Di dunia magis bernama Tanah Terbalik, waktu tidak mengalir ke depan—melainkan mundur. Ratu Saphira, seorang pemimpin muda yang lahir sebagai wanita tua dan kian hari semakin muda, menjalani hidupnya dengan ketegasan dan kesepian. Ia adalah pemegang takhta sekaligus penjaga keseimbangan waktu, yang tidak pernah tahu rasanya jatuh cinta.
Hingga suatu hari, Kael—seorang prajurit dan penjelajah dimensi dari dunia maju—jatuh dari langit ke dalam dunianya. Kael, yang terbiasa dengan waktu yang bergerak ke depan, datang sebagai ancaman bagi keseimbangan semesta… namun justru menjadi harapan yang tak pernah Saphira bayangkan.
Bersama, mereka memulai perjalanan mencari Titik Nol, satu-satunya tempat di mana waktu bisa berhenti. Namun setiap langkah mendekat justru membuat Saphira semakin muda dan kehilangan ingatannya, sementara Kael semakin tua dan kehabisan waktu.
Di ambang kehancuran dunia dan hilangnya satu sama lain, mereka harus memilih: menghentikan waktu selamanya… atau saling melupakan demi menyelamatkan segalanya.
Bab 1: Ketika Waktu Menari Mundur
Di puncak istana yang mengambang di antara awan keemasan, berdirilah seorang wanita dengan rambut perak yang menjuntai indah di balik mahkota kristal waktu. Namanya Ratu Saphira—penguasa Tanah Terbalik, dunia tempat waktu tidak berjalan ke depan, melainkan mundur, seperti jam pasir yang dibalik setiap fajar.
Hari ini, Saphira genap berusia 63 tahun—yang dalam dunianya berarti hari pertama dari akhir hidupnya. Dalam kalender Waktu Terbalik, ia baru saja melewati usia dewasa akhir dan mulai melangkah menuju usia paruh baya. Tubuhnya semakin ringan, kulitnya mulai mengencang, dan garis-garis waktu di wajahnya perlahan memudar. Semua orang mengucapkan selamat seolah itu perayaan, padahal bagi Saphira, setiap tahun yang ia jalani berarti ia semakin jauh dari masa lalu yang penuh kenangan.
“Bagaimana rasanya, Yang Mulia?” tanya Penasihat Theros, seorang pria berjubah ungu dengan janggut yang tumbuh ke dalam—ciri khas rakyat yang telah melewati usia kanak-kanak dan sedang ‘menjadi bayi’ kembali.
Saphira hanya tersenyum. Senyum yang manis, tetapi menyimpan kehampaan.
“Aku lupa seperti apa rasanya ulang tahun yang menyenangkan, Theros. Mungkin saat aku 71 dulu… tapi kenangannya mulai menguap,” ujarnya, memandangi langit yang berputar perlahan ke kiri—tanda waktu terus berjalan mundur.
Di ruang takhta, para pelayan menyanyikan lagu selamat datang ke masa baru. Mereka melemparkan bunga yang belum mekar dan lilin yang menyala dari ujung ke dasar, membentuk cahaya yang meredup ke dalam. Semua berjalan terbalik. Bahkan air di piala mengalir dari mulut Saphira kembali ke gelas jika tak diminum cepat-cepat.
Hari itu seharusnya menjadi hari damai, seperti biasanya. Namun ada sesuatu yang mengusik langit. Langit yang selama ini berwarna jingga senja, tiba-tiba berubah menjadi perak mengilat, lalu… retak.
Petir membelah angkasa dengan suara yang tak asing, namun aneh. Seperti gema yang datang sebelum suara. Istana berguncang pelan, dan pasir waktu di ruangan tengah mulai menari tak beraturan. Saphira melangkah pelan ke arah balkon. Angin membawa aroma asing—seperti panasnya baja dan debu dunia yang tak dikenal.
Lalu… ia melihatnya.
Sebuah celah terbuka di langit. Dari sana, jatuhlah sosok asing, berseragam aneh dan membawa senjata yang belum pernah ia lihat. Pria itu menubruk atap menara timur, lalu menghilang di balik reruntuhan.
Para penjaga segera bersiap, pedang mereka terhunus ke belakang—siap untuk menusuk mundur. Tapi Saphira mengangkat tangan, menghentikan mereka.
“Biarkan aku yang melihatnya,” ucapnya tenang, dengan nada yang menyimpan rasa penasaran yang telah lama hilang dari hatinya.
Dia melangkah menuruni tangga, mengikuti suara debu dan nafas asing yang terdengar seperti lagu dari masa depan.
Di sana, di antara reruntuhan dan batu yang belum pecah, pria itu terbaring—terengah, dengan mata yang menatap ke depan… bukan ke belakang.
Saphira berdiri mematung. Tak karena takut. Tapi karena untuk pertama kalinya dalam hidupnya… ia melihat seseorang yang tidak terikat oleh waktu yang terbalik. Seseorang yang berdetak ke depan.
“Siapa kau?” tanyanya pelan.
Pria itu mencoba bangkit, tubuhnya penuh luka, tetapi matanya bersinar. Ia menatap Saphira seolah telah mengenalnya, padahal baru melihatnya.
“Aku Kael… prajurit dari Bumi… tapi bukan bumi ini.”
