Novel Singkat Buku yang Menulis Masa Depan
Novel Singkat Buku yang Menulis Masa Depan

Novel Singkat: Buku yang Menulis Masa Depan

Arven, seorang penulis muda yang bekerja paruh waktu sebagai penjaga toko buku kecil, menemukan sebuah buku tua misterius di perpustakaan tersembunyi. Buku itu memiliki kekuatan luar biasa—setiap kata yang ia tulis di dalamnya akan menjadi kenyataan. Hidupnya berubah total, hingga ia menulis tentang sosok wanita bernama Elira, yang akan datang dan mengubah takdirnya.

Namun, saat Elira benar-benar muncul, semuanya menjadi lebih rumit. Ia sadar bahwa hidupnya hanyalah hasil dari tulisan Arven. Elira ingin bebas, ingin menulis takdirnya sendiri. Tapi jika ia melakukannya, semua yang pernah ditulis—termasuk Arven—akan menghilang.

Dalam pertarungan antara cinta, takdir, dan kebebasan, Arven harus memilih: mempertahankan dirinya atau membiarkan Elira menjalani hidupnya sendiri. Sebuah kisah tentang cinta yang tak seharusnya ada, namun tak pernah benar-benar hilang.

Bab 1: Kata Pertama di Halaman Kosong

Langit mendung menggantung rendah di atas kota tua itu, dan aroma hujan yang menggoda menguar dari bebatuan basah trotoar. Di antara deretan bangunan tua yang nyaris dilupakan zaman, berdirilah sebuah perpustakaan yang tampaknya enggan dikenali siapa pun—Perpustakaan Aeturnum. Tidak tercantum di peta kota. Tidak pernah disebut di berita. Tapi hari itu, langkah Arven mengarah ke sana, seperti dituntun oleh sesuatu yang tak kasatmata.

Arven adalah penulis muda yang sudah hampir menyerah pada mimpinya. Tiga novel ditolak penerbit. Kehidupan sehari-harinya tak lebih dari tumpukan kopi dingin, deadline yang tak kunjung selesai, dan dinding kamar kos yang terlalu sering menatapnya balik dalam keheningan. Ia kehilangan kepercayaan diri, kehilangan arah, kehilangan makna.

Namun sore itu, ketika ia tersesat di gang sempit usai berteduh dari hujan, matanya menangkap pintu kayu lapuk dengan ukiran kuno berbentuk pena dan bintang. Rasa penasaran mengalahkan kewarasannya.

Saat masuk, debu dan aroma lemari tua menyambutnya. Tidak ada petugas, tidak ada suara. Hanya rak-rak tinggi yang menjulang sampai langit-langit dan lorong-lorong gelap yang seperti menyimpan rahasia dari abad lampau. Tapi di tengah semua itu, satu buku mencolok di atas meja baca. Tak berdebu. Tak bertanda.

Kulitnya hitam pekat, tanpa judul. Hanya ada satu kalimat di halaman pertama: “Tulis, dan semuanya akan berubah.”

Arven terkekeh kecil. Ia mengira ini semacam proyek seni dari mahasiswa bosan atau jebakan prank yang nyasar ke dunia nyata. Tapi entah kenapa, jemarinya menyentuh pena yang ada di sebelah buku itu. Seolah tangannya bergerak sendiri, ia menulis:

“Besok pagi, aku akan menemukan uang satu juta di laci mejaku.”

Selesai menulis, ia menggelengkan kepala, lalu tertawa kecil. “Ini gila.” Ia menutup buku itu dan membawanya pulang diam-diam, tanpa tahu mengapa ia begitu yakin bahwa tidak akan ada yang mencarinya.


Keesokan paginya, Arven membuka lacinya dengan setengah bercanda. Dan di sanalah… selembar amplop berisi uang satu juta rupiah, disusun rapi seperti baru ditarik dari ATM. Tidak ada catatan. Tidak ada penjelasan.

Ia terpaku. Dunia seolah berhenti berputar sejenak.

Awalnya, ia mencoba mencari logika. Mungkin teman sekamar, mungkin prank ulang tahun yang terlalu dini. Tapi ia tinggal sendiri. Tidak ada yang tahu tentang tulisan itu. Tidak ada kamera tersembunyi. Tidak ada apapun—kecuali satu hal yang tak terbantahkan.

Apa yang ia tulis menjadi kenyataan.

Malamnya, Arven duduk lagi di depan buku itu. Tangannya gemetar tapi matanya berbinar. Ia menulis hal-hal kecil: kopi favorit yang tiba-tiba tersedia di minimarket dekat kos, email dari penerbit yang meminta draft naskahnya, bahkan ramalan cuaca yang berubah sesuai tulisannya.

Tapi ada satu hal yang tak bisa ia tulis… cinta.

Ia pernah mencoba. Menulis tentang gadis impiannya, tapi tidak ada yang terjadi.

Sampai malam itu… saat kesepian menyeruak terlalu dalam dan kata-kata mengalir tanpa ia sadari.

“Seorang wanita akan datang ke dalam hidupku. Bukan karena aku menulisnya, tapi karena dia ditakdirkan untuk menuliskan ulang hidupku.”

Ia menatap kalimat itu lama. Hatinya berdebar aneh. Kalimat itu terasa… tidak seperti tulisannya sendiri. Seolah buku itu yang memandunya menulis. Seolah buku itu… hidup.

Dan dari balik jendela yang tertutup tirai tipis, sesosok bayangan berdiri diam di bawah cahaya lampu jalan, menatap ke arahnya.

