Novel Singkat Takdir yang Tak Berpihak
Novel Singkat Takdir yang Tak Berpihak

Novel Singkat: Takdir yang Tak Berpihak

“Takdir yang Tak Berpihak” mengisahkan perjalanan cinta Keira dan Aksara, dua orang yang selalu dipertemukan oleh takdir, namun tak pernah benar-benar bisa bersama. Sejak kecil, mereka terus berjumpa dalam berbagai fase kehidupan—dari sahabat masa kecil, rekan sekolah, hingga bertemu kembali sebagai orang dewasa. Namun, perbedaan status, tuntutan keluarga, dan pengecualian selalu menjadi tembok pemisah di antara mereka.

Saat Keira menyadari bahwa hatinya masih untuk Aksara, semuanya sudah terlambat. Aksara telah memilih sendiri, dan takdir kembali mempermainkan mereka. Dengan cinta yang terus terpendam dan perpisahan yang tak terelakkan, kisah ini menjadi bukti bahwa tidak semua cinta ditakdirkan untuk dimiliki.

Bab 1: Pertemuan Pertama yang Tak Pernah Usai

Hujan turun rintik-rintik di sore itu, membasahi jalanan tanah di desa kecil tempat Aksara dan Keira pertama kali bertemu. Keira, gadis kecil berusia tujuh tahun dengan rambut dikepang dua, duduk di bawah pohon mangga sambil memeluk buku gambar kesayangannya. Ia menggambar sesuatu—sebuah rumah dengan taman bunga di depannya, tempat yang ia impikan untuk ditinggali suatu hari nanti.

“Kenapa kamu menggambar rumah?” suara seorang anak laki-laki tiba-tiba terdengar dari belakangnya.

Keira menoleh. Seorang bocah laki-laki berdiri di sana dengan seragam sekolah yang masih rapi, seolah baru saja pulang. Matanya hitam pekat, penuh rasa ingin tahu.

“Aku mau punya rumah sendiri nanti. Yang besar, ada taman bunga, dan tidak ada orang yang berteriak-teriak di dalamnya,” jawab Keira pelan.

Anak laki-laki itu mengangguk, lalu tanpa ragu duduk di sampingnya. “Aku Aksara. Kamu?”

“Keira,” jawabnya singkat.

Hari itu menjadi awal pertemanan mereka. Sejak saat itu, Aksara dan Keira sering bermain bersama. Mereka berlari di tengah sawah, memanjat pohon mangga, dan berbagi cerita di bawah langit senja. Aksara yang pendiam dan Keira yang ceria menjadi kombinasi yang unik, seolah dunia kecil mereka hanya milik berdua.

Tapi Aksara bukanlah anak desa biasa. Orang tuanya adalah pegawai pemerintah yang sering berpindah-pindah tempat tinggal. Sedangkan Keira, gadis yang tumbuh dalam keluarga sederhana, lebih banyak menghabiskan waktu di desa itu.

Suatu hari, Aksara datang dengan wajah murung. Ia menggenggam sebuah pesawat kertas yang ia buat sendiri, lalu menyerahkannya pada Keira.

“Aku mau pindah,” katanya lirih.

Keira menatapnya dengan mata lebar. “Kemana?”

“Ke kota. Besok pagi kami berangkat.”

Seolah dunia kecilnya baru saja hancur, Keira tak tahu harus berkata apa. Ia menunduk, berusaha menyembunyikan air matanya.

“Aku akan kembali,” kata Aksara, mencoba tersenyum. “Kita akan bertemu lagi, kan?”

Keira tak menjawab. Ia hanya menggenggam pesawat kertas itu erat-erat, berharap waktu bisa berhenti. Tapi waktu tak pernah peduli pada harapan kecil seorang anak.


Keesokan paginya, Keira berlari ke rumah Aksara. Tapi yang ia temukan hanyalah halaman kosong, pintu rumah yang terbuka, dan suara truk yang sudah melaju jauh di jalanan desa.

Aksara sudah pergi.

Ia menggenggam pesawat kertas itu lebih erat, lalu membukanya. Ada tulisan kecil yang ia baca dengan mata berkabut air mata:

“Sampai jumpa lagi, Keira. Jangan lupakan aku.”

Keira menatap langit yang mulai cerah setelah hujan semalam. Tapi dalam hatinya, hujan itu belum berhenti.

Sejak hari itu, ia menunggu di bawah pohon mangga tempat mereka biasa bermain, berharap Aksara akan kembali. Tapi waktu berlalu, dan desa kecil itu tetap sama—kecuali satu hal: Aksara tak pernah lagi terlihat di sana.

Bab 2: Kembali Bertemu, Tapi Tak Sama

Tujuh tahun berlalu sejak Aksara pergi dari desa kecil tempat ia dan Keira menghabiskan masa kecil mereka. Seiring waktu, kenangan itu mulai memudar, tapi tidak sepenuhnya hilang. Setiap kali Keira melewati pohon mangga di dekat rumahnya, ia teringat seorang anak laki-laki yang pernah berjanji akan kembali.

Tapi janji hanyalah kata-kata. Keira belajar bahwa tidak semua janji ditepati.

Kini, ia berdiri di gerbang sekolah menengah atas yang megah di pusat kota. Ia baru saja pindah ke sini karena ayahnya mendapat pekerjaan baru. Perpindahan ini seharusnya membuatnya semangat, tetapi entah kenapa, ia merasa asing.

