Novel Singkat Aurora dan Lelaki di Dalam Petir
Novel Singkat Aurora dan Lelaki di Dalam Petir

Novel Singkat: Aurora dan Lelaki di Dalam Petir

Aurora adalah seorang ilmuwan muda di bidang meteorologi yang tinggal di kota Arkanova, tempat di mana aurora borealis hanya muncul saat badai petir besar. Suatu malam, ia secara tak sengaja memotret sosok pria misterius di tengah sambaran petir. Keesokan harinya, pria itu Cael, benar-benar muncul di depan rumahnya dan mengaku berasal dari dimensi cahaya. Cael hanya bisa bertahan di dunia manusia selama dua belas badai sebelum harus kembali.

Bersama, mereka menyelidiki mengapa batas antar dimensi mulai menipis, sementara suara-suara asing dari dunia lain mulai menyusup ke realitas. Di tengah ancaman kehancuran dua dunia, Aurora harus memilih: menutup celah dan kehilangan Cael selamanya, atau menyatu dalam cahaya dan lenyap dari dunia ini. Sebuah kisah cinta yang lahir dari badai, tentang pengorbanan, cahaya, dan keabadian.

Bab 1: Petir dan Sebuah Kamera

Langit di atas kota Arkanova malam itu tampak seperti lautan gelap yang marah. Angin kencang mengguncang jendela-jendela tua dan menggiring awan hitam menutupi langit. Tapi di balik ancaman petir dan guntur yang memekakkan telinga, seorang gadis dengan hoodie biru tetap berdiri di tepi bukit observasi, memegang kamera tua dengan tangan yang mulai bergetar karena dingin.

Namanya Aurora.

“Ini sempurna,” gumamnya, setengah menantang langit. Rambut hitamnya tergerai liar, wajahnya dibalut semangat dan rasa penasaran yang tak pernah padam.

Aurora bukan gadis biasa. Di usianya yang baru 23 tahun, dia sudah bekerja sebagai asisten peneliti cuaca ekstrem di Menara Petir Arkanova—bangunan menjulang yang dipenuhi antena, kabel listrik, dan peralatan ilmiah yang tak semua orang mengerti cara kerjanya. Tapi malam ini, dia bukan sedang meneliti untuk proyek kampus atau laporan cuaca.

Dia hanya ingin membuktikan satu hal kecil yang mengganggu pikirannya selama bertahun-tahun: bahwa setiap kali aurora muncul di Arkanova, pasti disertai oleh badai petir… dan sesekali, ada “sesuatu” di dalam cahaya itu.

Satu… dua… tiga… BRANG!

Kilat menyambar sangat dekat hingga tanah terasa bergetar. Aurora menahan napas dan menekan tombol rana.

Cekrek.

Hasil fotonya buram, penuh noise dan goresan cahaya. Tapi saat dia memperbesar salah satu foto—jantungnya nyaris berhenti berdetak.

Ada siluet manusia.

Tegap, berdiri di tengah kilatan cahaya seperti tak tersentuh oleh sambaran itu. Wajahnya nyaris tak terlihat, tapi sosok itu tampak nyata. Terlalu nyata untuk sekadar ilusi lensa.

Aurora mengucek matanya, lalu melihat layar kamera lagi. Masih ada. Ia menatap layar lebih lama, antara yakin dan tak percaya. Petir berikutnya menyambar. Tak ada apa-apa.

Dia pulang malam itu dengan pikiran kacau, kamera di pelukannya seperti membawa rahasia besar. Meski badai belum reda, Aurora melangkah cepat di sepanjang jalan setapak berbatu, hanya ingin tiba di rumah dan meneliti fotonya lebih detail.

Rumahnya kecil dan penuh kabel serta peralatan elektronik. Lampu neon berpendar redup di ruang tamu, dan rak-rak penuh buku ilmiah berserakan tanpa urutan. Aurora membuka laptop, menyalin foto, lalu mulai menyelidiki metadata, struktur cahaya, dan anomali yang tertangkap lensa.

Tapi sebelum dia bisa menyelami lebih dalam, ada ketukan di pintu.

Tok… tok… tok…

Aurora terdiam.

Jam menunjukkan pukul 01:43 dini hari. Siapa yang mengetuk di tengah badai seperti ini?

Dia bangkit pelan, mengambil obeng dari meja—senjata terbaik yang tersedia saat itu—dan menuju pintu depan. Suara hujan masih deras, angin menderu-deru, dan langit sesekali menyala.

Tok… tok…

Ketukan itu terdengar lagi. Aurora menahan napas dan membuka pintu perlahan.

Di sana, berdiri seorang pria.

Rambutnya basah, meneteskan air. Matanya bercahaya aneh dalam gelap. Ia mengenakan pakaian asing—semacam jas panjang berwarna perak, seperti kostum sci-fi yang dibuat terlalu realistis. Kulitnya sedikit berpendar. Tapi yang paling mencolok adalah… dia adalah pria dari foto tadi.

Aurora hampir menjatuhkan obengnya.

“Aku… Cael,” kata pria itu, suaranya berat namun jernih, seperti gema dalam badai. “Aku datang dari dimensi cahaya. Dan… kau-lah yang membukakan jalannya.”

Aurora membeku. Kepalanya penuh teori ilmiah, tapi tak satu pun cukup untuk menjelaskan apa yang ada di hadapannya.

“Dimensi… apa?” tanyanya nyaris berbisik.

Cael menatap matanya, dalam dan lembut meski tubuhnya seperti mengalirkan listrik.

“Aku hanya bisa bertahan di sini selama dua belas badai lagi. Setelah itu, aku akan menghilang.”

Bab 2: Dia Datang dengan Hujan

Aurora mengedip beberapa kali, mencoba memastikan bahwa sosok di depannya benar-benar nyata. Tapi pria itu masih berdiri di ambang pintu, basah kuyup, dengan wajah tenang yang tampak… bukan dari dunia ini.

“Aku Cael,” ulangnya lagi, seolah nama itu harus tertanam dulu di pikiran Aurora sebelum ia menjelaskan segalanya. “Dan kau yang membukakan celah antara dunia kami.”

Aurora mundur satu langkah. Bukannya takut, lebih ke refleks karena otaknya belum siap menerima informasi yang terlampau aneh di tengah malam seperti ini.

“Kamu siapa sebenarnya?” tanyanya pelan, menatap lelaki asing itu dari ujung kepala sampai ujung kaki. Ia tampak seperti manusia, tapi udara di sekelilingnya terasa hangat, seperti aliran energi listrik menguar dari kulitnya. Bahkan lantai teras yang basah tak membuat jejak lumpur di tempat pria itu berdiri.

“Aku berasal dari dimensi energi,” jawab Cael perlahan. “Tempat di mana cahaya bukan sekadar penerang, tapi fondasi kehidupan. Dunia kami hanya bisa terkoneksi dengan dunia manusia melalui frekuensi badai petir dan aurora.”

