Novel Singkat Cinta di Antara Dua Bulan
Novel Singkat Cinta di Antara Dua Bulan

Novel Singkat: Cinta di Antara Dua Bulan

Mira, seorang barista muda yang menjalani hidup biasa, tiba-tiba diseret ke dunia gelap penuh rahasia ketika ia diselamatkan dari serangan misterius oleh Aldric—raja para werewolf. Dalam dunia di mana sentuhan darah serigala saat bulan purnama bisa membunuh manusia, Mira justru selamat… dan mulai menunjukkan kemampuan aneh. Ia adalah Penyeimbang Bulan, satu-satunya yang bisa menetralkan kutukan kuno antara dua dunia. Di tengah perang, pengkhianatan, dan ramalan kelam, cinta antara Mira dan Aldric bisa menjadi kunci perdamaian… atau awal dari kehancuran. Akankah cinta mereka bertahan di antara dua bulan yang saling membenci?

Bab 1: Malam Berdarah

Udara malam itu dingin dan aneh. Langit cerah tanpa awan, tapi suasananya bikin bulu kuduk berdiri. Jalanan kota sepi, hanya suara langkah Mira yang terdengar di trotoar batu, bergema di antara bangunan tua yang sudah lama tak disentuh renovasi.

Mira baru saja pulang dari shift malam di kafe tempatnya bekerja. Toko-toko sudah tutup, dan lampu-lampu jalan redup seperti ikut mengantuk. Tapi entah kenapa, langkah kakinya terasa berat. Seperti ada sesuatu yang mengawasi. Seperti ada mata yang menatap dari balik bayangan.

Ia memeluk jaketnya lebih erat. Angin bertiup pelan, membawa aroma besi—bau yang ia kenal dari luka berdarah. Hidungnya berkerut, dan untuk sesaat, ia berhenti berjalan. Matanya menyisir sekitar. Sepi.

Tapi kemudian—aaauuuuuuuuuuuwwwww!!!

Suara lolongan serigala menggema dari arah hutan di pinggir kota. Mira menegang. Itu bukan suara biasa. Itu suara yang menggetarkan tulang.

“Oke, mungkin cuma suara efek film dari rumah sebelah,” Mira berusaha menenangkan diri, meski ia tahu tidak ada bioskop atau rumah yang punya speaker sebesar itu di dekat sini. Tapi lolongan itu terasa… nyata. Terlalu nyata.

Lalu, terdengar derap langkah. Cepat. Berat. Seperti cakar menghantam aspal. Mira menoleh dan matanya membelalak.

Sebuah bayangan besar muncul dari gang. Tubuhnya tinggi, berotot, berbulu gelap. Matanya merah menyala, dan taringnya meneteskan darah.

Itu bukan manusia.

Itu… serigala. Tapi bukan serigala biasa. Ukurannya dua kali lebih besar dari manusia normal, dengan aura mengancam yang membuat udara seolah berhenti berputar.

Mira berlari.

Ia tak sempat berpikir. Kakinya bergerak otomatis, menabrak tempat sampah, melompati pagar rendah, masuk ke gang sempit. Napasnya tersengal. Jantungnya berpacu seperti genderang perang.

Tapi monster itu mengejar. Langkahnya cepat, lebih cepat dari yang seharusnya bisa dicapai makhluk hidup manapun. Ia mendekat… dan melompat.

Mira terjatuh.

Ia memejamkan mata, menanti gigitan mematikan di lehernya. Tapi yang datang justru dentuman keras. Suara raungan. Suara tubuh saling berbenturan. Dan kemudian, sunyi.

Pelan-pelan, Mira membuka matanya.

Di hadapannya berdiri sosok pria tinggi dengan tubuh setengah telanjang, hanya dibalut mantel panjang dan celana hitam. Tubuhnya dipenuhi luka, tapi ia berdiri tegap. Matanya… emas. Bukan cokelat, bukan biru, tapi emas menyala seperti bara.

Di belakangnya, makhluk tadi tergeletak tak bergerak. Mati.

Mira terduduk, tubuhnya gemetar. Pria itu menatapnya tajam. “Kau… tidak terbakar?” gumamnya lirih, nyaris tidak terdengar. Tapi Mira mendengarnya.

“Apa maksudmu?” Mira mengerutkan dahi, mencoba berdiri meski lututnya lemas.

Dia mendekat. Langkahnya tenang, tapi ada sesuatu dalam cara dia berjalan yang terasa… buas. Seolah meski terlihat manusia, ia menyembunyikan sesuatu di balik kulitnya.

“Kau menyentuh darahnya,” katanya. “Tapi kau tidak meleleh.”

“Apa?” Mira melihat tangannya. Benar, ada bercak darah serigala di sana. Dan… tidak ada yang terjadi. Tidak ada rasa terbakar, tidak ada luka. Padahal, ia merasa darah itu seharusnya… berbahaya?

Pria itu berlutut di hadapannya. “Siapa namamu?” tanyanya pelan.

“Mira,” jawabnya ragu. “Kau siapa?”

“Aldric,” jawabnya singkat. “Dan aku rasa… malam ini akan mengubah segalanya.”

Mata mereka bertemu. Dan untuk pertama kalinya, Mira merasakan sesuatu yang tidak bisa ia jelaskan. Dingin di tubuhnya menghilang. Tapi bukan karena suhu udara, melainkan karena sorot mata Aldric yang terasa hangat… dan menyakitkan dalam waktu yang bersamaan.

“Kenapa dia mengejarku?” tanya Mira.

Aldric tidak langsung menjawab. Ia hanya menatap bulan purnama yang menggantung di langit. Cahayanya lebih terang dari biasanya. Terlalu terang. “Karena kau berbeda, Mira. Dan kau harus tahu… dunia yang kau kenal, bukan satu-satunya dunia yang ada.”

Tiba-tiba, suara lolongan lain menggema. Kali ini bukan satu, tapi tiga. Empat. Lima. Mendekat. Mereka tidak sendirian.

Aldric berdiri. “Kita harus pergi.”

Mira terdiam, masih mencoba memahami semua yang terjadi.

“Apa aku sedang bermimpi?” bisiknya.

“Kalau ini mimpi,” kata Aldric tanpa menoleh, “maka ini mimpi yang bisa membunuhmu.”

Ia mengulurkan tangan. Mira ragu… tapi akhirnya meraih tangan itu.

Dan di detik mereka bersentuhan, kilatan cahaya kecil muncul di antara jari mereka. Seolah semesta mengikat dua jiwa yang tak seharusnya bertemu… namun ditakdirkan untuk menyatu.

