Di dunia yang kehilangan kematian, manusia menjadi abadi tetapi kehilangan makna hidup mereka. Rama, seorang Pemburu Kematian, bertugas mengembalikan keseimbangan dunia dengan menemukan Kunci Kematian yang telah dicuri. Namun, pencuri itu ternyata adalah Lila, cinta pertamanya yang seharusnya telah meninggal bertahun-tahun lalu.
Lila mengaku bahwa jika kematian kembali, dirinya akan menjadi orang pertama yang menghilang. Dilema besar pun muncul—apakah Rama harus menyelamatkan dunia atau mempertahankan wanita yang dicintainya? Saat kebenaran tentang Proyek Lazarus terungkap, Rama menyadari bahwa Lila bukan sekadar seseorang yang kembali, tetapi kunci utama dalam perubahan dunia.
Di tengah pertarungan sengit melawan Direktur Vargas, Rama dihadapkan pada pilihan mustahil yang akan menentukan nasib dunia dan orang yang paling ia cintai.
Apakah ia akan mengorbankan Lila demi menyelamatkan dunia? Atau melawan takdir demi mempertahankan satu cinta sejati?
Bab 1 – Dunia yang Terlupakan
Matahari senja itu seharusnya indah, tetapi tidak ada lagi yang peduli. Jingganya masih tetap sama, awan tetap melayang malas di langit, namun semua terasa hampa. Kota-kota ramai, orang-orang sibuk berlalu lalang, tapi tak ada wajah yang benar-benar tersenyum. Dunia telah kehilangan esensi terbesarnya: Kematian. Ironis memang, ketika manusia memperoleh keabadian, kehidupan justru kehilangan maknanya.
Di tengah keriuhan kota, duduk seorang pria muda di sudut sebuah kedai kopi. Ia hanya mengaduk-aduk kopinya tanpa minat. Rambutnya hitam kusut, matanya tajam namun menyimpan kelelahan yang dalam. Jaket hitam panjangnya tak lagi baru, berdebu akibat perjalanan panjang yang baru saja ia lalui. Pria itu adalah Rama, seorang Pemburu Kematian terakhir yang tersisa di dunia ini.
“Ada misi baru lagi, Rama?”
Suara serak parau Pak Tua menghentikan lamunannya. Pemilik kedai kopi yang rambutnya memutih itu berdiri sambil tersenyum ramah seperti biasa, meski mata tuanya tampak lelah.
“Ya, Pak. Sepertinya ini bakal jadi misi terakhirku,” jawab Rama pelan, setengah bergumam.
Pak Tua duduk pelan di depannya. “Kamu masih ingat rasanya kehilangan seseorang?”
Rama tersenyum pahit. “Justru karena masih ingat rasanya, aku bertahan hingga sekarang. Tapi lihatlah, dunia sudah lupa. Tidak ada yang mengerti bagaimana rasa kehilangan. Tidak ada yang tahu rasanya rindu, kecewa, atau sedih karena ditinggal pergi.”
Pak Tua mengangguk pelan. “Itulah kenapa dunia ini hampa.”
Mereka berdua terdiam, menikmati suasana yang seharusnya menenangkan namun terasa begitu kosong. Setelah beberapa saat, Rama mengeluarkan selembar kertas dari kantong jaketnya. Kertas tua dengan tinta hitam yang mulai pudar.
“Kunci Kematian telah dicuri,” bisiknya berat.
Pak Tua terlihat kaget, tangannya gemetar. “Dicuri? Siapa yang sanggup mengambilnya?”
“Itu yang sedang kucari tahu,” ucap Rama, menghela napas panjang. “Jika aku tidak menemukan kunci itu, dunia akan tetap seperti ini. Hampa, tanpa akhir.”
Pak Tua memandang Rama dalam-dalam, lalu berkata pelan, “Hati-hati, Rama. Terkadang sesuatu yang hilang memang seharusnya tidak pernah kembali.”
Hari mulai gelap ketika Rama meninggalkan kedai kopi itu. Jalanan penuh manusia yang tidak lagi peduli dengan apapun. Sebagian duduk diam memandang kosong ke arah gedung pencakar langit, sebagian lagi berjalan tanpa arah. Mereka abadi, tidak bisa mati, tidak bisa tua, tetapi juga tidak lagi benar-benar hidup.
Sambil berjalan menuju apartemennya, Rama mencoba mengingat lagi awal mula dunia ini berubah. Dulu, ia bukan siapa-siapa, hanya seorang pemuda biasa dengan mimpi sederhana. Namun ketika dunia kehilangan kematian, organisasi misterius muncul dengan tujuan mengembalikan keseimbangan. Mereka menciptakan Pemburu Kematian, orang-orang dengan tugas khusus mengembalikan kematian ke dunia. Namun satu demi satu pemburu hilang, dan sekarang tinggallah dirinya seorang diri yang tersisa.
Sambil berjalan melintasi gang-gang sempit, Rama merasa ada yang mengikutinya. Ia menghentikan langkahnya mendadak. Sunyi. Ia menoleh ke belakang, sepi. Tapi insting seorang pemburu membuatnya tahu, ia tidak sendiri.
“Keluar saja,” kata Rama lantang tanpa menoleh. “Aku tahu kau mengikutiku sejak tadi.”
Dari balik bayangan sebuah bangunan tua, muncullah seorang pemuda dengan pakaian hitam mirip miliknya, namun lebih bersih. Arya, sahabat sekaligus rekan yang bekerja di organisasi yang sama dengannya.
“Kau makin jago saja ya, Rama,” sapa Arya santai.
Rama tersenyum tipis. “Kenapa kau kemari?”
“Atasan kita khawatir kau terlalu sentimental menghadapi misi kali ini. Aku ditugaskan mengawasimu,” kata Arya sambil memainkan jam tangannya, seolah ini adalah percakapan ringan antar sahabat.
Rama menatap Arya dengan tajam, “Aku tidak butuh pengawas.”
Arya mengangkat bahunya cuek, “Aku tahu. Tapi Kunci Kematian itu terlalu berbahaya jika jatuh ke tangan yang salah. Kita tidak punya pilihan, kawan.”
Rama menghela napas panjang, lalu akhirnya mengangguk. “Baiklah. Tapi jangan menggangguku.”
Arya menyeringai kecil. “Takkan.”
Mereka berdua berjalan bersama menuju apartemen Rama. Suasana di sepanjang jalan makin sunyi. Angin malam berhembus membawa aroma tanah basah yang seharusnya terasa menenangkan, tetapi malah menambah kesan suram.
Di apartemen kecil yang berantakan, Rama mengeluarkan peta tua dari laci meja. Di atas meja, Arya memperhatikan serius.
“Jejak pencuri itu mengarah ke kota tua,” jelas Rama sambil menunjuk sebuah titik di peta.
“Kota tua itu sudah lama ditinggalkan, kenapa pencuri itu membawa Kunci Kematian ke sana?” tanya Arya penasaran.
“Itulah yang harus kita temukan jawabannya,” gumam Rama sambil melipat peta.
Arya tiba-tiba tersenyum tipis, matanya menyipit penuh arti. “Aku dengar di kota tua itu tersimpan masa lalu yang penting bagimu, Rama.”
Rama menatap Arya tajam. “Apa maksudmu?”
Arya mengangkat bahu, “Cinta pertamamu… bukankah ia meninggal di sana? Bertahun-tahun yang lalu?”
Dada Rama terasa sesak. Ingatan itu masih begitu nyata, senyum manis gadis itu, tawanya yang renyah, matanya yang bercahaya. Lila, perempuan yang dulu mengajarinya tentang cinta, dan juga tentang rasa kehilangan.
Rama memalingkan wajahnya, tidak ingin Arya melihat kelemahannya. “Itu sudah berlalu lama.”
Arya tertawa pelan, “Tenang saja, aku tidak sedang menghakimimu. Aku hanya penasaran, apakah perasaanmu masih akan sama jika kau bertemu lagi dengannya?”
Rama menatap Arya datar. “Dia sudah tiada. Kematian mungkin hilang dari dunia, tapi dia sudah meninggal jauh sebelum dunia ini berubah.”
Arya mengangguk pelan, “Kita lihat saja nanti, kawan.”
Larut malam, Rama duduk di balkon apartemennya sendirian. Kota di bawahnya masih ramai namun kosong makna. Ia menatap langit malam yang gelap tanpa bintang.