Aurora tertawa kecil, bukan karena lucu, tapi karena itu hal paling waras yang bisa ia lakukan saat mendengar penjelasan seperti itu.

“Jadi… kamu makhluk petir?” katanya, separuh bercanda, separuh serius.

Cael mengangguk, ekspresinya tetap tenang. “Istilah manusia itu… cukup dekat.”

Hening sejenak. Petir kembali menyambar di kejauhan. Aurora menarik napas, lalu memberi isyarat agar Cael masuk ke dalam rumah.

“Masuklah sebelum kamu benar-benar terlihat seperti makhluk halusinasi,” gumamnya.

Cael masuk dengan langkah ringan, nyaris tak menimbulkan suara di lantai kayu tua rumah itu. Aurora mengambil handuk dan melemparkannya ke arah pria itu—yang hanya menatapnya dengan bingung sebelum akhirnya mencoba menirukan cara manusia mengeringkan rambut.

“Jadi… kamu datang ke sini gara-gara aku memotretmu?” tanya Aurora, duduk di kursi sambil menatap foto yang masih terpampang di layar laptopnya.

“Bukan karena kau memotret,” kata Cael, duduk di seberangnya, “tapi karena kamu berada di titik resonansi ketika badai meledak. Kamera itu hanya menangkap efeknya. Tapi keberadaanmu di sana… membuka celah kecil antara dunia kami.”

Aurora menatapnya lama. “Dan kenapa kamu datang ke sini?”

Cael diam sejenak. Wajahnya menyiratkan sesuatu yang lebih besar daripada sekadar jawaban ilmiah.

“Karena dunia kalian—dan dunia kami—sedang runtuh,” katanya akhirnya. “Celah antar dimensi menipis. Energi di antara dunia mulai tumpang tindih. Jika tidak ditutup sebelum badai kedua belas… kita berdua akan lenyap bersama dengan batas itu.”

Aurora mengerutkan dahi. “Lenyap? Maksudnya… mati?”

“Bukan mati. Tapi… tak akan pernah ada lagi. Seolah tidak pernah dilahirkan di salah satu dunia.”

Aurora terdiam. Otaknya bekerja cepat, mengumpulkan informasi, menyaring kemungkinan.

“Jadi kita punya waktu… berapa hari?”

Cael menatap keluar jendela, ke langit yang masih kelam dan gemuruh yang belum reda. “Setiap badai besar membawa satu kesempatan. Tadi malam adalah yang pertama. Masih tersisa sebelas.”

Aurora menatap tangannya sendiri. Mereka mulai gemetar, bukan karena dingin, tapi karena kesadaran bahwa hidupnya baru saja berubah sepenuhnya.

Dari seorang ilmuwan cuaca biasa, kini dia menjadi bagian dari keretakan antar dimensi.


Pagi harinya, Arkanova kembali cerah. Langit biru membentang tanpa awan, dan udara segar menelusup ke celah-celah jendela rumah Aurora. Namun di dalam rumah itu, ketenangan langit tidak menyentuh perasaan yang sedang berkecamuk.

Aurora berjalan mondar-mandir di ruang tamunya sambil menghubungi dosen pembimbing, menyuruh izin tidak masuk ke menara observasi hari itu. Sementara Cael duduk di lantai, memegang soket listrik di tangan—mengamati bagaimana energi mengalir dari benda itu ke kulitnya.

“Manusia menyimpan energi dalam kabel,” katanya tiba-tiba. “Kami menyimpan energi dalam bentuk getaran cahaya.”

Aurora hanya melirik sekilas, lalu kembali sibuk dengan notepad-nya. Ia menulis semua hal yang Cael katakan sejak tadi malam. Informasi tentang dimensi cahaya, resonansi petir, dan batas dunia.

Tapi satu hal yang belum sempat ia tanyakan membuatnya memutar tubuh dan memandang Cael serius.

“Kenapa kamu terlihat seperti manusia?”

Cael menatapnya balik. “Karena wujud manusia… adalah yang paling stabil di dimensi kalian. Jika aku muncul sebagai bentuk asliku, aku hanya akan menjadi gelombang cahaya yang membakar apa pun di sekitarku.”

Aurora mengangguk pelan. Sebuah penjelasan aneh yang… entah kenapa justru membuat semuanya terasa masuk akal.

Dan untuk sesaat, ia lupa bahwa di luar jendela sana, dunia tampak normal. Karena di dalam ruangan itu, dunia telah berubah.

Bab 3: 12 Badai Sebelum Habis

Hujan sudah berhenti sejak pagi, tapi atmosfer di rumah Aurora terasa seperti masih diguyur petir. Sejak semalam, otaknya bekerja lebih keras daripada alat pendeteksi gelombang elektromagnetik milik lab.

Cael duduk tenang di sofa usang, seperti makhluk yang sudah terbiasa berada di antara dua dunia. Tatapannya kosong menatap langit biru dari balik jendela, seolah menanti badai berikutnya.

Aurora sendiri sibuk mondar-mandir sambil membawa tablet, buku catatan, dan secangkir kopi dingin yang sudah tiga kali dia lupa minum. Kepalanya penuh pertanyaan, tapi satu hal terus mengganggunya: hanya ada 12 badai sebelum Cael harus kembali ke dimensinya.

Itu berarti waktu mereka terbatas. Terlalu terbatas.

“Kamu yakin cuma bisa bertahan selama dua belas badai?” tanya Aurora akhirnya, duduk di sebelahnya.

Cael mengangguk, pandangannya tetap lurus ke luar jendela. “Satu badai adalah satu resonansi. Setelah yang kedua belas, jiwaku akan ditarik kembali… entah aku mau atau tidak.”

Aurora menarik napas dalam-dalam. “Apa yang terjadi kalau kamu nggak balik? Maksudku… kalau kita menutup celah sebelum itu terjadi?”

Cael mengalihkan pandangan padanya. Mata prianya seperti pantulan petir yang redup, tapi penuh rasa. “Maka kamu akan menyelamatkan duniamu. Dan aku… akan lenyap di dalamnya.”

Aurora terdiam. Mendadak semua teori, grafik, dan rumus cuaca yang ia kuasai terasa tidak penting dibanding perasaan berat di dadanya.

“Tapi… kenapa harus dua belas?” tanyanya lagi, mencoba mencari celah logika dalam hal yang tak bisa dijelaskan secara ilmiah.

Cael tersenyum kecil. “Setiap badai menciptakan lapisan retakan. Dua belas adalah batas maksimum sebelum dua dunia bertabrakan. Dunia manusia akan mulai mengalirkan energinya ke dunia kami, dan sebaliknya. Kalau dibiarkan… kedua dimensi akan menyatu. Dan ketika dua realitas bergabung—hanya satu yang bisa bertahan.”