Malam itu, darah telah tumpah. Bulan menyaksikan. Dan takdir mulai berputar.

Bab 2: Pria dengan Mata Emas

Mira duduk di tepi ranjang, menatap tangan kosongnya yang semalam sempat menggenggam tangan pria aneh bernama Aldric. Pria yang muncul dari bayangan malam, membunuh monster yang mengejarnya, dan kemudian… menghilang.

Ia masih tidak percaya semuanya nyata.

Tapi bekas luka cakaran di kakinya—yang sempat digores makhluk itu sebelum Aldric datang—masih ada. Luka itu tidak dalam, tapi anehnya… sembuh jauh lebih cepat dari seharusnya. Bahkan sekarang nyaris tak terlihat. Seolah tubuhnya menolak luka itu.

Mira memandangi cermin. Di leher kirinya, samar-samar muncul bintik merah kecil berbentuk seperti bulan sabit. Ia yakin semalam belum ada.

“Apa yang sebenarnya terjadi?”

Ia mengambil ponselnya. Tidak ada notifikasi. Tidak ada kabar dari Deno, sahabatnya. Padahal biasanya Deno selalu mengirim pesan malam-malam sekadar mengecek apakah dia pulang dengan selamat.

Mira menghela napas dan memutuskan keluar rumah.

Pagi itu sunyi. Udara dingin menusuk kulit. Tapi tidak ada tanda-tanda kejadian semalam. Tidak ada garis polisi. Tidak ada mayat monster besar. Semuanya seolah tak pernah terjadi.

Sampai Mira menoleh ke kiri.

Di seberang jalan, berdiri pria yang semalam menyelamatkannya. Masih dengan mata emas itu. Masih berdiri tenang, meski suasana pagi penuh manusia yang lalu-lalang.

Ia mengenakan kemeja gelap dan jaket kulit. Jelas menyatu dengan keramaian kota, tapi entah kenapa… keberadaannya begitu mencolok. Semua orang seperti tidak memperhatikannya. Hanya Mira yang bisa melihat.

“Aku perlu kopi…” gumam Mira, melangkah cepat.

Tapi Aldric mengikutinya.

“Jangan lari,” suaranya pelan, seperti bisikan di telinga, padahal mereka terpisah beberapa meter.

Mira berhenti. “Apa kau hantu?” tanyanya tanpa menoleh.

“Tidak.”

“Lalu kenapa tidak ada yang melihatmu?”

“Mereka tidak bisa melihatku… kecuali yang tersentuh darah malam.”
Aldric berdiri di sampingnya, tiba-tiba sudah di sana. Mira terlonjak. “Gila, kau teleportasi atau apa sih?!”

Aldric menatapnya, tidak menjawab. Tapi ada senyum tipis di ujung bibirnya, seperti dia menikmati kepanikan Mira.

“Kita butuh bicara,” katanya. “Di tempat yang aman.”

“Aku bahkan nggak tahu siapa kau!” Mira mundur setapak.

“Kau menyentuh darah serigala dan tidak terbakar. Itu tidak pernah terjadi sebelumnya. Dan aku…” ia menghela napas, “aku punya terlalu banyak musuh untuk membiarkanmu di luar tanpa perlindungan.”

“Dengar ya,” Mira menatapnya tajam. “Aku cuma barista biasa. Hidupku itu datar, normal, membosankan. Nggak ada urusan sama… werewolf, atau apapun yang kau sebut darah malam itu.”

“Tapi tubuhmu sudah berubah.”

Mira menegang. Ia ingin membantah, tapi… tubuhnya memang berbeda. Tidak bisa tidur sejak semalam, suhu tubuhnya lebih hangat dari biasanya, dan detak jantungnya… seperti tidak pernah melambat.

“Aku akan pergi,” kata Aldric pelan. “Tapi aku akan kembali. Dan kau harus siap ketika dua bulan muncul di langit. Itu tanda bahwa semuanya akan dimulai.”

Ia berbalik dan berjalan menjauh.

Mira berdiri membeku. Antara ingin berteriak atau mengejarnya, tapi tubuhnya menolak bergerak.

“Aldric!” panggilnya tanpa sadar.

Pria itu berhenti. Menoleh setengah. “Hati-hati dengan orang-orang yang terlalu baik padamu, Mira. Mereka bisa saja pemburu yang menunggu bulan penuh berikutnya.”

Dan ia benar-benar menghilang.

Bukan berjalan… tapi menguap. Seperti bayangan yang kembali ke malam.

Mira pulang dengan kepala penuh kebingungan. Tapi ketika ia membuka pintu rumahnya, ia menemukan surat di bawah lantai.

Kertas kuno, beraroma kayu dan asap.

Dan hanya tertulis satu kalimat dengan tulisan tangan kasar:

“Kau bukan manusia, Mira. Kau adalah Penyeimbang Bulan.”

Bab 3: Luka yang Tak Bisa Sembuh

Tiga hari berlalu sejak Mira membaca surat aneh itu. Setiap malam, ia terbangun dengan napas tersengal, seolah dikejar sesuatu dalam mimpinya. Tapi yang lebih aneh… luka kecil di kakinya benar-benar hilang tanpa bekas. Kulitnya mulus kembali, seperti tidak pernah disentuh cakar binatang buas.

Ia mencoba mengabaikan semuanya. Mencoba hidup normal lagi. Kerja di kafe. Pulang. Tidur. Ulangi. Tapi semuanya terasa berbeda. Terlalu sunyi. Terlalu… salah.

Sampai suatu malam, ketika ia sedang mencuci tangan di wastafel kafe, ia menyadari satu hal mengerikan: darah di tangannya.

Ia tidak merasa terluka. Tidak merasakan sakit. Tapi darah itu menetes dari telapak tangannya sendiri. Mira panik, memeriksa seluruh tubuhnya—tidak ada luka. Tidak ada goresan. Tapi darah terus keluar… seperti tubuhnya sedang menolak sesuatu.

Detik berikutnya, matanya menangkap bayangan aneh di cermin. Bukan pantulan dirinya.

Seseorang berdiri di belakangnya.
Mira membalik tubuh dengan cepat—tapi tak ada siapa-siapa. Kamar mandi kosong.

Dan saat ia menatap cermin kembali, kali ini tidak ada bayangan lain. Hanya dirinya… dan dua mata emas yang muncul di bagian belakang iris matanya sendiri.

“Apa yang terjadi padaku?” desisnya, gemetar.

Dia keluar dari kamar mandi dengan napas berat, lalu langsung mencari Deno. Teman masa kecilnya itu tahu segalanya tentang dirinya. Dan Deno selalu bisa bikin semuanya terasa normal.

