Nayla, seorang editor buku yang tenang dan sensitif, menikah dengan Arga, seorang arsitek berbakat yang masih terjebak dalam bayang-bayang cinta pertamanya. Pernikahan mereka bukan karena cinta, melainkan hasil perjodohan yang dingin dan penuh jarak. Meski begitu, Nayla perlahan jatuh cinta, berjuang dalam diam untuk memenangkan hati suaminya, yang tak pernah benar-benar hadir untuknya.
Namun saat Nayla mulai merasa cukup lelah, Arga justru mulai berubah. Sayangnya, saat cinta mulai tumbuh di hati Arga, Nayla memutuskan pergi untuk menemukan dirinya kembali. Di tengah upayanya mengejar Nayla, takdir mempermainkan segalanya membuat cinta yang mulai hangat kembali terancam padam.
Ini adalah kisah tentang penantian, luka yang tak terucap, dan cinta yang datang terlambat.
Karena tak semua orang yang kita cinta… bisa kita miliki selamanya.
Bab 1 – Pernikahan yang Dingin
Hujan turun pelan saat mobil hitam mewah itu berhenti di depan sebuah rumah bergaya klasik. Langit seakan ikut murung seperti hatinya. Nayla menarik napas dalam-dalam sebelum keluar dari mobil. Gaun putihnya tampak sempurna, rambutnya ditata rapi dengan hiasan bunga kecil di sisi kiri. Tapi di balik itu semua, hatinya tidak seindah penampilannya.
Hari itu seharusnya menjadi hari paling bahagia dalam hidup seorang wanita. Tapi baginya, ini hanya lembaran baru dari naskah hidup yang tak pernah ia tulis sendiri.
Arga, pria yang kini resmi menjadi suaminya, berdiri tak jauh dari pintu. Wajahnya tenang, bahkan terlalu tenang untuk seorang pengantin baru. Tidak ada senyum tulus. Tidak ada binar cinta di matanya. Hanya tatapan datar seperti hari-hari biasanya.
Nayla melangkah masuk ke rumah itu, rumah yang kini harus mereka tempati bersama. Rumah yang terlalu besar untuk dua orang asing yang terikat dalam pernikahan tanpa cinta.
“Kamar kamu di lantai dua, sebelah kanan,” ujar Arga singkat, tanpa menoleh.
Nayla hanya mengangguk pelan. Tidak berharap banyak sejak awal. Ia tahu, Arga tidak mencintainya. Ia hanya setuju menikah karena keinginan orang tua mereka. Hubungan ini adalah hasil dari kompromi, bukan kisah cinta.
Di dalam kamar, Nayla duduk di sisi ranjang dan menatap pantulan dirinya di cermin besar. Matanya sembab, tapi ia tersenyum lemah.
“Aku bukan siapa-siapa di hatimu, tapi aku harap suatu hari… aku bisa menjadi alasanmu tersenyum.”
Waktu berjalan lambat. Malam pertama yang seharusnya penuh kebahagiaan terasa asing dan dingin. Mereka tidur di kamar terpisah. Tidak ada percakapan panjang, tidak ada sentuhan hangat. Hanya kesunyian yang menyelimuti rumah itu.
Beberapa hari berlalu, Nayla mencoba menjadi istri yang baik. Ia memasak, membersihkan rumah, menyiapkan kebutuhan Arga. Tapi respon Arga selalu datar. Ia sopan, namun selalu menjaga jarak. Bahkan saat mereka sarapan bersama, percakapan tak lebih dari dua atau tiga kalimat.
Suatu pagi, Nayla tak sengaja masuk ke ruang kerja Arga. Di sana, ia melihat sebuah rak buku besar yang tertata rapi. Namun satu foto kecil di tengah-tengah rak menarik perhatiannya.
Seorang gadis muda tersenyum di antara bunga sakura, dengan mata yang berbinar seolah dunia tak punya luka. Nayla menatap lama. Di balik bingkai itu, ada tulisan kecil: “Untuk Arga, cinta yang tak pernah selesai.”
Jantung Nayla mencelos. Ia tahu siapa gadis itu. Karin. Nama yang hanya ia dengar sekali dari Arga saat mereka masih dalam proses lamaran. Cinta pertama Arga. Wanita yang katanya tidak direstui, dan pergi begitu saja.
Tapi dari cara Arga menyimpan fotonya, Nayla tahu… wanita itu belum benar-benar pergi dari hatinya.
Malam itu, Nayla menangis diam-diam. Bukan karena cemburu, tapi karena sadar, ia adalah pengganti. Ia hanyalah peran pelengkap dalam hidup seorang pria yang hatinya masih berada di masa lalu.
“Terkadang yang paling menyakitkan bukan ditolak, tapi diterima hanya karena kamu bukan dia.”
Setiap hari Nayla menahan diri untuk tidak bertanya. Ia belajar menerima bahwa mencintai tak selalu berarti memiliki sepenuhnya. Tapi hatinya mulai lelah.
“Arga,” ucap Nayla pelan suatu malam di dapur, saat mereka berdua sedang membereskan piring.
“Hm?” Arga menjawab tanpa menoleh.
“Apa kamu bahagia?” tanyanya pelan.
Arga terdiam. Ia meletakkan piring di tempatnya lalu menatap mata Nayla untuk pertama kalinya hari itu.
“Aku tidak tahu harus jawab apa,” jawabnya jujur.
“Kenapa kamu menikahiku?” tanya Nayla lagi, suaranya mulai bergetar.
“Karena ini jalan yang harus aku ambil.”
