Aluna, seorang pustakawan muda yang yatim piatu, hidup dalam dunia yang perlahan menghilang satu kota lenyap setiap hari akibat fenomena misterius bernama Void Fade. Hanya Aluna yang bisa melihat retakan-retakan di udara sebelum kehancuran terjadi.
Suatu malam, ia bertemu Rei, pria aneh yang mengaku berasal dari masa depan. Tapi ada satu masalah, Rei selalu menghilang pukul 00:00 dan lupa segalanya saat muncul kembali. Bersama, mereka menjelajahi dunia yang runtuh, mengumpulkan fragments of existence untuk menyatukan ruang dan waktu. Namun di hari ke-99, keduanya dihadapkan pada pilihan pahit: dunia hanya bisa selamat jika salah satu dari mereka menghilang selamanya.
Di tengah kehancuran dunia, cinta mereka tumbuh—dan diuji.
Apakah satu cinta cukup untuk menyelamatkan segalanya?
Bab 1: Retakan Pertama
Aku melihat dunia retak untuk pertama kalinya saat sedang membeli roti.
Tepat di atas toko roti tua di ujung jalan, langit yang biasanya biru cerah hari itu, tampak seperti cermin yang baru saja dilempar ke lantai—penuh retakan tak beraturan yang berkilauan seperti benang cahaya. Tapi anehnya, tak ada yang melihatnya. Orang-orang tetap berlalu lalang, sibuk dengan ponsel, tertawa, bersepeda, seolah-olah tidak ada yang aneh terjadi di atas kepala mereka.
Sambil menggenggam kantong roti, aku menatap langit itu lama. Hawa panas tiba-tiba menyeruak, dan desisan aneh seperti logam yang digores terdengar samar. Retakan itu berdenyut, bergerak seperti jaring laba-laba yang hidup.
Aku sempat mengedipkan mata. Mungkin aku cuma kecapekan. Tapi tidak. Retakan itu masih ada.
Dan lima menit kemudian, toko roti itu… menghilang.
Bukan meledak. Bukan roboh. Tapi benar-benar hilang, seperti disapu penghapus dari kertas putih. Tanah di bawahnya pun ikut lenyap, menyisakan lubang kosong menganga yang berpendar samar ungu kebiruan. Orang-orang di sekitarku menjerit. Tapi bukan karena melihat langit retak. Mereka hanya melihat toko roti yang “tiba-tiba” lenyap, tanpa tahu penyebabnya.
Aku ingin lari. Tapi kakiku membeku.
Lalu, aku sadar… aku satu-satunya yang melihat retakan itu.
Hari itu menjadi awal dari semuanya.
Berita mulai menyebar: “Kebakaran misterius”, “Lubang sinkhole mendadak”, “Ledakan gas masif”—semua mencoba menjelaskan apa yang terjadi. Tapi setiap hari, satu kota menghilang. Besoknya, kota tetangga lenyap. Lalu kota besar. Ibu kota. Tanpa sisa. Tanpa korban. Seolah tempat itu tidak pernah ada. Hanya langit yang retak sebelum kejadiannya, hanya aku yang bisa melihatnya.
Namaku Aluna.
Aku yatim piatu sejak kecil. Dan jujur, sebelum semua ini terjadi, hidupku nggak terlalu berarti. Aku sekolah setengah hati, kerja paruh waktu di toko buku tua, dan jarang bicara dengan siapa pun. Tapi sekarang… seolah-olah dunia menjadikanku pusat dari sesuatu yang tak kumengerti.
Tiga hari setelah kota keempat lenyap, aku mulai mencatat semuanya. Aku gambar retakannya, arah pergerakannya, dan berusaha menebak kota mana yang jadi sasaran selanjutnya. Tapi pola itu acak. Seperti seseorang melempar dart ke peta dunia dalam kondisi mabuk.
Aku gak bisa tidur. Aku terus mimpi buruk. Dalam mimpi, aku berdiri di tengah dunia yang perlahan larut menjadi butiran cahaya, satu-satu. Orang-orang menjerit, tapi suaranya tak terdengar. Dan di akhir mimpi, aku selalu sendirian. Di tempat kosong. Di tengah kehampaan yang diam dan dingin.
Sampai akhirnya, di hari ke-6, aku bertemu dia.
Di peron kereta yang seharusnya menuju ke kota berikutnya, aku melihat seseorang berdiri sambil menatap langit yang retak. Seperti aku. Ia melihat retakan itu juga.
Aku mendekat pelan-pelan. Pria itu tampak mengenakan jaket lusuh, dengan bekas luka bakar di sisi lehernya. Tapi bukan itu yang bikin aku merinding.
Tatapannya. Mata itu seperti menyimpan dunia yang jauh lebih hancur dari dunia ini. Seolah ia sudah melihat akhir zaman lebih dari satu kali.
“Jadi kamu gadis itu,” katanya, tanpa menoleh.
Aku mengerutkan kening. “Siapa kamu?”
Dia menarik napas panjang. “Aku datang dari masa depan. Dan kamu… adalah satu-satunya harapan yang tersisa.”
Lalu jam menunjukkan pukul 00:00.
Dan dia… menghilang.
Benar-benar hilang. Di depan mataku. Seperti toko roti itu. Seperti kota-kota yang lenyap.
Aku berdiri sendiri di peron kosong, hanya ditemani langit yang kembali meretak… kali ini lebih dalam.
Bab 2: Pria dari Masa Depan
Keesokan harinya, aku menunggunya.
