Novel Singkat Terperangkap dalam Surat Cinta dari Masa Depan
Novel Singkat Terperangkap dalam Surat Cinta dari Masa Depan

Novel Singkat: Terperangkap dalam Surat Cinta dari Masa Depan

Alena, seorang editor muda di sebuah penerbitan, mulai menerima surat misterius dari seseorang yang mengaku sebagai suaminya di masa depan. Surat itu selalu berisi peringatan: “Jangan percaya siapa pun. Aku ada di masa depan karena kamu telah membuat kesalahan besar.”

Awalnya ia menganggapnya lelucon, tetapi orang-orang di sekitarnya mulai berubah seolah-olah masa depan sedang ditulis ulang. Saat ia mencoba mencari jawaban, ia bertemu dengan Adrian, pria yang mengaku sebagai suaminya dari masa depan. Namun, Dimas, sahabatnya, memperingatkan bahwa Adrian bukanlah orang yang bisa dipercaya.

Terjebak dalam konspirasi waktu dan cinta yang tak bisa dihindari, Alena harus membuat keputusan besar: mempercayai perasaannya dan menghadapi konsekuensi yang mungkin menghancurkan dunia, atau mengorbankan seseorang yang telah mencintainya di setiap garis waktu.

Bab 1: Surat Pertama

Alena menatap amplop putih di meja kerjanya dengan alis mengernyit. Tidak ada nama pengirim, tidak ada perangko, hanya secarik kertas di dalamnya dengan tulisan tangan yang terasa begitu asing, namun entah mengapa juga terasa akrab.

“Jangan percaya siapa pun. Aku ada di masa depan karena kamu telah membuat kesalahan besar.”

Ia menghela napas, mencoba mengabaikan debaran aneh di dadanya. Ini pasti lelucon. Atau mungkin seseorang sedang mencoba mengerjainya. Tapi siapa?

Ia melirik sekeliling. Kantor penerbit tempatnya bekerja masih ramai. Suara tuts keyboard beradu dengan suara telepon berdering, rekan-rekannya sibuk dengan naskah yang harus mereka edit. Tidak ada yang terlihat mencurigakan.

Dengan hati-hati, ia membaca ulang surat itu. Tulisannya rapi, seperti milik seseorang yang sering menulis dengan tangan. Namun, yang paling mengganggunya adalah satu hal: tidak ada tanda-tanda kapan surat ini dikirim atau oleh siapa.

Alena menarik napas dalam. Ia bisa mengabaikannya dan membuang surat itu ke tempat sampah, tetapi sesuatu dalam dirinya mengatakan bahwa ini bukan sekadar pesan iseng.

Tiba-tiba, ponselnya bergetar di meja. Sebuah pesan masuk dari nomor tak dikenal.

“Kamu sudah menerima surat pertama? Jangan abaikan. Aku tahu kamu akan membaca ini tepat pukul 14:07.”

Mata Alena melebar. Ia melirik jam di sudut layar komputernya—14:07 tepat.

Darahnya seakan berhenti mengalir. Ia menoleh ke sekeliling dengan waspada, tetapi semua orang tetap fokus pada pekerjaan masing-masing.

Siapa yang mengiriminya surat dan pesan ini? Dan bagaimana orang itu tahu jam berapa ia akan membacanya?

Tangannya gemetar saat ia mengetik balasan.

“Siapa kamu?”

Hanya butuh lima detik sebelum balasan masuk.

“Kamu tahu jawabannya. Aku suamimu dari masa depan.”

Jantung Alena serasa berhenti berdetak. Suami? Dari masa depan?

Ini pasti gila. Ia bahkan belum menikah.

Sebelum sempat mengetik balasan, sebuah email masuk ke inbox kerjanya dengan subjek yang membuatnya semakin merinding.

“Jangan percayai siapa pun di dekatmu. Mereka bisa berubah kapan saja.”

Alena menelan ludah. Tiba-tiba, kantor yang tadinya terasa akrab kini terasa asing.

Dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia merasa seolah-olah sedang diawasi.

Mencoba mengalihkan perhatian, Alena buru-buru menutup laptopnya dan memasukkan ponselnya ke dalam laci meja. Ia bangkit dari kursi, mengambil kopi yang mulai dingin di mejanya, lalu berjalan menuju pantry kantor. Tapi entah kenapa, perasaannya tidak tenang. Seolah-olah ada sesuatu yang mengikutinya.

Saat dia melewati meja Dimas, sahabat sekaligus seniornya di kantor, dia mendengar namanya disebut.

“Ada yang aneh sama Alena hari ini,” bisik Dimas pada koleganya.

Alena berhenti sejenak.

“Ada apa?”

Dimas suaranya, tetapi Alena masih bisa menangkap nada khawatir dalam suaranya.

“Tadi aku yakin melihat dia membaca sesuatu, lalu ekspresinya berubah seperti melihat hantu. Terus dia terlihat waspada. Aku tanya kenapa, dia hanya bilang ‘nggak apa-apa’ dan langsung pergi.”

Alena menghela napas. Jadi, Dimas memperhatikannya?

Saat dia berbalik untuk menegurnya, tiba-tiba sesuatu terjadi.

Ruangan terasa berputar. Pandangannya berbayang sejenak, seperti ada distorsi di udara. Semua suara menjadi samar.