Aurora menunduk. Jantungnya berdetak cepat. Ia tahu apa artinya: ini bukan cuma tentang Cael… ini tentang seluruh dunia.

“Tapi kenapa kamu bisa datang ke sini?” bisiknya pelan.

Cael butuh beberapa detik sebelum menjawab. “Karena kamu… menarik cahayaku.”

Aurora mengangkat kepala, menatapnya bingung. “Apa maksudmu?”

“Celah itu terbuka karena kamu punya resonansi yang cocok dengan frekuensi dimensi kami. Kamu… seperti jembatan alami,” jawabnya tenang. “Biasanya, kami hanya bisa muncul sebagai kilatan atau bentuk bayangan. Tapi kamu… membuatku utuh.”

Aurora membeku. Matanya menatap mata Cael dalam-dalam. Rasanya aneh… mendengar seseorang dari dunia lain mengatakan bahwa keberadaanmu penting. Bahwa kamu adalah alasan dia bisa ada di sini.

Dalam diam, ia merasa tersentuh.

“Kalau begitu, mungkin kita bisa gunakan resonansi itu buat nutup celah tanpa harus kamu… menghilang,” ujar Aurora perlahan, penuh harap.

Cael hanya tersenyum tipis. “Mungkin. Tapi kamu harus tahu, setiap kali aku muncul di sini… retakan semakin melebar.”

Aurora menggertakkan giginya pelan. Kepalanya mulai dipenuhi rencana—pengukuran, eksperimen, prediksi badai, bahkan ide sintesis gelombang untuk memanipulasi resonansi dimensi. Ia bangkit dan langsung menuju tumpukan peralatan yang berserakan.

“Aku butuh alat pendeteksi frekuensi energi, kamera termal, dan… oh! tabung resonatorku!” serunya sambil menggali dari balik lemari tua.

Cael hanya mengawasinya, senyap, tapi matanya tampak hangat.

“Kau tahu,” katanya pelan, “aku belum pernah melihat manusia yang begitu sibuk menyelamatkan seseorang dari dunia lain.”

Aurora tertawa kecil sambil tetap sibuk merakit alat. “Itu karena kamu belum pernah ketemu aku sebelumnya.”

Cael tersenyum. “Aku senang bisa mengenalmu, Aurora.”

Aurora mendadak berhenti. Kata-kata itu… terdengar sangat manusiawi, sangat nyata. Ia menatap Cael, dan untuk sesaat, suasana berubah menjadi sunyi. Tak ada petir. Tak ada teori. Hanya dua jiwa asing yang saling mengisi ruang di antara mereka.

Tapi momen itu buyar saat layar monitor Aurora tiba-tiba menyala otomatis. Gelombang energi tak dikenal terdeteksi dari utara kota. Tanda-tanda badai kedua mulai terbentuk.

Aurora menelan ludah. “Badai kedua datang lebih cepat dari yang seharusnya…”

Cael berdiri perlahan. Matanya kembali ke jendela, ke langit yang mulai berubah warna.

“Aku harus bersiap,” katanya pelan.

Aurora menatapnya, penuh rasa yang tak bisa diucapkan. Ia tahu… badai ini bukan hanya tentang cuaca. Ini tentang waktu. Tentang kehilangan. Tentang pilihan yang akan segera tiba.

Dan mereka… baru saja memulainya.

Bab 4: Percobaan di Atas Menara Petir

Langit mulai menebal. Warna birunya menghilang perlahan, digantikan oleh gradasi kelabu yang menekan udara kota Arkanova. Badai kedua datang lebih cepat dari prediksi biasa, dan Aurora tahu—ini bukan sekadar anomali cuaca.

Ini tanda bahwa waktu mereka makin menipis.

Di dalam mobil pick-up tuanya, Aurora memacu kendaraan menembus jalan berbatu menuju Menara Petir. Cael duduk di sampingnya, menatap sekeliling dengan ekspresi datar. Ia tampak kalem, tapi tubuhnya bergetar samar. Setiap kali kilat menyambar dari kejauhan, aura di sekitarnya ikut menyala seperti benang listrik yang terjaga.

“Apa kamu baik-baik saja?” tanya Aurora sambil menyetir.

“Badai memanggilku,” jawab Cael lirih. “Semakin dekat, semakin aku merasa… ingin melebur.”

“Jangan dulu. Kita harus tahu cara nutup celah itu dulu,” balas Aurora cepat. “Aku nggak mau kamu hilang begitu aja tanpa alasan.”

Cael tersenyum samar, tapi tak membalas. Ia hanya menatap langit, seolah bisa melihat dimensi lain di balik awan gelap itu.


Menara Petir Arkanova menjulang tinggi seperti tombak yang menusuk langit. Struktur logamnya dipenuhi antena dan kabel, dan puncaknya adalah tempat di mana Aurora biasanya melakukan eksperimen cuaca.

Tapi hari ini, tempat itu jadi laboratorium antara dua dunia.

Aurora mengaktifkan semua perangkat yang ada: penguat gelombang, resonator dimensi, kamera spektrum ganda, dan alat baca medan magnetik. Ia memasang sensor di sekeliling menara sambil menjelaskan rencananya dengan cepat.

“Kita akan tangkap resonansi dari petir pertama. Kalau bisa, aku ingin merekam spektrum energimu juga. Siapa tahu kita bisa simulasi ‘frekuensimu’ untuk menutup celah tanpa kamu harus hadir setiap kali.”

Cael hanya mengangguk. “Tapi jika gagal… aku bisa terserap ke sana sebelum badai terakhir.”

“Ya. Makanya kita harus berhasil.”

Suara petir terdengar makin dekat. Langit seolah pecah dan menyala dari balik awan. Angin menderu, dan antena menara mulai bergetar halus. Aurora memegang walkie-talkie sambil menatap layar monitor—garis energi mulai muncul.

“Sekarang!” serunya.

Cael berdiri di tengah lingkaran alat. Tubuhnya menyala lembut, auranya bereaksi terhadap sambaran petir di langit. Saat kilat menghantam menara, Aurora menahan napas.

Cahaya menyilaukan memenuhi ruangan. Layar komputer bergetar. Detektor berbunyi panjang. Suara frekuensi berdentang di telinganya.

“Frekuensi terdeteksi!” seru Aurora dengan mata berbinar. “Kita berhasil merekam getarannya!”

Tapi mendadak, suara lain muncul dari dalam speaker. Bukan bunyi alat, tapi… suara seperti bisikan.

Aurora menoleh. “Apa itu?”

Cael menegang. Wajahnya berubah.

“Itu… bukan aku.”

Tiba-tiba layar monitor menunjukkan fluktuasi energi tak dikenal. Spektrum cahaya terdistorsi. Sensor menangkap aktivitas dimensi yang… liar.