Bersama bayangan itu, takdir mulai berubah.

Bab 2: Hidup yang Ditulis Ulang

Arven tak bisa tidur malam itu. Bayangan sesosok siluet yang berdiri diam di bawah lampu jalan terus menari di benaknya. Saat ia membuka tirai untuk melihat lebih jelas, bayangan itu sudah lenyap—seperti ilusi atau… peringatan.

Pagi harinya, dunia tetap berjalan seperti biasa. Namun bagi Arven, segalanya terasa berbeda. Ia berjalan dengan rasa percaya diri yang tak ia sadari sebelumnya. Di kepalanya, hanya ada satu pikiran: aku bisa menulis masa depan.

Ia mulai bereksperimen dengan hal-hal sederhana. Menulis bahwa ojek online akan datang dalam satu menit—dan benar saja, satu notifikasi muncul tepat setelah ia menulisnya. Ia menulis bahwa penjaga warteg akan memberinya makanan gratis karena alasan misterius—dan si ibu warteg tersenyum berkata, “Kamu pembeli ke-100 hari ini, gratis ya.”

Arven tertawa bahagia. Ini nyata. Aneh, tapi nyata.

Ia mulai menulis lebih berani.

“Naskahku diterima oleh penerbit besar, dan mereka ingin mencetaknya jadi trilogi.”

Tiga hari kemudian, email dari sebuah penerbit terkenal masuk. Mereka mengaku menemukan naskahnya secara tak sengaja—padahal Arven belum pernah mengirimkannya. Ia terdiam. Dunia menari sesuai tulisannya.

Namun, di balik semua itu, Arven merasakan kehampaan yang lebih dalam dari sebelumnya. Ia bisa menulis segalanya, tapi tak satupun dari semua yang terjadi terasa… asli. Spontan. Tanpa arahan.


Sore itu, hujan turun perlahan. Arven menatap keluar jendela dari meja kerjanya. Buku hitam itu terbuka, dan satu kalimat yang ia tulis malam sebelumnya masih tertinggal di sana:
“Seorang wanita akan datang ke dalam hidupku…”

Dan saat itulah, pintu kamar kosnya diketuk.

Tok. Tok.

Degup jantung Arven melambat, lalu berpacu cepat. Ia mendekati pintu dan membukanya dengan rasa was-was yang tak bisa dijelaskan. Di hadapannya berdiri seorang wanita.

Basah kuyup. Nafasnya sedikit terengah, dan matanya yang tajam seolah menelanjangi seluruh isi pikirannya.

“Aku… bisa minta berteduh sebentar?” tanyanya pelan.

Arven tertegun. Wajah wanita itu persis seperti yang ia bayangkan ketika menulis tentang Elira. Wajah yang belum pernah ia lihat di dunia nyata, tapi begitu familiar seperti kenangan lama.

“Masuk aja,” jawab Arven setelah beberapa detik diam.

Wanita itu duduk di kursi kayu dekat rak buku. Pandangannya tajam, menyapu seisi ruangan. Ia tidak tampak bingung, tidak gugup. Justru seolah… tahu.

“Namaku Elira,” katanya pelan, sambil mengeringkan rambutnya dengan handuk kecil.

Arven nyaris menjatuhkan cangkir kopinya. Elira. Nama itu tidak mungkin kebetulan.

“Kamu tinggal dekat sini?” tanya Arven berusaha netral.

Elira menggeleng. “Aku nggak yakin aku dari mana sebenarnya. Tapi aku tahu aku harus ke sini.”

“Kenapa?”

“Karena ada sesuatu yang perlu aku temukan.”

Arven merasa udara di kamar berubah dingin. Detak jarum jam terdengar nyaring.

Dan ketika Elira berdiri, matanya menatap buku hitam yang terbuka di meja. Bibirnya bergerak pelan, seperti membaca:

“Seorang wanita akan datang ke dalam hidupku…”

Ia menoleh, menatap Arven.

“Apa ini… tentangku?”

Bab 3: Wanita dalam Kalimat yang Hilang

“Elira,” gumam Arven pelan, seolah mengeja nama itu untuk pertama kalinya… dan terakhir kali.

Dia duduk berhadapan dengan wanita yang seharusnya hanya ada dalam imajinasinya. Dalam tulisan. Dalam dunia yang tidak nyata.

Tapi kini, Elira di sini. Bernapas. Bergerak. Hidup.

Arven mencoba tersenyum, menyembunyikan keterkejutannya. Tapi Elira tidak buta terhadap gelombang kecanggungan di udara.

“Aku tahu kamu bingung,” kata Elira sambil menatap buku hitam di meja. “Tapi aku lebih bingung lagi.”

“Kamu ingat dari mana kamu datang?” Arven memberanikan diri bertanya, mencoba mencari celah di antara logika dan keajaiban.

Elira menggeleng pelan, tapi sorot matanya tajam. “Aku bangun tadi pagi… di sebuah taman yang bahkan tak ada namanya. Seperti… dunia ini menyelipkanku begitu saja, tiba-tiba.”

Arven mengingat setiap kata yang ia tulis. Ia tak pernah menuliskan di mana Elira akan muncul. Hanya bahwa dia akan datang, dan mengubah segalanya. Tapi taman tanpa nama? Itu bukan dari dirinya.

Sesuatu—atau seseorang—telah mulai ikut menulis.


