Arsha Nadira, seorang ilustrator lepas berbakat, mengalami kecelakaan tragis yang membuatnya koma selama dua tahun. Saat terbangun, ia mendapati dunia telah melupakannya, ia dianggap sudah mati, dan semua yang ia kenal telah berubah. Yang paling menghancurkan, tunangan yang sangat ia cintai kini bersama wanita lain… yang memiliki wajah persis seperti dirinya.
Dalam pencarian jati diri, Arsha menemukan kenyataan mengerikan: dirinya hanyalah hasil dari eksperimen kloning manusia dalam proyek rahasia bernama Synthia. Dirinya bukanlah Arsha yang asli, melainkan versi buatan yang tidak seharusnya ada. Revan, tunangannya, ternyata tidak pernah meninggalkannya—karena Arsha yang asli memang telah tiada.
Kini, Arsha harus memilih: berjuang mempertahankan cinta yang tidak sepenuhnya miliknya, atau menghilang demi memberi ruang bagi kenyataan yang lebih pahit dari kematian.
Bab 1: Saat Aku Terbangun
Semua terasa dingin. Sunyi. Gelap.
Arsha membuka matanya perlahan. Cahaya lampu putih menyilaukan menyambut pandangannya. Kepalanya terasa berat, seperti ada batu yang menghimpit. Suara mesin detak jantung berdetak pelan di telinganya, memberi tanda samar bahwa ia masih hidup.
Hidup?
Ia berkedip beberapa kali. Atap putih bersih. Bau disinfektan. Tiang infus di samping tempat tidur. Jendela kaca besar memantulkan siluet dirinya yang tampak kurus dan asing. Rambutnya kusut. Wajahnya pucat. Bahkan suara batinnya sendiri terdengar asing.
“Dimana aku…?”
Suaranya nyaris tak terdengar. Tenggorokannya kering. Tangannya bergerak pelan, mencoba melepas selimut putih yang menutupi tubuhnya. Tubuhnya terasa lemah, seperti tak digunakan selama bertahun-tahun.
Ia menekan tombol panggil di sisi ranjang. Tak ada yang datang.
Ia mencoba duduk, tubuhnya bergetar, tetapi tekadnya lebih kuat. Saat ia berhasil bangkit, matanya menyapu ruangan. Tak ada nama. Tak ada bunga. Tak ada foto keluarga di meja. Seolah-olah… ia tidak ditunggu siapa-siapa.
Pintu terbuka perlahan. Seorang perawat perempuan masuk dengan wajah terkejut. “T-Tuhan… kau sadar?”
Arsha mengangguk pelan. “Aku… siapa?” Suaranya gemetar. Ia bahkan tak yakin apa yang ia tanyakan.
Perawat itu ragu. “Namamu… Arsha, kan? Kau koma selama dua tahun.”
Dua tahun?
Dunia Arsha runtuh. Dua tahun? Bagaimana mungkin? Terakhir yang ia ingat—ia sedang dalam perjalanan menuju tempat Revan, tunangannya. Mereka akan makan malam di tempat favorit mereka. Ia mengenakan gaun biru yang Revan suka. Lalu… apa? Dentuman keras. Kilatan cahaya. Suara teriakan.
Kecelakaan?
“Keluargaku?” tanyanya. “Revan? Tunanganku?”
Perawat itu terdiam. “Tunggu sebentar, ya,” ujarnya gugup dan keluar dari ruangan. Tidak ada jawaban.
Sepeninggal perawat itu, Arsha mencoba bangun dari ranjang. Kakinya lemas, tetapi dorongan untuk tahu lebih kuat dari rasa sakit. Ia menarik tiang infus sebagai penyangga, berjalan terseok keluar ruangan.
Rumah sakit itu… sunyi. Lorong-lorongnya kosong. Beberapa lampu bahkan berkedip lemah seperti tak terurus. Rasanya lebih seperti fasilitas penelitian terlantar daripada rumah sakit umum.
Ia melihat ruang arsip dari kejauhan. Pintu tak terkunci. Dengan langkah gemetar, ia masuk. Ia membuka satu laci berlabel “Pasien Tak Teridentifikasi”. Namanya ada di sana. “Arsha N.” Tanpa nama keluarga. Tanpa catatan kunjungan. Tanpa catatan keluarga. Seolah-olah ia adalah seseorang yang ditemukan dan tak diinginkan kembali.
Matanya berkaca-kaca. Hatinya berdesir. “Kenapa aku tidak dicari?”
Tangannya mengelus kertas dokumen dengan jemari gemetar. Ada stempel samar di sudut kanan bawah: “Penanganan Khusus – Proyek S.”
Apa itu?
Sebelum ia sempat membuka dokumen lebih jauh, suara langkah tergesa terdengar di lorong. Arsha segera menutup laci dan kembali ke ranjang, berpura-pura tertidur. Ia tidak tahu siapa yang datang—tapi instingnya mengatakan, sesuatu di tempat ini tidak beres.
Saat pintu terbuka dan dokter masuk, ia mendengar mereka berbicara pelan.