Di peron yang sama. Pada waktu yang sama. Dengan hati yang campur aduk antara penasaran, takut, dan… entah, mungkin sedikit berharap.
Jam sudah menunjukkan pukul 11:53 malam saat sosok itu muncul dari balik kabut, seperti tak pernah menghilang. Langkahnya mantap, jaket lusuhnya masih sama, bekas luka di lehernya masih terlihat samar. Tapi kali ini… tatapannya kosong.
Seperti melihatku untuk pertama kalinya.
Dia tidak mengenaliku.
“Apa kamu bisa melihat retakan itu juga?” tanyanya sambil menatap langit.
Aku tercekat. “Tunggu. Kamu… kamu gak ingat aku?”
Dia menoleh cepat. Wajahnya bingung, seperti otaknya memutar ulang memori yang tak pernah ada.
“Aku baru sampai,” katanya pelan. “Aku gak kenal kamu.”
Dari kantong jaketnya, dia mengeluarkan sebuah kertas kecil yang sudah lecek. Aku melihatnya sekilas—ada tulisan tangan di sana. Beberapa baris kalimat yang seperti catatan dari seseorang… untuk dirinya sendiri.
“Kau akan tiba di hari ke-7.”
“Cari gadis yang bisa melihat Void Fade.”
“Dia kunci. Jangan kehilangan dia.”
“Jam 00:00, semuanya akan hilang.”
Aku terdiam.
“Siapa namamu?” tanyaku pelan.
Dia ragu sejenak. “Rei.”
“Rei, kau pernah bilang ke aku… kau dari masa depan.”
Tatapannya kembali berubah. Kali ini dia menyipitkan mata, seolah mencoba menembus ingatannya yang berkabut.
“Kalau begitu, ini bukan pertama kalinya kita bertemu,” gumamnya, lebih kepada dirinya sendiri. “Loop ini… makin pendek.”
Kami duduk di bangku panjang di peron. Aku menjelaskan segalanya—apa yang dia katakan malam sebelumnya, tentang datang dari masa depan, tentang Void Fade. Dia mendengarkan dengan serius, sesekali mencatat di bukunya yang lusuh.
“Setiap tengah malam, aku seperti… disetel ulang,” katanya akhirnya. “Tubuhku kembali ke tempat awal aku datang, tapi ingatan itu hilang. Yang tersisa hanya catatan kecil ini… yang ternyata kutulis sendiri sebelum kehilangan semuanya.”
Aku menggenggam kantong roti yang entah kenapa masih kubawa sejak kejadian itu. “Jadi… selama 99 hari ini, kamu bakal terus lupa aku setiap jam 00:00?”
Dia mengangguk pelan.
Aku menarik napas. “Lalu apa yang harus kita lakukan?”
Rei menatap langit yang mulai meretak lagi. Kali ini retakannya menyebar seperti akar pohon, menjalar ke segala arah.
“Kita harus cari fragmen,” ucapnya serius. “Pecahan eksistensi yang bisa menyatukan realitas. Tapi tempat-tempat itu ada di antara batas waktu dan ruang. Gak semua bisa lihat celahnya. Hanya kamu.”
Aku merasa beban besar tiba-tiba jatuh ke pundakku. Bukan cuma karena fakta bahwa dunia sedang runtuh, tapi karena… aku akan menghadapi semua ini dengan seseorang yang harus “diingat” dari awal setiap harinya.
Jam menunjukkan pukul 23:58.
“Kita harus pisah sebentar,” kata Rei. “Aku mau nulis catatan baru. Yang lebih lengkap. Supaya besok aku bisa lebih cepat ngerti semuanya.”
Aku berdiri. “Oke. Tapi besok, tolong percaya aku meski kamu gak kenal aku.”
Dia tersenyum kecil. “Kalau aku bisa jatuh cinta sama orang yang sama setiap hari… mungkin percaya juga bukan masalah.”
Aku hanya bisa menatapnya, tanpa sempat membalas. Karena jam menunjukkan 00:00.
Dan Rei… lenyap.
Aku sendirian lagi. Tapi kali ini, aku gak takut.
Karena aku tahu, esok malam… aku akan bertemu dia lagi.
Dan kami akan terus melawan hari demi hari.
Sampai waktu habis.
Bab 3: Loop Tak Terhindarkan
Jam 11:51 malam. Hari ke-8.
Aku duduk sendiri di bangku peron, lagi. Ranselku tergeletak di samping, isinya mulai berat: buku catatan, pena, beberapa peta yang sudah kucoret-coret dengan pulpen merah, dan foto-foto kota yang telah menghilang.
Langit malam itu lebih aneh dari biasanya. Bintang-bintang di bagian utara tidak bersinar. Seolah mereka ikut hilang bersama kota terakhir.
Lalu, tepat saat jarum panjang menyentuh angka 11:52, kabut tipis muncul… dan dia datang.
Rei. Pria dari masa depan.
Langkahnya sama seperti kemarin—tenang, fokus, dan kosong. Pandangannya langsung naik ke atas, ke arah retakan. Tangannya menyentuh saku jaketnya, menarik kertas catatan lecek yang mulai robek di pinggirannya.
Wajahnya tetap tidak mengenalku.
“Rei,” sapaku pelan.
Dia menoleh. Tatapan waspada.
“Siapa kamu?”
Aku tersenyum tipis, berusaha tidak menunjukkan rasa sesak di dada. “Aku Aluna. Dan kamu akan percaya padaku sebentar lagi.”
