Alena, seorang editor majalah fashion, menjalin hubungan dengan Dion, pria yang terlihat sempurna di matanya. Namun, seiring waktu, ia mulai menyadari bahwa dirinya bukanlah satu-satunya yang ada di hati Dion.
Bayangan cinta pertama Dion, Saskia, selalu hadir di antara mereka—dalam cara Dion melamun, dalam lagu-lagu yang ia dengarkan, bahkan dalam nama yang tak sengaja ia sebut dalam tidur.
Alena berusaha bertahan, berharap bahwa cintanya cukup untuk menghapus masa lalu Dion. Namun, ketika ia melihat sendiri bagaimana mata Dion berbinar saat bertemu kembali dengan Saskia, ia sadar—cintanya tidak akan pernah bisa menggantikan seseorang yang masih mengisi hati pria itu.
Dengan hati yang hancur, Alena harus membuat keputusan: bertahan dalam hubungan yang membuatnya merasa tidak cukup, atau pergi untuk menemukan cinta yang benar-benar memilihnya tanpa ragu.
“Aku mencintaimu, tapi aku tidak bisa terus mencintai seseorang yang bahkan tidak tahu bagaimana cara memilihku.”
Bab 1: Awal yang Terasa Manis
Angin sore bertiup lembut, membawa aroma tanah basah setelah hujan tipis yang turun sejak siang. Langit mulai berwarna oranye keemasan, menyisakan kilatan matahari yang redup di ufuk barat. Di antara bangunan kampus yang megah, langkah-langkah kecil seseorang terdengar samar di jalan setapak yang basah.
Alena berdiri di dekat taman kecil di sudut kampus, menatap dedaunan yang jatuh perlahan dari pohon maple tua. Tangan mungilnya merapat ke dalam kantung jaket, mencoba melawan dinginnya angin sore. Matanya menerawang, seolah mencari sesuatu yang tak kasat mata.
Saat itu, ia tidak tahu bahwa hari itu akan menjadi awal dari kisah yang membuatnya mempertanyakan banyak hal. Awal dari sebuah rasa yang ia pikir akan membawanya pada kebahagiaan.
“Aku masih di sini,” suara seorang pria memecah lamunannya.
Alena menoleh.
Dion berdiri beberapa langkah darinya, tersenyum tipis. Mata pria itu menyiratkan kehangatan, meskipun sorotnya terasa sulit ditebak.
“Kenapa kau selalu datang lebih awal?” tanya Dion ringan.
Alena hanya tersenyum kecil. “Aku suka menikmati waktu sebelum semuanya terasa ramai.”
Dion mengangguk, lalu tanpa diminta, ia berdiri di samping Alena, sama-sama menatap dedaunan yang berguguran. Suasana di antara mereka terasa tenang, nyaris seperti melodi yang diputar dalam volume kecil.
Seharusnya, Alena tahu.
Seharusnya, dari awal ia sudah menyadari sesuatu yang tersembunyi dalam cara Dion menatap langit senja. Sesuatu yang seharusnya ia sadari jauh sebelum semuanya menjadi terlalu dalam dan sulit untuk ditinggalkan.
Namun, seperti seseorang yang baru mengenal cinta, ia memilih mengabaikannya.
Tatapan yang Tak Bisa Kuartikan
Pertemuan itu terjadi begitu saja. Alena tidak pernah membayangkan bahwa hidupnya akan bersinggungan dengan pria seperti Dion. Ia hanya seorang gadis biasa dengan kehidupan yang sederhana. Sementara Dion… pria itu seperti teka-teki yang sulit dipecahkan.
Mereka mulai dekat setelah beberapa kali bertemu dalam kegiatan kampus. Dion bukan tipe pria yang mudah ditebak. Ia bisa sangat perhatian, namun di lain waktu, ia seakan menghilang dalam pikirannya sendiri.
“Kenapa kau suka senja?” tanya Alena suatu hari.
Dion terdiam sejenak, lalu tersenyum kecil. “Karena senja selalu mengingatkan pada sesuatu yang hampir berakhir, tapi tetap indah.”
Alena mengerutkan kening. “Itu terdengar seperti sesuatu yang menyedihkan.”
Dion hanya tertawa kecil. “Mungkin.”
Saat itu, Alena tidak tahu bahwa Dion sedang berbicara tentang sesuatu yang lain. Tentang seseorang.
Tentang masa lalunya.
Namun, Alena tidak terlalu memikirkan hal itu. Ia terlalu sibuk menikmati perasaan baru yang tumbuh di hatinya. Perasaan yang membuatnya ingin mengenal pria itu lebih dalam.
Isyarat yang Tak Terbaca
Hubungan mereka berkembang perlahan. Dion selalu ada di sampingnya, memberikan perhatian kecil yang membuat Alena merasa istimewa.
Ia selalu ingat bagaimana pria itu membawakan payung saat hujan turun tiba-tiba. Bagaimana Dion tanpa diminta mengingatkan Alena untuk makan di tengah kesibukannya. Atau bagaimana pria itu secara alami menggenggam tangannya saat mereka menyeberang jalan.
Namun, ada hal-hal kecil yang sering membuat Alena bertanya-tanya.
Seperti bagaimana Dion terkadang menatap layar ponselnya terlalu lama, lalu menghela napas sebelum memasukkannya kembali ke saku.
Atau bagaimana pria itu sering melamun saat melewati sebuah kedai kopi di dekat kampus, seolah mengingat sesuatu yang jauh di masa lalu.
Namun, Alena tidak bertanya. Ia tidak ingin merusak apa yang terasa begitu indah saat itu.
Mungkin karena ia terlalu takut dengan jawabannya.
Kehadiran yang Tak Pernah Sepenuhnya Milikku
Alena berpikir bahwa Dion adalah dunianya. Bahwa kebersamaan mereka akan terus tumbuh seperti bunga yang bermekaran di musim semi.
Tapi, suatu malam, ia melihat sesuatu yang membuat hatinya berdebar dengan cara yang berbeda.
Dion duduk di bangku taman kampus, sendirian. Ponselnya berada di tangannya, dan ia tampak ragu sebelum akhirnya membuka galeri fotonya.
Dari tempatnya berdiri, Alena bisa melihat layar ponsel Dion dengan samar.
Dan di sana, berjejer foto seorang gadis.
Gadis yang berbeda dari dirinya.
Senyuman Dion yang muncul di sudut bibirnya saat melihat foto-foto itu terasa… menyakitkan.
Alena merasa ada sesuatu yang tidak beres. Tapi, sekali lagi, ia menepis pikirannya sendiri.
Ia memilih untuk tidak bertanya.
Karena ia takut akan jawabannya.