Lalu, dalam hitungan detik, sesuatu berubah.

Meja Dimas tidak lagi memiliki tumpukan kertas yang tadi ada di sana. Kolega yang tadinya terjadi kini menghilang, digantikan oleh seorang wanita asing yang duduk di kursi itu.

Seolah-olah seseorang telah menulis ulang kenyataan di depannya.

Alena mendengus, napasnya tersengal.

Bab 2: Bayangan Masa Depan

Alena berdiri terpaku, menatap Dimas yang kini memandangnya dengan tatapan kosong. Seakan ia baru pertama kali melihatnya.

“Dimas?” suaranya bergetar.

Pria itu mengerutkan dahi. “Maaf, kamu siapa?”

Dada Alena terasa sesak. Seharusnya ini tidak mungkin. Dimas adalah seniornya, seseorang yang selalu membantunya sejak hari pertama ia bekerja di penerbitan ini. Tapi sekarang… ia bertingkah seolah mereka tak pernah bertemu sebelumnya.

Alena mencoba tersenyum meski tangannya mulai gemetar. “Jangan bercanda, Dim. Ini aku, Alena.”

Dimas menatapnya lebih lama, lalu tersenyum kecil. “Ah, maaf. Mungkin kamu salah orang.”

Salah orang? Tidak mungkin.

Ia melirik ke sekeliling kantor, berharap menemukan sesuatu yang bisa menjelaskan situasi aneh ini. Tapi yang ia lihat justru membuat jantungnya berdegup lebih cepat.

Di meja kerja Dimas, foto kecil yang sebelumnya berisi gambar dirinya bersama seorang wanita kini berubah. Wanita dalam foto itu bukan lagi pacarnya yang selama ini ia kenal, melainkan orang lain—seorang perempuan yang wajahnya asing bagi Alena.

Ini tidak masuk akal. Apa yang baru saja terjadi?

Perasaan waspada kembali menyergapnya. Ia berjalan mundur perlahan, berusaha mencari udara segar. Langkahnya cepat menuju pintu keluar kantor, tapi sebelum ia bisa keluar, ponselnya kembali bergetar di dalam saku.

Pesan dari nomor tak dikenal.

“Aku tahu ini menakutkan. Tapi aku tidak berbohong. Masa depan sedang berubah, dan kamu penyebabnya.”

Alena membeku di depan pintu. Nafasnya terasa berat. Jika ini adalah kenyataan yang baru, bagaimana ia bisa memastikan bahwa dirinya tidak akan ikut berubah?


Udara di luar terasa lebih dingin dari biasanya. Alena menelusuri trotoar tanpa tujuan, pikirannya dipenuhi berbagai kemungkinan mengerikan.

Bagaimana mungkin Dimas bisa lupa padanya? Bagaimana mungkin meja kerjanya berubah begitu saja? Dan yang lebih mengganggu, siapa sebenarnya pengirim surat dan pesan ini?

Ia berhenti di depan sebuah kedai kopi kecil. Tempat yang sering ia kunjungi sepulang kerja. Masuk dan duduk di pojok ruangan, ia memesan kopi hitam seperti biasa.

Saat menunggu pesanannya datang, ia mengeluarkan surat misterius itu lagi dari tasnya. Tulisannya masih sama.

“Jangan percaya siapa pun. Aku ada di masa depan karena kamu telah membuat kesalahan besar.”

Kesalahan besar? Kesalahan apa?

Saat ia sedang berpikir keras, seseorang duduk di kursi seberangnya tanpa permisi.

“Alena,” suara berat itu menyebut namanya.

Ia mendongak. Seorang pria dengan wajah teduh menatapnya. Matanya tajam, seolah sudah tahu semua yang sedang ia pikirkan.

“Siapa kamu?” tanya Alena waspada.

Pria itu tidak langsung menjawab. Ia hanya tersenyum kecil sebelum menyodorkan sebuah amplop putih yang sangat mirip dengan surat pertama yang ia terima.

“Ini dari masa depan,” kata pria itu.

Alena menelan ludah, lalu dengan ragu membuka amplop itu. Di dalamnya, hanya ada satu kalimat.

“Jangan biarkan dia mempengaruhimu. Aku yang asli.”

Nafasnya tercekat.

Ia mendongak untuk menatap pria di depannya.

Tapi pria itu sudah menghilang.

Hanya tersisa secangkir kopi yang masih mengepul di tempatnya.

Bab 3: Pertemuan Tak Terduga

Alena menatap cangkir kopi yang mengepul di depan kursi kosong. Pria yang tadi duduk di sana menghilang begitu saja. Tidak ada suara langkah, tidak ada bayangan. Seolah ia tidak pernah ada.

Jari-jarinya mencengkeram amplop putih yang baru saja diberikan pria itu. Surat ini berbeda dari yang pertama. Surat sebelumnya berisi peringatan, tetapi yang ini lebih membingungkan.

“Jangan biarkan dia mempengaruhimu. Aku yang asli.”

Siapa yang asli?

Alena meremas kepalanya, mencoba mencerna semua ini. Ada dua pihak yang mengaku sebagai suaminya dari masa depan. Satu dari surat pertama yang memperingatkannya tentang kesalahan besar, dan satu lagi dari surat yang baru saja ia terima.

