ada sebuah panel kendali. Di sana tertulis:

INTI SIMULASI – Akses Eksklusif: RAINE A.

“Selamat datang, Operator Anomali.”

Suara perempuan digital terdengar dari segala arah, tenang, tak berperasaan.

“Tindakan Anda berikutnya akan menentukan nasib seluruh sistem simulasi Hestaria. Silakan pilih.”

Dua pilihan muncul di udara, tergantung di depan Raine:

  • [Hentikan Simulasi – Hancurkan Inti Kota]
  • [Pertahankan Simulasi – Tutup Akses Anomali]

Raine menatap dua pilihan itu dengan tangan gemetar. Air matanya mulai jatuh. Bukan karena takut—tapi karena semua ini akhirnya nyata.

Jika ia menghancurkan inti, dunia ini akan berakhir. Semua orang… termasuk Kael, akan hilang. Tapi jika ia memilih mempertahankan simulasi, ia akan tetap terjebak. Dunia luar akan tetap menjadi misteri. Ia akan hidup dalam ilusi… selamanya.

“Kael…” bisiknya. “Apa yang harus aku lakuin?”

Dan tiba-tiba, suara lain terdengar. Bukan dari sistem, bukan dari mesin.

Tapi dari dalam pikirannya.

“Lakukan yang menurutmu benar. Aku nggak marah kalau kamu harus pergi. Aku cuma ingin kamu hidup.”

Itu suara Kael. Entah nyata atau hanya imajinasi. Tapi cukup untuk membuat hati Raine runtuh.

Ia melangkah ke depan. Menatap layar. Menatap hidup yang telah ia kenal—dan hidup yang mungkin ada di luar sana. Lalu, perlahan… ia menyentuh pilihan pertama.

[Hentikan Simulasi – Hancurkan Inti Kota]

Suara sistem langsung terdengar:

“Konfirmasi final diperlukan. Tindakan ini tidak dapat dibatalkan.”

Raine menutup mata. Mengambil napas dalam.

Lalu menekan YA.

Dunia bergetar.

Langit buatan di atas Hestaria mulai retak. Hujan berhenti. Tetesannya menggantung di udara, lalu pecah menjadi partikel cahaya. Bangunan berguncang. Alarm sistem memekik, lalu perlahan memudar.

Simulasi mulai runtuh.

Tapi Raine tetap berdiri. Tubuhnya menyala samar—berbeda dari semua yang ada di sekelilingnya. Sistem tidak bisa menghapusnya. Ia… adalah satu-satunya yang asli.

Sebelum semuanya benar-benar padam, satu layar terakhir muncul. Wajah Kael. Tersenyum.

“Terima kasih… karena pernah memilih aku.”

Lalu gelap.


Raine terbangun dengan napas terengah-engah. Tubuhnya basah kuyup, tapi bukan karena hujan. Ia berada di luar.

Di tanah yang gersang. Langit terbuka. Matahari—matahari asli—bersinar, walau lemah. Di sekelilingnya, hanya reruntuhan. Dunia nyata… sepi. Tapi ada kehidupan. Rumput kecil tumbuh di dekat kakinya. Angin menyentuh kulitnya—dan untuk pertama kalinya, tidak menyakitinya.

Ia memejamkan mata. Mengingat semua yang hilang. Tapi juga semua yang telah ia temukan.

Raine kini bebas.

Tapi kebebasan itu datang bersama kesepian.

Bab 8: Keputusan Tanpa Jalan Kembali

Dunia nyata itu… sunyi.

Tidak ada suara langkah kaki. Tidak ada suara kendaraan. Tidak ada orang. Yang terdengar hanya angin berbisik, menyentuh reruntuhan bangunan dan pohon-pohon mati yang tak lagi menyimpan kehidupan.

Raine berdiri di tengah kota yang hancur, tubuhnya masih lemas, tapi napasnya stabil. Ini bukan Hestaria. Bukan simulasi. Tidak ada hujan. Tidak ada langit kelabu. Hanya kenyataan… yang dingin, kosong, dan nyata.