Tapi, seberapa lama ia bisa berpura-pura tidak melihat? Seberapa lama ia bisa mengabaikan pertanda yang selama ini sudah begitu jelas?
Alena tidak tahu.
Yang ia tahu, hatinya mulai digerogoti oleh sesuatu yang tidak bisa ia jelaskan.
Dan ini…
Baru permulaan.
Bab 2: Bayangan Masa Lalu
“Bagaimana rasanya mencintai seseorang yang diam-diam masih mencintai orang lain? Aku tahu jawabannya—seperti menunggu kereta yang tak pernah sampai.”
Alena tahu ada sesuatu yang salah.
Meskipun Dion selalu ada untuknya, meskipun tangannya selalu menggenggam tangannya dengan erat, ada ruang di dalam pria itu yang tidak bisa ia masuki. Ruang yang sepertinya sudah lama dihuni oleh seseorang.
Sejak malam itu, sejak ia melihat Dion menatap foto seorang gadis dengan senyum samar, perasaan tidak nyaman itu semakin tumbuh dalam hatinya.
Siapa gadis itu?
Mengapa Dion masih menyimpannya dalam galeri ponselnya?
Ia tidak berani bertanya.
Karena sebagian hatinya tahu—jawaban yang akan ia terima tidak akan membuatnya merasa lebih baik.
Kenangan yang Tak Pernah Mati
Suatu hari, saat mereka duduk berdua di kafe dekat kampus, Alena memperhatikan Dion yang tengah melamun. Tatapannya kosong, cangkir kopinya masih utuh, nyaris tak tersentuh.
“Apa yang sedang kau pikirkan?” tanya Alena pelan.
Dion tersadar dari lamunannya, tersenyum kecil. “Hanya lelah dengan tugas kuliah.”
Alena mengangguk, tapi hatinya tahu pria itu tidak sedang berbicara tentang tugas kuliah.
Matanya terlalu sendu. Senyumannya terlalu kosong.
Lalu, ponselnya bergetar. Dion buru-buru mengambilnya, dan untuk pertama kalinya, Alena memperhatikan sesuatu yang selalu ia abaikan selama ini.
Dion sering menghindari membuka ponselnya di depannya.
Seolah ada sesuatu yang harus ia sembunyikan.
“Bagaimana mungkin aku bersaing dengan kenangan? Aku bisa mencintaimu lebih baik dari siapa pun, tapi aku tidak bisa menggantikan sesuatu yang sudah terukir di hatimu.”
Nama yang Terucap dalam Tidur
Malam itu, Dion menginap di apartemen Alena. Mereka tidak sering melakukannya, tapi hari itu hujan turun deras, dan Alena tidak ingin Dion pulang dalam keadaan basah kuyup.
Dion tertidur lebih dulu di sofa, sementara Alena sibuk menyelesaikan tugasnya.
Hingga sebuah suara lirih membuatnya berhenti mengetik.
Dion bergumam dalam tidurnya.
Alena mendekat, memperhatikan wajah pria itu yang tampak damai dalam lelapnya. Ia tersenyum, hendak menarik selimut untuknya—tapi kemudian, sesuatu menghentikan tangannya.
Sebuah nama.
Nama yang tidak seharusnya ada di antara mereka.
“…Saskia…”
Detik itu, dunia Alena runtuh.
Ia menggigit bibirnya, mencoba menahan air mata yang tiba-tiba menggenang di pelupuk mata.
Jadi, ini jawabannya?
Wanita di dalam ponsel Dion. Wanita yang sering muncul dalam lamunannya. Wanita yang membuat matanya berbinar meski mereka sudah tak lagi bersama.
Saskia.
Cinta pertama Dion.
Cinta yang mungkin tak pernah benar-benar berakhir.
Pertanda yang Terlalu Jelas untuk Diabaikan
Keesokan paginya, Alena tidak mengatakan apa-apa. Ia hanya menatap Dion dengan senyum yang terasa lebih berat dari biasanya.
Mungkin, jika ia bertanya sekarang, Dion akan mengatakan sesuatu yang menyakitkan.
Atau lebih buruk, pria itu akan berbohong hanya untuk membuatnya merasa lebih baik.
Jadi, ia memilih diam.
Karena lebih mudah berpura-pura tidak tahu daripada menghadapi kenyataan bahwa cintanya tidak pernah benar-benar utuh.
“Aku ingin bertanya, tapi aku takut dengan jawabannya. Aku ingin marah, tapi aku tak punya alasan. Aku ingin pergi, tapi aku masih ingin bertahan. Aku… tidak tahu harus bagaimana.”
Bab 3: Pertemuan yang Mengubah Segalanya
“Ada hal-hal yang seharusnya tetap di masa lalu, tapi mengapa yang ada di hatimu justru hidup lebih lama dari yang seharusnya?”
Hari itu, Alena dan Dion menghadiri reuni kampus Dion. Alena tidak benar-benar ingin datang, tapi Dion memintanya dengan lembut, seolah ingin menunjukkan bahwa ia adalah bagian dari hidupnya.
“Jangan diam saja,” Dion berbisik sambil menggenggam tangan Alena. “Aku di sini bersamamu.”
Alena tersenyum kecil, tapi jauh di dalam hatinya, ia merasa aneh. Ada kegelisahan yang tidak bisa ia jelaskan, seolah alam bawah sadarnya mencoba memperingatkan sesuatu.
Ruangan itu penuh dengan wajah-wajah yang tak dikenalnya. Mereka tertawa, bercanda, dan berbagi cerita tentang masa lalu. Sesekali, Dion juga ikut tertawa bersama mereka—tertawa yang terdengar berbeda. Lebih lepas, lebih hidup.
Dan saat itulah, Alena melihatnya.
Saskia.
Wanita itu berdiri tidak jauh darinya, tersenyum pada teman-temannya dengan anggun. Ia memiliki aura yang sulit diabaikan—elegan, cerdas, dan tampaknya selalu tahu bagaimana menarik perhatian tanpa perlu berusaha.
Alena tidak tahu bagaimana rasanya melihat cinta pertama pasanganmu dalam jarak sedekat ini.
Namun, satu hal yang ia tahu pasti: dunia di sekelilingnya mendadak terasa lebih dingin.
Lalu, ia melihat Dion.
Bagaimana mata pria itu membeku sesaat. Bagaimana jemarinya di genggaman Alena tiba-tiba terasa lebih longgar. Bagaimana napasnya tertahan, seolah melihat sesuatu yang tidak pernah ia duga akan muncul kembali dalam hidupnya.
Saat itu, Alena tahu.
Tidak perlu kata-kata. Tidak perlu penjelasan.
Tatapan Dion sudah mengatakan semuanya.
Kamu Masih Miliknya, Bukan Aku
“Bisakah aku bersaing dengan seseorang yang tidak pernah benar-benar pergi dari hatimu?”