Nayla mengangguk pelan. Itu cukup. Ia tak perlu mendengar lebih jauh. Kalimat itu sudah cukup menyakitkan. Ia berjalan pelan ke kamarnya, meninggalkan Arga dengan pikirannya sendiri.
Di balik pintu kamar, Nayla menyandarkan tubuhnya. Air mata jatuh satu per satu. Ia berusaha kuat, tapi hatinya sudah mulai retak.
“Mencintaimu seperti menanam bunga di gurun pasir. Aku merawatnya setiap hari, meski tahu takkan pernah mekar.”
Malam itu ia menulis di buku hariannya. Satu-satunya tempat di mana ia bisa jujur tanpa takut dihakimi.
“Hari ini aku merasa sangat lelah. Aku mencintainya, tapi aku tak tahu apakah cinta itu akan pernah cukup. Aku ingin menyerah, tapi bodohnya… aku masih berharap.”
Bab 2 – Jejak Masa Lalu
Langit pagi itu cerah, berbeda dengan hati Nayla yang masih kelabu. Ia mencoba tersenyum saat menyuguhkan kopi ke meja makan, tempat Arga biasa duduk dengan ekspresi kosong yang tak pernah berubah.
“Pagi,” ucap Nayla pelan.
“Pagi,” jawab Arga singkat, matanya tetap tertuju pada layar ponsel.
Nayla duduk di seberangnya, memandang cangkir kopi yang mengepul. Ia ingin berbicara lebih, tapi keheningan di antara mereka terlalu tebal untuk ditembus. Beberapa menit kemudian, Arga bangkit dan berlalu ke ruang kerja tanpa sepatah kata lagi.
Nayla menarik napas panjang. Rumah ini terlalu sunyi. Terlalu dingin. Ia berdiri dan berjalan menuju balkon. Angin menerpa rambutnya, dan dalam kesepian itu, kenangan masa kecilnya terlintas—saat ia percaya bahwa cinta selalu datang setelah pernikahan. Bahwa setiap perempuan akan bahagia seperti dongeng. Tapi hidup bukan cerita dari buku-buku fiksi yang ia baca.
Hari itu, Nayla merasa gelisah. Saat ia sedang merapikan ruang kerja Arga—kegiatan yang tak pernah dimintai izin tapi ia lakukan dengan hati-hati—ia membuka salah satu laci di bawah meja. Tak sengaja, ia menemukan sebuah buku catatan tua berwarna cokelat. Tertulis di depannya: “2009 – 2014”.
Awalnya ia ragu, namun rasa penasaran menang. Ia membuka perlahan lembar demi lembar. Di dalamnya, tertulis catatan harian, puisi, dan gambar sketsa wajah seorang wanita.
Karin.
Ada begitu banyak kenangan di sana. Di halaman pertama, tertulis:
“Karin, kamu adalah awal dari semua rasa. Entah bagaimana caranya aku bisa hidup tanpamu nanti, jika waktu memisahkan kita.”
Tangan Nayla gemetar. Ia membaca puisi tentang hujan, tentang perpisahan, tentang janji yang tak ditepati. Hati Nayla seperti diremukkan perlahan. Ia menutup buku itu dengan cepat dan mengembalikannya ke tempat semula.
Namun, rasa sakitnya tidak bisa ia sembunyikan. Hatinya penuh oleh luka yang baru. Ia berjalan ke kamarnya dan menutup pintu. Air mata tak lagi bisa ia tahan.
Malam itu, Arga pulang sedikit lebih lambat dari biasanya. Ia masuk ke rumah dengan jaket hitam dan aroma hujan yang masih melekat di tubuhnya. Nayla sedang duduk di ruang tamu, tampak sedang menonton televisi, meski layar hanya menampilkan tayangan yang tak ia perhatikan.
“Kamu belum tidur?” tanya Arga.
Nayla menoleh. “Belum. Hujannya bikin aku sulit tidur.”
Arga hanya mengangguk. Ia hendak berlalu ke kamarnya ketika Nayla memanggilnya.
“Arga… aku boleh tanya sesuatu?”
Langkah Arga terhenti. Ia menoleh pelan. “Apa?”
“Kamu masih mencintai dia, kan?”
Arga tidak menjawab. Sorot matanya berubah, seakan Nayla baru saja menyentuh luka yang belum kering. Ia menghela napas dan duduk di ujung sofa, agak jauh dari Nayla.
“Kenapa kamu tiba-tiba nanya begitu?”
“Aku nggak sengaja lihat buku harian kamu. Aku tahu itu salah. Tapi… aku lihat semuanya. Puisi-puisi itu. Gambar wajahnya.”
Arga mengatupkan bibir. Ia menunduk, lalu menjawab lirih, “Aku nggak pernah bisa bohong, Nay. Iya, aku masih mencintainya.”
Jawaban itu menghantam Nayla seperti petir di siang bolong. Meski ia sudah tahu jawabannya jauh di dalam hati, mendengarnya langsung membuat luka itu berdarah lagi.
“Kenapa kamu menikah denganku kalau hatimu belum pulih?” suara Nayla bergetar.
“Aku pikir waktu akan membantu. Aku pikir aku bisa belajar mencintaimu. Tapi ternyata… aku masih belum bisa melepaskan semuanya.”
Air mata Nayla menetes. Ia tak ingin menangis di hadapan Arga, tapi hatinya sudah terlalu penuh.
“Lalu bagaimana denganku? Aku sudah mencoba segalanya. Tapi kamu tetap menggenggam masa lalu seakan aku ini tak pernah ada.”
Arga bangkit. Wajahnya terlihat lelah, tapi tak ada air mata di sana. Hanya ekspresi kosong yang membuat Nayla merasa lebih tak berarti.