Mungkinkah ada dua versi masa depan?

Sebuah suara mengalihkan perhatiannya. “Mbak, nggak jadi minum kopinya?”

Alena tersentak. Seorang pelayan berdiri di samping mejanya, menatapnya dengan bingung.

“Eh, iya. Boleh saya tanya sesuatu?” Alena menelan ludah, “Pria yang tadi duduk di sini… apa Anda melihatnya pergi?”

Pelayan itu tampak semakin bingung. “Pria mana, Mbak?”

Jantung Alena berdetak lebih cepat. “Pria yang tadi duduk di depan saya! Dia pakai kemeja hitam dan punya suara berat.”

Pelayan itu menggeleng pelan. “Maaf, tapi sejak Mbak datang, Mbak duduk sendiri.”

Dunia Alena seakan berputar.

Bagaimana mungkin pelayan itu tidak melihatnya?

Ia buru-buru mengemasi barangnya dan keluar dari kedai kopi. Langkahnya cepat, seolah takut sesuatu akan mengikutinya.


Udara di luar dingin, meski matahari masih bersinar. Alena memeluk tubuhnya sendiri, berusaha mengendalikan pikirannya. Ia harus mencari jawaban, dan hanya ada satu tempat yang bisa ia tuju: apartemennya sendiri.

Setibanya di sana, ia segera mengunci pintu dan duduk di lantai, mengeluarkan kedua surat misterius yang kini ada di tangannya.

Surat pertama: “Jangan percaya siapa pun. Aku ada di masa depan karena kamu telah membuat kesalahan besar.”

Surat kedua: “Jangan biarkan dia mempengaruhimu. Aku yang asli.”

Tangannya meremas amplop surat. Ia mulai berpikir bahwa bermain-main dengan pesan dari masa depan bisa lebih berbahaya dari yang ia bayangkan.

Saat ia masih merenung, ponselnya kembali bergetar. Nomor tak dikenal.

Alena menatap layar ponselnya dengan ragu. Tapi setelah semua yang terjadi, ia tahu ia tidak bisa terus menghindari ini. Dengan napas tertahan, ia menggeser tombol hijau dan mengangkat panggilan itu.

“Alena…”

Suara di ujung telepon terdengar serak, seperti seseorang yang kelelahan. Tapi ada sesuatu yang aneh—suara itu terasa akrab.

“Siapa ini?” suara Alena bergetar.

“Kumohon, jangan percaya siapa pun selain aku. Aku tidak punya banyak waktu. Aku harus memperingatkanmu sebelum dia menemukanku.”

Sebelum siapa menemukannya?

Alena berdiri, tubuhnya tegang. “Apa maksudmu? Aku bahkan tidak tahu siapa kau.”

Hening sejenak, lalu suara di telepon itu berbisik.

“Namaku Adrian. Aku suamimu.”

Dunia Alena runtuh dalam sekejap.

Adrian? Nama itu tidak asing, tapi ia tidak bisa mengingatnya. Seolah sesuatu di dalam kepalanya menghalangi memori itu.

“Alena, dengarkan aku,” lanjut suara itu, semakin mendesak. “Aku dari masa depan, dan aku terjebak di sini karena ulahmu. Kau melakukan sesuatu yang mengubah segalanya, dan sekarang aku harus memperbaikinya.”

Jantung Alena berdebar kencang. “Apa yang aku lakukan?”

“Belum,” jawab Adrian lirih. “Tapi kau akan melakukannya.”

Tepat saat itu, bel apartemennya berbunyi.

Tubuh Alena membeku.

Dari telepon, suara Adrian berubah panik. “Jangan buka pintunya! Itu dia!”

Sebuah ketukan terdengar, lebih keras dari sebelumnya.

Dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Alena benar-benar ketakutan.

Bab 4: Mengikuti Petunjuk

Ketukan di pintu semakin keras.

Alena berdiri diam di tengah apartemennya, ponsel masih tergenggam erat di tangannya.

“Jangan buka pintunya!” suara Adrian terdengar panik di seberang telepon.

Jantung Alena berdetak cepat. Ia menatap pintu apartemennya yang tiba-tiba terasa lebih mengancam dari sebelumnya.

Siapa yang ada di balik sana?

Ketukan itu terdengar lagi, kali ini lebih pelan, seolah orang di luar menyadari bahwa ia sedang ragu.

“Alena, ini aku, Dimas,” suara dari luar terdengar familiar.

Dimas?

Tangannya hampir saja terulur untuk membuka pintu, tapi suara Adrian kembali terdengar di ponselnya.

“Jangan percaya padanya!”

Alena terdiam, kebingungan.

Dimas adalah sahabatnya. Ia tidak mungkin berbahaya… bukan?

Tapi setelah kejadian di kantor, setelah ia menyaksikan perubahan aneh pada Dimas, ia mulai ragu.

“Aku tahu kamu di dalam. Aku cuma mau bicara,” suara Dimas terdengar lebih tenang, seperti mencoba meyakinkannya.

Alena harus memilih.

Ia bisa membuka pintu dan menghadapi Dimas. Atau ia bisa mempercayai Adrian, pria misterius yang mengaku sebagai suaminya dari masa depan.

Tangannya berkeringat saat ia mengepalkan jari-jari ke sisi tubuhnya.