“Ada hal aneh,” kata Mira terburu-buru saat menemukan Deno di parkiran belakang kafe. “Aku… aku nggak tahu gimana cara ngejelasinnya. Tapi kayaknya aku—”

“Aku tahu,” potong Deno tiba-tiba.

Mira terdiam. “Apa maksudmu?”

“Aku tahu sejak malam itu,” ucap Deno, menatapnya dengan wajah tenang yang aneh. “Kau berubah, Mira. Dan kau harus hati-hati.”

“Kau tahu?!” Mira melangkah maju. “Kenapa nggak bilang?!”

Deno tidak langsung menjawab. Ia hanya merogoh kantong jaketnya, lalu mengeluarkan sesuatu—pisau kecil berwarna hitam pekat. Tapi bukan sembarang pisau. Pisau itu seperti berdenyut, seolah hidup.

“Ini besi bulan,” kata Deno pelan. “Satu-satunya benda yang bisa melukai werewolf… dan Penyeimbang.”

Jantung Mira seolah berhenti berdetak. “Apa… kau salah satu dari mereka?”

Deno menatapnya. Mata lembut yang selama ini ia kenal, kini terlihat berbeda. Penuh luka. Penuh keputusan berat.

“Aku pemburu, Mira.”

Kalimat itu seperti hantaman keras ke wajahnya.

“Aku dilatih untuk membunuh yang seperti Aldric. Dan jika perlu, membunuh yang sepertimu.”

Tubuh Mira melemas. “Kau bohong…”

“Aku ingin bohong,” ucap Deno lirih. “Tapi aku nggak bisa. Kau mulai berubah, Mira. Dan semakin dekat bulan purnama berikutnya, kekuatanmu akan bangkit. Jika itu tidak terkendali… kau bisa membakar seluruh kota ini hidup-hidup.”

Tiba-tiba, terdengar suara ledakan kecil dari dalam kafe. Deno dan Mira menoleh bersamaan.

Orang-orang berteriak. Kaca pecah. Dan dari dalam asap, muncul siluet—tinggi, besar, berbulu.

Werewolf.

Tapi bukan Aldric. Sosok ini lebih liar, lebih brutal, dan matanya merah darah. Dia bukan datang untuk menyapa.

Dia datang untuk membunuh.

“Masuk ke mobil!” seru Deno, menarik Mira.

“Tunggu—”

Sosok itu meloncat, menghancurkan pagar besi. Deno mendorong Mira masuk ke mobil dan menutup pintu. Tapi sebelum ia bisa masuk, cakar makhluk itu mengoyak bahunya.

Deno jatuh.

“DENO!!!”

Mira keluar dari mobil dan tanpa pikir panjang, mengambil batu besar dan melempar ke arah monster itu. Tentu saja tidak berefek banyak. Tapi cukup untuk mengalihkan perhatian.

Dan saat monster itu berbalik menatapnya…

…sebuah panah api meluncur dari kegelapan.

Panah itu mengenai dadanya. Makhluk itu meraung keras—dan tubuhnya terbakar, lenyap dalam hitungan detik.

Mira terdiam. Deno terkapar, terluka. Dan dari balik asap, muncul sosok yang sangat dikenalnya.

Aldric.

Dengan busur berlapis cahaya bulan, ia berdiri angkuh, seperti dewa malam yang datang untuk menyelamatkan dunia.

“Kau datang…” bisik Mira, nyaris tak percaya.

Aldric menatap Deno. “Dia melindungimu. Tapi dia juga bisa menghancurkanmu.”

“Aku tahu,” bisik Mira, air mata mengalir tanpa sadar.

Dan malam itu, satu hal menjadi jelas:

Mira tidak bisa mempercayai siapa pun sepenuhnya.

Bahkan sahabatnya.

Bahkan dirinya sendiri.

Bab 4: Darah yang Menjawab

Malam itu, Mira berdiri di depan api unggun besar, jauh di dalam hutan tempat Aldric membawanya setelah insiden di kafe. Suasana di sana sunyi, hanya suara dedaunan dan sesekali lolongan serigala dari kejauhan. Di belakangnya, Deno sedang dirawat oleh seorang wanita berambut putih keperakan—dokter klan werewolf, kata Aldric.

“Dia akan baik-baik saja,” ujar Aldric tenang sambil mengaduk ramuan dalam mangkuk batu. “Tapi mulai sekarang, kau harus berhenti mempercayai semua hal dengan mudah.”

Mira diam. Pikirannya masih kusut. Semua terlalu cepat. Deno ternyata pemburu. Dirinya berubah. Dan pria dengan mata emas ini… entah kenapa makin membuatnya sulit bernapas, bukan karena takut, tapi karena terlalu banyak rasa yang bercampur aduk.

“Kenapa aku nggak meleleh karena darah mereka?” akhirnya Mira bertanya.

Aldric menoleh, menatapnya dalam.

“Kau memang bukan manusia biasa. Tapi aku butuh memastikan,” katanya. Ia mengambil belati kecil dari balik mantelnya. “Kita akan lakukan uji darah.”

Mira mundur. “Uji darah? Kayak di rumah sakit?”

“Tidak semudah itu.”
Aldric mencelupkan ujung belati ke dalam darah makhluk yang terbunuh tadi malam, lalu menyerahkannya ke Mira. “Sentuh ujung pisau ini. Kalau kau manusia biasa, kulitmu akan terbakar. Kalau kau Penyeimbang Bulan… darah ini akan berubah warna.”

Mira menelan ludah. Ragu. Tapi ia tahu, ini satu-satunya jalan untuk mendapat jawaban.

Perlahan, ia sentuhkan ujung jarinya ke darah itu.

Tidak terbakar. Tidak melepuh.

Sebaliknya, darah itu berubah dari merah ke perak. Bersinar lembut, seperti cahaya bulan.

Aldric membeku. “Itu… tidak mungkin…” bisiknya.

“Apa artinya?” Mira panik. “Apa yang terjadi padaku?!”

Aldric menarik napas berat. “Ini bukan hanya darah Penyeimbang… ini darah yang tertulis dalam ramalan kuno. Darah yang mampu menetralisir kutukan bulan.”

“Apa maksudmu?”

“Artinya,” kata Aldric dengan nada pelan namun tajam, “kau adalah pusat keseimbangan antara dua dunia—manusia dan kami.”

“Tapi aku bahkan nggak tahu siapa ayahku!” Mira mendadak teringat. Ibunya selalu menghindar ketika ditanya soal masa lalu.

Aldric menatapnya. “Itu mungkin menjelaskan segalanya. Darahmu… bukan hanya kuat, tapi juga berbahaya.”