“Aku nggak pernah maksud buat nyakitin kamu, Nayla.”
Nayla menatapnya tajam, lalu berdiri. “Tapi kamu tetap melakukannya. Tanpa sadar, kamu bunuh aku sedikit demi sedikit.”
Ia melangkah menuju kamarnya dan menutup pintu tanpa menunggu Arga bicara lagi.
Di dalam kamar, Nayla merosot ke lantai dan menangis sejadi-jadinya. Ia memeluk lututnya, menatap kosong ke arah dinding.
“Cinta yang tak dibalas bukan luka paling perih. Tapi mencintai seseorang yang hatinya masih terisi orang lain… itu neraka.”
Ia menulis di buku hariannya malam itu:
“Aku sadar sekarang. Aku tidak kalah dari masa lalunya. Aku hanya datang terlalu terlambat untuk bisa dicintai sepenuhnya.”
“Dan mungkin, cinta ini hanya akan jadi cerita yang aku kenang sendiri.”
Bab 3 – Luka yang Tak Sembuh
Sudah dua hari Nayla dan Arga hampir tak saling bicara. Semua terasa canggung. Bahkan denting sendok dan gelas di meja makan pun terdengar lebih nyaring dari percakapan mereka.
Nayla mencoba tetap tenang. Ia menyibukkan diri dengan pekerjaan rumah, membaca buku, dan sesekali menulis di buku hariannya. Tapi, tak peduli seberapa keras ia mengalihkan diri—pikiran tentang Arga dan Karin tetap menghantui.
Malam itu, langit terlihat mendung. Angin berhembus kencang, menandakan hujan akan turun. Nayla baru saja keluar dari kamar mandi saat ia mendengar suara teriakan pelan dari kamar Arga. Suara itu membuatnya terhenti sejenak.
Dengan langkah perlahan, ia mendekat ke kamar pria itu. Pintu tak tertutup rapat. Dari celahnya, Nayla melihat Arga terlelap… namun gelisah. Wajahnya terlihat tegang, keringat membasahi dahinya.
Lalu, satu nama keluar dari mulut Arga, membuat dada Nayla sesak.
“Ka… Karin…”
Nama itu terlontar dalam isak tidur yang tak sadar.
Nayla berdiri diam, tubuhnya kaku. Ia bisa saja membangunkan Arga, namun ia terlalu terpukul untuk bergerak. Ada luka yang kembali menganga, meski ia mencoba menutupnya sejak malam terakhir mereka bicara.
Dia kembali ke kamarnya, lalu duduk di ranjang dengan tatapan kosong.
“Aku tidur di bawah atap yang sama denganmu, tapi kenapa hatimu selalu berada di tempat lain?”
Hari-hari berikutnya, Arga tampak lebih sering melamun. Ia duduk di balkon saat malam, menatap langit yang dipenuhi bintang. Nayla mengamati dari jauh. Ia ingin menyapa, tapi langkahnya selalu berat setiap kali ingin mendekat.
Sampai suatu hari, Nayla melihat Arga duduk sendiri di taman belakang rumah. Ia terlihat menatap selembar surat di tangannya, dengan ekspresi yang tak biasa. Seperti sedang berada di ambang antara masa lalu dan kenyataan.
Dengan hati-hati, Nayla mendekat. “Arga… kamu nggak apa-apa?”
Arga menoleh. Kali ini, tak ada tatapan dingin seperti biasanya. Sorot matanya justru terlihat… rapuh. Dan itu mengejutkan Nayla.
“Aku… mimpi tentang Karin lagi,” katanya pelan. “Tapi kali ini dia pergi tanpa berkata apa-apa. Aku panggil namanya, tapi dia cuma menatapku… lalu menghilang.”
Nayla menelan ludah. “Mungkin itu tanda… kalau kamu harus mulai melepaskan.”
Arga tertawa miris. “Melepaskan bukan hal mudah, Nay. Bukan karena aku masih mengharapkan dia kembali. Tapi karena aku masih belum mengerti… kenapa kami harus berakhir.”
Diam. Sunyi. Hanya suara angin yang mengisi ruang di antara mereka.
“Aku kehilangan kepercayaan pada cinta waktu itu,” lanjut Arga. “Dan kamu datang… saat aku belum siap. Tapi kamu terlalu baik untuk dilukai, Nayla. Aku tahu itu.”
Nayla memalingkan wajah. Hatinya ingin senang karena Arga akhirnya membuka diri. Tapi bersamaan dengan itu, luka di hatinya justru terasa lebih dalam.
“Lalu… kamu ingin aku tetap tinggal atau pergi?” tanyanya, suara bergetar.
Arga menatap Nayla dengan mata yang bingung. Ia tak menjawab dengan cepat. Dan keheningan itu cukup menyakitkan untuk menjadi jawaban.
Nayla tersenyum samar. “Kalau kamu harus berpikir panjang… itu artinya kamu belum benar-benar menginginkanku di hidupmu.”
Ia beranjak pergi meninggalkan Arga yang diam mematung di taman. Langkah Nayla cepat, tapi air matanya jatuh satu per satu.
Malam itu, Nayla menulis lagi di buku hariannya.
“Kadang, bukan cinta yang menyakitkan, tapi ketidakpastian. Menunggu tanpa kepastian seperti berdiri di ujung tebing: kamu tak tahu akan jatuh… atau diselamatkan.”
Di kamar lain, Arga duduk di meja kerja. Ia membuka kembali buku tua tempat Karin dulu menulis surat terakhirnya. Tapi untuk pertama kalinya, surat itu tak lagi menenangkan.
