Nara Alesha, seorang peneliti muda di bidang neurosains eksperimental, terlibat dalam proyek rahasia bernama LucidLink—sebuah alat yang memungkinkan seseorang masuk ke dalam dunia mimpi, bahkan menyusuri alam bawah sadar orang lain. Apa yang awalnya merupakan uji coba ilmiah berubah drastis ketika Nara menemukan dirinya terus-menerus masuk ke dalam mimpi pria tak dikenal.
Dalam dunia mimpi itu, ia bertemu Alvin—pria misterius yang ternyata koma di dunia nyata tanpa identitas dan sejarah hidup. Saat hubungan emosional mereka tumbuh, Nara menyadari bahwa koneksi mereka bukan kebetulan. Masa lalu yang terkubur, trauma lama, dan pecahan jiwa yang terpisah mulai terkuak perlahan.
Terombang-ambing di antara realita dan mimpi, Nara harus memilih: tetap dalam dunia nyata yang tak lagi ia percayai, atau menyelami lebih dalam dunia Alvin untuk menyatukan jiwa yang terluka—meski artinya kehilangan dirinya sendiri.
Bab 1: Saat Mimpi Menjadi Terlalu Nyata
Di malam keempat setelah instalasi LucidLink, Nara terbangun dengan tubuh dingin, keringat membasahi punggungnya meskipun pendingin ruangan menyala seperti biasa. Nafasnya masih terengah-engah, seolah paru-parunya belum terbiasa dengan kenyataan. Ia memejamkan mata, berharap napasnya tenang, berharap denyut di dadanya tak lagi sesakit tadi.
Namun yang tertinggal bukan hanya sensasi itu. Ia masih bisa mencium aroma tanah basah dan suara detak jam tua yang bergema di lorong panjang penuh pintu tertutup. Padahal, itu semua tak nyata—kan?
Nara menoleh ke sisi tempat tidurnya. Lampu indikator LucidLink masih menyala lembut dalam warna biru. Perangkat itu, sebuah helm transparan dengan kabel-kabel serupa akar pohon, telah mengubah malam-malamnya. Katanya, LucidLink akan membantunya memahami pola tidur, menjelajahi alam bawah sadar, bahkan menyembuhkan trauma masa lalu. Tapi tak ada satu pun ulasan yang menyebutkan bahwa ia bisa merasakan mimpi orang lain. Apalagi jatuh cinta pada seseorang di sana.
Mimpi itu selalu sama sejak malam pertama: Nara berjalan menyusuri taman yang tak pernah ia lihat sebelumnya. Pohon-pohon tua menjulang, angin menggoyangkan daun seperti menyanyikan rahasia yang telah lama terkubur. Di ujung taman, ada bangku kayu tua, dan duduk di sana… pria itu.
Ia selalu mengenakan jas abu-abu kusam, dengan rambut berantakan yang tampak lembut diterpa cahaya matahari senja. Ia tak pernah berbicara, hanya menatap Nara dengan mata gelap penuh kerinduan. Tapi meski tanpa kata, ada sesuatu yang menghantam dada Nara setiap kali menatap mata itu. Seolah mereka saling mengenal. Seolah… mereka seharusnya bersama.
LucidLink tak pernah menjelaskan mengapa Nara bisa masuk ke mimpi yang bukan miliknya. Teknologinya baru, eksperimental, dan hanya digunakan oleh sedikit orang. Nara terpilih sebagai subjek uji coba karena ia memiliki riwayat lucid dreaming sejak kecil. Ia pikir ini akan jadi penelitian biasa. Tapi kini, mimpi itu seperti menyedotnya ke dalam lubang tak berdasar. Ia tertarik, terjerat, dan perlahan… mulai kehilangan rasa terhadap dunia nyata.
Pagi itu, Nara bangkit dari tempat tidur dengan langkah berat. Kopi yang biasanya menjadi penyelamat pagi terasa hambar. Laptop menyala, notifikasi dari tim LucidLink muncul di layar:
“Bagaimana pengalaman tidur semalam? Adakah hal yang ingin dilaporkan?”
Nara menatap layar sejenak. Jari-jarinya menari ragu di atas keyboard sebelum akhirnya menulis:
“Aku bermimpi tentang pria yang sama lagi. Tempat yang sama. Rasanya… bukan mimpi biasa. Apakah ini normal?”
Ia ragu menekan tombol kirim. Tapi ada dorongan di dalam dirinya, suara kecil yang berkata: kau harus tahu siapa dia, sebelum semuanya terlambat.
Detik berikutnya, notifikasi dari sistem menjawab singkat:
“Data diterima. Akan kami evaluasi. Harap tidak melakukan interaksi emosional mendalam dengan subjek mimpi.”
Nara memicingkan mata. Interaksi emosional? Ia membacanya lagi, merasa ada sesuatu yang disembunyikan.
Dan untuk pertama kalinya sejak alat itu dipasangkan, Nara merasa takut.
Bukan takut pada mimpi.
Tapi takut… kalau dunia mimpi itu nyata.
Dan pria itu benar-benar ada.
Bab 2: Pria di Taman Tanpa Waktu
“Pernahkah kamu merasa jatuh cinta pada seseorang yang bahkan belum kamu kenal?
Bukan karena wajahnya, bukan karena suaranya,
tapi karena caranya membuat dunia yang sunyi… terasa pulang.”
—
Malam itu, Nara kembali mengenakan LucidLink dengan perasaan campur aduk. Ada rasa takut, tapi juga harapan. Ia tak tahu mengapa hatinya ingin bertemu lagi dengan pria itu. Padahal dalam dunia nyata, ia bahkan belum tahu siapa dia, dari mana asalnya, dan kenapa wajahnya muncul berulang kali dalam mimpinya.
Begitu matanya tertutup dan gelombang LucidLink mulai mengalun tenang, Nara kembali tersedot ke dalam dunia yang terasa semakin akrab.
