Eris, seorang penulis lepas yang pendiam dan tertutup, kehilangan separuh jiwanya ketika saudari kembarnya, Elia, meninggal dalam kecelakaan tragis. Tak sanggup menghadapi kenyataan, Eris mengalami gangguan kepribadian dan mulai “menghidupkan” Elia dalam dirinya. Ia menjalani hidup ganda—sebagai Eris di siang hari, dan Elia di balik bayangannya.
Saat Arga, mantan kekasih Elia, kembali ke kota dan jatuh cinta pada sosok Elia yang diperankan oleh Eris, konflik batin mulai meledak. Sampai kapan Eris bisa mempertahankan dua identitas ini tanpa kehilangan akal sehatnya? Dan saat cinta datang… apakah Arga benar-benar mencintainya, atau hanya mencintai bayangan Elia yang sudah tiada?
Dalam kisah yang emosional dan menyayat ini, Eris harus memilih: terus hidup dalam kebohongan, atau berdiri sebagai dirinya sendiri—meski harus kehilangan cinta yang selama ini ia perjuangkan.
Bab 1: Kecelakaan di Hari Ulang Tahun
Ulang tahun ke-21 seharusnya jadi momen bahagia. Tapi malam itu justru menjadi malam paling mengerikan dalam hidupku. Aku, Eris—dan Elia, saudari kembarku—baru saja meniup lilin bersama. Kami tertawa, menyuapi satu sama lain dengan kue coklat, bernyanyi fals, dan mengulang kenangan masa kecil.
“Ayo kita foto dulu, biar nanti pas tua bisa lihat betapa cantiknya kita malam ini,” kata Elia sambil mengangkat ponsel.
Kami duduk berdampingan di kafe kecil langganan sejak SMA. Aku memakai dress biru tua, Elia merah marun. Orang-orang selalu bilang kami identik, tapi kenyataannya Elia selalu lebih berani, lebih cerah, lebih hidup. Aku sering merasa jadi bayangannya.
Setelah selesai merayakan, kami memutuskan pulang naik mobil. Elia menyetir, karena aku belum pernah terlalu percaya diri di belakang kemudi. Jalanan malam itu lengang, sedikit berkabut. Musik dari radio mengalun pelan. Elia masih tertawa mengingat kejadian lucu waktu kecil—saat kami tertukar di kelas dan gurunya panik.
“Aku gak akan pernah ninggalin kamu, Ris,” katanya tiba-tiba, seperti bisa membaca pikiranku yang murung. “Kita akan selalu bareng-bareng, kan?”
Aku mengangguk pelan. “Selalu.”
Dan tepat saat itulah, cahaya terang menyilaukan dari arah kiri. Bunyi klakson meraung. Elia refleks membelokkan setir. Suara tabrakan menggema seperti dentuman petir yang menyayat langit. Semuanya terjadi begitu cepat.
Seketika tubuhku terpental ke depan, kepala menghantam dashboard. Aku merasa tubuhku melayang, kemudian semuanya gelap.
Saat aku membuka mata, dunia terasa lambat. Samar-samar kulihat atap rumah sakit, langit-langit putih yang menyilaukan. Bau disinfektan menyengat. Lengan kiriku digips, ada selang infus di tangan kanan. Tubuhku lemas.
Aku memandang ke sekeliling. Tidak ada Elia.
“Elia…?” suaraku serak, hampir tak terdengar.
Seorang perawat datang menghampiri. Wajahnya penuh empati.
“Kamu sadar… puji Tuhan,” katanya lembut. “Tapi…”
Aku tahu kalimat itu tak akan berakhir baik.
“Elia tidak berhasil. Dia… meninggal di tempat.”
Dunia runtuh. Suara perawat lenyap. Hanya ada gema kata “meninggal” berulang-ulang di telingaku. Aku menjerit. Menangis. Menyebut namanya berkali-kali, berharap itu semua hanya mimpi buruk.
Tapi kenyataannya tidak berubah. Elia telah tiada.
Seminggu setelah pemakaman, aku masih tidak percaya. Di rumah, semua terasa sepi. Kami berbagi kamar sejak kecil. Kini hanya ada satu sisi ranjang yang kosong, lemari yang terbuka setengah, parfum Elia yang masih tertinggal di meja rias.
Aku mulai berbicara sendiri, mengulang kalimat-kalimat Elia seolah dia masih di sampingku.
“Aku tahu kamu masih di sini, kan?” bisikku malam itu di depan cermin.
Bayanganku menatap balik. Tapi matanya seperti bukan milikku.
“Mungkin… kalau aku jadi kamu, kamu nggak akan pernah pergi.”
Dan malam itu, untuk pertama kalinya, aku mengenakan gaun merah Elia. Aku merias wajah seperti yang biasa ia lakukan—lipstik merah terang, eyeliner tegas, alis tebal. Lalu berdiri di depan cermin.
“Aku Elia,” gumamku pelan.
“Eris udah nggak ada.”
Esok harinya aku kembali ke kampus, berpura-pura jadi diriku sendiri. Tapi ada sesuatu yang berubah. Aku mulai melihat diriku dari luar. Kadang-kadang aku seperti penonton dari tubuh ini. Kadang aku tak tahu siapa yang sedang bicara—Eris atau Elia.
Dan hal itu semakin menjadi ketika aku menerima pesan dari nomor asing.
“Elia? Aku baru balik ke Jakarta. Boleh kita ketemu? – Arga”
Aku terdiam.
Arga.
Nama itu seperti hantaman palu ke dadaku. Arga adalah kekasih Elia. Mereka pacaran sebelum Arga pindah ke Belanda untuk studi. Mereka masih saling berkirim pesan, video call. Elia selalu menanti kepulangan Arga.
Dan sekarang… Arga mengira aku Elia.
Aku tak tahu kenapa, tapi jemariku dengan cepat membalas.
“Tentu. Aku juga kangen.”
Bodohnya, aku tak menghapus pesan itu. Aku baca ulang berkali-kali. Perasaanku campur aduk. Ini salah, aku tahu. Tapi ada bagian dalam diriku yang… bahagia.
Bahagia karena bisa membuat Elia ‘hidup’ kembali.
Bahagia karena Arga akan menemuinya—walaupun itu aku.
Dan hari itu, aku kembali berdiri di depan cermin, mengenakan parfum Elia. Dengan senyum getir, aku berkata pada bayanganku,
“Tenang, Li. Aku bakal jaga dia buat kamu.”