“Lila…” bisiknya lirih, nama itu terasa asing namun menenangkan.
Misinya kali ini terasa lebih berat dari biasanya. Bukan hanya karena ia harus mengembalikan Kunci Kematian yang dicuri, tapi karena kenangan yang selama ini ia pendam perlahan bangkit kembali. Rama merasa bahwa perjalanan ini akan mempertemukannya dengan sesuatu yang tak pernah ia duga sebelumnya.
Sambil menarik napas panjang, Rama memantapkan tekadnya. Ia harus siap menghadapi apa pun. Karena di dunia tanpa akhir ini, ada harga yang harus dibayar untuk mengembalikan keseimbangan. Dan Rama, sang Pemburu Kematian terakhir, tahu bahwa harga itu mungkin lebih mahal dari yang mampu ia bayar.
Bab 2 – Jejak dari Masa Lalu
Udara pagi terasa dingin ketika Rama dan Arya memasuki gerbang kota tua. Jalanan berbatu yang dulu ramai kini sunyi, dipenuhi debu dan tanaman liar yang menjalar di bangunan-bangunan tua. Waktu seolah berhenti di tempat ini, meskipun dunia telah lama kehilangan kematian.
“Apa yang sebenarnya kita cari di sini?” tanya Arya sambil menyusuri jalan sempit dengan langkah santai.
Rama tidak langsung menjawab. Matanya menyapu setiap sudut kota yang penuh dengan kenangan. Ia pernah datang ke sini, bertahun-tahun lalu, di saat dunia masih memiliki kehidupan yang nyata. Kota ini dulu menjadi saksi bisu sebuah kehilangan yang masih menghantuinya.
“Kunci Kematian ada di sini,” jawab Rama akhirnya, suaranya lebih pelan dari biasanya.
Arya menatapnya dengan alis terangkat. “Bagaimana kau bisa yakin?”
Rama berhenti di depan sebuah bangunan tua yang sebagian temboknya sudah runtuh. Itu adalah sebuah sekolah lama. Tangannya tanpa sadar mengepal, mengingat kenangan yang pernah tertinggal di sana.
“Karena aku mengenal pencurinya,” gumam Rama.
Arya menatapnya lekat-lekat. “Jadi benar. Pencuri itu seseorang dari masa lalumu.”
Rama diam, tidak membantah. Tanpa berkata-kata, ia melangkah memasuki sekolah itu. Lorong-lorongnya dipenuhi bayangan masa lalu. Suara langkah kakinya menggema, seakan membangunkan kenangan yang tertidur di sudut-sudut bangunan.
Ia berjalan menuju sebuah ruangan di lantai dua, kelas yang dulu menjadi tempatnya belajar. Saat mendorong pintunya yang berdebu, matanya langsung tertuju pada sesuatu di sudut ruangan.
Sebuah kursi kayu tua, tempat di mana seseorang dulu selalu duduk dengan senyuman manisnya.
Lila.
Seketika, kenangan itu kembali menghantamnya.
“Rama, kau pikir orang mati akan pergi selamanya?”
Suara Lila terdengar ringan saat ia bertanya. Gadis itu duduk di bangku dekat jendela, rambut hitam panjangnya tergerai, terkena sinar matahari sore yang masuk dari jendela.
Rama yang duduk di sampingnya hanya mengangkat bahu. “Tentu saja. Kalau sudah mati, ya tidak bisa kembali.”
Lila tersenyum, tetapi ada kesedihan di matanya. “Tapi bagaimana kalau kematian bukan akhir? Bagaimana kalau ada cara untuk tetap hidup?”
Rama mengernyit. “Kau bicara apa sih?”
Gadis itu menghela napas, lalu memandang jauh ke luar jendela. “Aku hanya tidak ingin dilupakan.”
Kala itu, Rama tidak mengerti maksudnya. Baginya, Lila adalah gadis yang selalu ceria, selalu tersenyum, meskipun terkadang matanya menyimpan kesedihan yang tidak pernah ia ceritakan.
Namun beberapa bulan setelah percakapan itu, Lila meninggal dunia dalam sebuah kecelakaan. Dan Rama—yang saat itu masih remaja—tidak pernah bisa menerima kenyataan itu.
Rama menatap kursi itu lama, sebelum akhirnya berbisik, “Lila… Kau masih di sini, bukan?”
Arya yang berdiri di belakangnya menyilangkan tangan. “Kau yakin dia ada di sini?”
Rama mengangguk. “Aku tahu dia ada di sini. Aku bisa merasakannya.”
Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar dari luar ruangan. Rama dan Arya segera siaga. Seseorang mendekat, siluetnya muncul di balik pintu yang setengah terbuka.
Saat orang itu masuk, Rama menahan napasnya.
Sosok yang berdiri di hadapannya bukanlah orang asing. Itu adalah seorang wanita berambut panjang, dengan mata gelap yang masih sama seperti yang ia ingat.
Lila.
Rama terdiam, otaknya menolak kenyataan yang sedang terjadi. Ia tahu dunia ini kehilangan kematian, tetapi Lila sudah meninggal sebelum semua ini terjadi. Ia tidak mungkin ada di sini.
Namun, wanita itu tersenyum. Senyum yang selama ini hanya ada dalam kenangan Rama.
“Hai, Rama,” katanya pelan, seolah-olah perpisahan mereka bertahun-tahun lalu tidak pernah terjadi.
Arya terkejut, menatap Rama dengan ekspresi tidak percaya. “Rama… siapa dia?”
Tapi Rama bahkan tidak bisa menjawab. Pikirannya kacau, hatinya berdetak kencang.
“Lila… Bagaimana bisa?” bisiknya.
Lila melangkah mendekat, menatapnya dengan mata yang penuh ketenangan. “Aku sudah menunggumu, Rama.”
Bab 3 – Pertemuan yang Tak Diduga
Langit di atas kota tua tampak mendung, seakan ikut menyesaki dada Rama yang kini dipenuhi kebingungan. Sosok di hadapannya, Lila—gadis yang seharusnya telah lama meninggal—berdiri dengan ekspresi tenang. Matanya menatap Rama penuh makna, seolah menunggu sesuatu.
“Lila…” Rama berbisik, suaranya terdengar serak.
Wanita itu tersenyum tipis. “Aku sudah menunggumu, Rama.”
Arya, yang berdiri di samping Rama, menyipitkan mata. “Jadi kau yang mencuri Kunci Kematian?”
Lila mengalihkan pandangannya ke Arya. “Jika aku menjawab iya, apakah kau akan langsung menangkapku?”
Arya terkekeh. “Tentu saja. Itu tugasku.”
Namun sebelum Arya sempat bergerak, Rama mengangkat tangan, menghentikannya. Matanya tidak lepas dari Lila. “Aku ingin mendengar penjelasannya dulu.”
Arya mendesah frustasi, tapi akhirnya memilih mundur selangkah. “Baiklah. Aku ingin tahu juga bagaimana seseorang yang seharusnya sudah mati bisa berdiri di sini.”
Lila tersenyum samar. “Itu karena aku tidak pernah benar-benar pergi.”
Rama mengepalkan tangannya. “Jangan bermain teka-teki, Lila. Aku melihat pemakamanmu. Aku menyaksikan sendiri bagaimana kau meninggal. Jadi bagaimana kau bisa ada di sini?”
Lila tidak langsung menjawab. Dia melangkah pelan ke arah jendela, menatap kota tua yang terbengkalai. “Aku memang mati, Rama. Saat dunia ini masih memiliki kematian, aku pergi seperti seharusnya.”
Ia menoleh, menatap Rama dalam-dalam. “Tapi ketika dunia berubah… aku kembali.”
Rama menahan napas. Kembali? Bagaimana mungkin?
“Ketika kematian menghilang dari dunia ini, banyak hal yang berubah, Rama,” lanjut Lila. “Tapi ada hal yang tidak kau sadari. Dunia ini tidak hanya membuat manusia abadi, tetapi juga… membangkitkan beberapa yang seharusnya tidak bisa kembali.”
Rama merasa tubuhnya menegang. Apa yang dikatakan Lila benar-benar di luar dugaannya.
“Kau salah satu dari mereka?” suaranya nyaris berbisik.