Lalu ia mengambil keputusan.

Dengan cepat, ia meraih tasnya, menyambar surat-surat misterius itu, dan berjalan mundur menjauhi pintu. Ia tidak akan mengambil risiko.

“Alena, aku tahu tentang surat itu,” suara Dimas mengejutkannya. “Aku tahu tentang Adrian.”

Darahnya membeku.

“Dia membohongimu.”

Ketukan berhenti. Suasana menjadi sunyi.

Hanya suara napasnya yang memburu yang terdengar di ruangan.

Kemudian, tanpa peringatan, teleponnya mati.

Alena menatap layar ponselnya. Baterainya masih penuh. Sinyal ada. Tapi panggilannya terputus begitu saja.

Perasaan takut menjalar dalam tubuhnya. Ia tidak bisa tinggal di apartemen ini lebih lama.

Tanpa berpikir panjang, ia berlari ke balkon dan menuruni tangga darurat. Jika seseorang benar-benar mengawasinya, ia tidak bisa mengambil risiko keluar lewat pintu utama.

Saat ia mencapai lantai bawah, ia menyelinap ke gang sempit di belakang gedung apartemen. Nafasnya terengah-engah.

Ia mengeluarkan surat pertama dan membaca isinya lagi.

“Jangan percaya siapa pun. Aku ada di masa depan karena kamu telah membuat kesalahan besar.”

Kesalahan besar apa yang ia lakukan?

Lalu ia mengingat sesuatu.

Ada satu tempat yang mungkin bisa membantunya menemukan jawaban.

Tempat di mana semuanya mungkin dimulai.


Setengah jam kemudian, Alena berdiri di depan sebuah gedung tua di pusat kota. Sebuah laboratorium penelitian yang sudah lama ditinggalkan.

“ChronoVerse,” ia membaca tulisan pudar di papan nama di gerbang depan.

Nama yang sama dengan yang disebutkan dalam surat kedua.

Dengan hati-hati, ia mendorong gerbang besi yang berkarat. Suara deritannya menggema di udara malam yang dingin.

Langkahnya ringan, tapi hatinya berat.

Di sinilah semuanya akan terungkap.

Dan ia tidak yakin apakah ia siap untuk mengetahui kebenaran.

Bab 5: Terjebak dalam Pilihan

Angin malam berhembus pelan saat Alena berdiri di depan pintu tua laboratorium ChronoVerse. Catnya mengelupas, dan kaca jendelanya berdebu. Tempat ini sudah lama ditinggalkan, tapi entah kenapa terasa seperti ada sesuatu yang masih hidup di dalamnya.

Alena merogoh saku jaketnya, memastikan surat-surat dari masa depan masih aman. Ia menarik napas dalam dan mendorong pintu kayu yang sudah lapuk.

Pintu terbuka dengan derit pelan.

Ruangan di dalam gelap dan berantakan. Kertas berserakan di lantai, alat-alat penelitian tertutup debu, dan layar komputer yang dulunya canggih kini hanya meninggalkan bayangan retakan.

Alena melangkah masuk, menyalakan senter ponselnya.

Lalu matanya menangkap sesuatu di dinding.

Sebuah papan besar dengan banyak dokumen yang tertempel di sana—seperti sebuah papan investigasi.

Ia mendekat.

Ada lusinan foto yang ditempel di sana, beberapa dari mereka ia kenal. Salah satunya… adalah dirinya sendiri.

Alena tertegun.

Di sebelah fotonya, ada catatan yang ditulis dengan huruf besar.

“SUBJEK: ALENA RAMADHANI – ANOMALI WAKTU”

Dadanya berdebar.

Tangannya bergerak sendiri, menyentuh catatan lain yang berisi coretan tentang perubahan realitas, anomali temporal, dan kemungkinan masa depan yang bertabrakan.

Kemudian ia melihat sebuah foto lain—seseorang yang baru saja menyebut namanya.

Adrian.

Pria yang mengaku sebagai suaminya dari masa depan.

Tapi yang membuatnya semakin bingung, di bawah fotonya tertulis satu kata yang membuat bulu kuduknya berdiri.

“HILANG.”

“Alena…”

Suara itu terdengar pelan di belakangnya.

Alena menegang. Ia menoleh perlahan.

Seorang pria berdiri di ambang pintu laboratorium. Cahaya bulan yang masuk dari jendela menerangi wajahnya yang tampak lelah dan penuh luka.

Adrian.

Ia nyata. Ia ada di sini.

“Sekarang kau mengerti, kan?” suaranya berat, hampir seperti bisikan. “Aku bukan bohong. Aku dari masa depan. Dan kau yang membuatku terjebak di sini.”

Alena menelan ludah. “Apa yang sebenarnya terjadi?”

Adrian melangkah mendekat. “Kau melakukan sesuatu yang mengubah masa depan. Sesuatu yang seharusnya tidak terjadi.”

“Tapi aku tidak tahu apa yang kau maksud!” seru Alena, frustrasi. “Aku bahkan tidak tahu kau siapa!”

Adrian menghela napas. “Karena ingatanmu sudah berubah. Setiap kali kau membuat keputusan baru, masa depan berubah, dan aku semakin sulit kembali.”

Alena mundur selangkah. “Apa maksudmu?”