“Dia tidak seharusnya bangun… Proyek S ini… bisa gagal total kalau dia mengingat terlalu banyak.”
Jantung Arsha berdetak tak karuan. Tangannya mencengkeram selimut. Matanya terpejam, tapi pikirannya terbang jauh.
Apa maksud mereka?
Kenapa ia tidak seharusnya bangun?
Dan… siapa sebenarnya dirinya?
Berikut lanjutan ceritanya:
Bab 2: Nama yang Dihapus
Tiga hari setelah sadar dari koma, Arsha akhirnya diizinkan keluar dari rumah sakit itu—meski ada yang terasa aneh. Tidak ada keluarga yang menjemput. Tidak ada pelukan hangat, air mata bahagia, atau bahkan sekadar “selamat datang kembali.”
Yang menjemputnya justru seorang sopir berjas hitam yang tak bicara sepatah kata pun. Ia hanya membuka pintu dan mengantar Arsha ke sebuah apartemen kecil, dengan interior dingin dan perabotan seadanya.
“Ini… bukan rumahku,” bisiknya sambil melangkah masuk.
Sopir itu hanya menjawab singkat, “Instruksi dari atasan.” Lalu pergi begitu saja, meninggalkannya sendirian dalam keheningan yang memekakkan.
Arsha duduk di sofa tua, mencoba menyusun pikirannya. Ia mengingat alamat rumah masa kecilnya. Ia hafal nama ayah, ibu, bahkan nomor telepon rumah yang dulu sering dipakai. Semua masih ada di kepalanya.
Malam itu, ia keluar diam-diam, naik ojek online menuju alamat rumah lamanya.
Sesampainya di sana, jantungnya nyaris berhenti.
Rumah itu masih berdiri kokoh. Warna catnya sama. Taman kecil di depan masih ada. Tapi… saat ia memencet bel, seorang wanita paruh baya membukakan pintu dengan senyum ramah.
“Maaf, Anda siapa ya?” tanya wanita itu sopan.
Arsha menelan ludah. “Ini… rumah saya. Rumah keluarga saya. Saya… Arsha.”
Wanita itu tampak bingung. “Kami sudah tinggal di sini lebih dari dua tahun. Tidak ada yang bernama Arsha tinggal di sini sebelumnya.”
“Bagaimana bisa? Ini rumahku. Aku punya kamar di lantai atas, dekat jendela,” ucap Arsha terbata, matanya mulai berkaca-kaca.
“Maaf, Nona. Mungkin Anda salah alamat,” jawab wanita itu, lalu menutup pintu perlahan.
Arsha berdiri membeku di depan rumah yang seharusnya menjadi tempat ia pulang. Dunia seperti menolaknya hidup kembali.
Ia kemudian pergi ke kantor catatan sipil keesokan harinya. Ia ingin melihat namanya di database. Tapi setelah beberapa jam menunggu dan petugas memeriksa berulang kali…
“Maaf, tidak ada nama Arsha N. di sistem kami. Mungkin Anda salah ketik?” ujar petugas muda itu sambil mengerutkan dahi.
“Tidak mungkin…” bisik Arsha lemas.
Ia mencoba mencari akun media sosial lamanya. Tapi semua akun telah dihapus. Emailnya tidak dikenali. Seolah-olah ia tidak pernah ada. Semua rekam jejak digital… menghilang.
Arsha duduk di halte bus, menggenggam ponselnya yang kini tak berfungsi, sambil menatap kosong ke langit yang mulai mendung.
Di tengah kehancurannya, ia tiba-tiba teringat Revan.
Tunangannya.
Satu-satunya orang yang bisa membenarkan bahwa dirinya nyata. Bahwa ia pernah hidup. Bahwa ia masih dicintai.
Ia membuka aplikasi pencarian, mengetik nama: Revan Ardianto.
Dan saat melihat hasil pencarian itu, hatinya seperti ditusuk ribuan jarum.
“Revan Ardianto & Elvira N. — Tunangan Bahagia, Rencana Menikah Tahun Ini.”
Foto mereka terpampang jelas. Elvira tersenyum manis, memeluk lengan Revan. Rambutnya panjang, matanya lembut, lesung pipinya… semuanya sama.
Itu wajahnya.
Tapi itu bukan dirinya.
Berikut lanjutan ceritanya:
Bab 3: Pria yang Pernah Kucintai
Arsha berdiri di seberang jalan, memandangi sebuah kafe bergaya modern dengan logo minimalis. Di salah satu meja dekat jendela, duduk seorang pria dengan senyum yang sangat ia rindukan—Revan.
Pria itu masih sama. Rahang tegas, mata teduh, dan cara ia menyisir rambut ke belakang yang selalu membuat Arsha diam-diam mencuri pandang. Tapi hari ini, Revan tidak sendiri.
Di hadapannya duduk seorang wanita. Rambutnya dikuncir rendah, mengenakan blus putih yang sederhana, dengan senyum manis dan tatapan lembut—tatapan yang sangat dikenal Arsha. Karena itu tatapannya dulu… untuk Revan.