Malam itu, Elira tertidur di sofa kecil milik Arven, dibalut selimut tipis. Arven duduk tak jauh darinya, menatap wajah damai itu, wajah yang ia ciptakan dari pikiran dan keinginan terdalamnya.

Namun, pertanyaan tak henti menghantui: Jika aku yang menulisnya, kenapa dia bisa berpikir dan merasa sendiri? Kenapa dia tidak seperti karakter lain yang kutulis?

Dan lebih dari itu… kenapa aku merasa seolah dia punya sesuatu yang tak bisa kutendalikan?

Ia membuka buku hitam itu lagi. Mencoba membaca ulang semua yang ia tulis. Tapi… satu kalimat yang seharusnya ada, menghilang.

“Ia akan tersenyum padaku untuk pertama kalinya, dan dunia terasa lebih hangat.”

Kalimat itu tidak ada. Hilang. Terhapus begitu saja, tanpa bekas.

Dan saat ia membuka halaman terakhir… ada tulisan baru.

“Kau tak lagi menulis sendirian.”

Arven membeku.

Tangannya gemetar saat menutup buku itu. Ia menoleh ke arah Elira—dan untuk sesaat, ia melihat sesuatu yang berbeda.

Bayangan samar… seperti aura halus berkilau di sekeliling tubuh Elira. Hanya satu detik, tapi cukup untuk membuat hatinya tenggelam dalam gelombang pertanyaan baru.

Siapa sebenarnya Elira?

Dan lebih penting… apakah ia benar-benar ciptaannya?


Keesokan harinya, saat Elira bangun, ia langsung berkata, “Aku bermimpi tentang pena emas.”

Arven mengerutkan dahi. “Pena emas?”

“Pena itu berada di sebuah ruangan gelap… dan ada seseorang di sana, tapi wajahnya kabur. Ia bilang aku harus menulis takdirku sendiri sebelum semuanya terlambat.”

“Elira… kamu tahu kamu berasal dari tulisan?”

Elira menatapnya dalam diam. Lalu menjawab lirih, “Aku tidak tahu bagaimana caranya aku tahu. Tapi sejak pertama kali aku melihat buku itu… aku sadar. Hidupku ditulis oleh orang lain.”

“Dan kamu ingin bebas?” bisik Arven.

Elira hanya mengangguk. Perlahan.

Lalu ia menatap mata Arven dengan tatapan paling manusiawi yang pernah dilihat Arven dalam hidupnya.

“Aku ingin hidup, Arven. Bukan hanya menjadi karakter di halaman seseorang.”

Dan saat itulah… Arven tahu.

Apa pun yang terjadi selanjutnya, hidupnya tak akan pernah sama lagi.

Bab 4: Elira yang Nyata

Hujan kembali turun malam itu, seperti sebuah pertanda bahwa langit pun ikut gelisah. Arven duduk di dekat jendela, memandangi tetesan air yang meluncur pelan di balik kaca. Di belakangnya, Elira masih membaca buku hitam itu—membolak-balik halaman seperti seseorang yang sedang mencoba membaca ulang masa lalunya.

“Aku tahu semua ini aneh,” gumam Arven, suaranya nyaris tenggelam oleh gemuruh langit. “Tapi kau tahu… aku nggak pernah menyangka akan menulis sesuatu yang jadi hidup. Terutama… kamu.”

Elira tidak menjawab. Tangannya berhenti pada sebuah halaman kosong. Matanya menatap kosong ke kertas yang belum terisi, lalu ia berkata dengan nada tenang, tapi mengguncang:

“Aku bisa menulis di buku ini.”

Arven menoleh, terkejut. “Apa?”

Elira meraih pena yang selama ini hanya digunakan Arven, dan dengan tangan gemetar, ia menuliskan satu kalimat:
“Hujan berhenti.”

Dan seolah dunia menuruti… hujan benar-benar berhenti.

Sunyi. Hening. Seolah langit tercekik oleh kata-kata.

Arven melangkah pelan ke arahnya. “Bagaimana kamu bisa…?”

“Aku tidak tahu. Tapi sejak kamu menulis tentangku, aku merasa… ada bagian dari kekuatan itu yang menempel padaku. Seperti aku bukan hanya ciptaan, tapi… bagian dari buku itu juga.”

Ia menatap Arven lurus. “Dan aku yakin, aku bukan yang pertama.”

Arven membeku. “Maksudmu… sudah ada yang lain?”

Elira mengangguk. “Aku punya ingatan yang aneh, seperti bayangan kabur. Seseorang… pria muda… menulis tentang sebuah kota yang tak pernah tidur. Dan semua penduduknya tahu mereka hanya tokoh dalam cerita. Tapi buku itu… menghilang. Kota itu… lenyap.”

Arven mundur satu langkah. “Jadi kalau kamu mengubah tulisan… dunia lain bisa ikut hancur?”

“Elira…” Ia menatap matanya dalam. “Kalau semua ini berbahaya, kenapa kamu tetap di sini?”

Elira menarik napas dalam-dalam. Lalu ia berkata:

“Karena aku ingin tahu… apakah cinta yang ditulis bisa menjadi cinta yang nyata.”

Jantung Arven seolah berhenti berdetak.

Ia tak tahu harus menjawab apa. Elira… bertanya hal yang selama ini juga menghantuinya. Apakah perasaan ini nyata? Atau hanya hasil dari kalimat manis yang ia rangkai? Apakah Elira mencintainya karena benar-benar mencintainya? Atau karena ia pernah menulis:
“Dia akan jatuh cinta padaku.”