Saskia tersenyum, berjalan mendekat, dan menyapa Dion seolah waktu tidak pernah membuat jarak di antara mereka.
“Dion.” Suaranya lembut, tapi cukup untuk membuat hati Alena bergemuruh.
“Saskia…” Dion akhirnya berbicara, suaranya serak, seolah menahan sesuatu yang sulit dijelaskan.
Mereka saling menatap beberapa detik yang terasa seperti selamanya.
Alena berdiri di samping Dion, tetapi untuk pertama kalinya, ia merasa seperti orang asing.
Ia ingin menggenggam tangan Dion lebih erat, ingin menunjukkan bahwa pria itu adalah miliknya sekarang. Tapi, bagaimana mungkin ia bisa melakukan itu ketika tatapan Dion begitu terikat pada wanita lain?
Saat itulah, Saskia melirik ke arah Alena, seakan baru menyadari keberadaannya.
“Dan ini…?”
Dion berkedip, seakan baru tersadar bahwa ia seharusnya memperkenalkan Alena. “Ini Alena, pacarku.”
Ada jeda di antara kata-katanya.
Sebuah jeda yang tidak seharusnya ada.
Dan di situlah letak kehancurannya.
Saskia tersenyum kecil, mengulurkan tangan. “Senang bertemu denganmu, Alena.”
Alena membalasnya dengan senyum yang nyaris tidak terasa. “Aku juga.”
Tapi jauh di dalam hatinya, ia ingin menangis.
Kisah yang Belum Usai
Selama acara berlangsung, Alena berusaha menahan diri. Ia tersenyum saat harus tersenyum, tertawa saat harus tertawa. Tapi setiap kali ia melihat Dion mencuri pandang ke arah Saskia, hatinya terasa remuk sedikit demi sedikit.
Tidak ada yang berubah.
Saskia masih sama seperti yang Dion ceritakan dulu—cantik, pintar, penuh semangat.
Dan Alena…
Ia hanya seseorang yang datang belakangan.
Ia tidak memiliki kenangan bertahun-tahun seperti yang Saskia miliki bersama Dion. Ia tidak tahu bagaimana rasanya menjadi bagian dari masa lalu Dion yang begitu kuat hingga bertahan dalam hatinya.
Dan saat itu, untuk pertama kalinya, Alena bertanya pada dirinya sendiri.
Apakah ia benar-benar ada di hati Dion?
Ataukah ia hanya sekadar pengisi ruang kosong yang ditinggalkan oleh seseorang yang tidak bisa ia gantikan?
“Aku tidak takut dengan mantanmu. Aku hanya takut, aku tidak pernah benar-benar menjadi tempat tinggal hatimu.”
Bab 4: Luka yang Mulai Terbuka
“Aku bukan ingin menjadi segalanya untukmu. Aku hanya ingin tahu, apakah aku benar-benar sesuatu bagimu?”
Setelah reuni itu, ada sesuatu yang berubah dalam hubungan mereka.
Alena merasakannya.
Dion memang tetap berada di sampingnya, tetap bersikap manis, tetap menanyakan apakah ia sudah makan atau belum. Tapi ada hal yang tidak bisa disembunyikan—perubahan kecil yang terasa begitu besar di hati Alena.
Seperti bagaimana Dion mulai lebih sering memeriksa ponselnya.
Bagaimana ia mulai melamun di tengah-tengah percakapan mereka.
Bagaimana senyumannya tidak lagi terasa setulus dulu.
Dan yang paling menyakitkan—bagaimana tatapan matanya saat menatap Alena tidak lagi sama.
Alena ingin berpura-pura tidak peduli. Ia ingin meyakinkan dirinya bahwa itu hanya perasaannya saja.
Tapi malam itu, semua keyakinan itu runtuh begitu saja.
Pesan yang Tidak Pernah Kutahu
Mereka sedang duduk di balkon apartemen Alena. Malam berangin, langit gelap tanpa bintang. Alena sedang berbicara tentang sesuatu yang terjadi di kampusnya, tapi entah sejak kapan Dion mulai sibuk dengan ponselnya.
Alena berhenti bicara.
“Dion?” panggilnya pelan.
Dion tidak menjawab. Jarinya masih mengetik sesuatu di layar ponsel. Matanya tidak fokus pada Alena.
Untuk pertama kalinya, Alena merasa seolah-olah dia tidak ada di ruangan itu.
Ia menggigit bibir, menahan rasa sakit yang mulai menggerogoti dadanya.
“Apa yang kau lakukan?” tanyanya akhirnya.
Dion tersentak, buru-buru menaruh ponselnya di meja. “Ah, maaf. Kau tadi bicara apa?”
Alena diam beberapa saat.
“Siapa yang kau kirimi pesan?”
Dion terlihat sedikit kaget dengan pertanyaan itu. Ia tertawa kecil, mencoba mengalihkan suasana. “Hanya teman.”
“Teman?” Alena mengulang kata itu dengan suara pelan.
Dion mengangguk. “Iya. Kenapa?”
Alena ingin percaya. Tapi hatinya memberontak.
Ia ingin bertanya lebih jauh. Ingin meminta Dion menunjukkan isi pesannya. Tapi ia tidak ingin terlihat seperti seseorang yang tidak percaya pada pasangannya.
Jadi ia memilih diam.
Tapi diamnya menyakitkan.
“Aku ingin bertanya apakah itu Saskia. Tapi aku takut dengan jawabannya.”
Salah Menyebut Nama
Beberapa hari berlalu, dan perasaan tidak nyaman itu masih melekat di dada Alena.
Malam itu, saat mereka sedang makan malam di sebuah restoran kecil, Alena melihat bagaimana Dion tampak lebih sering memeriksa ponselnya daripada menatapnya.
Dan ketika Dion akhirnya mengangkat wajahnya, sesuatu terjadi.
Sesuatu yang membuat Alena merasa seolah-olah dunia berhenti berputar.
Dion tersenyum, lalu berkata, “Sask—”
Dia terdiam.
Mata Alena membesar.
“Apa?” suaranya hampir berbisik.
Dion terlihat panik, buru-buru meralat, “Maksudku, Alena.”
Alena terdiam. Tangannya menggenggam erat sendok di atas meja, mencoba menahan getaran di jemarinya.
Saskia.
Dia hampir menyebut nama itu.
Bukan namanya.
Bukan nama orang yang duduk di depannya saat ini.
Alena mencoba tersenyum. “Aku rasa aku tidak lapar lagi.”
Dion terlihat bersalah. “Alena, aku—”
“Tidak apa-apa,” potong Alena cepat. “Aku hanya lelah.”
Ia tidak ingin bertengkar. Tidak ingin membahas ini sekarang.