“Retakannya melebar! Seseorang dari sana mencoba masuk!” teriak Aurora.

Dari puncak menara, muncul cahaya yang berputar-putar seperti spiral—tapi tak berbentuk. Suara menggeram menggema di udara, membuat semua lampu berkedip liar.

Cael segera melangkah ke tengah menara dan menyalurkan energinya ke alat Aurora. Tubuhnya memancarkan cahaya biru-putih, menahan spiral yang mulai menerobos.

Aurora berusaha keras mengatur ulang sistem, tangannya bergerak panik di keyboard. “Kita harus tutup jalurnya sekarang! Kalau tidak, dimensi kita bisa runtuh sebagian!”

Cael menatap Aurora dari kejauhan. “Lakukan sekarang. Jangan pikirkan aku.”

“Diam!” bentak Aurora. “Kamu bukan alat. Aku nggak akan korbankan kamu!”

Tapi suara dalam spiral makin keras. Sesuatu di dalamnya mencoba menyusup keluar. Seperti entitas cahaya yang marah… liar… dan penuh dendam.

Aurora menekan tombol akhir. “Transfer energi ke pembatas dimensi… sekarang!”

Boom!

Cahaya terang menyambar langit. Semua suara mendadak lenyap. Hening.

Layar mati.

Udara menjadi kosong.

Aurora terengah, tubuhnya lunglai di lantai menara. Sementara itu, Cael berlutut di seberang ruangan, napasnya berat, tubuhnya seperti baru saja kehilangan sebagian cahayanya.

“Apa… apa kita berhasil?” tanya Aurora dengan suara parau.

Cael menatapnya dengan senyum lelah. “Kita menutup celah untuk sementara. Tapi mereka tahu… kita di sini.”

Aurora merinding. “Mereka?”

Cael mengangguk pelan. “Entitas dari dimensi paralel… mereka bukan seperti aku. Mereka bukan datang untuk hidup berdampingan.”

Aurora menggigit bibirnya. Di benaknya hanya ada satu kesimpulan: waktu mereka bukan hanya terbatas… tapi juga dikejar oleh sesuatu yang ingin menjebol dunia ini dari sisi lain.

Dan badai berikutnya mungkin bukan hanya membawa kilat… tapi juga ancaman yang lebih gelap.

Bab 5: Dunia yang Menipis

Sejak malam di menara petir itu, sesuatu berubah.

Langit Arkanova tampak berbeda. Warna birunya tak lagi bersih, seolah ada lapisan tipis seperti kabut tak terlihat yang menutupi langit. Saat malam datang, bintang-bintang tak muncul seperti biasa. Beberapa bahkan berkelap-kelip dengan pola yang aneh—seperti sedang berkedip dalam kode.

Aurora melihat semuanya. Ia mencatat, membandingkan, merekam. Tapi semakin ia mencari penjelasan ilmiah, semakin ia sadar: batas antara dunia manusia dan dunia Cael mulai menipis… dan tidak ada rumus yang cukup untuk menjelaskan hal ini.

“Aku pikir ini akan perlahan,” katanya sambil menatap layar komputer yang menampilkan data magnetik aneh dari atmosfer. “Tapi semuanya makin cepat. Batas dunia kita… seperti kulit tipis yang siap sobek kapan saja.”

Cael berdiri di dekat jendela, menatap langit. “Itu karena celah pertama sudah terbuka. Saat aku muncul di sini, aliran energi mulai bergerak dua arah. Dunia kami menarikmu, dan duniamu menarikku.”

Aurora menghela napas. “Aku bisa rasakan itu. Suara dari dimensi kalian masih terdeteksi. Kadang muncul dalam rekaman video. Kadang… dalam mimpi.”

Cael menoleh cepat. “Kau bermimpi tentang mereka?”

Aurora mengangguk perlahan. “Ada cahaya yang bicara. Tapi bukan dengan suara manusia. Seperti… resonansi langsung ke otak. Mereka bilang ‘buka lebih lebar’. Aku nggak ngerti maksudnya, tapi rasanya… gelap. Mengancam.”

Cael menggertakkan rahangnya. “Itu mereka. Entitas liar dari dimensi paralel. Mereka bukan berasal dari duniamu atau duniaku. Mereka lahir dari celah itu sendiri—eksistensi antara batas, tak punya bentuk tetap.”

Aurora menelan ludah. “Dan sekarang mereka tahu aku bisa dengar mereka?”

“Ya. Karena kamu ‘resonator alami’. Mereka akan mencoba masuk lewat kamu,” jawab Cael, nadanya serius.


Sejak hari itu, Arkanova mengalami gangguan aneh. Listrik padam secara tiba-tiba di beberapa wilayah tanpa alasan teknis. Alat komunikasi terganggu. Bahkan ada laporan orang-orang yang melihat kilatan cahaya bergerak sendiri di malam hari—seperti makhluk cahaya yang berjalan di pinggir jalan.

Aurora makin sibuk. Ia tidur hanya dua jam sehari, sisanya dihabiskan untuk menyusun rencana menutup celah sepenuhnya. Ia menciptakan alat yang ia sebut “Perisai Dimensi”—sebuah mesin besar dengan inti resonator, yang jika diselaraskan dengan frekuensi petir dan aura Cael, bisa menutup jalur antar dunia.

“Kalau alat ini bekerja, kamu nggak perlu kembali. Kita bisa tetap di sini dan hidup normal,” katanya sambil menyolder bagian inti perisai.

Cael diam. Matanya menatap alat itu, lalu berpindah pada wajah Aurora.

“Kalau alat itu bekerja,” katanya pelan, “aku akan kehilangan koneksi dengan duniaku. Dan… aku tak tahu apa yang akan terjadi pada tubuhku di sini.”

Aurora menghentikan pekerjaannya. “Maksudmu… kamu bisa lenyap?”

Cael hanya mengangguk pelan.

Aurora menatapnya lekat. Jarak di antara mereka tiba-tiba terasa sangat dekat, padahal mereka tak bergerak sedikit pun. Dalam pikirannya, ia mencoba membantah segalanya. Tapi hatinya tahu, kemungkinan itu nyata.

“Kita akan cari cara lain. Aku nggak akan ambil risiko itu,” ujarnya lirih.

Cael tersenyum samar, tapi tidak mengatakan apa-apa.


Malamnya, Aurora berdiri di atap rumah, memandangi langit. Kilatan aurora samar mulai terlihat meski badai belum datang. Cahaya hijau-biru itu membentuk pola seperti jaringan akar di langit. Tapi lebih dari itu, ia melihat sesuatu yang membuat dadanya sesak.

Retakan.

Bukan retakan fisik, tapi seperti garis cahaya yang membelah udara. Tak terlihat oleh mata biasa, tapi bagi Aurora yang kini bisa merasakan getarannya, itu tampak nyata dan menyakitkan. Ia mengulurkan tangan ke udara—dan untuk sepersekian detik, jarinya bersentuhan dengan sesuatu yang… hidup.

