Ayla, seorang gadis desa yang bekerja sebagai penjahit, tiba-tiba terpilih sebagai pengantin ritual untuk Raja Aldebaran, seorang raja yang telah mati berabad-abad lalu. Saat ia mengucapkan sumpahnya, ia terseret ke masa lalu, tepat ketika sang raja masih hidup dan berada di ambang kematian.
Terjebak di tengah intrik istana dan rahasia kerajaan, Ayla menyadari bahwa takdir telah ditetapkan, Aldebaran harus mati, atau ia yang akan menggantikannya. Namun, saat cinta mulai tumbuh di antara mereka, Ayla dihadapkan pada pilihan yang mustahil: menyelamatkan raja yang ia cintai atau menerima nasibnya sebagai pengantin arwah.
Ketika mereka menolak takdir, dunia mulai hancur, dan mereka harus menemukan cara untuk tetap bersama tanpa mengorbankan segalanya. Tetapi apakah cinta cukup kuat untuk melawan kehendak waktu? Ataukah Ayla akan menjadi pengantin yang tidak pernah ada?
Bab 1: Pengantin yang Terpilih
Langit senja menyelimuti desa kecil di kaki pegunungan Aldebran. Cahaya jingga matahari mulai meredup, digantikan oleh kelamnya malam yang segera tiba. Di antara rumah-rumah kayu sederhana, suara lonceng kuil menggema, menandakan bahwa hari pemilihan telah tiba.
Di dalam sebuah rumah kecil di pinggiran desa, seorang gadis berusia delapan belas tahun duduk dengan gelisah di dekat jendela. Namanya Ayla, anak petani yang sederhana. Rambut hitam panjangnya tergerai lepas, berkilau diterpa cahaya lilin. Wajahnya yang lembut mencerminkan ketakutan yang berusaha ia sembunyikan.
Hari ini adalah hari yang ditakuti setiap gadis di desanya. Setiap seratus tahun sekali, seorang gadis akan dipilih untuk menjadi pengantin arwah Raja Aldebaran, seorang raja yang telah mati berabad-abad lalu. Mereka menyebutnya sebagai “Pengantin Sang Raja”, tradisi aneh yang diwariskan turun-temurun di kerajaan mereka.
“Aku tidak boleh terpilih… Aku tidak boleh terpilih…” Ayla menggenggam erat jemarinya yang mulai dingin.
Ibunya, seorang wanita paruh baya dengan rambut mulai beruban, duduk di sampingnya dengan mata penuh kecemasan. “Ayla, jika kau dipilih… kau harus menerimanya,” suaranya bergetar.
“Tapi Bu, aku tidak mau!” suara Ayla hampir berbisik. “Aku tidak mau menikah dengan seseorang yang bahkan sudah mati! Itu tidak masuk akal! Mengapa harus ada tradisi semacam ini?”
Ibunya menatap ke arah jendela, ke arah kuil tua yang berdiri di atas bukit. “Ini bukan tentang masuk akal atau tidak, Ayla… Ini tentang keseimbangan dunia kita. Jika tradisi ini tidak dilakukan, bencana akan menimpa kerajaan ini…”
Ayla menahan napasnya. Ia sudah mendengar cerita itu sejak kecil. Konon, jika tidak ada pengantin yang dipilih, arwah Raja Aldebaran akan marah, dan negeri ini akan dihantam kemalangan—kekeringan, wabah, atau perang berdarah.
Tapi apakah itu benar? Atau hanya ketakutan yang diwariskan secara turun-temurun?
Di luar, suara genderang mulai dipukul. Suara para pendeta menggema di seluruh desa, memanggil semua gadis yang telah cukup umur untuk berkumpul di alun-alun.
Ibunya menggenggam tangannya erat. “Ayla… Kita harus pergi.”
Ayla menelan ludah. Seluruh tubuhnya gemetar. Ia merasa seperti seekor rusa yang hendak masuk ke sarang serigala. Tapi ia tidak punya pilihan.