Arsha menahan napas. Jantungnya berdebar. Matanya tak berkedip. Ia tahu ini bukan déjà vu. Wanita itu… benar-benar memiliki wajah yang sama dengannya.
Mereka tertawa. Revan menggenggam tangan wanita itu. Lalu berkata, cukup keras hingga terdengar dari luar kaca, “Aku bersyukur Tuhan mempertemukanku lagi denganmu.”
Lagi?
Arsha mundur selangkah. Dada sesak. Rasanya seperti ditikam dari dalam.
Wanita itu… bukan hanya memiliki wajah yang sama. Tapi juga kenangan yang seharusnya milik Arsha. Ia bahkan melihat Elvira mencicipi kopi dengan gaya yang sama, menahan busa di bibir lalu tertawa—cara Arsha minum kopi dulu.
Arsha merasa seperti melihat dirinya yang dicuri.
Tapi siapa yang mencuri siapa?
Malam itu, Arsha menunggu Revan keluar dari kafe. Ia bersembunyi di antara mobil-mobil parkir, menahan napas saat Revan mengantar Elvira ke mobil dan mencium keningnya dengan lembut.
Setelah Elvira pergi, Arsha memberanikan diri muncul.
“Revan,” panggilnya pelan.
Revan menoleh. Pandangannya kosong. Tak ada kehangatan. Tak ada kejutan. Tak ada air mata haru.
“Halo. Maaf, kita kenal?” tanyanya sopan, bingung.
Arsha terdiam. Suaranya tercekat. “Aku… ini aku, Arsha.”
Revan mengernyit. “Arsha?”
“Iya… tunanganmu. Aku koma selama dua tahun. Tapi aku sudah bangun, Revan. Aku di sini.”
Revan tertawa kecil, kikuk. “Maaf, saya rasa Anda salah orang. Tunangan saya bernama Elvira. Dan dia sangat hidup, sehat, dan ada bersama saya selama tiga tahun terakhir.”
“Tiga tahun…?” bisik Arsha.
Itu mustahil.
Ia koma dua tahun. Bagaimana mungkin wanita itu sudah bersama Revan selama tiga tahun?
Sebelum Revan sempat pergi, Arsha meraih lengannya. “Lihat aku. Lihat wajahku. Suara ini… kamu tahu ini aku. Kenapa kamu tidak mengenaliku?”
Revan menarik tangannya. Pandangannya tajam. “Saya tidak tahu siapa Anda. Tolong jangan ganggu saya lagi.”
Arsha berdiri mematung di tengah trotoar, menatap punggung Revan yang menjauh. Tubuhnya lemas, tapi pikirannya makin liar.
Jika Revan tak mengenalinya… dan wanita itu adalah dirinya…
Lalu siapa dia sebenarnya?
Berikut lanjutan cerita dari novel “Cinta yang Tak Seharusnya Ada”:
Bab 4: Bayangan Diriku
Arsha menghabiskan malam itu tanpa tidur.
Ia duduk di depan cermin kamar apartemennya, menatap wajahnya sendiri. Setiap lekuk, setiap garis, setiap luka kecil di ujung dagunya masih ada—sama seperti dulu. Tapi apa mungkin… ada orang lain yang memiliki wajah persis seperti dirinya?
Kembar?
Tidak. Ia anak tunggal.
Operasi plastik?
Tapi bagaimana mungkin sampai serupa sedetail ini?
Dan kenapa Revan, orang yang paling mengenalnya, tak melihat siapa dirinya?
Esok harinya, Arsha memutuskan untuk menguntit Elvira. Ia harus tahu siapa wanita itu, dan bagaimana bisa dia hidup dengan identitas yang seharusnya milik Arsha.
Elvira tinggal di sebuah perumahan elite, kawasan yang dulu Arsha dan Revan rencanakan untuk beli setelah menikah. Rumah dua lantai bergaya minimalis itu terlalu akrab. Bahkan bunga melati di halaman depannya… favorit Arsha.
Arsha menunggu di seberang jalan. Tak butuh waktu lama, Elvira keluar dengan pakaian olahraga dan earphone di telinga.
Ia berlari kecil menyusuri trotoar, dan Arsha mengikutinya diam-diam dari belakang.
Tapi langkah Arsha terhenti saat melihat sesuatu yang tak masuk akal. Elvira berhenti di taman, mengambil ponsel, lalu mengangkat tangan—merekam dirinya sendiri sambil berbicara.
“Log ke-72. Subjek stabil. Perkembangan emosional terhadap Revan meningkat. Aku mulai… merasakan.”
Log?
Subjek?
Arsha menyipitkan mata. Nafasnya tercekat.
“Aku tahu aku tidak boleh terlalu jauh,” lanjut Elvira sambil menatap layar ponselnya, “Tapi aku tak bisa menghindar dari perasaan ini. Dia… dia membuatku merasa hidup.”
Elvira menyimpan ponselnya dan kembali berlari, tak menyadari bahwa seseorang sedang menonton—seseorang yang mulai meragukan kenyataan.