Taman itu menyambutnya lagi.
Daun-daun maple jatuh perlahan, melayang seperti salju musim gugur yang tak pernah berakhir. Angin berhembus lembut, membelai pipinya dengan rasa yang terlalu nyata untuk disebut mimpi. Di langit, senja beku menggantung, seolah waktu tak bergerak. Burung-burung diam membatu di cabang pohon. Dan di sana… bangku kayu tua itu menantinya lagi.
Ia ada di sana.
Pria itu.
Wajahnya seperti yang selalu Nara ingat—seperti potret kabur dari masa lalu yang belum pernah ada. Kali ini, ia menoleh lebih cepat ketika Nara mendekat. Dan untuk pertama kalinya… ia tersenyum.
Jantung Nara berdegup kencang. Pria itu tak hanya menjadi lebih nyata—ia mulai merespons. Seolah kehadirannya selama ini bukan sekadar kebetulan mimpi, tapi pertemuan yang menunggu waktu yang tepat.
“Nama kamu siapa?” suara Nara terdengar kecil, nyaris tenggelam dalam sunyi.
Pria itu hanya menatapnya, seolah mempertimbangkan sesuatu. Kemudian perlahan ia membuka mulut, tapi… tak ada suara. Bibirnya bergerak, membentuk sesuatu yang tak bisa Nara tangkap. Dunia di sekitarnya mendadak bergema, seolah waktu menolak suara itu keluar.
“Maaf… aku tidak mengerti,” gumam Nara bingung.
Pria itu menghela napas panjang. Ia lalu menyentuh dada kirinya, tepat di atas jantung. Jemarinya membentuk huruf—satu per satu.
A-L-V-I-N.
“Alvin,” Nara mengucapkan nama itu pelan. Dan sesuatu dalam dirinya bergetar. Ada resonansi aneh dalam nama itu, seperti gema dari tempat yang tak ia ketahui.
Alvin mengangguk pelan, matanya menunjukkan rasa lega.
“Kenapa kamu selalu ada di sini?” tanya Nara lagi.
Alih-alih menjawab, Alvin berdiri. Ia memberi isyarat agar Nara mengikutinya. Mereka menyusuri jalan setapak di antara pepohonan. Cahaya senja menyoroti wajahnya dari samping, membuat bayangannya melengkung di tanah.
Tiba-tiba mereka sampai di sebuah gerbang besi tua, berkarat dan setengah terbuka. Di baliknya, sebuah bangunan tua menjulang—rumah sakit.
Nara menegang. Suasana mendadak berubah. Senja menjadi kelabu, dan udara dingin menusuk kulitnya.
“Kenapa kita ke sini?”
Alvin tak menjawab. Ia hanya berdiri diam di depan gerbang, lalu menoleh dan menatap Nara dalam-dalam. Sorot matanya menyampaikan pesan yang tak terucap: Temukan aku.
Lalu semuanya mulai bergetar. Tanah runtuh di bawah kaki mereka. Angin berubah jadi pusaran suara, memanggil-manggil nama Nara.
“Nara… bangun! Nara!”
Suara itu nyata—suara dari dunia nyata.
Nara terbangun dengan tubuh terguncang. Jam menunjukkan pukul 03.14 pagi. Dadanya sesak, tenggorokannya kering. Ia baru menyadari, ia menangis dalam tidur.
Tangannya gemetar saat ia membuka laptop dan mulai mencari. Ia ketik: “Rumah sakit—pasien koma—nama Alvin—Jakarta.”
Entah mengapa, hatinya tahu… Alvin itu nyata.
Dan taman tanpa waktu itu bukan hanya mimpi biasa.
LucidLink telah membuka sesuatu yang lebih dalam dari sekadar dunia mimpi—ia membuka pintu menuju jiwa yang terperangkap.
Dan Nara tidak tahu… apakah ia akan bisa kembali, jika terus masuk lebih dalam.
Tapi ia yakin satu hal.
Ia ingin menyelamatkan Alvin.
Bab 3: Ingatan yang Tak Pernah Ad
“Ada kenangan yang tak pernah kita alami,
tapi terasa begitu nyata seolah milik kita.
Mungkin… karena jiwa lebih dulu mengenal sebelum logika memahami.”
—
Sejak malam itu, Nara tidak pernah benar-benar sama.
Pagi harinya, saat menatap cermin, ia melihat bayangan dirinya yang masih ia kenal, tapi ada sesuatu yang berubah. Sorot matanya lebih dalam, lebih kosong… atau mungkin terlalu penuh. Kepalanya dipenuhi pertanyaan yang tak bisa ia jawab: Siapa Alvin sebenarnya? Mengapa ia bisa memasuki mimpinya? Dan mengapa dunia terasa berputar ke arah yang aneh sejak pertama kali mereka bertemu?
Ia menghabiskan setengah hari di perpustakaan digital, menelusuri database rumah sakit, laporan pasien koma, bahkan artikel berita lama. Nama “Alvin” terlalu umum, terlalu banyak hasil, terlalu sedikit petunjuk. Namun ada satu berita yang membuat jantungnya berhenti berdetak sejenak.
“Pasien Tanpa Identitas Ditemukan Tidak Sadarkan Diri di Taman Kota.”
Tanggal: Dua Tahun Lalu
Nama Sementara: Alvin (ditemukan dengan kalung bertuliskan nama tersebut)
Kondisi: Koma, tidak ada catatan identitas resmi. Belum ditemukan keluarga.”
Taman kota. Kalung nama. Koma. Dua tahun lalu.
Semua cocok.
“Dia benar-benar ada,” gumam Nara, suaranya nyaris bergetar.
Nara tahu ia harus melihat sendiri. Ia mengambil taksi menuju rumah sakit yang disebut dalam artikel: RS Elang Utara. Rasa cemas menyesaki dadanya sepanjang jalan, tapi juga dibarengi keingintahuan yang membakar.