Mengenakan seragam SMA yang masih rapi, Keira berjalan pelan memasuki halaman sekolah. Matanya mengamati sekeliling—lapangan luas, gedung sekolah dengan dinding putih bersih, dan siswa-siswa yang berkumpul di berbagai sudut, sibuk berbincang dengan teman-teman mereka.

Ia menarik napas panjang, mencoba mengumpulkan keberanian. Tidak mudah menjadi murid baru.

Saat ia melangkah menuju kelas barunya, seseorang berlari melewatinya dengan cepat, hampir menabraknya. Keira terhuyung mundur, nyaris jatuh, tetapi tangannya segera mencengkeram tali tasnya dengan erat.

“Maaf!” suara laki-laki itu terdengar sekilas sebelum ia menghilang di kerumunan siswa lain.

Keira mengerutkan kening, tapi tak terlalu memikirkannya. Ia terus berjalan menuju ruang kelasnya yang berada di lantai dua. Begitu masuk, suasana gaduh langsung memenuhi telinganya. Beberapa siswa tertawa, beberapa lainnya sibuk berbicara.

Ia melangkah ke meja kosong di dekat jendela dan duduk. Seorang gadis dengan rambut dikuncir mendekatinya.

“Kamu murid baru, ya?” tanyanya ramah.

Keira mengangguk. “Iya, aku Keira.”

“Aku Rina. Selamat datang di kelas ini! Jangan khawatir, kebanyakan orang di sini baik,” kata Rina sambil tersenyum.

Keira membalas senyumnya kecil. Setidaknya ia menemukan seseorang yang bersikap ramah.

Namun, saat guru masuk ke dalam kelas, Keira dikejutkan oleh satu nama yang disebut dalam daftar kehadiran.

“Aksara?”

Seperti tersengat listrik, Keira mendongak. Nama itu terlalu familiar. Ia menoleh ke arah seorang siswa yang duduk di sisi lain kelas, seorang pemuda tinggi dengan rambut hitam berantakan.

Dunia seakan berhenti berputar.

Aksara?

Keira menatapnya tanpa berkedip. Pemuda itu, meskipun lebih tinggi dan wajahnya lebih tegas, tetap memiliki mata hitam pekat yang sama seperti yang ia ingat. Mata yang dulu penuh rasa ingin tahu, kini tampak lebih dingin.

Saat Aksara menyadari tatapannya, ekspresinya berubah.

Ia mengenali Keira.

Tapi yang mengejutkan Keira adalah bagaimana Aksara hanya menatapnya sekilas sebelum mengalihkan pandangannya, seolah Keira hanyalah orang asing.

Keira merasakan sesuatu menghantam dadanya. Setelah bertahun-tahun berharap bisa bertemu lagi, setelah begitu banyak kenangan yang ia simpan, apakah Aksara benar-benar sudah melupakannya?

Saat jam istirahat tiba, Keira mendekatinya.

“Aksara?” suaranya bergetar sedikit.

Pemuda itu menoleh, matanya datar. “Iya?”

Keira menatapnya tak percaya. “Aku… ini aku, Keira.”

Aksara menatapnya lama, lalu tersenyum tipis. “Oh, Keira. Lama tak bertemu.”

Itu saja. Tanpa ekspresi, tanpa kehangatan, tanpa jejak kebahagiaan karena bertemu teman lama.

Keira menelan ludah. Ia tidak tahu apa yang terjadi dengan Aksara, tapi satu hal jelas—pemuda di hadapannya bukan lagi anak laki-laki yang dulu bermain bersamanya di bawah pohon mangga.

Takdir memang mempertemukan mereka lagi, tapi kali ini, mereka bukan lagi dua anak kecil yang saling menggenggam harapan.

Mereka adalah dua orang yang sudah berubah.

Bab 3: Rahasia di Balik Kepergian

Sejak pertemuan pertama di sekolah, Keira tidak bisa berhenti memikirkan perubahan yang terjadi pada Aksara. Pemuda yang dulu ceria dan penuh semangat kini begitu dingin, seolah keberadaan Keira di hidupnya tak berarti apa-apa.

Tapi Keira tidak bisa menerima itu begitu saja.

Setiap hari, ia mengamati Aksara dari kejauhan. Pemuda itu jarang berbicara dengan siapa pun kecuali dengan beberapa teman dekatnya. Ia tidak ikut bergabung dalam perbincangan santai, tidak terlihat tertawa lepas seperti anak-anak lain. Seolah ada tembok besar yang ia bangun di sekelilingnya.

“Aksara dulu nggak seperti ini,” gumam Keira pada dirinya sendiri.

Rina, teman barunya, yang kebetulan duduk di sebelahnya saat itu, meliriknya penasaran. “Kamu kenal Aksara sejak lama?”

Keira mengangguk. “Kami teman kecil. Tapi sepertinya dia sudah berubah.”

Rina mendesah pelan. “Memang. Banyak yang penasaran soal dia, tapi Aksara bukan tipe orang yang suka bicara tentang dirinya sendiri.”

Keira mengernyit. “Maksudmu?”

“Dia murid pindahan, sama sepertimu,” Rina menjelaskan. “Dia datang ke sekolah ini sekitar setahun yang lalu. Sebelumnya, dia tinggal di luar kota. Katanya, ada sesuatu yang terjadi di keluarganya, tapi nggak ada yang tahu pasti apa itu.”

Keira semakin penasaran.

Malam itu, ia mencoba mencari informasi lebih jauh. Ia membuka akun media sosial lamanya dan mulai mencari nama Aksara. Tak butuh waktu lama sebelum ia menemukan akun milik pemuda itu. Namun, yang mengejutkannya adalah betapa sepinya akun itu. Tak ada unggahan, tak ada interaksi.