Dan lebih dari itu…

Jika cinta mereka nyata, lalu siapa yang sebenarnya menulis takdir mereka?


Malam semakin larut, dan Elira sudah tertidur di kamarnya. Arven duduk sendirian di ruang kerja, buku itu terbuka di depannya. Ia menulis dengan tangan gemetar:

“Elira mencintaiku karena dia memilih, bukan karena aku menulisnya.”

Namun… kata-kata itu menghilang begitu saja. Terhapus. Ditelan halaman.

Dan muncul tulisan baru… bukan dari tangannya:

“Perasaan tak bisa dipaksakan. Tapi cinta sejati… selalu memilih untuk tinggal.”

Arven menatap halaman itu, dan untuk pertama kalinya, ia merasa… bukan lagi pengendali dari kisah ini.

Mungkin, sekarang giliran Elira yang menulis.

Bab 5: Kutukan Sang Penulis

Hari-hari berikutnya berjalan dalam kabut ketegangan yang tak kasatmata.

Arven dan Elira mulai hidup berdampingan, seperti sepasang manusia yang dipertemukan secara takdir—atau mungkin, secara paksa. Tapi di balik setiap senyum yang mereka lemparkan, ada rasa curiga yang tak bisa disembunyikan.

Arven sering menangkap Elira terjaga di malam hari, menatap buku hitam itu dalam diam. Kadang ia menulis sesuatu diam-diam, lalu menghapusnya cepat-cepat. Dan Arven, meski tak menginterogasi, tahu… sesuatu sedang berubah dalam diri Elira.

Suatu malam, Arven terbangun karena suara bisikan. Ia bangkit pelan dari tempat tidur dan mengikuti suara itu ke ruang kerja. Buku itu terbuka di meja, halaman-halamannya membalik sendiri. Angin dingin berhembus padahal semua jendela tertutup.

Satu halaman berhenti terbuka, dan di sana, tertulis dengan tinta merah gelap:

“Yang menulis tak akan bisa mencintai tanpa kehilangan. Yang dicipta tak bisa bebas tanpa menghancurkan.”

Arven membeku. Kalimat itu bukan miliknya, bukan milik Elira. Lalu… milik siapa?

“Buku itu… mengingat semua penulisnya,” suara Elira terdengar pelan dari balik pintu.

Arven berbalik. Elira berdiri di sana, rambutnya terurai, wajahnya letih namun matanya tajam—seolah baru kembali dari tempat yang jauh.

“Aku pergi ke dalam buku,” katanya lirih. “Bukan secara fisik, tapi lewat mimpi. Setiap malam. Aku melihat jejak mereka yang pernah menulis sebelumnya.”

“Siapa mereka?” bisik Arven.

“Penulis yang mencoba mengendalikan dunia. Mereka menulis kekayaan, kekuasaan… dan cinta. Tapi semuanya berakhir hancur. Dunia-dunia yang mereka ciptakan menolak untuk dikendalikan terlalu lama. Dan saat itu terjadi, semua yang mereka tulis… menghilang. Seolah tak pernah ada.”

Arven merasa perutnya mual.

“Termasuk orang-orang yang mereka cintai,” tambah Elira, nyaris tak terdengar.


Esoknya, Arven menemukan sebuah amplop tua terselip di balik halaman belakang buku. Di dalamnya, secarik surat dari penulis sebelum dirinya:

“Jika kau membaca ini, maka kau telah melangkah terlalu jauh. Aku pernah menulis wanita yang sempurna. Ia juga sadar, seperti Elira. Aku mencintainya, dan ia mencintaiku. Tapi saat ia menulis keinginannya sendiri… dunia kami mulai runtuh. Aku mencoba menghentikannya. Tapi semakin aku menulis ulang, semakin ia terhapus. Pada akhirnya… hanya satu yang bisa memilih: cinta atau kendali.”

Arven menutup surat itu dengan tangan gemetar. Ia tahu… ia tak bisa memiliki keduanya.

Elira masuk ke ruangan, wajahnya tenang, tapi dalam tatapannya ada badai.

“Aku ingin menulis kisahku sendiri, Arven,” katanya. “Aku tidak ingin jadi boneka yang hanya hidup karena kamu menulis keberadaanku.”

Arven menatapnya, dan untuk pertama kalinya… ia merasa takut kehilangannya.

“Elira… kalau kamu menulis ulang takdirmu, kamu bisa menghapus semua ini. Kita. Kebahagiaan kita.”

“Lalu kamu mau aku tetap tinggal di dunia ini, mencintaimu hanya karena kamu menuliskannya?”

Diam.

Sunyi yang menyakitkan.

Arven tahu jawaban itu lebih buruk daripada apapun.


Malam itu, Elira menulis satu kalimat:

“Aku ingin memilih hidupku sendiri, meski harus kehilangan segalanya.”

Dan perlahan… satu demi satu hal yang pernah ditulis Arven mulai memudar. Uang yang ia temukan dulu… hilang. Email dari penerbit? Tak lagi ada. Bahkan beberapa buku yang ia tulis… kembali menjadi naskah kosong.

Arven terduduk di lantai. Dunia yang ia bangun dengan pena mulai retak, dan satu-satunya yang bisa ia lakukan hanyalah menatap perempuan yang ia cintai… pergi menjauh dari takdir yang ia tulis.

Dan saat ia hendak menutup buku itu untuk terakhir kalinya, halaman terakhir menampilkan kalimat baru:

“Cinta sejati adalah saat kau membiarkannya memilih, walau kau harus kehilangan semuanya.”