Kami duduk bersama lagi. Aku menceritakan semuanya—lagi. Tapi malam ini aku mulai mencatat reaksi dia. Caranya mengernyit saat aku bilang tentang Void Fade. Bagaimana dia menatap langit seolah mencoba memahami retakan yang membelah realitas.
Aku buka catatanku, memperlihatkan gambar retakan yang muncul tiap hari.
“Retakan hari ke-4 lebih kecil dari hari ke-6,” kataku. “Tapi pola cabangnya makin rumit.”
Rei menatapnya dalam diam. Lalu mengeluarkan catatan dari kantongnya dan membandingkan.
“Tunggu… ini sama.”
“Apa?”
“Retakan ini. Aku pernah lihat… di hari ke-14.”
Aku membeku. “Kamu pernah sampai hari ke-14?”
Dia mengangguk pelan. “Seingatku… iya. Tapi semuanya kabur. Mungkin karena di hari itu aku—”
Suara retakan terdengar keras dari langit. Kami sama-sama mendongak. Sebuah celah baru muncul, membelah langit seperti luka terbuka, mengarah ke timur laut.
“Void Fade aktif lebih cepat dari biasanya,” gumamku. “Kita harus mulai bergerak sebelum dunia yang tersisa makin kecil.”
Rei berdiri. “Kalau begitu, kita mulai malam ini.”
Aku mengangguk. “Tapi satu hal dulu.”
“Apa?”
Aku menyodorkan pena dan buku catatanku. “Tulis semua yang kau pelajari malam ini. Nama aku, lokasi pertemuan, pola retakan. Kalau kamu hilang lagi, besok kamu bisa tahu semuanya lebih cepat.”
Dia mengambil buku itu dan menulis tanpa ragu. Tangannya cepat, seolah waktu mepet—dan memang begitu.
Jam 11:59.
Rei menatapku. “Kalau semua ini benar, berarti aku sudah jatuh cinta padamu berkali-kali, ya?”
Aku terdiam. Hanya bisa menatapnya, tidak tahu harus menjawab apa.
“Dan besok…” lanjutnya. “Aku harus jatuh cinta lagi dari awal.”
Jam 00:00.
Dan Rei… lenyap.
Tapi kali ini, buku catatannya tetap di bangku. Tertinggal.
Dengan satu kalimat terakhir yang ditulis buru-buru:
“Lindungi Aluna. Jangan biarkan dia sendirian. Dia adalah jangkar realitas ini.”
Aku memeluk buku itu erat-erat.
Loop ini mungkin tak bisa dihindari. Tapi aku bisa mengalahkan lupa dengan harapan.
Dan selama dia kembali, aku gak akan pernah menyerah.
Bab 4: Kota Tanpa Nafas
Hari ke-10. Kota Gravas.
Separuh kota ini sudah lenyap.
Bukan cuma bangunan yang hilang—udara di sana terasa tipis, seperti dunia sedang kehabisan napasnya sendiri. Jalanan lengang. Tak ada suara burung, tak ada deru kendaraan. Hanya sunyi… dan bisikan aneh dari balik retakan udara yang makin lebar.
Kami tiba dengan bus terakhir. Rei membawaku ke area timur kota, yang katanya jadi pusat pergeseran Void Fade. Menurut catatan yang kutinggalkan semalam, fragmen pertama ada di reruntuhan Museum Waktu. Tempat yang dulunya jadi simbol sejarah… sekarang nyaris tak tersisa.
Dan parahnya, waktu kami gak banyak. Kota ini akan menghilang sepenuhnya saat jam menunjukkan 03:00 dini hari. Kami punya kurang dari empat jam.
Kami menelusuri gang-gang yang retakannya tampak seperti akar hitam bercahaya di udara. Semakin dekat ke pusat kota, udara makin dingin—bukan dingin biasa, tapi menusuk tulang. Tanganku gemetar, dan setiap kali menyentuh salah satu “retakan”, kulitku terasa kesemutan. Seperti listrik statis, tapi lebih dalam, seperti disentuh oleh kehampaan.
Rei menghentikan langkahnya. “Kau lihat itu?”
Aku mengangguk. Di depan kami, berdiri makhluk tinggi berbentuk manusia, tapi tubuhnya dipenuhi retakan yang sama seperti langit. Wajahnya tidak jelas. Hanya kabut. Tapi matanya bercahaya ungu redup. Void Hunter.
“Mereka jagain fragmen,” bisik Rei. “Mereka bukan makhluk. Mereka… sisa dari kota yang sudah hilang. Ingatan yang gak sempat lenyap.”
Makhluk itu tak bergerak. Tapi kami tahu, sekali kami mendekat—mereka akan menyerang.
Kami mundur ke balik tembok bangunan yang hampir roboh. Rei menatap jam: 01:27.
“Kita harus cepat,” ucapnya. “Aku pecah ke kanan, kau ke kiri. Kalau kamu lihat benda bersinar yang terasa ‘bergetar’ di dekatmu, itu fragmennya. Ambil. Aku akan alihkan perhatian mereka.”
Aku menggeleng. “Kalau mereka menangkapmu? Gimana kalau kamu—”
Rei menyentuh bahuku. Tatapannya serius. “Jam 00:00 nanti aku bakal hilang juga. Tapi fragmennya gak. Itu yang penting.”
Aku ingin berdebat, tapi dia sudah berlari.
Aku merayap di antara tumpukan puing. Jantungku berpacu. Setiap langkah terasa seperti sedang menantang Void Fade sendiri. Suara Void Hunter semakin dekat. Mereka tidak berjalan. Mereka meluncur di udara seperti bayangan air yang membeku.