Seolah-olah Aksara benar-benar menghapus jejak masa lalunya.


Keesokan harinya, Keira memutuskan untuk mencari jawaban langsung dari Aksara.

Saat jam istirahat, ia memberanikan diri menghampirinya yang sedang duduk sendirian di sudut taman sekolah.

“Aksara,” panggilnya pelan.

Pemuda itu mendongak, menatapnya datar. “Apa?”

Keira menelan ludah. “Aku ingin bicara. Tentang kita… tentang dulu.”

Aksara menghela napas. “Keira, itu sudah lama berlalu.”

“Tapi kenapa kamu berubah? Kenapa bersikap seolah-olah aku ini orang asing?” desaknya.

Aksara diam beberapa saat sebelum akhirnya menatap Keira dengan ekspresi yang sulit ditebak. “Karena aku sudah belajar satu hal dalam hidup—jangan pernah berharap terlalu tinggi pada sesuatu yang bisa hilang dalam sekejap.”

Keira mengerutkan kening. “Maksudmu?”

Aksara menatapnya sejenak sebelum akhirnya berbicara dengan suara pelan, hampir seperti bisikan.

“Kamu tahu kenapa aku pergi dulu, Keira?”

Keira mengangguk ragu. “Karena keluargamu pindah ke kota lain.”

Aksara tertawa kecil, tapi itu bukan tawa bahagia. “Itu yang kamu pikirkan?” Ia menatap lurus ke depan. “Aku tidak pindah karena pekerjaan ayahku. Aku pergi karena keluarga kami jatuh miskin dalam semalam. Semua yang kami miliki hilang. Ayahku ditipu rekan bisnisnya, dan kami harus lari dari semua utang yang mengejar kami.”

Keira terkejut. “Aksara…”

“Dan ketika aku pergi, aku belajar satu hal,” lanjutnya. “Jangan pernah terlalu bergantung pada sesuatu. Jangan terlalu berharap pada siapa pun. Karena pada akhirnya, semua orang akan pergi.”

Hati Keira mencelos.

“Aku nggak pernah pergi darimu, Aksara,” bisiknya.

Aksara menatapnya lama, seolah mencoba mencari kebenaran di balik kata-kata itu. Namun, akhirnya ia hanya menghela napas. “Itu bukan sesuatu yang bisa diubah, Keira. Hidup terus berjalan. Aku juga.”

Keira menatapnya dengan mata berkaca-kaca. Ia akhirnya mengerti.

Aksara bukan hanya berubah. Ia terluka.

Dan luka itu membuatnya menutup diri dari siapa pun—termasuk Keira.

Bab 4: Di Antara Tuntutan Keluarga dan Perasaan yang Tertinggal

Setelah percakapan mereka di taman sekolah, Keira merasa ada sesuatu dalam diri Aksara yang tidak bisa ia abaikan. Pemuda itu bukan hanya berubah, tetapi juga terluka oleh masa lalunya. Keira ingin mengulurkan tangan, tapi Aksara terus menjauh.

Namun, takdir seolah tak berhenti mempertemukan mereka.

Suatu hari, sekolah mengadakan proyek kelompok untuk mata pelajaran ekonomi. Keira terkejut ketika mendapati namanya dan Aksara ada dalam kelompok yang sama.

“Aku nggak percaya kita satu kelompok,” gumam Keira, mencoba mencairkan suasana saat mereka duduk di kantin membahas proyek mereka.

Aksara hanya mengangkat bahu, tidak menunjukkan ekspresi. “Kebetulan saja.”

Keira menghela napas. Pemuda itu masih saja dingin.

Tapi meskipun Aksara terus bersikap seolah ia tidak peduli, ada momen-momen kecil yang membuat Keira yakin bahwa di balik semua sikap dinginnya, Aksara masih peduli padanya.

Seperti saat ia membawakan Keira jaket ketika gadis itu lupa membawa seragam olahraganya di pagi yang dingin. Atau ketika ia tanpa sengaja melindungi Keira dari bola basket yang hampir mengenainya di lapangan.

Keira merasakan hatinya semakin sulit untuk tidak peduli.

Namun, di tengah kebahagiaan kecil itu, badai mulai datang.


Suatu malam, saat Keira pulang ke rumah, ia mendengar percakapan orang tuanya dari ruang tamu.

“Kita tidak punya pilihan lain,” suara ayahnya terdengar lelah. “Keluarga Hartawan menawarkan bantuan keuangan untuk bisnis kita. Jika Keira menikah dengan putra mereka, semua masalah kita selesai.”

Jantung Keira berdegup kencang. Ia tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar.

Ibunya terdengar ragu. “Tapi Keira masih sekolah. Apa dia akan setuju?”

“Kita tidak bisa bertanya. Ini bukan soal keinginannya, ini soal keluarga kita,” kata ayahnya tegas.

Keira berdiri terpaku di balik tembok, tubuhnya gemetar. Ia ingin menyangkal kenyataan ini, tetapi ia tahu bagaimana keluarganya sedang berjuang menghadapi kebangkrutan.

Ia tidak bisa berkata apa-apa.


Keesokan harinya, Keira mencoba bertingkah seperti biasa, tetapi hatinya terasa berat. Ia tidak tahu harus berbicara pada siapa.

Saat jam istirahat, ia menemukan Aksara duduk sendiri di bawah pohon di taman sekolah, tampak tenang seperti biasa.