Dan saat itu, waktu di sekitar mereka berhenti berdetak selama sepersekian detik.
Bagi Saphira, itu adalah permulaan. Bukan dari cinta, bukan dari takdir—tapi dari pertanyaan yang belum pernah muncul dalam benaknya:
Bagaimana jika waktu bukan satu-satunya jalan yang bisa ditempuh?
Bab 2: Lelaki dari Arah yang Berbeda
Kael membuka matanya perlahan, merasakan dingin yang asing menelusup ke kulitnya. Bukan dingin cuaca, tapi dingin dari tempat yang tak pernah ia kenal. Seolah udara di tempat ini bukan hanya dingin, tapi juga… tua.
“Jangan banyak bergerak,” suara Saphira mengalun, datar tapi lembut. Ia duduk di sisi tempat tidur yang terbuat dari kaca pasir—bahan langka di tanahnya yang bisa membeku oleh waktu.
Kael mencoba bangkit, tapi tubuhnya memberontak. “Di mana aku?” gumamnya lemah.
“Istana Waktu. Di dunia di mana waktu tidak berjalan maju. Tapi… kamu bukan berasal dari sini, bukan?” Saphira menatapnya dalam, seolah mencoba membaca urat-urat waktu di tubuh pria asing itu.
Kael memicingkan mata. Ia mengenali jam pasir di dinding yang bergerak ke atas, bukan ke bawah. Cahaya matahari masuk dari arah barat namun menjadi terang seperti fajar, bukan senja. Jam tangannya—satu-satunya teknologi dari dunianya—berdetik normal. Dan ia merasa… tua. Sedikit lebih tua daripada semalam.
“Aku… hanya sedang menjalankan misi,” jawab Kael pelan. “Kami menemukan celah dimensi, lalu semuanya jadi kabur. Aku jatuh ke sini.”
“Waktu kita tidak sama,” kata Saphira. “Kau maju. Aku… mundur.”
Kael tertawa pendek, nyaris getir. “Lalu bagaimana kita bisa saling memahami?”
Saphira tidak menjawab. Tapi ia menatap Kael seperti menatap teka-teki yang akhirnya ingin ia pecahkan. Di dalam dirinya, ada sesuatu yang bergetar. Bukan karena Kael tampan atau asing. Tapi karena untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia ingin tahu masa depan.
Kael, sebaliknya, merasa seolah ia telah mengenal Saphira lama sebelum ia jatuh ke sini. Wajahnya… suara itu… terasa seperti bayangan samar yang pernah muncul dalam mimpinya—saat ia tertidur di pos penjagaan yang sunyi.
Sore itu, istana gemetar lagi. Tapi bukan karena celah waktu, melainkan karena bisikan.
Rakyat mulai resah. “Penyusup waktu,” bisik mereka. “Pria maju. Dia bisa menghancurkan keseimbangan…”
Dan malam pun datang. Tapi bukan malam gelap, melainkan terang seperti matahari terbit, karena di dunia ini malam mengarah ke awal. Para penasehat mulai berkumpul, memperdebatkan nasib pria itu.
“Buang dia kembali ke celah!”
“Dia ancaman bagi siklus hidup kita!”
“Jika dia tinggal, waktu bisa retak permanen…”
Tapi Saphira berdiri, dan suara riuh itu terdiam. Ia tak menggunakan mahkotanya malam itu. Ia hanya mengenakan jubah malam biasa, tanpa simbol kerajaan.
“Aku yang akan menjaganya,” katanya tenang.
“Yang Mulia, dia—”
“Aku yang akan bertanggung jawab. Aku ingin tahu… bagaimana rasanya berjalan ke depan.”
Dan malam itu, untuk pertama kalinya, seorang ratu dari dunia waktu terbalik memutuskan untuk menyimpan rahasia. Rahasia tentang Kael, tentang detak jam yang tak seragam, dan tentang sesuatu yang lebih berbahaya daripada perang atau kehancuran:
Perasaan.
Saphira menatap Kael di kamar istana yang dijaga bayangan waktu, dan untuk pertama kalinya, ia bertanya dalam hati—
Apa yang akan terjadi jika aku mulai jatuh hati… pada seseorang yang akan melupakanku saat aku menjadi terlalu muda untuk mengingat siapa diriku sendiri?
Bab 3: Tarian Waktu yang Tak Sinkron
Sejak Kael datang, waktu di sekitar istana mulai berperilaku aneh.
Jam-jam pasir mulai ragu-ragu sebelum membalik arah. Bunga-bunga yang biasanya menutup di pagi hari kini membeku dalam kelopak yang separuh mekar. Bahkan air hujan di pelataran istana mulai menggantung di udara, bimbang antara naik kembali ke langit atau jatuh ke bumi.
Para penasehat Saphira mulai mencatat ketidakteraturan ini dengan cemas. Tapi sang ratu… justru diam-diam menyambutnya. Ada sesuatu yang hidup dalam dirinya, sesuatu yang sudah lama ia anggap mati: rasa ingin tahu.
Kael, sang prajurit dari dunia yang lurus ke depan, masih lemah. Namun setiap harinya, tubuhnya menua sedikit. Sang waktu di dunianya terus bergerak maju, dan tubuhnya merespons. Namun ia tidak takut. Ia penasaran.