Justru… ia teringat wajah Nayla. Suara pelannya. Senyum kecil yang selalu ia berikan walau hatinya tersakiti.
Dan saat itu juga, Arga merasa asing dengan dirinya sendiri.
“Mungkin aku terlalu lama berdiri di masa lalu, sampai tak sadar bahwa seseorang sedang menungguku di masa sekarang.”
Bab 4 – Cinta yang Tak Dimiliki
Sudah dua minggu sejak percakapan di taman itu. Sejak malam Nayla bertanya, “Kamu ingin aku tetap tinggal atau pergi?” dan Arga hanya diam membisu.
Sejak hari itu pula, sesuatu berubah dalam diri Nayla. Ia mulai berhenti berharap. Bukan karena ia tak lagi mencintai, tapi karena mencintai tanpa dimiliki hanya akan mengikis dirinya sendiri.
Pagi itu, Nayla menyiapkan sarapan seperti biasa, tapi kali ini tanpa semangat seperti sebelumnya. Telur mata sapi yang biasanya ia bentuk hati, kini hanya bulat biasa. Roti panggangnya pun dibiarkan terlalu gosong.
Arga muncul dari balik pintu, mengenakan kemeja putih dan dasi yang belum terpasang. Ia tampak kelelahan, namun pandangannya langsung tertuju pada meja makan.
“Kamu nggak makan?” tanyanya, agak canggung.
Nayla hanya menggeleng. “Nggak lapar.”
Ia berlalu tanpa menjelaskan lebih jauh. Arga menatap punggung Nayla dengan rasa bersalah yang tak bisa ia definisikan. Ada jeda di dalam hatinya, seakan… ia sedang kehilangan sesuatu tapi belum tahu apa.
Di kamar, Nayla berdiri di depan cermin. Rambutnya sudah tak ditata rapi. Matanya lelah. Tapi ia tetap memaksakan senyum.
Bukan untuk Arga. Tapi untuk dirinya sendiri. Ia ingin membuktikan bahwa ia masih bisa kuat, walau hatinya hancur.
Sore harinya, Nayla duduk di balkon, menulis di buku hariannya. Tapi kali ini, tulisannya berbeda.
“Cinta itu bukan soal memiliki, tapi tentang keikhlasan. Aku mencintaimu, Arga. Tapi aku mulai belajar mencintaimu dengan cara yang tak menyakitiku lagi.”
“Tak semua cinta harus memiliki. Tapi setiap cinta layak dihargai, walau akhirnya hanya jadi kenangan.”
Di ruang kerja, Arga mulai gelisah. Ia menyadari bahwa Nayla semakin menjauh. Perhatian kecil yang dulu selalu ia abaikan, kini menghilang satu per satu. Tidak ada lagi ucapan “hati-hati di jalan”, tidak ada teh hangat saat ia lembur malam.
Dan yang paling menyakitkan… tidak ada lagi mata yang menatapnya dengan harapan.
Satu malam, Arga mendapati Nayla duduk di taman dengan koper kecil di sampingnya. Hatinya langsung bergetar.
“Kamu mau ke mana?” tanyanya, setengah berlari menghampiri.
Nayla menoleh, tenang, seperti seseorang yang sudah terlalu sering menyembunyikan luka.
“Ke tempat yang nggak buat aku merasa kalah tiap hari.”
Arga terdiam. Kata-kata Nayla seperti pukulan yang ia layak terima. Ia mencoba mendekat, namun Nayla mundur satu langkah.
“Arga,” katanya pelan, “aku mencintaimu, sungguh. Tapi aku capek. Capek berjuang sendiri dalam hubungan yang seharusnya diperjuangkan dua orang.”
“Aku…” Arga ingin menjawab, tapi ia tak tahu harus mulai dari mana.
“Jangan bilang kamu mulai mencintaiku sekarang. Karena kalau iya, kenapa kamu diam selama ini?” tatap Nayla, penuh luka yang tak bisa disembunyikan.
Air mata mengalir di pipinya, tapi kali ini bukan karena Arga… melainkan karena dirinya sendiri. Karena ia membiarkan hatinya bertahan terlalu lama dalam harapan yang tak pernah disambut.
“Aku hanya butuh dicintai, Arga. Bukan dijadikan pelarian.”
Arga mengepalkan tangan. Untuk pertama kalinya, ia benar-benar takut kehilangan Nayla.
“Nayla… aku belum siap kehilangan kamu.”
“Tapi kamu juga nggak pernah siap memiliki aku.”
Sunyi.
Angin malam meniupkan aroma bunga yang tumbuh liar di taman. Tapi tak ada keindahan dalam keheningan itu. Hanya perasaan yang tak tersampaikan, dan hati yang sudah terlalu sering menunggu.
Akhirnya Nayla menarik koper kecilnya dan melangkah ke gerbang. Arga hanya bisa menatap punggung itu… dan untuk pertama kalinya, hatinya benar-benar terasa kosong.
“Ada cinta yang tak pernah pergi, tapi juga tak pernah cukup berani untuk tinggal.”
Bab 6 – Hati yang Tak Pernah Pulang
Langit sore itu kelabu, seakan meniru warna hati Arga yang tak menentu. Ia berdiri di depan gerbang rumah kos tempat Nayla tinggal sekarang. Tangan kirinya membawa setangkai bunga lili putih—bunga yang dulu ia lihat di kamar Nayla saat pertama kali mereka tinggal serumah. Tak pernah ia tahu, bunga itu ternyata memiliki makna: penyembuhan hati yang terluka.
Arga menghela napas dalam-dalam sebelum mengetuk pintu.