Tanpa sadar, Keira berjalan ke arahnya. “Boleh duduk di sini?”

Aksara meliriknya sekilas. “Terserah.”

Keira duduk di sampingnya, memainkan ujung roknya dengan gelisah. “Aksara… kalau kamu tahu sesuatu buruk akan terjadi dalam hidupmu, tapi kamu nggak bisa menghindarinya, apa yang akan kamu lakukan?”

Aksara menoleh, menatapnya dalam. “Aku akan mencari cara untuk melawannya. Kalau memang harus kalah, setidaknya aku sudah mencoba.”

Keira menggigit bibirnya. “Tapi kalau yang harus dikorbankan itu bukan cuma diri sendiri, tapi juga keluargamu?”

Aksara terdiam. Lalu, dengan suara lebih pelan, ia berkata, “Kalau begitu, aku akan memilih sesuatu yang tidak akan aku sesali.”

Keira menelan ludah. Kata-kata Aksara terdengar sederhana, tapi di saat yang sama, terasa begitu berat.

Malamnya, ayahnya mengumumkan keputusan mereka.

“Keira, kamu harus bertemu dengan putra keluarga Hartawan minggu depan,” kata ayahnya tanpa basa-basi.

Keira meremas tangannya di bawah meja makan. “Papa… aku nggak bisa,” katanya dengan suara bergetar.

Ayahnya menatapnya tajam. “Kamu harus, Keira. Ini bukan soal perasaanmu, ini soal kelangsungan keluarga kita.”

Keira ingin berteriak, ingin memberontak. Tapi ia tahu, pada akhirnya, ia tak punya pilihan.

Di dalam kamar, ia menatap layar ponselnya. Jari-jarinya gemetar saat mencoba mengetik pesan untuk seseorang.

Keira: Aksara, aku ingin bertemu denganmu. Bisa sekarang?

Tapi pesannya hanya dibaca tanpa balasan.

Malam itu, Keira menangis dalam diam.

Takdir kembali mempermainkannya. Dan kali ini, ia tak yakin bisa melawan.

Bab 5: Pernikahan Tanpa Cinta dan Luka yang Menganga

Hari itu tiba lebih cepat dari yang Keira bayangkan. Dengan langkah berat, ia mengikuti kedua orang tuanya menuju restoran mewah tempat pertemuan dengan keluarga Hartawan. Hatinya masih dipenuhi gejolak yang tak bisa ia ungkapkan.

Saat mereka tiba, seorang pria muda dengan setelan jas rapi sudah duduk di meja yang telah disiapkan. Ia menoleh dan tersenyum ramah.

“Keira, kenalkan, ini Dion,” kata ayahnya, nada suaranya penuh harapan.

Dion mengulurkan tangan, tapi Keira hanya bisa tersenyum kecil dan membalasnya dengan anggukan. Tangannya terasa terlalu berat untuk sekadar berjabat tangan.

Sepanjang makan malam, Dion berbicara dengan percaya diri, menceritakan tentang dirinya, bisnis keluarganya, dan rencana masa depannya. Ia tampak seperti pria sempurna—terlalu sempurna. Tapi Keira tidak peduli. Hatinyalah yang bermasalah.

Karena pikirannya hanya dipenuhi oleh satu nama: Aksara.


Malam itu, Keira duduk di tepi tempat tidurnya, memandangi layar ponselnya. Tidak ada pesan masuk dari Aksara, tidak ada balasan dari pesan yang ia kirimkan malam sebelumnya.

Dengan tangan gemetar, ia mencoba menghubunginya sekali lagi. Kali ini, panggilannya tersambung.

“Aksara…” suaranya terdengar ragu saat mendengar nada dering berhenti.

Hening.

Lalu suara Aksara terdengar di seberang sana. Dingin. Datarnya menyakitkan. “Ada apa?”

Keira menggigit bibirnya. “Aku… aku ingin bertemu.”

Aksara diam sejenak sebelum menjawab, “Buat apa?”

Keira menghela napas, mencoba menahan air matanya. “Aku akan dijodohkan.”

Hening kembali. Kali ini lebih lama.

Keira menunggu. Menunggu Aksara mengatakan sesuatu. Menunggu dia mengatakan bahwa dia tidak akan membiarkan itu terjadi.

Tapi suara yang datang justru mengejutkannya.

“Selamat,” kata Aksara singkat. “Itu pasti kabar baik untuk keluargamu.”

Keira merasa dadanya diremas. “Aksara… aku nggak mau ini.”

Tapi yang terdengar hanyalah tawa kecil di seberang telepon. Pahit. Sinis. “Lalu apa yang bisa aku lakukan, Keira? Aku bukan siapa-siapamu. Kamu selalu menunggu aku, tapi pada akhirnya, kamu tetap memilih mengikuti jalan yang orang lain buat untukmu.”

Air mata Keira jatuh begitu saja. “Kamu nggak mengerti…”

“Aku mengerti,” potong Aksara. “Aku mengerti bahwa kita nggak pernah benar-benar bisa bersama.”

Klik.

Panggilan terputus.

Dan dengan itu, Keira tahu—Aksara telah benar-benar menyerah.


Hari pernikahan itu tiba seperti badai yang tak bisa dihindari.

Keira berdiri di depan cermin, mengenakan gaun putih yang indah, tapi hatinya kosong. Tidak ada kebahagiaan. Hanya kehampaan yang menyakitkan.

