Novel Singkat Seandainya Aku Tak Mengenalmu
Novel Singkat Seandainya Aku Tak Mengenalmu

Novel Singkat: Seandainya Aku Tak Mengenalmu

Adrian, seorang arsitek muda berbakat, mengalami kecelakaan tragis bersama wanita yang ia cintai. Saat sadar, ia kehilangan seluruh ingatan tentangnya, dan lebih mengerikan lagi, semua jejak keberadaan wanita itu telah dihapus. Tidak ada foto, tidak ada pesan, bahkan tidak ada seorang pun yang mengingatnya. Namun, perasaan kehilangan yang terus menghantuinya.

Saat Adrian mulai menyelidiki, ia menemukan fakta yang mengungkap: wanita itu masih hidup, tetapi ingatannya juga telah dihapus oleh pihak misterius. Dalam pencarian kebenaran dan cinta yang terlupakan, Adrian dihadapkan pada pilihan: menyerah pada kenyataan palsu atau melawan kekuatan besar yang berusaha memisahkan mereka selamanya.

BAB 1 – Kecelakaan Itu

Hujan turun deras malam itu. Jalanan basah berkilauan diterpa lampu-lampu kota yang redup. Mobil sedan hitam melaju di antara butiran hujan yang menghantam kaca depan dengan ritme tak beraturan. Di dalamnya, seorang pria mengemudi dengan kedua tangan menggenggam kemudi erat, sementara seorang wanita di kursi penumpang menatapnya dengan mata yang dipenuhi ketakutan.

“Kita harus pergi sekarang,” kata wanita itu, suaranya bergetar. “Mereka akan menemukan kita kalau kita tetap di sini.”

Pria itu menoleh sekilas, sorot matanya penuh kegelisahan. “Aku tahu, tapi kita harus tetap tenang. Aku tidak bisa kehilangan kendali sekarang.”

Wanita itu menoleh ke belakang, memastikan tak ada yang mengikuti mereka. Jantungnya berdegup kencang, bukan hanya karena kecepatan mobil, tapi karena ancaman yang mereka tinggalkan di belakang.

Namun, takdir tampaknya punya rencana lain untuk mereka.

Tiba-tiba, dari kejauhan, lampu mobil lain menyala terang. Cahaya menyilaukan menusuk mata pria itu, membuatnya refleks membanting setir ke kanan. Ban mobil kehilangan cengkeraman di aspal licin, berputar liar sebelum akhirnya menghantam pembatas jalan dengan keras.

Brakkk!

Jeritan wanita itu menggema di dalam mobil. Kaca depan pecah berhamburan, logam melengkung dengan suara mengerikan. Dunia berputar, tubuh mereka terlempar ke depan dengan kekuatan brutal. Lalu, segalanya menjadi gelap.


Suara bip pelan terdengar, berirama, menandakan kehidupan masih bertahan di tengah kehampaan. Aroma antiseptik memenuhi ruangan, bercampur dengan udara dingin yang menusuk.

Kelopak mata pria itu bergetar sebelum akhirnya terbuka perlahan. Cahaya putih menyilaukan membuatnya mengerjap beberapa kali. Kepalanya berat, nyeri berdenyut di belakang tengkoraknya, seakan ada sesuatu yang mendesak keluar.

Dia mencoba menggerakkan tangannya, tetapi rasa sakit menahannya. Nafasnya berat, dada terasa sesak. Perlahan, ia menoleh ke samping dan melihat seorang wanita paruh baya berdiri di samping ranjangnya, wajahnya penuh kelegaan dan kekhawatiran.

“Kamu sudah sadar, Nak…” Suaranya lembut namun bergetar.

Pria itu mengerutkan kening, menatap wanita itu dengan bingung. “Siapa…?” Suaranya serak, hampir tak terdengar.

Wanita itu tampak terkejut, matanya membulat. “Aku ibumu. Kamu tidak ingat?”

Kebingungan semakin menguasainya. Dia mencoba mengingat, menggali sesuatu dalam pikirannya, tetapi yang ada hanyalah kekosongan. Seperti halaman buku yang telah dihapus dengan paksa.

“Kamu mengalami kecelakaan, sayang,” lanjut ibunya, suaranya semakin cemas. “Dokter bilang kamu mengalami gegar otak parah. Tapi kamu akan baik-baik saja…”

Kecelakaan?

Gambar buram melintas di pikirannya—hujan, jalanan basah, cahaya yang menyilaukan, suara rem yang berdecit. Tetapi ada sesuatu yang lain… sesuatu yang penting… seseorang.

Dia memejamkan matanya, mencoba mengingat, tetapi semakin ia berusaha, semakin kosong pikirannya.

“Ada… seseorang…” gumamnya lirih. “Aku… tidak sendirian.”

Wajah ibunya menegang. Ia bertukar pandang dengan seorang pria paruh baya yang berdiri di sudut ruangan—ayahnya.

“Siapa yang bersamaku?” tanyanya dengan napas memburu.

Keheningan menyelimuti ruangan.

Ayahnya melangkah mendekat, ekspresinya kaku. “Tidak ada siapa-siapa, Nak.”

Jantung pria itu berdegup lebih cepat. “Tidak mungkin. Aku ingat ada seseorang… Seorang wanita.”

Ibunya menelan ludah. “Kamu mungkin bermimpi, sayang. Polisi hanya menemukanmu seorang diri di mobil itu.”

Tidak. Itu tidak mungkin.

Ada seseorang bersamanya malam itu. Dia bisa merasakannya. Hatinya berteriak, seolah menuntut jawaban. Tetapi tidak ada bukti, tidak ada jejak, tidak ada yang mengingatnya.

Tidak ada yang mengenal wanita itu.

Dan yang lebih menakutkan, mungkin, dia juga tidak pernah ada.

BAB 2 – Tidak Ada Jejaknya

Beberapa hari telah berlalu sejak ia sadar di rumah sakit, tetapi kepalanya masih penuh tanda tanya yang tak terpecahkan. Setiap kali ia mencoba mengingat apa yang terjadi sebelum kecelakaan, pikirannya kosong, seolah-olah ada bagian dari hidupnya yang telah dihapus dengan paksa.