Karena ia tahu, jika ia membahasnya, ia akan menangis di tempat ini.
Aku Masih di Sini, Tapi Hatimu Tidak
Dalam perjalanan pulang, Alena hanya diam.
Dion beberapa kali meliriknya, tapi tidak berusaha untuk berbicara.
Saat mereka tiba di apartemen Alena, Dion menggenggam tangannya. “Alena, aku benar-benar tidak sengaja. Aku tidak—”
“Tidak apa-apa,” Alena tersenyum, meski matanya terasa panas.
Dion menatapnya lama, seolah mencari sesuatu di dalam dirinya.
Tapi yang ia cari bukanlah Alena.
Yang ia cari adalah sesuatu yang sudah hilang.
Seseorang yang sudah pergi.
Dan saat itu, Alena sadar.
“Aku masih di sisimu, tapi hatimu sudah bukan untukku lagi.”
Bab 5: Aku atau Bayangan Itu?
“Sejak awal, aku tahu aku bukan yang pertama di hatimu. Tapi kupikir, jika aku bertahan cukup lama, aku bisa menjadi yang terakhir.”
Alena mulai merasa lelah.
Lelah menahan semua yang ia rasakan. Lelah menutup mata atas sesuatu yang sebenarnya sudah jelas sejak lama.
Saskia bukan sekadar kenangan bagi Dion.
Saskia masih hidup dalam pikirannya, dalam matanya, dalam cara dia mengucapkan namanya tanpa sadar.
Dion memang bersamanya sekarang. Tapi seberapa jauh Alena harus melangkah sebelum dia menyadari bahwa dia hanya seorang pengganti?
Dan pertanyaan terbesar yang terus menghantui pikirannya:
“Apakah aku benar-benar dicintai, atau hanya menjadi tempatmu berlindung dari kehampaan?”
Kenyataan yang Paling Menyakitkan
Hari itu, hujan turun sejak siang. Alena menunggu Dion di kafe kecil favorit mereka. Ia memesan dua cangkir kopi, satu untuk dirinya dan satu untuk Dion.
Dion terlambat.
Bukan hal yang aneh, tapi ada sesuatu yang mengganggu perasaannya hari ini.
Lalu ponselnya bergetar.
Dion: Maaf, aku telat. Aku baru saja bertemu teman lama.
Alena menghela napas. Ia mengetik balasan.
Alena: Aku di sini. Berapa lama lagi?
Dion tidak segera membalas.
Dan saat itu, secara kebetulan, Alena mengalihkan pandangannya ke jendela kafe.
Hujan turun deras di luar. Orang-orang berjalan terburu-buru, bersembunyi di balik payung atau mantel mereka.
Dan di antara mereka…
Sebuah sosok yang sangat dikenal Alena.
Dion.
Bersama seorang wanita.
Mereka berdiri di bawah satu payung yang sama.
Wanita itu tersenyum padanya. Dion tertawa kecil.
Dan meskipun hujan terlalu deras untuk mendengar apa yang mereka bicarakan, Alena bisa melihat segalanya dengan jelas.
Dion menatap wanita itu… dengan cara yang tidak pernah lagi ia tunjukkan pada Alena.
Saskia.
Alena menatapnya lama.
Tangannya yang menggenggam cangkir kopi mulai gemetar.
Jadi ini alasan dia terlambat?
Alena bisa saja keluar sekarang. Bisa saja berlari ke arah mereka, bisa saja menuntut penjelasan.
Tapi untuk apa?
Jawabannya sudah ada di depan matanya.
Dan yang paling menyakitkan adalah…
Dion bahkan tidak menyadari bahwa Alena melihatnya.
Konfrontasi yang Tak Bisa Dihindari
Dion tiba di kafe tiga puluh menit kemudian. Pakaian bagian atasnya sedikit basah karena hujan, meskipun sebagian besar tubuhnya kering—mungkin karena payung yang tadi ia gunakan.
Alena masih ada di sana, tapi ia tidak menyentuh kopinya sama sekali.
Dion tersenyum. “Maaf, aku telat. Kau sudah menunggu lama?”
Alena menatapnya tanpa ekspresi. “Kau bersama Saskia.”
Senyum Dion seketika memudar.
“Tidak seperti yang kau pikirkan, Alena. Aku kebetulan bertemu dengannya di jalan dan—”
“Kenapa kau tidak bilang?” Alena memotongnya. Suaranya terdengar pelan, tapi dingin.
Dion terdiam.
“Kenapa kau tidak bisa jujur padaku?” lanjut Alena, suaranya mulai bergetar. “Kau masih menyukainya, bukan?”
Dion membuka mulutnya, seakan ingin menyangkal. Tapi tidak ada kata-kata yang keluar.
Dan bagi Alena, itu sudah lebih dari cukup.
“Terkadang, diam adalah jawaban yang paling menyakitkan.”
Aku yang Mencintaimu, Kau yang Mencintainya
“Aku mencintaimu, Alena,” Dion akhirnya berkata.
Alena tersenyum pahit. “Tapi kau masih mencintainya.”
Dion tidak menjawab.
Itu saja sudah cukup bagi Alena untuk memahami semuanya.
Ia sudah tahu sejak lama, sejak pertama kali ia melihat cara Dion menyebut nama Saskia dalam tidurnya. Sejak pertama kali ia melihat cara Dion menatap foto-foto lama di ponselnya. Sejak pertama kali ia menyadari bahwa ia hanyalah seseorang yang datang belakangan, menggantikan sesuatu yang sudah lebih dulu ada.
Ia mencintai pria ini, tapi sampai kapan ia harus bertahan jika yang ia perjuangkan hanya bayangan masa lalu?
Mata Alena terasa panas. Tapi ia menolak untuk menangis di depan Dion.
“Aku lelah, Dion,” ucapnya akhirnya. “Aku lelah bersaing dengan seseorang yang bahkan tidak perlu berusaha untuk mendapatkan perhatianmu.”
Dion tampak ingin mengatakan sesuatu, ingin meraih tangannya, tapi Alena mundur.
“Kalau kau masih mencintainya,” bisik Alena, “aku tidak akan memintamu untuk melupakan. Aku hanya akan memilih pergi.”
Dan dengan itu, ia bangkit dari kursinya, meninggalkan Dion yang masih terdiam di tempatnya.
Untuk pertama kalinya, Alena memilih dirinya sendiri.
Meskipun itu berarti ia harus meninggalkan seseorang yang paling ia cintai.
Dan meskipun hatinya remuk dalam prosesnya.
“Cintamu masih bukan aku. Dan aku lelah berpura-pura bahwa aku tidak tahu.”