Retakan itu berdenyut.

Aurora mundur satu langkah. Dadanya berdegup kencang. “Mereka… semakin dekat.”

Dari balik pintu atap, Cael muncul. “Kau merasakannya?”

Aurora mengangguk. “Mereka menunggu badai ketiga.”

Cael menatap langit yang kini dipenuhi garis samar seperti jaring laba-laba bercahaya. “Kita kehabisan waktu. Dunia ini perlahan melebur. Dan saat batasnya benar-benar hilang… tidak akan ada yang bisa mengembalikannya.”

Aurora menatap langit, matanya berkilat. “Kalau begitu, sebelum badai ketiga datang… kita harus bertindak. Kita tutup celah itu sebelum mereka datang lebih dulu.”

Cael menatapnya lekat. “Itu berarti kamu harus masuk lebih dalam ke retakan… lebih dalam dari sebelumnya.”

Aurora menggenggam tangan Cael. “Kalau itu satu-satunya cara menyelamatkan dunia—dan kamu—aku akan masuk. Bersamamu.”

Dan malam itu, saat dunia tidur, dua jiwa dari dimensi berbeda bersiap menembus batas.

Tak lagi hanya untuk mencari jawaban… tapi untuk menyelamatkan segalanya sebelum semuanya hilang.

Bab 6: Rahasia di Dalam Cahaya

Petir pertama dari badai ketiga menyambar langit Arkanova dini hari itu. Bukan kilat biasa—cahayanya seperti membelah langit dalam garis tegak lurus, dan untuk sesaat, waktu terasa melambat. Aurora terbangun dari tidur singkatnya dengan napas terengah. Dadanya panas. Ia tahu… celahnya terbuka lagi.

Di ruang kerja, Cael sudah berdiri menatap layar holografik yang ia dan Aurora rakit bersama. Titik-titik cahaya seperti jantung berdetak terpampang di sana. Masing-masing mewakili lokasi retakan dimensi yang muncul di sekitar kota.

“Lima celah kecil. Tiga di utara, dua di barat,” kata Cael tanpa menoleh. “Tapi ada satu yang… berbeda.”

Aurora mendekat, matanya menyapu layar. Salah satu titik di tengah kota—tepat di bawah Menara Tua Arkanova—berkilau lebih terang daripada yang lain. Bukan hanya resonansi tinggi… tapi terhubung ke semua celah lainnya.

“Ini pusatnya,” gumam Aurora. “Sumber utama. Mungkin ini… jalan masuk mereka.”

Cael mengangguk. “Kalau kita bisa menutup celah ini, kita bisa melemahkan semua yang lain. Tapi…”

“Tapi?”

“Tempat itu juga menyimpan rahasia… tentang aku.”

Aurora menatapnya. “Kamu tau sesuatu yang belum kamu bilang?”

Cael menunduk. Untuk pertama kalinya sejak ia muncul di dunia ini, ada luka di matanya. Seperti memori lama yang menyakitkan.

“Dimensi cahaya bukan hanya tempat asal. Itu… hasil.”

“Hasil?” Aurora mengernyit.

Cael menarik napas panjang. “Kami adalah eksperimen yang gagal dari waktu yang patah. Dunia kami terbentuk dari serpihan realitas yang tersisa setelah sebuah tabrakan dimensi di masa depan. Kami bukan dilahirkan… kami tercipta dari kehancuran.”

Aurora membeku.

“Kami… aku… adalah bagian dari percobaan untuk menyelamatkan satu dunia dengan mengorbankan yang lain. Tapi di tengah proses itu, kami tercerai. Aku adalah satu-satunya yang berhasil lolos—karena… aku membawa sebagian cahaya dari duniamu.”

“Dari duniaku?” bisik Aurora.

“Ya. Dari masa depan duniamu. Energi itu tertanam di dalam tubuhmu. Itulah kenapa aku bisa datang ke sini. Karena kamu adalah kunci terakhir yang tersisa—peninggalan dari percobaan yang melahirkan duniaku.”

Aurora terdiam. Dunia di sekelilingnya seperti berhenti berputar. Kata-kata Cael terasa terlalu besar, terlalu berat untuk dipahami sekaligus.

“Jadi aku… bagian dari semua ini?” suaranya bergetar.

“Lebih dari itu,” kata Cael. “Kau adalah penyambung antara dua dunia. Tapi kalau jalur ini terus dibiarkan terbuka… dunia kita berdua akan kembali bertabrakan. Dan hanya satu yang akan tetap ada.”

Aurora menggeleng perlahan. “Tidak. Aku nggak akan biarkan dunia ini hancur. Atau kamu. Kita akan cari jalan lain.”

Cael menatapnya dengan sorot yang lembut. “Dan karena itulah… aku percaya padamu.”


Mereka bergerak malam itu juga.

Menara Tua Arkanova sudah lama terbengkalai, tapi struktur batu tuanya menyimpan banyak misteri. Bangunan itu pernah digunakan sebagai pusat riset cuaca kuno di era sebelum badai-badai aneh mulai muncul. Kini, lantainya retak, dindingnya penuh lumut, dan langit-langitnya dipenuhi sarang kelelawar.

Namun saat Aurora dan Cael masuk ke dalamnya, mereka langsung merasakan energi yang berbeda.

Udara bergetar.

Cahaya di sekeliling mereka tidak berasal dari senter atau bulan—tapi dari udara itu sendiri.

Dan di tengah ruangan besar yang gelap, ada sebuah lingkaran bercahaya di lantai. Bentuknya seperti simbol kuno, tapi jika dilihat dari alat pembaca dimensi Aurora, simbol itu hidup… dan berdetak.

“Ini dia,” kata Cael. “Gerbang utama.”

Aurora melangkah maju. Tapi saat dia menyentuh ujung cahaya itu, dunia di sekelilingnya runtuh.

Dalam sekejap, Aurora tak lagi berada di ruangan tua.

Ia berdiri di antara dua langit. Satu penuh bintang, satu penuh kilat. Tanah di bawahnya adalah cermin cair, dan dari sana… muncul bayangan dirinya.

Bayangan itu menatapnya dengan mata kosong, lalu berbicara tanpa suara.

“Kau punya dua jiwa. Satu di sini. Satu di sana. Kau harus memilih tempatmu.”

Aurora mundur. “Aku tidak mau pilih salah satu. Aku ingin menyelamatkan keduanya!”

“Itu bukan pilihanmu.”

Tiba-tiba bayangan itu berubah—menjadi Cael.

Tapi bukan Cael yang ia kenal. Ini sosok yang dipenuhi retakan cahaya, matanya menyala seperti petir, dan tubuhnya hancur seperti patung pecah.