Saat tiba, rumah sakit itu terasa asing sekaligus familiar. Bangunan tua dengan jendela besar dan suara langkah kaki menggema di lorong. Tempat itu menyerupai bangunan dalam mimpi, hanya saja… lebih sunyi.
Nara menyelinap ke ruang perawatan intensif, beralasan sebagai mahasiswa psikologi yang sedang melakukan riset tentang pasien koma. Perawat percaya saja. Mereka mengarahkan Nara ke ruangan bernama Ruang Mawar 3.
Langkah Nara berat saat membuka pintu.
Dan di sana—di atas ranjang putih bersih, dengan alat monitor yang berkedip pelan—terbaring seorang pria.
Wajahnya tenang, tampak damai… tapi dingin. Wajah yang sama seperti dalam mimpinya.
Alvin.
Nara menahan napas. Ia mendekat perlahan, memperhatikan wajah itu dengan hati yang mendadak pilu. Ada bekas luka samar di pelipis kiri, dan rambut yang tumbuh tak teratur. Tapi mata tertutup itu… Nara tahu, jika terbuka, ia akan menatap dengan cara yang hanya Alvin bisa lakukan—lembut, menembus, dan penuh pertanyaan.
“Kenapa kamu memilih aku?” bisik Nara, nyaris tanpa suara.
Tiba-tiba, kilatan aneh menghantam kepalanya.
Sebuah fragmen—bayangan singkat—dirinya berlari di tengah hujan. Alvin menunggu di ujung lorong, memanggil namanya. Tapi bukan rumah sakit. Itu… stasiun kosong.
Lalu suara Alvin, samar tapi jelas: “Jangan pergi, Nara. Jangan tinggalkan aku di sini.”
Nara terhuyung mundur, menahan napas. Ingatan itu bukan miliknya. Ia tak pernah mengalami itu. Tapi… kenangan itu terasa nyata. Terlalu nyata.
Ia duduk di kursi di samping ranjang Alvin, menggenggam tangannya yang dingin.
“Apakah kamu mengirimkan kenanganmu ke dalam mimpi?” Nara bertanya, kali ini dengan suara yang terdengar seperti berjanji.
“Aku akan temukan jalanmu pulang. Apa pun yang terjadi.”
Dan malam itu, saat ia mengenakan LucidLink lagi, Nara tidak hanya ingin bertemu Alvin.
Ia ingin masuk lebih dalam.
Ke dalam pikirannya.
Ke dalam ingatannya.
Ke dalam luka yang ia belum tahu… juga bisa menyakiti dirinya sendiri.
Bab 4: Nama yang Tak Boleh Disebut
“Beberapa nama menyimpan luka yang terlalu dalam untuk diucap,
karena setiap suku katanya bisa memanggil kembali rasa yang berusaha dikubur.”
—
Malam ketujuh.
Nara duduk di depan perangkat LucidLink yang kini terasa seperti pintu menuju dimensi lain—dimensi yang perlahan menarik jiwanya, lebih dalam dari sekadar tidur. Kabel-kabel LucidLink terhubung erat di pelipis dan tengkuknya, denyut lembutnya menyatu dengan detak jantungnya yang semakin tak tenang.
Ia tak hanya ingin bermimpi malam itu—ia ingin menemukan kebenaran.
Saat sistem mulai menghitung mundur, Nara memejamkan mata. Dunia nyata mulai menghilang. Ia mengizinkan dirinya jatuh.
Ia tiba… bukan di taman.
Melainkan di koridor panjang yang dingin dan asing, dengan cahaya lampu kuning temaram dan dinding berkerak kelabu. Langkah kakinya menggema setiap kali ia melangkah. Di sepanjang lorong itu, ada puluhan pintu—tertutup rapat, semua sama.
Tapi di tengah keheningan itu, ada satu pintu yang setengah terbuka. Cahaya putih lembut mengalir dari dalamnya, mengundang Nara masuk.
Dengan ragu, ia mendorongnya.
Di dalamnya… Alvin.
Namun bukan Alvin seperti biasanya. Wajahnya terlihat lelah. Mata yang biasanya tenang kini tampak bergejolak, seperti ada perang batin yang belum pernah berhenti.
“Kau datang lagi…” bisik Alvin, suaranya nyaring kali ini—akhirnya bisa terdengar.
Nara menatapnya dengan haru dan gugup. “Alvin… siapa kamu sebenarnya?”
Ia terdiam lama, sebelum perlahan-lahan menjawab. Tapi kata-katanya terpotong oleh suara gemuruh aneh, seolah dunia di sekitarnya menolak pengakuan itu.
“Aku… namaku… bukan…”
Suara itu menghilang. Seperti terhisap.
Tiba-tiba, dinding ruangan berubah. Terjadi distorsi. Seperti ilusi yang hancur perlahan. Suara-suara lain mulai terdengar. Jeritan. Tangisan. Dan… sebuah bisikan.
“Jangan sebut namanya. Jangan bangunkan dia.”
Nara berputar. Tak ada siapa-siapa di ruangan itu kecuali mereka berdua. Tapi bisikan itu… nyata. Seolah berasal dari dalam kepalanya sendiri.
“Siapa yang tidak boleh dibangunkan?” tanya Nara panik.
Alvin menggenggam tangannya erat, matanya bergetar. “Jika kamu tahu siapa aku sebenarnya… kamu akan ikut terperangkap, Nara.”
Nara menatap matanya dalam-dalam. “Biarkan aku ikut. Aku tidak peduli.”
Seketika, ruangan berubah menjadi lautan hitam. Mereka jatuh—tubuh mereka melayang ke bawah, ke jurang tanpa dasar. Dan di tengah kehampaan itu… muncul potongan-potongan memori.
Seorang anak lelaki duduk di ruang kelas, sendiri.
Tangannya memegang buku harian. Di halamannya tertulis: “Hari ini aku berharap tidak pernah dilahirkan.”