Ia tahu sesuatu hilang. Seseorang hilang.

Namun, tak ada yang percaya padanya.

“Kamu terlalu banyak berpikir, Sayang.” Ibunya membelai rambutnya lembut, mencoba menenangkannya. “Itu hanya efek dari cedera kepalamu. Mungkin kamu bermimpi sebelum kecelakaan terjadi.”

Ia hanya diam. Matanya menatap kosong ke luar jendela rumah sakit. Langit berwarna abu-abu, hujan turun rintik-rintik seperti malam itu. Ia tahu itu bukan mimpi. Perasaan kehilangan ini terlalu nyata, terlalu menyakitkan.

Setiap malam, saat memejamkan mata, ia merasa ada bayangan seseorang di pikirannya. Siluet samar, suara lembut, tawa yang menggema seperti melodi yang hampir ia ingat… tetapi semakin ia mencoba meraihnya, semakin jauh suara itu pergi.

Siapa dia?


Keesokan harinya, setelah diperbolehkan keluar dari rumah sakit, ia langsung mencari ponselnya. Jika ada seseorang yang pernah berarti dalam hidupnya, pasti ada jejaknya di sana.

Ia membuka galeri. Kosong. Tidak ada foto, tidak ada video. Seolah-olah seseorang telah menghapus semuanya.

Jantungnya mulai berdegup lebih cepat. Ia membuka aplikasi pesan. Sama. Tidak ada satu pun percakapan yang terasa familiar, tidak ada nama yang membuatnya teringat pada seseorang yang mungkin ia cari.

Tidak mungkin…

Dengan tangan gemetar, ia menekan kontak di ponselnya, menggulir ke bawah dengan harapan menemukan satu nama yang terasa berarti. Namun, hasilnya nihil. Semua terlihat normal, tetapi perasaannya mengatakan ada sesuatu yang salah.

Ia menggertakkan gigi. “Seseorang menghapus semuanya.”

“Tapi siapa?”

Ia menoleh ke arah ibunya yang tengah sibuk menyiapkan makanan di dapur. Ayahnya membaca koran di ruang tamu, terlihat santai, seolah semuanya baik-baik saja.

Tetapi ia tahu, tidak ada yang baik-baik saja.


Hari itu, ia nekat pergi ke lokasi kecelakaan.

Hujan masih turun ringan saat ia berdiri di pinggir jalan yang penuh dengan bekas ban kendaraan. Cahaya lampu jalan memantulkan bayangannya di aspal basah. Di sanalah mobilnya menabrak pembatas malam itu.

Ia memejamkan mata dan mencoba mengingat…

Kilatan cahaya terang. Rem mendadak. Suara dentuman keras. Jeritan seseorang.

Jeritan seorang wanita.

Ia membuka matanya lebar-lebar.

Tidak. Ia tidak gila. Ada seseorang bersamanya.

Tangannya mengepal. Ia harus mencari tahu siapa dia.

Dengan napas berat, ia berjalan ke seberang jalan, ke sebuah warung kopi kecil. Seorang pria tua duduk di balik meja kasir, menyeruput tehnya dengan santai.

“Permisi,” ia berkata, suaranya terdengar putus asa. “Beberapa hari lalu, saya mengalami kecelakaan di sini. Saya ingin tahu apakah Anda melihat sesuatu malam itu?”

Pria tua itu menatapnya dengan dahi berkerut. “Kecelakaan? Oh, yang sedan hitam itu?”

Jantungnya berdetak lebih cepat. “Iya! Itu saya. Saya… saya ingin tahu, apakah ada orang lain di dalam mobil saya?”

Pria tua itu menyesap tehnya perlahan, lalu menggeleng. “Nak, saat polisi datang, mereka hanya menemukan satu orang di mobil itu. Kamu.”

“Apa? Tidak, itu tidak mungkin!” Suaranya meninggi, frustrasi. “Saya ingat ada seseorang! Seorang wanita!”

Pria tua itu menghela napas, meletakkan gelasnya. “Maaf, Nak. Tapi kalau memang ada orang lain, pasti sudah ada beritanya.”

Berita…

Tentu saja!

Ia segera mengambil ponselnya, mencari berita tentang kecelakaannya. Jika ada seseorang yang bersamanya, namanya pasti ada di laporan.

Jari-jarinya bergerak cepat di layar, mencari artikel yang dimaksud. Namun, saat menemukan berita itu, matanya melebar tak percaya.

“Kecelakaan Tunggal: Pria Selamat dari Insiden Fatal di Jalan Raya X.”

Hanya dirinya.

Tidak ada nama lain. Tidak ada korban lain. Tidak ada bukti bahwa ada seseorang bersamanya.

Seseorang telah menghapus jejaknya.

Tapi siapa? Dan… kenapa?

BAB 3 – Sinyal dari Masa Lalu

Ia berjalan tanpa arah di tengah rintik hujan, pikirannya terus berputar dalam kebingungan.

Seseorang telah menghapus semua bukti keberadaan wanita itu dari hidupnya.
Tidak ada di berita. Tidak ada di dalam ponselnya. Tidak ada yang mengingatnya.
Tetapi ia tahu—wanita itu nyata.

Lalu siapa yang ingin menghapusnya? Dan yang lebih penting… kenapa?

Saat kembali ke rumah, ia langsung menuju kamar dan mengunci pintu. Ia harus berpikir jernih. Harus mencari petunjuk. Harus menemukan sesuatu… apapun!

Ia menyalakan laptopnya, mencari kembali berita tentang kecelakaannya. Semua artikel yang ia temukan tetap sama—hanya menyebutkan dirinya sebagai satu-satunya korban.

Tapi ada satu hal yang membuatnya merinding.

Sebuah unggahan dari akun anonim yang berkomentar di salah satu berita itu:
“Berhentilah mencari. Beberapa ingatan memang sebaiknya dilupakan.”