“Dunia ini seperti lukisan yang dilukis dari belakang,” ucap Kael suatu pagi, ketika ia dan Saphira duduk di taman pasir kaca. “Indah, tapi membingungkan. Aku merasa seperti tokoh yang ditarik keluar dari kanvas.”
Saphira tersenyum. “Maka jangan terlalu cepat melompat kembali ke dunia lamamu. Mungkin kau bisa belajar menari dalam irama kami.”
Kael memandangi ratu itu. Rambutnya tampak sedikit lebih gelap hari ini. Kulitnya lebih kencang. Usia Saphira memang berkurang setiap hari. Tapi sorot matanya—yang dulu penuh ketegasan seorang pemimpin—kini mulai berubah. Ada kelembutan yang belum pernah Kael lihat.
Namun ada satu hal yang mengganggunya.
“Aku merasa… aku pernah melihatmu,” ucap Kael pelan. “Sebelum aku jatuh ke sini. Dalam mimpi… atau kenangan yang samar.”
Saphira menoleh cepat. Jantungnya berdegup tak teratur—sesuatu yang aneh, karena waktu di tubuhnya tidak seharusnya menciptakan jantung yang berdebar kencang. Ia menatap Kael, dalam.
“Aku juga pernah memimpikan seseorang yang datang dari masa depan. Tapi… aku pikir itu hanya bayangan.”
Mereka saling memandangi, diam, seolah ada tarikan tak terlihat di antara mereka. Dua kutub waktu yang berbeda, namun saling mencari porosnya.
Namun saat momen itu nyaris mengikat mereka lebih erat, suara alarm waktu menggema di seluruh istana.
Pecahan celah waktu muncul lagi. Tapi kali ini, tidak hanya satu.
Celah-celah di langit terbuka seperti luka, dan dari sana, bayangan-bayangan mulai jatuh—makhluk-makhluk asing, bukan manusia. Mereka adalah penjaga waktu, entitas yang menjaga keseimbangan setiap dimensi. Dan kedatangan Kael telah dianggap sebagai gangguan besar.
Saphira berdiri. “Kita harus pergi.”
“Ke mana?” tanya Kael cepat.
“Menuju Titik Nol,” bisik Saphira. “Tempat di mana waktu diam, dan garis kita bisa bertemu.”
Kael menatap langit, lalu menatap ratu di depannya. “Dan bagaimana kalau kita tidak berhasil?”
Saphira menjawab lirih, tapi pasti, “Maka kita akan lupa segalanya… termasuk satu sama lain.”
Di antara runtuhan waktu dan langit yang retak, mereka berlari bersama untuk pertama kalinya. Langkah mereka tak selaras—satu bergerak maju, satu mundur. Namun untuk sesaat, dunia membiarkan mereka selaras… dalam tarian waktu yang tak sinkron.
Dan saat mereka menghilang dari istana, seorang penjaga waktu berbisik lirih ke angin:
“Dua garis waktu yang saling mencinta… hanya akan meninggalkan jejak luka.”
Bab 4: Peta Menuju Titik Nol
Mereka menunggangi Arvon, makhluk bayangan berleher panjang dengan sayap transparan yang hidup di antara retakan waktu. Saphira memanggilnya dengan bahasa kuno yang kini mulai terlupa, dan makhluk itu menyambut seolah mengenali sang ratu sejak ia masih bayi—atau mungkin nanti, saat ia kembali menjadi bayi.
Langit di atas mereka bergerak ke belakang seperti pita film yang diputar mundur. Bintang-bintang menyala dari kegelapan, lalu lenyap ke fajar, menciptakan malam yang terang.
“Bagaimana kau tahu tentang Titik Nol?” tanya Kael, memegang erat sisi pelana yang bergerak sendiri, seperti bernafas.
Saphira menatap lurus ke cakrawala yang berubah warna setiap detik. “Aku tidak tahu. Tapi saat kau datang, ingatan itu muncul… seolah sudah tertanam dalam diriku sejak dulu. Atau nanti.”
Kael memandangnya dalam diam. Ia mulai terbiasa dengan logika terbalik yang melingkupi dunia ini, tapi tetap tak mampu menghindar dari satu pertanyaan: Jika waktu di sini berjalan mundur, maka apakah semua yang mereka alami akan lenyap pada akhirnya?
Mereka mendarat di sebuah menara batu terapung, tempat di mana sejarah disimpan dalam bentuk suara.
Saphira mengulurkan tangan ke dinding yang terbuat dari kristal resonansi. Ia membisikkan satu nama, “Aetheryn.”
Seketika itu, dinding bergetar, dan dari dalamnya terdengar suara seorang gadis kecil:
“Titik Nol bukan tempat, tapi celah. Ia muncul di perbatasan dua arah waktu, saat dua hati memilih saling tinggal.”
Saphira menatap Kael. “Gadis itu… suaranya seperti milikku, saat aku masih kecil.”
Kael berjalan mendekat, menyentuh dinding itu, dan di baliknya muncul bayangan: dua sosok—pria dan wanita—berdiri membelakangi dunia, menggenggam tangan satu sama lain saat waktu di sekeliling mereka runtuh.
“Ini… kita?” gumamnya.