Saat ia berjalan menyusuri lorong menuju altar, matanya menyapu seluruh ruangan. Dalam hatinya, ia masih berharap melihat sosok Aksara di antara tamu yang hadir.

Tapi dia tidak ada di sana.

Dia benar-benar sudah pergi.

Saat tangannya digenggam oleh Dion, dan janji pernikahan diucapkan, Keira merasa seluruh dunianya runtuh.

Cinta pertamanya, satu-satunya orang yang pernah membuatnya merasa hidup, kini benar-benar berada di luar jangkauannya.

Takdir telah menuliskan jalan mereka masing-masing.

Dan sayangnya, mereka tidak berada dalam cerita yang sama.

Bab 6: Saat Cinta Datang Kembali

Keira menatap bayangan dirinya di cermin dengan kosong. Gaun malam yang ia kenakan memeluk tubuhnya dengan sempurna, riasan wajahnya pun terlihat anggun. Dari luar, ia tampak seperti wanita bahagia yang memiliki segalanya—pernikahan yang mapan, kehidupan yang stabil.

Tapi di dalam hatinya, Keira hanya merasa hampa.

Sudah lima tahun sejak ia menikah dengan Dion. Lima tahun menjalani kehidupan sebagai istri pria yang, meskipun baik, tidak pernah benar-benar mengisi ruang hatinya yang kosong.

Dion tidak kasar padanya. Tidak pernah menyakitinya secara fisik. Tetapi hubungan mereka lebih mirip kesepakatan bisnis dibandingkan pernikahan yang penuh cinta. Dion sibuk dengan pekerjaannya, dan Keira… hanya bertahan.

Keira menatap cermin lebih lama, lalu menghela napas panjang.

“Malam ini, kita harus menghadiri gala amal,” suara Dion terdengar dari balik pintu kamar.

“Aku tahu,” jawab Keira singkat.

Dion masuk dan menatapnya sekilas. “Kamu terlihat cantik malam ini.”

Keira hanya tersenyum kecil, tanpa mengatakan apa-apa.

Lalu, mereka berangkat ke acara amal yang diadakan di hotel mewah di pusat kota. Keira sudah terbiasa dengan dunia ini—keramaian, basa-basi dengan para pebisnis, dan senyum palsu yang harus selalu ia pasang.

Namun, malam itu, takdir kembali mempermainkan hidupnya.

Saat Keira menyesap segelas sampanye, matanya menangkap sosok yang familiar di sudut ruangan. Seseorang yang begitu dikenalnya.

Aksara.

Hatinya mencelos.

Ia tidak bisa bergerak, tidak bisa berpaling. Pemuda yang dulu ia tinggalkan kini berdiri di sana, mengenakan setelan hitam, berbicara dengan beberapa orang penting. Tapi yang membuat Keira terpaku adalah perubahan besar dalam dirinya.

Aksara yang dulu ia kenal sebagai pemuda pendiam dan dingin, kini terlihat begitu percaya diri. Ada aura berbeda dalam dirinya, sesuatu yang dulu tidak pernah Keira lihat—kematangan, kekuatan, dan… jarak yang tak lagi bisa dijangkau.

Saat Aksara mengangkat kepalanya, mata mereka bertemu.

Dunia seakan berhenti.

Mata hitam itu masih sama. Tapi kali ini, bukan lagi tatapan bocah laki-laki yang dulu menunggunya di bawah pohon mangga.

Ini adalah tatapan seorang pria yang telah melewati banyak hal.

Dan yang lebih menyakitkan, tidak ada kehangatan di sana.

Hanya kehampaan.


Keira tidak bisa menikmati sisa malam itu. Pikirannya penuh dengan bayangan Aksara.

Ia harus bicara dengannya.

Ketika acara hampir selesai, Keira mencari Aksara di antara tamu undangan. Ia menemukannya di balkon, berdiri sendiri, menatap kota yang gemerlap di bawah langit malam.

“Aksara,” suara Keira hampir bergetar saat ia menghampiri.

Aksara menoleh, ekspresinya netral. “Keira.”

Keira menelan ludah. “Aku… aku nggak tahu kamu ada di sini.”

Aksara tersenyum tipis, tapi bukan senyum yang hangat. “Aku juga nggak tahu kita akan bertemu lagi di sini. Dunia memang kecil, ya?”

Ada nada sarkasme dalam suaranya yang membuat Keira merasa semakin jauh darinya.

Keira menggenggam tangannya sendiri, berusaha mengumpulkan keberanian. “Bagaimana kabarmu?”

Aksara mengangkat bahu. “Baik. Seperti yang kamu lihat, aku berhasil bertahan.”

Keira ingin bertanya lebih jauh, tapi ia tahu, Aksara sedang membangun tembok di antara mereka.

“Aku minta maaf,” akhirnya Keira berkata.

Aksara menatapnya dengan datar. “Untuk apa?”

“Untuk semuanya.”

Hening.

Lalu, Aksara tertawa kecil—bukan tawa bahagia, tapi lebih seperti tawa yang dipenuhi ironi. “Kamu minta maaf untuk sesuatu yang memang sudah seharusnya terjadi, Keira. Kamu memilih jalanmu sendiri.”

“Tapi aku nggak pernah ingin meninggalkanmu.”

“Dan aku nggak pernah ingin kehilanganmu,” balas Aksara, kali ini dengan nada lebih tajam. “Tapi hidup tidak selalu berjalan sesuai keinginan kita, kan?”

Keira menggigit bibirnya. “Kamu marah?”