Butuh waktu beberapa saat sebelum pintu terbuka. Nayla muncul, mengenakan sweater hangat dan rambutnya dikuncir asal. Wajahnya terkejut, tapi bukan karena senang. Lebih ke… bingung.
“Arga?” suaranya pelan.
“Aku nggak akan lama,” kata Arga cepat, seakan takut jika ia tak bicara sekarang, ia akan kehilangan keberaniannya.
“Aku cuma mau bilang… aku kangen kamu.”
Nayla diam.
Arga menyerahkan bunga itu. “Aku tahu ini nggak cukup. Tapi aku juga tahu, aku nggak bisa pura-pura kuat lagi. Rumah itu kosong tanpa kamu. Aku kosong tanpa kamu.”
Nayla mengambil bunga itu perlahan, namun matanya tetap menatap ke arah Arga dengan hati-hati.
“Kamu datang karena Karin udah pergi?” tanyanya pelan.
Pertanyaan itu menyentak Arga.
“Enggak. Aku datang karena aku sadar—bahwa selama ini, aku yang pergi. Bukan Karin. Tapi aku yang hilang dari diriku sendiri. Dan kamu… kamu satu-satunya yang bikin aku ingin kembali.”
“Cinta yang terlambat disadari sering kali datang membawa sesal dan harap dalam satu waktu yang sama.”
Nayla menunduk. Ada air di matanya, tapi juga ketegasan. Ia ingin memeluk Arga. Tapi ia lebih takut dipeluk oleh harapan yang belum benar-benar sembuh.
“Aku butuh waktu,” katanya akhirnya.
Arga mengangguk. “Aku akan tunggu. Selama kamu masih ada di dunia ini, aku akan tetap tunggu.”
Nayla tersenyum tipis. “Jangan tunggu aku karena kamu butuh seseorang. Tunggu aku karena kamu akhirnya tahu, siapa yang benar-benar ingin kamu perjuangkan.”
Hari-hari berikutnya menjadi sunyi yang berbeda. Arga tak menghubungi Nayla lagi. Tapi setiap pagi, ada teh hangat di depan pintu kos Nayla, dalam termos kecil dengan catatan sederhana:
“Semoga harimu baik. – A”
“Jangan lupa makan siang. – A”
“Kalau kamu sakit, aku tetap yang paling panik. – A”
Perhatian yang terlambat, mungkin. Tapi setiap catatan itu perlahan-lahan menyentuh bagian hati Nayla yang dulu nyaris membeku.
Sampai suatu malam, Nayla menerima pesan dari Arga:
“Aku tahu kamu belum siap pulang. Tapi kalau suatu hari kamu lelah… rumah ini selalu terbuka. Karena hatiku sekarang hanya untuk kamu.”
“Ada hati yang lama pergi, tapi selalu tahu jalan untuk pulang. Hanya butuh waktu… dan keberanian.”
Nayla memejamkan mata. Air matanya mengalir perlahan. Bukan karena sedih… tapi karena untuk pertama kalinya, ia merasa dicintai oleh orang yang selama ini hanya ia perjuangkan sendiri.
Bab 7 – Kepergian Tanpa Kepastian
Suatu pagi yang cerah, langit berwarna biru pucat, dan angin bertiup pelan membawa aroma musim semi yang mulai datang. Tapi di hati Nayla, tak ada musim yang datang selain musim perpisahan.
Ia berdiri di depan kaca, memandang wajahnya sendiri. Tak lagi sembab seperti minggu lalu, tapi masih meninggalkan sisa luka yang belum sembuh. Matanya tak secerah biasanya. Tapi hari ini, ia sudah memutuskan.
Koper kecil berwarna biru tua sudah tertata rapi di sudut kamar. Ia tak membawa banyak, hanya yang penting. Beberapa baju, buku harian, dan surat-surat penting. Dan satu hal lagi—bunga lili putih yang telah mengering, masih ia simpan dalam plastik bening. Bunga yang dibawa Arga saat mencoba kembali, membawa penyesalan dalam bentuk sederhana.
Hari itu, Nayla akan pergi. Bukan untuk menghindari Arga. Tapi untuk mencari kembali dirinya yang perlahan hilang selama bertahun-tahun mencoba mencintai seseorang yang belum siap.
Ia menulis surat di meja kecil sebelum pergi. Untuk Arga.
Arga yang pernah kucintai, dan mungkin masih…
Aku pergi, bukan karena aku tidak mencintaimu. Tapi karena aku terlalu mencintaimu, sampai-sampai aku kehilangan diriku sendiri.
Aku butuh jarak. Aku butuh waktu. Untuk sembuh. Untuk benar-benar memilih apakah aku akan kembali… atau melangkah lebih jauh.
Terima kasih karena akhirnya kamu mencoba. Tapi kamu datang saat aku sudah terlalu lelah. Mungkin aku akan kembali. Mungkin juga tidak. Tapi setidaknya, kali ini… aku memilih untuk mencintai diriku sendiri lebih dulu.
– Nayla.
Kereta menuju kota lain akan berangkat pukul sepuluh pagi. Nayla melangkah pelan, matanya sembab tapi tegas. Ia membawa beban rindu yang tak terucap, dan cinta yang belum selesai.
Sementara itu, Arga baru tiba di rumah, membawa sekantong plastik berisi makanan kesukaan Nayla. Ia ingin mengajaknya sarapan, duduk di balkon, dan membicarakan apa pun—tentang pagi, tentang langit, tentang masa depan. Bukan lagi masa lalu.
Tapi rumah itu kosong. Tak ada suara langkah kecil. Tak ada aroma teh hangat. Tak ada senyum di balik pintu.