Seorang remaja laki-laki berlari dari rumah sakit jiwa, dengan bekas luka di pergelangan tangan.
Lalu, Nara. Wajahnya. Tapi lebih muda. Dan suara Alvin terdengar menggema: “Aku melihatmu sebelum kamu pernah mengenalku.”
Semua terasa terlalu berat. Nara terengah-engah, jiwanya terasa seperti dirobek dua.
Ia terbangun dari mimpi dengan jeritan, tubuhnya dingin, mata basah oleh air mata.
LucidLink masih menyala, tapi ada satu peringatan merah di layar:
“Peringatan: subjek telah memasuki mimpi terdalam subjek lain. Risiko kehilangan realita meningkat.”
Namun, Nara tak takut.
Karena kini, ia tahu satu hal.
Alvin menyimpan lebih dari sekadar nama.
Ia menyimpan luka, ingatan, dan kebenaran yang mencoba disembunyikan dunia.
Dan Nara telah bersumpah untuk menggali semuanya—meski harus menghilang dari realita.
Bab 5: Dunia yang Tak Ingin Ia Tinggalkan
“Kadang yang paling menyakitkan bukan kehilangan realita,
tapi menyadari bahwa dunia mimpi justru terasa lebih hidup.”
—
Hari-hari Nara di dunia nyata mulai kehilangan warna.
Ia tetap makan, berjalan, menjawab pesan dari tim LucidLink, bahkan menghadiri pertemuan virtual untuk laporan mingguan. Tapi setiap detik pikirannya hanya terpusat pada satu hal: Alvin.
Malam adalah satu-satunya waktu ketika ia merasa hidup. Di sanalah hatinya berdetak—bukan karena fungsinya, tapi karena perasaan. Karena di sanalah Alvin menunggunya.
Dan malam itu, untuk pertama kalinya, Nara memasang LucidLink bukan karena eksperimen. Tapi karena kerinduan.
—
Ia kembali ke taman.
Namun kini, taman itu berubah. Tidak ada lagi senja abadi. Matahari terbenam sempurna, meninggalkan langit malam bertabur bintang yang bergerak lambat. Angin tak sekadar berhembus—ia membawa bisikan. Seolah taman itu tahu… bahwa sesuatu telah berubah dalam hati Nara.
Alvin berdiri di dekat danau. Punggungnya menghadap Nara. Ia tak lagi tampak seperti pria yang terjebak. Kini ia terlihat seperti penjaga dunia itu.
“Ini tempatku, Nara,” katanya, tanpa menoleh.
Nara berjalan mendekat, berdiri di sampingnya. “Dan kamu tahu ini bukan tempatku, kan?”
Alvin mengangguk pelan. “Tapi kamu terus kembali.”
“Aku… nggak bisa menjauh. Karena setiap aku pergi, rasanya ada bagian dari aku yang tertinggal di sini.”
Ia menatapnya. Mata Alvin kini tampak jauh lebih dalam, penuh kisah yang belum terungkap.
“Aku ingin menunjukkan sesuatu,” ucapnya.
Ia menggenggam tangan Nara, dan seketika taman berubah.
Mereka berada di sebuah ruang kecil. Dindingnya putih bersih, tapi tak ada jendela. Di salah satu sudut ruangan, seorang anak laki-laki duduk membelakangi mereka. Ia menggambar di atas lantai dengan krayon warna merah. Goresannya acak, namun penuh emosi. Di dinding, tertulis dengan goresan kasar:
“Aku bukan mimpi. Aku hanya tempat yang tidak diinginkan dunia.”
Nara mengerutkan dahi. “Siapa itu?”
Alvin menatapnya. “Itu aku. Waktu kecil. Di tempat yang dulu menyebutku… rusak.”
Nara tertegun. “Rumah sakit?”
Alvin mengangguk. “Mereka bilang aku delusional. Karena aku bisa melihat mimpi orang lain. Karena aku bicara dengan… versi diriku sendiri yang tidak berasal dari sini.”
“Dari sini?” Nara memicingkan mata. “Maksudnya?”
Alvin memalingkan wajah. “Aku tak tahu pasti. Tapi sejak koma, dunia ini menjadi rumahku. Dan aku mulai menyadari… aku lebih hidup di sini. Di realita yang tak dianggap nyata.”
Nara terdiam. Dunia yang ditunjukkan Alvin bukan sekadar mimpi. Ini adalah ingatan, trauma, dan pelarian. Tempat di mana jiwanya berlindung saat dunia menolaknya.
Tiba-tiba, tanah di bawah mereka retak. Ruangan itu mulai bergetar.
“Nara, kamu harus pergi,” kata Alvin cepat. “Dunia ini mulai menolakmu. Kamu bukan bagian dari sini.”
“Tapi aku nggak mau pergi,” jawab Nara tegas. “Kalau kamu memilih tinggal di sini, maka aku juga akan—”
“JANGAN!”
Suara Alvin menggema, keras dan mengguncang segalanya. Tapi bukan karena marah. Suaranya penuh ketakutan.
“Kalau kamu tinggal… kamu bisa lupa siapa kamu sebenarnya. Kamu bisa tersesat. Mimpi ini akan menghisapmu perlahan.”
Nara menatapnya, mata mereka bertemu.
“Tapi bukankah kamu juga sedang menunggu seseorang untuk menemukanmu?”
Air mata Alvin mengalir. “Aku menunggumu… tapi bukan untuk ikut tenggelam bersamaku. Aku menunggumu… untuk menyelamatkanku.”
Dan tiba-tiba, semuanya gelap.
—
Nara terbangun di dunia nyata. Tubuhnya lemas, kepalanya berat. Tapi di dalam dadanya… ada satu cahaya kecil yang menyala.
Alvin tak sekadar sosok dalam mimpi.
Ia adalah seseorang yang menyimpan realita lain.
Realita yang terlalu menyakitkan untuk dihadapi… dan terlalu indah untuk dilepaskan.