Arsha mengikutinya lagi sampai ke pusat kota. Saat Elvira masuk ke sebuah gedung tua tak bertanda, Arsha menunggu beberapa menit, lalu masuk diam-diam.
Gedung itu sepi. Tangga berdebu. Lampu temaram. Di lantai dua, ia menemukan sebuah pintu terbuka sedikit. Ia mendekat, mengintip dari celah kecil.
Di dalam ruangan itu, Elvira sedang duduk di depan layar besar. Di sekelilingnya, puluhan file digital terbuka—foto-foto Arsha, rekaman video masa kecil, catatan medis, dan… dokumen bertuliskan “Proyek Synthia – Subjek 2: Elvira N.”
Subjek 2?
Arsha mundur, tubuhnya gemetar. Nafasnya memburu.
Saat ia hendak pergi, lantai kayu berderit. Elvira menoleh.
Mata mereka bertemu.
Dan di saat itu, dunia berhenti.
Elvira berdiri perlahan, wajahnya pucat. Tapi bukan karena terkejut… melainkan karena ia tahu.
“Jadi… kau masih hidup,” ucap Elvira dengan suara datar. “Atau setidaknya… versi pertama dari kita.”
Berikut lanjutan cerita dari novel “Cinta yang Tak Seharusnya Ada”:
Bab 5: Laporan yang Terhapus
Ruangan itu sunyi. Hanya detak jam tua di dinding yang terdengar.
Arsha berdiri kaku di ambang pintu, sementara Elvira perlahan menutup layar laptopnya, lalu menatapnya seperti menatap cermin—hanya saja, pantulan itu bukan sekadar refleksi.
“Aku tahu hari ini akan datang,” ucap Elvira lirih. “Hari saat kau bangun… dan mencari jawaban.”
Arsha maju satu langkah. “Apa ini semua? Siapa kamu? Kenapa wajahmu… kenapa hidupmu… milikku?”
Elvira menghela napas. Ia berjalan ke rak tua di sudut ruangan, menarik satu map tebal berdebu. “Jawabannya… tidak akan mudah kamu terima.”
Ia menyerahkan map itu ke Arsha.
Dengan tangan gemetar, Arsha membuka lembar demi lembar. Matanya membesar. Laporan medis. Grafik perkembangan sel. Foto-foto laboratorium. Diagram otak dengan label “Kloning Otak Fase Beta.”
Dan satu dokumen yang membuatnya nyaris terjatuh: “Identitas Asli Subjek Kloning: Arsha Nadira – Status: Deceased.”
“Tidak…” bisiknya. “Aku tidak mati. Aku… aku hidup!”
Elvira menatapnya dengan pilu. “Arsha yang asli memang sudah tiada dua tahun lalu. Kau… aku… kita hanyalah hasil eksperimen dari sisa-sisa memorimu. Tapi kau… lebih dari itu. Kau adalah satu-satunya kloning yang mengalami koneksi emosional dengan masa lalu yang begitu kuat hingga menciptakan ilusi bahwa kau hidup kembali.”
Air mata menetes di pipi Arsha.
“Lalu kenapa aku dibuang? Kenapa aku tidak tahu siapa aku selama ini?”
Elvira berjalan mendekat. “Karena kamu ‘gagal’. Mereka pikir kau tidak akan bangun. Sementara aku… ‘berhasil’.”
Arsha menatapnya dengan marah. “Berhasil apa? Mencuri hidupku? Mencuri Revan?”
Elvira terdiam. Lalu berkata lirih, “Aku tidak mencuri apa-apa. Mereka memberiku semua ini. Aku hanya… belajar mencintai seperti yang kau ajarkan lewat memori yang kuterima.”
Arsha mundur. Nafasnya sesak. Semua terasa menyesakkan—nyata tapi tak masuk akal.
“Proyek Synthia,” gumam Arsha sambil membuka halaman terakhir dokumen. Di sana tertulis: “Semua catatan harus dihapus setelah subjek berhasil dilepas ke masyarakat. Penemuan subjek gagal harus segera ditangani dan diamankan.”
“Mereka akan memburumu,” kata Elvira pelan. “Mereka pikir kamu sudah tidak ada. Tapi sekarang… kamu ancaman bagi rahasia mereka.”
Arsha meremas map di tangannya. “Kalau begitu… aku harus temukan mereka lebih dulu. Aku mau tahu siapa yang menciptakanku. Dan kenapa mereka berpikir aku pantas dilenyapkan.”
Elvira memandangnya lama. “Kalau kamu mulai menggali terlalu dalam… mungkin kamu akan membenci siapa dirimu sebenarnya.”
Arsha melangkah keluar dari ruangan, lalu menoleh sebentar. “Aku lebih takut hidup dalam kebohongan, daripada menghadapi kebenaran yang menyakitkan.”
Dan saat pintu tertutup di belakangnya, Elvira tersenyum kecil. “Kita lihat… seberapa jauh kamu sanggup mencari.”