Air mata Arven jatuh di atas tinta yang belum kering.

Dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya… ia merasa benar-benar hidup.

Bab 6: Romansa yang Bertarung dengan Takdir

Dunia yang dulu terasa hangat kini mulai berubah.
Warung langganan Arven tutup secara misterius. Toko buku tempat ia biasa menulis dan mencari inspirasi seolah tak pernah ada. Bahkan naskah-naskah yang pernah ia cetak, kini hanya lembar kosong yang tak bisa diisi. Semua jejak tulisan yang pernah ia buat… lenyap.

Namun yang paling menyesakkan adalah ini: Elira masih ada. Tapi ia berbeda.

Elira kini seperti orang asing yang mencoba mencintai dirinya sendiri lebih dulu. Ia menjadi tenang, mandiri, bahkan lebih hidup daripada sebelumnya. Tapi dalam matanya… tak lagi ada percikan yang sama saat ia menatap Arven.

Dan itu menghancurkan Arven perlahan.

“Aku tidak menyalahkanmu,” kata Arven suatu malam, saat mereka duduk di balkon kos. Lampu kota menyala sayup, dan suara malam terdengar seperti bisikan penyesalan yang menggantung.

Elira hanya menunduk. Tangannya menggenggam cangkir teh hangat yang sudah tak lagi beruap.

“Aku mencintaimu, Elira. Tapi… aku nggak tahu apakah cinta itu pernah sungguh kamu rasakan.”

Elira menoleh. “Aku juga mencintaimu, Arven. Tapi aku nggak tahu apakah itu benar dari hatiku… atau dari kalimatmu.”

“Kamu bisa menulis cinta yang kamu inginkan sekarang,” bisik Arven, “tapi kamu memilih tidak menulisku.”

Elira terdiam lama.

“Aku takut,” katanya akhirnya. “Takut kalau aku menulis namamu… dan cinta itu malah jadi palsu. Aku ingin mencintaimu karena aku benar-benar memilihmu… bukan karena buku itu.”

Arven menutup matanya. Jari-jarinya gemetar menahan kerinduan, menahan keinginan untuk memeluk Elira dan membisikkan ribuan kalimat yang mungkin bisa mengubah takdir lagi. Tapi ia tahu, permainan ini sudah berubah. Buku itu sudah berubah.

Sekarang, Elira yang memegang kendali.


Malam demi malam, Elira terus bermimpi tentang dunia dalam buku. Dunia-dunia yang telah ditulis, dihancurkan, dan ditulis ulang. Ia mulai memahami bahwa setiap kisah yang tertulis di buku itu saling terhubung—seperti dimensi paralel yang saling memengaruhi.

Dan dalam satu mimpi, ia melihat sosok pria yang sama… penulis pertama.

Pria itu duduk di kursi tua, menatap ke dalam api unggun yang membara di ruang gelap.

“Kamu sudah sejauh ini,” katanya pada Elira. “Tapi kamu belum mengerti.”

“Mengerti apa?” tanya Elira.

“Bahwa cinta sejati bukan soal menulis atau memilih. Tapi soal bertahan… bahkan saat takdir tidak berpihak.”

Keesokan harinya, Elira memutuskan sesuatu. Ia menulis satu kalimat baru di buku hitam itu:

“Jika cinta ini nyata, maka ia akan bertahan, bahkan jika aku menghapus semua kenangan tentangnya.”

Arven membaca kalimat itu tanpa suara. Wajahnya membeku.

“Kamu akan menghapus ingatanmu tentang aku?”

“Bukan untuk meninggalkanmu,” jawab Elira lirih. “Tapi untuk membuktikan… bahwa kalau aku jatuh cinta lagi padamu dari awal, tanpa skrip, tanpa tulisan—itu berarti perasaan ini benar-benar milikku.”

Dan saat itu juga, cahaya dari buku menyala terang. Halaman-halaman terbalik cepat, seolah mengulang waktu itu sendiri.


Satu jam kemudian, Arven berdiri di depan kamar kosnya. Buku itu masih ada. Tapi kosong. Tak ada satu pun kalimat.

Pintu diketuk.

Saat ia membukanya, seorang wanita berdiri di sana. Rambutnya panjang, wajahnya cantik, tapi… matanya asing.

“Halo,” katanya dengan senyum ramah. “Aku Elira. Aku baru pindah ke kos sebelah. Boleh minta bantuan sedikit?”

Arven membeku. Jantungnya berdetak pelan, namun kuat. Seperti memori yang tak bisa dijelaskan, tapi terasa benar.

Ia tersenyum pelan.

“Tentu. Aku Arven.”

Dan saat Elira masuk ke kamar itu lagi, tanpa tahu bahwa ia pernah tinggal di sana sebelumnya, buku hitam di atas meja terbuka sendiri.

Di sana tertulis dengan tinta baru:

“Dan untuk kedua kalinya, mereka bertemu… bukan karena takdir, tapi karena cinta tak pernah benar-benar pergi.”

Bab 7: Kehidupan yang Mulai Menghilang

Hari-hari berlalu seolah ditulis ulang dengan tinta yang lebih tipis.

Elira dan Arven kembali saling mengenal, meski kali ini tanpa ingatan yang pernah mengikat mereka. Tak ada ciuman pertama di bawah hujan. Tak ada percakapan dalam gelap soal mimpi-mimpi gila tentang takdir. Hanya dua orang asing yang pelan-pelan jatuh cinta lagi—atau mungkin, untuk pertama kalinya.