Kini, Nara sadar.
Bukan hanya Alvin yang perlu diselamatkan.
Tapi juga dirinya sendiri.
Sebelum dunia mimpi benar-benar menjadi rumah.
Bab 6: Sinyal dari Koma
“Beberapa jiwa tak hanya tertidur.
Mereka berteriak dalam diam, menunggu seseorang cukup berani untuk mendengarkan.”
—
Dua hari berlalu sejak malam terakhir Nara menjelajahi dunia mimpi bersama Alvin.
Ia tak berani kembali menggunakan LucidLink. Tubuhnya masih menggigil setiap kali mengingat bagaimana dunia itu nyaris menelannya, bagaimana Alvin memaksanya pergi. Tapi lebih dari itu, Nara merasa ada yang berubah.
Bukan di dirinya. Tapi… di Alvin.
Ia kembali ke rumah sakit dengan langkah cepat dan napas memburu, jantungnya berdetak begitu keras hingga hampir menutupi suara langkahnya di lorong RS Elang Utara.
Perawat di resepsionis tampak bingung saat melihat Nara datang tanpa janji. Tapi sebelum mereka bisa bertanya, Nara sudah menunjukkan ID lamanya dari proyek LucidLink.
“Aku harus melihat pasien koma tanpa identitas di Ruang Mawar 3,” katanya cepat. “Ada sesuatu yang… berubah.”
Perawat itu memandangnya ragu, tapi kemudian mengangguk.
Saat Nara masuk ke ruangan, ia nyaris terjatuh.
Monitor di samping Alvin menunjukkan gelombang otak yang aktif.
Tidak seperti biasanya.
“Dia… merespons?” Nara berbisik tak percaya.
Dokter jaga yang sedang berdiri di samping tempat tidur Alvin menoleh padanya. “Baru mulai pagi ini. Kami mendeteksi adanya lonjakan aktivitas otak yang signifikan. Tapi kami belum mengerti apa pemicunya.”
Nara menatap Alvin, yang masih terbaring tak bergerak. Tapi wajahnya… ada kedamaian yang berbeda. Seperti seseorang yang baru saja diberi harapan.
“Dia sedang mencoba berbicara,” gumam Nara. “Melalui mimpinya.”
Dokter mengangkat alis. “Kamu bilang apa?”
Namun Nara tak menjawab. Tangannya sudah menggenggam tangan Alvin, perlahan, hangat.
Dalam pikirannya, ia tahu: ini bukan kebetulan. Dunia mimpi dan dunia nyata sedang beririsan. Alvin sedang berjuang dari dalam, dan Nara adalah satu-satunya yang bisa menjembatani mereka.
Malam itu, Nara kembali memasang LucidLink. Tapi kali ini, ia tak merasa takut. Ia merasa terpanggil.
—
Ia tiba di tempat asing. Bukan taman. Bukan rumah sakit.
Melainkan ruangan penuh layar hitam dengan satu garis hijau bergerak cepat, menampilkan gelombang seperti detak jantung.
Suara Alvin menggema dari segala arah.
“Nara… aku bisa melihatmu. Aku bisa merasakanmu.”
Nara berputar. Tapi tak ada sosok Alvin. Hanya suara.
“Aku tidak tahu berapa lama aku di sini. Tapi sejak kamu datang… semuanya berubah. Aku tidak sendiri.”
Nara menahan air mata. “Aku di sini. Aku tidak akan pergi.”
Tiba-tiba layar-layar di dinding menyala. Menampilkan potongan ingatan Alvin yang belum pernah ia lihat.
Seorang wanita muda duduk di samping Alvin yang kecil, menyanyikan lagu nina bobo sambil menangis.
Suara ayah yang membentak dari balik pintu.
Alvin remaja berteriak dalam kamar isolasi, mencoba menjelaskan bahwa ia bisa masuk ke dalam mimpi orang lain.
Nara menyaksikan semuanya tanpa bisa mengalihkan pandangan. Luka-luka itu terlalu dalam. Terlalu sunyi.
Namun di antara semua layar itu, ada satu gambar yang membuat Nara terdiam.
Dirinya sendiri.
Wajah Nara. Tersenyum. Duduk di bangku taman. Tapi waktu dalam gambar itu… bertahun-tahun lalu.
Ia belum pernah bertemu Alvin. Tapi gambar itu menunjukkan sebaliknya.
Nara menggigit bibirnya. “Kenapa aku ada di ingatanmu?”
Suara Alvin terdengar lebih dekat. “Karena aku pernah melihatmu… sebelum semuanya gelap. Saat aku terbaring, aku hanya punya satu hal yang membuatku bertahan: bayanganmu.”
“Bayangan yang bahkan aku tidak tahu pernah ada,” bisik Nara.
“Karena ini bukan tentang mengenal… tapi tentang merasa.”
Tiba-tiba, cahaya terang menyilaukan. LucidLink menarik Nara keluar dari dunia itu dengan paksa. Ia terbangun, terengah-engah, dan matanya langsung menatap layar di samping tempat tidurnya.
Peringatan Sistem: Gelombang otak pasien Alvin memasuki fase sinkronisasi tinggi. Potensi pemulihan meningkat.
Dan untuk pertama kalinya…
Alvin menggerakkan jari tangannya.
Bab 7: Tersesat dalam Dirinya Sendiri
“Ada luka yang tak terlihat oleh mata,
tapi berbisik keras dalam jiwa—menyeret kita ke dalam labirin tanpa peta.”
—
Hari itu, Nara duduk di bangku rumah sakit lebih lama dari biasanya. Tangannya tak lepas dari jari Alvin yang masih kaku, tapi sesekali bergerak pelan. Seperti isyarat. Seperti salam diam dari dunia yang hampir terlupakan.
Sudah lima hari sejak Alvin menunjukkan respons fisik pertamanya. Sejak itu, aktivitas otaknya naik-turun, kadang stabil, kadang menurun drastis. Dokter menyebut ini “fenomena sadar-tidak sadar dalam koma”—fase kritis antara hidup dan menghilang.