Bab 6: Perasaan yang Tidak Bisa Dipungkiri
“Aku tidak meninggalkanmu karena aku tak mencintaimu. Aku pergi karena aku mencintaimu, tapi kau tidak mencintaiku dengan utuh.”
Alena melangkah keluar dari kafe dengan langkah yang mantap, meskipun hatinya terasa seakan dihancurkan dari dalam. Hujan sudah reda, tetapi jalanan masih basah, memantulkan lampu-lampu kota yang berpendar di aspal.
Di belakangnya, ia tidak mendengar langkah Dion mengejarnya.
Dan itu lebih menyakitkan daripada apa pun.
Bukan karena ia ingin Dion mengejarnya—tetapi karena diamnya pria itu adalah jawaban yang selama ini ia takutkan.
Dion tidak menahannya.
Dion tidak memintanya untuk bertahan.
Karena mungkin, jauh di dalam hatinya, pria itu tahu bahwa Alena benar.
Ia tidak pernah benar-benar melupakan Saskia.
Luka yang Mulai Terbuka Sepenuhnya
Alena menghabiskan malam itu di kamarnya, duduk di pojokan dengan tangan memeluk lututnya.
Matanya masih panas, tetapi tidak ada air mata yang jatuh. Mungkin karena ia terlalu lelah untuk menangis, atau mungkin karena hatinya sudah terlalu kosong.
Di ponselnya, ada beberapa pesan dari Dion.
Dion: Alena, aku bisa menjelaskan.
Dion: Aku tidak ingin kita berakhir seperti ini.
Dion: Tolong, bicaralah denganku.
Tapi Alena tidak membalas.
Karena ada satu hal yang Dion tidak mengerti.
Bicaralah untuk apa?
Ia tidak ingin mendengar kebohongan yang lebih indah daripada kenyataan.
Ia tidak ingin diberi harapan yang hanya akan membawanya pada luka yang lebih dalam.
Ia tidak ingin bertahan di dalam hubungan di mana ia tahu dirinya hanyalah pilihan kedua.
“Aku bisa menerima banyak hal. Tapi aku tidak bisa menerima menjadi seseorang yang kau cintai hanya karena seseorang yang kau inginkan tidak bisa kau miliki.”
Saat Rindu dan Logika Bertarung
Malam berganti pagi, tapi perasaan itu tidak juga hilang.
Alena mencoba mengalihkan pikirannya dengan tenggelam dalam kesibukan kampus, tetapi segalanya terasa hampa.
Setiap tempat di kampus mengingatkannya pada Dion.
Kafe tempat mereka biasa bertemu. Perpustakaan tempat Dion pernah tertidur di sampingnya. Bangku taman tempat mereka duduk berdua berbagi cerita tentang masa depan.
Semuanya terasa menyakitkan sekarang.
Namun, yang lebih menyakitkan adalah…
Ia masih mencintai pria itu.
Dan itu membuatnya marah.
“Kenapa aku masih mencintaimu, padahal aku tahu kau tak bisa mencintaiku seperti aku mencintaimu?”
Ketika Kenangan Membuatmu Lelah
Malam itu, ponselnya kembali bergetar.
Dion: Aku di depan apartemenmu. Tolong izinkan aku bicara.
Alena menatap pesan itu lama, jantungnya berdetak lebih cepat.
Haruskah ia menemuinya?
Atau haruskah ia tetap bertahan dengan keputusannya untuk pergi?
Ia menutup matanya, mencoba menenangkan pikirannya.
Ia tidak boleh lemah.
Tapi ketika ia berdiri dan melangkah menuju pintu, ia sadar…
Mungkin ia memang sudah lemah sejak awal.
Konfrontasi di Bawah Langit Malam
Saat Alena membuka pintu, Dion berdiri di sana, mengenakan jaket hitamnya yang masih basah karena hujan gerimis.
Mata pria itu menatapnya dengan penuh ketegangan, seolah takut bahwa Alena akan menutup pintu kapan saja.
“Tolong, jangan pergi,” suara Dion terdengar serak.
Alena menghela napas. “Aku sudah pergi, Dion.”
Dion menggigit bibirnya, lalu mengambil langkah mendekat. “Kumohon, dengarkan aku. Aku tidak ingin kita berakhir seperti ini.”
Alena menatapnya dalam diam. Ia ingin bertanya satu hal.
Apakah dia tidak ingin mereka berakhir karena dia mencintainya?
Atau karena dia takut kehilangan seseorang yang sudah nyaman berada di sisinya?
Tetapi ia tidak bertanya.
Karena ia tahu, ia tidak akan menyukai jawabannya.
“Apa kau masih mencintainya?” suara Alena akhirnya pecah di antara suara hujan yang mulai turun lagi.
Dion terdiam.
Dan itulah jawabannya.
Alena tertawa kecil, meski air mata mulai menggenang di sudut matanya. “Aku sudah tahu jawabannya. Aku hanya ingin mendengarnya darimu.”
Dion menunduk. “Aku… tidak tahu, Alena.”
Jawaban itu membuat segalanya semakin jelas.
Jika Dion benar-benar mencintainya, seharusnya dia bisa menjawab tanpa ragu.
Tapi dia ragu.
Dan itu artinya…
Cintanya masih bukan aku.
“Aku ingin menjadi alasanmu berhenti menoleh ke belakang. Tapi kau bahkan tidak bisa berhenti ragu saat bersamaku.”
Alena menarik napas dalam-dalam, mencoba menguatkan dirinya untuk langkah terakhir.
“Aku mencintaimu, Dion,” katanya pelan. “Tapi aku lelah.”
Dion terbelalak. “Alena, jangan—”
“Aku pantas mendapatkan seseorang yang tidak perlu berpikir dua kali untuk memilihku.”
Dion membuka mulutnya, seakan ingin memprotes. Tapi ia tidak bisa.
Karena jauh di dalam hatinya, ia tahu Alena benar.
Hujan turun semakin deras, tapi Alena tidak peduli.
Ia berbalik, melangkah masuk ke dalam apartemennya, dan untuk pertama kalinya…
Ia tidak menoleh ke belakang.
“Aku ingin bertahan. Aku ingin memperjuangkanmu. Tapi aku tidak bisa terus mencintai seseorang yang tidak pernah benar-benar memilihku.”
Bab 7: Keputusan yang Menyakitkan
“Aku tidak ingin menyerah pada kita, tapi aku juga tidak ingin bertahan dalam hubungan yang hanya akan melukaiku lebih dalam.”
Sudah tiga hari sejak malam itu.
Sejak ia meninggalkan Dion di bawah hujan, sejak ia menutup pintu dengan perasaan yang hancur, sejak ia memilih pergi dari hubungan yang selama ini ia perjuangkan.
Alena berpikir semuanya akan terasa lebih mudah setelah ini.