Alun-Alun yang Mencekam
Alun-alun desa dipenuhi oleh penduduk yang berdiri dalam keheningan. Semua gadis yang berusia antara 17 hingga 20 tahun berbaris di tengah lapangan, mengenakan gaun putih polos—simbol kesucian bagi calon pengantin arwah.
Di tengah lapangan, seorang pendeta tua dengan jubah hitam berdiri di atas panggung kayu kecil. Wajahnya tirus dan sorot matanya kosong, seolah ia telah melihat terlalu banyak pengorbanan selama hidupnya.
Di tangannya, ia menggenggam sebuah gulungan sutra kuno yang diyakini berisi nama-nama yang telah ditentukan oleh kehendak Raja Aldebaran.
Ayla berdiri di tengah-tengah barisan gadis lainnya, jantungnya berdegup cepat. Napasnya pendek-pendek, mencoba menenangkan diri.
Satu per satu, pendeta mulai membaca nama-nama.
“Naira Elvestin…”
Seorang gadis di ujung barisan menahan napas, lalu menangis lega saat namanya tidak disebutkan.
“Selena Valke…”
Lagi-lagi, bukan Ayla.
Pikiran Ayla melayang. Apakah mungkin ada kesempatan untuk selamat? Apakah dewa telah mendengarkan doanya?
Tapi saat pendeta berhenti sejenak, semua orang tahu bahwa nama terakhir akan disebutkan.
Hening.
Malam semakin mencekam.
Lalu suara itu menggema di seluruh lapangan.
“Ayla Torseth.”
Dunia Ayla runtuh.
Ia membeku. Matanya melebar. Nafasnya tercekat.
“Tidak… Tidak mungkin…”
Orang-orang di sekitar mulai berbisik, sementara gadis-gadis lain melepaskan helaan napas lega. Mereka selamat—tetapi Ayla tidak.
“Ayla…” suara ibunya terdengar di kejauhan, parau dan bergetar.
Para penjaga istana bergerak mendekatinya. Mereka mengenakan baju zirah hitam dengan lambang kerajaan, wajah mereka tanpa ekspresi. Salah satu dari mereka mengulurkan tangan.
“Pengantin raja, ikutlah dengan kami.”
Ayla tidak bisa bergerak.
Ia ingin berlari. Berteriak. Melawan. Tapi tubuhnya terasa lumpuh.
Tangannya ditarik, dan tiba-tiba, seluruh alun-alun terasa semakin jauh. Semua suara seperti lenyap, hanya tersisa gema langkah kakinya yang berjalan menuju takdir yang tidak pernah ia inginkan.
Kuil di Atas Bukit
Kuil tempat ritual pernikahan berlangsung berdiri megah di puncak bukit, jauh dari desa. Dibangun dari batu hitam yang sudah berusia ratusan tahun, kuil itu terlihat lebih seperti makam daripada tempat suci.
Ayla dibawa ke dalam ruangan yang dipenuhi asap dupa dan cahaya redup lilin.
Di hadapannya, sebuah altar pernikahan telah disiapkan. Patung besar Raja Aldebaran berdiri megah di belakangnya, dengan ekspresi dingin dan mata kosong.
Pendeta tua berdiri di sampingnya, menggenggam gulungan sutra berisi sumpah pernikahan yang harus diucapkan Ayla.
“Lututlah,” perintah pendeta.
Ayla berdiri kaku. Ia ingin menolak. Ia ingin berteriak. Tapi tangan para penjaga menekan pundaknya, memaksanya berlutut di depan altar.
Matanya membelalak melihat cincin emas tua yang diletakkan di atas bantal merah.
“Ini tidak nyata… Ini tidak mungkin nyata…”
“Ucapkan sumpahmu,” suara pendeta menggema.
Ayla membuka mulutnya, tetapi tidak ada suara yang keluar. Dadanya terasa sesak, seperti ada sesuatu yang menekan jiwanya.
Lalu, saat ia akhirnya mengucapkan sumpah itu, tiba-tiba angin kencang bertiup di dalam ruangan. Api lilin berkedip-kedip, udara terasa lebih berat, dan suara bisikan aneh mulai terdengar di sekelilingnya.
Dan kemudian—
Dunia di sekelilingnya runtuh.