Panik, Arga berlari ke kamar Nayla. Kosong.
Di meja kecil, ia melihat surat itu. Tangannya gemetar saat membacanya. Setiap kalimat terasa seperti pisau yang menggores lambat ke jantungnya. Ia jatuh terduduk di lantai, memeluk surat itu.
“Kepergian yang tak disertai perpisahan adalah luka paling kejam. Karena tak ada pelukan terakhir, tak ada kata selamat tinggal. Hanya sunyi yang tiba-tiba datang, dan kamu tak tahu kapan ia akan pulang.”
Arga menatap jam dinding. Pukul 09.30. Ia langsung bangkit, berlari menuju garasi. Ia tak peduli wajahnya belum mandi, atau rambutnya berantakan. Yang ia tahu, jika ia tak mengejar Nayla sekarang, ia mungkin tak akan pernah bisa melihatnya lagi.
Di stasiun, Nayla duduk di bangku tunggu. Tangannya memeluk tas di pangkuannya, sementara pikirannya berkecamuk. Ia menoleh ke kanan dan kiri, berharap—entah mengapa—Arga muncul. Tapi ia segera menggeleng pelan.
Tidak, Nayla. Ini waktumu. Ini keputusanmu. Jangan lemah hanya karena rindu.
Kereta datang. Suara deritnya membuat jantung Nayla makin berat. Ia berdiri, menarik napas panjang, dan mulai berjalan ke arah gerbong.
Saat itu juga, seseorang berteriak di kejauhan. “Nayla!”
Ia menoleh.
Arga.
Berlari dengan napas tersengal, matanya mencari-cari di antara kerumunan. Nayla berdiri kaku, tak tahu harus bagaimana. Arga berlari ke arahnya, menghentikan langkah Nayla sebelum menaiki tangga kereta.
“Kamu serius mau pergi?” tanya Arga, napasnya berat.
Nayla menatapnya lama. “Aku harus pergi, Ga.”
“Biar aku ikut,” ucap Arga cepat.
Nayla tertegun.
“Biar aku ikut ke mana pun kamu pergi. Aku nggak peduli berapa jauh. Asal kamu tetap dalam hidupku.”
“Jangan impulsif,” jawab Nayla, suaranya bergetar.
“Aku nggak impulsif. Aku terlambat sadar. Tapi sekarang aku tahu… aku nggak bisa hidup tanpa kamu.”
“Aku mencintaimu, Nayla. Bukan karena kamu sempurna. Tapi karena kamu tetap tinggal… saat aku belum layak dicintai.”
Nayla menunduk. Hatinya berteriak ingin percaya. Tapi luka itu masih terlalu nyata.
“Aku butuh waktu untuk percaya lagi. Aku butuh waktu untuk yakin… bahwa kamu nggak akan pergi saat aku mulai percaya.”
Arga menahan tangannya. “Aku akan nunggu. Di stasiun ini. Di kota itu. Di mana pun kamu butuh aku. Tapi jangan bilang aku datang saat terlambat. Karena aku akan terus datang… sampai kamu percaya aku tak akan pergi lagi.”
Pintu kereta mulai menutup.
Nayla tersenyum tipis. “Tunggu aku… kalau kamu yakin. Tapi jangan hancurkan dirimu karena aku.”
Dan ia melangkah masuk.
Arga berdiri di peron, menatap kereta yang perlahan bergerak menjauh. Tangannya mengepal. Hatanya hampa. Tapi kali ini, ia tahu… ia akan menunggu. Karena Nayla bukan hanya cinta. Ia rumah.
Bab 8 – Surat untuk Arga
Waktu terus berjalan, tapi bagi Arga, hari-hari terasa lambat. Sudah satu bulan sejak Nayla pergi, dan rumah itu kembali menjadi tempat yang terlalu luas untuk satu orang.
Setiap pagi, ia menyeduh teh hangat dan meletakkannya di meja makan, tempat yang dulu selalu diisi oleh senyum Nayla. Ia tak pernah memindahkannya, seolah berharap wanita itu akan muncul dan berkata, “Kamu bikin terlalu manis.”
Setiap malam, Arga menulis pesan yang tak pernah ia kirim.
“Aku masih di sini, Nay.”
“Hari ini dingin, kamu kedinginan nggak di sana?”
“Aku… kangen.”
Tapi semua pesan itu hanya berakhir di folder Drafts, menunggu keberanian yang tak kunjung datang.
Sampai suatu sore, saat hujan turun dengan sunyi, Arga menerima surat berwarna krem di kotak pos rumahnya. Tak ada pengirim. Tapi saat ia melihat tulisan tangannya, ia langsung tahu.
Nayla.
Dengan tangan gemetar, ia membuka amplop itu. Di dalamnya, terdapat selembar kertas dengan tulisan tangan yang rapi tapi terasa berat.
Untuk Arga, yang dulu hanya bisa aku pandang dari kejauhan.
Aku menulis ini dari tempat yang jauh dari rumah kita. Tempat yang sunyi tapi damai. Aku belajar menyapa pagi tanpa luka, dan tidur malam tanpa tangis. Perlahan, aku mengenali diriku sendiri lagi.
Dulu, aku pikir cinta itu cukup jika diperjuangkan oleh satu orang. Tapi aku salah. Cinta harus diperjuangkan dua arah. Dan sekarang… aku melihat kamu berusaha.
Tapi aku masih takut. Takut jika semua ini hanya karena rasa bersalah. Takut jika kamu mencintaiku karena aku yang bertahan, bukan karena kamu benar-benar ingin aku jadi rumahmu.