Tiba-tiba, api unggun berkedip. Angin berhembus aneh. Dan dari balik pepohonan, muncul sekelompok serigala dalam wujud manusia—anggota klan Aldric. Mereka membungkuk hormat, tapi wajah mereka tidak bersahabat saat memandangi Mira.

“Dia pembawa bencana,” salah satu dari mereka berkata tajam. “Ramalan bilang… jika darah Penyeimbang bersatu dengan darah Raja, dunia akan runtuh.”

Aldric berdiri, membela Mira. “Dia bukan bencana. Dia harapan kita.”

“Cinta kalian bisa membawa perdamaian… atau kehancuran,” kata yang lain. “Dan tidak ada yang tahu pasti ke arah mana takdir akan bergerak.”

Mira mundur. “Aku nggak minta ini semua terjadi.”

“Kau tidak perlu minta,” jawab Aldric, mendekatinya. “Takdirmu sudah tertulis sejak kau lahir. Dan sekarang, kau harus memilih. Tetap bersama dunia manusia yang tidak akan pernah bisa memahami siapa dirimu… atau ikut denganku, ke dalam kegelapan yang mungkin jadi satu-satunya tempat kau benar-benar bisa jadi diri sendiri.”

Mira terdiam. Pilihan itu berat. Sangat berat. Tapi jauh di dalam dirinya, ia tahu… hidupnya tidak akan pernah sama lagi.

Dan malam itu, di bawah sinar bulan yang perlahan berubah kemerahan, darahnya menjawab takdirnya sendiri.

Bab 5: Ciuman yang Membakar

Sejak malam pengujian darah itu, Mira tidak lagi bisa tidur nyenyak. Bukan karena mimpi buruk… tapi karena mimpi-mimpi yang terasa terlalu nyata.

Dalam mimpinya, ia berdiri di tengah hutan, di bawah dua bulan yang menggantung berdampingan. Aldric selalu ada di sana, menatapnya dengan mata emas yang menyala seperti bara. Lalu, saat ia menyentuh tangannya, tubuhnya terasa terbakar—bukan oleh rasa sakit, tapi oleh sesuatu yang jauh lebih intens: rasa yang tak bisa dijelaskan.

Dan malam itu, ketika Mira benar-benar terjaga, Aldric berdiri di ambang pintu kamarnya di rumah persembunyian. Seolah terhubung lewat mimpi. Seolah tahu, Mira sedang menunggu.

“Kenapa kau datang?” tanya Mira, berdiri dari tempat tidurnya.

Aldric tidak langsung menjawab. Ia hanya berjalan pelan mendekat, membiarkan keheningan berbicara lebih dulu.

“Aku seharusnya menjaga jarak,” katanya akhirnya, suaranya dalam dan berat. “Karena setiap kali aku dekat denganmu, bulan terasa lebih panas. Dan aku… semakin tidak bisa mengendalikan diri.”

Mira menatapnya lekat. “Lalu kenapa tetap datang?”

Aldric menahan napas. “Karena kau menarikku seperti gravitasi menarik bulan.”

Langkah mereka saling mendekat, pelan, hati-hati. Tapi udara di antara mereka terasa seperti medan listrik. Ketegangan yang membakar.

Mira mengulurkan tangan, menyentuh wajah Aldric. Kulitnya panas. Denyut nadi di lehernya berdetak kencang.

“Kalau kau berbahaya… kenapa aku tidak takut padamu?” bisik Mira.

Aldric menutup matanya, seolah kesakitan. “Karena kau… satu-satunya yang bisa menyentuhku tanpa membuatku kehilangan kendali.”

Dan tepat saat bibir mereka bersentuhan…
Dunia berubah.

Ciuman itu bukan ciuman biasa. Saat bibir mereka bertaut, ledakan cahaya muncul dari dada Mira. Angin berputar kencang di sekeliling mereka. Tanah bergetar. Simbol kuno menyala di leher kiri Mira—bulan sabit mengelilingi matahari kecil. Sebuah tanda kuno… milik pasangan sejati Raja Werewolf.

Mira tersentak mundur. “Apa itu?!”

Aldric menggenggam pundaknya, matanya membara. “Tanda ikatan. Kita… sudah terikat. Tidak bisa dibatalkan.”

“Tapi aku nggak pernah menyetujui ini!” Mira berteriak.

“Begitu pula aku,” jawab Aldric lirih. “Tapi darah kita memilih satu sama lain. Kau adalah milikku sekarang, Mira. Dan aku… adalah milikmu.”

Suara lolongan memecah malam. Pintu rumah didobrak. Anggota klan Aldric masuk dengan ekspresi panik.

“Kau telah melanggar aturan!” teriak seorang tetua. “Kau membawa ramalan ke titik kehancuran!”

Aldric berdiri di depan Mira, melindunginya. “Kita tidak melakukan ini dengan sengaja.”

“Tapi kau sudah menandainya. Dia sudah jadi pasanganmu. Dan itu berarti…”

“…bulan merah akan bangkit,” sambung tetua lain dengan wajah pucat.

Mira menatap ke luar jendela. Langit malam berwarna ungu gelap. Tapi di ufuk timur… muncul cahaya kemerahan. Bulan kedua mulai bangkit. Bulan yang tak seharusnya muncul sebelum waktunya.

“Ciuman itu… membangunkan sesuatu,” bisik Aldric, menatap langit. “Dan itu hanya bisa berarti satu hal…”

Mira memegang dadanya, merasakan detak jantungnya berdentum keras.

“Ramalan akan menjadi kenyataan lebih cepat dari seharusnya,” lanjut Aldric. “Dan kita tidak punya waktu.”

Tiba-tiba, tubuh Mira melemas. Napasnya memburu. Cahaya dari simbol di lehernya menyala makin terang—dan ia roboh ke lantai, tak sadarkan diri.

Aldric menangkapnya tepat waktu, memeluk tubuh Mira yang lunglai.

“Mira?!”

Tapi dari dalam tubuh Mira… suara lain terdengar. Suara kuno. Suara yang bukan miliknya.

“Bulan kedua telah dibangunkan. Dan cinta kalian akan menguji seluruh dunia.”

Bab 6: Pengkhianatan di Balik Cakar

Mira membuka matanya perlahan. Pandangannya kabur, tapi yang pertama ia lihat adalah wajah Aldric—penuh kekhawatiran, dengan mata emas yang kini memudar jadi warna tembaga.

“Jangan bergerak dulu,” bisiknya, mengelus kening Mira dengan tangan hangat.

“Apa yang terjadi?” gumam Mira, mencoba duduk.