Lila mengangguk. “Aku tidak tahu kenapa hanya aku yang kembali. Tapi ketika aku menyadari apa yang terjadi, aku tahu satu hal…”
Lila berbalik menatap Rama dengan ekspresi sendu. “Jika kematian kembali ke dunia ini… aku akan menjadi orang pertama yang menghilang.”
Hati Rama mencelos. Jadi ini alasannya mencuri Kunci Kematian?
“Tapi dunia tidak bisa terus begini, Lila!” sergah Arya. “Orang-orang sudah kehilangan tujuan hidup mereka! Tanpa kematian, manusia menjadi hampa!”
“Aku tahu,” Lila menjawab pelan. “Aku tahu dunia ini tidak benar. Tapi… aku tidak ingin pergi lagi.”
Rama terdiam. Ia bisa merasakan ketakutan dalam suara Lila, ketakutan yang sangat nyata.
“Kau lebih memilih dunia tetap rusak hanya demi bertahan hidup?” tanya Arya dingin.
Lila menggeleng. “Aku tidak ingin dunia tetap seperti ini. Tapi aku juga tidak ingin mati lagi.”
Rama mengepalkan tangannya. Ada sesuatu yang ia rasakan dalam suara Lila—sesuatu yang dulu juga pernah ia rasakan. Takut kehilangan. Takut dilupakan.
“Lila…” Rama membuka mulut, tetapi tidak tahu harus berkata apa.
Lila menatapnya dengan lembut. “Aku tahu ini egois, Rama. Tapi aku juga tahu… kalau kau harus memilih, kau tidak akan membiarkanku pergi lagi, kan?”
Rama terdiam, jantungnya berdebar keras.
Arya menghela napas panjang. “Astaga, jadi kita benar-benar masuk ke dalam dilema drama romantis ini, ya?”
Tapi tidak ada yang menanggapi candaannya. Rama masih terpaku pada Lila, pikirannya kacau.
“Jadi apa yang akan kau lakukan sekarang, Rama?” tanya Lila pelan.
Rama tidak bisa menjawab. Karena untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia benar-benar tidak tahu harus memilih yang mana:
Menyelamatkan dunia—atau menyelamatkan wanita yang ia cintai.
Bab 4 – Alasan yang Tersembunyi
Angin dingin berembus di antara reruntuhan kota tua, membawa aroma tanah basah yang bercampur debu. Langit mulai berubah kelabu, seolah dunia tahu bahwa perdebatan besar sedang terjadi di antara tiga orang yang berdiri di tengah kelas sekolah yang telah lama ditinggalkan.
Rama masih terpaku menatap Lila, berusaha memahami apa yang sebenarnya terjadi. Gadis yang seharusnya telah mati itu kini berdiri di hadapannya, tidak hanya sebagai seseorang dari masa lalunya tetapi juga sebagai pencuri Kunci Kematian—satu-satunya harapan untuk mengembalikan keseimbangan dunia.
“Jelaskan semuanya, Lila,” suara Rama terdengar lebih dalam, penuh dengan ketegangan yang ia tahan. “Kenapa kau melakukan ini?”
Lila menghela napas panjang sebelum akhirnya melangkah mendekat, menatap Rama dengan mata yang penuh dengan luka yang tersembunyi.
“Aku tahu aku telah mencuri sesuatu yang sangat penting, Rama. Tapi aku tidak melakukannya untuk kesenanganku sendiri.”
“Kalau begitu, untuk apa?” Arya menyela dengan nada tajam. “Dunia sedang sekarat. Manusia tidak lagi bisa merasakan apa pun, hidup mereka hanya perpanjangan tanpa makna. Apa kau tidak melihat semua itu?”
Lila menoleh ke arah Arya dan tersenyum pahit. “Aku melihatnya. Tapi apakah kalian pernah berpikir… bahwa mungkin bukan hanya dunia ini yang harus diselamatkan?”
Arya mengernyit. “Apa maksudmu?”
Lila mengambil napas dalam-dalam, lalu mulai berbicara dengan suara lirih. “Dunia ini kehilangan kematian, dan semua yang masih hidup menjadi abadi. Tapi ada sesuatu yang tidak pernah dipikirkan oleh orang-orang.”
Ia menatap Rama dengan mata yang penuh luka. “Bagaimana dengan orang-orang seperti aku? Mereka yang sudah mati, tetapi kemudian dipaksa kembali ke dunia yang tidak lagi memiliki tempat bagi mereka?”
Hati Rama mencelos.
“Ketika aku bangun kembali di dunia ini, aku bukanlah satu-satunya,” lanjut Lila. “Ada beberapa orang lain… mereka yang seharusnya telah mati, tetapi tiba-tiba kembali tanpa alasan yang jelas. Kami semua tidak tahu kenapa ini terjadi. Kami hanya tahu bahwa kami bukan lagi bagian dari dunia ini, tapi juga tidak bisa pergi dari sini.”
Rama terdiam. Ia belum pernah mendengar hal ini sebelumnya.
“Aku bertemu dengan orang-orang yang sudah seharusnya tiada,” lanjut Lila, suaranya semakin berat. “Mereka tidak punya tempat, tidak punya masa depan. Dunia ini mungkin menganggap mereka hidup, tetapi kenyataannya mereka hanya seperti bayangan yang tersisa. Mereka tidak bisa merasakan dunia seperti sebelumnya. Seakan-akan… kami adalah kesalahan dari dunia yang kehilangan kematian.”
Rama bisa melihat ketakutan dalam mata Lila.
“Aku tidak mencuri Kunci Kematian hanya untuk menyelamatkan diriku sendiri,” katanya. “Aku mencurinya karena aku ingin mencari jawaban. Jika kematian kembali ke dunia, maka kami—orang-orang yang sudah mati sebelumnya—akan menghilang selamanya. Tapi yang lebih buruk, aku takut… bahwa dunia akan kembali seperti dulu tanpa memahami apa yang sebenarnya terjadi pada kami.”
Arya menggeleng, masih tidak bisa menerima. “Jadi karena itu kau membiarkan dunia terus hancur? Hanya agar kalian tetap ada?”
Lila menatap Arya dengan tajam. “Apa kau pikir aku tidak peduli dengan dunia ini? Aku peduli, Arya. Tapi aku tidak bisa menerima begitu saja kenyataan bahwa kami, yang seharusnya sudah mati, dipaksa pergi tanpa ada yang mencoba memahami kenapa kami kembali. Aku butuh waktu. Aku butuh jawaban.”
Rama mengepalkan tangannya. “Dan kau pikir dengan menyembunyikan Kunci Kematian, kau bisa menemukan jawabannya?”
Lila terdiam sejenak, lalu mengangguk pelan. “Aku tahu ini terdengar egois. Tapi aku ingin tahu… apakah ada cara lain selain mengembalikan kematian?”
Suasana menjadi hening. Rama dan Arya sama-sama tidak bisa langsung menjawab.
Di satu sisi, mereka tahu bahwa dunia ini butuh keseimbangan. Hidup tanpa kematian bukanlah kehidupan yang sesungguhnya. Tapi di sisi lain, mereka juga tidak bisa mengabaikan kenyataan bahwa ada orang-orang seperti Lila—orang-orang yang sudah mati, tetapi tiba-tiba terjebak di dunia yang tidak lagi memiliki tempat untuk mereka.
Rama menatap Lila dalam-dalam. “Jadi sekarang apa yang akan kau lakukan?”
Lila tersenyum tipis, tetapi ada ketegangan dalam matanya. “Aku ingin kau mempercayaiku, Rama. Aku ingin kau membantuku mencari jawabannya.”
Arya mendengus. “Dan kalau kami tidak setuju?”
Lila menghela napas. “Maka aku akan terus melarikan diri. Dan aku tidak akan membiarkan kalian mengambil Kunci Kematian dariku.”
Rama dan Arya saling bertukar pandang. Ini bukan hanya sekadar misi lagi. Ini lebih besar dari yang mereka bayangkan.
Dan kini, Rama dihadapkan pada pilihan yang lebih sulit dari sebelumnya: Tetap menjalankan tugasnya sebagai Pemburu Kematian atau percaya pada seseorang yang seharusnya sudah tiada.
Namun di dalam hatinya, Rama tahu…
Ia tidak akan pernah bisa membiarkan Lila pergi begitu saja.
Bab 5 – Rahasia Kelam
Hening menyelimuti kota tua. Angin berembus pelan, membawa aroma debu dan kenangan. Rama berdiri tegak, matanya tak lepas dari Lila. Ia ingin mempercayai kata-kata gadis itu, tapi pikirannya dipenuhi pertanyaan.