Dan di tengah ruangan penuh kaca pecah dan arsip tua—aku melihatnya.
Sebuah benda kecil, seperti pecahan kristal, melayang di udara. Warnanya terus berubah, dari biru ke emas lalu merah muda. Tapi anehnya, saat aku mendekat, aku merasa… hangat. Seolah pecahan itu mengingat siapa aku.
Tanganku menyentuhnya.
Cahaya terang menyelimuti seluruh ruangan. Tapi bukan seperti cahaya biasa. Ini seperti… potongan ingatan. Aku melihat masa kecilku. Wajah ibuku. Suara ayahku tertawa. Padahal aku pikir, aku sudah melupakan semua itu.
Lalu terdengar suara Rei… samar. “Kalau kamu bisa menyatu dengan fragmen, kamu bisa menyelamatkan bagian dunia yang masih punya kenangan…”
Aku menggenggam kristal itu kuat-kuat dan berlari.
Saat aku kembali ke titik pertemuan, Rei sudah berdiri menungguku. Berdarah. Jaketnya robek, tapi dia tersenyum lega.
“Kamu dapet?”
Aku mengangguk dan menunjukkan kristal itu. Rei menarik napas lega.
“Bagus.”
Jam menunjukkan 02:58.
“Rei…”
Dia menatapku.
“Aku gak mau kamu hilang.”
Dia tersenyum kecil, lalu meraih tanganku. “Aluna. Kalau aku harus hilang seribu kali demi kamu tetap hidup… aku rela.”
Dan saat jarum jam menyentuh angka 03:00—seluruh kota Gravas menghilang.
Tapi kali ini… kami masih berdiri.
Di tanah kosong yang tersisa dari kota yang sudah tiada.
Di tengah kehampaan, hanya satu hal yang masih menyala: fragmen pertama.
Kami berhasil.
Tapi kami tahu, ini baru permulaan.
Bab 5: Void Hunters
Hari ke-13.
Kami berada di batas utara Benua Selatan, tempat yang bahkan peta pun jarang menampilkannya. Kota kecil yang disebut Nebralis, tersembunyi di antara pegunungan dan kabut. Tapi kali ini, ada yang berbeda dari perjalanan kami—Rei mulai mengingat sesuatu sebelum aku bicara.
“Nama kamu Aluna, kan?” katanya sambil menatapku dari seberang api unggun kecil.
Aku menoleh cepat. “Tunggu… kamu ingat aku?”
Dia mengangguk perlahan. “Nggak semuanya. Tapi setiap aku bangun hari ini… aku mulai mimpi tentang kamu. Tentang kita lari dari makhluk-makhluk bayangan itu. Tentang kristal yang bersinar. Tentang… suara kamu.”
Aku menggigit bibir. Harapan kecil mulai tumbuh. Tapi sebelum sempat kubalas, suara berderak dari semak membuat kami berdiri.
Rei langsung mengambil pisau lipatnya, aku menggenggam kristal pertama yang mulai terasa hangat di tanganku.
Lalu… mereka muncul.
Tiga makhluk tinggi, tubuhnya seperti asap pekat yang bergerak terus. Retakan-retakan ungu menyelimuti tubuh mereka, seperti luka terbuka di langit malam. Tapi kali ini… mereka berbicara.
“Kalian membawa fragmen pertama…”
“Berikan… atau waktu kalian akan runtuh lebih cepat.”
“Dia… tidak seharusnya hidup.”
Suaranya seperti bergema dari puluhan arah. Suara kosong, tanpa emosi, seperti gema dari lorong tak berujung.
Aku berdiri mematung. Rei menarikku perlahan ke belakang.
“Jadi mereka bisa bicara sekarang?” bisiknya.
“Enggak,” jawabku pelan. “Mereka enggak bicara… mereka menghubungkan pikiranku langsung ke suara mereka.”
Mereka masuk ke pikiranku.
Dan yang kutangkap dari pikiran mereka jauh lebih mengerikan. Gambar-gambar aneh membanjiri kepalaku—dunia runtuh, retakan meluas, Rei berlutut sendirian, dan… aku. Tapi tubuhku bukan tubuhku. Mataku hitam, tanganku menyatu dengan retakan. Seperti aku adalah bagian dari Void itu sendiri.
Aku menjerit dan jatuh. Rei langsung menahan tubuhku.
“Aluna?!”
Aku memegang kepalaku, napas memburu. “Mereka… mereka tahu siapa aku. Mereka bilang aku gak seharusnya ada. Mereka bilang aku bagian dari—”
Tapi sebelum sempat aku lanjutkan, salah satu Void Hunter menyerang.
Rei bergerak cepat, menarikku menjauh. Kami lari menembus hutan gelap, dikejar bayangan yang terus memburu tanpa suara. Tapi Void Hunter yang menyerang itu bukan cuma mengikuti, dia meniru. Di antara pepohonan, aku melihat bayanganku sendiri berlari di arah sebaliknya. Matanya kosong. Tapi tubuhnya… tubuhku.
“Rei!” teriakku. “Mereka bisa meniru!”
“Yang asli kamu tetap bersamaku!” jawabnya sambil menarikku mendekat.
Kami menyelinap ke reruntuhan rumah kayu di pinggiran desa mati. Rei memaku pintu dengan sepotong besi karatan, dan untuk sesaat… keheningan menyelimuti.
Kami terengah-engah.
“Aluna…” Rei menatapku. “Apa maksud mereka kamu bagian dari Void?”
Aku terdiam.