“Kau pingsan selama tiga hari. Dan simbol di lehermu masih menyala setiap malam.”
Aldric menunduk. “Ramalan… mulai bergerak lebih cepat dari yang kita duga.”

Mira memegang lehernya. Tanda itu terasa hangat, bahkan saat tidak terlihat. Tapi bukan hanya tanda itu yang berubah—Mira juga merasa lain. Tubuhnya lebih peka. Ia bisa mendengar suara detak jantung Aldric, bahkan suara serangga dari luar jendela.

“Aku bisa dengar semuanya…”

“Itu efek ikatan. Darahku dan darahmu mulai menyatu. Kau… perlahan menjadi sesuatu yang baru.”

Mira menahan napas. Ini terlalu cepat. Terlalu banyak. Ia butuh seseorang yang bisa membuatnya tetap waras.

“Aku ingin bertemu Deno,” katanya lirih.

Aldric terlihat ragu, tapi akhirnya mengangguk. “Dia di ruang bawah. Tapi hati-hati, Mira. Deno bukan lagi hanya sahabatmu. Dia… sedang diuji oleh pihak kami. Aku tidak bisa menjamin dia masih seperti dulu.”

**

Ruang bawah tanah itu dingin dan lembap. Tapi Deno duduk di sana dengan tenang, seperti sedang menunggu.

“Mir,” katanya lembut saat Mira muncul.

Mira langsung memeluknya, terisak. “Aku takut… semua ini terlalu gila.”

Deno diam sejenak, sebelum memeluk balik. Tapi pelukannya dingin. Jauh berbeda dari pelukan hangat sahabatnya dulu.

“Kenapa kau nggak pernah bilang soal dirimu?” tanya Mira, melepas pelukan.

“Aku ingin bilang. Tapi aku diikat sumpah pemburu,” jawab Deno. “Aku dikirim untuk mengamati Aldric. Tapi saat aku tahu kau terlibat… aku nggak sanggup meneruskan misinya.”

“Misi?” Mira mengernyit.

“Untuk membunuhnya.”
Deno menunduk. “Dan sekarang… aku harus memilih: tetap melindungimu atau menjalankan sumpahku.”

Mira melangkah mundur. “Kau… kau tidak akan membunuh Aldric, kan?”

Tapi sebelum Deno sempat menjawab, alarm berbunyi keras. Cahaya merah menyala di dinding.

Aldric menerobos masuk. “Kita diserang!”

Deno berdiri cepat. “Aku ikut bertarung!”

Mira terkejut. “Kau?”

Aldric memelototi Deno. “Kau bukan bagian dari kami.”

“Kalau aku tidak ikut bertarung, mereka akan membunuh Mira!” bentak Deno.

Aldric menatap Mira sejenak, lalu mengangguk pelan. “Baik. Tapi satu kesalahan, aku akan menghabisimu tanpa ragu.”

Mereka bertiga keluar ke halaman utama. Puluhan werewolf sedang bertarung melawan sekelompok orang bersenjata—manusia. Tapi mereka bukan sembarang manusia. Mereka memakai jubah hitam dengan simbol bulan merah. Mata mereka merah… seperti dimasuki sesuatu.

“Siapa mereka?” tanya Mira panik.

“Pemburu bulan merah. Mereka bukan hanya manusia. Mereka pengikut kekuatan yang lebih gelap dari siapapun yang pernah kau temui,” jawab Aldric.

Saat pertempuran makin kacau, Mira ditarik mundur oleh Deno.

“Kau harus ikut aku,” katanya cepat.

“Tunggu, kenapa kita ke arah berlawanan?” Mira heran.

“Aku akan membawamu ke tempat aman.”

Tapi saat Mira menoleh ke arah Aldric yang sedang bertarung, ia melihat satu hal yang membuat darahnya membeku.

Deno mengeluarkan pisau hitam dari balik jaketnya.

Pisau dari besi bulan.

Dan ia mengarahkannya tepat ke punggung Aldric.

“DENOOOOOOO!!!”

Mira berlari, melompat, dan mendorong Deno sekuat tenaga.

Pisau itu terlepas dan meleset—tapi tidak cukup jauh. Menyambar bahu Aldric yang langsung roboh.

Mira menatap Deno dengan air mata dan amarah. “Kau… kau masih memilih mereka?”

Deno menunduk, matanya bergetar. “Maaf, Mir… ini satu-satunya jalan agar dunia manusia tidak hancur.”

“Kau mengkhianatiku…”

Deno terdiam.

Dan Mira tahu, orang yang paling ia percayai… telah menusuk dari belakang. Bukan hanya Aldric. Tapi juga hatinya sendiri.

Sementara itu, langit malam berubah. Dua bulan bersinar penuh, dan angin berubah menjadi pusaran energi yang membawa pesan:

“Pengkhianatan pertama telah terjadi. Dan itu baru permulaan.”

Bab 7: Perang Dua Bulan

Langit malam itu terbelah dua.

Di satu sisi, bulan perak bersinar seperti biasa, lembut dan damai. Di sisi lainnya, bulan merah memancarkan cahaya panas membara, seolah akan membakar langit itu sendiri. Dua bulan menggantung berdampingan—tanda bahwa batas antara dunia manusia dan dunia para werewolf telah rusak.

Aldric duduk lemah di kursi batu, luka di bahunya belum sembuh sempurna. Luka dari pisau besi bulan milik Deno, luka yang tidak bisa ditutup oleh kekuatan regenerasi milik raja serigala sekalipun.

Mira duduk di sampingnya, menggenggam tangannya. “Kau harus bertahan. Aku… aku nggak tahu harus bagaimana kalau kehilanganmu.”

Aldric menatapnya dengan lemah tapi hangat. “Kau tidak akan kehilangan aku. Tapi dunia kita… mungkin akan kehilangan segalanya.”

Suara ledakan mengguncang malam. Tanah bergetar. Dari kejauhan, tampak nyala api dan kepulan asap menjulang tinggi. Kota manusia diserang. Tapi bukan oleh werewolf.

“Pemburu bulan merah,” ujar Aldric dengan suara pelan namun dingin. “Mereka sudah memulai perang.”

**

Beberapa jam kemudian, Mira berdiri di atas menara batu di pusat wilayah klan Aldric. Dari situ ia bisa melihat segalanya—hutan yang terbakar, kota manusia yang mulai hancur, dan langit yang tidak lagi mengenal pagi.

Para tetua klan berkumpul. Mereka semua tampak gelisah, saling berdebat.

“Kita harus menyerang lebih dulu!”

“Tidak! Kita harus bersembunyi dan melindungi raja!”