Ayla merasa tubuhnya terseret ke dalam pusaran hitam. Angin menerjang wajahnya. Nafasnya tercekat. Semua berubah menjadi kabut tebal.
Sebelum semuanya menjadi gelap, ia melihat satu hal yang membuat jantungnya berhenti.
Seorang pria berdiri di hadapannya.
Berpakaian zirah perang. Bersimbah darah.
Mata keemasan pria itu menatapnya dengan tajam.
Dan Ayla menyadari satu hal yang mengejutkan.
Raja Aldebaran masih hidup.
Bab 2: Sumpah yang Mengubah Takdir
Angin malam menerpa wajah Ayla, tetapi bukan angin yang berasal dari kuil tempatnya berdiri tadi. Ia merasakan tubuhnya melayang, jatuh, lalu menghantam tanah keras.
Seketika, rasa sakit menusuk punggungnya. Napasnya terengah-engah, dan kepalanya berputar hebat. Ia berusaha menggerakkan tubuhnya, tetapi seluruh sendi terasa kaku.
“Aku… di mana?”
Saat matanya terbuka, ia dikejutkan oleh pemandangan yang jauh berbeda dari kuil gelap tempat ia mengucapkan sumpah.
Langit di atasnya bukan lagi langit malam berbintang, melainkan langit merah darah. Udara dipenuhi asap dan bau besi yang menyengat. Jeritan-jeritan samar terdengar di kejauhan, dan tanah tempatnya tergeletak terasa lembap dan lengket.
Ia menoleh.
Darah.
Tanah di sekelilingnya bersimbah darah. Mayat-mayat bergelimpangan dengan pakaian perang mereka yang robek dan pedang-pedang patah yang tertancap di tanah.
Ayla terengah. Apa ini?
Hatinya mencelos saat ia menyadari satu hal: ini adalah medan perang.
Dan di tengah semua kekacauan itu, seorang pria berdiri tegap, di bawah cahaya bulan yang hampir tertutup awan.
Sosok itu memakai zirah perang yang megah tetapi penuh goresan dan noda darah. Rambut hitamnya basah oleh keringat, dan matanya yang keemasan bersinar tajam dalam kegelapan.
Pria itu terlihat seperti dewa perang—gagah, tetapi juga penuh luka.
Ayla mengenali wajah itu.
Raja Aldebaran.
Tetapi ini tidak mungkin.
Ia seharusnya sudah mati berabad-abad yang lalu.
Ayla terpaku, jantungnya berdentum begitu keras hingga ia takut orang lain bisa mendengarnya.
Seolah merasakan keberadaannya, pria itu menoleh.
Tatapan mereka bertemu.
Mata emas Aldebaran menyipit, ekspresinya tajam seperti pisau. Ia mengangkat pedangnya yang berkilat di bawah cahaya bulan.
“Siapa kau?” suaranya dalam dan tegas.
Ayla tidak bisa menjawab. Bibirnya terbuka, tetapi tidak ada kata yang keluar.
Ia merasa tenggorokannya tercekat oleh kenyataan yang tidak bisa ia cerna.
“Siapa kau?” Aldebaran mengulang pertanyaannya, kali ini dengan nada lebih berbahaya.
Sebelum Ayla bisa berkata apa pun, sesuatu bergerak di belakang raja.
Seorang prajurit musuh yang masih hidup, berlumuran darah, merangkak dengan belati di tangannya. Ia menyeringai kejam, lalu melompat, mengayunkan senjatanya ke arah punggung Aldebaran.
“AWAS!” Ayla berteriak tanpa sadar.
Refleks, Aldebaran berbalik dan menebas prajurit itu dengan satu gerakan cepat.
Tubuh pria itu jatuh ke tanah, tak bernyawa.
Tetapi Aldebaran tidak melihat prajurit itu.
Ia justru menatap Ayla lebih tajam, seolah baru saja menyadari sesuatu yang mengganggu pikirannya.
Keningnya berkerut. “Bagaimana kau tahu dia ada di belakangku?”
Ayla menahan napas.
Dia baru saja membuat kesalahan.