Bab 2: Ada yang Hilang dalam Diriku
Sejak pertemuan dengan Arga disepakati, malam-malamku terasa ganjil.
Aku sering bangun dengan posisi tubuh yang berbeda dari saat tidur. Kadang bajuku sudah berganti, padahal aku tidak ingat melakukannya. Kadang cat kuku Elia sudah terpakai di jemariku. Bahkan, aku menemukan pesan suara yang aku sendiri tidak merasa pernah rekam—berisi suara lirih memanggil nama Arga.
“Aku tahu kamu belum lupa aku, kan, Ga?”
Suara itu… suaraku. Tapi bukan aku.
Seolah tubuh ini mulai menjalani dua kehidupan. Eris di siang hari—gadis biasa yang diam, kalem, dan selalu menghindari keramaian. Dan Elia… di malam hari. Ceria, centil, penuh semangat. Dan aku—kami—tinggal dalam tubuh yang sama.
Awalnya aku kira ini cuma kebiasaan masa berduka. Tapi lama-lama aku takut.
Karena setiap aku bangun pagi, aku merasa seperti hanya penumpang dalam diriku sendiri.
Hari itu, Arga mengajakku bertemu di taman kota. Tempat itu punya kenangan manis untuk Elia dan dia. Bangku kayu dekat air mancur yang sering jadi tempat mereka menyanyi bareng pakai gitar kecil. Aku hafal semua itu—Elia dulu sering cerita.
Aku datang pakai dress putih dengan pita merah yang Elia suka. Rambutku kugerai, seperti kebiasaannya. Aku bahkan semprotkan parfum khas Elia, yang kini aroma itu mulai melekat di kulitku.
Ketika Arga datang, jantungku seperti berhenti berdetak sesaat.
Dia… masih sama seperti dulu. Tinggi, gagah, dengan kacamata bundar yang sedikit miring. Matanya teduh tapi penuh misteri. Dan saat dia memelukku, semua yang kupendam seperti mencair.
“Aku kangen banget, Li…” bisiknya.
Aku menggigit bibir. Aku ingin berkata: “Namaku Eris.” Tapi yang keluar justru:
“Aku juga kangen kamu, Ga.”
Dan senyumnya muncul. Hangat. Sama seperti yang sering Elia gambarkan. Senyum yang bikin dunia terasa lebih ringan. Senyum yang sekarang, entah kenapa, rasanya juga milikku.
Hari-hari selanjutnya jadi seperti mimpi. Arga mulai sering menemuiku. Kita pergi nonton, makan malam, bahkan sekadar duduk berdua di balkon apartemen sambil minum kopi. Semua berjalan indah… terlalu indah.
Tapi keindahan itu selalu membawa satu beban: kebohongan yang kubawa.
Aku bukan Elia.
Dan aku mulai tak yakin… apakah aku masih Eris juga.
Suatu malam, aku bicara sendiri di depan cermin, seperti biasa. Cermin itu… sahabat gelapku. Di situlah aku bisa bertanya jujur pada diriku.
“Kau… masih ada, kan?” bisikku pelan, menatap bayangan sendiri.
Dan entah kenapa, malam itu aku melihat sesuatu yang tidak biasa. Bayangan di cermin… tersenyum lebih dulu dariku. Hanya sepersekian detik lebih cepat. Tapi aku tahu aku tidak berhalusinasi.
“Elia?” tanyaku lirih.
Dan seolah ada suara di dalam kepala—lembut, pelan, namun menembus hingga ke sumsum tulangku.
“Tenang… aku cuma mau hidup sedikit lebih lama.”
Aku terdiam. Napasku tercekat. Mataku mulai berkaca-kaca.
“Kenapa kamu nggak pergi aja…?” tanyaku, hampir seperti merengek.
“Karena kamu butuh aku. Tanpaku, kamu cuma Eris yang kosong.”
Aku menutup mata, menunduk, lalu membanting parfum Elia ke lantai hingga pecah. Aromanya menyengat, menyelimuti ruangan seperti kenangan yang tak mau hilang.
Aku ingin berhenti. Tapi entah kenapa, aku juga tidak mau.
Karena untuk pertama kalinya, seseorang mencintaiku. Atau setidaknya… mencintai seseorang yang aku perankan.
Dan itu membuatku merasa… berarti.
Besoknya, Arga mengajakku jalan ke rumah lama Elia—rumah masa kecil kami. Ia bilang ingin melihat kembali masa lalu. Aku panik. Rumah itu sudah kosong. Semua sudah pindah ke rumah orang tua kami di luar kota. Tapi aku mengiyakan juga.
Saat kami tiba di sana, halaman masih penuh rumput liar. Tapi sesuatu di dalam diriku terasa bergejolak. Kenangan-kenangan kecil muncul. Elia kecil yang berlari mengejarku. Kita yang main lompat tali bareng. Tapi anehnya, sebagian kenangan itu terasa… bukan milikku. Seperti film yang pernah kutonton, bukan yang benar-benar aku alami.
Saat aku duduk di beranda, Arga duduk di sampingku. Ia diam lama sebelum bertanya pelan:
“Li, kamu masih ingat kenangan kita waktu hujan-hujanan di sini?”
Aku mengangguk… tapi ragu.
“Waktu itu kamu nangis karena aku pulang ke rumah tanpa pamit, terus kamu bilang—”
“—kalau kamu pergi lagi tanpa bilang, aku nggak mau temenan sama kamu lagi,” potongku cepat.
Arga menatapku. “Bukan. Kamu bilang, kalau kamu pergi lagi, aku bakal nyusul kamu ke Belanda buat tampar kamu.”
Aku terdiam.
Gugup. Gagal.
“Maaf… aku lagi banyak pikiran… jadi agak lupa,” elakku.
Arga mengangguk pelan, tapi ada tatapan aneh di matanya. Seperti… ia mulai sadar. Tapi belum yakin.
Dan malam itu, untuk pertama kalinya… aku merasa bayanganku benar.
Aku mulai kehilangan diriku sendiri.
Bab 3: Kedatangan Arga
Aku kira, aku bisa terus menyamar. Aku kira, selama aku bisa bersikap seperti Elia, semuanya akan baik-baik saja. Tapi ternyata… tidak sesederhana itu.
Setelah kejadian di rumah masa kecil, aku tahu Arga mulai curiga. Tatapannya tak lagi sehangat dulu. Ia lebih sering diam, memandangku lama-lama seperti mencoba menemukan sesuatu yang hilang. Mungkin, ia mencari Elia yang ia kenal… dan mulai sadar bahwa aku bukan dia.