Darahnya berdesir.

Siapa orang ini? Apakah ini hanya kebetulan, atau seseorang memang sedang mengawasinya?


Semakin ia mencari, semakin ia menemukan keanehan lain.

Ia membawa ponselnya ke seorang teknisi, berharap ada file yang bisa dikembalikan dari sistem.

Pria di balik meja teknisi itu, seorang pria muda berkacamata, menatap layar dengan ekspresi bingung.

“Aneh,” gumamnya.

“Apa?”

“Data yang dihapus ini… biasanya kalau seseorang menghapus file, itu masih bisa dipulihkan. Tapi dalam kasus ini, jejak datanya benar-benar dihapus dengan metode profesional.”

Hati pria itu mencelos.

“Seseorang sengaja menghapus semuanya?” suaranya bergetar.

Pria teknisi itu mengangguk pelan. “Bukan cuma dihapus biasa. Ini seperti… seseorang ingin memastikan jejaknya benar-benar hilang.”

Ia merasakan bulu kuduknya meremang.

Lalu tiba-tiba…

“Sebentar,” teknisi itu menyipitkan mata ke layar. “Ada satu file yang tertinggal. Tapi ini… aneh.”

Jari-jarinya bergerak cepat, mencoba mengembalikan file itu. Tak lama, sebuah pesan teks muncul di layar ponsel.

“Kalau sesuatu terjadi padaku, tolong jangan lupakan aku.” – N

Dadanya terasa sesak. Tangannya bergetar saat ia menatap pesan itu.

“N…” gumamnya. “Siapa kamu?”

Pesan itu tidak memiliki nama pengirim. Tidak ada nomor. Tidak ada jejak. Hanya pesan tanpa konteks, seolah seseorang meninggalkannya untuk ditemukan.

Satu hal yang pasti: Wanita itu nyata.
Ia bukan imajinasi. Bukan halusinasi akibat gegar otak.
Seseorang pernah ada dalam hidupnya—dan kini telah dihapus dengan sengaja.

Tapi siapa yang cukup berkuasa untuk menghapus jejak keberadaan seseorang seutuhnya?

Ia menatap layar ponselnya, jantung berdebar kencang.
Ia harus menemukan wanita itu.

Sebelum semuanya terlambat.

BAB 4 – Bayangan yang Menghantui

Malam itu, pria itu tidak bisa tidur. Setiap kali ia menutup mata, pikirannya terus kembali pada pesan misterius yang ditemukan di ponselnya:

“Kalau sesuatu terjadi padaku, tolong jangan lupakan aku.” – N

Siapa N?

Apa yang terjadi padanya?

Dan yang lebih penting—kenapa semua orang bertindak seolah wanita itu tidak pernah ada?

Ia mengusap wajahnya frustasi. Ada sesuatu yang sangat salah di sini, dan ia tidak bisa diam saja.


Keesokan harinya, ia kembali ke lokasi kecelakaan, kali ini dengan tekad lebih kuat. Ia berjalan menyusuri tepi jalan, memperhatikan setiap sudut, berharap menemukan sesuatu—apa pun yang bisa membuktikan bahwa ia tidak gila.

Namun, yang ia temukan justru lebih aneh lagi.

Ada kamera pengawas di lampu lalu lintas tidak jauh dari tempat kecelakaan. Jika ada seseorang bersamanya malam itu, rekaman itu pasti akan menunjukkan kebenaran.

Tanpa membuang waktu, ia pergi ke kantor polisi dan meminta akses ke rekaman CCTV. Petugas di sana, seorang pria berperawakan besar dengan ekspresi malas, menatapnya skeptis.

“Kami tidak bisa memberikan rekaman itu begitu saja,” katanya. “Harus ada surat izin resmi atau laporan polisi.”

“Tapi ini kecelakaanku sendiri,” pria itu bersikeras. “Aku hanya ingin tahu apa yang terjadi.”

Polisi itu menghela napas, lalu mengetik sesuatu di komputernya. Beberapa saat kemudian, ia mengernyit.

“Rekamannya hilang,” katanya.

Jantung pria itu berdegup lebih cepat. “Apa maksudnya hilang?”

“Data rekaman malam itu terhapus dari server. Ini aneh… seharusnya rekaman lalu lintas disimpan setidaknya selama sebulan.”

Pria itu merasakan bulu kuduknya meremang.

Seseorang telah menghapus rekaman itu.

Seseorang ingin menutupi kejadian malam itu.


Dengan perasaan tak menentu, ia keluar dari kantor polisi. Langit mendung, angin dingin menerpa wajahnya.

Lalu, sesuatu yang aneh terjadi.

Saat ia berjalan di trotoar, ia merasa ada seseorang yang mengikutinya. Ia tidak bisa melihat dengan jelas, tetapi setiap kali ia menoleh, ada sosok hitam yang menghilang di balik keramaian.

Detak jantungnya meningkat.

Ia mempercepat langkahnya. Sosok itu juga ikut mempercepat langkah.

Ia menyeberang jalan, mencoba mencari tempat lebih ramai. Sosok itu masih mengikutinya.

Akhirnya, di sebuah gang sempit, pria itu berhenti dan berbalik dengan cepat.

“Tunjukkan dirimu!” serunya.

Hening.

Angin berhembus pelan, menggoyangkan plastik dan dedaunan kering di aspal.

Lalu, dari bayangan gang yang gelap, seseorang keluar.

Seorang pria tinggi dengan jaket hitam dan topi, wajahnya setengah tersembunyi dalam bayangan.

“Kau seharusnya tidak mencari dia,” kata pria itu dengan suara datar.

Jantung pria itu mencelos. “Apa maksudmu?”

Pria itu menatapnya tajam. “Lupakan dia. Itu yang terbaik untukmu.”

“Siapa kau? Apa yang kau tahu tentang ini?”

Pria itu diam beberapa detik, lalu berkata dengan nada yang membuat bulu kuduk berdiri:

“Jika kau terus mencari, kau akan berakhir seperti dia.”