“Apa kau tahu siapa yang membangkitkanmu?” tanya Rama, suaranya terdengar hati-hati.
Lila menatapnya sejenak sebelum menggeleng pelan. “Aku tidak tahu. Aku hanya tahu bahwa ketika aku membuka mata, dunia sudah berubah.”
Arya, yang sejak tadi mendengarkan dengan wajah tidak puas, menghela napas panjang. “Dengar, aku mengerti bahwa kau ingin mencari jawaban, Lila. Tapi yang kau lakukan sekarang justru membuat dunia semakin kacau.”
“Aku tidak bermaksud membuat dunia kacau,” jawab Lila dengan suara tegas. “Aku hanya ingin tahu kebenarannya. Apa aku dan yang lain hanyalah anomali? Atau ada alasan kenapa kami dipanggil kembali?”
Rama menatap Lila lama sebelum akhirnya mengalihkan pandangannya ke Arya. “Kita tidak bisa mengabaikan ini, Arya. Mungkin ada sesuatu yang lebih besar di balik semua ini.”
Arya menatapnya tajam. “Dan kau benar-benar ingin ikut dalam kebodohan ini?”
Rama tidak menjawab, tetapi dari ekspresi wajahnya, Arya tahu jawabannya.
“Astaga…” Arya mengacak rambutnya frustasi. “Baiklah. Kalau memang kau ingin menggali lebih dalam, ayo kita cari tahu. Tapi jangan harap aku akan membiarkan Kunci Kematian tetap berada di tangannya.”
Lila tersenyum tipis. “Aku tidak memintamu untuk mempercayaiku begitu saja. Tapi setidaknya, beri aku kesempatan untuk membuktikan bahwa ada sesuatu yang lebih besar di balik semua ini.”
Mereka bertiga meninggalkan kota tua, menuju ke satu-satunya tempat yang mungkin menyimpan jawaban: Markas lama Organisasi Pemburu Kematian.
Setelah dunia kehilangan kematian, organisasi itu tetap berdiri, tetapi perannya semakin melemah. Banyak pemburu yang menghilang, dan informasi tentang masa lalu perlahan-lahan terkubur. Jika ada sesuatu yang tersembunyi, maka tempat itulah yang paling mungkin menyimpannya.
Setibanya di sana, mereka mendapati markas itu dalam keadaan sunyi. Bangunan megah itu kini tampak lebih seperti peninggalan sejarah daripada pusat operasi aktif.
“Tempat ini sudah lama tidak digunakan,” gumam Arya, mengamati pintu besi besar yang mulai berkarat.
Rama mendorong pintu itu perlahan, dan suara deritannya menggema di sepanjang koridor gelap di dalamnya. Langkah kaki mereka terdengar jelas saat mereka berjalan melewati lorong yang dipenuhi rak-rak arsip yang sudah berdebu.
“Apa yang kita cari di sini?” tanya Lila, suaranya pelan namun penuh rasa ingin tahu.
Rama tidak menjawab, tapi ia tahu pasti. Ia menuju ruang arsip utama, tempat semua catatan lama tentang proyek yang pernah dilakukan oleh organisasi itu. Ia menelusuri rak demi rak, hingga akhirnya menemukan satu berkas dengan label yang sudah pudar.
“Proyek Lazarus”
Jantung Rama berdetak lebih cepat saat ia membaca nama proyek itu.
“Ini…” Rama menatap berkas itu dengan tatapan kosong.
Arya dan Lila mendekat, penasaran dengan ekspresi wajahnya.
“Apa itu?” tanya Arya, mencoba melihat isi dokumen yang dipegang Rama.
Rama membuka berkas itu dengan tangan gemetar. Halaman pertama berisi laporan rinci tentang proyek yang dilakukan bertahun-tahun sebelum dunia kehilangan kematian.
“Proyek Lazarus: Eksperimen Pengembalian Jiwa. Tujuan: Meneliti kemungkinan membangkitkan kembali individu yang telah meninggal melalui manipulasi energi kehidupan. Status: Dihentikan setelah mengalami kegagalan fatal.”
Rama membaca lebih dalam. Ternyata, sebelum dunia berubah, organisasi ini pernah mencoba sesuatu yang tidak seharusnya. Mereka mencoba membangkitkan orang mati.
“Aku tidak percaya…” bisik Arya.
Lila menatap berkas itu dengan ekspresi yang sulit dibaca. “Jadi… dunia tidak berubah dengan sendirinya? Mereka sudah mencoba menghapus kematian sejak lama?”
Rama mengangguk. “Dan tampaknya mereka gagal. Tapi kalau begitu… kenapa kau dan yang lain bisa kembali?”
Lila menggigit bibirnya. “Mungkin karena proyek ini tidak sepenuhnya gagal. Mungkin sesuatu dalam percobaan mereka berhasil… tapi dengan cara yang tidak mereka duga.”
Rama terus membaca, mencari lebih banyak jawaban. Tapi yang ia temukan justru sesuatu yang lebih mengejutkan.
“Subjek Uji: Lila A.”
Mata Rama membelalak.
“Lila… namamu ada di sini.”
Lila terdiam. Jemarinya gemetar saat ia mengambil berkas itu dan membaca lebih dalam.
“Subjek ditemukan dalam kondisi koma setelah kecelakaan fatal. Menjadi salah satu subjek pertama dalam Proyek Lazarus. Status: Tidak berhasil, subjek dinyatakan meninggal secara resmi setelah percobaan terakhir.”
Lila menjatuhkan berkas itu. Nafasnya tersengal.
“Aku… bagian dari eksperimen ini?” suaranya bergetar.
Rama segera meraih bahunya, mencoba menenangkannya. “Lila… ini artinya kau sudah dipilih sejak lama. Kematianmu… bukan sesuatu yang alami.”
Lila memejamkan mata, mencoba memahami semuanya. Selama ini, ia berpikir bahwa ia hanya anomali yang terjadi setelah dunia kehilangan kematian. Tapi ternyata, ia adalah bagian dari sesuatu yang lebih besar.
Arya menatap berkas itu dengan wajah serius. “Ini menjelaskan banyak hal. Tapi juga menimbulkan lebih banyak pertanyaan. Jika proyek ini dihentikan, lalu siapa yang melanjutkannya? Dan bagaimana semua ini bisa terjadi setelah dunia kehilangan kematian?”
Rama menggertakkan giginya. “Kita harus mencari tahu. Ini bukan hanya soal mengembalikan Kunci Kematian. Ini tentang kebenaran yang lebih besar.”
Lila menatap Rama dengan mata yang masih dipenuhi kebingungan dan ketakutan. “Tapi jika kematian kembali… aku akan benar-benar pergi, Rama.”
Rama menatapnya dalam-dalam. Ia tahu itu benar. Jika keseimbangan dunia dipulihkan, maka segala sesuatu yang seharusnya telah mati akan menghilang.
Dan itu berarti… ia harus memilih antara menyelamatkan dunia atau mempertahankan wanita yang dicintainya.
Pilihannya kini lebih sulit dari sebelumnya.
Bab 6 – Melarikan Diri
Langit di atas markas lama Organisasi Pemburu Kematian tampak kelam, seolah-olah menyadari bahwa sesuatu yang besar akan terjadi. Di dalam ruangan arsip yang berdebu, Rama, Arya, dan Lila masih berdiri membeku setelah menemukan kebenaran yang tersembunyi selama ini.
Lila adalah bagian dari Proyek Lazarus—eksperimen rahasia yang mencoba membangkitkan manusia yang sudah mati sebelum dunia kehilangan kematian. Namun proyek itu gagal. Setidaknya, begitulah yang tertulis dalam dokumen. Tapi nyatanya, Lila kembali, dan dunia berubah setelahnya.
Apakah ini kebetulan? Atau ada sesuatu yang lebih besar di balik semua ini?
Rama menatap Lila yang masih terguncang. Jemari gadis itu gemetar saat menyentuh namanya sendiri di dalam dokumen tua itu.
“Aku… seharusnya tidak ada di sini,” gumamnya, suaranya bergetar.
Rama ingin mengatakan sesuatu, ingin meyakinkan Lila bahwa dia nyata, bahwa keberadaannya di dunia ini bukan kesalahan. Tapi sebelum ia bisa membuka mulut, suara alarm mendadak meraung di seluruh gedung.