Namun sebelum mereka sempat bertanya lebih jauh, dinding kristal retak. Suara menjadi kabur. Dari langit, seberkas cahaya menyambar dan mengubah sebagian tanah menjadi pasir hitam yang bergerak sendiri.
Mereka dikejar.
Penjaga waktu telah menemukan jejak mereka, dan mereka tidak akan membiarkan dua arah waktu bertemu. Bagi para penjaga, pertemuan itu adalah ancaman terbesar bagi keseimbangan semesta.
“Bawa ini,” ujar Saphira sambil memberikan potongan kecil dari kristal resonansi kepada Kael. “Ini akan menuntun kita ke celah itu. Tapi hanya jika kita memilih arah yang sama.”
Kael menggenggamnya, dan seketika itu ia melihat kilasan: Saphira—lebih muda, lebih ceria, menari di padang pasir yang diam. Lalu dirinya sendiri, lebih tua, lebih lelah, berlutut di samping jam yang pecah.
Ia menggeleng pelan. “Kita bisa sampai ke sana. Tapi… apa kau siap kehilangan ingatanmu tentang aku?”
Saphira menjawab dengan lirih, seperti angin yang nyaris hilang.
“Aku lebih takut jika tak pernah tahu… rasanya mencintaimu.”
Langit kembali retak, dan Arvon mengepakkan sayapnya untuk terbang sekali lagi. Di belakang mereka, waktu mulai menyesuaikan diri, menghapus jejak kaki mereka satu per satu.
Petualangan mereka baru dimulai, tapi dunia tak akan memberi mereka banyak waktu.
Karena di akhir perjalanan ini, hanya ada dua kemungkinan:
Cinta yang tak bisa dikenang… atau dunia yang tak bisa diselamatkan.
Bab 5: Langkah Pertama yang Meluruhkan Ingatan
Hari kelima dalam perjalanan mereka menuju Titik Nol, dan waktu mulai memperlihatkan harga yang harus dibayar.
Langit di atas mereka perlahan berubah warna menjadi ungu pudar, pertanda bahwa batas dunia mulai menipis. Arvon, makhluk bersayap yang menjadi tunggangan mereka, mulai mengepakkan sayapnya lebih pelan, seolah kelelahan oleh gravitasi waktu yang terus berubah.
Kael memperhatikan Saphira, yang duduk diam di hadapannya. Rambut peraknya kini berubah menjadi abu-abu terang, dan wajahnya—yang sebelumnya dihiasi gurat kematangan dan wibawa—kini mulai menampakkan kelembutan usia yang lebih muda. Tapi bukan itu yang membuat Kael khawatir.
“Saphira,” ucap Kael, “kau ingat tempat pertama kali kita bertemu?”
Saphira menoleh, tersenyum samar. “Di istana, kan?”
“Bukan. Kita pertama kali bicara di taman pasir kaca. Kau memberiku air dari gelasmu.”
Wajah Saphira kosong sejenak, lalu tertawa ringan. “Kau pasti salah ingat. Aku tak pernah membawa air sendiri, pelayanlah yang menyiapkannya.”
Kael diam.
Itu bukan kesalahan memori. Itu… lupa.
Saphira mulai kehilangan potongan-potongan kecil dari kehidupannya. Dari masa lalu yang dalam dunia ini adalah masa depan. Setiap langkah mendekatkan mereka ke Titik Nol, namun juga menjauhkan Saphira dari semua yang pernah ia tahu—termasuk Kael.
Malam itu, mereka singgah di reruntuhan candi tua, tempat waktu tak mengalir, hanya bergetar pelan. Saphira tertidur lebih cepat, tubuhnya mulai melemah bukan karena sakit, tapi karena proses pembalikan usia.
Kael duduk di sampingnya, menatap wajah gadis itu yang kini tampak tak lebih dari 30 tahun. Usia muda dalam dunia ini berarti dekat ke awal. Dekat ke lupa. Dekat ke akhir bagi mereka.
Ia mengeluarkan buku kecil dari kantong bajunya. Buku harian yang dulu ia gunakan untuk mencatat posisi bintang—sekarang diisi dengan puisi dan fragmen percakapan. Tentang tawa Saphira. Tentang caranya menatap dunia yang berjalan mundur dengan ketabahan yang aneh.
Ia menulis satu kalimat lagi malam itu:
“Jika kau lupa semuanya, aku akan mengingat untuk kita berdua.”
Pagi berikutnya, saat matahari terbit dari barat dan bayangan jatuh ke arah timur, Saphira terbangun dan menatap Kael dengan bingung.
“Kau… siapa?”
Kael tak menjawab langsung.
Ia hanya tersenyum, seperti biasa. Dan membisikkan, “Kau bilang padaku… kau ingin tahu bagaimana rasanya berjalan ke depan. Maka aku akan tetap di sini… sampai kau bisa merasakannya lagi.”
Saphira memandangnya lama, lalu tertawa kecil. “Kau terdengar seperti seseorang yang pernah aku kenal.”
Kael hanya memandangi mata itu—mata yang dulu mengenal namanya, kini hanya menyimpan bayangan samar. Tapi ia tidak menyerah.
Belum.
Karena sejauh apapun waktu menarik mereka ke arah berlawanan, masih ada satu titik yang menunggu di tengah: Titik Nol.