Sebelum pria itu sempat merespons, sosok misterius itu berbalik dan menghilang dalam gelapnya gang.

Hatinya berdegup kencang.

Ia tidak hanya kehilangan seseorang…

Ia sedang diawasi.

BAB 5 – Dia Masih Hidup

Pikirannya kacau.

Pria misterius itu, pesan ancaman yang ia terima, rekaman CCTV yang menghilang—semuanya mengarah pada satu kesimpulan: seseorang tidak ingin ia menemukan wanita itu.

Tapi kenapa?

Dan yang lebih penting… siapa yang berusaha menghapusnya dari hidupnya?

Semakin ia memikirkan itu, semakin ia merasa ada sesuatu yang besar sedang disembunyikan darinya.

Malam itu, ia duduk di depan laptopnya, mencari informasi yang bisa membawanya lebih dekat ke jawaban. Ia mencoba mencari laporan kecelakaan di internet, menggali setiap berita, setiap forum, bahkan halaman yang sudah diarsipkan.

Lalu, sesuatu menarik perhatiannya.

Sebuah komentar dari akun anonim di salah satu forum berita kecelakaan:

“Aku melihatnya. Kau tidak sendirian di dalam mobil itu.”

Matanya membulat.

Ada seseorang yang melihatnya!

Ia segera mengirim pesan pribadi ke akun itu, berharap mendapat balasan. Namun, tidak ada jawaban.

Frustasi, ia berusaha mencari lebih jauh. Jika wanita itu memang dihapus dari hidupnya, mungkin satu-satunya cara menemukan jejaknya adalah dengan mencari sesuatu yang tidak bisa dihapus… ingatan orang lain.

Ia mulai mencari rumah sakit di sekitar lokasi kecelakaan. Jika wanita itu selamat, dia pasti dirawat di suatu tempat.

Lalu, akhirnya ia menemukannya.

Sebuah rumah sakit kecil di pinggiran kota. Tidak ada informasi spesifik tentang pasien yang dirawat setelah kecelakaan, tetapi ada satu hal yang menarik perhatiannya—data pasien yang dirahasiakan.

Jantungnya berdegup kencang.

Tanpa pikir panjang, ia bergegas menuju rumah sakit itu.


Malam telah larut ketika ia tiba di sana. Rumah sakit tampak sepi, hanya ada beberapa perawat yang berjaga di meja resepsionis.

Ia berjalan ke meja informasi, mencoba terlihat tenang meskipun pikirannya berkecamuk.

“Maaf, saya sedang mencari seseorang yang mungkin dirawat di sini beberapa hari yang lalu. Seorang wanita,” katanya dengan suara terkontrol.

Perawat di depannya menatapnya dengan curiga. “Siapa namanya?”

Ia terdiam. Ia tidak tahu.

Tapi kemudian, ia teringat pesan di ponselnya.

“N,” katanya lirih. “Namanya mungkin berinisial N.”

Perawat itu tampak ragu. Ia mengetik sesuatu di komputernya, lalu mengernyit.

“Saya tidak bisa memberikan informasi pasien tanpa izin keluarga,” katanya dengan nada profesional.

Ia mendesah. “Saya hanya ingin tahu apakah dia masih hidup.”

Perawat itu terdiam sejenak. Kemudian, dengan suara yang hampir berbisik, ia berkata, “Kalau Anda mencari pasien yang tidak terdaftar, coba tanyakan di bangsal khusus lantai tiga.”

Ia langsung mengerti maksudnya.

Ada seseorang di sini yang tidak ingin ditemukan.


Dengan hati berdebar, ia naik ke lantai tiga.

Lorong rumah sakit itu sunyi. Lampu-lampu redup berkedip pelan, menciptakan bayangan panjang di dinding.

Ia berjalan melewati beberapa kamar, membaca nama pasien di pintu satu per satu.

Lalu ia berhenti.

Sebuah kamar dengan label “Pasien Tanpa Identitas.”

Tangan gemetar, ia mendorong pintu perlahan.

Di dalamnya, duduk di atas ranjang, seorang wanita dengan rambut panjang berantakan. Matanya kosong, menatap jendela dengan tatapan yang tak bisa dijelaskan.

Jantungnya hampir berhenti berdetak.

Ia mengenalnya.

Wanita itu masih hidup.

Namun, saat ia melangkah mendekat, wanita itu menoleh dan menatapnya… dengan ekspresi penuh ketakutan.

“Siapa kamu?” suaranya gemetar.

Ia membeku di tempat.

Wanita itu masih hidup.

Tapi dia tidak mengingatnya.

BAB 6 – Rahasia yang Terlupakan

Ia berdiri di ambang pintu, tubuhnya kaku seakan terperangkap dalam pusaran waktu.

Wanita itu… dia masih hidup.

Namun, tatapan kosong yang diberikan wanita itu bukanlah tatapan seseorang yang bertemu kembali dengan orang yang dicintainya. Itu adalah tatapan penuh ketakutan.

“Siapa kamu?” suaranya bergetar, matanya menatapnya seolah ia adalah orang asing.

Pria itu merasa dadanya mencelos. Ini tidak mungkin. Wanita ini adalah seseorang yang mengisi kekosongan di hatinya, seseorang yang hilang dari hidupnya, seseorang yang telah ia cari mati-matian.

Tapi dia tidak mengingatnya.


Ia mencoba menarik napas dalam-dalam, menenangkan gemuruh di dadanya. “Namaku… namaku Adrian,” katanya lirih. “Aku… aku kenal kamu.”

Wanita itu menatapnya lebih tajam, ekspresinya berubah menjadi waspada.

“Kau salah orang,” katanya cepat.

Adrian melangkah maju. “Tidak, aku yakin. Aku mengenalmu. Aku… aku merasa kehilanganmu. Aku mencari ke mana-mana. Tolong… katakan sesuatu.”