Tapi tetap saja, dia tak bertanya. Mungkin takut. Mungkin ragu. Atau… mungkin sedang menunggu aku yang mengaku.
Dan itu yang membuatku makin kacau.
Di kamar, aku duduk di depan cermin. Lagi.
Rambutku kusut. Riasan di wajahku masih setengah luntur karena air mata. Aku menatap diriku sendiri—bukan sebagai Eris, bukan sebagai Elia. Tapi sebagai seseorang yang… entah siapa.
“Aku capek,” gumamku.
Tapi bayanganku di cermin tidak menunjukkan rasa lelah.
Bayanganku tersenyum.
“Kalau kamu capek… biar aku gantikan malam ini.”
Aku menggeleng. “Jangan. Kau udah ambil terlalu banyak.”
Tapi cermin itu hanya diam. Seolah menungguku menyerah.
Dan pada akhirnya… aku memang menyerah.
Esoknya, Arga datang ke tempat tinggalku. Tiba-tiba. Tanpa kabar. Aku bahkan belum mandi saat bel pintu berbunyi. Jantungku langsung berpacu. Kupakai hoodie dan buru-buru membuka pintu.
“Arga?” tanyaku, panik.
“Maaf, aku nggak kasih kabar dulu. Tapi aku harus ngobrol sama kamu,” ucapnya tegas.
Aku mengangguk, membiarkannya masuk. Kami duduk di sofa ruang tamu. Aku menahan napas.
Dia mengeluarkan sebuah foto dari sakunya. Foto lama. Elia dan Arga. Senyum mereka lebar, dan Elia memegang balon merah berbentuk hati.
“Kamu ingat ini?” tanyanya.
Aku mengangguk pelan. “Tentu… itu waktu kalian ke taman hiburan, kan?”
Arga menatapku dalam-dalam. “Iya. Tapi masalahnya… itu bukan kamu.”
Deg.
Tubuhku kaku.
“Aku… maksudku… kenapa kamu—”
“Aku ke rumah orang tuamu kemarin. Aku ketemu ibu kamu,” potongnya cepat. “Dan beliau bilang… Elia sudah meninggal. Dalam kecelakaan.”
Dunia berhenti.
Seperti seluruh udara tersedot dari ruangan. Aku terdiam. Mulutku terbuka, tapi tak ada suara yang keluar. Arga menatapku—matanya tidak marah. Justru… sedih.
“Jadi… kamu siapa?” bisiknya.
Tanganku gemetar. Aku berdiri, memunggunginya. Mataku menatap kosong ke arah jendela. Lalu aku berkata dengan suara pelan, hampir seperti gumaman:
“Aku Eris.”
Hening.
“Aku… aku kehilangan Elia. Tapi rasanya dia nggak pernah benar-benar pergi. Aku bisa dengar dia, kadang bisa lihat dia di mimpiku… dan entah sejak kapan, aku mulai hidup sebagai dia.”
Aku tertawa kecil, getir. “Lucu ya, orang-orang bilang kehilangan itu akan sembuh seiring waktu. Tapi aku justru kehilangan diriku sendiri.”
Aku berbalik. Arga masih duduk di sofa. Kepalanya tertunduk.
“Kenapa kamu gak bilang dari awal?” tanyanya lirih.
“Karena kamu mencintai dia,” jawabku. “Dan aku… aku hanya ingin dicintai. Walau cuma sebagai bayangannya.”
Mataku mulai basah. Tangisku pecah tanpa bisa kutahan lagi.
“Aku tahu ini salah, Ga… tapi ini satu-satunya cara agar aku gak merasa sendirian. Aku… terlalu takut kalau kamu gak akan pernah bisa mencintaiku sebagai Eris.”
Dia berdiri perlahan, lalu menghampiriku. Untuk sesaat, aku kira dia akan memelukku. Tapi tidak.
Dia hanya menatapku dengan pandangan yang sulit dijelaskan—penuh luka, rindu, dan kecewa yang tercampur jadi satu.
“Aku butuh waktu,” katanya akhirnya.
Aku mengangguk. Tidak memohon. Tidak merengek. Karena untuk pertama kalinya, aku tahu… kenyataan tak bisa terus kutolak.
Dan saat Arga melangkah pergi, aku tahu.
Peranku sebagai Elia… telah berakhir.
Tapi pertanyaannya sekarang:
Jika Elia telah tiada, dan aku tak tahu lagi siapa diriku…
Siapa yang sebenarnya tersisa?
Bab 4: Aku Menjadi Dirinya
Hari-hari setelah Arga pergi terasa… hampa.
Kosong seperti lorong panjang tanpa ujung, tempat aku terus berjalan, tapi tak tahu arah pulang. Aku bahkan mulai lupa suara asliku. Di cermin, aku tak mengenali wajah yang kulihat. Setiap aku menatap pantulan diriku, yang muncul adalah Elia. Bibirnya, matanya, caranya tersenyum. Tapi itu bukan aku. Bukan… Eris.
Malam itu, aku bermimpi. Tapi terasa begitu nyata.
Aku dan Elia duduk di sebuah taman yang tak pernah kulihat sebelumnya. Langitnya keunguan, dan pohon-pohonnya seperti membisikkan sesuatu. Elia menatapku. Wajahnya bersih, tak seperti saat terakhir kulihat tubuhnya terkulai di balik kemudi.
“Kau mencuri hidupku,” katanya datar.
Aku terkejut. “Aku cuma… aku ingin kau tetap ada.”
“Tapi kau bukan aku, Ris,” suaranya dingin.
“Lalu siapa aku sekarang?” tanyaku balik.
Ia tersenyum tipis. “Kau adalah sisa dari aku yang tak pernah sempat hidup sepenuhnya. Kau hidup lewat kenanganku. Tapi ingat, Ris… semua yang palsu, pada akhirnya akan hancur.”
Lalu mimpi itu menghilang. Dan aku terbangun dengan napas terengah-engah.
Aku menangis malam itu. Tapi bukan karena takut kehilangan Elia lagi.
Aku menangis karena aku tak tahu siapa yang sedang menangis—Eris… atau Elia.
Keesokan harinya, aku memutuskan untuk menulis. Aku butuh media untuk melepas semua yang mengendap di dalam kepalaku. Aku menulis dua jurnal. Satu dengan tangan kanan, satu dengan tangan kiri. Seperti kami berdua masih hidup.