Tempat semua ingatan bisa dibekukan. Atau dihidupkan kembali.
Tempat di mana ia berharap… cinta mereka bisa bertahan, meski dunia mereka tak saling mengerti.
Bab 6: Ketika Kael Menjadi Tua
Udara di lembah Nirellith dingin dan tipis, namun waktu di sana mengalir lebih lambat dari tempat lain. Tanahnya retak-retak seperti piring porselen tua, dan langit di atasnya membentuk spiral lembut, seolah dunia sedang bermimpi.
Di tengah tempat yang hampir tak tersentuh waktu itu, Kael terjatuh.
Saphira—yang kini tampak berusia tak lebih dari dua puluh tahun—menjerit, berlari menghampirinya. Kael terduduk di tanah, tangan kirinya gemetar hebat, wajahnya mulai dipenuhi garis-garis waktu yang tak bisa disembunyikan.
“Kael! Kau kenapa?” serunya panik.
Kael tersenyum kaku. “Tubuhku… mulai tak bisa menyesuaikan. Waktu di sini terlalu lambat untukku. Aku… lelah.”
Saphira menggenggam tangannya, dan untuk sesaat ia bingung—tangan itu terasa asing. Lebih besar, lebih kasar, lebih tua dari yang ia ingat.
Ia menatap mata Kael, dan dalam sekejap, sesuatu terlintas. Seperti kilatan kenangan.
“Aku pernah melihat senyum itu,” bisiknya pelan, nyaris seperti gumaman pada diri sendiri. “Tapi… di mana?”
Kael menarik nafas dalam, menahan rasa sakit yang merambat di dadanya. “Di waktu yang belum kau ingat. Dan aku takut… saat kau ingat, aku tak lagi di sini untuk menjawabnya.”
Tubuhnya mulai melambat. Langkah kakinya tak lagi sigap. Nafasnya menjadi pendek. Bukan karena luka. Tapi karena waktu yang berjalan terlalu cepat baginya. Setiap hari di dunia Saphira adalah setahun di tubuh Kael.
Mereka berhenti di sebuah gua kristal untuk berteduh, dan malam datang seperti embun—sunyi, tak terasa, namun menusuk hingga tulang.
Saphira membuat api kecil dari bunga-bunga yang membakar diri mundur. Nyala apinya tidak memanas, tapi justru membuat waktu terasa hangat. Ia duduk di samping Kael yang bersandar lemah di dinding gua.
“Kau tahu,” ucap Saphira pelan, “aku tak tahu kenapa aku menangis sore tadi. Tapi sekarang… aku rasa aku tahu.”
Kael menoleh. “Kenapa?”
Saphira menggenggam tangannya. “Karena… aku takut kau akan pergi sebelum aku benar-benar tahu siapa kau.”
Kael tertawa, pahit dan lemah. “Lucu ya? Aku justru takut… aku akan tetap tinggal saat kau tak lagi mengingat siapa aku.”
Hening.
Lalu suara detakan jam dari kalung Saphira terdengar sangat nyaring. Detakan waktu—mundur bagi sang ratu, maju bagi sang prajurit. Dua irama yang tak pernah bisa bersatu… kecuali jika waktu dihentikan.
Kael merogoh sakunya dan mengeluarkan fragmen kristal resonansi. Cahayanya kini redup. Tapi ia menunjukkannya pada Saphira.
“Peta menuju Titik Nol… masih menyala. Tapi tidak untuk waktu yang lama. Kita harus segera ke sana, sebelum aku… terlalu tua.”
Saphira mengangguk. Tapi di balik matanya, Kael melihat ketakutan.
Bukan pada para penjaga waktu. Bukan pada dunia yang mungkin runtuh jika mereka gagal.
Tapi pada satu hal yang tak bisa mereka hentikan:
Saling melupakan.
Malam itu, Saphira tak tidur. Ia menulis sesuatu di pasir gua dengan jarinya. Kata demi kata. Kalimat pendek.
“Jika kau lupa aku, bacalah ini.”
Namun saat pagi tiba, angin menyapu pasir itu.
Dan yang tersisa hanyalah keheningan. Serta dua hati… yang masih mencoba saling mengingat, saat dunia perlahan mulai memisahkan mereka.
Bab 7: Ciuman yang Tak Diingat
Hari ketujuh.
Mereka tiba di dataran bernama Aira Venn, tanah sunyi di ambang batas waktu. Di tempat ini, waktu seperti berhenti untuk menimbang arah. Langit menjadi abu-abu pudar, tak ada siang maupun malam, hanya senja yang tak pernah selesai.
Saphira berdiri di tengah padang, angin menari pelan di rambutnya yang kini memanjang dan lebih gelap. Ia tampak tak lebih dari gadis dua puluh tahun, mungkin kurang. Setiap langkah yang ia ambil terasa ringan, seolah bumi tak lagi mengenali bobot tubuhnya.
Sementara Kael, yang berjalan beberapa langkah di belakang, mulai pincang. Wajahnya lebih tirus. Rambutnya, yang dulu tebal dan gelap, kini mulai beruban di sisi-sisi. Setiap helaan napas menjadi pengingat bahwa waktu sedang menggerogotinya perlahan.
Mereka berhenti di bawah pohon waktu satu-satunya di dataran itu—Pohon Relikta, yang daunnya bergerak seperti jarum jam dan akarnya tertanam di dua dunia.