Wanita itu semakin merapat ke dinding, matanya mulai dipenuhi kepanikan. “Aku tidak tahu siapa kau. Pergilah.”

Adrian membeku. Perasaannya berkecamuk antara sakit hati dan kebingungan. Bagaimana bisa wanita ini tidak mengenalnya? Apakah ini efek dari kecelakaan? Atau ada sesuatu yang lebih besar yang sedang dimainkan di sini?

Ia menatapnya dalam-dalam, mencoba mencari secercah ingatan di matanya.

Lalu, ia melihat sesuatu.

Tangan wanita itu… ada bekas luka samar di pergelangannya. Luka lama yang sudah mulai memudar.

Kilatan ingatan tiba-tiba menyerbu pikirannya.

Mereka duduk di tepi danau, tangan wanita itu melingkar di lengannya. “Luka ini… aku dapat waktu kecil. Aku jatuh dari sepeda, dan ayahku hanya bilang, ‘Anak tangguh harus bisa bangkit sendiri.’” Ia tertawa pelan, suaranya lembut seperti angin sore. “Tapi aku pikir… kalau aku jatuh lagi, aku ingin seseorang membantuku bangkit.”

Adrian terhuyung mundur.

Ini dia. Ini benar-benar dia.

“Waktu kecil, kau jatuh dari sepeda dan mendapatkan luka itu,” katanya pelan, hampir berbisik. “Ayahmu bilang… anak tangguh harus bangkit sendiri.”

Mata wanita itu melebar.

Itu adalah reaksi spontan, sesuatu yang tidak bisa ia sembunyikan.

“Bagaimana kau tahu?” bisiknya, suaranya terdengar gentar.

“Aku tahu karena aku mengenalmu.”

Wanita itu menunduk, jemarinya mengepal di atas selimut. Ada sesuatu dalam dirinya yang berjuang melawan ingatan, seakan otaknya menolak kenyataan.

“Aku tidak tahu apa yang kau bicarakan,” katanya akhirnya, suaranya terdengar dipaksakan. “Aku tidak ingat apa-apa sebelum aku bangun di rumah sakit ini.”

Adrian merasa seluruh tubuhnya menegang.

Jadi, bukan hanya dirinya yang kehilangan ingatan tentang wanita ini. Wanita ini juga kehilangan ingatannya sendiri.

Tapi… bagaimana mungkin?

Apakah kecelakaan itu begitu parah hingga merenggut ingatannya?

Ataukah… seseorang sengaja membuatnya lupa?


Ketika Adrian keluar dari kamar itu, pikirannya masih berputar. Ia harus tahu lebih banyak. Ada seseorang yang telah menghapus wanita ini dari hidupnya—dan sekarang, bahkan wanita itu sendiri tidak mengingat siapa dirinya.

Ia berjalan menuju ruang perawat dengan langkah cepat.

“Pasien di kamar 307,” katanya tanpa basa-basi kepada perawat di meja jaga. “Siapa dia? Kapan dia dibawa ke sini?”

Perawat itu tampak ragu. “Maaf, kami tidak bisa memberikan informasi pasien tanpa izin keluarga.”

Adrian menatapnya tajam. “Tolong. Aku hanya ingin tahu apakah dia datang setelah kecelakaan mobil beberapa hari lalu.”

Perawat itu menggigit bibirnya, lalu menghela napas. “Dia ditemukan beberapa hari yang lalu di pinggir jalan, tidak jauh dari lokasi kecelakaan. Saat ditemukan, dia tidak membawa identitas apa pun. Tidak ada keluarga yang mengklaimnya, dan dia sendiri tidak bisa mengingat apa pun.”

Adrian mengepalkan tangannya. Jadi dia memang berasal dari kecelakaan itu!

“Apa ada rekaman CCTV rumah sakit? Mungkin ada seseorang yang datang menjenguknya?”

Perawat itu menggeleng. “Kami tidak mencatat siapa pun yang datang untuknya. Sejak dia dibawa ke sini, dia hanya sendirian.”

Sendirian.

Dihapus dari sejarah.

Tanpa ingatan, tanpa keluarga, tanpa jejak.

Seseorang telah memastikan bahwa wanita ini tidak akan pernah ditemukan—bahkan oleh dirinya sendiri.

Dan sekarang Adrian harus menemukan kebenarannya.

Sebelum semuanya terlambat.

BAB 7 – Musuh dalam Bayangan

Adrian keluar dari rumah sakit dengan kepala penuh pertanyaan yang tidak menemukan jawaban. Langit di atasnya gelap, seakan ikut menyimpan rahasia yang kini ia coba bongkar.

Wanita itu masih hidup. Itu sudah pasti.
Tapi mengapa dia kehilangan ingatannya?
Dan lebih penting lagi… siapa yang ingin memastikan mereka tidak pernah bertemu lagi?

Langkahnya berat saat ia berjalan menuju mobilnya yang diparkir di seberang jalan. Namun, saat ia mendekat, ada perasaan tidak enak menyergapnya. Seperti… dia sedang diawasi.

Ia menoleh ke kanan dan kiri, mengamati sekitar. Jalanan sepi. Beberapa lampu jalan berkedip-kedip, menciptakan bayangan panjang di trotoar.

Lalu ia melihatnya.

Di seberang jalan, di bawah pohon besar, ada seseorang berdiri.

Siluet hitam dengan jaket panjang, wajah tertutup bayangan, seperti hantu di tengah malam.

Adrian merasakan jantungnya berdebar lebih cepat.

Orang itu tidak bergerak. Tidak mengalihkan pandangan.

Ia menelan ludah, lalu menguatkan diri untuk melangkah. Jika ini memang seseorang yang mencoba menghalanginya, maka ia harus tahu siapa yang sedang ia hadapi.

Namun, baru saja ia mengambil satu langkah maju…

Orang itu berbalik dan pergi.

Tapi bukan dengan langkah biasa. Ia berlari.

Tanpa berpikir panjang, Adrian langsung mengejar.