Jurnal tangan kanan milik Eris: penuh keraguan, kecemasan, permintaan maaf.
Jurnal tangan kiri milik Elia: penuh tawa, puisi manis, dan kata-kata yang mengidolakan Arga.
Semakin sering aku menulis, semakin blur batas antara kami. Aku mulai menyimpan dua jenis pakaian di lemari—satu girly dan cerah, satu lagi polos dan gelap. Aku bahkan mulai memanggil diriku “Li” ketika berbicara dengan orang lain.
“Namamu siapa?” tanya seorang penjaga toko saat aku membeli kopi.
“Elia,” jawabku refleks.
Dan aku tak menyesal. Aku merasa… nyaman. Seolah dunia kembali normal saat aku menjadi Elia.
Tapi rasa nyaman itu menipu.
Aku mulai mengalami black out.
Suatu malam, aku bangun di kamar orang asing. Di lantai tiga, apartemen yang tak pernah kukunjungi sebelumnya. Di meja ada dua gelas wine kosong dan jaket Arga tergantung di kursi. Tapi Arga tak ada di sana.
Aku panik.
Kubuka ponselku, dan melihat riwayat pesan.
“Aku senang malam ini… walau kamu masih belum sepenuhnya jujur. Tapi biarlah. Aku ingin Elia, dan malam ini aku punya Elia.”
Aku gemetar.
Apa yang kulakukan? Apakah… aku menghabiskan malam bersamanya?
Aku tak ingat. Tapi tubuhku mengingat. Dan itu yang menakutkan.
Beberapa hari kemudian, aku pergi ke psikiater. Namanya dr. Nara. Ia muda, tenang, dan tidak langsung menghakimi.
“Kamu yakin nama kamu siapa?” tanyanya di sesi pertama.
Aku diam. Lama.
“Aku Eris… tapi kadang aku Elia,” jawabku pelan.
“Kapan kamu menjadi Elia?”
“Saat aku butuh dicintai,” gumamku.
Ia menulis sesuatu di bukunya. “Kamu tidak gila, Eris. Kamu hanya… kehilangan pijakan di antara realita dan kenangan. Kamu membentuk Elia karena kamu terlalu takut sendirian.”
Aku menunduk. Air mata mulai mengalir.
“Tapi Eris… kamu tetap nyata. Kamu berhak hidup tanpa harus jadi orang lain.”
Aku ingin mempercayainya. Tapi sulit. Karena semakin lama aku hidup sebagai Elia, semakin aku merasa itu satu-satunya versi dari diriku yang bisa dicintai orang.
Arga tidak mencintai Eris.
Dia mencintai Elia. Bahkan saat Elia itu adalah aku yang pura-pura.
Dan itu… membuatku ingin terus menjadi dia.
Suatu malam, aku berdiri di depan cermin lagi.
Kali ini aku membawa gunting.
Aku memandangi rambut panjangku—rambut Elia.
Dan dengan satu tarikan napas, aku potong semuanya.
Helai demi helai jatuh ke lantai seperti kenangan yang lepas dari genggaman. Aku memotongnya pendek. Sangat pendek. Sampai aku merasa asing.
Di cermin, untuk pertama kalinya… aku tak melihat Elia.
Aku melihat seseorang baru.
Bukan Eris. Bukan Elia.
Tapi seseorang yang belum kutentukan siapa.
Dan aku sadar… aku harus menemukan siapa diriku sebenarnya, sebelum aku hilang sepenuhnya.
Bab 5: Ciuman di Bawah Hujan
Aku pikir setelah potong rambut, semuanya akan berubah. Bahwa aku bisa mulai hidup sebagai diriku sendiri—Eris. Tapi ternyata tidak semudah itu.
Karena nyatanya, aku masih mencintai seseorang yang mencintai bayangan Elia.
Dan malam itu… cinta, kebohongan, dan luka bertabrakan dalam satu hujan deras.
Langit Jakarta sore itu mendung. Awan-awan abu menggantung berat, seakan tahu ada sesuatu yang tak beres di dalam hatiku. Aku berdiri di halte kecil dekat taman kota, tubuhku menggigil karena angin yang mulai membawa gerimis.
Aku baru saja dari sesi terapi keempat bersama dr. Nara. Hari itu, kami membahas perasaan bersalahku—bagaimana aku merasa mencuri hidup Elia. Bagaimana aku merasa tak layak menerima cinta siapa pun karena aku bukan “asli”.
“Kalau kamu tak bisa memaafkan dirimu sendiri, bagaimana kamu bisa percaya orang lain akan mencintai kamu yang sesungguhnya?” kata dr. Nara pelan.
Aku tak tahu jawabannya.
Dan saat itulah ponselku bergetar.
Arga.
“Kamu di mana? Aku pengin ketemu.”
Aku terdiam beberapa saat. Lalu membalas.
“Taman kota. Dekat halte.”
Tak sampai sepuluh menit, mobil Arga sudah berhenti di depanku. Ia turun dengan payung di tangan, wajahnya masih sehangat dulu. Tapi kali ini, ada sesuatu yang berbeda. Sorot matanya lebih dalam. Lebih… serius.
“Kamu kelihatan beda,” katanya sambil menatap rambut pendekku.
Aku menunduk. “Aku… coba mulai dari awal.”
Kami berjalan tanpa banyak bicara. Hujan mulai turun deras. Payung kecil itu tak cukup menutupi kami berdua. Bahuku mulai basah. Tapi aku tak peduli. Ada yang lebih basah dari jas hujan—hatiku.
Sampai akhirnya, kami berhenti di dekat air mancur.
Tempat pertama kali aku menemuinya sebagai Elia.
“Arga,” kataku pelan, nyaris berbisik.
Ia menatapku. “Ya?”
“Aku nggak mau jadi Elia lagi.”
Seketika, udara terasa berat. Hujan membasahi wajahku, bercampur dengan air mata yang tak bisa kubendung.
“Aku capek hidup dalam bayangan dia. Aku capek dicintai karena kamu pikir aku dia.”
Aku menarik napas, lalu melanjutkan.
“Tapi aku tetap mencintaimu. Bukan sebagai Elia. Tapi sebagai Eris. Aku yang sakit, rapuh, dan berantakan. Aku tahu, mungkin kamu gak akan pernah bisa balas… tapi aku perlu jujur, setidaknya kali ini.”
Dan sebelum aku sempat berpaling, Arga menarikku.