Aksara menghela napas, lalu menatapnya dalam. “Dulu iya. Sekarang? Aku sudah belajar menerima. Aku sudah bukan Aksara yang dulu, Keira.”

Keira merasa sesuatu dalam dirinya hancur.

“Apa kamu sudah… bahagia?” tanyanya pelan.

Aksara menatapnya lama sebelum menjawab. “Aku baik-baik saja.”

Dan bagi Keira, jawaban itu lebih menyakitkan daripada kemarahan apa pun.

Karena itu berarti, Aksara sudah belajar hidup tanpanya.

Dan mungkin… ia tidak lagi membutuhkannya.

Bab 7: Pengkhianatan yang Menyakitkan

Malam itu, Keira pulang dengan hati yang penuh luka. Kata-kata Aksara terus terngiang di kepalanya.

“Aku sudah bukan Aksara yang dulu, Keira.”

“Aku baik-baik saja.”

Seharusnya ia merasa lega. Seharusnya ia bahagia melihat Aksara telah menemukan jalannya sendiri. Tapi, yang ia rasakan justru sebaliknya. Ada sesuatu yang begitu menyakitkan dalam cara Aksara berbicara padanya—seolah Keira tak lagi berarti.

Dion melihatnya termenung di kursi depan cermin saat ia masuk ke kamar mereka.

“Kamu kenapa?” tanyanya, melepas dasinya dan duduk di sofa.

Keira menggeleng, memaksakan senyum. “Nggak apa-apa, hanya lelah.”

Dion menatapnya lama sebelum akhirnya mengangguk. “Istirahatlah.”

Keira tidak menjawab. Matanya menatap ponsel di tangannya, jari-jarinya gatal ingin mengetik pesan untuk Aksara. Tapi, ia tahu itu hanya akan membuat semuanya semakin sulit.


Beberapa minggu berlalu, Keira berusaha menjalani kehidupannya seperti biasa. Ia kembali sibuk dengan pekerjaannya, menghadiri acara sosial bersama Dion, dan berpura-pura bahagia dalam pernikahan yang hampa.

Namun, takdir kembali mempermainkannya.

Hari itu, ia sedang makan siang di sebuah restoran ketika tanpa sengaja melihat Aksara duduk di sudut ruangan bersama seorang wanita. Wanita itu cantik, elegan, dan tampak akrab dengannya.

Jantung Keira berdetak lebih cepat.

Ia mencoba mengabaikan perasaan itu, tapi saat melihat wanita itu menggenggam tangan Aksara dan tertawa, Keira merasa dadanya sesak.

Tak tahan dengan rasa penasaran, ia mencoba mencari tahu. Dan yang ia temukan jauh lebih mengejutkan dari yang ia bayangkan.

Wanita itu bukan orang asing.

Ia adalah sahabat lama Keira.


Malamnya, Keira tak bisa tidur.

Pikirannya terus mengulang pemandangan tadi siang. Ia tahu bahwa Aksara berhak bahagia, berhak mencintai siapa pun yang ia mau. Tapi kenapa harus sahabatnya?

Rasa bersalah dan amarah bercampur menjadi satu.

Akhirnya, ia memutuskan untuk menemui sahabatnya itu.

“Kamu dan Aksara… sejak kapan?” tanya Keira, mencoba terdengar tenang saat mereka duduk di sebuah kafe keesokan harinya.

Wanita itu, Livia, tersenyum kecil. “Beberapa bulan yang lalu. Aku juga nggak menyangka bisa dekat dengannya, Keira.”

Keira menelan ludah. “Kenapa kamu nggak pernah cerita?”

Livia menatapnya lama. “Karena aku tahu, meskipun kamu sudah menikah, Aksara masih ada di hatimu.”

Keira tercekat.

“Aku nggak mau menyakitimu, Keira,” lanjut Livia. “Tapi aku juga nggak bisa menyangkal perasaanku.”

Keira menggenggam tangannya erat-erat di bawah meja. “Apa dia mencintaimu?”

Livia tersenyum. “Aku nggak tahu. Tapi dia mencoba.”

Kata-kata itu menusuk hati Keira lebih dalam.

Aksara tidak pernah bisa bersamanya. Tapi kini, ia mencoba membuka hatinya untuk orang lain.

Dan itu lebih menyakitkan daripada kehilangan dirinya sendiri.


Malamnya, Keira berjalan sendirian di trotoar kota, mencoba menenangkan pikirannya.

Ia tahu ia tak berhak marah. Ia yang meninggalkan Aksara. Ia yang memilih jalannya sendiri.

Tapi tetap saja, mengingat Aksara bersama seseorang yang pernah menjadi bagian dari hidupnya terasa seperti pengkhianatan yang tak bisa ia terima.

Ia menoleh ke arah lampu-lampu kota yang berpendar, merasa begitu kecil di tengah hiruk-pikuk dunia.

Mungkin inilah hukuman dari takdir untuknya.

Ia kehilangan Aksara sekali.

Dan kini, ia harus kehilangan dia… untuk selamanya.

Bab 8: Pergi Tanpa Pamit

Sejak pertemuan dengan Livia, Keira merasa hidupnya semakin kacau. Ia mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa ia baik-baik saja, bahwa tidak ada yang perlu ia sesali. Tapi semakin ia berusaha mengabaikan perasaannya, semakin rasa sakit itu menghimpit dadanya.

Keira mulai menjauhi Livia. Ia juga berusaha menghindari tempat-tempat di mana ia mungkin bertemu dengan Aksara. Namun, takdir kembali mempermainkannya.