“Kita hancurkan bulan merah sebelum kekuatannya menyebar!”

Semua berbicara, tapi tidak satu pun yang benar-benar mendengar.

Sampai suara berat Aldric bergema dari tangga batu. “Diam semuanya.”

Mereka semua menoleh. Aldric berdiri dengan susah payah, luka di bahunya masih belum pulih sepenuhnya, tapi matanya tajam seperti biasa.

“Kita tidak bisa melarikan diri dari perang ini. Mereka sudah menginjakkan kaki di dunia kita. Membakar rumah kita. Menyerang manusia dan menyalahkan kita. Ini… bukan lagi tentang manusia dan werewolf. Ini tentang penguasa baru yang ingin menguasai dua dunia.”

Aldric menatap Mira. “Dan Mira adalah kunci untuk mengakhirinya.”

Mira terkejut. “Aku? Bagaimana?”

Salah satu tetua menjawab, “Karena hanya Penyeimbang yang bisa menutup celah antara dua bulan. Tapi untuk melakukannya, kau harus memanggil energi bulan merah ke dalam tubuhmu… dan itu bisa membunuhmu.”

Mira terdiam. “Jadi aku harus jadi tumbal?”

Aldric menggeleng. “Tidak. Aku tidak akan membiarkan itu terjadi.”

Tapi Mira tahu, jika ia tidak melakukan apa-apa, dunia manusia akan musnah… dan klan Aldric akan punah.

**

Malam berikutnya, medan perang terbuka di antara hutan dan batas kota manusia. Deno berdiri di sisi berlawanan, memimpin barisan pemburu. Mata mereka merah. Suara mantra kuno terdengar dari mulut mereka.

Mira dan Aldric berdiri di sisi lain, diapit oleh prajurit werewolf. Kabut menyelimuti kaki mereka. Udara tegang. Siap pecah kapan saja.

“Masih bisa kembali, Deno,” seru Mira, mencoba satu kali terakhir. “Kita bisa hentikan ini!”

Tapi Deno hanya menatapnya kosong. “Aku sudah terlalu jauh.”

Lalu, bulan merah bersinar paling terang. Dan suara raungan memekakkan telinga mengguncang langit. Dari balik celah bulan, turun makhluk raksasa—berwujud serigala bayangan berwarna darah, mata merah menyala, tinggi seperti menara.

“Itu… bukan dari dunia ini,” bisik Aldric.

“Itu pemangsa dunia. Penghancur keseimbangan,” sahut tetua klan dengan suara bergetar.

Mira maju satu langkah. Simbol di lehernya menyala sendiri. Kedua bulan merespons—cahaya perak dan merah melingkari tubuhnya.

“Aku tahu apa yang harus kulakukan,” katanya tegas. “Tapi aku butuh kau percaya padaku, Aldric.”

Aldric menatapnya, penuh perasaan. “Aku mempercayaimu, bahkan jika dunia ini berakhir.”

Lalu, Mira melangkah ke tengah medan perang. Dunia terdiam. Dua bulan bersinar di atasnya. Tubuh Mira bersinar dengan cahaya putih keemasan. Ia mengangkat tangannya ke langit dan berteriak…

Dan saat itu, terjadi ledakan cahaya.

Semua makhluk—manusia, werewolf, pemburu, monster bulan merah—terpental mundur.

Namun di tengah cahaya… tubuh Mira mulai menghilang perlahan.

Aldric berlari. “MIRA!!”

Tapi ia terlalu terlambat. Cahaya terlalu kuat. Mira menghilang… ditelan oleh dua bulan yang kini mulai saling bertabrakan.

Langit berguncang. Dunia bergetar. Dan lalu, semuanya gelap.

**

Beberapa jam kemudian, hanya satu bulan yang tersisa di langit. Bulan perak. Tenang.

Mayat monster bulan merah menguap. Pemburu menghilang. Dan para werewolf kembali ke bentuk manusia.

Tapi Mira… tak terlihat di mana pun.

Aldric berdiri di tengah kehancuran, memegang simbol bulan sabit kecil yang tertinggal di tempat Mira berdiri.

Air matanya jatuh untuk pertama kalinya.

Perang selesai.

Tapi cinta mereka… terpisah oleh dua bulan.

Bab 8: Rahasia Kelahiran Mira

Tiga hari setelah ledakan cahaya besar itu, suasana dunia berubah drastis.

Langit kembali memiliki satu bulan. Perang berhenti. Tapi tidak ada yang tahu ke mana Mira pergi. Tidak ada jejak tubuhnya. Tidak ada roh. Tidak ada tanda kehidupan. Hanya satu benda yang tertinggal—kalung kecil dengan liontin berbentuk matahari, yang selama ini selalu ia pakai, kini hangus dan retak.

Aldric menyimpannya di dada, seolah berharap liontin itu bisa bicara. Setiap malam, ia naik ke tebing tertinggi di wilayah utara, menatap bulan yang tersisa dan menunggu. Menunggu keajaiban.

Namun malam ini… keajaiban itu datang dalam bentuk yang tak terduga.

Seorang wanita tua muncul dari hutan. Rambutnya panjang dan putih seperti salju. Matanya buta, tapi setiap langkahnya pasti. Para penjaga hendak menghalangi, tapi Aldric langsung berdiri.

“Biarkan dia lewat.”

Wanita itu tersenyum. “Akhirnya kau mengingatku, Raja.”

Aldric menyipitkan mata. “Kau… Penjaga Garis Darah.”

Wanita itu mengangguk. “Dan aku datang karena waktunya telah tiba. Sudah saatnya kau tahu… siapa Mira sebenarnya.”

**

Di dalam gua tua yang hanya boleh dimasuki oleh keturunan kerajaan, wanita tua itu membuka gulungan kulit naga berusia ribuan tahun. Tertulis di sana kisah tentang bulan merah, bulan perak, dan… kelahiran seorang anak dari dua darah yang bertentangan.

“Lama sebelum kau dilahirkan, Aldric, dunia ini sudah pernah dihancurkan oleh perang antar bulan,” ucap sang penjaga. “Dan satu-satunya yang bisa menghentikannya adalah wanita yang lahir dari dua dunia: darah penjaga bulan merah dan darah raja pertama.”

“Mustahil,” kata Aldric. “Raja pertama hanya punya satu keturunan… dan dia hilang.”

Wanita tua itu menatapnya tajam. “Raja pertama punya dua anak. Anak perempuan itu dikirim ke dunia manusia—disembunyikan. Agar tak dimangsa ramalan. Dan dari rahimnya lahirlah Mira.”