Bahwa setelah mengambil keputusan, hatinya akan lebih tenang.
Namun, yang terjadi justru sebaliknya.
Ia masih bangun dengan perasaan kosong di dadanya. Masih menatap ponselnya setiap pagi, berharap menemukan pesan dari Dion. Masih menahan diri untuk tidak menelepon pria itu, tidak bertanya bagaimana keadaannya.
Tapi ia tahu, semua itu hanya akan menyakitinya lebih dalam.
Dion tidak menghubunginya lagi sejak malam itu.
Dan seharusnya itu membuat segalanya lebih mudah, tapi entah kenapa… justru membuat luka itu semakin nyata.
“Aku ingin kau mengejarku. Aku ingin kau membuktikan bahwa aku salah. Tapi diamnya membuatku sadar… mungkin kau memang tidak pernah benar-benar ingin mempertahankanku.”
Kehilangan yang Belum Bisa Kutrima
Hari itu, Alena duduk di taman kampus, tempat yang biasanya menjadi favoritnya dan Dion.
Dedaunan berguguran di sekitarnya, membawa aroma khas musim yang mulai berganti. Tapi bagi Alena, tidak ada yang terasa sama lagi.
Dion tidak ada di sini.
Dan mungkin, dia memang tidak akan pernah kembali.
Ia menghela napas panjang, menatap langit biru yang terasa lebih kosong dari biasanya.
Ponselnya bergetar di pangkuannya.
Sebuah pesan masuk dari nomor yang begitu dikenalnya.
Dion: Aku ingin bicara. Bisa kita bertemu?
Jantung Alena berdebar. Jemarinya gemetar saat menatap layar, ragu apakah harus membalas atau mengabaikannya.
Ia ingin bertemu.
Tapi bertemu dengannya berarti harus membuka kembali luka yang baru saja ia coba sembuhkan.
“Apa yang bisa kukatakan padamu ketika hatiku masih belum siap mendengar apa pun darimu?”
Namun, akhirnya, ia mengetik balasan.
Alena: Baiklah. Di tempat biasa.
Akhir yang Tidak Pernah Kusangka
Satu jam kemudian, Alena sudah duduk di kafe kecil tempat mereka biasa bertemu.
Tempat di mana segalanya dimulai.
Dion datang tak lama setelahnya. Ia tampak lelah, wajahnya sedikit pucat, seolah kurang tidur selama beberapa hari ini.
Sama seperti Alena.
Pria itu duduk di depannya, tapi tidak segera berbicara.
Hening.
Mereka hanya saling menatap, seakan keduanya tahu bahwa apa yang akan dikatakan nanti hanya akan semakin menyakitkan.
Alena akhirnya membuka suara lebih dulu.
“Kau ingin bicara tentang apa?” tanyanya pelan.
Dion menghela napas panjang. “Aku ingin meminta maaf.”
Alena tersenyum pahit. “Untuk apa? Untuk tidak bisa memilihku?”
Dion menundukkan kepala. “Aku tidak ingin menyakitimu, Alena.”
“Tapi kau sudah melakukannya.”
Hening lagi.
Lalu, dengan suara yang nyaris tidak terdengar, Dion akhirnya berkata, “Aku mencintaimu.”
Alena terdiam.
“Aku mencintaimu, tapi…” Dion menatapnya dengan mata yang penuh kebingungan. “Aku juga tidak bisa membohongi diriku sendiri.”
Jadi, itulah jawabannya.
Bahkan setelah semua ini, bahkan setelah dia kehilangan Alena, Dion masih belum bisa melepaskan Saskia dari hatinya.
Dan Alena tahu, tidak peduli seberapa besar Dion mencintainya, itu tidak akan pernah cukup jika ada orang lain yang masih mengisi hatinya.
“Aku ingin kau memilihku tanpa keraguan. Tapi jika kau masih menyebut namanya dalam hatimu, maka cinta yang kau tawarkan padaku tidak akan pernah utuh.”
Alena menarik napas panjang, menahan air mata yang mulai menggenang di pelupuk matanya.
“Aku juga mencintaimu, Dion,” katanya akhirnya. “Tapi aku lelah menjadi seseorang yang hanya kau cintai separuh hati.”
Dion menggenggam tangannya. “Aku ingin memperbaiki semuanya.”
“Tidak bisa.” Alena menatapnya dengan mata penuh luka. “Kau tidak bisa memaksakan hatimu untuk mencintaiku sepenuhnya. Sama seperti aku tidak bisa terus bertahan dalam hubungan yang membuatku merasa tidak cukup baik.”
Dion terdiam.
Dan di situlah Alena tahu, ini adalah akhir mereka.
Ia perlahan menarik tangannya dari genggaman Dion.
“Aku harap kau menemukan kebahagiaanmu, Dion,” bisiknya.
Lalu, dengan langkah berat, ia bangkit dari kursinya.
Tanpa menoleh lagi, tanpa melihat ke belakang.
Untuk pertama kalinya, ia benar-benar memilih dirinya sendiri.
Dan meskipun sakit, ia tahu ini adalah keputusan yang harus ia ambil.
“Aku pergi bukan karena aku tidak mencintaimu lagi. Aku pergi karena aku akhirnya mencintai diriku sendiri lebih dari aku mencintaimu.”
Bab 8: Pergi dengan Luka, Bukan dengan Kebencian
“Aku pergi bukan karena aku membencimu, tetapi karena aku akhirnya sadar… cinta tidak seharusnya sesakit ini.”
Langkah Alena terasa berat saat meninggalkan kafe itu. Hatinya masih bergetar dengan keputusan yang baru saja ia buat.
Ia telah meninggalkan Dion.
Tidak dengan marah, tidak dengan kata-kata penuh kebencian.
Tetapi dengan luka yang begitu dalam, yang mungkin tidak akan sembuh dalam waktu dekat.
Hujan turun pelan saat ia berjalan menyusuri trotoar, seolah dunia mengerti bahwa hari ini adalah hari di mana ia harus merelakan seseorang yang pernah ia sebut sebagai rumahnya.
Ponselnya tetap sunyi. Dion tidak menghubunginya, tidak mengejarnya.
Dan meskipun itu seharusnya membuatnya lebih kuat, nyatanya itu justru membuat dadanya semakin sesak.
“Mungkin, jika kau mencintaiku seperti aku mencintaimu, kau tidak akan membiarkanku pergi dengan begitu mudah.”
Rindu yang Harus Kurelakan
Hari-hari setelah perpisahan mereka terasa aneh bagi Alena.
Tidak ada pesan dari Dion yang menanyakan apakah ia sudah makan.
Tidak ada suara pria itu di telepon setiap malam, membahas hal-hal kecil yang terjadi dalam sehari.