Sore itu, ia sedang berada di sebuah toko buku ketika suara yang begitu familiar terdengar dari belakangnya.

“Keira?”

Jantungnya langsung berdebar. Ia menoleh, dan di sana, Aksara berdiri dengan tatapan terkejut.

“Oh… hai,” jawab Keira pelan.

Aksara melangkah mendekat, matanya mengamati Keira dengan seksama. “Kamu kelihatan lelah.”

Keira tersenyum miris. “Begitulah.”

Hening sejenak.

Aksara menatap rak buku di samping mereka. “Aku dengar kamu menjauhi Livia.”

Keira terdiam. “Aku cuma butuh waktu.”

“Untuk apa?” tanya Aksara, suaranya terdengar tenang, tapi ada sesuatu di matanya yang membuat Keira merasa terpojok.

Keira menatapnya. “Aku nggak tahu, Aksara. Aku juga nggak tahu kenapa aku seperti ini.”

Aksara menghela napas panjang. “Keira… kamu sudah memilih jalanmu.”

“Aku tahu,” bisik Keira.

“Tapi kamu nggak benar-benar bahagia, kan?”

Keira ingin menyangkal, tapi lidahnya kelu. Aksara selalu bisa membaca dirinya, bahkan ketika ia sendiri tidak bisa memahami perasaannya.

“Aku nggak bisa kembali,” kata Keira akhirnya.

“Aku juga nggak minta kamu kembali,” jawab Aksara. “Aku cuma ingin kamu jujur pada dirimu sendiri.”

Keira menggigit bibirnya. “Aku nggak mau kehilanganmu lagi.”

Aksara tersenyum kecil. “Tapi kita sudah kehilangan satu sama lain sejak lama, Keira.”

Dan dengan kata-kata itu, Aksara pergi meninggalkannya, meninggalkan Keira berdiri di antara rak-rak buku dengan hati yang semakin hancur.


Sejak hari itu, Keira merasa ada sesuatu yang berubah.

Ia tidak lagi bisa mengabaikan perasaannya. Ia mulai mempertanyakan banyak hal—tentang hidupnya, pernikahannya, dan perasaannya yang selama ini ia pendam.

Namun, sebelum ia bisa menemukan jawabannya, sebuah kabar mengejutkan datang kepadanya.

Aksara pergi.

Ia menerima tawaran pekerjaan di luar negeri dan akan berangkat dalam beberapa hari.

Keira merasakan dadanya sesak. Ia tidak bisa membiarkan ini terjadi.

Tanpa berpikir panjang, ia pergi ke apartemen Aksara. Namun, saat ia sampai di sana, apartemen itu sudah kosong.

Pintu terbuka sedikit, dan di dalam, hanya ada beberapa kardus yang tersisa.

“Dia sudah pergi,” suara satpam apartemen membuat Keira menoleh.

Keira merasa dunianya runtuh.

Ia ingin berlari mengejarnya, ingin mengatakan bahwa ia tidak ingin berpisah untuk yang kedua kalinya.

Tapi semuanya sudah terlambat.

Aksara telah pergi. Tanpa pamit.

Sama seperti dulu.

Bab 9: Kesempatan Terakhir dari Takdir

Keira duduk diam di dalam mobil, menatap kosong ke luar jendela. Jalanan kota masih sibuk seperti biasa, tapi hatinya terasa sepi.

Aksara sudah pergi.

Tidak ada pesan, tidak ada panggilan, tidak ada perpisahan.

Seharusnya ia sudah terbiasa dengan ini. Dulu, Aksara juga pergi tanpa pamit. Tapi saat itu mereka masih anak-anak, dan Keira bisa menghibur dirinya dengan berpikir bahwa mereka akan bertemu lagi.

Namun sekarang?

Tidak ada jaminan mereka akan bertemu lagi.

Keira menutup matanya, mencoba menahan air mata yang sudah terlalu sering jatuh belakangan ini.

“Kenapa aku selalu terlambat?” bisiknya pada diri sendiri.


Dua hari berlalu.

Keira mencoba menjalani hidupnya seperti biasa, tetapi segalanya terasa hampa. Dion, yang selama ini jarang memperhatikannya, mulai menyadari perubahan dalam dirinya.

“Kamu kelihatan nggak fokus belakangan ini,” kata Dion suatu malam saat mereka duduk di meja makan.

Keira hanya mengaduk makanannya, tidak benar-benar ingin makan. “Aku baik-baik saja.”

Dion menatapnya lama sebelum akhirnya bersandar di kursinya. “Aku tahu kamu berbohong.”

Keira mendongak.

“Aku mungkin bukan suami terbaik, tapi aku tahu kamu nggak bahagia,” lanjut Dion. “Aku tahu sejak awal pernikahan ini bukan sesuatu yang kamu inginkan. Dan sekarang, aku tahu ada seseorang yang masih ada di hatimu.”

Keira tercekat.

“Keira… kalau kamu masih punya kesempatan untuk memperbaiki semuanya, apa yang akan kamu lakukan?”

Keira terdiam.

Pikirannya langsung tertuju pada satu hal: Aksara.

Tanpa menunggu lebih lama, Keira berdiri dari kursinya.

“Aku harus pergi,” katanya cepat.

Dion hanya tersenyum kecil. “Pergilah.”


Keira berlari secepat yang ia bisa.

Bandara.

Ia harus ke bandara.

Tangannya gemetar saat ia memesan taksi dan menyebutkan tujuan. Jantungnya berdebar kencang. Apakah ia masih sempat? Apakah Aksara masih ada di sana?