Mereka berlari menembus lorong-lorong sempit, melewati gang kecil di belakang rumah sakit. Adrian bisa melihat sosok itu melesat cepat, tapi ia tetap berusaha mengejarnya.

Tepat saat ia hampir berhasil menangkapnya, sosok itu berbelok ke sebuah gang buntu.

Tidak ada jalan keluar.

Adrian memperlambat langkahnya, mendekati sosok itu dengan hati-hati.

“Nggak ada tempat untuk lari lagi,” katanya, napasnya memburu. “Siapa kau? Kenapa kau mengikutiku?”

Sosok itu diam sejenak, lalu berbalik perlahan.

Dan saat wajahnya terlihat…

Jantung Adrian hampir berhenti berdetak.

Itu bukan orang asing. Itu adalah pria yang menemuinya di gang beberapa hari lalu—orang yang memperingatkannya untuk berhenti mencari wanita itu.

Pria itu menatapnya dengan tajam, lalu mengeluarkan sesuatu dari sakunya. Sebuah amplop putih yang sedikit kusut.

“Ini jawaban yang kau cari,” katanya dengan suara dingin. “Tapi jika kau terus mencari dia setelah ini… kau akan mati.”

Tanpa menunggu reaksi Adrian, pria itu melempar amplop ke tanah dan melangkah pergi.

Adrian hanya bisa menatap punggungnya yang menghilang dalam kegelapan, napasnya masih memburu.

Setelah beberapa detik, ia membungkuk dan mengambil amplop itu.

Tangannya gemetar saat ia membukanya.

Di dalamnya, ada satu lembar foto yang sudah kusut, seolah telah berkali-kali dilipat dan disembunyikan.

Dan ketika ia melihat gambar itu, tubuhnya membeku.

Itu adalah foto dirinya… bersama wanita itu.

Mereka berdua berdiri di depan sebuah rumah kecil, tersenyum bahagia, tangannya melingkar di pinggang wanita itu dengan erat.

Di balik foto itu, ada tulisan tangan kecil yang samar, seakan ditulis dengan tergesa-gesa.

“Aku tahu sesuatu. Mereka menghapusnya. Temui aku di alamat ini sebelum mereka menemukanku duluan.”

Di bawahnya, ada sebuah alamat.

Adrian merasakan detak jantungnya semakin cepat.

Siapakah orang ini? Apa yang dia tahu?

Dan yang lebih penting…

Siapa ‘mereka’ yang disebut dalam pesan itu?

Adrian tahu satu hal pasti—ini bukan lagi sekadar pencarian seseorang.

Ini adalah permainan berbahaya yang bisa membawanya pada kematian.

Tapi jika itu satu-satunya cara untuk menemukan kebenaran…

Ia siap mempertaruhkan segalanya.

BAB 8 – Siapa yang Berusaha Memisahkan Mereka?

Adrian duduk di dalam mobilnya, menatap foto yang baru saja diterimanya. Jemarinya meremas lembaran kertas itu erat, seakan mencoba memastikan bahwa ini bukan sekadar ilusi.

Bukti ini nyata. Wanita itu nyata.

Dan yang lebih penting… seseorang berusaha menghapusnya.

Matanya turun ke tulisan di balik foto. Sebuah alamat tercantum di sana. Orang ini tahu sesuatu.

Tanpa membuang waktu, ia menyalakan mesin mobil dan melaju ke alamat yang tertera. Hujan mulai turun deras, menciptakan irama monoton di kaca depan. Jari-jarinya mengetuk-ngetuk kemudi dengan gelisah.

Siapa yang mengirimkan ini?

Kenapa orang itu tampak begitu ketakutan?

Dan… apa yang sebenarnya mereka sembunyikan darinya?


Setelah perjalanan hampir satu jam, Adrian tiba di lokasi—sebuah rumah tua di pinggiran kota, tampak terlantar dengan cat yang mulai mengelupas dan jendela yang tertutup rapat.

Ia memarkir mobilnya beberapa meter dari rumah itu, memperhatikan sekeliling dengan hati-hati. Jalanan sepi. Tidak ada tanda-tanda orang lain.

Dengan napas tertahan, ia melangkah ke beranda dan mengetuk pintu.

Tidak ada jawaban.

Ia mencoba lagi, kali ini sedikit lebih keras. “Halo? Ada orang?”

Masih sunyi.

Perasaan tidak enak menjalari tubuhnya. Ia meraih gagang pintu dan mendorongnya perlahan.

Terkunci.

Namun, saat ia mencoba mengintip ke dalam lewat jendela, sesuatu membuat darahnya membeku.

Di dalam rumah itu, di lantai kayu yang berdebu… ada bercak darah.


Adrian langsung mundur selangkah, jantungnya berdegup kencang.

Orang ini… orang yang seharusnya bisa memberi jawaban… sudah ditemukan lebih dulu.

Seseorang telah datang ke sini sebelum dia.

Dan mereka tidak hanya datang untuk menutup mulut orang itu—mereka datang untuk menghilangkannya.

Ia merogoh ponselnya dengan tangan gemetar, mencoba menelepon seseorang, siapa saja, yang bisa membantunya. Namun, sebelum ia sempat menekan nomor, sebuah suara terdengar dari belakangnya.

“Kau datang terlalu lambat.”

Adrian menoleh dengan cepat, napasnya tertahan.

Di ujung jalan, seorang pria berdiri di bawah naungan hujan, mengenakan jas gelap yang basah kuyup. Wajahnya sebagian tertutup bayangan, tetapi sorot matanya dingin dan tajam.

“Siapa kau?” Adrian bertanya dengan suara keras.

Pria itu hanya tersenyum tipis. “Aku sudah memperingatkanmu. Kau seharusnya berhenti mencari.”

Adrian mengepalkan tangannya. “Apa yang terjadi di sini? Apa yang kalian lakukan pada orang ini?”

Pria itu menghela napas seakan bosan, lalu mengeluarkan sesuatu dari saku jasnya—sebuah foto lain.

Ia melemparnya ke tanah, tepat di kaki Adrian.