Adrian mengangkat tangannya, menunjukkan sesuatu—sebuah perangkat kecil berbentuk jam tangan dengan cahaya biru berkelap-kelip.

“Inilah yang membawaku kembali ke sini,” katanya. “Tapi setiap kali kau memilih sesuatu yang berbeda, jalur waktu berubah, dan aku semakin menjauh dari masa depan yang seharusnya kita miliki.”

Alena mencoba mencerna kata-katanya, tapi otaknya terasa penuh.

Kemudian, sesuatu berkilat di sudut ruangan.

Ada seseorang lain di sana.

Seseorang yang mengarahkan senjata ke arah Adrian.

“Jangan percaya padanya, Alena.”

Suara itu…

Dimas.

Ia berdiri di sudut ruangan, wajahnya tak lagi ramah seperti yang biasa Alena kenal. Matanya penuh amarah, dan senjata di tangannya tidak bergetar sedikit pun.

“Dia bukan suamimu. Dia bukan siapa-siapa.”

Alena terjebak di antara dua pria yang mengatakan hal yang berbeda.

Adrian menatapnya dengan intens. “Aku tidak punya banyak waktu. Percayalah padaku.”

Dimas menatapnya tajam. “Jangan bodoh, Alena. Kau tidak tahu siapa dia sebenarnya.”

Pilihannya hanya dua.

Mempercayai Adrian, dan mengambil risiko untuk mengetahui kebenaran.

Atau mempercayai Dimas, seseorang yang telah ada dalam hidupnya selama ini.

Napas Alena tercekat.

Apapun yang ia pilih, sesuatu akan berubah.

Dan ia tidak yakin apakah ia akan bisa kembali.

Bab 6: Rahasia Masa Depan

Ruangan terasa semakin sempit. Alena berdiri di antara dua pilihan: Adrian, pria yang mengaku sebagai suaminya dari masa depan, dan Dimas, sahabatnya yang kini menodongkan senjata.

Jantungnya berdebar.

“Aku tahu kau bingung,” kata Adrian, suaranya lembut tapi mendesak. “Tapi kau harus percaya padaku. Aku terjebak di sini karena keputusan yang kau buat.”

Dimas menggeleng pelan. “Jangan dengarkan dia, Alena. Dia sudah memanipulasimu sejak awal. Aku tahu semuanya.”

Alena mundur selangkah. “Apa yang sebenarnya terjadi?!”

Dimas tetap mengarahkan pistolnya ke Adrian. “Aku bekerja untuk proyek ChronoVerse. Aku tahu apa yang terjadi pada dunia ini. Dan aku tahu bahwa pria ini adalah penyebab semuanya.”

Adrian tertawa kecil, sinis. “Oh, jadi kau mau memainkan peran sebagai penyelamat? Aku tidak terkejut.”

Dimas mendecakkan lidahnya. “Kau pikir aku tidak tahu kau menyembunyikan sesuatu dari Alena?”

Alena merasa semakin pusing. “Hentikan! Aku ingin tahu yang sebenarnya!”

Dimas menatapnya dengan serius. “Kau ingin tahu siapa dia sebenarnya? Baik. Tapi kau harus bersiap untuk kebenaran yang mungkin tidak kau inginkan.”

Alena mengangguk perlahan.

Dimas menurunkan senjatanya sedikit, lalu menarik napas panjang sebelum berkata, “Adrian memang dari masa depan. Tapi bukan dari masa depanmu. Dia dari kemungkinan masa depan lain—yang seharusnya tidak pernah ada.”

Alena merasakan tubuhnya melemas. “Apa maksudmu?”

Adrian menghela napas. “Aku dari masa depan alternatif. Masa depan yang akan terjadi jika kau mengambil keputusan berbeda dalam waktu dekat.”

Alena menatapnya tidak percaya. “Jadi… kau bukan suamiku?”

Adrian menggeleng. “Bukan di garis waktu ini. Tapi di masa depanku, kau adalah istriku. Kau membuat kesalahan besar yang menghancurkan dunia seperti yang kau kenal, dan aku harus kembali untuk memperbaikinya.”

Dimas mengangguk. “Dan itulah sebabnya aku ada di sini. Aku tahu tentang surat-surat itu. Aku tahu dia mencoba mengubah masa depan untuk kepentingannya sendiri.”

Alena merasa dunia berputar di sekelilingnya. Jika yang mereka katakan benar, berarti masa depan bisa berubah hanya dengan keputusannya sekarang.

“Jadi apa yang harus kulakukan?” bisiknya.

Dimas menatapnya serius. “Jangan percaya Adrian. Jika kau mempercayainya, kau akan menciptakan dunia di mana segalanya menjadi kacau. Dunia di mana kau kehilangan segalanya.”

Adrian tersenyum tipis. “Dan jika kau mendengarkannya, aku akan menghilang, dan kau tidak akan pernah tahu apa yang sebenarnya terjadi. Kau akan tetap hidup di kebohongan ini.”

Alena menutup matanya sejenak, mencoba menenangkan pikirannya.

Ia harus memilih.

Ia bisa menghentikan Adrian dan menjaga masa depan tetap seperti ini.

Atau ia bisa mempercayai Adrian dan melihat kebenaran di balik semuanya.

Ketika ia membuka matanya, ia sudah mengambil keputusan.