ALERT! PENYUSUP TERDETEKSI!
Arya langsung mengangkat kepalanya, matanya menyipit. “Sial. Sepertinya mereka tahu kita ada di sini.”
Rama mengumpat dalam hati. “Kita harus keluar dari sini sekarang.”
Lila masih terpaku, tetapi Rama langsung menarik tangannya, memaksanya bergerak. “Lila, aku butuh kau tetap sadar. Kita tidak bisa terjebak di sini.”
Lila mengangguk pelan, meskipun jelas pikirannya masih berkecamuk.
Mereka bertiga segera berlari ke luar ruangan arsip. Dari kejauhan, terdengar suara langkah kaki dan suara senjata yang siap ditembakkan.
“Mereka mengirim pasukan elit,” kata Arya cepat. “Jangan biarkan mereka menangkap kita.”
Rama dan Arya sudah terbiasa menghadapi situasi seperti ini, tapi tidak dengan Lila. Meskipun ia kuat, ia bukan seorang petarung.
Mereka berbelok di ujung lorong, mencoba mencari jalan keluar. Namun di persimpangan, mereka bertemu dengan sekelompok pria bersenjata dengan seragam hitam khas organisasi.
“Berhenti di tempat!” seru salah satu pria, mengarahkan senjatanya.
Rama langsung menarik Lila ke belakangnya. Arya meraih pistolnya, bersiap bertarung.
“Kita tidak bisa melawan mereka semua,” bisik Rama.
“Kalau begitu, kita harus buat mereka sibuk,” kata Arya sambil menyeringai. “Percaya padaku.”
Sebelum Rama sempat bertanya, Arya menembakkan pistolnya ke atas, mengenai lampu gantung yang besar.
CRASH!
Lampu raksasa itu jatuh, membuat ledakan kecil dan menyelimuti lorong dengan debu tebal.
“SEKARANG!” teriak Arya.
Mereka bertiga langsung berlari menerobos asap. Para pasukan terbatuk-batuk, kehilangan pandangan mereka sesaat.
Begitu keluar ke lorong lain, Arya menekan tombol kecil di jam tangannya.
BOOM!
Ledakan terjadi di sisi lain gedung.
Rama melirik Arya dengan ekspresi tidak percaya. “Kau sudah mempersiapkan ini sebelumnya?”
Arya hanya mengedipkan mata. “Selalu punya rencana cadangan, kawan.”
Tanpa membuang waktu, mereka terus berlari menuju pintu keluar belakang. Namun sebelum mereka bisa keluar, suara berat terdengar dari belakang mereka.
“Kau kira bisa pergi begitu saja, Rama?”
Rama langsung membeku. Ia mengenali suara itu.
Dari balik bayangan, seorang pria muncul dengan tatapan dingin. Seorang pria yang dulu dianggapnya sebagai rekan seperjuangan.
Direktur Vargas.
Pemimpin tertinggi Organisasi Pemburu Kematian.
Arya mendecak pelan. “Sial. Sekarang benar-benar rumit.”
Vargas melangkah maju, tangannya bersedekap. “Aku tahu kau akan mencuri informasi, Rama. Tapi aku tak menyangka kau akan menemukan sesuatu yang lebih besar.”
Rama menatapnya tajam. “Jadi kau tahu tentang Proyek Lazarus?”
Vargas tersenyum kecil. “Tentu saja. Aku yang mengawasinya. Aku yang menghentikannya. Dan aku juga yang tahu bahwa proyek itu tidak pernah benar-benar berhenti.”
Jantung Rama berdegup kencang. “Apa maksudmu?”
Vargas mendekat, matanya tertuju pada Lila. “Kau berpikir dunia ini kehilangan kematian begitu saja? Tidak, Rama. Dunia ini kehilangan kematian karena Proyek Lazarus berhasil.”
Semua terdiam.
“Apa?” bisik Lila.
Vargas menyeringai. “Kematian menghilang dari dunia karena eksperimen itu. Kita berhasil menghapus batas antara hidup dan mati. Itu sebabnya orang-orang seperti kau kembali, Lila. Dunia ini sudah tidak lagi memiliki aturan lama.”
Rama mengepalkan tangannya. “Jadi organisasi kita selama ini menyembunyikan kebenaran?”
Vargas mendesah, seolah bosan. “Tentu saja. Manusia tidak akan bisa menerima fakta bahwa dunia mereka berubah bukan karena fenomena alam, tapi karena eksperimen gagal yang tidak seharusnya dilakukan.”
Arya meludah ke lantai. “Lalu kenapa kau masih ingin mengejar Kunci Kematian? Kalau memang kalian yang menghapus kematian, kenapa kau ingin mengembalikannya?”
Vargas tersenyum dingin. “Karena dunia ini mulai runtuh. Tanpa kematian, manusia kehilangan arah. Tak ada lagi rasa takut, tak ada lagi ambisi, tak ada lagi kehidupan yang sesungguhnya. Kami perlu menutup eksperimen ini dan mengembalikan semuanya ke kondisi semula.”
Rama menyipitkan mata. “Dengan kata lain… kau ingin menghapus semua yang seharusnya sudah mati?”
Vargas menatap Lila. “Ya. Termasuk dia.”
Lila mundur selangkah, tubuhnya menegang. “Jadi… aku hanya kesalahan yang harus diperbaiki?”
Vargas mengangkat bahu. “Kau seharusnya tidak ada di sini sejak awal. Jika kematian kembali, kau akan menghilang selamanya.”
Hening.
Rama menatap Lila, melihat ketakutan di matanya. Ini lebih buruk dari yang ia bayangkan. Jika Kunci Kematian dikembalikan, bukan hanya keseimbangan dunia yang pulih—Lila akan benar-benar pergi.
Vargas melangkah maju. “Sekarang serahkan Kunci Kematian dan biarkan kami menyelesaikan ini.”
Rama menatap Vargas, lalu menoleh ke Lila.
Lila menggenggam tangannya erat. “Aku tidak ingin pergi lagi, Rama.”
Rama menarik napas dalam. Lalu, dalam satu gerakan cepat, ia meraih tangan Lila dan berbisik, “Lari.”
Arya langsung bergerak, menembakkan peluru asap ke lantai.
BOOM!
Asap tebal memenuhi ruangan. Di tengah kekacauan itu, Rama dan Lila berlari menuju pintu belakang. Vargas berteriak, tetapi mereka tidak menoleh.
Mereka harus pergi. Mereka harus menemukan jawaban sebelum semuanya berakhir.
Dan yang lebih penting…
Rama harus menemukan cara untuk menyelamatkan Lila.
Bab 7 – Pilihan yang Mustahil
Udara malam menusuk kulit saat Rama, Lila, dan Arya berlari menerobos jalanan kota tua yang sepi. Asap dari ledakan di markas lama masih mengepul di belakang mereka, dan suara sirene semakin jauh. Mereka berhasil lolos… untuk sementara.
Mereka akhirnya berhenti di sebuah gedung tua yang telah lama ditinggalkan, bersembunyi di lantai atas. Napas mereka masih memburu.
Arya menatap Rama dengan tajam. “Jadi apa rencanamu sekarang, Pemimpin?”
Rama tidak langsung menjawab. Ia menoleh ke arah Lila yang duduk di sudut ruangan, menatap ke luar jendela dengan wajah yang sulit ditebak.
Jika Kunci Kematian dikembalikan, dunia akan kembali seimbang, tetapi Lila akan menghilang.
Jika mereka menyembunyikan Kunci Kematian, dunia akan tetap kacau, tetapi Lila tetap ada.
Rama mengepalkan tangannya. Ini pilihan yang mustahil.
“Kita tidak bisa kembali ke markas, itu sudah pasti,” kata Arya, duduk di lantai dengan santai meskipun situasinya genting. “Vargas dan pasukannya pasti sedang mencari kita sekarang. Aku yakin dia sudah menyebarkan informasi ke seluruh kota.”
Rama mengangguk pelan. “Kita harus mencari cara lain.”
Arya mendecak. “Cara lain apa? Kau sendiri bilang kita tidak bisa hidup dalam dunia tanpa kematian selamanya.”
Lila yang sejak tadi diam akhirnya membuka mulut. “Mungkin… ada cara lain.”
Rama dan Arya menoleh padanya.