Namun, ada yang berbeda di dunia mereka. Sesuatu yang perlahan, namun pasti… mulai menghilang.

Arven pertama kali menyadarinya saat ia pergi ke toko buku favoritnya. Bangunan itu masih ada, tapi kosong. Rak-rak menganga, seolah tak pernah berisi. Pemiliknya? Tidak ada yang tahu. Bahkan Google Maps pun tidak mengenal tempat itu lagi.

Lalu, sahabat lamanya, Raka—yang dulu sering datang tanpa diundang, mengeluh soal hidup sambil bawa kopi dingin—tidak lagi menjawab pesan. Saat Arven mencoba menghubungi, nomor itu tidak terdaftar.

“Raka siapa?” tanya Elira polos, saat Arven menyebut nama itu dalam obrolan santai.

Dan jantung Arven langsung mencelos. Dunia ini… menghapus semua hal yang pernah ia tulis.


Di malam hari, Arven mencoba membuka buku hitam itu lagi. Tapi halaman-halamannya seperti membatu. Tak bisa ditulis. Tak bisa dibaca.

Namun saat ia membolak halaman terakhir, ada sebuah kalimat samar, nyaris tak terbaca:

“Setiap kali seseorang memilih takdirnya sendiri, dunia yang diciptakan akan memilih untuk menyempurnakan dirinya kembali.”

Ia menatap halaman itu lama.

“Dunia ini menolak intervensi,” gumamnya. “Dan untuk menjadi utuh kembali… ia menghapus semua hal yang tidak seharusnya ada.”

Keesokan harinya, Arven menatap Elira yang tertawa sambil memegang es krim. Ia tampak bahagia. Bebas. Ia bukan lagi perempuan yang terkurung dalam tulisan. Ia adalah manusia utuh yang memilih senyumnya sendiri.

Namun saat Elira menggenggam tangannya, Arven merasakan sesuatu aneh. Sentuhan itu… tidak sehangat dulu. Rasanya kabur, seperti memori yang mulai luntur dari kepalanya.

“Elira…” bisik Arven, “apakah kamu masih bisa merasakanku?”

Elira menatapnya, lalu mengerutkan kening. “Maksud kamu?”

Arven menggeleng cepat. “Nggak. Nggak apa-apa.”

Tapi dalam hati, ia tahu—kenyataan sedang menuliskan ulang dirinya. Perlahan, tapi pasti. Dan ia mungkin akan menjadi bagian dari dunia yang dilupakan. Bukan karena kebencian… tapi karena cinta yang memberi kebebasan.

Malam itu, ia menulis satu kalimat terakhir di secarik kertas, bukan di dalam buku:

“Jika dunia ini harus sempurna tanpaku, biarkan dia tetap mencintai dunia yang kupilihkan untuknya.”

Lalu, ia letakkan kertas itu di dalam laci kamar. Untuk Elira. Untuk saat ia sudah tak lagi ada.


Beberapa hari kemudian…

Elira bangun di pagi yang cerah. Ia merasa… ringan. Tapi anehnya, ada kekosongan kecil dalam dirinya. Seolah ada seseorang yang biasa mengisi pagi-paginya… tapi tak pernah benar-benar ada.

Saat ia membuka laci meja, ia menemukan selembar kertas tua dengan tulisan tangan asing.

Dan saat ia membacanya, air matanya jatuh… tanpa tahu kenapa.

“Jika dunia ini harus sempurna tanpaku, biarkan dia tetap mencintai dunia yang kupilihkan untuknya.”

Nama Arven… tak ia ingat. Tapi rasa itu… masih tertinggal di hatinya.

Seperti jejak yang tak bisa dihapus oleh waktu, oleh takdir, ataupun oleh dunia.

Bab 8: Dunia di Antara Kalimat

Langit malam seperti tinta tumpah di atas dunia.
Elira duduk sendirian di balkon kamar kosnya, menggenggam secarik kertas yang tak ia mengerti, tapi membuat hatinya terasa hampa. Nama “Arven” tak tertulis, tapi seakan berbisik dari balik tiap huruf yang ada di sana.

Ia tak tahu mengapa ia menangis saat membacanya. Seolah jiwanya mengingat sesuatu yang pikirannya telah lupa.

Di saat bersamaan, jauh dari dunia nyata yang ia kenal… Arven berjalan dalam gelap.


Ia berdiri di tengah ruang kosong. Buku hitam terbuka di hadapannya, tapi kini halamannya seperti jalanan tak berujung—membentang menjadi dunia sendiri. Dunia di antara kalimat. Dunia yang hanya bisa dimasuki oleh penulis… yang telah dihapus dari realitas.

Arven telah menuliskan kalimat terakhirnya. Dunia nyata menolaknya. Tapi jiwa dan cintanya menolak dilupakan begitu saja.

Langkah demi langkah, ia berjalan di antara puing-puing dunia yang pernah ia tulis. Di satu sisi, ada ruang kecil berisi bangku taman—tempat ia dan Elira pernah berbagi cerita dalam tulisan. Di sisi lain, ada ruangan kosong berisi kemeja putih yang pernah ia bayangkan akan dipakai Elira saat pertama kali tidur di kamarnya.

Semuanya… tinggal kenangan.

Dan di tengah semuanya, berdiri sebuah pintu kayu tua. Di atasnya tertulis:

“Kisah yang Tak Pernah Selesai.”