Aurora menjerit.

Dan saat ia jatuh ke dalam bayangan itu, semuanya gelap.


Ia terbangun dengan tubuh berkeringat di lantai menara. Cael memegang bahunya, panik.

“Kau tidak apa-apa?”

Aurora terengah, menatapnya dengan mata yang masih buram. “Aku… aku melihatnya. Aku melihat kemungkinan yang akan datang. Jika jalur ini tidak ditutup… kamu akan hancur. Dunia ini juga.”

Cael menunduk. “Maka hanya ada satu jalan.”

Aurora memeluknya erat. “Belum. Belum sekarang. Kita masih punya sembilan badai. Dan aku… tidak akan menyerah sebelum menemukan cara agar kamu tetap di sini. Tanpa harus kehilangan segalanya.”

Dan di balik pelukan itu, dunia terus bergetar.

Karena rahasia dalam cahaya bukan sekadar asal-usul Cael.

Tapi juga masa depan Aurora.

Bab 7: Suara dari Dimensi Terbalik

Sejak kejadian di Menara Tua, malam-malam Aurora tak lagi sunyi.

Setiap kali ia memejamkan mata, suara-suara aneh datang tanpa undangan. Bukan mimpi. Bukan halusinasi. Suara-suara itu seperti bisikan dari balik kaca—pelan, bergetar, tapi menghantam pikirannya seperti badai. Kadang mengucapkan namanya. Kadang hanya berdesis dalam bahasa yang tak bisa diucapkan manusia.

Yang lebih mengganggu? Ia mulai bisa mengerti sebagian dari mereka.

“Aurora… buka lebih lebar…”
“Kau kunci… kau pembuka… kau penghapus…”
“Lepaskan cahayamu… dan biarkan kami masuk…”

Aurora duduk terjaga di tepi ranjang, mata sayu, wajahnya pucat. Kopi dingin di tangan, dan layar laptopnya menampilkan grafik energi aneh yang bergerak sendiri—meski tak ada badai malam itu.

Cael muncul dari ruang belakang. Sejak ia memasang penjaga frekuensi di sekitar rumah, ia selalu bisa merasakan saat resonansi dari dimensi terbalik mendekat.

“Kamu dengar mereka lagi?” tanyanya, meski ia tahu jawabannya.

Aurora mengangguk pelan. “Mereka… seperti sedang mencoba masuk ke pikiranku. Tapi mereka nggak memaksa. Mereka… menggoda. Menjanjikan kekuatan. Menjanjikan jalan keluar.”

Cael berjalan pelan, lalu duduk di sampingnya. “Mereka tahu kamu adalah jembatan. Bukan hanya celah—tapi jalur sempurna untuk masuk tanpa batas.”

Aurora menggigit bibirnya. “Apa yang terjadi kalau mereka berhasil masuk lewat aku?”

“Dunia ini… akan menjadi jembatan yang tak bisa ditutup,” jawab Cael pelan. “Dan kamu… akan kehilangan siapa dirimu. Mereka akan meminjam tubuhmu… pikiranku… bahkan hatimu.”

Aurora mengalihkan pandangan. Kata ‘hati’ yang diucapkan Cael barusan terasa seperti petir kecil di dadanya. Bukan hanya karena bahaya itu nyata, tapi karena ia mulai menyadari betapa dalam perasaan yang tumbuh sejak kemunculan Cael.

“Aku kuat,” katanya tegas. “Aku nggak akan biarkan mereka menguasai aku. Tapi…”

“Tapi kamu butuh tahu apa yang mereka mau.”

Aurora menatapnya kaget.

Cael mengangguk pelan. “Kita harus masuk ke dimensi terbalik.”


Hari itu, mereka pergi ke tempat yang disebut “Void Point”—lokasi pertama retakan muncul sebelum kemunculan Cael. Sebuah padang rumput sepi di pinggiran Arkanova, yang kini ditutup pagar kawat dan papan larangan milik pemerintah.

Tapi malam ini, angin di sana berbisik lain. Langit bersih, tapi udara di tengah lapangan seperti bergetar. Aurora bisa merasakannya—frekuensi halus yang menari di tulang belakangnya.

Cael memasang alat penstabil dimensi sementara. Lingkaran kecil dengan inti kristal biru dari dunia asalnya.

“Kamu yakin alat ini aman?” tanya Aurora sambil menarik napas gugup.

“Tidak,” jawab Cael jujur. “Tapi ini satu-satunya cara melihat sisi lain… tanpa benar-benar menyeberang.”

Saat alat diaktifkan, tanah di tengah lapangan mulai menyala. Bukan cahaya biasa. Cahaya itu seperti air yang terpantul dari langit yang rusak. Bayangan muncul di atasnya. Bayangan yang berbicara.

“Aurora…”

Suara itu datang dari segala arah. Tapi bukan menggema—melainkan merayap masuk ke dalam kepala. Cael langsung berdiri di sampingnya, bersiap menyalurkan energi pelindung.

“Bicara denganku,” kata Aurora lirih. “Apa yang kalian inginkan dariku?”

“Kami ingin kembali…”
“Kami adalah sisa dari masa yang dibuang… kami tak ingin hancur…”
“Kami bisa memberikanmu semua yang hilang… semua yang akan hilang…”

Cahaya itu berubah bentuk, menjadi siluet dirinya sendiri. Aurora menatap sosok itu—dirinya sendiri, tapi dengan mata hitam penuh bintang, dan tubuh seperti retakan langit.

“Jika kamu menutup celah… kamu akan kehilangan dia…”

Aurora terpaku.

“Jika kamu menyatu dengan kami… kalian bisa hidup abadi, dalam cahaya… tak terbatas waktu, tak terbatas dimensi…”

Aurora merasa tubuhnya gemetar. Ia tahu suara itu sedang memainkan ketakutan terdalamnya: kehilangan Cael. Kehilangan perasaan yang bahkan belum sempat diberi nama.

Tapi saat tangannya nyaris menyentuh cahaya… Cael menariknya mundur.

“Jangan dengarkan mereka,” bisiknya. “Mereka tak bicara cinta. Mereka bicara kuasa.”

Aurora menutup mata, mengatur napas. Ketika ia membukanya lagi, ia menatap ke dalam cahaya dan berkata dengan suara gemetar tapi tegas:

“Kalau kalian memang punya perasaan… kalian tidak akan memaksa.”

Dan dalam sekejap, cahaya itu memudar. Suara menghilang. Alat retakan berhenti bergetar.

Tapi sebelum benar-benar hilang, satu bisikan terakhir terdengar, begitu pelan, hampir tak terdengar:

“Kita akan menunggu… badai keempat…”


Di perjalanan pulang, Aurora bersandar di pundak Cael dalam diam. Mobil melaju pelan, menembus malam yang kembali tenang.