Aldric membeku. “Kau bohong…”

“Mira adalah keturunan langsung dari raja pertama dan penjaga bulan merah,” ucap sang penjaga, lirih. “Dia bukan hanya Penyeimbang. Dia adalah kunci segel. Ia diciptakan bukan untuk memilih, tapi untuk mengakhiri kutukan dua bulan.”

Aldric terduduk lemas. “Itu artinya… dia membawa darah musuhku.”

“Tidak ada lagi musuh atau kawan, Aldric. Yang ada hanyalah harapan bahwa dia belum benar-benar lenyap.”

**

Di tempat lain, jauh dari dunia yang dikenalnya, Mira membuka mata.

Ia berdiri di padang putih tak berujung. Tanpa langit. Tanpa tanah. Hanya cahaya lembut keemasan yang menyelimutinya. Suara-suara samar bergema dari kejauhan. Suara tangis bayi. Suara lolongan. Suara nyanyian ibunya.

“Di mana ini…?” gumamnya.

Lalu muncul sosok seorang wanita—anggun, mengenakan jubah merah darah yang berkibar tanpa angin.

“Putriku,” katanya lembut.

Mira mundur. “Kau siapa?”

“Aku adalah ibumu… bukan yang membesarkanmu, tapi yang melahirkanmu,” jawab wanita itu. “Namaku Elaris, penjaga bulan merah. Dan aku… pernah mencintai seorang raja.”

Mira tidak mengerti.

“Kau dikirim ke dunia manusia karena ramalan tentangmu terlalu menakutkan,” lanjut Elaris. “Tapi kini, ramalan itu telah dimulai. Dan waktunya sudah tiba… untuk memilih: kembali ke dunia dan menyatukan dua bulan menjadi satu—atau tinggal di sini, di batas antara hidup dan mati, selamanya aman, tapi terlupakan.”

Mira terdiam.

Ia menatap tangannya, dan perlahan tubuhnya mulai bersinar.

“Aldric… dia masih hidup?” bisiknya.

Elaris tersenyum. “Jika hatimu masih memanggil namanya, maka dia tidak akan pernah mati.”

**

Kembali ke dunia nyata, di malam keempat, Aldric tertidur di depan api unggun kecil di tebing.

Dan dari dalam kegelapan… terdengar suara langkah ringan.

Suara yang telah ia rindukan setiap detiknya.

“Mira…?”

Mata emasnya terbuka. Ia menoleh.

Dan di sana, berdiri Mira. Rambutnya kini memiliki kilau merah samar, simbol di lehernya bersinar tenang. Ia tampak lebih dewasa. Lebih kuat. Lebih… tak tersentuh.

Aldric berdiri. “Kau kembali…”

Mira tersenyum, menahan air mata. “Dan aku bawa jawaban untuk semua ini.”

“Siapa kau sebenarnya, Mira?”

Ia menatap mata Aldric, penuh cinta dan luka.
“Aku adalah kunci antara dua dunia… dan darahku bukan untuk membunuh, tapi untuk mengakhiri semuanya. Tapi kau, Aldric… kau adalah satu-satunya alasan aku ingin tetap hidup.”

Aldric memeluknya erat, tanpa kata.

Mereka tahu perang belum benar-benar berakhir. Tapi kini, mereka tahu siapa yang mereka hadapi.

Dan Mira… tahu siapa dirinya sebenarnya.

Bab 9: Cinta yang Terluka

Malam itu, udara terasa lebih berat. Bukan karena perang. Bukan karena kelelahan. Tapi karena rasa yang selama ini dipendam terlalu lama… mulai pecah.

Aldric dan Mira duduk di atas bukit batu, menatap bulan yang kini hanya satu—tapi tak lagi seindah dulu. Seperti mereka… masih bersama, tapi tak lagi utuh.

“Kau terlihat… berbeda,” ucap Aldric pelan, menoleh ke Mira.

“Aku memang berbeda sekarang,” balas Mira, suaranya datar. “Aku bukan Mira yang dulu lagi.”

“Kau masih Mira bagiku,” kata Aldric sambil menggenggam tangan Mira. Tapi tangan itu terasa dingin. Tak sehangat biasanya.

Mira menarik tangannya perlahan. “Jangan bilang begitu kalau kau belum tahu semuanya.”

Aldric mengernyit. “Apa maksudmu?”

Mira menarik napas panjang. “Ada satu rahasia lagi… yang belum aku ceritakan.”

**

Keesokan paginya, Mira membawa Aldric ke tempat rahasia yang hanya bisa dilihat oleh darah Penyeimbang—lembah berkabut dengan sungai mengalir yang memantulkan bayangan masa lalu. Di sanalah, Mira menyentuh airnya dan memperlihatkan apa yang selama ini disembunyikan oleh garis keturunannya.

Kilatan cahaya muncul.

Bayangan seorang pria tampak dalam pusaran sungai. Tinggi, berwajah keras, mengenakan jubah hitam pekat.

Aldric membelalak. “Itu… itu ayahku.”

“Dan itu juga… ayah kandungku,” bisik Mira.

Dunia seolah berhenti berputar.

Aldric menatap Mira. Matanya menyiratkan luka yang dalam. Luka yang tak bisa diobati oleh waktu.

“Kita… saudara?”

Mira menggeleng cepat. “Tidak. Kita tidak sedarah. Tapi ayahku adalah saudara tiri ayahmu. Aku… anak dari darah pengkhianat yang menyebabkan perang pertama antara dua bulan.”

Aldric mundur selangkah. “Kenapa kau baru bilang sekarang?”

“Karena aku takut,” jawab Mira lirih. “Aku takut kau akan menjauhiku. Tapi aku nggak bisa sembunyikan ini lebih lama. Kalau kita ingin menyatukan dunia ini, semuanya harus jujur… termasuk asal-usulku.”

Aldric menunduk. “Selama ini aku berperang melawan keturunan pria itu. Aku tumbuh dengan membenci namanya. Dan sekarang… wanita yang kucintai… adalah darahnya.”

Air mata Mira mengalir. “Aku tidak memilih dilahirkan dari siapa, Aldric. Tapi aku memilih mencintaimu.”

Keheningan panjang membungkus mereka. Kabut makin tebal. Dan suara air sungai tak lagi menenangkan—melainkan menyayat.

“Aku butuh waktu,” bisik Aldric akhirnya. “Aku mencintaimu. Tapi hatiku… sedang berdarah.”

**

Malam itu, Mira duduk sendiri di menara tertinggi wilayah Aldric, memandangi dunia yang telah ia selamatkan, tapi justru menghancurkan hatinya sendiri.