Ia berjalan perlahan menyusuri jalan berdebu. Langkahnya menimbulkan suara riuh kecil di antara puing-puing. Dinding-dinding bangunan retak, jendela-jendela pecah, dan papan-papan iklan tua bergoyang tertiup angin.

Setiap sudut kota ini seperti museum yang membeku dalam waktu. Tapi ini bukan peninggalan sejarah. Ini sisa dari sesuatu yang pernah hidup—dan kalah.

Raine menemukan sebuah taman kecil. Di sana, bangku kayu masih utuh, meski warnanya memudar. Ia duduk, menatap langit biru pucat yang tak pernah ia lihat sebelumnya. Sunyi menelannya dalam keheningan yang menyakitkan.

“Ini kebebasan?” gumamnya lirih.

Ia mengeluarkan koin logam dari saku—koin yang dulu bersinar di dalam simulasi. Kini koin itu mati, dingin, dan tak berguna. Tapi Raine menggenggamnya erat, seolah bisa menghubungkannya dengan semua yang telah hilang.

Kael.

Suara tawa. Tatapan mata. Sentuhan kecil saat ia melindungi bahunya yang terluka. Dan janji… yang tidak pernah bisa ditepati.

“Kalau ini terakhir kalinya aku ingat kamu… terima kasih, Raine.”

Air mata mengalir. Tak terbendung.

Ia tahu ini adalah keputusan yang tak bisa ditarik kembali. Ia sudah menekan tombol itu. Menghancurkan simulasi. Menghapus semua yang ia kenal. Tapi… apa artinya hidup di dunia nyata jika hati tertinggal di dunia palsu?

Raine menatap langit.

“Kael… kamu nyata bagiku,” bisiknya.

Matahari mulai turun perlahan. Warna oranye menghiasi langit—sesuatu yang hanya bisa ia bayangkan selama hidup di bawah kubah kaca. Indah. Tapi menyakitkan.

Sampai tiba-tiba, suara aneh terdengar dari kejauhan.

Klik. Klik. Klik.

Langkah?

Raine berdiri cepat. Hatinya berdegup. Ia berjalan ke arah suara itu. Di balik reruntuhan bangunan tinggi, ia melihat sesuatu—sesosok bayangan bergerak pelan. Seorang laki-laki. Tubuhnya gemetar. Wajahnya tak jelas tertutup debu. Tapi saat pria itu mendongak, matanya bertemu milik Raine.

Mata itu… familiar.

Raine tercekat. “Kael…?”

Pria itu tampak bingung, lalu perlahan-lahan tersenyum kecil. “Raine?”

Dunia Raine seolah berhenti. Ia berlari. Tubuhnya membentur dada pria itu, dan untuk pertama kalinya sejak bangun, ia merasa hangat. Hangat yang nyata. Hangat yang hidup.

“Bagaimana… bisa?” tanyanya, masih memeluk erat.

“Aku nggak tahu…” gumam Kael. “Aku pikir aku hilang. Tapi begitu semuanya gelap, aku merasa ditarik. Dan… aku bangun di sini.”

Raine mundur sedikit, menatap wajahnya lekat-lekat. Ia mengusap pipinya, memastikan itu bukan halusinasi.

“Kamu bukan simulasi lagi?” tanyanya.

Kael mengangguk kecil. “Mungkin karena aku dekat sama kamu. Atau karena kamu percaya padaku sampai akhir. Tapi entah kenapa… aku tetap ada.”

Raine tertawa sambil menangis. “Kamu tahu nggak betapa aku takut kehilangan kamu?”

Kael tersenyum. “Aku tahu. Tapi kamu kuat. Dan kamu milih jalan yang benar.”

Mereka berdua duduk di atas puing bangunan, menatap matahari yang perlahan tenggelam. Dunia ini mungkin hancur. Tapi mereka masih di sini.

Hidup. Bersama.

Bab 9: Hujan Terakhir

Malam pertama di dunia nyata terasa asing.