“Aku akan mencari tahu sendiri,” katanya tegas.

Baik Adrian maupun Dimas tampak terkejut.

“Apa maksudmu?” tanya Dimas.

“Aku tidak akan membiarkan kalian memutuskan masa depanku,” kata Alena. “Aku akan mencari kebenaran, dengan caraku sendiri.”

Ia berbalik, berlari keluar dari laboratorium.

Ia tidak tahu ke mana harus pergi. Tapi yang ia tahu, ia tidak akan menjadi boneka dalam permainan waktu ini.

Dan ia akan menemukan jawabannya sendiri.

Bab 7: Hilangnya Adrian

Alena berlari melewati gang sempit di belakang laboratorium ChronoVerse, napasnya tersengal. Hatinya berdebar keras, bukan hanya karena kelelahan, tetapi juga karena ketakutan.

Ia tidak tahu siapa yang benar—Adrian atau Dimas—tetapi satu hal yang pasti: ia tidak bisa mempercayai keduanya sepenuhnya.

Ia perlu mencari tahu kebenaran sendiri.

Namun, sebelum ia bisa berpikir lebih jauh, sebuah suara keras bergema dari dalam laboratorium.

DOR!

Alena berhenti di tempat, tubuhnya menegang. Itu suara tembakan.

Ia menoleh ke belakang, jantungnya berdebar lebih cepat. Apa yang baru saja terjadi?

Dengan hati-hati, ia berlari kembali ke pintu belakang laboratorium dan mengintip ke dalam.

Ruangan itu kini kosong.

Adrian tidak ada di sana.

Dimas juga menghilang.

Hanya tersisa bau mesiu yang masih tercium di udara.

“Adrian?” Alena berbisik, berharap ada jawaban.

Hening.

Jantungnya semakin berdebar. Ia melangkah perlahan ke dalam, matanya menyapu ruangan. Tidak ada tanda-tanda perkelahian. Tidak ada darah. Tidak ada jejak perlawanan.

Hanya ada keheningan yang mencekam.

Seolah-olah Adrian telah… menghilang begitu saja.


Alena kembali ke apartemennya dengan perasaan kacau. Ia menutup pintu dengan cepat dan menguncinya.

Tubuhnya gemetar saat ia menyalakan lampu, seakan ingin memastikan dirinya masih berada dalam kenyataan.

Tapi sesuatu terasa salah.

Ia melirik ke meja kerja di sudut ruangan.

Surat-surat itu hilang.

Alena panik. Ia menggeledah tasnya, membongkar semua isi lemari, tetapi surat-surat dari masa depan itu tidak ada.

“Sial,” desisnya.

Apakah seseorang masuk ke apartemennya?

Ataukah sesuatu telah berubah—lagi?

Napasnya tercekat saat ponselnya bergetar.

Sebuah pesan masuk dari nomor tak dikenal.

“Jangan cari aku. Jangan percaya siapa pun. Dan yang terpenting… jangan jatuh cinta padanya.”

Tangannya bergetar saat membaca pesan itu.

Tidak ada nama pengirim, tetapi ia tahu siapa yang menulisnya.

Adrian.

Ia masih ada di suatu tempat.

Atau… apakah ia sedang menghilang dari realitas?

Alena tidak tahu. Tapi satu hal yang pasti: semuanya semakin kacau.

Dan ia harus menemukan jawaban sebelum semuanya terlambat.

Bab 8: Dilema Cinta dan Waktu

Alena menatap layar ponselnya, membaca ulang pesan dari Adrian.

“Jangan cari aku. Jangan percaya siapa pun. Dan yang terpenting… jangan jatuh cinta padanya.”

Kata-kata itu terasa menusuk. Jangan jatuh cinta padanya.

Siapa yang dimaksud Adrian? Dimas? Atau seseorang yang belum ia temui?

Pikirannya berputar. Ia telah kehilangan surat-surat dari masa depan, Adrian menghilang tanpa jejak, dan sekarang Dimas mungkin juga bukan orang yang bisa ia percaya sepenuhnya.

Ia merasa seperti sedang berjalan di atas benang tipis, di antara masa kini dan masa depan yang bisa berubah sewaktu-waktu.

Tapi yang lebih membingungkannya—kenapa Adrian begitu peduli pada siapa yang akan ia cintai?


Keesokan harinya, Alena kembali ke kantor seperti biasa, mencoba bertingkah normal meskipun pikirannya masih kacau.

Saat ia melewati meja Dimas, pria itu menatapnya dengan ekspresi aneh.

“Baik-baik saja?” tanyanya.

Alena ragu sejenak sebelum mengangguk. “Ya. Kenapa?”

Dimas menatapnya lebih lama. “Kamu terlihat… berbeda.”

Alena menahan napas. Apakah ia berubah lagi?

Ia hanya tersenyum kecil, lalu berjalan ke mejanya. Tapi sebelum ia sempat duduk, sebuah amplop putih tergeletak di sana.

Tangannya gemetar saat mengambilnya.

Tidak ada nama pengirim, hanya satu lembar kertas di dalamnya.

“Keputusan yang kau buat mulai mengubah segalanya. Aku tahu kau ragu, tapi aku hanya bisa memperingatkan satu hal: Jangan biarkan hatimu menentukan masa depan. Jika kau jatuh cinta padanya, dunia ini akan hancur.”