Tidak ada lagi sosoknya yang duduk di samping Alena, menatapnya dengan mata penuh perhatian—atau mungkin, itu hanya perasaan Alena saja.
Kini, Dion hanyalah seseorang yang dulu pernah ada dalam hidupnya.
Namun, meskipun mereka telah berpisah, bayangan pria itu masih melekat di setiap sudut kehidupannya.
Setiap lagu yang terputar di radio mengingatkannya pada Dion.
Setiap tempat yang pernah mereka kunjungi terasa lebih sunyi tanpa keberadaannya.
Setiap gelas kopi yang ia minum mengingatkannya pada kebiasaan Dion yang selalu menambahkan satu sendok gula lebih banyak dari yang seharusnya.
Dan yang paling menyakitkan…
Setiap malam, saat ia memejamkan mata, ia masih berharap bisa mendengar suara Dion sekali lagi.
Tapi ia tahu, harapan itu hanya akan membuat luka di hatinya semakin dalam.
“Kita bisa melupakan kata-kata, tetapi kita tidak bisa melupakan bagaimana seseorang membuat kita merasa.”
Menghargai yang Pernah Ada
Suatu hari, saat Alena sedang membereskan apartemennya, ia menemukan sesuatu yang membuat langkahnya terhenti.
Sebuah foto lama.
Foto yang diambil setahun lalu, saat ia dan Dion sedang berlibur di sebuah kota kecil.
Dalam foto itu, Dion sedang tersenyum ke arahnya, dengan tangan yang melingkar di pundaknya.
Matanya begitu hangat.
Seolah, dalam momen itu, Alena adalah satu-satunya orang yang ada di hatinya.
Ia menatap foto itu lama.
Air mata yang selama ini ia tahan akhirnya jatuh tanpa bisa dihentikan.
Bukan karena ia menyesal telah pergi.
Tetapi karena ia tahu… cinta itu memang pernah ada.
Walaupun akhirnya tidak bertahan, walaupun akhirnya tidak menjadi seperti yang ia harapkan, ia tidak bisa menyangkal bahwa mereka pernah saling mencintai.
“Mungkin, tidak semua cinta harus bertahan selamanya. Tetapi itu tidak berarti cinta itu tidak pernah nyata.”
Dion yang Mulai Terlambat Mengerti
Sementara itu, di tempat lain, Dion menatap layar ponselnya dengan tangan yang gemetar.
Di dalamnya, ada ratusan pesan yang ingin ia kirimkan ke Alena.
Tetapi tidak ada satu pun yang ia kirimkan.
Karena untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia menyadari sesuatu yang begitu menyakitkan.
Ia mencintai Alena.
Bukan sebagai pelarian, bukan sebagai pengganti seseorang.
Ia benar-benar mencintainya.
Tetapi ia menyadarinya saat semuanya sudah terlambat.
Saat Alena sudah pergi.
Dan saat ia akhirnya menyadari… bahwa tidak semua orang akan menunggu selamanya.
“Aku mencintaimu, Alena. Aku hanya terlalu buta untuk melihatnya sebelum semuanya hancur.”
Cinta yang Tidak Bisa Kembali
Suatu hari, Alena duduk di kafe yang sama, memandangi hujan yang turun di luar jendela.
Tempat ini tidak lagi terasa sama.
Tidak ada Dion yang duduk di depannya, mengaduk kopinya sambil tersenyum kecil.
Tidak ada suara tawa mereka yang memenuhi ruangan.
Hanya ada dia, dan kenangan yang perlahan mulai berubah menjadi sesuatu yang lebih ringan untuk diterima.
Ia menghela napas panjang, menatap kopi di depannya, lalu tersenyum kecil.
Untuk pertama kalinya sejak perpisahan mereka, ia merasa tenang.
Dion mungkin adalah cinta yang ia harus lepaskan.
Tetapi itu tidak berarti ia tidak bisa bahagia lagi.
Karena di suatu tempat di luar sana, ada cinta yang akan datang untuknya.
Cinta yang tidak akan membuatnya merasa seperti pilihan kedua.
Dan saat hari itu tiba, ia akan mencintai tanpa takut kehilangan dirinya sendiri lagi.
“Aku tidak menyesal pernah mencintaimu. Tetapi aku juga tidak menyesal telah memilih untuk pergi.”
Bab 9: Penyesalan yang Terlambat
“Kau tahu apa yang lebih menyakitkan daripada kehilangan? Menyadari bahwa seseorang yang kau lepas adalah satu-satunya yang benar-benar mencintaimu.”
Dion menatap layar ponselnya yang kosong. Tidak ada pesan masuk, tidak ada panggilan tak terjawab dari Alena.
Tidak ada lagi seseorang yang menanyakan apakah dia sudah makan.
Tidak ada lagi suara lembut yang mengingatkannya untuk tidak bekerja terlalu keras.
Tidak ada lagi wanita yang menunggunya di kafe favorit mereka, menatapnya dengan mata penuh cinta.
Alena benar-benar pergi.
Dan kali ini, Dion tahu bahwa ia tidak akan kembali.
Ia menutup matanya, membiarkan rasa perih menyelinap di dadanya.
Betapa bodohnya dia.
Betapa butanya dia selama ini.
Selama ini, ia selalu berpikir bahwa dirinya sudah cukup baik untuk Alena, bahwa meskipun perasaannya tidak sepenuhnya untuk wanita itu, ia masih bisa mencintainya dengan caranya sendiri.
Tetapi sekarang, ia sadar…
Cinta tidak pernah bisa dibagi.
Dan seseorang seperti Alena tidak seharusnya menunggu untuk dicintai sepenuh hati.
“Aku tidak tahu apa yang lebih menyakitkan—mengetahui bahwa aku menyakitimu, atau menyadari bahwa aku tidak akan pernah bisa memperbaikinya.”
Mencari yang Sudah Pergi
Beberapa kali Dion mencoba menghubungi Alena.
Setiap panggilan hanya berakhir dengan nada sambung yang panjang, tanpa jawaban.
Setiap pesan yang dikirimnya hanya dibiarkan terbaca tanpa balasan.
Dion mulai kehilangan kendali atas pikirannya. Ia tidak bisa fokus bekerja, tidak bisa menikmati hal-hal yang dulu terasa biasa saja.
Karena semuanya mengingatkannya pada Alena.
Makanan favorit yang dulu sering mereka pesan bersama.
Film yang mereka tonton berdua di akhir pekan.
Jalanan yang mereka lalui sambil bercanda satu sama lain.
Dan yang paling menyakitkan, tempat tidur kosong di sebelahnya yang dulu pernah ditempati oleh seseorang yang kini sudah memilih pergi.
Dion menghela napas panjang, kepalanya menunduk di atas meja kerjanya.