“Kalau suatu hari aku harus memilih dunia ini… dan kehilanganmu…” bisiknya, “apa kamu akan tetap datang padaku… kalau bisa?”

Cael menoleh, wajahnya tenang. “Jika aku bisa memilih… aku akan memilih jatuh ke dalam petir itu… lagi dan lagi. Asal kamu tetap ada di ujungnya.”

Aurora menutup mata. Di luar, langit masih gelap. Tapi di dalam mobil itu, ada cahaya kecil bernama rasa.

Bab 8: Pelarian ke Langit

Badai keempat datang tanpa peringatan.

Langit tak lagi memberi waktu. Tanpa pola, tanpa sistem, hanya ledakan cahaya dan suara yang menggetarkan bumi. Petir menyambar dari segala arah. Tak satu pun alat pendeteksi di laboratorium Aurora mampu membaca kapan badai itu dimulai—karena ini bukan badai biasa.

Ini adalah peringatan.

Aurora dan Cael tengah berada di rumah ketika bumi seperti bergeser. Lampu padam. Semua monitor menyala sendiri, menampilkan simbol aneh yang bergetar cepat. Suara dari dimensi terbalik terdengar keras di udara, tak lagi hanya bisikan.

“Buka kami… sekarang…”

“Cahaya kalian adalah milik kami…”

Aurora menggenggam tangan Cael erat. “Kita harus pergi. Sekarang.”

Cael mengangguk cepat. “Ke tempat tertinggi. Hanya di sana aku bisa melawan tarikan mereka. Di bawah… kita akan diserap.”

Mereka melompat ke mobil tua Aurora yang masih tersisa listrik darurat. Tujuan mereka: Puncak Sinar, gunung tertinggi di sekitar Arkanova. Dulu tempat wisata, sekarang ditutup karena “anomali cuaca ekstrem”. Tapi bagi Aurora dan Cael, tempat itu bukan sekadar dataran tinggi.

Itu satu-satunya tempat di mana jalur dimensi bisa ditutup dari titik tengah langit.


Perjalanan menuju Puncak Sinar adalah pertaruhan. Jalan licin. Kabut tebal. Di kejauhan, kilatan cahaya tidak hanya menyambar pohon—tapi seperti membuka lubang hitam kecil yang menyedot udara. Beberapa mobil terbakar, dan sinyal ponsel hilang sepenuhnya.

Aurora mengemudi dengan tangan gemetar, tapi wajahnya tetap fokus. Cael, duduk di sebelahnya, memeluk inti resonator miliknya—sebuah bola kecil dari kristal bercahaya. Itu alat satu-satunya yang bisa menutup celah… atau menghancurkan tubuhnya sendiri jika gagal.

“Kita hampir sampai…” gumam Aurora saat jalan mulai menanjak.

Namun tiba-tiba, jalan di depan mereka retak.

Retakan bukan dari tanah biasa. Tapi dari langit.

Seperti jaring laba-laba yang menjulur ke bumi, garis cahaya menyambar aspal. Dari dalamnya, muncul makhluk samar, seperti bayangan yang melayang dan mengeluarkan suara gemeretak—entitas dari dimensi terbalik yang kini berhasil masuk ke dunia manusia.

Aurora membelokkan setir keras, menghindari makhluk itu. Mobil melaju ke jalur setapak sempit yang hanya cukup untuk satu kendaraan.

“Kalau kita nggak naik sebelum langit terbuka penuh, semuanya akan habis!” teriak Aurora.

Cael menoleh, menatap langit yang mulai robek. “Tepat di atas puncak, ada jalur energi. Aku bisa berdiri di tengahnya untuk menyinkronkan dimensi. Tapi itu hanya akan bertahan beberapa menit!”

“Berapa menit pun… aku akan jaga kamu tetap di sana,” jawab Aurora tanpa ragu.


Mereka sampai di puncak saat langit meledak. Petir seperti berdansa di atas kepala, menari dalam pola spiral. Aurora menyiapkan alat pembatas, sedangkan Cael berdiri di tengah lingkaran simbol cahaya yang mereka bawa dari menara tua.

“Saat aku mulai, kamu akan lihat sisi asliku,” kata Cael sambil menatapnya. “Itu mungkin menakutkan.”

Aurora menatap matanya dalam-dalam. “Aku nggak takut kamu berubah. Aku cuma takut kehilangan kamu.”

Dan dengan satu sentuhan, Cael melepaskan bentuk manusiawinya.


Aurora menahan napas.

Di depannya, Cael berubah menjadi sosok penuh cahaya. Tubuhnya bukan lagi daging dan tulang, melainkan kumpulan energi murni. Di dalamnya, Aurora bisa melihat potongan waktu, langit masa depan, dan bayangan dirinya sendiri—seolah dunia ini dan dunia Cael saling terpantul dalam bentuk paling murni.

Aurora menyalakan alat pembatas. Resonansi dimulai.

Langit bergetar.

Udara pecah.

Makhluk-makhluk dari dimensi terbalik muncul dalam pusaran spiral.

Dan di tengah kekacauan itu, Cael mengangkat tangannya—menyalurkan cahaya ke jalur dimensi.

“Satu menit lagi!” teriak Aurora, menahan alat yang nyaris meledak.

Tapi tiba-tiba, salah satu makhluk itu menyusup masuk—menyerang Aurora dari belakang. Ia terlempar ke tanah, tubuhnya bergetar oleh sengatan dimensi asing.

Cael menoleh. “Aurora!”

Tapi jika ia bergerak keluar dari lingkaran… seluruh sinkronisasi akan gagal.

Aurora bangkit dengan susah payah. Darah mengalir dari pelipisnya. Ia menatap Cael yang masih berdiri tegak, tubuhnya mulai retak oleh beban energi.

Dengan langkah tertatih, Aurora masuk ke dalam lingkaran, menggenggam tangan Cael yang panas seperti petir.

“Kalau kamu jatuh… aku jatuh bareng,” bisiknya.

Cahaya menyilaukan meledak dari mereka berdua. Alam semesta bergetar.

Lalu…

Sunyi.


Ketika Aurora membuka mata, langit kembali biru.

Tak ada retakan. Tak ada pusaran. Tak ada suara dari dimensi lain.

Hanya angin lembut… dan tubuh Cael yang tergeletak di sampingnya, kembali dalam wujud manusia, tapi lemah, hampir tak bernapas.

“Cael… Cael bangun…” bisiknya.

Cael membuka mata perlahan. “Kita… berhasil?”

Aurora menangis. “Iya. Tapi kamu hampir…”

Cael menyentuh pipinya, lemah tapi hangat. “Kamu… menyelamatkanku.”

Aurora tersenyum di tengah air matanya. “Nggak cuma kamu. Dunia juga.”

Dan untuk pertama kalinya sejak badai pertama, langit Arkanova terasa… tenang.