Lila menatap mereka dengan mata yang penuh tekad. “Jika aku adalah bagian dari Proyek Lazarus, maka pasti ada sesuatu yang mengikatku dengan dunia ini. Sesuatu yang membuatku tetap ada meskipun aku seharusnya sudah mati.”
Arya mengangkat alis. “Kau berpikir ada cara untuk… tetap bertahan meskipun kematian kembali?”
Lila mengangguk. “Aku tidak tahu bagaimana caranya. Tapi jika eksperimen ini berhasil membawaku kembali, maka pasti ada celah yang bisa kita manfaatkan.”
Rama menatap Lila dalam-dalam. Gadis itu terlihat rapuh, tetapi ada keberanian dalam suaranya.
“Lila,” katanya pelan. “Kau tidak perlu memaksakan diri mencari jalan keluar jika itu berisiko.”
Lila menatapnya dengan ekspresi keras. “Aku lebih memilih mencari jawaban daripada duduk menunggu akhir.”
Arya bersiul pelan. “Baiklah, aku suka semangat itu. Jadi, kita butuh seseorang yang tahu lebih banyak tentang Proyek Lazarus.”
Rama berpikir sejenak. “Ada satu orang yang mungkin tahu… Profesor Ghani.”
Lila mengernyit. “Profesor Ghani?”
“Dia salah satu ilmuwan senior di Organisasi Pemburu Kematian sebelum proyek ini dihentikan. Dia menghilang setelah dunia kehilangan kematian. Tapi ada rumor bahwa dia masih hidup dan bersembunyi di luar kota,” jelas Rama.
Arya menepuk lututnya. “Bagus! Jadi kita tinggal mencarinya.”
“Tidak semudah itu,” kata Rama. “Vargas pasti tahu bahwa kita akan mencoba mencari jawaban. Bisa jadi dia juga sedang memburu Profesor Ghani.”
Lila menggigit bibirnya. “Tapi kita tetap harus mencobanya, kan?”
Rama mengangguk. “Ya.”
Malam itu, mereka menyusun rencana.
Mereka akan meninggalkan kota diam-diam dan menuju wilayah pinggiran yang disebut Zona Terlarang—tempat di mana rumor tentang Profesor Ghani bersembunyi beredar.
Namun, sebelum mereka bisa bergerak, sesuatu yang tidak mereka duga terjadi.
Suara langkah kaki terdengar mendekat dari luar gedung.
Mereka bertiga langsung siaga.
“Vargas sudah menemukan kita?” bisik Lila.
Arya mengintip dari celah jendela. “Bukan. Tapi… ada seseorang di luar sana.”
Rama meraih pisaunya, lalu mengisyaratkan mereka untuk tetap diam. Ia bergerak perlahan menuju pintu, membuka sedikit celah.
Di luar, seorang pria tua dengan jubah panjang berdiri, seolah sedang menunggu.
Lila menahan napas. “Aku… mengenalinya.”
Rama menoleh cepat. “Siapa dia?”
Lila menggigit bibirnya. “Dia adalah orang yang kutemui tepat setelah aku bangun kembali di dunia ini.”
Rama dan Arya bertukar pandang.
“Ayo kita temui dia,” kata Lila.
Rama ragu, tetapi akhirnya mengangguk. Mereka bertiga keluar dengan hati-hati.
Begitu mereka mendekat, pria tua itu menatap mereka satu per satu, lalu tersenyum samar. “Akhirnya kalian menemukanku.”
Lila menegang. “Kau tahu siapa kami?”
Pria itu mengangguk. “Dan aku juga tahu apa yang sedang kalian cari.”
Rama menyipitkan mata. “Siapa kau?”
Pria itu menatap langsung ke arah Rama dan berkata dengan suara pelan, “Namaku Profesor Ghani.”
Mata Rama melebar. Mereka bahkan belum mencarinya, tetapi dia telah datang sendiri.
Arya terkekeh. “Ini keberuntungan atau jebakan?”
Profesor Ghani tersenyum. “Bukan keduanya. Aku sudah menunggu kalian sejak lama. Karena hanya kalian yang bisa menghentikan apa yang akan terjadi.”
Lila menelan ludah. “Apa maksudmu?”
Profesor Ghani menghela napas panjang. “Vargas bukan satu-satunya ancaman yang kalian hadapi.”
Rama merasakan hawa dingin menjalari punggungnya.
“Apa maksudmu, Profesor?” tanyanya.
Profesor Ghani menatap mereka dengan mata tajam. “Kunci Kematian… bukanlah satu-satunya kunci di dunia ini.”
Hening.
Arya mengerutkan dahi. “Tunggu, apa maksudmu ada kunci lain?”
Profesor Ghani mengangguk. “Proyek Lazarus tidak hanya bertujuan membangkitkan yang sudah mati. Ada bagian lain dari eksperimen ini yang tak pernah terungkap…”
Ia melirik Lila, lalu berkata pelan, “Dan kau, Lila… adalah kunci untuk membuka bagian terakhir eksperimen ini.”
Jantung Rama berdetak kencang.
“Apa maksudmu?” bisik Lila.
Profesor Ghani tersenyum tipis. “Kau bukan hanya seseorang yang kembali dari kematian, Lila. Kau adalah anomali yang tidak pernah seharusnya ada. Dan jika kau menemukan alasan kenapa kau bisa kembali… maka kau juga akan menemukan alasan kenapa dunia ini kehilangan kematian.”
Hening yang mencekam menyelimuti mereka.
Sekarang, segalanya semakin rumit.
Lila bukan hanya seseorang yang kembali. Dia adalah bagian dari rahasia yang lebih besar.
Dan Rama tahu…
Keputusannya tidak hanya tentang menyelamatkan dunia atau menyelamatkan Lila.
Tapi tentang mengungkap kebenaran yang bisa mengubah segalanya.
Bab 8 – Pengkhianatan dari Dalam
Malam semakin larut saat Rama, Lila, Arya, dan Profesor Ghani duduk di dalam bangunan tua yang menjadi tempat persembunyian mereka. Angin dingin menerobos jendela yang pecah, membawa kesunyian yang mengancam.
Rama masih memproses kata-kata Profesor Ghani.
“Kau bukan hanya seseorang yang kembali dari kematian, Lila. Kau adalah kunci untuk membuka bagian terakhir eksperimen ini.”
Lila masih terpaku, matanya menatap kosong ke lantai. Pikirannya jelas kacau.
Arya bersandar di dinding dengan wajah tidak sabar. “Jadi, Profesor. Kalau kau benar-benar tahu semuanya, kenapa kau baru muncul sekarang?”
Profesor Ghani menghela napas. “Karena aku menunggu waktu yang tepat.”
Rama menatapnya tajam. “Apa maksudmu?”
Profesor Ghani membenarkan posisi duduknya sebelum berbicara. “Dulu, aku adalah salah satu ilmuwan utama di Proyek Lazarus. Kami melakukan eksperimen untuk menghapus batas antara hidup dan mati. Tetapi eksperimen itu tidak berjalan seperti yang kami rencanakan.”
“Jadi apa yang sebenarnya terjadi?” tanya Lila pelan.
Profesor Ghani menatapnya penuh arti. “Kami menciptakan dua kunci untuk menjaga keseimbangan dunia. Kunci Kematian—yang kalian cari—dan Kunci Kehidupan—yang selama ini tersembunyi.”
Arya menyipitkan mata. “Dan kau mau bilang Lila adalah Kunci Kehidupan itu?”
Profesor Ghani mengangguk. “Benar.”
Lila menelan ludah. “Bagaimana bisa?”
Profesor Ghani menarik napas dalam. “Saat kau meninggal dalam kecelakaan, kau menjadi subjek utama dalam eksperimen kami. Kami mencoba sesuatu yang lebih besar dari sekadar membangkitkan seseorang. Kami ingin memahami bagaimana kehidupan bisa dipertahankan tanpa batas.”
Ia melirik ke arah Rama. “Dan hasilnya… kau tidak hanya kembali, Lila. Kau menjadi sumber kehidupan itu sendiri.”
Hening.
“Apa maksudmu?” bisik Rama.
Profesor Ghani menatap mereka serius. “Kau pikir kenapa dunia ini kehilangan kematian? Itu bukan karena seseorang mencuri Kunci Kematian begitu saja. Tapi karena keberadaan Lila mengubah sistem dunia ini.”