Lalu akhirnya, aku buka buku catatan Rei yang dulu pernah tertinggal. Di halaman belakang, ada satu tulisan yang aku sembunyikan darinya… sampai sekarang.
“Subjek: Aluna. Terhubung langsung dengan Void Fade. Dugaan: hasil pecahan eksistensi yang hidup.”
“Jika dia musnah, loop berhenti. Jika dia bertahan… mungkin dunia bisa diselamatkan.”
—Tertulis oleh Rei, versi hari ke-34.
Aku menatapnya. “Kamu pernah menulis itu, Rei. Di masa lalu. Di loop yang udah lewat.”
Wajahnya pucat.
“Aku… nulis itu?”
Aku mengangguk.
“Jadi kamu… bukan manusia biasa?”
Aku menunduk. “Aku juga baru tahu. Tapi kalau itu benar, mungkin aku bukan cuma bisa menyelamatkan dunia… tapi juga menghancurkannya.”
Ketika pagi datang, Void Hunter sudah lenyap.
Tapi retakan di langit… jauh lebih besar dari kemarin.
Dan fragmen kedua… sudah menunggu di dalam kota yang telah lenyap separuhnya dari peta.
Nebralis adalah ujian.
Dan siapa sebenarnya aku… akan segera terungkap.
Bab 6: Jejak Masa Lalu
Hari ke-17. Kota Nebralis.
Kami memasuki pusat kota yang separuhnya sudah lenyap. Jalanan tak lagi utuh. Ada bangunan yang melayang setengah di udara, seolah gravitasi menyerah memahaminya. Waktu di kota ini juga terasa… salah. Jam di setiap dinding menunjukkan waktu berbeda. Beberapa jam mundur, beberapa berhenti, sisanya bergerak cepat tak terkendali.
Nebralis bukan cuma kota mati. Ia adalah kota yang tersesat dari waktu.
Di tengah kekacauan itu, kami mencari fragmen kedua. Menurut petunjuk di catatan Rei, yang entah ditulis di loop hari keberapa—fragmen itu tersembunyi di Gedung Penjaga Waktu, bekas laboratorium eksperimen kuantum yang ditutup sebelum dunia mulai lenyap.
Dan di sanalah semuanya berubah.
Begitu kami masuk ke lantai dasar gedung itu, dindingnya mulai “bernafas”—retakan tak kasat mata muncul seolah mengenali kehadiranku. Lalu, saat kami sampai di ruang utama yang penuh kabel dan mesin usang, kami menemukannya: fragmen kedua, melayang tepat di atas meja kaca besar.
Berbeda dari yang pertama, fragmen ini berwarna biru gelap, seperti malam yang dibekukan. Tapi saat aku menyentuhnya…
Aku langsung terlempar ke dalam kenangan.
Aku melihat seorang wanita muda di dalam laboratorium. Wajahnya lembut. Rambutnya hitam panjang, dan di pelukannya… seorang bayi.
“Namanya Aluna,” katanya pada seorang pria tua di balik kaca. “Dia bukan eksperimen. Dia… harapan.”
Pria itu menggeleng. “Dia lahir dari pecahan realitas, Nara. Dia bukan bagian dari dunia ini. Dia alat, bukan anak.”
Wanita itu memeluk bayi lebih erat, air mata jatuh di pipinya. “Kalau dunia ini akan lenyap, aku ingin dia bertahan. Dia akan menyatukan waktu.”
Gambaran itu pecah menjadi ribuan bayangan.
Lalu aku melihat diriku kecil—menangis di panti asuhan, melihat langit yang retak untuk pertama kalinya saat usiaku lima tahun.
Semua mulai masuk akal.
Aku bukan hanya bisa melihat Void Fade. Aku terhubung dengannya. Aku adalah satu-satunya makhluk yang lahir dari pecahan eksistensi yang seharusnya tidak pernah ada. Aku… adalah anomali.
Aku tersadar dengan napas terputus-putus. Rei memelukku erat.
“Kamu pingsan selama lima menit. Fragmennya… menyatu ke dalam kamu.”
Aku menggeleng. “Fragmen itu bukan cuma menyatu, Rei. Itu membuka kenangan masa kecilku yang selama ini hilang.”
Dia menatapku penuh cemas. “Apa yang kamu lihat?”
“Aku dilahirkan di tempat ini. Ibuku… ilmuwan yang menciptakan alat untuk menstabilkan realitas.” Aku menahan napas. “Tapi aku juga bagian dari eksperimen mereka. Mereka menyuntikkan fragmen waktu ke janinku. Aku… bukan manusia biasa.”
“Aluna…”
“Dan kamu tahu yang lebih gila?” suaraku bergetar. “Kamu ada di salah satu memori itu. Sebagai murid muda di lab ini.”
Wajah Rei membeku.
“Apa?”
Aku mengangguk. “Mungkin itulah kenapa kamu terus ‘dipanggil’ ke masa sekarang lewat loop. Karena kamu punya keterikatan sejak awal. Sejak sebelum semuanya dimulai.”
Dia terdiam lama. Lalu perlahan berkata, “Berarti… bukan cuma kamu yang harus mengingat segalanya. Tapi aku juga harus ingat siapa aku sebenarnya.”
Kami saling bertatapan. Di luar, langit mulai merah. Sebuah kota lain akan menghilang malam ini.
Tapi kali ini, aku tidak takut.
Aku sudah tahu siapa aku.
Aku adalah pecahan dari realitas yang tak pernah utuh.
Dan aku akan menyatukannya kembali—meski harus kehilangan semuanya di akhir.
Bab 7: Hari ke-50, Keputusasaan
Waktu tinggal setengah.