Lenganku ditariknya pelan ke dalam pelukannya. Hangat tubuhnya menyentuh tubuhku yang dingin. Wajahnya dekat… terlalu dekat.
“Aku tahu kamu Eris sejak hari kamu salah jawab tentang balon merah itu,” katanya di telingaku. “Tapi aku pura-pura gak tahu, karena aku juga takut… takut kehilangan satu-satunya bagian dari Elia yang masih hidup.”
Aku tercekat. Tubuhku kaku. “Jadi… kamu…”
“Aku bingung, Ris. Aku mencintai Elia. Tapi entah kenapa… aku jatuh cinta lagi. Sama kamu.”
Dan di tengah hujan yang turun makin deras, di bawah langit yang menangis bersama hatiku…
Dia menciumku.
Pelan. Ragu. Tapi penuh rasa.
Dan saat bibirnya menyentuh bibirku, aku menangis.
Karena itu pertama kalinya aku dicium bukan sebagai Elia.
Tapi sebagai aku.
Eris.
Kami duduk berdua setelahnya, basah kuyup tapi hangat. Hujan belum reda, tapi kami tak peduli. Dunia seolah meluruh, hanya menyisakan dua manusia yang mencoba mencintai dengan jujur.
“Kalau kamu bisa mencintai aku… berarti aku masih ada, ya?” tanyaku pelan.
Arga mengangguk. “Kamu bukan bayangan siapa pun, Ris. Kamu nyata.”
Aku tersenyum samar, walau luka di dalam dadaku belum benar-benar sembuh. Tapi aku mulai percaya… bahwa aku berhak hidup. Aku berhak dicintai. Tanpa harus menjadi orang lain.
Namun jauh di lubuk hati, aku tahu ini belum akhir.
Karena semakin aku mencoba menjadi diriku sendiri…
Semakin kuat suara Elia di kepalaku berbisik,
“Aku tidak akan pergi begitu saja…”
Bab 6: Luka yang Tak Bisa Hilang
Sejak malam ciuman di bawah hujan itu, aku berpikir semuanya akan berubah. Bahwa luka-luka dalam diriku akan sembuh dengan pelukan Arga, dengan cintanya yang katanya ditujukan untuk aku—Eris, bukan Elia.
Tapi ternyata, luka tidak bisa hilang hanya karena seseorang berkata dia mencintaimu.
Dan semakin aku mencoba melupakan Elia… semakin dia muncul.
Malam itu, aku mimpi buruk lagi.
Aku berdiri di tengah danau gelap. Airnya tenang, tapi dinginnya menusuk tulang. Dari kejauhan, Elia muncul, mengenakan gaun putih dan wajah pucat yang menakutkan. Tapi senyumnya… masih senyum Elia.
Dia menatapku sambil berjalan di atas air.
“Aku nggak bisa pergi, Ris. Karena kamu belum benar-benar siap kehilangan aku.”
“Aku sudah mencoba,” jawabku. Suaraku serak, seolah air danau masuk ke dalam paru-paruku.
“Tapi kamu tetap menolak untuk menjadi dirimu sendiri sepenuhnya.”
Lalu Elia memelukku. Dingin. Hampa. Dan dalam pelukannya aku merasa tubuhku membeku—bukan karena ketakutan, tapi karena aku mulai merasa… hilang.
Ketika aku terbangun, aku menangis.
Dan di meja, ada tulisan tangan Elia di jurnalnya. Padahal aku yakin aku belum menulis apa pun malam sebelumnya.
“Jangan lupa siapa yang membuatmu berani. Tanpa aku, kamu bukan apa-apa.”
Tanganku gemetar saat menutup buku itu. Kepalaku mulai sakit. Ada suara di dalam kepala, bukan hanya Elia… tapi aku sendiri. Seperti dua versi diriku saling berteriak, saling memaksa keluar.
Aku berlari ke kamar mandi. Memandangi wajahku yang terlihat semakin asing. Bibirku pucat. Kantung mataku gelap. Dan saat aku menyalakan keran air…
Aku muntah darah.
Dokter bilang aku terlalu stres. Tekanan psikologis bisa menurunkan daya tahan tubuh. Aku hanya perlu istirahat, katanya.
Tapi ini lebih dari sekadar stres.
Ini tentang kehilangan identitas.
Tentang tubuh yang dihuni dua jiwa.
Arga mulai menyadari perubahan dalam diriku.
“Kamu kelihatan… capek banget akhir-akhir ini,” katanya saat kami duduk di kafe sore itu. “Kayak… kamu nggak di sini.”
Aku mencoba tersenyum. “Aku cuma kurang tidur.”
“Masih denger suara Elia?”
Pertanyaannya membuatku kaget. Aku menatapnya, dan untuk sesaat… aku ingin bohong.
Tapi aku lelah.
“Kadang,” jawabku jujur. “Kadang dia bahkan… nulis sesuatu pakai tanganku, dan aku gak sadar.”
Arga menggenggam tanganku. “Kamu nggak sendiri. Aku di sini.”
Dan saat itu aku menangis.
Tapi tangisan itu bukan hanya tentang sedih. Tangisan itu adalah pengakuan bahwa… aku takut kehilangan diriku sendiri.
Karena rasanya, aku mulai tidak tahu kapan aku menjadi aku.
Malamnya, aku kembali menulis. Tapi kali ini aku ingin jujur. Bukan sebagai Elia. Bukan untuk menyenangkan Arga. Tapi untukku. Untuk Eris.
Aku tulis semua: perasaanku saat kecelakaan, rasa bersalahku, ketakutanku saat pertama kali berpura-pura jadi Elia. Semuanya kubuka. Tidak ada lagi topeng.
Dan saat selesai menulis, aku merasa ringan.
Tapi entah kenapa, tubuhku kembali gemetar. Tanganku menggigil, pandanganku kabur.
Aku jatuh.
Saat aku sadar, aku sudah di rumah sakit. Infus menancap di tangan. Dan Arga duduk di samping tempat tidur, wajahnya cemas.
“Kamu pingsan di kamar. Aku temuin kamu pas udah dingin dan pucat banget. Kamu sadar sekarang… syukurlah.”
Aku menatapnya lama.
Lalu, tanpa sadar, aku bertanya:
“Arga… kamu masih mencintaiku?”
Ia tersenyum, meski matanya sembab.
“Aku mencintai Eris. Aku ingin kamu tetap jadi Eris. Bukan Elia.”
Dan saat itu… jantungku terasa retak.