Mata Lila membelalak. “Jadi… aku penyebab semua ini?”
Profesor Ghani mengangguk. “Tanpa disadari, kau adalah inti dari dunia tanpa kematian ini. Selama kau ada, dunia tidak akan bisa kembali ke keseimbangan.”
Rama merasakan dadanya sesak. Ini lebih buruk dari yang ia duga.
“Lalu… apa yang terjadi kalau Kunci Kematian dikembalikan?” tanya Arya dengan nada dingin.
Profesor Ghani menunduk. “Dunia akan kembali seperti semula. Kematian akan kembali.”
Lila menelan ludah. “Dan aku…?”
Profesor Ghani menghela napas. “Kau akan menghilang.”
Hening yang mencekam menyelimuti ruangan.
Rama mengepalkan tangannya. Tidak. Ini tidak mungkin terjadi.
Lila menggigit bibirnya, berusaha tetap tenang, tetapi ia tidak bisa menyembunyikan ketakutan di matanya.
Arya menatap mereka semua sebelum akhirnya mendecak. “Jadi kita benar-benar harus memilih? Dunia atau Lila?”
Rama menatap Arya tajam, tetapi sebelum ia bisa menjawab, suara langkah kaki terdengar dari luar.
Seseorang ada di luar.
Rama segera meraih pisaunya, Arya menarik pistolnya.
Profesor Ghani berdiri dengan ekspresi tegang. “Kita harus pergi—”
BOOM!
Pintu depan tiba-tiba meledak, membuat debu dan serpihan kayu beterbangan ke seluruh ruangan.
Siluet seseorang muncul dari balik asap.
Direktur Vargas.
Ia berdiri dengan senyum dingin, diapit oleh pasukan bersenjata.
“Aku sudah menduga kalian akan menemukan Profesor Ghani,” katanya santai.
Rama langsung menarik Lila ke belakangnya. Arya mengarahkan pistolnya. “Apa kau datang untuk bernegosiasi atau sekadar pamer kekuatan?” tanyanya sinis.
Vargas tertawa kecil. “Negosiasi? Tidak perlu. Aku hanya datang untuk mengambil dua kunci itu.”
Rama langsung waspada. “Dua kunci?”
Vargas menatap mereka semua satu per satu, lalu matanya berhenti di Lila.
“Ya. Kunci Kematian dan Kunci Kehidupan.”
Lila menegang. “Jadi kau tahu…”
Vargas tersenyum sinis. “Tentu saja aku tahu. Kau pikir aku hanya mengejar Kunci Kematian? Tidak, Lila. Aku sudah lama tahu kau adalah alasan dunia ini tetap seperti ini.”
Rama mengepalkan tangannya. “Jadi kau mau menghancurkan semuanya?”
Vargas mengangkat bahu. “Aku hanya ingin mengembalikan keseimbangan dunia, Rama.”
Arya mendengus. “Omong kosong. Kau hanya ingin mengendalikan dunia dengan kekuatan ini.”
Vargas tersenyum. “Kau cukup pintar, Arya. Tapi itu tidak penting sekarang.”
Ia melangkah maju. “Kalian punya dua pilihan. Serahkan Lila dan Kunci Kematian, atau kalian semua mati di sini.”
Rama tidak bergerak.
“Lila tidak akan pergi ke mana-mana,” katanya tegas.
Vargas menghela napas panjang. “Sungguh disayangkan, Rama. Aku benar-benar ingin kau tetap hidup.”
Ia mengangkat tangannya. “Habisi mereka.”
Pasukan Vargas langsung menodongkan senjata.
BOOM!
Tembakan pertama dilepaskan, tetapi sebelum peluru bisa mengenai mereka, seseorang bergerak lebih cepat.
Arya.
Ia mendorong Rama dan Lila ke belakang, lalu menembakkan pistolnya ke arah Vargas dan pasukannya.
“Kalian pergi! Aku akan menahan mereka!” teriaknya.
“Lupakan! Kita bisa melawan mereka bersama!” seru Rama.
Arya menoleh dan menatapnya dengan ekspresi serius.
“Kau sudah tahu apa yang harus kau lakukan, Rama.”
Arya kemudian berlari ke depan, menembak dengan presisi ke arah pasukan Vargas, menciptakan celah bagi Rama dan Lila untuk kabur.
“TIDAK! ARYA!” Lila berteriak, tetapi Rama menarik tangannya.
“Kita harus pergi, Lila!”
Lila menatapnya dengan air mata menggenang, tetapi Rama tidak memberi pilihan.
Dengan langkah berat, mereka berlari keluar dari reruntuhan gedung.
Di belakang mereka, suara tembakan terus terdengar, tetapi Rama tidak berani menoleh.
Arya telah memilih untuk bertarung.
Dan kini, hanya ada satu hal yang harus mereka lakukan.
Menemukan cara untuk mengubah nasib Lila… sebelum semuanya terlambat.
Bab 9 – Pertarungan Terakhir
Rama dan Lila berlari melewati jalanan sempit di kota tua, napas mereka memburu. Di belakang, suara tembakan masih menggema, tanda bahwa Arya masih bertarung melawan pasukan Vargas.
Lila menoleh ke belakang, wajahnya dipenuhi kepanikan. “Kita tidak bisa meninggalkan Arya!”
Rama menggenggam tangannya lebih erat. “Jika kita kembali, kita semua akan mati. Kita harus menyelesaikan ini.”
Mereka akhirnya sampai di sebuah gedung tua yang dulu merupakan pusat penelitian Organisasi Pemburu Kematian. Profesor Ghani sudah menunggu mereka di sana.
“Kita tidak punya banyak waktu,” kata Profesor Ghani dengan napas tersengal. “Vargas akan segera menyusul kita.”
Lila menatapnya dengan mata penuh kebimbangan. “Kau bilang aku adalah Kunci Kehidupan… apa itu berarti aku bisa bertahan meskipun kematian kembali?”
Profesor Ghani menggeleng pelan. “Tidak. Keberadaanmu saat ini adalah anomali. Jika Kunci Kematian digunakan, dunia akan kembali seperti semula, dan kau…”
Lila mengepalkan tangannya. “Aku akan menghilang.”
Rama menatap Profesor Ghani tajam. “Lalu bagaimana jika kita tidak menggunakan Kunci Kematian?”
Profesor Ghani terdiam sejenak. “Maka dunia akan terus seperti ini… hampa, tanpa tujuan, dan semakin rusak.”
Lila memejamkan mata, mencoba menahan air matanya. “Jadi… aku adalah pilihan yang harus dikorbankan untuk menyelamatkan dunia?”
Rama tidak bisa menjawab. Dadanya terasa sesak.
Tiba-tiba, suara ledakan besar terdengar dari arah belakang mereka. Debu dan asap membumbung tinggi, dan dari balik reruntuhan, sosok yang paling mereka takuti muncul.
Vargas.
Ia berjalan perlahan, pakaiannya berdebu, tetapi ekspresinya tetap tenang.
“Kalian benar-benar membuat ini menjadi sulit,” katanya dengan nada santai, tetapi matanya penuh ancaman.
Di belakangnya, beberapa pasukan bersenjata masih berdiri, meskipun jumlahnya jauh lebih sedikit dari sebelumnya.
“Arya?” bisik Lila dengan cemas.
Vargas menyeringai. “Dia melawan dengan baik… tapi pada akhirnya, dia tetap kalah.”
Mata Rama membelalak. “Tidak… kau bohong!”
Vargas tertawa kecil. “Percaya atau tidak, itu tidak penting sekarang. Yang penting adalah… aku sudah ada di sini, dan aku akan mengambil kembali Kunci Kematian.”
Rama mengepalkan tinjunya, matanya menyala dengan amarah. “Kau tidak akan pernah mendapatkannya.”
Vargas menghela napas. “Sebenarnya aku berharap kau akan memilih jalan yang lebih mudah, Rama. Tapi kau terlalu keras kepala.”
Ia mengangkat tangannya. “Habisi mereka.”
Pasukan bersenjata langsung menyerbu.
Rama meraih pisaunya, bersiap bertarung. Lila berdiri di belakangnya, tubuhnya gemetar tetapi matanya tetap penuh tekad. Profesor Ghani mundur, mencoba mencari celah untuk melarikan diri.
Pertarungan pun dimulai.
Rama bergerak cepat, menikam salah satu pasukan Vargas di dada sebelum meraih pistol yang terjatuh. Ia menembakkan beberapa peluru, melumpuhkan dua orang lainnya.