Dari 99 hari yang kami punya, 49 telah lewat dengan luka, pelarian, dan kenyataan yang makin menggila. Dunia sekarang tinggal serpihan. Peta sudah tak lagi berguna. Kota-kota lenyap begitu saja tanpa peringatan, dan langit berubah warna setiap hari—kadang hitam, kadang ungu pekat, kadang transparan seperti kaca yang akan pecah.
Orang-orang mulai menghilang. Bukan mati. Bukan kabur. Tapi menghilang begitu saja, seperti cerita mereka dihapus dari buku kehidupan. Seolah eksistensi mereka… memang tak pernah ada.
Aku dan Rei bersembunyi di reruntuhan stasiun bawah tanah kota terakhir yang masih utuh: Ardentis.
Tapi bahkan kota ini sudah mulai retak. Angin terasa dingin dan lambat. Lampu-lampu berkedip tanpa alasan. Jam digital bergerak acak—kadang mundur, kadang berhenti, kadang menunjukkan pukul 00:00 padahal belum waktunya.
Dan yang lebih buruk… Rei semakin hancur.
“Gue capek, Luna,” katanya pelan malam itu. “Serius… capek banget.”
Aku memandangnya dari seberang api kecil yang kami nyalakan dari sisa-sisa kursi kayu. Matanya kosong. Bahunya turun. Seperti seluruh berat dunia numpuk di dadanya—dan memang begitu.
“Gue terus bangun tiap hari tanpa ingat apa-apa,” lanjutnya. “Setiap kali lo bilang ‘gue Rei yang dari masa depan’, rasanya kayak dengar cerita orang lain. Bukan gue. Tapi anehnya, hati gue terus narik ke arah lo. Dan itu lebih menyakitkan.”
Aku mendekat pelan, duduk di sampingnya. “Gue tahu rasanya. Tapi kita udah sejauh ini. Fragmen ketiga tinggal sedikit lagi. Kita gak bisa berhenti.”
Dia menggeleng, menunduk. “Gue lihat mimpi aneh tadi siang. Tentang akhir dunia. Tentang lo berdiri sendirian di tempat kosong, sambil megang fragmen yang bersinar terang… tapi lo nangis. Lo nangis karena gue gak ada.”
Aku tercekat.
“Apa kalau gue yang hilang selamanya, dunia akan selamat?” tanyanya pelan, hampir berbisik. “Apa lo akan selamat, Luna?”
Aku gak bisa jawab. Karena sebagian dari diriku takut… jawabannya iya.
Kami tidak bicara semalaman. Rei tidur dengan gelisah. Aku berjaga sambil menggenggam dua fragmen yang kami kumpulkan. Keduanya bersinar redup… tapi mulai berubah warna. Mungkin waktu mereka juga hampir habis.
Pagi datang dengan langit kelabu. Bukan hujan. Tapi kabut hitam yang turun dari langit seperti hujan abu. Orang-orang di kota mulai panik. Mereka bisa merasakannya—Ardentis akan menghilang hari ini.
Kami harus segera pergi. Tapi sebelum itu…
Rei menuliskan satu catatan lagi di bukunya. Kali ini lebih panjang, lebih terstruktur. Dia menyebutkan semua fragmen, waktu kejadian, tempat pertemuan kami, bahkan cara dia jatuh cinta padaku—lagi dan lagi.
Di bagian akhir catatan, dia menulis:
“Kalau ini hari terakhir gue, tolong bilang ke Luna, gue gak pernah menyesal ketemu dia. Meski dunia hancur, rasa itu tetap utuh. Gue gak akan lupa… walau harus hilang.”
Aku menangis diam-diam.
Kami melarikan diri ke luar kota sebelum jam 03:00—waktu Void Fade datang. Dari bukit pinggiran, kami menatap Ardentis untuk terakhir kalinya.
Dan tepat saat menara kota runtuh tanpa suara, Rei menggenggam tanganku.
“Kalau dunia cuma bisa diselamatkan dengan kehilangan satu dari kita, Luna…”
Aku menatapnya. Mata kami bertemu. Sunyi.
“…biar gue aja yang hilang.”
Aku menggeleng cepat, air mataku jatuh deras. “Jangan bilang gitu.”
“Lo lebih penting dari yang lo pikir,” bisiknya. “Lo lahir dari fragmen. Lo bisa menghubungkan waktu. Tapi gue? Gue cuma manusia biasa… yang jatuh cinta pada keajaiban.”
Dan di balik air mataku, aku tahu… kami mulai bersiap untuk kemungkinan terburuk.
Setengah dunia sudah tiada.
Setengah waktu sudah habis.
Dan cinta kami… mungkin tak bisa selamat bersama.
Bab 8: Ingatan yang Terhapus
Hari ke-63. Dunia tinggal 36 hari.
Kami tiba di sebuah wilayah kosong, tanpa nama, tanpa peta. Dulu tempat ini adalah tiga kota yang berdempetan, tapi sekarang… hanya tersisa tanah datar, langit kelabu, dan udara yang hampa. Rasanya seperti berada di dalam perut bumi—sepi, sunyi, dan menyedot semua harapan.
Fragmen keempat seharusnya ada di sini, tersembunyi di antara retakan Void yang paling dalam. Tapi tak ada tanda-tanda kehidupan. Bahkan Void Hunters pun tak muncul.
Yang ada hanya sebuah lingkaran raksasa di tanah. Seperti simbol ritual, berpendar lembut dalam warna ungu kehampaan. Dan entah kenapa, aku merasa… dipanggil.