Aku butuh waktu, Ga. Tapi aku nggak pernah berhenti mencintaimu. Hanya saja, kali ini… aku mencintai dengan cara yang berbeda. Aku mencintai dengan memberi ruang, bukan dengan memaksa bertahan.
“Kalau kamu benar-benar mencintaiku, kamu akan menungguku. Bukan karena kamu kesepian. Tapi karena kamu tahu, aku layak untuk ditunggu.”
Aku akan kembali—jika hatiku sudah pulih. Jika aku bisa mencintaimu tanpa takut disakiti lagi. Dan jika saat itu kamu masih berdiri di tempat yang sama, aku akan pulang. Dengan utuh.
Tunggu aku. Tapi jangan hanya berdiri. Sembuhkan dirimu juga.
– Nayla.
Arga membaca surat itu berulang-ulang. Setiap kalimat terasa seperti bisikan halus yang menampar. Selama ini, ia hanya memikirkan cara mendapatkan Nayla kembali. Tapi ia lupa… bahwa ia pun belum sembuh.
Belum berdamai dengan masa lalunya. Belum benar-benar mengenal dirinya sebagai pria yang siap mencintai tanpa luka lama yang masih mengendap.
Malam itu, Arga duduk di balkon, memandangi langit malam yang kelabu.
Ia menulis surat balasan. Bukan untuk dikirim, tapi untuk dirinya sendiri. Surat janji.
“Aku akan sembuh. Bukan hanya untuk Nayla. Tapi untuk diriku sendiri. Karena untuk bisa memiliki cinta sejati… aku harus menjadi versi terbaik dari diriku.”
Ia mulai membaca buku, mengikuti terapi, dan sesekali menulis puisi yang terinspirasi dari senyum Nayla. Ia menyibukkan diri bukan untuk melupakan, tapi untuk menyembuhkan.
Dan di suatu pagi yang damai, Arga berdiri di depan rumah dengan setangkai bunga lili baru di tangannya.
Ia menanamnya di taman. Tepat di bawah jendela kamar Nayla.
“Karena jika dia kembali suatu hari nanti, aku ingin ia tahu… bahwa aku tidak pernah berhenti menumbuhkan cinta yang ia tinggalkan.”
Bab 9 – Takdir yang Kejam
Langit pagi itu mendung. Hujan tak turun, tapi seolah-olah bumi sedang menahan tangis. Arga berdiri di depan cermin, mengenakan jaket abu-abu dan syal pemberian Nayla yang dulu sempat ia abaikan. Tapi hari ini… ia ingin membawanya, seolah-olah membawa Nayla bersamanya.
Sudah dua bulan sejak Nayla pergi. Dan kini, setelah refleksi panjang dan surat yang ia baca berulang-ulang, Arga memutuskan satu hal pasti:
Ia akan menyusul Nayla.
Bukan untuk memaksanya kembali, bukan untuk meminta cinta. Tapi untuk menunjukkan bahwa ia sungguh berubah. Bahwa kini ia benar-benar siap mencintai, bukan sekadar menampung.
Dengan koper kecil dan seikat bunga lili putih di tangan, ia melangkah ke stasiun. Dalam benaknya, ia memutar ulang setiap momen bersama Nayla—dari awal pernikahan yang kaku, hingga detik terakhir sebelum Nayla naik ke dalam kereta.
Sesampainya di peron, ia membeli tiket menuju kota tempat Nayla terakhir mengirim surat. Tangannya gemetar, tapi hatinya mantap. Untuk pertama kalinya, ia merasa melakukan hal yang benar… meski mungkin terlambat.
“Cinta sejati bukan tentang siapa yang datang duluan, tapi siapa yang bertahan hingga akhir—meski harus melewati luka dan kehilangan.”
Kereta mulai berjalan. Arga duduk di dekat jendela, menatap langit yang semakin kelabu. Di luar, hujan akhirnya turun perlahan, seperti menari bersama pikirannya yang berkecamuk.
Tapi takdir kadang punya caranya sendiri untuk menguji tekad.
Di tengah perjalanan, kereta mendadak mengerem mendadak. Penumpang terpental ke depan. Jeritan terdengar. Arga menabrak kursi di depannya, dan segalanya berubah jadi kabur.
Lampu mati.
Kaca pecah.
Teriakan menggema.
Seseorang berteriak, “Kita tergelincir!”
Arga mencoba bangkit, tapi tubuhnya tak bergerak. Kepalanya berdarah. Suara-suara mulai menjauh. Dunia berputar. Tapi di tengah kabut pikirannya, hanya satu nama yang ia sebut pelan…
“Nayla…”
Beberapa hari kemudian…
Nayla berdiri di depan jendela kamarnya. Matanya sembab. Tangannya menggenggam koran lokal yang baru saja ia beli dari warung kecil di ujung jalan.
Judul berita itu menghantamnya:
“Kecelakaan Kereta Api, Belasan Luka-Luka, Satu Penumpang Kritis Belum Sadarkan Diri”
Dan di barisan nama korban…
Arga Mahendra.
Dunia Nayla runtuh seketika.
Ia menjatuhkan koran itu, lalu meraih jaketnya. Kaki-kakinya gemetar, tapi ia berlari. Menumpang ojek ke rumah sakit yang tertulis di berita. Dadanya sesak. Air matanya mengalir, tapi ia terus berdoa dalam hati.
Tuhan… jangan ambil dia saat aku mulai memaafkan.
Sesampainya di rumah sakit, ia diterima perawat dan langsung dibawa ke ruang ICU. Di balik kaca tebal, ia melihat Arga terbaring lemah. Wajahnya pucat, kepala dibalut perban, dan alat bantu pernapasan menempel di hidungnya.