Alena menelan ludah.

Siapa yang dimaksud “dia”?

Dimas? Atau Adrian?

Matanya melirik ke arah Dimas, yang sedang sibuk mengetik di laptopnya.

Tidak mungkin. Mereka hanya sahabat. Ia tidak mungkin jatuh cinta padanya.

Tapi jika bukan Dimas… apakah Adrian?

Hati Alena semakin gelisah. Bagaimana bisa cinta menentukan masa depan?

Dan kenapa rasanya seperti ia telah mengalami perasaan ini sebelumnya?


Malamnya, Alena duduk di balkon apartemennya, menatap langit yang penuh bintang.

Jika benar yang dikatakan dalam surat itu, maka setiap keputusannya bukan hanya mengubah nasibnya, tetapi juga nasib dunia.

Tapi ada satu hal yang masih mengganggunya.

Ia tidak mengingat Adrian. Ia tidak tahu bagaimana mereka bisa bersama di masa depan. Tapi entah kenapa, namanya terasa begitu familiar, seolah ada sesuatu yang hilang dari ingatannya.

Lalu sebuah pikiran muncul di benaknya.

Bagaimana jika ia pernah mencintai Adrian, tetapi waktu telah menghapus ingatan itu?

Alena menggeleng kuat-kuat. Tidak. Ia tidak bisa membiarkan perasaannya mengambil alih.

Ia harus menemukan kebenaran.

Sebelum semuanya terlambat.

Bab 9: Keputusan yang Menentukan

Malam semakin larut, tetapi Alena masih duduk di balkon apartemennya, memandangi bintang-bintang yang berkilauan di langit. Pikirannya dipenuhi pertanyaan yang semakin lama semakin tak masuk akal.

Jika ia jatuh cinta pada seseorang, dunia akan hancur?

Bagaimana mungkin perasaan bisa mengubah masa depan?

Ia meremas surat terakhir yang ia terima. Kata-kata di dalamnya terasa seperti peringatan, tetapi juga sebuah ancaman.

“Jika kau jatuh cinta padanya, dunia ini akan hancur.”

Siapa sebenarnya yang dimaksud?

Dimas? Adrian? Atau seseorang yang belum ia temui?

Ia mengingat kembali semua kejadian yang ia alami. Surat-surat misterius, perubahan orang-orang di sekitarnya, Adrian yang menghilang, dan Dimas yang semakin mencurigakan. Semua ini terasa seperti sebuah teka-teki yang belum bisa ia pecahkan.

Ponselnya tiba-tiba bergetar.

Sebuah pesan masuk dari nomor tak dikenal.

“Aku tahu kau masih mencari jawaban. Aku bisa membantumu. Tapi kau harus datang sendirian.”

Di bawah pesan itu, ada sebuah lokasi yang dikirimkan.

Jantung Alena berdegup kencang.

Apakah ini jebakan?

Atau ini satu-satunya kesempatan untuk menemukan jawaban?


Satu jam kemudian, Alena tiba di lokasi yang disebutkan dalam pesan—sebuah taman kota yang sepi di tengah malam. Lampu-lampu jalan berkelap-kelip samar, menciptakan bayangan panjang di antara pepohonan.

Ia melangkah hati-hati, matanya waspada.

Kemudian, ia melihat seseorang berdiri di bawah lampu taman.

Adrian.

Ia tampak berbeda. Wajahnya lebih pucat, matanya terlihat lelah.

“Kau datang,” suaranya terdengar lega.

Alena menelan ludah. “Aku ingin jawaban.”

Adrian mengangguk. “Aku tahu. Aku akan memberitahumu segalanya, tapi kau harus mendengarkanku baik-baik.”

Ia melangkah mendekat, tatapannya tajam.

“Dunia ini hanya salah satu kemungkinan dari ribuan masa depan yang ada,” katanya pelan. “Dan setiap keputusan yang kau buat akan menciptakan alur waktu baru.”

Alena mengangguk pelan. Ia sudah bisa memahami konsep itu dari semua kejadian aneh yang ia alami.

“Tapi ada satu kesalahan besar yang kau buat di setiap garis waktu,” lanjut Adrian. “Kesalahan yang selalu mengarah ke kehancuran.”

Alena menahan napas. “Apa kesalahanku?”

Adrian menatapnya dalam. “Kau jatuh cinta padaku.”

Dunia Alena seakan berhenti berputar.

“Apa?”

Adrian menghela napas panjang. “Di setiap kemungkinan masa depan, kau selalu memilihku. Kau selalu jatuh cinta padaku, dan pada akhirnya… kau selalu membuat keputusan yang menghancurkan dunia.”

Alena mundur selangkah, mencoba mencerna kata-katanya.

“Bagaimana bisa?” bisiknya.

Adrian menatapnya dengan sedih. “Aku tidak tahu. Tapi aku telah melihat semua garis waktu, dan di setiap dunia yang hancur, kau adalah penyebabnya. Bukan karena kau ingin menghancurkan dunia, tetapi karena kau memilihku. Selalu.”

Alena merasakan tubuhnya melemas.

Ia tidak bisa mempercayai ini.

Jika ia memilih untuk mencintai seseorang… dunia akan berakhir?

“Tapi aku bahkan tidak ingat pernah mencintaimu,” katanya lirih.