Berikut lanjutan ceritanya:
Bab 6: Aku Bukan Aku
Langit sore tampak abu-abu, seperti menyatu dengan kekacauan di kepala Arsha. Ia duduk di pojok kamar apartemennya, map laporan itu masih dalam pelukannya. Berkali-kali ia membaca ulang setiap halaman, berharap menemukan kesalahan.
Tapi tidak ada.
Namanya. Wajahnya. Identitasnya. Semuanya hanya bagian dari proyek eksperimen rahasia bernama Synthia.
Ia bukan Arsha Nadira.
Atau, lebih tepatnya… ia bukan yang pertama.
Selama dua hari, Arsha hidup dalam kesunyian yang menyiksa. Ia menutup semua tirai, mematikan ponsel, dan hanya keluar untuk membeli makanan seperlunya. Kepalanya dipenuhi pertanyaan yang tak berujung.
Siapa yang menciptakannya?
Apa tujuan mereka?
Dan yang paling menyakitkan… apakah ia benar-benar punya hak untuk mencintai Revan?
Hari ketiga, Arsha kembali ke rumah sakit tempat ia “terbangun.” Tapi kali ini, ia menyelinap lewat pintu belakang, masuk ke ruang arsip bawah tanah.
Ia mengobrak-abrik lemari tua, mencari petunjuk apa pun tentang proyek itu. Setelah hampir menyerah, ia menemukan satu laci tersembunyi di bawah meja kerja. Di dalamnya: satu kartu ID rusak milik Dr. Nadine Halim – Bioengineer Khusus Synthia.
Nama itu belum pernah ia dengar. Tapi di balik kartu itu, tertulis sebuah alamat rumah kecil di pinggiran kota.
Tanpa pikir panjang, Arsha mendatangi alamat tersebut malam itu juga. Rumahnya sepi, tertutup. Tapi lampu garasi menyala. Ia mengintip dari celah dan menemukan sosok perempuan tua, duduk di kursi roda, sibuk merakit sesuatu dengan tangan gemetar.
“Dr. Nadine?” tanya Arsha pelan, muncul dari bayangan.
Wanita itu mendongak. Matanya membelalak. “T-Tidak mungkin… kau hidup?”
Arsha melangkah mendekat. “Jadi… Anda yang menciptakan saya?”
Dr. Nadine menggeleng lemah. “Bukan… bukan saya. Tapi saya bagian dari tim yang melakukannya. Aku yang menyelamatkanmu. Yang mencabutmu dari pusat eksperimen, saat mereka menyatakanmu gagal dan memutuskan ‘menonaktifkanmu’.”
“Kenapa?” tanya Arsha, air matanya menetes tanpa suara.
“Karena waktu aku menatapmu… kamu tidak tampak seperti eksperimen. Kamu tampak… seperti manusia,” gumam Dr. Nadine, menatap Arsha seperti melihat hantu.
Arsha menarik napas panjang. “Aku punya kenangan. Perasaan. Aku mencintai Revan. Aku ingat saat kami jatuh cinta. Aku bahkan ingat ciuman pertama kami.”
Dr. Nadine menunduk. “Itu bukan milikmu. Itu hasil transfer memori dari otak Arsha Nadira yang asli. Gadis itu… meninggal dalam kecelakaan. Tubuhnya rusak parah. Tapi otaknya bisa diselamatkan sebagian… dan kami mencoba menciptakan kembali dirinya melalui teknologi kloning.”
“Lalu… Revan?” bisik Arsha, hampir tak sanggup mendengarnya sendiri.
“Dia tidak tahu apa-apa. Kami menghapus sebagian ingatannya tentang hari kecelakaan. Lalu kami kenalkan Elvira—kloning pertama yang dianggap berhasil. Dia yang akhirnya hidup sebagai Arsha baru.”
Arsha gemetar.
“Jadi, aku ini apa? Hanya bayangan dari seseorang yang sudah mati? Apa aku bahkan pantas hidup?”
Dr. Nadine menatapnya dengan mata berkaca-kaca. “Itu bukan aku yang bisa menjawab. Tapi mungkin… kamu bisa memilih untuk jadi lebih dari sekadar bayangan.”
Arsha berdiri. Pandangannya kosong tapi penuh tekad.
Kalau dirinya bukan siapa-siapa… maka ia akan menciptakan identitas baru. Ia akan mencari kebenaran, dan memutuskan siapa yang layak ia cintai—dengan caranya sendiri.
Ia bukan Arsha yang dulu.
Tapi ia juga bukan eksperimen gagal.
Ia adalah… sesuatu yang belum pernah ada sebelumnya.
Berikut lanjutan cerita dari novel “Cinta yang Tak Seharusnya Ada”:
Bab 7: Jejak Berdarah
Malam itu dingin. Langit gelap tanpa bintang. Dan Arsha berlari.
Ia tak tahu sejak kapan dirinya mulai diburu, tapi semuanya terjadi hanya beberapa jam setelah ia meninggalkan rumah Dr. Nadine. Mobil hitam tanpa pelat mengikuti setiap langkahnya. Pria-pria berbadan besar dengan earset muncul di sudut-sudut jalan. Wajah mereka kaku. Tatapan mereka dingin.