“Aluna, jangan masuk,” kata Rei cepat. “Tempat itu… kayaknya bukan tempat biasa.”
Aku melangkah pelan ke arah lingkaran, jantungku berdegup lebih kencang dari biasanya. Fragmen dalam tasku tiba-tiba mulai bergetar, dan seketika, langkah kakiku seperti didorong oleh sesuatu yang lebih besar dari keinginan sendiri.
“Aku harus masuk,” gumamku. “Aku harus tahu kebenaran.”
“Luna, tunggu—!”
Terlambat.
Begitu ujung sepatuku menyentuh lingkaran, dunia terbalik.
Aku berdiri di dalam ruangan yang penuh cermin.
Ribuan cermin. Tapi semuanya tidak memantulkan diriku—mereka memperlihatkan diriku yang berbeda-beda.
Aku melihat versi diriku yang hidup damai di kota kecil, versi lain yang mati di panti asuhan waktu umur lima tahun, versi yang menjadi ilmuwan, bahkan versi yang berubah menjadi makhluk Void… menghancurkan kota demi kota.
Semua versi itu menatapku—beberapa dengan marah, beberapa dengan sedih, beberapa dengan kosong.
Dan di tengah ruangan itu, berdiri aku.
Versi diriku yang tak memiliki mata, hanya retakan ungu bercahaya di wajahnya.
“Kau datang terlalu jauh,” ucapnya. Suaranya… seperti milikku sendiri, tapi dalam dan bergetar.
“Siapa kamu?” tanyaku, meski aku sudah tahu jawabannya.
“Aku adalah kau… yang seharusnya mati saat dunia pertama kali runtuh. Tapi kau bertahan. Kau mengumpulkan ingatan yang seharusnya sudah terhapus. Kau… adalah kesalahan.”
“Aku tidak menyesal bertahan hidup,” jawabku pelan.
“Tidak,” katanya. “Tapi setiap hari kau hidup, dunia membayar dengan hilangnya kota. Kau menyerap eksistensi lain agar bisa tetap ada. Itulah kenapa Rei mengulang waktu. Karena dia ditarik oleh eksistensimu yang tidak stabil.”
Aku mundur satu langkah.
“Jadi aku… penyebab kehancuran ini?”
“Sebagian. Tapi kau juga satu-satunya harapan. Fragmen tidak akan menyatu tanpa dirimu.”
Tiba-tiba, cermin-cermin di sekelilingku mulai pecah satu per satu, memperlihatkan potongan-potongan dunia yang lenyap—dan Rei.
Aku melihatnya berteriak, mencari aku di reruntuhan, memegang buku catatannya erat-erat. Dia sendirian. Dan waktu terus bergerak.
“Kalau kau tetap di sini, dia akan hancur,” bisik diriku yang lain.
Aku berlari.
Aku terbangun di pelukan Rei.
Keringat dingin membanjiri tubuhku. Jantungku berdetak seperti drum perang.
“Aku pikir kamu gak balik,” bisiknya.
Aku menggenggam tangannya erat. “Aku lihat semuanya, Rei. Semua versi diriku. Semua kemungkinan.”
Dan aku menyadari satu hal: semakin aku menyatukan fragmen, semakin besar kemungkinan aku… menghilang.
“Aku cuma punya satu pertanyaan,” gumam Rei. “Di semua versi yang kamu lihat… kita tetap bersama gak?”
Aku menatapnya lama. “Hanya di satu versi.”
Dia tersenyum tipis. “Maka kita akan pastikan versi itu jadi kenyataan.”
Malam itu, saat retakan langit muncul lagi, kami tahu—Void Fade mulai marah. Mereka tahu aku ingat semuanya. Mereka tahu aku sudah terlalu dekat dengan kebenaran.
Dan mereka… tidak akan diam.
Bab 9: Pilihan yang Tak Bisa Dibatalkan
Hari ke-99.
Fragmen terakhir telah ditemukan.
Dan dunia… nyaris tidak ada lagi.
Langit tak lagi berwarna. Udara terasa berat. Bumi sendiri seakan lelah menopang realitas. Kota-kota tinggal bayangan samar yang bergoyang seperti ilusi. Hanya kami yang tersisa. Aku, Rei, dan enam pecahan eksistensi yang berdenyut di tanganku—semua bersatu, menyala pelan dalam irama yang aneh… seperti napas terakhir semesta.
Kami berdiri di tengah Void Rift, pusat dari semua retakan. Lubang langit yang menganga seperti mata dewa yang menatap dengan sunyi. Di sana, fragmen harus disatukan.
Dan hanya bisa oleh satu dari kami.
Yang lainnya… akan hilang.
Bukan mati. Bukan lupa. Tapi terhapus dari seluruh dimensi, waktu, dan ingatan. Tak akan ada jejak. Tak akan ada kenangan. Tak akan ada “kamu” lagi.
Dan itu bukan metafora.
“Jadi ini akhirnya,” gumam Rei. Wajahnya diterangi cahaya biru dari fragmen. Ia menatapku, seolah ingin merekam wajahku dalam memorinya yang tak pernah utuh.
Aku menggenggam tangannya. “Gak harus kamu.”
“Gak harus kamu juga.”
Kami diam. Retakan di udara bergetar semakin cepat. Waktu kami tinggal beberapa menit. Void Hunters sudah mengepung dari jauh. Mereka tidak menyerang. Mereka… menunggu. Karena mereka tahu salah satu dari kami akan hilang. Dan bagi mereka, itu kemenangan.