Adrian tersenyum kecil. “Karena setiap kali kau hampir mengingatnya, waktu berubah untuk menghentikanmu.”

Alena terdiam.

Lalu ia menyadari sesuatu.

“Jadi kau ingin aku menghapus perasaan itu? Kau ingin aku melupakanmu?”

Adrian tidak langsung menjawab. Tapi sorot matanya sudah cukup menjadi jawaban.

Alena menggeleng. “Aku tidak bisa begitu saja mengabaikan perasaanku. Jika memang aku pernah mencintaimu, bukankah itu berarti ada sesuatu yang nyata di antara kita?”

Adrian menatapnya dengan penuh kepedihan.

“Kau bisa memilih untuk tetap mencintaiku,” katanya pelan. “Tapi kau harus siap menanggung akibatnya.”

“Apa akibatnya?”

Adrian tersenyum pahit. “Dunia akan hancur. Dan aku akan menghilang selamanya.”

Alena menahan napas.

Ia harus memilih.

Jika ia mengikuti perasaannya, dunia mungkin akan berakhir.

Tapi jika ia mengabaikannya… maka Adrian akan menghilang, mungkin untuk selamanya.

Keputusan itu ada di tangannya.

Dan ia hanya punya satu kesempatan.

Bab 10: Plot Twist yang Mengubah Segalanya

Alena berdiri diam di bawah cahaya lampu taman, menatap Adrian dengan perasaan yang bercampur aduk.

Pilihan ada di tangannya.

Jika ia mengikuti perasaannya, dunia mungkin akan hancur.
Jika ia mengabaikannya, Adrian akan menghilang selamanya.

“Aku…” Suaranya bergetar.

Adrian tersenyum kecil, seolah tahu apa yang sedang berkecamuk dalam pikirannya. “Aku tidak akan memaksamu, Alena. Aku hanya ingin kau tahu… aku selalu mencintaimu, di setiap garis waktu.”

Dunia terasa berhenti berputar.

Sekelebat kenangan melintas di benaknya.

Tawa yang samar. Tatapan penuh kasih. Suara yang terasa akrab di telinganya.

Dan akhirnya, ia mengingat sesuatu yang sebelumnya terkubur dalam pikirannya.

Mereka memang pernah bersama.

Di suatu masa, di suatu garis waktu.

Ia melihat dirinya tertawa bersama Adrian, saling berjanji untuk tidak meninggalkan satu sama lain. Tapi dalam setiap kemungkinan masa depan yang mereka jalani, sesuatu selalu terjadi—sesuatu yang membuat dunia berakhir jika mereka bersama.

Itulah mengapa Adrian kembali.

Itulah mengapa surat-surat itu muncul.

Semuanya terjadi untuk mencegah kesalahan yang sama terulang kembali.

“Jadi… kita memang pernah bersama?” Alena bertanya, suaranya hampir tak terdengar.

Adrian mengangguk pelan. “Tapi waktu selalu berusaha memisahkan kita.”

Alena merasakan dadanya sesak. Jika waktu sendiri yang tidak mengizinkan mereka bersama, apa yang bisa ia lakukan?

“Kita bisa melawan takdir,” katanya, mencoba meyakinkan dirinya sendiri.

Adrian menggeleng. “Tidak kali ini.”

Ia melangkah lebih dekat, tangannya terulur untuk menyentuh wajah Alena. “Aku ingin kau bahagia, bahkan jika itu berarti aku harus menghilang.”

Alena merasakan matanya panas. “Tidak. Jangan pergi.”

“Maaf, Alena,” bisik Adrian. “Tapi waktuku sudah habis.”

Tiba-tiba, udara di sekeliling mereka bergetar.

Langit yang tadinya cerah berubah menjadi penuh distorsi, seolah realitas sedang runtuh.

Tubuh Adrian mulai memudar.

“Tidak!” Alena berusaha meraihnya, tapi jari-jarinya hanya menyentuh udara kosong.

Adrian tersenyum, senyum yang dipenuhi kepedihan. “Jangan menangis untukku. Aku akan selalu ada… di setiap garis waktu.”

Dan dalam sekejap, ia menghilang.


Alena terbangun dengan nafas terengah-engah.

Ia berada di apartemennya, berbaring di tempat tidur.

Semua terasa normal. Tidak ada surat misterius. Tidak ada pesan dari masa depan. Tidak ada Adrian.

Ia segera meraih ponselnya.

Tidak ada pesan yang aneh. Tidak ada bukti bahwa semua yang ia alami benar-benar terjadi.

Apa itu semua hanya mimpi?

Tidak. Itu nyata. Ia tahu itu nyata.

Tapi waktu telah menghapus semuanya, seperti yang selalu terjadi.

Alena menatap keluar jendela, menatap langit yang kini tenang.

Dalam hatinya, ia tahu bahwa di suatu tempat, di suatu garis waktu lain, Adrian masih ada.

Dan mungkin, hanya mungkin, mereka akan menemukan cara untuk bersama lagi.

Suatu hari nanti.

TAMAT.

Novel ini ditulis oleh Evi Fauzi, Penulis dari Novel Singkat. Baca juga novel romantis, petualangan dan fiksi ilmiah lainnya.

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

    Leave a Reply

    Your email address will not be published. Required fields are marked *