Mereka tidak mengincarnya untuk ditangkap.
Mereka ingin ia hilang. Selamanya.
Arsha bersembunyi di antara lorong sempit belakang pertokoan. Nafasnya memburu. Ia memegang ponsel butut yang diberi Dr. Nadine, satu-satunya yang terhubung ke “jaringan bawah tanah” mantan ilmuwan proyek Synthia yang kini melawan sistem.
Ponsel itu berbunyi.
Pesan masuk:
“Jejakmu terdeteksi. Jangan pulang. Jangan percaya siapa pun.”
Arsha menggigit bibir. Kakinya sakit. Tapi ia harus terus bergerak. Karena setiap tempat yang pernah ia datangi kini tak lagi aman.
Ia ingat Revan.
Dan Elvira.
Mungkinkah mereka terlibat?
Atau lebih buruk—mungkinkah Revan tahu siapa dia sebenarnya?
Keesokan harinya, Arsha menyamar sebagai pegawai kebersihan dan menyelinap masuk ke kantor pusat riset Genex Corp—perusahaan yang secara diam-diam mendanai Proyek Synthia.
Dengan bantuan ponsel modifikasi itu, ia berhasil mengakses ruangan arsip lama yang terkunci. Di sana, ia menemukan file digital yang seharusnya telah dihapus.
Dan di dalamnya—video dokumentasi yang membuat darahnya membeku.
[Rekaman Kamera: 2 Tahun Lalu]
Seorang perempuan terbaring di meja operasi. Wajahnya rusak parah.
Para ilmuwan berdiskusi cepat, “Otaknya bisa diselamatkan. Proyek Synthia bisa lanjut.”
Lalu layar beralih—menampilkan dua tabung besar berisi cairan biru, masing-masing dengan tubuh telanjang yang belum sadar.
“Subjek 1: Elvira.”
“Subjek 2: Arsha_R.”
Arsha mundur perlahan. Tangannya gemetar hebat. Ia hampir muntah melihat dirinya sendiri… saat baru ‘diciptakan.’
Dan tepat saat itu—lampu ruangan mati.
“Sudah cukup jauh kamu menggali,” suara berat terdengar dari pintu. Seorang pria berdiri di sana, mengenakan jas hitam dan sarung tangan.
“Siapa kamu?” desis Arsha.
“Pembersih. Tugasku memastikan tidak ada jejak yang tertinggal dari proyek yang… gagal.” Ia menodongkan senjata bius. “Maaf, Subjek R. Kamu seharusnya tidak hidup.”
Arsha membalik meja logam dan berlari ke jendela. Peluru bius menghantam tembok. Ia mendobrak kaca dan melompat—jatuh ke semak, tubuhnya luka, tapi masih bisa bangun.
Dengan sisa tenaga, ia kabur ke stasiun kereta bawah tanah. Dan saat kereta datang, ia meloncat masuk di detik terakhir.
Di dalam kereta, Arsha duduk diam, napasnya berat. Darah mengalir di pelipisnya. Tapi matanya tajam.
Mereka ingin menghapusnya.
Tapi ia sekarang tahu satu hal penting:
Ia adalah bagian dari eksperimen berdarah yang bisa mengungkap kebenaran besar.
Dan itu… membuatnya lebih bernilai dari siapa pun.
Berikut kelanjutan cerita dari novel “Cinta yang Tak Seharusnya Ada”:
Bab 8: Hati yang Tak Punya Tempat
Kereta berhenti di sebuah stasiun tua yang sudah jarang digunakan. Arsha turun dengan tubuh penuh luka, langkah tertatih, dan jiwa yang tercabik.
Ia duduk di bangku kayu yang usang, menatap pantulan dirinya di kaca jendela. Mata yang lelah. Wajah yang sama dengan wanita lain. Dan hati… yang tak lagi tahu ke mana harus pulang.
Ia membuka ponsel.
Pesan dari Dr. Nadine:
“Revan pernah tahu segalanya. Tapi kami menghapus sebagian ingatannya karena dia ingin menyelamatkanmu. Dia percaya kau pantas hidup.”
Arsha menatap pesan itu lama. Ada desir hangat di dada yang bercampur getir.
Revan tahu.
Tapi sekarang… dia tak mengenalinya.
Dua hari kemudian, Arsha berdiri di depan kantor Revan. Hujan rintik-rintik membasahi jaket tipisnya. Ia ragu. Tapi kali ini, ia tidak datang untuk meminta kembali cinta. Ia datang untuk mengembalikan kebenaran.
Saat Revan keluar, Arsha memanggil pelan, “Revan…”
Revan menoleh. Wajahnya menegang. “Kau lagi?”
“Aku cuma butuh lima menit,” ucap Arsha lirih.
Revan menatap tajam, tapi akhirnya mengangguk. Mereka masuk ke kafe kecil di seberang jalan, duduk di pojok yang sepi. Tempat yang dulu sering mereka datangi.
Arsha meletakkan flashdisk kecil di atas meja. “Lihat ini. Kamu perlu tahu siapa aku sebenarnya.”