“Ini tempat paling tenang yang pernah aku datangi,” ujar Saphira, suaranya ringan seperti anak kecil yang baru mengenal rasa kagum.
Kael tersenyum lemah. “Karena tempat ini bukan milik waktu. Kita bebas di sini… untuk sesaat.”
Saphira duduk di bawah pohon, lalu menepuk sisi tanah di sebelahnya, memberi isyarat pada Kael untuk bergabung.
“Ceritakan padaku sesuatu yang indah,” pintanya.
Kael menatap matanya—mata yang tak lagi mengenali dirinya. Tapi ia tetap menjawab, meski hatinya sesak.
“Ada seorang ratu yang hidup dari tua ke muda, dan seorang prajurit dari dunia lain jatuh ke dunianya. Mereka tak punya waktu, tapi mereka mencoba mencintai… sebelum waktu mencuri semuanya.”
Saphira tersenyum, menatap langit. “Kau romantis sekali. Rasanya… seperti mimpi. Aneh, ya? Aku merasa pernah mendengar cerita itu… tapi tak bisa mengingat di mana.”
Kael memejamkan mata. Lalu ia berbalik, menghadap padanya.
“Terkadang, yang tak bisa kau ingat… justru adalah yang paling penting,” gumamnya.
Dan sebelum Saphira sempat menjawab, Kael mendekat perlahan, menatap bibirnya, menunggu isyarat yang mungkin tak akan pernah datang. Tapi entah karena dunia berhenti sejenak, atau karena sesuatu dalam hati Saphira ikut bergerak, gadis itu memejamkan mata.
Dan mereka berciuman.
Bukan ciuman penuh gairah atau hasrat, tapi ciuman yang bergetar dengan ketakutan. Takut bahwa ini akan menjadi satu-satunya momen yang mereka punya. Ciuman yang membawa ribuan hal yang tak sempat diucapkan, dan harapan bahwa mungkin… hanya mungkin, kenangan itu akan tertinggal di dalam hati.
Sore itu, dunia benar-benar hening.
Dan ketika esok datang…
Saphira terbangun lebih muda. Matanya jernih. Wajahnya cerah. Tapi ada kekosongan yang jelas terlihat.
Kael menatapnya dari kejauhan, tubuhnya makin renta. Ia tahu, bahkan sebelum gadis itu membuka mulut.
“Kau siapa?” tanya Saphira.
Kael tersenyum, menelan sakit itu dalam diam.
“Aku hanya seseorang yang sedang berjalan ke arahmu… meski kau berjalan menjauh.”
Dan angin di Aira Venn berbisik lirih. Membawa pergi sisa rasa dari ciuman semalam—menyimpannya entah di mana, jauh di celah waktu.
Bab 8: Kenangan yang Ditulis di Pasir
Kael mulai menulis.
Bukan di kertas, bukan di batu, tapi di pasir waktu yang membentang sepanjang Lembah Aira Venn. Pasir ini bukan pasir biasa—ia mampu menyimpan energi ingatan. Hanya saja, tulisannya rapuh. Terhapus angin. Terhapus waktu.
Namun Kael tidak peduli.
Setiap malam, saat Saphira tertidur di balik akar Pohon Relikta, ia menuliskan kembali kisah mereka. Ia menulis namanya. Ia menulis tawa pertama Saphira, pelukan pertamanya, dan ciuman yang kini hanya ia ingat sendiri. Lalu setiap pagi, saat Saphira bertanya siapa dirinya, Kael mengajaknya berjalan di sepanjang pasir itu.
“Ini apa?” tanya Saphira suatu pagi, menatap baris-baris kata yang tampak menyala pelan di bawah sinar senja terbalik.
“Itu… cerita yang pernah kamu dengar, tapi belum sempat kamu ingat.”
Saphira mengernyit, membacanya dengan lambat. Kata demi kata menggugah sesuatu di dalam dirinya. Sesuatu yang hangat, tapi tak bernama. Sesuatu yang seolah tinggal dalam dirinya, tapi belum punya tempat untuk kembali.
Kael berdiri di sampingnya. Tak mengganggu. Tak mendesak. Ia tahu, kenangan bukan sesuatu yang bisa dipaksa kembali. Tapi ia berharap, mungkin dengan melihat, menyentuh, dan membaca—hatinya akan mengingat lebih dulu daripada pikirannya.
Namun saat harapan itu perlahan tumbuh…
Langit kembali berubah.
Retakan waktu menganga di cakrawala. Kilat membelah udara. Dan dari dalam celah itu, turunlah para Penjaga Waktu.
Tak seperti sebelumnya, kali ini mereka datang bukan hanya untuk mengamati.
Mereka datang untuk menghapus.
Salah satu penjaga mendarat di pasir, wajahnya tertutup topeng kristal. Suaranya bergema seperti gema gema—berlapis-lapis dan tak berjiwa.
“Dua garis waktu tak boleh bertemu. Pelanggaran ini telah menciptakan riak yang menjalar ke semua dimensi.”
Kael berdiri di depan Saphira. Meski lututnya bergetar. Meski tubuhnya semakin ringkih.