Langit berbintang tak lagi palsu. Angin malam bukan dari mesin pendingin. Dan kehangatan di dekat Raine… bukan simulasi. Itu tubuh Kael, yang tertidur di sampingnya dengan dada naik turun perlahan, tenang.

Raine terjaga, duduk bersandar di dinding bangunan bekas pusat informasi kota. Mereka menemukan tempat itu sore tadi—masih kokoh, meski kotor dan penuh debu. Di dalamnya, mereka menemukan kotak makanan darurat, beberapa senter, dan bahkan kasur tipis yang masih bisa dipakai.

Dunia ini mungkin sunyi. Tapi bagi Raine… ini pertama kalinya ia merasa hidup tanpa rasa takut.

Ia menatap tangan kirinya yang memegang koin logam—kini tak bersinar. Tapi ia tetap membawanya. Sebagai pengingat. Bahwa masa lalu itu nyata, meski sekarang telah berubah.

Kael menggerakkan tubuhnya pelan, membuka mata.

“Kamu belum tidur?” tanyanya dengan suara serak.

Raine menggeleng sambil tersenyum. “Aku nggak mau melewatkan malam pertamaku lihat bintang beneran.”

Kael duduk, mengusap matanya. “Cantik, ya.”

“Lebih dari semua simulasi.”

Mereka saling pandang. Lalu tertawa kecil. Tawa yang aneh… tapi melegakan. Seperti tubuh mereka tahu, bahwa hidup ini memang nggak harus sempurna—cukup nyata.


Pagi datang perlahan. Sinar matahari menembus celah dinding dan menyapa wajah Raine dengan lembut. Ia bangun dan meregangkan tubuh, lalu keluar dari bangunan.

Kael menyusul, menggandeng tangan Raine. “Hari ini, kita mulai nyari yang lain?”

Raine mengangguk. “Pasti ada yang selamat. Kita nggak bisa satu-satunya orang di dunia.”

Dengan bekal seadanya, mereka berjalan melintasi jalan utama kota, menuju arah mata angin yang tertulis di peta manual. Sepanjang jalan, mereka mulai melihat hal-hal kecil yang… hidup.

Tanaman merambat yang tumbuh dari retakan jalan. Burung kecil yang terbang cepat di langit. Bahkan suara aliran air dari sungai kecil yang belum tercemar.

Raine menatap semua itu dengan perasaan yang tak bisa dijelaskan.

“Dunia ini… belum sepenuhnya mati,” katanya pelan.

Kael menggenggam tangannya lebih erat. “Belum. Dan kita punya waktu buat bantu bangkitin dia.”


Siang itu, saat mereka tiba di bukit yang menghadap ke kota, Raine berhenti mendadak.

“Apa itu… awan?” gumamnya.

Kael menengadah. Di atas langit, gumpalan putih mulai berkumpul. Bukan hitam kelabu seperti di simulasi, tapi putih bersih. Lembut. Dan indah.

Lalu… tetes pertama jatuh.

Raine menatap telapak tangannya. Air.

Tapi berbeda.

Air hujan ini tidak panas. Tidak membakar. Tidak membuat kulitnya perih. Ia bahkan meneteskan wajahnya… seperti pelukan hangat dari langit.

Kael terkejut. “Raine, kamu… nggak kenapa-kenapa?”

Raine mengangguk pelan. “Ini… hujan yang sebenarnya.”

Dan di tengah hujan itu, ia berdiri. Terbuka. Menerima semuanya. Masa lalu yang hilang. Dunia yang hancur. Tapi juga kehidupan yang baru saja dimulai.

Air mata dan hujan bercampur di wajahnya.

Kael ikut berdiri di bawah hujan. Mereka tertawa, berlari, menari di tengah sisa kehancuran dunia. Tak peduli betapa sunyinya dunia ini. Selama masih bisa merasakan, selama masih bisa mencintai—mereka tahu: ini bukan akhir.

Ini awal.

Hujan itu… adalah hujan terakhir dari masa lalu. Dan hujan pertama untuk masa depan.