Tapi Nara tahu, itu bukan sekadar sains. Ia bisa merasakan perubahan Alvin, karena setiap malam, dunia mimpi mereka juga berubah.
Dan malam ini, LucidLink menyambutnya dengan ketegangan sunyi yang asing.
—
Ia terbangun di tempat gelap. Sangat gelap. Tak ada suara, tak ada cahaya, hanya desir napasnya sendiri yang terdengar mengambang.
“Nara?”
Suaranya.
Tapi kali ini, suara itu terdengar… retak.
Ia berputar, mencari sumber suara. Namun tak ada apa-apa kecuali bayangannya sendiri. Lalu satu per satu, dinding muncul dari kehampaan, membentuk ruangan sempit, pengap, seakan Nara sedang masuk ke dalam…
Alvin.
Ia menyadari ini bukan dunia mimpi biasa. Ini adalah alam bawah sadar Alvin. Paling dalam. Paling kelam.
Tiba-tiba, di depannya, muncul cermin. Tapi saat Nara menatapnya, yang ia lihat bukan dirinya.
Yang ia lihat adalah Alvin—versi kecilnya—duduk terisak, tubuhnya gemetar sambil memeluk lutut.
“Kenapa kamu di sini?” Nara bertanya lirih.
“Aku… nggak tahu harus ke mana lagi,” jawab anak itu. Suaranya kecil, namun penuh duka. “Semua orang ingin aku diam. Semua orang bilang aku bohong.”
Nara berlutut, mencoba menyentuhnya, tapi tangannya menembus tubuh itu seperti bayangan.
“Ini bukan salahmu,” ucapnya pelan. “Apa pun yang mereka katakan, kamu tidak rusak. Kamu hanya… istimewa.”
Cahaya kecil muncul di langit-langit ruangan itu. Tapi tak lama, suara jeritan menggema dari balik dinding.
“Aku nggak mau ingat! Jangan paksa aku ingat!!”
Nara berdiri. “Alvin?”
Dinding-dinding mulai runtuh. Ruangan itu berubah menjadi lorong kaca, setiap sisinya menampilkan potongan-potongan memori—tapi kali ini bukan hanya milik Alvin.
Tapi milik Nara.
Potongan masa kecilnya yang terlupakan: duduk sendirian di bangku taman, berbicara dengan seseorang yang tak terlihat.
Rekaman suara dari masa lalu: “Dia bilang namanya Alvin. Tapi nggak ada yang bisa lihat dia, Nak.”
Selembar catatan psikologis: “Anak mengalami halusinasi kronis. Diberi terapi visualisasi.”
Nara terhuyung. Napasnya tercekat.
Dia… mengenal Alvin jauh sebelum LucidLink.
“Kenapa aku lupa semua ini?” bisiknya.
Suara Alvin muncul di belakangnya. Tapi bukan dari dunia mimpi.
Dari pikirannya sendiri.
“Kita dulu sering bertemu, Nara. Kamu satu-satunya yang mau mendengarkanku. Tapi waktu memisahkan kita. Dan ketika aku terjatuh… aku mencarimu. Dalam mimpi.”
Air mata Nara mengalir. Luka dalam jiwanya yang terkubur mulai terbuka. Bukan hanya Alvin yang hilang dalam dunia mimpi. Ia juga.
“Kenapa kita dihubungkan lagi sekarang?” tanya Nara.
Alvin berdiri di hadapannya, kali ini sebagai dirinya yang sekarang. Mata mereka bertemu.
“Karena mungkin… ini satu-satunya cara aku bisa pulang. Dan satu-satunya cara kamu bisa mengingat siapa kamu sebenarnya.”
—
Nara terbangun dengan tubuh lelah, tapi hati terasa lebih ringan.
Di sampingnya, Alvin masih terbaring.
Namun kali ini… ada satu air mata mengalir di sudut matanya yang tertutup.
Bab 8: Pecahan Jiwa yang Terpisah
“Terkadang, jiwa tak pecah karena luka…
melainkan karena terlalu lama menahan sesuatu yang tidak bisa disuarakan.”
—
LucidLink tak pernah menunjukkan anomali seperti ini sebelumnya.
Semenjak malam Nara masuk terlalu dalam ke dalam memori Alvin, alat itu mengirimkan peringatan konstan ke sistem pusat:
“Sinkronisasi emosi melewati batas aman.”
“Potensi penyatuan memori antara subjek dan host meningkat.”
Tapi Nara tak peduli.
Karena kini ia tahu: dirinya dan Alvin tidak sekadar terhubung karena alat itu. Mereka pernah terhubung jauh sebelum semua ini dimulai.
Kenangan masa kecil Nara yang muncul kembali—tentang seorang teman imajiner bernama Alvin—bukan khayalan. Ia adalah bagian dari kisah yang hilang.
Dan untuk menyelamatkan Alvin, ia harus menyatukan seluruh bagian jiwa yang tercerai-berai.
—
Malam itu, Nara memasuki LucidLink dengan napas yang dalam dan hati yang tenang. Dunia yang ia masuki kini berbeda dari sebelumnya—bukan taman, bukan lorong rumah sakit, bukan ruang gelap. Kali ini, ia berada di dalam ruang tanpa dinding. Segalanya melayang. Pecahan kaca di sekelilingnya memantulkan gambar-gambar seperti serpihan kenangan. Beberapa dari Alvin. Beberapa dari dirinya.
“Alvin?” Nara memanggil.
Tapi tak ada jawaban. Hanya gema langkah kakinya sendiri.
Ia melangkah ke arah salah satu pecahan kaca yang besar. Di dalamnya, ia melihat Alvin duduk di ruang terapi, tubuhnya lemas, tatapannya kosong. Suara seseorang terdengar samar di balik gambar:
“Kamu harus melupakan semuanya, Alvin. Dunia ini tak bisa menerima keanehanmu.”