Karena jauh di dalam diriku, aku tahu—
Sebagian dari Elia belum benar-benar pergi.
Dan aku belum benar-benar pulih.
Di lorong rumah sakit, aku berdiri sendirian. Tatapanku kosong menatap cermin di ruang tunggu. Rambutku sudah tumbuh sedikit, wajahku masih pucat.
Tapi saat aku tersenyum…
Bayangan di cermin tidak ikut tersenyum.
Bayangan itu… menatapku lurus.
Dengan mata Elia.
Dan aku tahu…
Perjuanganku belum selesai.
Bab 7: Surat untuk Arga
Sudah tiga hari sejak aku keluar dari rumah sakit.
Aku mencoba menjalani hidup seperti biasa—bangun pagi, minum teh, membaca buku, bahkan mulai menulis lagi. Tapi semua terasa… kosong. Seperti tubuhku hadir di dunia ini, tapi jiwaku tinggal di tempat lain.
Arga masih datang setiap hari. Ia membawakan bunga, membacakan puisi, kadang hanya diam menemani. Tapi entah kenapa… semakin aku melihat ketulusannya, semakin aku merasa bersalah.
Karena aku tahu, aku masih menyembunyikan sesuatu darinya.
Bukan lagi tentang Elia.
Tapi tentang aku yang… sudah hampir tidak tahu siapa diriku.
Hari itu, aku duduk di meja kecil dekat jendela. Hujan turun pelan. Aroma tanah basah masuk lewat celah kaca. Jari-jariku menyentuh kertas kosong, pena hitam di tangan. Aku tahu, sudah saatnya.
Aku harus jujur.
Bukan lewat mulut, karena aku terlalu pengecut untuk melihat reaksinya secara langsung.
Tapi lewat surat.
Satu-satunya cara agar aku bisa bilang semuanya tanpa harus kabur lagi dari diriku sendiri.
Untuk Arga,
Kalau kamu baca ini, berarti aku sudah berani menghadapi sesuatu yang selama ini aku takuti—kejujuran.
Aku tahu kamu bilang mencintai Eris. Tapi aku harus bilang sesuatu yang mungkin akan mengubah segalanya…
Tanganku sempat berhenti menulis. Aku menatap keluar jendela, mengingat malam di bawah hujan itu. Ciuman hangatnya. Pelukannya. Tatapannya saat menyebut namaku.
Aku melanjutkan.
Aku tidak yakin lagi… apakah aku benar-benar Eris. Atau aku hanya pecahan Elia yang menolak pergi. Atau mungkin… aku adalah versi baru dari keduanya, yang tidak bisa dikenali siapa pun, bahkan oleh diriku sendiri.
Ada hari-hari di mana aku terbangun dan tidak tahu siapa yang memegang kendali. Ada saat-saat di mana aku berbicara seperti Elia tanpa sadar, tertawa seperti dia, menangis seperti dia. Dan aku takut, Ga. Takut bahwa mungkin suatu hari aku bangun dan Eris benar-benar sudah tidak ada.
Tapi aku menulis ini bukan untuk membuatmu kasihan. Aku menulis ini karena aku sayang kamu. Dan aku tidak mau kamu mencintai seseorang yang tidak tahu siapa dirinya.
Aku mencintaimu, Arga. Tapi cinta yang baik bukan tentang memaksa. Aku ingin sembuh. Aku ingin tahu siapa aku. Tapi untuk itu, aku harus sendiri.
Terima kasih sudah mencintai aku—atau setidaknya bagian dari aku. Tapi sekarang… izinkan aku mencintai diriku sendiri dulu.
Maaf.
Eris.
Aku melipat surat itu rapi. Kumasukkan ke dalam amplop putih, dan kutulis namanya di depan.
Sore itu, aku pergi ke rumahnya. Aku tahu dia sedang bekerja. Jadi aku titipkan surat itu ke resepsionis apartemen dengan pesan singkat:
“Berikan ini untuk Arga. Dari Eris.”
Lalu aku pergi. Tanpa menoleh ke belakang.
Dan saat aku sampai di rumah, aku menangis.
Bukan karena patah hati.
Tapi karena untuk pertama kalinya dalam hidupku…
Aku memilih diriku sendiri.
Malamnya, aku duduk di depan cermin.
Seperti biasa.
Tapi kali ini berbeda.
Tak ada suara di kepalaku. Tak ada bayangan yang bergerak lebih dulu. Hanya aku. Sendiri. Dengan luka, dengan air mata, tapi… juga dengan harapan.
“Mungkin aku gak harus jadi Eris atau Elia,” bisikku.
“Mungkin aku cukup jadi… aku.”
Dan untuk pertama kalinya, cermin itu membalas senyumku dengan sempurna.
Namun beberapa hari setelah itu, sesuatu terjadi.
Aku menerima paket di depan pintu. Tanpa nama pengirim.
Di dalamnya… sebuah jurnal.
Jurnal Elia.
Yang dulu hilang dalam kecelakaan.
Dengan halaman terakhir bertuliskan:
“Jika suatu hari aku tiada, dan kamu membaca ini, Eris…
Teruslah hidup. Tapi jangan sebagai aku.
Hiduplah sebagai dirimu.
Karena kamu lebih kuat dari yang kamu pikirkan.”
Tanganku gemetar. Aku tak tahu siapa yang mengirimnya. Tapi saat membacanya, aku menangis dalam diam.
Mungkin Elia memang belum sepenuhnya pergi.
Tapi kini aku tahu…
Dia tak berniat menghancurkanku.
Dia hanya ingin aku bertahan.
Bab 8: Terjebak dalam Tubuh Sendiri
Sudah seminggu sejak aku kirim surat untuk Arga.
Aku pikir setelah itu aku akan tenang—akan merasa lebih bebas, lebih ringan, dan bisa mulai hidup sebagai diriku sendiri. Tapi ternyata tidak semudah itu. Bahkan, justru setelah kepergiannya… aku mulai merasa aneh.
Ada hari-hari di mana aku merasa seperti sedang menonton hidupku sendiri, dari kejauhan. Aku melihat tubuhku bergerak, mulutku berbicara, tapi pikiranku… kosong.
Seperti aku cuma penumpang di tubuh ini.
Sore itu, aku terbangun di kamar apartemen. Tapi bukan kamarku. Kamarnya Elia.
Sprei merah muda, aroma lilin vanila, dan dinding penuh foto-foto kenangan yang tak pernah aku pasang.