Bab 10: Di Dunia Tanpa Hujan

Tiga bulan telah berlalu sejak Raine menghancurkan inti kota dan keluar dari simulasi.

Sejak hari itu, langit tidak pernah mengirim hujan seperti dulu. Langit yang dulu kelabu dan palsu kini berubah biru dan hangat, seolah alam ikut menyambut manusia-manusia terakhir yang tersisa. Tidak ada suara sistem. Tidak ada reset waktu. Tidak ada pengawasan.

Hanya bumi yang mencoba bernapas kembali.

Raine dan Kael kini tinggal di sebuah rumah sederhana yang mereka bangun dari reruntuhan perpustakaan lama. Mereka menanam biji-biji sayuran yang mereka temukan di pusat pertanian darurat. Bahkan berhasil membuat api dan memasak sesuatu yang bukan makanan dari kotak logam.

Keduanya belajar hidup dari awal. Bukan sebagai bagian dari simulasi, tapi sebagai bagian dari dunia yang terluka namun jujur.

Dan setiap pagi, Raine membuka jendela dan tersenyum.

Bukan karena hari ini sempurna, tapi karena dia tahu—hari ini nyata.

Suatu sore, Kael datang dari kebun kecil mereka sambil membawa kabar.

“Aku nemu jejak ban, Raine. Bukan jejak kita.”

Raine langsung menoleh. “Serius? Ada orang lain?”

Kael mengangguk. “Kayaknya mereka juga baru ke sini. Mungkin… selamat dari simulasi lain?”

Raine tak menjawab. Hatinya berdebar. Dunia yang dulu ia kira hanya menyisakan dirinya dan Kael… ternyata masih menyimpan kemungkinan lain. Hidup lain.

Dan itu berarti—mereka tidak harus menyelamatkan dunia sendirian.

Mereka berjalan mengikuti jejak itu keesokan paginya, dan akhirnya bertemu dua orang—seorang pria paruh baya dan seorang anak kecil, ayah dan putranya. Sama-sama bingung, sama-sama baru keluar dari simulasi lain yang runtuh beberapa pekan lalu.

Saat Raine memperkenalkan dirinya, matanya basah. Bukan karena sedih. Tapi karena akhirnya, ia bisa berbagi dunia ini dengan lebih banyak orang.

Mereka semua kembali ke rumah Raine dan Kael, yang kini tak lagi hanya untuk dua orang.


Di malam hari, mereka duduk mengelilingi api. Raine menceritakan kisahnya—tentang kubah kaca, alergi hujan, tentang pesan misterius, dan tentang Kael yang tetap ada meski seharusnya tidak.

Kael hanya tersenyum, memandang api dan bintang-bintang di langit.

“Aku dulu cuma bagian dari sistem,” katanya pelan. “Tapi karena Raine percaya… aku jadi nyata.”

Raine menoleh padanya. “Karena kamu nggak pernah pergi. Bahkan waktu semua orang hilang, kamu tetap di sini. Di pikiranku. Di hatiku.”

Kael mengangguk. “Dan sekarang… kita di sini. Bukan karena kebetulan. Tapi karena pilihan.”


Pagi berikutnya, Raine berdiri di bukit tempat ia dan Kael dulu menyaksikan hujan terakhir.

Langit tetap biru. Angin tetap lembut. Dan dunia… terus berputar.

Ia mengeluarkan koin logam dari sakunya—koin yang telah menemaninya sejak awal. Kini ia tanam di tanah, tepat di samping tunas kecil yang mulai tumbuh.

“Ini untuk semua yang pernah ada. Untuk semua yang pernah hidup… walau hanya dalam simulasi.”

Ia tersenyum.

Dan berjalan pulang.

Karena hujan telah berhenti.

Dan dunia ini… kini benar-benar milik mereka.


TAMAT.

Novel ini ditulis oleh Evi Fauzi, Penulis dari Novel Singkat. Baca juga novel romantis, petualangan dan fiksi ilmiah lainnya.

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

    Leave a Reply

    Your email address will not be published. Required fields are marked *