Nayla berdiri terpaku. Napasnya tercekat. Ia menempelkan tangan ke kaca, lalu berbisik, “Kamu datang untuk aku… dan takdir mencoba mengambil kamu sebelum aku sempat bilang aku siap pulang.”
Ia duduk di kursi tunggu. Matanya tak lepas dari tubuh pria yang dulu ia tinggalkan, tapi kini ingin ia peluk erat.
“Kadang kita butuh kehilangan nyawa seseorang untuk sadar, bahwa cinta tak selamanya bisa menunggu.”
Malam itu, Nayla menulis surat. Bukan untuk dikirim. Tapi untuk dibaca—jika Arga bangun nanti.
Untuk Arga, yang sekarang aku cintai dengan sepenuh hati.
Aku pulang. Aku kembali. Tapi kamu yang pergi. Dan aku tidak akan menyerah sampai kamu bangun dan memanggil namaku lagi.
Kita terlalu lama saling meninggalkan dalam diam. Terlalu banyak waktu yang hilang hanya karena kita saling takut.
Jadi tolong, Arga… buka matamu. Karena kali ini, aku tidak akan pergi lagi.
Aku di sini. Menunggumu bangun. Menunggumu pulang.
– Nayla.
Bab 10 – Akhir yang Terlambat
Hari ketiga di rumah sakit.
Nayla masih duduk di bangku ruang tunggu ICU, mengenakan hoodie abu-abu, matanya sembab tanpa sisa air mata. Ia tidak tidur, tidak makan, hanya sesekali meminum air putih agar tubuhnya tak tumbang sebelum Arga sadar.
“Masih belum ada perubahan, Bu Nayla,” kata perawat pagi itu dengan lembut. “Tapi kondisinya stabil.”
Nayla mengangguk pelan, lalu kembali menatap ke balik kaca. Di sana, Arga terbaring dengan selang di hidung, infus di tangan, dan detak jantung di layar monitor yang membuat Nayla gelisah setiap menitnya.
Ia menempelkan tangannya ke kaca lagi.
“Kalau kamu bisa dengar aku, aku cuma mau bilang… aku pulang, Arga. Tapi tolong, jangan pergi sebelum aku sempat benar-benar memelukmu.”
“Kita menghabiskan waktu terlalu lama saling menunggu, hingga ketika siap saling menerima… waktu justru berpaling.”
Nayla mengeluarkan surat yang ia tulis malam itu. Ia membacanya pelan, berharap Arga mendengarnya entah bagaimana caranya.
“Aku pulang. Aku nggak akan pergi lagi. Aku tahu sekarang, cinta bukan tentang siapa yang sempurna, tapi siapa yang tetap bertahan meski patah berkali-kali. Dan aku memilih bertahan, karena kamu.”
Air matanya kembali jatuh. Ia menggenggam surat itu erat. “Jadi tolong, kamu juga bertahan. Bangun, Arga. Kamu belum dengar aku bilang… aku mencintaimu, dengan utuh kali ini.”
Tak ada jawaban. Hanya suara monitor dan napas mesin.
Beberapa jam kemudian…
Pintu ICU dibuka. Dokter keluar, dan Nayla langsung berdiri. Wajahnya pucat, harapannya menggantung.
“Bu Nayla,” ucap sang dokter pelan, “kami telah berusaha semaksimal mungkin. Tapi kami tidak bisa menahan pendarahan di otaknya. Pasien… sudah pergi.”
Dunia Nayla runtuh.
Tubuhnya limbung, jatuh berlutut di lantai. Suara di sekitarnya hilang. Semua seperti menghilang dalam satu detik. Yang tertinggal hanya… sunyi yang menusuk.
Arga pergi.
Dan Nayla terlambat.
Beberapa hari setelah pemakaman
Langit mendung, tanah masih basah. Di pusara sederhana bertuliskan Arga Mahendra, Nayla duduk dengan bunga lili putih di tangannya.
Ia menatap nisan itu lama sekali, lalu meletakkan bunganya.
“Aku minta maaf karena baru mencintaimu sepenuhnya saat kamu sudah terlalu lelah menunggu. Tapi percayalah, Ga… aku akan mencintaimu seumur hidupku. Bahkan ketika kamu sudah tak lagi di sini.”
“Kamu pergi saat aku mulai mencinta. Tapi mungkin begitulah takdir: selalu datang terlambat di tengah dua hati yang akhirnya saling.”
Ia mengeluarkan surat yang dulu ia baca di rumah sakit, lalu meletakkannya di bawah bunga.
Dan dengan langkah perlahan, Nayla berjalan pergi. Tidak menangis, tidak menjerit. Karena kali ini, hatinya sudah terlalu penuh untuk bisa meluapkan kesedihan.
Beberapa tahun kemudian…
Nayla membuka kafe kecil di kota yang dulu mereka impikan. Di sudut kafe, ada satu meja kecil yang selalu ia biarkan kosong. Di atasnya, selalu ada satu pot kecil berisi bunga lili putih.
Setiap pelanggan yang bertanya, Nayla hanya akan menjawab:
“Itu untuk seseorang yang dulu mengajarkanku arti mencintai—dan kehilangan.”
“Cinta bukan soal bahagia bersama, tapi tentang siapa yang tetap tinggal… bahkan saat kisahnya tak selesai.”
Selesai.
Novel ini ditulis oleh Evi Fauzi, Penulis dari Novel Singkat. Baca juga novel romantis, petualangan dan fiksi ilmiah lainnya.