Ia mengetuk. Sekali. Dua kali.

Pintu terbuka sendiri, dan di dalamnya… seorang pria tua duduk di depan perapian. Janggutnya panjang, sorot matanya tajam seperti tinta hitam yang tak pernah kering.

“Kau akhirnya datang juga,” katanya.

“Siapa kau?” tanya Arven pelan.

“Aku Penulis Pertama. Yang pertama kali menemukan buku itu. Yang pertama kali kehilangan segalanya karena ingin mengendalikan cinta.”

Arven menelan ludah. “Aku tidak ingin mengendalikan. Aku hanya ingin… menyelamatkan seseorang.”

“Dan kau pikir cinta bisa diselamatkan dengan tulisan?” pria itu tersenyum getir. “Cinta bukan tentang menciptakan. Tapi tentang mempercayai bahwa seseorang tetap memilihmu, bahkan saat dunia menghapusmu.”

Arven menunduk. “Lalu… apa aku bisa kembali?”

Penulis Pertama berdiri. “Kau bisa kembali. Tapi hanya satu dari dua hal yang bisa kau ambil.”

“Dua hal?”

“Dirimu… atau cintamu.”

Arven terdiam.

“Kalau kau kembali sebagai dirimu, dunia akan ingat siapa kau, tapi Elira tak akan mencintaimu. Kalau kau memilih cintamu, Elira akan mencintaimu lagi… tapi kau akan hidup dalam bayangannya. Tak akan pernah benar-benar ada.”

Diam. Sunyi. Pilihan yang terlalu berat untuk siapa pun.

Arven menatap api yang menyala. Lalu, dengan suara mantap, ia berkata:

“Aku memilih… cintaku.”

Esok paginya, Elira bangun dengan mimpi yang aneh.

Ia berada di taman, duduk sendiri… hingga tiba-tiba seorang pria datang dan duduk di sebelahnya. Wajahnya samar. Tapi tatapan matanya… terasa akrab. Hangat.

Saat ia bangun, jantungnya masih berdebar.

Dan entah mengapa, ia mengambil pena… dan mulai menulis.

“Ada seseorang yang selalu menemaniku, meski aku tak pernah benar-benar mengingatnya. Tapi di tiap mimpi, ia hadir. Dan aku tahu… aku mencintainya.”

Buku hitam yang tertutup di sudut meja tiba-tiba terbuka sendiri. Halaman terakhir menampilkan satu kalimat baru:

“Cinta sejati bukan hanya ditulis di kertas, tapi di jiwa yang tak bisa dilupakan, bahkan oleh dunia.”

Dan di antara dunia nyata dan kalimat yang menggantung, Arven berdiri.
Tak terlihat. Tapi selalu ada.
Sebagai bagian dari kisah… yang tak akan pernah benar-benar hilang.

Bab 9: Pilihan Terakhir

Langkah-langkah Arven menggema di lorong sunyi tanpa ujung. Ia telah memilih: cinta, bukan eksistensi.
Tapi ternyata… pilihan itu bukan akhir.
Itu baru permulaan.

Di balik pilihannya, ada harga yang harus dibayar. Penulis Pertama menatapnya dari seberang api unggun dengan wajah sendu.

“Kau pikir kau sudah memilih? Belum, anak muda. Dunia ini masih memberimu satu kesempatan terakhir—kesempatan untuk mengubah segalanya… atau menerima segalanya.”

Arven mengerutkan dahi. “Apa maksudmu?”

Penulis Pertama mengangkat satu buku baru, yang identik dengan buku hitam sebelumnya. Tapi ini… berwarna putih pucat. Bersih. Kosong.

“Ini adalah buku akhir—buku yang bisa menulis ulang semua kenyataan. Sekali kau menulis di dalamnya, tak ada jalan kembali. Dunia akan disusun ulang sesuai keinginanmu… tapi kau harus mengorbankan satu hal.”

“Apakah itu?” tanya Arven, nyaris berbisik.

“Dirimu. Jika kau menulis kehidupan di mana Elira bahagia, dunia akan membentuknya. Tapi kamu… tak akan menjadi bagian dari cerita itu. Bukan kenangan. Bukan bayangan. Kau akan lenyap sepenuhnya.”

Arven menatap buku putih itu dengan mata berkaca-kaca. Jantungnya berat, pikirannya terbelah.

“Kenapa aku?” gumamnya.

“Karena kau mencintainya terlalu dalam. Dan cinta yang dalam… selalu diuji dengan pengorbanan yang tak masuk akal.”


Sementara itu, di dunia nyata, Elira mulai bermimpi semakin sering. Pria dalam mimpinya… perlahan mulai terlihat jelas. Ia tertawa bersama Elira, memeluknya dalam hujan, dan menangis di hadapannya.

Ia belum tahu siapa pria itu. Tapi hatinya tahu.

Dan ketika ia membaca buku tua itu suatu malam, ia menemukan satu halaman baru:

“Kamu tidak mengenalnya. Tapi jiwamu mengingatnya. Dan jika kamu mencintainya… kamu akan menulisnya kembali.”

Elira tersentak. Tangannya gemetar. Ia menatap pena di sampingnya.

“Siapa kamu…?”

Namun halaman itu kosong. Tak ada jawaban. Hanya hening… dan harapan.


Di dunia di antara kalimat, Arven membuka halaman pertama buku putih itu. Jemarinya menyentuh permukaannya perlahan, sebelum akhirnya menulis:

“Elira hidup bahagia, menjadi penulis besar, dan menemukan seseorang yang mencintainya bukan karena takdir, tapi karena pilihan.”