Saat taksi tiba di bandara, Keira langsung berlari masuk, matanya liar mencari jadwal penerbangan.

Penerbangan ke Paris – 22:30 – Gate 5

Jam di pergelangan tangannya menunjukkan 22:10.

Keira semakin panik. Ia berlari melewati orang-orang, mencari gate 5 dengan napas terengah-engah.

Dan akhirnya, ia melihatnya.

Aksara berdiri di depan gate, mengenakan jaket hitam dan menggenggam kopernya.

“Aksara!”

Aksara menoleh. Matanya melebar saat melihat Keira berlari ke arahnya.

Keira berhenti tepat di depannya, napasnya tersengal.

“Apa yang kamu lakukan di sini?” tanya Aksara, suaranya terdengar terkejut.

Keira menatapnya, mencoba mengatur napasnya yang berantakan.

“Aku nggak bisa membiarkan kamu pergi lagi tanpa mengatakan ini,” kata Keira dengan suara bergetar. “Aku mencintaimu, Aksara.”

Aksara terdiam.

“Aku selalu mencintaimu,” lanjut Keira, matanya mulai berkaca-kaca. “Aku bodoh karena membiarkan kita terpisah. Aku bodoh karena terlalu takut untuk melawan takdir. Tapi aku nggak mau lagi.”

Aksara menatapnya dalam, ekspresinya sulit ditebak.

“Keira…” suaranya pelan.

“Aku tahu aku terlambat,” potong Keira cepat. “Aku tahu kamu mungkin sudah melupakanku. Tapi aku nggak bisa membiarkan ini berakhir seperti ini. Aku nggak bisa kehilangan kamu lagi.”

Aksara menatapnya lama.

Suara pengumuman terdengar, mengingatkan bahwa penerbangan ke Paris akan segera berangkat.

Keira menunggu, berharap, berdoa.

Lalu Aksara menghela napas panjang.

“Kamu tahu, aku selalu menunggu saat ini,” katanya akhirnya.

Keira menahan napas.

“Tapi kita terlambat, Keira,” lanjutnya, suaranya penuh kepedihan. “Aku sudah memilih jalanku. Dan kamu juga.”

Keira merasa dunianya runtuh. “Aksara…”

Aksara tersenyum kecil, tapi senyumnya penuh kesedihan. “Aku mencintaimu, Keira. Tapi kali ini, aku harus pergi.”

Air mata Keira jatuh.

Lalu, sebelum ia bisa mengatakan apa-apa lagi, Aksara melangkah mundur, memberi satu tatapan terakhir sebelum akhirnya berbalik dan berjalan menuju pesawatnya.

Keira berdiri di sana, menyaksikan orang yang paling ia cintai pergi.

Dan kali ini, ia tahu… ini benar-benar perpisahan.

Bab 10: Cinta yang Tak Bisa Dimiliki

Keira tidak tahu berapa lama ia berdiri di sana, menatap pintu gerbang yang kini telah tertutup. Aksara telah pergi. Kali ini benar-benar pergi, tanpa ada janji untuk kembali.

Hatinya terasa kosong.

Ia pernah kehilangan Aksara sebelumnya, tapi kali ini berbeda. Kali ini, ia tahu bahwa tidak akan ada kesempatan lain. Tidak akan ada pertemuan berikutnya di bawah pohon mangga. Tidak akan ada lagi momen di mana takdir mempertemukan mereka secara kebetulan.

Takdir telah mengambil keputusan akhirnya.


Hari-hari setelah kepergian Aksara terasa seperti mimpi buruk yang berjalan lambat. Keira kembali menjalani kehidupannya, tetapi semuanya terasa hampa.

Dion melihat perubahan dalam dirinya, tapi ia tidak bertanya. Ia hanya memberikan Keira ruang, seolah tahu bahwa ada sesuatu dalam dirinya yang tidak bisa diperbaiki.

Suatu malam, Keira duduk di balkon rumahnya, menatap langit malam.

Ia merogoh sakunya dan mengeluarkan sesuatu—pesawat kertas yang sudah kusut, yang pernah diberikan Aksara kepadanya saat mereka masih kecil.

“Sampai jumpa lagi, Keira. Jangan lupakan aku.”

Keira tersenyum pahit.

“Aku nggak pernah melupakanmu, Aksara,” bisiknya.

Angin malam berembus pelan, membawa serta air matanya yang jatuh tanpa suara.


Bertahun-tahun kemudian, Keira masih mengingatnya.

Ia tetap menjalani hidupnya, tetap tersenyum, tetap berusaha bahagia. Tapi di dalam hatinya, selalu ada bagian yang hilang.

Kadang-kadang, saat ia melewati pohon mangga di desa kecilnya, ia masih bisa melihat bayangan dua anak kecil yang tertawa bersama.

Kadang-kadang, ia masih bisa mendengar suara Aksara di dalam kepalanya, mengingatkannya akan semua kenangan yang telah mereka bagi.

Cinta mereka bukan cinta yang bisa dimiliki.

Tapi itu adalah cinta yang akan selalu ada.

Di antara ruang dan waktu.

Di dalam kenangan yang tak akan pernah pudar.

Di hatinya, selamanya.

TAMAT.

Novel ini ditulis oleh Evi Fauzi, Penulis dari Novel Singkat. Baca juga novel romantis, petualangan dan fiksi ilmiah lainnya.

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

    Leave a Reply

    Your email address will not be published. Required fields are marked *