“Aku tidak peduli,” katanya tegas. “Jika mencintainya berarti menghancurkan waktu… maka biarlah semesta berantakan.”
Penjaga itu mengangkat tangannya. Kristal waktu di telapak tangannya bersinar terang. Pasir yang Kael tulis mulai menghapus perlahan—huruf-hurufnya menghilang seperti ditelan kehampaan.
Saphira menjerit kecil. Ia menatap tulisan yang memudar, dan untuk pertama kalinya, matanya berkaca-kaca meski ia tak tahu kenapa. Ia mengejar jejak-jejak yang belum sempat ia baca.
“Berhenti!” teriaknya.
Penjaga itu tak menghiraukan. Tapi saat ia hendak menghapus bagian terakhir dari tulisan Kael—
Saphira berdiri di depannya.
“Aku… tidak tahu siapa dia,” katanya, suara gemetar. “Tapi… aku tahu aku tidak ingin melupakannya lagi.”
Kristal waktu bergetar di tangan sang penjaga. Ada keheningan aneh yang melingkupi mereka. Pohon Relikta menjatuhkan satu helai daunnya yang membelah udara dan jatuh perlahan di antara Saphira dan Kael.
Sang penjaga diam sesaat, lalu menunduk. “Kalian ingin menuju Titik Nol?”
Kael dan Saphira mengangguk.
“Maka bersiaplah. Di sana, waktu tidak akan melupakan kalian. Tapi kalian harus memilih: hidup bersama dalam kehampaan abadi… atau berpisah demi menyelamatkan dunia.”
Dan saat para penjaga lenyap dalam kabut kristal, Saphira menoleh pada Kael.
“Aku masih belum ingat siapa kau,” bisiknya. “Tapi aku percaya… aku mencintaimu.”
Kael tak bisa menjawab. Karena untuk pertama kalinya… air mata mengalir dari matanya—bukan karena kesedihan, tapi karena harapan yang kembali menyala.
Bab 9: Di Ambang Titik Nol
Langit terbelah perlahan saat mereka menapakkan kaki ke pelataran terakhir.
Titik Nol—bukan tempat, bukan bangunan, bukan juga sebuah titik dalam arti sebenarnya. Ia adalah ruang yang tak memiliki arah. Di mana segala waktu berhenti. Segala kenangan membeku. Di sinilah para penjaga waktu tak lagi bisa menjangkau, karena bahkan mereka pun tunduk pada kehendak Titik Nol.
Kael dan Saphira berdiri di depan pusaran cahaya berwarna perak pucat, yang memantulkan bukan bayangan mereka, tapi potongan dari apa yang pernah mereka miliki. Potongan cinta. Potongan luka. Potongan yang tak pernah utuh.
Saphira kini tampak seperti gadis remaja. Rambutnya sebahu, matanya cerah, tapi tak lagi mengingat sebagian besar perjalanan mereka. Namun sesuatu dalam dirinya tetap mengenal Kael, dalam bentuk yang tidak bisa dijelaskan oleh logika waktu.
“Apakah kita… pernah mencintai?” tanyanya dengan suara pelan.
Kael, yang kini tampak lebih tua dari yang ia pernah bayangkan, mengangguk dengan senyum samar.
“Dan masih,” jawabnya.
Angin di Titik Nol berhembus tanpa suara. Pohon Relikta tak tumbuh di sini. Tidak ada langit. Tidak ada tanah. Hanya perasaan bahwa semua sedang menahan napas, menanti pilihan terakhir.
Lalu terdengar suara dari dalam pusaran:
“Dua pilihan.
Satu: Hentikan waktu selamanya. Kalian akan hidup bersama, tapi dunia akan diam. Tak ada lagi kelahiran, pertumbuhan, atau akhir.
Dua: Lanjutkan waktu seperti seharusnya. Dunia akan selamat. Tapi kalian akan kembali ke garis masing-masing. Dan saling melupakan… selamanya.”
Saphira menatap Kael. “Kita tidak bisa hidup di dunia yang tidak bergerak, bukan?”
Kael menggenggam tangannya. “Tapi aku juga tidak tahu… bagaimana caranya hidup tanpamu.”
Diam.
Lalu Saphira mendekat, menyentuh wajah Kael yang dipenuhi garis waktu. “Kau pernah bilang… jika aku lupa, kau akan mengingat untuk kita berdua.”
Kael mengangguk, pelan.
Saphira tersenyum. “Kalau begitu… aku ingin kau yang mengingat semuanya. Agar cintaku tidak hilang begitu saja.”
Air mata pertama Saphira jatuh malam itu. Bukan karena takut. Tapi karena keputusan sudah dibuat, dan tidak ada jalan kembali.
“Aku memilih… menyelamatkan dunia.”
Kael memejamkan mata. Tak menahan. Tak memohon. Ia hanya menarik Saphira ke dalam pelukannya sekali lagi, menghirup aroma rambutnya yang mulai wangi seperti pagi. Ia mencium dahinya, lembut, lama, dan membisikkan:
“Aku akan tetap mencintaimu… bahkan saat waktu tak lagi mengenal kita.”
Saphira meletakkan tangan di dada Kael, tepat di atas detak jantungnya. “Maka semesta akan tahu… bahwa pernah ada cinta yang melawan waktu.”
Dan mereka melangkah—bersama-sama, menuju pusaran.