Ia berhenti sejenak. Lalu menulis satu kalimat terakhir:

“Dan jika ada satu suara samar dalam mimpinya… itu adalah aku, mencintainya diam-diam di balik kenyataan.”

Tinta itu bersinar. Cahaya putih menyelimuti Arven.
Perlahan, tubuhnya memudar.
Ia tidak merasa takut.
Ia hanya merasa… tenang.
Dan bebas.

Di dunia nyata, Elira terbangun dengan air mata di pipinya.

Ia menulis satu kalimat di buku itu tanpa tahu mengapa:

“Aku tidak tahu siapa kamu. Tapi hatiku tidak akan pernah berhenti mencarimu.”

Dan entah dari mana, angin berbisik di telinganya.

“Aku di sini… cukup bahagia melihatmu bahagia.”

Langit pagi cerah.
Buku hitam menutup sendiri.
Buku putih—menghilang dari dunia ini.
Dan dalam hati Elira, ada ruang kosong yang tidak menyakitkan… hanya menunggu.
Menunggu sebuah perasaan untuk pulang.

Bab 10: Kalimat Terakhir

Waktu berlalu. Musim berganti.
Elira kini hidup sebagai penulis ternama. Namanya dikenal di mana-mana, tulisannya menyentuh hati banyak orang. Tapi tak satu pun dari bukunya mengisahkan cinta.

Bukan karena ia tak percaya cinta. Justru karena ia pernah merasakannya… dalam bentuk paling tak masuk akal, paling dalam, dan paling menyakitkan.
Cinta yang tak bisa ia tulis. Karena cinta itu… tidak pernah benar-benar ada dalam kenyataan.

Tapi ada di dalam jiwanya.


Suatu sore, Elira duduk di tepi danau yang sepi. Di pangkuannya ada buku hitam tua, yang entah mengapa masih ia simpan. Halamannya tak pernah lagi bisa ditulis. Tapi ia tak pernah bisa membuangnya.

Di saku jaketnya, ia menemukan selembar kertas lusuh—tulisan lama yang pernah ia temukan di dalam laci kamar kosnya dulu. Tulisan yang membuatnya menangis… meski ia tak tahu kenapa.

“Jika dunia ini harus sempurna tanpaku, biarkan dia tetap mencintai dunia yang kupilihkan untuknya.”

Matanya menatap kosong ke arah danau, dan ia bertanya lirih,

“Siapa kamu…? Kenapa aku merasa begitu kehilangan seseorang yang bahkan tak bisa kuingat?”

Angin meniup rambutnya pelan, seperti pelukan yang pernah ia rasakan.
Dan dalam benaknya, untuk sekejap… suara itu datang lagi.

“Karena cinta tidak butuh kenangan untuk tetap hidup. Ia hanya butuh rasa.”

Air matanya jatuh, bukan karena sedih. Tapi karena untuk pertama kalinya, ia menerima.

Malam itu, Elira menulis di bukunya sendiri. Bukan buku hitam, bukan buku putih. Tapi buku biasa, miliknya sendiri. Dengan tinta miliknya. Dengan kalimat yang keluar dari hatinya sendiri.

“Dulu aku mencintai seseorang yang tak pernah bisa kugenggam. Tapi aku tahu dia pernah ada. Pernah mencintaiku. Dan mungkin… masih mencintaiku dari tempat yang tak bisa kujangkau.”

Ia menutup bukunya dengan senyum kecil.

Dan saat itu juga, di alam di antara kalimat, tempat yang tak dimiliki oleh dunia mana pun, Arven berdiri. Sendiri, tapi tidak kesepian.

Ia membaca kalimat Elira… dan tersenyum.

“Terima kasih,” bisiknya, “karena sudah menulis ulang aku… di dalam hatimu.”


Beberapa tahun kemudian…

Elira sedang berbicara dalam sebuah seminar kepenulisan. Di tengah kerumunan, seorang pria muda berdiri di belakang, menatapnya dengan tatapan lembut.

Saat semua orang pergi, pria itu menghampirinya perlahan.

“Elira,” katanya.

Elira menoleh. “Iya?”

Pria itu tersenyum. “Boleh aku minta tanda tangan di buku ini?”

Ia menyodorkan bukunya yang berjudul “Cinta yang Tak Seharusnya Ada.”

Elira tersenyum samar. Tapi saat ia menerima buku itu… dadanya berdebar.
Tatapan pria itu… familiar.
Senyumnya… seolah mengembalikan bagian dari dirinya yang hilang.

“Namamu siapa?” tanya Elira, pena di tangannya nyaris jatuh.

Pria itu menjawab dengan tenang, seolah ia tahu jawaban itu bukan hal baru.

“Arven.”

Dan di antara kalimat yang pernah ditulis, dunia yang pernah terhapus, dan cinta yang sempat dikorbankan… mereka bertemu kembali. Bukan karena buku. Bukan karena takdir.
Tapi karena cinta sejati… selalu menemukan jalannya.

Kalimat terakhir pun tertulis.
Bukan di atas kertas,
tapi di antara dua jiwa yang saling memilih… meski dunia sempat melupakan mereka.


Selesai.

Novel ini ditulis oleh Evi Fauzi, Penulis dari Novel Singkat. Baca juga novel romantis, petualangan dan fiksi ilmiah lainnya.

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

    Leave a Reply

    Your email address will not be published. Required fields are marked *