Revan mengambilnya, ragu. “Apa ini semacam permainan?”
“Bukan. Ini kenyataan. Dan kamu… kamu pernah jadi bagian dari semuanya.”
Revan menatapnya. Lama. Lalu berkata pelan, “Kenapa kamu mirip sekali dengan Elvira?”
Arsha menunduk, suaranya nyaris bergetar. “Karena kami diciptakan dari orang yang sama.”
Ia menceritakan semuanya. Tentang proyek kloning. Tentang Elvira. Tentang dirinya yang dianggap gagal. Tentang kenangan cinta mereka yang bukan berasal dari kehidupan nyata—melainkan hasil transfer memori dari gadis bernama Arsha Nadira yang sebenarnya… sudah meninggal.
Revan terdiam. Tak berkata apa pun.
Air mata menetes di pipi Arsha. “Kamu tahu rasanya hidup dengan ingatan yang indah tapi tahu itu semua bukan milikmu? Aku bahkan nggak tahu aku siapa. Aku cuma… ingin kamu tahu, aku bukan hantu yang datang merusak kebahagiaanmu.”
Revan menunduk, memejamkan mata. “Dulu… aku merasa kehilangan sesuatu. Seperti ada lubang besar yang nggak bisa ditutup. Lalu Elvira datang. Dan semua terasa lengkap kembali. Tapi hatiku… selalu bilang ada yang salah.”
Arsha menahan napas.
“Sekarang,” lanjut Revan, “aku ngerti kenapa.”
“Jadi… sekarang kamu percaya?”
Revan mengangguk pelan. “Tapi aku juga bingung. Dua-duanya… kalian sama. Tapi bukan kamu yang dulu. Dan aku nggak tahu… siapa yang harus aku pilih.”
Arsha tersenyum pahit. “Nggak usah pilih. Karena aku bukan untuk dimiliki. Aku hanya ingin tahu, aku pernah dicintai dengan tulus.”
Revan menatapnya. Mata mereka bertemu dalam diam yang menyakitkan. Lalu ia berbisik, “Selalu.”
Saat Arsha bangkit dan pergi meninggalkan kafe itu, Revan tidak mengejar.
Karena di antara dua hati yang sama, kadang… yang satu harus merelakan.
Berikut lanjutan cerita dari novel “Cinta yang Tak Seharusnya Ada”:
Bab 9: Antara Aku dan Dia
Sore itu, hujan turun deras, langit gelap seperti menyimpan dendam yang belum selesai. Arsha berdiri di depan rumah Revan—rumah yang dulu mereka impikan bersama. Tapi kini, bukan dia yang tinggal di dalamnya. Bukan dia yang duduk di sofa sambil memeluk pria yang dulu mencintainya.
Itu adalah Elvira.
Bayangannya.
Kembarannya.
Tapi bukan dirinya.
Dan hari ini, semuanya akan dibicarakan.
Tanpa kepura-puraan. Tanpa kebohongan.
Elvira membuka pintu dengan raut wajah tegang. Mereka saling menatap. Tidak dengan benci, tapi dengan luka yang dalam.
“Masuk,” ucap Elvira, singkat.
Di ruang tamu, dua wanita dengan wajah yang sama duduk berhadapan. Hening. Tak ada suara selain detak jarum jam.
“Kamu tahu aku akan datang,” kata Arsha akhirnya.
Elvira menatap lurus. “Iya. Karena kamu belum bisa menerima kenyataan.”
Arsha tersenyum getir. “Kenyataannya bukan aku yang nggak bisa terima. Tapi kamu yang takut kehilangan semuanya.”
Elvira mendengus pelan. “Apa kamu mau aku mundur dari hidup Revan?”
“Bukan soal itu. Aku cuma mau tahu… kenapa kamu hidup sebagai aku, menikmati hidup yang seharusnya bukan milik siapa-siapa.”
Elvira menatap Arsha dalam-dalam. “Karena aku tidak memilih dilahirkan. Sama sepertimu. Kita berdua korban. Tapi aku belajar mencintai Revan bukan karena memori. Aku mencintainya karena aku benar-benar jatuh cinta padanya. Dari nol.”
Arsha terdiam.
Elvira melanjutkan, suaranya lebih lembut. “Kamu masih memegang masa lalu, kenangan yang bahkan bukan sepenuhnya milikmu lagi. Sementara aku… menjalani hari ini.”
“Jadi kamu pikir kamu lebih pantas?”
Elvira tidak menjawab. Tapi tatapannya cukup jelas: iya.
Arsha menunduk. Hatanya tercabik. Ia tahu ini bukan tentang siapa yang lebih pantas. Ini tentang siapa yang mau melepaskan.
“Aku tidak akan memaksa Revan untuk memilih. Aku tidak akan rebut apa pun darimu,” ucap Arsha pelan. “Tapi aku ingin kamu tahu, meski kamu punya wajahku, hidupku, bahkan cintaku… kamu bukan aku. Dan kamu akan selalu hidup dalam bayangan seseorang yang sudah mati.”