Tapi tak seperti yang mereka duga, Titik Nol tak menyerap mereka.
Titik itu… memeluk mereka.
Cahaya meledak perlahan. Bukan kehancuran. Bukan kebekuan. Tapi transformasi.
Kael dan Saphira perlahan menghilang dari dunia, bukan sebagai sosok, tapi sebagai kenangan yang abadi dalam garis waktu. Dunia bergerak kembali seperti semula. Bunga kembali mekar. Anak-anak kembali lahir. Matahari dan bulan kembali berselisih dalam ritme biasa.
Tapi di suatu tempat, jauh di dalam inti semesta, dua nama berbisik di antara bintang-bintang:
Kael. Saphira.
Dan di dunia tempat waktu tetap mengalir…
Ada legenda tentang cinta yang begitu kuat, hingga ia memilih untuk dilupakan, agar dunia bisa terus hidup.
Bab 10: Cinta dalam Keabadian yang Diam
Banyak generasi telah berlalu sejak hari ketika waktu nyaris berhenti.
Tanah di sekitar Aira Venn kini menjadi legenda. Anak-anak desa terdekat sering mendengar cerita tentang tempat di mana dua kekasih dari arah waktu yang berlawanan pernah bertemu—dan saling mencintai hingga akhir. Atau awal. Tergantung dari arah mana kau memandang.
Namun tak ada yang pernah melihat mereka. Tak ada yang tahu siapa mereka sebenarnya. Yang tertinggal hanyalah jejak samar: sebatang pohon tua yang tumbuh di tempat di mana dulu Titik Nol pernah berdetak, daunnya berbentuk seperti dua hati yang saling menempel.
Orang-orang menyebutnya Pohon Diam.
Jika kau berdiri di bawahnya saat senja, kau akan mendengar suara yang tak berasal dari dunia ini. Bukan angin. Bukan burung. Tapi bisikan—lembut dan asing. Seolah waktu sedang mengenang sesuatu yang nyaris dilupakannya.
Di Dunia Saphira…
Istana Waktu telah memiliki ratu baru. Seorang anak perempuan cerdas yang tumbuh dari usia tua menuju muda seperti biasa. Tapi entah kenapa, ia sering menangis saat matahari terbit.
“Kenapa kau menangis?” tanya ibunya.
“Saya tidak tahu,” jawabnya. “Saya hanya merasa… ada yang hilang. Sesuatu yang tidak pernah saya miliki, tapi pernah sangat berarti.”
Gadis itu gemar mencoret-coret pasir dengan tangannya. Ia menulis nama-nama aneh yang tak dikenalnya: Kael. Hati. Ciuman. Pasir. Ia bahkan tak tahu dari mana kata-kata itu berasal.
Setiap kali sang penasihat kerajaan bertanya, ia hanya menjawab, “Aku tidak tahu. Tapi saat menulisnya, hatiku terasa tenang.”
Ia tidak ingat kisah tentang Ratu Saphira. Tak ada yang mengingat. Karena dalam dunia yang berjalan mundur, kenangan hilang seperti kabut. Namun entah bagaimana, rasa itu masih tertinggal.
Di Dunia Kael…
Kael tidak pernah kembali. Ia menghilang dari semua catatan, dari semua sistem dunia maju yang mencatat segalanya. Ia tidak wafat. Ia tidak pergi. Ia… lenyap.
Namun di perpustakaan waktu, tempat para ilmuwan meneliti dimensi dan celah temporal, terdapat satu halaman misterius yang tak bisa dihapus, tak bisa dianalisis. Sebuah catatan yang muncul sendiri di buku kosong:
“Namaku Kael. Aku pernah mencintai seorang ratu yang berjalan ke masa kecilnya, sementara aku menuju kematian. Kami bertemu di Titik Nol. Dan meski dunia memaksa kami untuk melupakan, cinta kami tetap hidup… sebagai gema yang diam dalam waktu.”
Setiap kali peneliti menyentuh halaman itu, mereka merasa seolah sedang jatuh cinta. Tapi pada siapa, mereka tak tahu.
Dan di antara dua dunia…
Di celah waktu, tempat tak seorang pun bisa hidup atau mati, dua cahaya kecil bersinar berdampingan. Tak bergerak. Tak mengecil. Tak membesar.
Mereka tidak saling bicara. Tapi mereka saling ada.
Kael dan Saphira, kini bukan lagi daging atau darah, bukan lagi kenangan atau masa lalu. Mereka adalah jeda dalam semesta. Jeda yang menjaga agar waktu tetap berjalan. Karena cinta mereka yang rela memilih keheningan, dunia diberi satu anugerah:
Keseimbangan.
Di akhir segala hal, bukan tentang siapa yang mengingat siapa. Bukan pula tentang waktu yang tak bersahabat.
Tapi tentang dua jiwa—yang memilih untuk mencintai meski harus hilang,
dan tetap saling ada meski tak dikenal oleh siapa pun.
Mereka adalah legenda yang tak memiliki akhir.
Karena cinta mereka tidak membutuhkan satu.
Hanya… keabadian dalam diam.
TAMAT
Novel ini ditulis oleh Evi Fauzi, Penulis dari Novel Singkat. Baca juga novel romantis, petualangan dan fiksi ilmiah lainnya.