Aku panik.
Aku bangkit dari ranjang, membuka lemari—penuh dengan baju Elia. Kutatap diriku di cermin. Rambutku ditata seperti Elia. Bibirku merah terang. Dan… di meja, ada telepon genggam dengan wallpaper Arga.
Jantungku berdetak kencang.
Apa yang terjadi?
Siapa yang hidup di tubuhku selama ini?
Aku membuka ponsel itu. Terlihat riwayat pesan.
Arga: “Aku juga sayang kamu. Terima kasih udah balik lagi.”
Tanganku bergetar.
Apa maksudnya? Bukankah aku sudah menghilang dari hidupnya? Kenapa dia bilang aku “balik”?
Aku terus menelusuri chat. Banyak percakapan manis. Dan semuanya ditujukan untuk Elia.
Bukan Eris.
Elia—yang ternyata telah ‘mengambil alih’ diriku selama beberapa hari ini.
Dan aku sama sekali tidak sadar.
Aku kembali menatap cermin. Mulutku terbuka ingin bicara. Tapi tubuh ini… diam.
Aku mencoba menggerakkan tangan. Tapi tidak bisa. Seolah tubuh ini… bukan milikku.
Lalu… bayanganku di cermin bergerak sendiri. Ia tersenyum miring.
“Akhirnya kamu sadar,” katanya. Tapi bukan lewat mulutku—lewat pikiranku.
“Elia…?” aku bergumam dalam hati.
“Selamat datang di sisi sebaliknya, Ris. Sekarang gantian kamu yang menonton.”
“Tidak… ini tubuhku!” teriakku dalam hati.
Tapi aku tak bisa berbuat apa-apa.
Tubuhku berjalan sendiri ke dapur, membuat kopi, lalu duduk sambil memutar musik klasik yang biasa Elia dengarkan.
Aku terperangkap.
Di dalam diriku sendiri.
Beberapa jam kemudian, saat langit mulai gelap, Arga datang.
Dan aku—atau Elia yang mengendalikanku—membuka pintu dengan senyum manis.
“Cantik banget malam ini,” kata Arga, mengecup keningku.
Hatiku remuk.
Aku berteriak dalam kepala, memohon, menangis, mencoba meronta… tapi tubuhku tak menggubris.
Aku melihat bagaimana Elia menyapa Arga, tertawa, memeluknya. Membuat makan malam bersama. Dan ketika ia mencium Arga, aku menangis di dalam.
Karena cinta itu… bukan untukku.
Dan kini, tubuh ini pun… bukan milikku lagi.
Malam itu, aku dikurung dalam kegelapan. Dalam ruang hampa yang hanya berisi suara tangisku sendiri. Aku tak tahu bagaimana keluar. Aku hanya bisa menonton dari balik cermin, seperti hantu yang tak mampu menyentuh dunia.
Tapi sebelum tidur, Elia duduk di depan cermin.
Dan berkata pelan,
“Aku tahu kamu masih di sana. Tapi kamu harus tenang dulu. Aku cuma ambil alih sebentar.”
“Untuk apa?” bisikku lirih dalam hati.
“Untuk memastikan kita tidak sendirian. Untuk menjaga dia… Arga.”
“Arga tidak butuh kamu, Lia. Dia butuh aku. Tapi kamu… kamu membohonginya.”
Elia terdiam.
Lalu menjawab pelan, dengan suara hampir seperti tangisan:
“Aku hanya takut, Ris. Kalau aku benar-benar pergi… tak ada yang akan mengingatku.”
Dan untuk pertama kalinya… aku memahami ketakutannya.
Dia bukan hanya sosok yang menghantui. Dia juga luka yang belum sembuh. Trauma yang belum selesai.
Mungkin kami berdua sama-sama tersesat.
Sama-sama takut dilupakan.
Tapi satu hal yang pasti…
Kalau aku tidak bisa kembali ke tubuhku.
Maka aku akan menghilang.
Dan aku tidak mau itu terjadi.
Besok… aku akan melawan.
Karena bagaimanapun caranya…
Aku harus kembali jadi aku.
Eris.
Bab 9: Kebenaran yang Terungkap
Pagi itu, aku berhasil bangun dalam tubuhku sendiri.
Untuk pertama kalinya setelah beberapa hari, aku bisa merasakan kakiku menyentuh lantai. Bisa menggerakkan tanganku, bisa bernapas tanpa merasa dikendalikan. Tapi tubuhku lelah. Seperti habis dipakai orang lain untuk hidup seolah-olah aku tidak pernah ada.
Aku tahu, waktu yang kupunya tak banyak. Elia bisa kembali mengambil alih kapan saja.
Jadi aku langsung menulis.
Bukan di jurnal, tapi di ponselku. Satu pesan untuk Arga.
“Temui aku di taman kecil dekat rumahku. Tapi tolong… jangan bilang siapa pun. Ini penting.”
Aku tahu ini nekat. Tapi aku butuh dia tahu. Tentang semuanya. Tentang Elia. Tentang aku. Tentang satu rahasia besar yang selama ini kusimpan rapat-rapat.
Arga datang lima belas menit kemudian. Dengan rambut sedikit berantakan, napas tergesa, dan wajah bingung.
“Kamu kenapa?” tanyanya.
Aku memaksakan senyum. “Aku cuma… aku harus jujur. Biar kamu nggak salah mencintai siapa pun lagi.”
Kami duduk di bangku kayu. Angin pagi menghembus pelan, seolah memberi waktu untuk hati kami tenang sebelum badai datang.
Aku menghela napas dalam-dalam.
“Elia… gak langsung meninggal setelah kecelakaan itu.”
Arga menoleh cepat, kaget.
“Maksud kamu?”
“Dia masih sempat bicara. Di jalan, di lenganku. Dia bilang… dia minta aku jaga kamu.”
Air mataku mulai turun.
“Dan yang lebih parah… aku bohong. Aku bilang ke semua orang bahwa dia langsung meninggal. Karena… aku gak tahan mendengar suara terakhirnya. Dia bilang: ‘Kamu lebih pantas hidup, Ris. Aku titip dia.’”
Arga terdiam. Matanya menatap lurus, tapi ekspresinya sulit dibaca.
“Aku terlalu hancur waktu itu. Jadi aku… jadi dia. Aku pikir kalau aku bisa jaga kamu sebagai Elia, aku bisa nepatin janji terakhir itu. Tapi nyatanya… aku hancurin diriku sendiri.”