“Gue udah nulis semuanya di buku catatan terakhir,” kata Rei. “Kalau gue yang hilang, dan suatu saat lo berhasil memulihkan waktu, lo akan tahu gue pernah ada. Gue pernah jagain lo. Gue pernah… jatuh cinta sama lo.”
Aku menggeleng. “Jangan. Jangan pakai ‘kalau’. Kita cari cara lain. Kita bisa pecahkan fragmen bersama-sama. Kita…”
“Luna.”
Nada suaranya datar. Tapi matanya penuh luka.
“Lo lahir dari fragmen. Lo bagian dari sistem ini. Lo penting. Gue cuma… pengelana dari masa depan yang terus di-reset. Gue bukan siapa-siapa.”
Aku marah. “Jangan bilang kayak gitu! Lo bukan siapa-siapa? Lo satu-satunya yang bertahan selama ini. Lo satu-satunya yang ngingetin gue siapa gue. Bahkan saat lo lupa gue, lo tetap… datang buat gue.”
“Dan sekarang gue datang buat lo—yang terakhir kali.”
Aku ingin bilang tidak. Aku ingin meneriakkan semua rasa sakitku. Tapi retakan di langit sudah terbuka penuh. Waktu habis. Pilihan harus dibuat.
Lalu Rei menarik tubuhku pelan, memelukku untuk pertama dan terakhir kali. Hangat. Nyata. Tapi hanya sebentar.
Dia berbisik di telingaku, suara yang hampir tak terdengar di tengah raungan langit:
“Kalau cinta gue gak bisa bertahan di dunia ini, mungkin dia bisa bertahan… di dalam lo.”
Dan sebelum aku sempat menariknya kembali—
Dia melangkah ke tengah Void Rift.
Fragmen di tanganku menyala terang.
Lalu—
Dia lenyap.
Tanpa jejak. Tanpa bayangan. Tanpa sisa suara. Hanya cahaya biru lembut yang menyebar dari tempat terakhir ia berdiri.
Retakan langit… menutup.
Void Hunter menghilang.
Tanah yang lenyap, pulih.
Waktu… kembali berjalan.
Dunia… selamat.
Tapi aku… tidak.
Saat dunia merayakan keberadaan yang tidak mereka sadari pernah nyaris musnah, aku berdiri sendiri.
Di tengah dunia yang utuh kembali, aku satu-satunya yang mengingat seseorang bernama Rei.
Tidak ada catatan tentangnya. Tidak ada buku harian. Tidak ada sisa suara. Semua benar-benar hilang… kecuali satu hal:
Hati ini.
Dan aku tahu… walau dunia lupa, aku tidak akan pernah melupakan.
Bab 10: Dunia Tanpa Kamu
Hari ke-100.
Atau… hari pertama dari dunia yang utuh kembali.
Semua orang hidup seperti biasa. Mereka pergi bekerja, tertawa di kafe, berjalan di taman seolah-olah dunia ini tak pernah berada di ujung kehancuran. Dan memang, bagi mereka semua itu tak pernah terjadi.
Void Fade? Tidak pernah dikenal.
Kota-kota yang hilang? Kembali seperti semula.
Satu-satunya yang tahu cerita aslinya… hanya aku.
Dan tidak ada yang percaya pada seseorang yang mengingat sesuatu yang tak pernah ada.
Pagi itu, aku berdiri di halte yang dulu jadi pertemuan pertamaku dengan Rei.
Peron itu kini bersih, sunyi, tak ada retakan di langit, tak ada kabut aneh. Tapi aku tetap menunggu. Setiap pukul 11:52 malam, aku duduk di sana. Diam. Menatap langit. Menunggu keajaiban yang mungkin… tak akan datang lagi.
Buku catatan Rei? Menghilang.
Fragmen eksistensi? Tak bersisa.
Namanya? Tak terdaftar di sistem manapun.
Foto kami? Tak pernah ada.
Tapi… hatiku? Masih menyimpan segalanya.
Dan itu cukup untuk membuatku bertahan.
Beberapa minggu setelah semuanya “normal”, aku mulai bekerja di sebuah perpustakaan tua. Tempat yang tenang. Waktu terasa lambat di sana. Tapi terkadang, saat aku melewati rak bagian pojok paling belakang, aku melihat sesuatu yang aneh.
Sebuah buku, tanpa judul, dengan sampul lusuh berwarna biru keunguan.
Isinya kosong. Kecuali satu halaman di tengah:
“Kalau cinta gue gak bisa bertahan di dunia ini, mungkin dia bisa bertahan… di dalam lo.”
—R
Tanganku gemetar. Air mataku jatuh tanpa sadar.
Dia masih di sini.
Entah bagaimana caranya, jejak kecilnya tetap bertahan.
Retakan kecil di dunia yang sempurna ini masih terbuka… di dalamku.
Dan setiap malam, saat aku memejamkan mata, aku mendengar suara langkah di peron.
Aku memimpikan dia duduk di bangku yang sama, memegang buku catatan, menoleh dan tersenyum seperti dulu.
Dia akan bilang,
“Hai, kita pernah kenal?”
Dan aku akan menjawab,
“Iya. Kamu pernah menyelamatkan dunia… dan hatiku.”
Akhir dari dunia bukan berarti akhir dari segalanya.
Karena dalam satu sudut realitas,
meski tak terlihat…
cinta masih bertahan.
TAMAT.
Novel ini ditulis oleh Evi Fauzi, Penulis dari Novel Singkat. Baca juga novel romantis, petualangan dan fiksi ilmiah lainnya.