Tapi kedamaian itu takkan bertahan lama.

Bab 9: Pilihan Terakhir Saat Badai Kedua Belas

Waktu berjalan cepat setelah badai keempat.

Delapan badai lainnya datang satu per satu, tanpa peringatan, tanpa ampun. Setiap badai membuat dunia terasa semakin rapuh, seperti kaca tipis yang siap pecah hanya dengan bisikan. Aurora dan Cael menghadapi semuanya dengan segala kekuatan dan harapan yang tersisa.

Kini, badai terakhir datang.

Badai kedua belas.

Langit Arkanova tidak lagi seperti langit yang mereka kenal. Warna-warna aurora bergulung liar seperti pusaran tinta dalam air, dan petir menyambar tanpa suara—seolah-olah bumi sudah tak bisa bersuara lagi, hanya bisa menunggu hasil akhir dari segalanya.

Cael berdiri di balkon rumah Aurora, menatap langit yang terus berubah, sementara tubuhnya mulai memudar.

“Waktu kita habis,” katanya lirih.

Aurora berdiri di belakangnya, diam. Ia sudah tak bisa membohongi dirinya lagi. Tubuh Cael mulai tembus cahaya, seperti kilat yang kehabisan daya. Setiap badai yang mereka lewati menguras keberadaannya.

“Kalau celah tidak ditutup malam ini,” lanjut Cael, “duniaku akan sepenuhnya masuk ke duniamu. Tapi… jika kita menutupnya, aku akan… pergi.”

Aurora berjalan pelan, memeluk tubuh Cael dari belakang, memejamkan mata. “Aku tahu.”

Keheningan menggantung lama di antara mereka.

“Ada satu cara lagi,” kata Cael tiba-tiba.

Aurora membuka mata. “Apa?”

“Kita bisa menyatu. Dalam cahaya. Kita melebur jadi satu… dan hidup di antara dimensi. Tidak di sini, tidak di sana. Tapi kita… tetap bersama.”

Aurora terdiam. Pilihan itu seperti mimpi dan mimpi buruk sekaligus. Bersama, tapi lenyap. Hidup, tapi tak lagi manusia.

“Kita akan hilang dari dunia ini, Cael. Tak ada yang akan mengingat kita.”

Cael menatapnya dalam. “Tapi kita akan ingat satu sama lain. Selamanya.”

Aurora menarik napas dalam. Dunia terasa hening. Semua suara tertelan oleh badai yang menggulung di atas kepala mereka. Pilihan mereka harus dibuat… sekarang.


Malam itu, mereka kembali ke Menara Petir—tempat segalanya dimulai.

Langkah mereka ringan, tapi hati mereka berat.

Aurora memasang alat terakhir: penyegel dimensi berbasis resonansi. Alat itu bisa menutup celah selamanya… dan menghapus semua jalur antara dunia Cael dan dunia manusia.

Sementara itu, Cael berdiri di tengah lingkaran resonansi. Tubuhnya nyaris tak terlihat lagi, cahaya mengalir di sepanjang lengannya.

“Aku bisa rasakan akhir itu,” katanya pelan. “Sakitnya bukan seperti mati. Tapi seperti… kehilangan rumah.”

Aurora menahan air mata. “Aku bisa hidup tanpamu… tapi aku nggak mau.”

Petir menyambar menara. Badai kedua belas tiba dengan kekuatan paling besar.

Langit seperti pecah. Dan di tengah pusaran itu, muncul jalur terakhir. Sebuah gerbang bercahaya, terbuka lebar. Retakan di udara terlihat seperti luka besar—dan dari sana, dunia Cael bersinar, memanggil.

Cahaya dari dua dunia mulai bertabrakan. Bumi gemetar.

Alat penyegel dimulai. Aurora memegang tombol akhir, jari-jarinya gemetar.

Cael menatapnya, lalu mengulurkan tangannya. “Kita bisa masuk ke sana. Bersatu. Dan takkan pernah terpisah lagi.”

Aurora menatap tombol itu.

Jika ditekan… Cael lenyap.

Jika tidak… dunia manusia hancur.

Hening. Hanya ada suara detak jantungnya sendiri.

“Kalau aku ikut kamu,” bisik Aurora, “apa kamu yakin aku nggak akan kehilangan diriku?”

Cael mengangguk. “Karena kamu… adalah cahayaku.”

Air mata jatuh dari mata Aurora. Ia menatap tombol itu lama. Lalu…

Ia melepaskannya.

Dan berlari ke arah Cael.


Tubuh mereka bersatu dalam pelukan. Cahaya meledak dari tengah menara, menyelimuti badai, menelan petir, dan menutup langit dalam satu kilatan putih.

Di seluruh kota Arkanova, badai menghilang. Langit menjadi bersih.

Seolah… tidak pernah ada apa-apa.

Tapi di malam hari, saat aurora borealis muncul tiba-tiba tanpa alasan, ada yang melihat dua bayangan bercahaya berdiri di langit—berpegangan tangan, melayang dalam keheningan cahaya.

Aurora dan Cael.

Hilang dari dunia.

Tapi tak pernah hilang dari satu sama lain.


Sudah tiga bulan sejak badai terakhir menghantam Arkanova.

Sejak malam itu, tak ada lagi sambaran petir yang membelah langit secara tiba-tiba. Tak ada suara bisikan dari dimensi lain. Tak ada retakan di udara, atau laporan makhluk bercahaya yang muncul di balik kabut.

Namun satu hal tetap ada.

Aurora borealis.

Setiap malam, langit di atas Arkanova dihiasi warna-warna cahaya yang tak seharusnya muncul di belahan dunia ini. Hijau, biru, ungu, bahkan warna keemasan yang belum pernah tercatat dalam sejarah cuaca. Orang-orang menyebutnya keajaiban. Sebagian percaya itu efek perubahan iklim. Sebagian lagi menyebutnya berkah.

Tapi hanya satu orang yang tahu kebenarannya.

Profesor Mikael—dosen meteorologi senior dan mantan atasan Aurora—berdiri di depan menara observasi, menatap langit yang kini memancarkan aurora setiap malam tanpa gagal. Di tangannya, ia memegang catatan terakhir milik Aurora: buku tulis kusut yang berisi sketsa lingkaran cahaya, catatan retakan dimensi, dan satu halaman terakhir bertuliskan kalimat sederhana:

“Jika aku tak kembali, cari kami di cahaya.”

Profesor Mikael menatap halaman itu lama, lalu memejamkan mata.

Ia tahu.

Aurora tak hilang.

Ia memilih untuk bersatu dengan cahaya yang ia cintai.

TAMAT.

Novel ini ditulis oleh Evi Fauzi, Penulis dari Novel Singkat. Baca juga novel romantis dan fiksi ilmiah lainnya.

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

    Leave a Reply

    Your email address will not be published. Required fields are marked *