Nara berjalan ke pecahan lainnya. Di sana, terlihat dirinya—usia sembilan tahun—menangis sambil berkata:
“Tapi aku nggak bohong, Bu. Alvin itu nyata. Dia temanku…”
Semua gambar itu seperti labirin. Penuh rasa sakit. Penuh pengingkaran.
Tiba-tiba, ia melihat satu pecahan lebih gelap dari yang lain. Hampir hitam. Nara mendekat… dan tubuhnya langsung tertarik masuk ke dalamnya.
—
Ia terjatuh di ruangan yang dingin dan beku. Cahaya putih kebiruan memancar dari atas, menyinari sosok yang berdiri di tengah ruangan.
Bukan Alvin.
Melainkan bayangan Alvin. Versi dirinya yang lebih tua, lebih keras, dan penuh amarah.
“Kamu tidak seharusnya di sini,” katanya tajam.
Nara mundur setapak. “Kamu bukan Alvin.”
“Aku bagian yang dia buang. Bagian yang terlalu marah, terlalu hancur untuk diselamatkan.”
“Kalau begitu… biarkan aku menyatukan kalian kembali. Dia butuh kamu.”
Bayangan itu tertawa pendek. Pahit. “Dia mengurungku di sini karena aku mengingat semua yang ingin dia lupakan. Termasuk kamu.”
Nara terdiam.
“Aku bagian yang tahu kamu pergi, Nara,” lanjutnya. “Waktu kamu dibawa dari rumah itu. Waktu mereka bilang kamu hanya berhalusinasi. Dia menunggumu—bertahun-tahun—dan kamu tidak pernah kembali.”
Air mata mengalir di pipi Nara. “Aku… aku lupa.”
“Dan sekarang kamu datang lagi, ingin menyelamatkan sesuatu yang kamu biarkan hancur?”
“Tidak,” Nara berkata pelan tapi pasti. “Aku datang bukan karena merasa bersalah. Tapi karena aku masih peduli. Karena aku ingin mengingat. Karena aku ingin dia utuh.”
Bayangan itu menatapnya lama.
Dan perlahan, bentuknya berubah. Menyusut. Melebur.
Menjadi Alvin. Sosok Alvin yang ia kenal. Sosok Alvin yang selama ini hilang.
Ia menatap Nara, matanya basah.
“Kalau kamu masih mau… temani aku kembali.”
Nara mengangguk. “Selalu.”
Tiba-tiba, dunia mulai runtuh di sekeliling mereka. Pecahan-pecahan kaca menyatu. Gema suara berganti dengan keheningan tenang.
Dan di dunia nyata…
Monitor di samping tempat tidur Alvin berbunyi keras.
Gelombang otaknya melonjak.
Detak jantungnya kembali stabil.
Perawat panik memanggil dokter. Tapi hanya satu hal yang terjadi:
Alvin membuka matanya.
Dan meski samar, suaranya terdengar serak…
Satu kata pertama yang ia ucapkan adalah:
“Nara…”
Dengan senang hati, Elma. Ini dia kelanjutan dari novel “Di Antara Dua Realita”:
Bab 9: Jika Aku Harus Menghilang
“Cinta sejati bukan tentang siapa yang bisa tinggal paling lama,
tapi siapa yang rela pergi… agar yang dicintai tetap hidup.”
—
Kamar Rumah Sakit itu sepi.
Tapi ada keheningan yang indah ketika Nara masuk dan menemukan Alvin telah bangun—terjaga dengan mata terbuka, menatap langit-langit seperti baru pertama kali melihat dunia.
Wajahnya pucat, tubuhnya masih lemah, namun sorot matanya… hidup. Penuh rasa. Penuh memori yang tak bisa dijelaskan dengan logika.
Ia menoleh pelan ke arah Nara, dan saat mata mereka bertemu, sesuatu dalam diri Nara seolah pecah.
“Alvin…”
Senyuman lemah itu muncul. “Kamu… nyata.”
Nara menahan napas, lalu tertawa kecil di antara air mata. “Kamu juga.”
Perawat segera masuk dan memeriksa kondisinya, sementara dokter menyebutkan bahwa Alvin menunjukkan tanda pemulihan langka. Tapi mereka tidak tahu—ini bukan sekadar keajaiban medis.
Ini adalah panggilan jiwa.
—
Dua hari kemudian, Alvin mulai bisa duduk. Ia belum banyak bicara, tapi di setiap tatapan, Nara bisa merasakan ada banyak hal yang ingin ia sampaikan. Namun ketika mereka akhirnya duduk berdua di taman rumah sakit—di bawah pohon besar yang mengingatkan mereka pada dunia mimpi—Alvin mulai membuka suaranya.
“Aku… ingat semuanya, Nar.”
Nara menoleh. “Semuanya?”
Alvin mengangguk. “Kita. Masa kecil. Saat kamu dibawa pergi. Saat mereka bilang aku harus melupakanmu. Tapi aku nggak bisa. Karena sebagian dari aku… tertinggal padamu.”
Nara menggenggam tangannya. “Aku juga terluka, Al. Aku dilatih untuk melupakanmu, untuk percaya kamu hanya imajinasi. Tapi kamu bukan mimpi. Kamu bagian dari aku. Dan saat aku masuk ke dalam duniamu… aku akhirnya merasa utuh.”
Namun Alvin menunduk. Tatapannya berubah. Ada bayangan mendung di matanya.
“Aku harus memberitahumu sesuatu.”
Nara menahan napas. “Apa?”
“Saat aku terbaring koma… LucidLink digunakan pada tubuhku tanpa izin. Mereka bilang ingin menyelamatkan. Tapi sebenarnya, mereka ingin mengunci aku dalam dunia mimpi. Karena aku… berbeda. Karena aku bisa menjelajah pikiran orang lain.”