Dengan hati-hati, Adrian membungkuk dan mengambilnya.

Dan saat ia melihatnya, tubuhnya langsung menegang.

Itu adalah foto dirinya… di rumah sakit… sedang berbicara dengan wanita itu.

Dari sudut ruangan, seseorang telah mengambil gambar mereka.

Adrian merasa darahnya berdesir. Mereka telah mengawasinya selama ini.

Matanya beralih ke pria itu, yang kini tampak lebih puas melihat ekspresi terkejutnya.

“Kau pikir kau benar-benar bisa menemukan kebenaran?” pria itu berkata pelan, hampir seperti bisikan. “Kau pikir kau bisa menyelamatkan dia?”

Adrian tidak menjawab.

Karena saat itu juga, ia sadar akan satu hal.

Ini bukan hanya tentang mencari wanita yang hilang.

Ini adalah tentang melawan orang-orang yang telah mengendalikan hidupnya sejak awal.

BAB 9 – Harga dari Kebenaran

Adrian menatap pria di depannya dengan tatapan tajam. Hujan semakin deras, menampar wajahnya, tapi tubuhnya tetap kaku.

Mereka telah mengawasinya.

Mereka tahu setiap langkahnya.

Mereka telah memastikan ia kehilangan wanita itu—bukan hanya dengan menghapusnya dari dunia, tapi juga dengan menciptakan ketakutan di sekelilingnya.

Ia mengepalkan foto di tangannya. “Siapa kalian?” suaranya terdengar lebih tajam dari yang ia maksudkan.

Pria itu tersenyum miring. “Kami hanya memastikan semuanya berjalan sesuai rencana.”

Adrian merasa tubuhnya menegang. “Apa maksudmu?”

Pria itu tidak menjawab. Sebaliknya, ia memasukkan tangannya ke saku jasnya dan menarik sesuatu—sebuah ponsel. Ia mengetik sesuatu dengan cepat, lalu melemparkan ponsel itu ke arah Adrian.

“Jawaban yang kau cari ada di sini,” katanya. “Tapi sebelum kau melihatnya, ingat satu hal—semakin dalam kau menggali, semakin sulit untuk kembali.”

Adrian merasakan napasnya semakin berat.

Ia menunduk, menatap layar ponsel itu.

Ada sebuah video yang terbuka.

Tangannya gemetar saat ia menekan tombol play.


Gambar di layar mulai bergetar sebelum akhirnya fokus.

Rekaman itu tampaknya diambil dari kamera pengawas. Sebuah ruangan putih dengan tempat tidur di tengahnya. Seorang wanita duduk di atas ranjang, mengenakan gaun rumah sakit.

Wanita itu… dia.

N.

Jantung Adrian berdetak lebih cepat.

Wanita itu terlihat kebingungan. Ada seorang pria berpakaian putih—mungkin dokter—berdiri di hadapannya, berbicara dengan lembut.

“Kau harus melupakan semuanya. Itu untuk kebaikanmu.”

Adrian menahan napas.

Wanita itu menggeleng, air matanya mengalir di pipinya. “Tolong… aku tidak ingin melupakan dia. Aku tidak ingin melupakan Adrian.”

Ia mencengkeram ponsel itu lebih erat.

Dia mengingatku! Dia tahu siapa aku!

Namun, rekaman itu belum selesai.

Dokter itu memberi isyarat, dan seseorang masuk ke dalam ruangan. Seorang pria mengenakan jas hitam—pria yang sama yang kini berdiri di depannya.

“Maafkan aku,” kata pria itu dalam video. “Tapi ini bukan keputusanmu.”

Wanita itu berteriak, menangis, mencoba berlari. Tapi dua pria lain masuk dan menahannya di tempat.

Sebuah suntikan berisi cairan bening disiapkan.

“Ini tidak akan sakit. Kau akan bangun tanpa mengingatnya lagi,” kata dokter itu sambil menusukkan jarum ke lehernya.

Wanita itu menjerit.

Lalu, matanya perlahan kehilangan cahaya.

Tangannya yang tadinya meronta kini jatuh lemas.

Dan kemudian… gelap.


Adrian menutup video itu dengan tangan gemetar.

Darahnya mendidih.

Matanya beralih ke pria di depannya.

“Kalian… mencuci otaknya?” suaranya hampir tidak terdengar, penuh amarah yang tertahan.

Pria itu hanya tersenyum kecil. “Kami hanya memastikan dia tidak ingat sesuatu yang seharusnya tidak ia ingat.”

Adrian merasa ingin menghancurkan wajahnya saat itu juga.

“Tapi kenapa? Kenapa kalian melakukan ini padanya?”

Pria itu menatapnya sebentar sebelum menjawab dengan nada datar.

“Karena kau tidak seharusnya ada dalam hidupnya.”


Pikiran Adrian berputar liar.

Semua pertanyaan yang selama ini membebaninya akhirnya mulai menemukan jawaban.

Bukan hanya seseorang yang ingin wanita itu menghilang dari hidupnya—tapi ada kekuatan yang lebih besar yang bekerja untuk memastikan mereka tidak pernah bertemu lagi.

Namun, kini ia tahu kebenarannya.

Wanita itu tidak melupakannya secara alami. Ia dipaksa untuk lupa.

Dan itu berarti…

Masih ada cara untuk membuatnya mengingat kembali.

Ia menatap pria itu dengan mata membara.

“Aku tidak peduli siapa kalian atau seberapa kuat kalian,” katanya dengan suara rendah, penuh keteguhan.

“Aku akan mengambilnya kembali.”

Pria itu tidak terlihat terkejut. Sebaliknya, ia hanya tersenyum kecil, seolah sudah menduga jawaban itu.

“Terserah padamu,” katanya sambil berbalik, mulai berjalan menjauh. “Tapi ingat, Adrian… jika kau melawan kami, ini tidak akan berakhir dengan baik untukmu.”

Adrian tidak menjawab.

Ia hanya berdiri di sana, menggenggam foto di satu tangan dan ponsel di tangan lainnya.

Ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan.

Ia hanya tahu satu hal.

Ia harus menemukan wanita itu sebelum mereka melakukannya lagi.

BAB 10 – Seandainya Aku Tak Mengenalmu

Adrian berdiri di depan rumah sakit tempat wanita itu dirawat. Hujan turun deras, membasahi tubuhnya, tapi ia tidak peduli.

Setelah semua yang ia ketahui, setelah semua bukti yang ia temukan, ia tahu hanya ada satu hal yang harus ia lakukan: membuat wanita itu mengingatnya kembali.

Namun, bagaimana caranya?

Ia tidak bisa begitu saja masuk dan mengatakan, “Hei, kita dulu saling mencintai, tapi ingatanmu dihapus oleh orang-orang yang ingin kita terpisah.”

Tidak ada yang akan mempercayainya. Bahkan, wanita itu sendiri mungkin akan semakin menjauh darinya.

Tapi ia tidak bisa menyerah. Bahkan jika ia harus memulai semuanya dari awal.


Dengan hati yang berdebar, Adrian berjalan menuju kamar wanita itu.

Saat ia membuka pintu, wanita itu menoleh, tatapannya masih dipenuhi kehati-hatian.

“Kau lagi…” katanya pelan.

Adrian menelan ludah, mencoba menenangkan pikirannya. “Ya, aku lagi.”

Wanita itu tetap diam.

Ia bisa melihat bahwa meskipun ingatannya telah dihapus, masih ada sesuatu dalam dirinya yang bereaksi terhadap kehadiran Adrian.

Ketakutan?

Atau… sesuatu yang lebih dalam?

“Aku tahu ini membingungkan,” kata Adrian, duduk di kursi di sebelah ranjangnya. “Aku tahu kau tidak ingat aku. Tapi aku ingin kau mendengar sesuatu.”

Wanita itu tetap diam, tapi ia tidak menolak.

Adrian menarik napas dalam.

“Kau pernah bilang padaku kalau kau ingin seseorang membantumu bangkit saat kau jatuh. Bahwa kau tidak ingin sendirian.”

Wanita itu mengerutkan kening.

“Itu sesuatu yang kau katakan padaku di tepi danau,” lanjut Adrian. “Aku ingat bagaimana kau tertawa, bagaimana kau menatapku seperti aku adalah satu-satunya orang di dunia ini yang kau percaya.”

Wanita itu menatapnya lama. Matanya berkedip, seolah-olah otaknya sedang berusaha menangkap sesuatu di balik kata-katanya.

Kemudian, perlahan, ia menggeleng. “Aku… aku tidak ingat…”

Adrian merasakan dadanya mencelos.

Tapi ia tidak menyerah.

“Tidak apa-apa,” katanya dengan lembut. “Aku tidak memintamu untuk mengingat sekarang. Aku hanya ingin kau tahu… bahwa aku di sini. Aku tidak akan pergi. Aku tidak akan membiarkan mereka menghapus kita lagi.”

Wanita itu menunduk, menggigit bibirnya.

Seakan ada sesuatu di dalam dirinya yang berusaha keluar.

Namun, sebelum Adrian bisa mengatakan lebih banyak, pintu kamar tiba-tiba terbuka.

Seorang dokter masuk, diikuti oleh dua pria berbaju hitam.

Adrian langsung tahu ini bukan kebetulan.

“Kau harus pergi,” kata dokter itu dengan suara dingin. “Pasien ini tidak boleh diganggu.”

Adrian berdiri, matanya menyipit. “Siapa yang mengutus kalian?”

Dokter itu tidak menjawab, tetapi pria berbaju hitam itu melangkah maju. “Keluar sekarang, atau kami akan membuatmu keluar.”

Wanita itu menatap mereka dengan bingung. “Apa yang terjadi?”

Adrian melihat ketakutan di matanya. Ia tidak bisa membiarkan mereka mengambilnya lagi.

Tanpa berpikir panjang, ia menarik tangan wanita itu.

“Kita harus pergi dari sini,” bisiknya.

Wanita itu membeku. “Apa?”

“Percayalah padaku. Jika kau tetap di sini, kau tidak akan pernah tahu siapa dirimu sebenarnya.”

Wanita itu ragu sejenak, tapi kemudian… ia menggenggam tangannya.

Adrian tidak menunggu lebih lama. Ia menariknya keluar dari kamar, berlari menyusuri koridor rumah sakit dengan suara langkah kaki mengejar di belakang mereka.

Mereka melewati lorong demi lorong, mencari jalan keluar.

Lalu, di tengah pelarian mereka, sesuatu terjadi.

Wanita itu tiba-tiba berhenti.

Ia memegang kepalanya, tubuhnya gemetar.

“Ada apa?” tanya Adrian panik.

Wanita itu memejamkan matanya erat-erat, napasnya terengah-engah. “Aku… aku melihat sesuatu… kilasan…”

Adrian menggenggam bahunya. “Apa yang kau lihat?”

Wanita itu membuka matanya. Dan untuk pertama kalinya… ia menatap Adrian dengan cara yang berbeda.

Dengan cara yang ia kenal.

Dengan mata yang menyimpan kenangan.

“Aku ingat namamu,” bisiknya.

Jantung Adrian berdetak lebih kencang. “Apa?”

Wanita itu mengulangi, lebih yakin kali ini. “Aku ingat namamu, Adrian.”

Air mata menggenang di matanya.

Adrian tahu ini baru permulaan. Tapi itu sudah cukup.

Mereka mungkin telah mencoba menghapus segalanya.

Tapi mereka lupa satu hal.

Cinta yang nyata tidak bisa dihapus begitu saja.

Dan ia akan berjuang untuk itu.

Apa pun yang terjadi.

TAMAT.

Novel ini ditulis oleh Evi Fauzi, Penulis dari Novel Singkat. Baca juga novel romantis, petualangan dan fiksi ilmiah lainnya.

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

    Leave a Reply

    Your email address will not be published. Required fields are marked *