Elvira menggertakkan rahang. Tapi ia tidak menyangkal.
Arsha berdiri, menatapnya untuk terakhir kali. “Dan kamu tahu, kadang… bayangan bisa lebih kuat dari cahaya.”
Saat Arsha melangkah pergi, Revan baru pulang dan berdiri membeku melihat keduanya—dua wanita, satu wajah, dua dunia berbeda.
Mereka bertiga hanya terdiam. Masing-masing tahu, apa pun pilihan yang dibuat nanti… akan ada hati yang hancur.
Dan cinta—kadang hanya bisa dimenangkan oleh mereka yang sanggup kalah.
Berikut bab terakhir dari novel “Cinta yang Tak Seharusnya Ada”:
Bab 10: Cinta yang Tak Seharusnya Ada
Pagi itu, dunia terasa lebih hening dari biasanya. Angin berembus lembut, tapi hati Arsha justru dipenuhi badai yang tak terlihat.
Ia berdiri di tepi danau kecil, tempat ia dan Revan dulu sering duduk berdua—tertawa, saling menggenggam tangan, dan memimpikan masa depan yang tak pernah terjadi.
Hari ini, ia akan membuat keputusan. Bukan demi Revan. Bukan demi Elvira. Tapi demi dirinya sendiri.
Ia mengeluarkan ponsel. Mengetik pesan terakhir.
“Aku tidak ingin jadi bayangan selamanya. Tapi aku juga tidak ingin jadi alasan kehancuran cinta yang pernah begitu indah. Mungkin, inilah takdirku: hadir bukan untuk dimiliki, tapi untuk mengingatkan bahwa cinta… tidak selalu harus dimenangkan.”
Pesan itu ia kirim ke Revan. Lalu, ia mematikan ponsel dan menjatuhkannya ke danau. Bersamaan dengan air matanya yang jatuh satu per satu.
Tapi sebelum ia pergi jauh, seseorang berdiri di belakangnya. Nafas tertahan. Langkah pelan.
“Elvira?” Arsha berbalik.
Wajah itu tampak lelah. Tapi tatapan Elvira bukan seperti biasanya. Ada kegelisahan yang dalam, dan… rasa bersalah.
“Aku bohong,” ucap Elvira pelan.
Arsha mengernyit. “Apa maksudmu?”
“Aku bukan kloning pertama. Aku bukan yang berhasil. Aku… hasil dari percobaan ketiga. Yang pertama memang gagal total. Tapi yang kedua—kamu—itu yang paling mendekati Arsha Nadira yang asli. Kamu… bukan gagal. Kamu adalah versi terbaik.”
Arsha terdiam. Dunia seperti berhenti sejenak.
“Lalu kenapa aku dianggap gagal?” tanyanya pelan.
“Karena kamu terlalu mirip. Terlalu… hidup. Kamu membuat semua orang di lab takut. Takut bahwa kamu akan menggantikan Arsha yang sebenarnya. Mereka memutuskan kamu harus dihapus. Tapi Dr. Nadine menyelamatkanmu. Dan aku… dijadikan pengganti yang lebih… mudah dikendalikan.”
Elvira menunduk. “Tapi semakin aku hidup sebagai Arsha, semakin aku sadar… aku cuma peniru. Sementara kamu, dengan segala luka dan kekacauanmu, justru lebih nyata dari siapa pun.”
Arsha menatap Elvira lama. Lalu mendekat, menggenggam tangannya.
“Kalau begitu, kenapa kamu tetap tinggal di sisinya?”
Air mata jatuh di pipi Elvira. “Karena aku egois. Tapi sekarang aku tahu, cinta yang lahir dari kebohongan… tidak akan pernah benar-benar utuh.”
Beberapa hari kemudian…
Revan duduk sendiri di taman kecil, membaca pesan Arsha berulang kali. Di sebelahnya, hanya ada sepucuk surat yang ditinggalkan Elvira.
“Aku memilih untuk pergi. Bukan karena aku kalah, tapi karena aku tahu kamu pantas mencintai tanpa dibayang-bayangi kenangan yang tak pernah kamu pahami. Jaga dia. Atau jangan cari dia lagi. Karena kadang, cinta paling tulus… adalah ketika kita melepaskan.”
Arsha pergi ke kota lain. Menjalani hidup baru dengan nama baru. Ia mulai bekerja di sebuah toko buku kecil, dikelilingi hal-hal sederhana yang tidak menuntut identitas atau masa lalu.
Sesekali, ia duduk di balkon, memandang langit malam, bertanya dalam hati—jika dirinya bukan siapa-siapa, apakah ia masih pantas dicintai?
Tapi malam itu, ia menjawab sendiri:
“Aku tak butuh jadi milik siapa pun untuk merasa berarti. Karena aku… adalah cinta yang tak seharusnya ada tapi tetap memilih untuk hidup.”
TAMAT.
Novel ini ditulis oleh Evi Fauzi, Penulis dari Novel Singkat. Baca juga novel romantis, petualangan dan fiksi ilmiah lainnya.