Nara mematung.
“Dan aku… sempat hampir menyerah. Aku ingin tetap tinggal di sana. Dunia itu tidak menyakitkan seperti dunia ini. Tapi satu-satunya alasan aku kembali…”
Ia menatap mata Nara. Dalam. Penuh rasa.
“Karena kamu. Karena aku tahu kamu datang untuk menarikku pulang.”
Nara menggigit bibirnya. Tangannya bergetar. Tapi kemudian Alvin berkata dengan suara yang hampir tak terdengar:
“Tapi Nar… jika dunia mencoba menarikku lagi—jika suatu saat aku harus menghilang…”
“Jangan katakan itu.”
“Dengarkan aku dulu…”
Nara menggenggam wajahnya. “Aku nggak mau kamu pergi lagi. Aku nggak mau kehilangan kamu dua kali.”
Alvin menutup matanya, menyandarkan keningnya pada Nara.
“Aku juga nggak mau. Tapi kalau aku harus menghilang, maka biarkan aku pergi dengan satu hal: kamu bahagia.”
Air mata jatuh, tanpa bisa dicegah. Dunia yang mereka bangun bersama tidak akan mudah disatukan di dunia nyata. Ada luka, ada ancaman, ada pihak-pihak yang masih memburu keanehan Alvin.
Namun Nara berbisik:
“Kalau kamu harus menghilang… maka aku akan mencarimu. Lagi dan lagi. Di dunia nyata, di dunia mimpi, atau bahkan di tempat di antara keduanya.”
Dan malam itu, untuk pertama kalinya, mereka bermimpi bersama—bukan dalam dunia mimpi yang terpecah, tapi dalam sebuah taman yang tenang.
Tempat di mana cinta tak lagi dibatasi oleh realita.
Bab 10: Di Antara Dua Realita
“Ada cinta yang tak harus tinggal,
cukup menjadi alasan untuk terus berjalan—meski di dunia yang tak sama.”
—
Hari-hari berlalu seperti helai daun jatuh—tenang, perlahan, dan meninggalkan jejak.
Alvin semakin pulih secara fisik. Tapi pikirannya masih terbelah. Kadang ia tampak hadir penuh di dunia nyata, menatap matahari pagi dengan senyum hangat. Tapi di lain waktu, sorot matanya kosong, seperti jiwanya teringat pada tempat yang pernah menjadi satu-satunya rumah.
Dunia mimpi.
Nara menemaninya setiap hari. Mereka bicara, mereka tertawa, mereka duduk bersama dalam diam. Tapi keduanya tahu—waktu mereka terbatas.
LucidLink mulai rusak. Sistemnya mulai kacau. Teknologi yang menghubungkan mereka kini menjadi ancaman. Peneliti dari pusat meminta Nara dan Alvin berhenti menggunakannya. Sinkronisasi yang terlalu dalam bisa membuat batas realita hancur.
Suatu malam, Nara bermimpi.
Tapi bukan mimpi biasa.
Ia berada di taman itu lagi. Senja yang lembut. Bangku kayu. Pohon-pohon tua yang mendesah lirih.
Dan Alvin.
Tapi kali ini, ia mengenakan pakaian putih bersih. Wajahnya damai. Matanya… tidak lagi bergejolak.
“Kamu datang lagi,” katanya.
Nara mengangguk. “Kamu juga.”
Mereka duduk berdampingan. Tak ada kata. Hanya detak waktu yang terasa lambat.
“Aku harus pergi, Nar,” kata Alvin akhirnya. “Bukan karena aku ingin. Tapi karena sekarang… aku bisa.”
“Pergi ke mana?”
“Ke tempat di mana aku utuh. Di mana jiwaku tidak terpecah antara realita dan ilusi. Tempat yang mungkin bukan di dunia ini… tapi juga bukan hanya mimpi.”
Nara menunduk. Dadanya perih.
“Aku takut,” bisiknya.
Alvin menggenggam tangannya. “Aku juga. Tapi kamu pernah menarikku kembali dari kehampaan. Sekarang, biarkan aku melangkah. Dan kamu… lanjutkan hidupmu.”
Nara tak menjawab. Ia hanya menangis—diam, tapi dalam.
Sebelum cahaya mulai menyelimuti taman itu, Alvin berbisik:
“Kalau suatu hari kamu mendengar suara di dalam hatimu yang terasa seperti aku… mungkin itu aku, menyapamu.”
Nara menatapnya. “Aku akan mencarimu. Di setiap mimpi.”
Dan Alvin tersenyum. “Maka aku akan selalu ada… di sana.”
Cahaya memudar. Taman menghilang.
Dan Nara terbangun.
—
Kamar rumah sakit kosong.
Alvin tidak ada di sana.
Dokter bilang, gelombang otaknya menghilang begitu saja—tidak mati, tidak koma. Hanya… hilang.
Tidak ada penjelasan medis.
Tidak ada tanda.
Hanya selembar kertas di meja samping tempat tidur.
Tulisan tangan Alvin.
“Terima kasih sudah membangunkanku, Nara.
Kini giliranmu untuk hidup.
—A.”
—
Tiga tahun kemudian, Nara menjadi peneliti di bidang neurosains dan psikologi kesadaran.
Ia masih menggunakan LucidLink, meski versi yang lebih aman. Ia meneliti mimpi, alam bawah sadar, dan… cinta yang tidak selalu hidup di dunia yang sama.
Setiap malam, ia tetap bermimpi.
Dan kadang, di sebuah taman senja, di antara pohon-pohon yang diam, ia melihat sosok Alvin di kejauhan.
Tak pernah cukup dekat untuk disentuh.
Tapi cukup dekat untuk tahu…
bahwa cinta itu masih hidup.
Di antara dua realita.
—
TAMAT
Novel ini ditulis oleh Evi Fauzi, Penulis dari Novel Singkat. Baca juga novel romantis, petualangan dan fiksi ilmiah lainnya.