Di bawah, Deno berdiri di bawah sinar bulan. Ia tidak lagi menjadi musuh. Setelah pertarungan besar, ia menyerahkan diri dan ditahan. Tapi malam ini, ia bebas.

“Kenapa kau datang?” tanya Mira tanpa menoleh.

“Karena aku tahu rasanya ditolak oleh orang yang kita cintai,” jawab Deno.

Mira tersenyum pahit. “Kau selalu tahu kapan muncul di saat yang paling menyebalkan… dan paling menyentuh.”

“Aku bukan Aldric,” kata Deno. “Dan aku tahu aku tidak akan pernah jadi dia. Tapi kalau dia melukaimu… aku akan tetap di sini.”

Mira menoleh, menatap Deno. Tapi bukan cinta yang ia rasakan… melainkan luka yang belum sembuh.

“Terima kasih, Den. Tapi aku harus sembuh sendiri kali ini.”

Deno mengangguk. “Kalau kau tersesat… aku masih akan jadi arah pulangmu.”

**

Sementara itu, jauh di dalam kegelapan, seseorang membuka matanya.

Matanya merah, lebih pekat dari bulan merah.

“Akhirnya… garis darah pengkhianat dan penjaga bulan bersatu,” bisiknya.

“Aku akan menyambut mereka… di gerbang kehancuran terakhir.”

Dan bayangan besar mulai bergerak di balik bulan.

Cinta mereka terluka. Tapi dunia belum selesai menguji mereka.

Bab 10: Dua Bulan, Satu Janji

Langit kembali berubah.

Setelah berminggu-minggu hanya satu bulan yang bersinar, malam ini dua bulan muncul lagi—bukan bulan merah dan perak seperti dulu, tapi dua cahaya yang tampak bersatu… seperti menunggu sesuatu.

Mira berdiri di tengah hutan suci, tempat pertama kali dia bertemu Aldric. Rambutnya kini lebih panjang, dengan helai-helai merah menyala di antara hitam pekat. Simbol bulan sabit di lehernya terus bersinar, seolah menuntunnya ke titik akhir.

Di tangannya, liontin retak yang dulu hancur kini menyatu kembali.

Aldric berdiri tak jauh di belakangnya. Mereka belum banyak bicara sejak rahasia kelahiran Mira terungkap, tapi malam ini, tidak ada ruang untuk keraguan.

“Aku minta maaf,” ucap Mira pelan tanpa menoleh. “Kalau kau ingin pergi, aku mengerti.”

Aldric berjalan mendekat, perlahan, seperti menahan sesuatu.

“Aku yang harus minta maaf,” katanya akhirnya. “Kau mengorbankan segalanya. Bahkan dirimu sendiri. Dan aku malah menjauhimu karena darah masa lalu.”

Mira menunduk. “Kadang, cinta saja nggak cukup.”

Aldric menyentuh pundaknya. “Tapi janji… itu yang akan menahan kita tetap berdiri saat cinta diuji.”

Ia membalikkan tubuh Mira perlahan. Mata mereka bertemu—tak seindah dulu, tapi lebih dalam, lebih jujur, penuh luka dan harapan.

“Kau mau berjanji… meski semuanya mungkin akan berakhir malam ini?” tanya Mira.

Aldric mengangguk. “Aku berjanji untuk mencintaimu, bahkan kalau dunia melupakanku. Bahkan kalau bulan berhenti bersinar.”

**

Langkah mereka menyatu menuju batu altar di tengah hutan. Di atasnya, dua lingkaran batu bersinar—satu merah, satu perak. Keduanya harus menempatkan telapak tangan di atasnya, agar kekuatan bulan menyatu dan menutup celah terakhir antara dunia manusia dan dunia para serigala.

Tapi saat mereka bersiap…

Langit pecah.

Dari balik dua bulan, sosok raksasa turun, lebih besar dari apa pun yang pernah mereka lihat. Berwujud kabut hitam pekat dengan mata merah berlapis-lapis, suara lolongannya mengguncang tanah.

Itu bukan hanya monster.

Itu adalah “Bayangan Tanpa Nama”, entitas purba yang lahir dari kebencian dan pengkhianatan antara darah dua bulan.

“Dia adalah hasil dari cinta yang ditolak. Dari janji yang dilanggar oleh nenek moyang kalian!” teriak suara bergema dari dalam makhluk itu. “Aku adalah balasan bagi mereka yang mencoba menyatukan dua dunia yang seharusnya musnah!”

Makhluk itu melayang turun, menebar energi hitam. Tanah runtuh. Udara meledak dalam dentuman energi bulan yang pecah. Dunia berada di ambang kehancuran.

Aldric berdiri di depan Mira. “Pergilah. Kau masih bisa selamat.”

Mira menarik tangannya. “Kau pikir aku datang sejauh ini hanya untuk lari?!”

Mereka menatap satu sama lain. Kemudian Mira mengambil liontin di lehernya dan menghancurkannya di tanah. Kilatan cahaya menyebar dari retakan itu, membentuk simbol bulan dan matahari bersatu.

“Kalau cinta adalah penyebab perang… maka cinta juga bisa jadi penutupnya,” ucap Mira, tangannya mulai menyatu dengan cahaya.

Aldric menempatkan telapak tangannya di atas altar, dan Mira melakukan hal yang sama. Cahaya menyambar tubuh mereka berdua, menyatu jadi satu pilar terang yang menembus langit.

Makhluk bayangan meraung keras. Ia menyerbu. Tapi pilar cahaya menelannya.

Dalam detik terakhir sebelum semuanya lenyap, Mira memeluk Aldric erat.

“Kita bertemu di dua bulan, dan kita akan tetap bersama… bahkan saat dunia memilih melupakan kita.”

Aldric membalas pelukan itu, suaranya serak. “Dua bulan. Satu janji.”

**

Cahaya meledak. Dunia gelap.

Lalu… hening.

**

Bertahun-tahun kemudian, seorang anak kecil duduk di tepi danau di tengah hutan, membaca buku tua berjudul “Legenda Dua Bulan”. Ia menoleh ke ibunya yang sedang menjemur pakaian di pondok kayu kecil.

“Ibu… cerita tentang Mira dan Aldric itu nyata?”

Sang ibu tersenyum. “Menurutmu bagaimana?”

Anak itu berpikir sebentar, lalu menatap langit.

Dan di sana, dua bulan bersinar samar… berdampingan.


TAMAT.

Novel ini ditulis oleh Evi Fauzi, Penulis dari Novel Singkat. Baca juga novel romantis, petualangan dan fiksi ilmiah lainnya.

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

    Leave a Reply

    Your email address will not be published. Required fields are marked *