Lila mencoba bertahan di belakangnya, tetapi salah satu pasukan berhasil mendekat. Sebelum pria itu bisa menyentuhnya, Lila meraih pecahan besi di tanah dan menghantamnya tepat di kepala.
Profesor Ghani berusaha mencari jalan keluar, tetapi Vargas bergerak lebih cepat. Ia menangkap Profesor Ghani dan menodongkan pistol ke kepalanya.
“Semuanya berhenti!” seru Vargas.
Rama dan Lila langsung berhenti bergerak. Pasukan Vargas yang tersisa juga menahan serangan mereka.
Vargas tersenyum puas. “Berikan Kunci Kematian, atau aku bunuh ilmuwan tua ini.”
Lila menatap Rama dengan putus asa. “Rama… kita harus melakukan sesuatu.”
Rama mengepalkan tangannya. Ia tahu Vargas tidak akan ragu menarik pelatuknya. Tetapi jika ia menyerahkan Kunci Kematian, maka dunia akan jatuh ke dalam kendali Vargas.
Dan jika ia menggunakannya… Lila akan menghilang.
“Lila…” bisik Rama, matanya penuh dilema.
Lila menatapnya dalam-dalam. “Aku percaya padamu, Rama. Lakukan apa yang harus kau lakukan.”
Air mata menggenang di mata Rama.
Ini pilihan yang mustahil.
Tetapi ia tahu, hanya ada satu jalan yang bisa ia pilih.
Rama menarik napas dalam, lalu mengeluarkan Kunci Kematian dari saku jaketnya. Cahaya biru redup bersinar dari benda itu, memancarkan aura yang dingin dan mengancam.
Mata Vargas berbinar. “Bagus, Rama. Sekarang berikan padaku.”
Tetapi alih-alih menyerahkannya, Rama meraih tangan Lila dan membisikkan sesuatu ke telinganya.
Lila menatapnya dengan mata penuh emosi, tetapi akhirnya ia mengangguk pelan.
Tanpa membuang waktu, Rama melempar Kunci Kematian ke udara—tetapi bukan ke arah Vargas.
Ia meraih Lila dan menekan tombol kecil di tengah kunci itu.
“Maaf, Lila.”
Kunci Kematian aktif.
Cahaya biru menyilaukan memenuhi ruangan. Suara gemuruh terdengar, seolah-olah dunia itu sendiri sedang bergetar.
Rama menatap Lila dengan air mata mengalir di wajahnya. “Aku mencintaimu.”
Lila tersenyum, tetapi air matanya juga jatuh. “Aku juga.”
Dan dalam sekejap, semuanya berubah.
Ketika cahaya menghilang, Rama terjatuh ke tanah, tubuhnya terasa lemas.
Ia membuka matanya perlahan.
Vargas dan pasukannya tergeletak di tanah, tubuh mereka tidak bergerak. Mereka masih hidup, tetapi tidak ada yang bisa bangkit.
Dunia kembali… seperti semula.
Ia mengangkat kepalanya, mencari sosok yang paling ia rindukan.
“Lila?”
Tidak ada jawaban.
Hanya ada angin malam yang berhembus pelan, membawa kesunyian yang menusuk.
Rama menundukkan kepala, bahunya bergetar. Ia telah menyelamatkan dunia.
Tetapi ia kehilangan orang yang paling ia cintai.
Dan dunia… terasa lebih sepi dari sebelumnya.
Bab 10 – Dunia yang Baru
Langit masih kelam ketika Rama duduk di atap sebuah gedung tua, menatap kota yang kembali berdenyut dengan kehidupan. Udara dingin malam menemaninya, tetapi ia tak lagi peduli. Di tangannya, sisa-sisa Kunci Kematian kini hanya berupa pecahan logam tak bernyawa.
Dunia telah berubah kembali. Kematian telah kembali.
Manusia bisa mati lagi, bisa merasakan kehidupan dengan penuh makna. Tak ada lagi kehampaan yang melanda mereka, tak ada lagi kekosongan tanpa tujuan.
Tetapi bagi Rama, dunia ini kini terasa lebih hampa dari sebelumnya.
Karena Lila telah pergi.
Beberapa hari telah berlalu sejak pertarungan terakhir melawan Vargas. Kota perlahan mulai menyesuaikan diri dengan kenyataan bahwa mereka bisa mati lagi. Rasa takut dan ketidakpastian kembali hadir, tetapi juga membawa kehidupan yang lebih nyata.
Organisasi Pemburu Kematian bubar. Tanpa Vargas, tanpa proyek rahasia yang mereka sembunyikan, dunia tak lagi membutuhkan mereka. Profesor Ghani menghilang tanpa jejak setelah membantu Rama memahami apa yang telah terjadi.
Dan Arya…
Rama masih ingat saat ia kembali ke tempat pertarungan mereka.
Di antara reruntuhan bangunan, tubuh Arya ditemukan dalam keadaan terluka parah. Tetapi ia masih hidup.
“Kau benar-benar keras kepala,” kata Rama waktu itu, membantu sahabatnya berdiri.
Arya tertawa lemah, darah mengalir dari sudut bibirnya. “Tentu saja. Kau pikir aku akan mati semudah itu?”
Meski dunia kehilangan banyak orang setelah Kematian kembali, Arya selamat. Dan baginya, itu sudah cukup.
Tetapi tidak dengan Lila.
Rama pergi ke setiap sudut kota, berharap menemukan jejak keberadaannya. Ia mencari di tempat-tempat yang dulu mereka kunjungi, bahkan kembali ke kota tua tempat mereka pertama kali bertemu lagi.
Namun hasilnya tetap sama.
Lila tidak ada di mana pun.
Seakan-akan ia tak pernah kembali ke dunia ini.
Malam itu, Rama masih duduk di atap gedung, pikirannya melayang jauh.
Apakah aku membuat keputusan yang benar?
Ia menggenggam pecahan Kunci Kematian lebih erat, tetapi benda itu tidak lagi memiliki kekuatan.
Saat itulah, angin malam bertiup lebih kencang.
Dan dalam sekejap, ia mendengar sesuatu.
“Lila…”
Suara itu… suara lembut yang hanya bisa dimiliki oleh satu orang di dunia ini.
Jantung Rama berdegup kencang. Ia menoleh, dan di sana, di bawah cahaya bulan yang redup, ia melihatnya.
Sosok itu berdiri di ujung atap, rambutnya tertiup angin, wajahnya masih sama seperti yang ia ingat.
“Lila…” Rama berbisik, takut ini hanya ilusi.
Lila tersenyum. “Kau masih mencariku?”
Rama langsung berdiri, tidak peduli jika ini hanya mimpi atau kenyataan. “Bagaimana bisa…?”
Lila melangkah mendekat, tetapi ada sesuatu yang berbeda. Cahaya aneh menyelimuti tubuhnya, seakan-akan ia bukan sepenuhnya milik dunia ini.
“Aku tidak tahu bagaimana aku bisa kembali,” katanya pelan. “Tapi aku tahu satu hal… aku masih di sini.”
Rama ingin menyentuhnya, ingin memastikan bahwa ini bukan sekadar bayangan. Tetapi Lila menggeleng.
“Aku tidak seperti dulu, Rama.”
Rama menatapnya dalam-dalam, hatinya dipenuhi harapan yang bercampur ketakutan.
“Apakah kau akan menghilang lagi?” bisiknya.
Lila tersenyum, tetapi kali ini ada kesedihan di dalamnya. “Aku tidak tahu.”
Rama mengepalkan tangannya. “Aku akan mencarimu lagi, Lila. Tidak peduli berapa lama.”
Lila menatapnya, lalu mengulurkan tangannya, meskipun mereka berdua tahu mereka tidak bisa benar-benar bersentuhan.
“Kita akan bertemu lagi, Rama.”
Dan dalam sekejap, ia menghilang.
Rama berdiri di sana, sendirian di bawah langit malam yang sunyi.
Tetapi kali ini, ia tersenyum.
Karena ia tahu…
Lila masih ada.
Dan meskipun dunia telah berubah, harapan tidak pernah benar-benar mati.
TAMAT.
Novel ini ditulis oleh Evi Fauzi, Penulis dari Novel Singkat. Baca juga novel romantis, petualangan dan fiksi ilmiah lainnya.