Ia ingin bertemu Alena.
Ingin meminta maaf.
Ingin berkata bahwa ia akhirnya menyadari sesuatu yang selama ini ia abaikan.
Bahwa perasaan yang ia miliki untuk Saskia… tidak seharusnya menghalangi dirinya untuk mencintai Alena sepenuh hati.
Bahwa hatinya sudah memilih, dan pilihannya adalah Alena.
Tetapi, apakah masih ada kesempatan?
Ataukah semuanya sudah terlambat?
“Kau mengajarkanku cara mencintai, tetapi aku terlalu lambat untuk menyadari bahwa kaulah yang seharusnya kucintai tanpa ragu.”
Kisah yang Tidak Lagi Bisa Diulang
Satu minggu setelah perpisahan mereka, Dion akhirnya mengambil keputusan.
Ia pergi ke apartemen Alena.
Berharap bahwa wanita itu masih ada di sana.
Berharap bahwa ia bisa menjelaskan semuanya, meminta satu kesempatan lagi, mengulang kembali kisah yang hancur karena kebodohannya sendiri.
Tetapi saat ia mengetuk pintu, tidak ada jawaban.
Dion mencoba meneleponnya sekali lagi.
Panggilannya masuk, tetapi tidak diangkat.
Dengan hati yang semakin gelisah, ia bertanya kepada penjaga apartemen.
Dan jawaban yang ia terima membuatnya membeku di tempat.
“Alena? Dia sudah pindah beberapa hari yang lalu.”
Pindah?
Dion merasa tubuhnya kehilangan tenaga.
Ia menelan ludah, mencoba mengabaikan rasa nyeri yang mulai menusuk dadanya. “Kau tahu ke mana dia pindah?”
Penjaga itu menggeleng. “Dia tidak bilang. Hanya mengatakan bahwa dia ingin pergi ke tempat baru.”
Dion diam.
Lama.
Seakan dunia tiba-tiba terasa lebih sunyi, lebih kosong.
Alena benar-benar menghilang dari hidupnya.
Tanpa jejak.
Tanpa pesan perpisahan.
Tanpa memberikan kesempatan bagi Dion untuk memperbaiki semuanya.
“Aku kira aku masih punya waktu. Aku kira aku masih bisa mengembalikanmu. Tapi aku lupa… waktu tidak pernah menunggu siapa pun.”
Cinta yang Kini Hanya Tinggal Kenangan
Dion duduk di dalam mobilnya, menatap kosong ke arah jalan.
Hujan mulai turun lagi, membasahi jendela dan menciptakan kabut tipis yang menyamarkan pemandangan di luar.
Ia mengusap wajahnya dengan frustasi.
Berapa banyak kesalahan yang harus ia buat sebelum akhirnya ia menyadari apa yang sebenarnya ia miliki?
Berapa banyak momen yang harus ia sia-siakan sebelum ia memahami arti kehilangan?
Dan berapa banyak waktu yang harus berlalu sebelum ia bisa menerima kenyataan bahwa Alena…
Sudah tidak akan kembali?
“Aku ingin kau kembali. Tapi lebih dari itu, aku ingin kau bahagia… meski itu berarti aku bukan lagi alasan di balik senyummu.”
Bab 10: Cinta yang Sebenarnya
Pergi Tanpa Menoleh Lagi
“Aku mencintaimu, tapi aku tidak bisa terus mencintai seseorang yang bahkan tidak tahu bagaimana cara memilihku.”
Hari-hari berlalu, musim berganti, dan waktu terus berjalan tanpa belas kasihan.
Dion masih tetap di tempatnya, terjebak dalam penyesalan yang datang terlambat.
Sementara itu, Alena telah benar-benar pergi.
Ia tidak lagi menoleh ke belakang, tidak lagi membiarkan hatinya terikat pada seseorang yang tidak bisa mencintainya dengan utuh.
Ia memilih untuk sembuh.
Ia memilih untuk menemukan kembali dirinya yang telah hilang dalam hubungan yang tidak pernah benar-benar menjadi miliknya.
Dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia merasa lebih ringan.
Tidak ada lagi luka yang ia coba sembunyikan. Tidak ada lagi air mata yang ia tumpahkan dalam diam.
Hanya ada dirinya… dan kebebasan yang akhirnya ia rasakan.
“Kadang, pergi adalah satu-satunya cara untuk menemukan cinta yang lebih baik—cinta untuk diriku sendiri.”
Dion yang Akhirnya Menyerah
Dion tahu bahwa ia telah kehilangannya.
Bukan hanya kehilangan sosok Alena, tetapi juga kehilangan satu-satunya kesempatan untuk mencintai seseorang yang mencintainya lebih dari siapa pun.
Ia bisa mencari Alena, bisa mencoba membujuknya kembali.
Tetapi untuk apa?
Ia tahu bahwa kali ini, Alena tidak akan lagi membiarkan dirinya terjebak dalam hubungan yang hanya akan menyakitinya lebih dalam.
Jadi, dengan berat hati, Dion akhirnya melakukan satu hal yang selama ini tidak bisa ia lakukan.
Ia melepaskan.
Bukan karena ia ingin, tetapi karena ia tahu…
Cinta bukan tentang memiliki seseorang dengan paksa.
Cinta adalah tentang membiarkan seseorang menemukan kebahagiaannya—meskipun itu berarti ia bukan bagian dari kebahagiaan itu.
“Jika aku benar-benar mencintaimu, maka aku harus belajar untuk merelakanmu pergi.”
Cinta yang Tidak Akan Lagi Sama
Di suatu tempat yang jauh dari kenangan mereka, Alena duduk di kafe kecil, menatap hujan yang turun pelan di luar jendela.
Tempat ini tidak sama dengan tempat yang biasa ia kunjungi bersama Dion.
Dan mungkin, itu yang membuatnya lebih mudah untuk bernapas.
Ponselnya bergetar di meja. Sebuah pesan masuk dari nomor yang tidak ia simpan lagi.
Dion.
Dion: Aku harap kau bahagia, Alena.
Alena menatap pesan itu lama.
Dulu, mungkin ia akan menangis.
Dulu, mungkin ia akan berharap semuanya bisa diperbaiki.
Tapi sekarang, ia hanya tersenyum kecil.
Tanpa membalas, tanpa menyimpan nomor itu kembali.
Lalu, dengan satu tarikan napas, ia menghapus pesan itu.
Meninggalkan semua kenangan di tempatnya seharusnya berada—di masa lalu.
“Cintaku masih ada, tetapi aku tidak lagi ingin kembali.”
TAMAT.
Novel ini ditulis oleh Evi Fauzi, Penulis dari Novel Singkat. Baca juga novel romantis, petualangan dan fiksi ilmiah lainnya.