Tanganku gemetar. “Aku takut kamu akan membenciku setelah tahu semua ini.”
Arga menatapku lama. Lalu, untuk pertama kalinya… dia menangis.
“Kenapa kamu harus tanggung semuanya sendirian?”
Suara itu… pelan, retak, penuh luka.
“Aku harusnya lebih peka. Aku terlalu fokus pada rasa kehilangan, sampai aku gak lihat kamu juga kehilangan separuh jiwamu.”
Aku memalingkan wajah, tak sanggup menatapnya. Tapi tiba-tiba, ia menarikku ke pelukannya. Erat.
“Terima kasih udah jujur. Dan aku… masih di sini.”
Hatiku runtuh. Tapi untuk pertama kalinya, itu bukan karena rasa bersalah. Tapi karena… aku diterima.
Sebagai aku.
Sebagai Eris.
Malam itu, aku menyalakan semua lilin di kamar. Duduk di tengah ruangan. Menatap cermin besar di dinding.
“Elia,” bisikku. “Aku tahu kamu masih ada.”
Tak butuh waktu lama, bayangan di cermin tersenyum. Tapi kali ini… bukan senyum sinis. Bukan tatapan menyeramkan. Tapi… damai.
“Aku udah ceritain semuanya ke Arga,” lanjutku. “Kamu gak perlu jaga dia lagi. Sekarang, saatnya kamu pergi.”
Bayangan itu menatapku lama. Lalu… mengangguk.
“Terima kasih,” katanya. “Kamu kuat, Ris. Jauh lebih kuat daripada aku.”
Dan seketika… cermin kembali memantulkan diriku. Hanya diriku. Tak ada gerakan aneh. Tak ada suara.
Elia telah pergi.
Beberapa hari kemudian, aku dan Arga duduk di balkon rumahku. Matahari terbenam, menyisakan semburat oranye di langit.
“Sekarang kamu mau jadi apa?” tanyanya sambil menyender di kursi.
Aku tersenyum kecil. “Aku mau jadi penulis. Biar aku bisa hidupkan Elia… dengan cara yang gak menyakitkan diriku sendiri.”
Arga mengangguk. “Aku pikir… itu indah.”
Aku menatap langit, membayangkan Elia di sana, tersenyum. Mungkin ia lega. Mungkin ia tenang.
Dan aku tahu satu hal sekarang:
Kebenaran memang menyakitkan.
Tapi hanya dengan jujur, kita bisa benar-benar sembuh.
Bab 10: Aku Bukan Diriku yang Kau Cintai
Butuh waktu lama untuk menyadari bahwa selama ini aku bukan berjuang untuk dicintai…
Aku berjuang untuk menerima diriku sendiri.
Dan mungkin, itu adalah bentuk cinta paling sejati.
Sudah dua bulan sejak aku terakhir melihat bayangan Elia di cermin.
Sejak malam itu, tak pernah lagi ada suara di kepalaku yang mengaku sebagai dia. Tak ada tangan yang menulis sendiri di jurnal, tak ada langkah-langkah aneh di malam hari, dan tak ada lagi bagian dari diriku yang menghilang tanpa ingatan.
Semua… perlahan pulih.
Tapi kehilangan tetaplah kehilangan. Aku masih mengingat Elia setiap hari. Bukan sebagai sosok yang menghantui, tapi sebagai seseorang yang pernah ada dan pernah begitu aku cintai.
Sekarang, aku menulis tentangnya. Tentang kami. Tentang perjalanan panjang menuju penerimaan.
Naskah bukuku hampir selesai. Judulnya sederhana:
“Aku Bukan Diriku yang Kau Cintai”
Karena benar—aku bukan Elia, perempuan yang pernah kamu cintai dengan segenap hati.
Tapi bukan berarti aku tak layak dicintai.
Hubunganku dengan Arga tidak berakhir bahagia seperti cerita romansa kebanyakan.
Kami masih bertemu, kadang berbagi tawa, kadang hanya duduk diam. Tapi kami tahu… perasaan yang dulu pernah ada, tidak akan pernah kembali sama.
Arga akan selalu menyimpan Elia di sudut hatinya.
Dan aku tidak bisa, tidak boleh, mencoba mengisinya.
Hubungan kami perlahan berubah menjadi sesuatu yang lebih dewasa.
Saling menghargai. Saling mendukung. Tanpa perlu memiliki.
Dan itu cukup.
Lebih dari cukup.
Hari ini, aku berdiri di makam Elia.
Bunga lili putih di tanganku. Angin semilir menari pelan, menyapu rambutku yang kini mulai tumbuh lebih panjang. Aku tersenyum kecil, menatap batu nisan dengan nama yang dulu terlalu berat untuk kusebut.
“Elia…”
Suaraku lirih, nyaris tertelan angin.
“Aku sudah menulis kisah kita. Dunia akan tahu kamu pernah ada. Tapi mereka juga akan tahu… bahwa kamu telah pergi. Dan aku… akhirnya bisa hidup sebagai diriku sendiri.”
Air mataku mengalir pelan. Bukan karena duka. Tapi karena rasa lega.
Rasa lepas.
Rasa pulih.
“Aku bukan dirimu, Li. Tapi tanpamu, aku nggak akan pernah tahu siapa aku.”
Lalu aku letakkan bunganya. Dan saat aku melangkah pergi, aku merasa lebih ringan dari sebelumnya.
Seperti akhirnya… aku benar-benar meninggalkan masa lalu.
Beberapa minggu kemudian, bukuku terbit.
Banyak yang membaca. Banyak yang menangis. Banyak yang merasa seperti sedang membaca kisah mereka sendiri.
Dan aku tahu, aku tidak sendiri.
Banyak orang berjuang mengenali dirinya.
Banyak orang yang pernah kehilangan, membagi jiwanya hanya untuk tetap bertahan.
Mereka bilang tulisanku menyentuh. Tapi sebenarnya… yang menyentuhku adalah kenyataan bahwa aku berhasil keluar dari gelapku sendiri.
Aku pernah jadi bayangan.
Aku pernah jadi orang lain.
Tapi kini…
Aku adalah Eris.
Dan itu cukup.
“Mencintai orang lain memang indah. Tapi mencintai diri sendiri—itu adalah keberanian paling besar.”
– Eris.
TAMAT.
Novel ini ditulis oleh Evi Fauzi, Penulis dari Novel Singkat . Baca juga novel romantis petualangan dan fiksi ilmiah lainnya.