Ia tidak boleh terlihat mencurigakan. Tidak boleh mengatakan bahwa ia berasal dari masa depan.
Tetapi sebelum ia bisa menjawab, sebuah suara lain memanggil dari kejauhan.
“Yang Mulia!”
Sekelompok prajurit berlari ke arah mereka, membawa obor yang menerangi wajah mereka yang lelah tetapi lega. Salah satu dari mereka, seorang pria tinggi dengan rambut keperakan, langsung berlutut di hadapan Aldebaran.
“Yang Mulia, kami berhasil menahan serangan mereka. Pasukan musuh sudah mundur.”
Aldebaran mengangguk singkat, tetapi matanya tetap mengawasi Ayla dengan curiga.
Prajurit berambut perak itu menoleh ke arah Ayla dan tampak terkejut. “Siapa dia?”
“Itu yang sedang kucoba cari tahu,” gumam Aldebaran, matanya tak lepas dari Ayla.
Ayla menelan ludah.
Situasinya buruk.
Jika ia tidak segera memberikan alasan yang masuk akal, ia bisa saja dianggap sebagai mata-mata dan dibunuh di tempat.
“Aku… aku…” Ayla mencoba berpikir cepat.
Tetapi bagaimana ia bisa menjelaskan bahwa ia adalah pengantin yang datang dari masa depan?
Sebelum ia sempat menyusun kata-kata, Aldebaran mendekatinya.
Wajahnya lebih dekat sekarang, begitu dekat hingga Ayla bisa melihat setiap detail luka kecil di pipinya, keringat yang mengalir di pelipisnya, dan mata emasnya yang bersinar tajam seperti matahari senja.
“Kalau begitu, kau akan ikut denganku,” katanya akhirnya.
Ayla menegang.
“Apa?”
“Entah siapa pun kau, aku tidak bisa membiarkan seseorang yang muncul secara tiba-tiba di tengah medan perang begitu saja. Jika kau tidak bisa menjelaskan siapa dirimu, kau akan diawasi olehku—di istana.”
Hati Ayla mencelos.
Ia akan dibawa ke istana?
Ia tidak punya pilihan lain.
Dengan tangan dingin dan napas berat, ia mengangguk pelan.
Aldebaran berbalik, memberikan perintah kepada para prajuritnya untuk kembali ke ibu kota.
Ayla mengikuti dari belakang, tetapi hatinya berdegup kencang.
Ia datang ke sini untuk menikahi arwah Aldebaran, tetapi sekarang ia berdiri di samping raja yang masih hidup dan bernapas.
Dan satu hal yang paling menakutkan…
Sejarah mengatakan bahwa Aldebaran akan mati dalam waktu dekat.
Apakah ia bisa mengubah takdir?
Ataukah kehadirannya justru akan mempercepat kematian raja?
Ayla tidak tahu.
Tetapi satu hal yang pasti—takdir sudah berubah sejak ia tiba di dunia ini.
Dan ia belum tahu apakah itu hal yang baik atau buruk.
Bab 3: Raja yang Seharusnya Mati
Hentakan kaki kuda menggema di jalanan berbatu saat Ayla dan pasukan Raja Aldebaran menuju ibu kota. Di bawah langit malam yang masih merah kehitaman, bayangan para prajurit bergerak seperti arwah perang yang baru saja kembali dari neraka.
Ayla duduk di atas kuda yang diberikan padanya, tangannya gemetar saat menggenggam tali kekang. Ia tidak pernah menunggang kuda sebelumnya, tetapi di sini, ia tidak punya pilihan selain mengikuti ritme pasukan.
Di depannya, Raja Aldebaran menunggang kuda hitamnya, posturnya tegak dan penuh wibawa. Tak sekali pun ia menoleh ke belakang, tetapi Ayla tahu ia tetap mengawasinya.
Pikiran Ayla masih berkecamuk.
Sejarah mencatat bahwa Aldebaran seharusnya mati dalam pertempuran ini. Tapi ia masih hidup.
Apakah karena dirinya? Apakah ia telah mengubah sesuatu yang seharusnya tidak diubah?
Dan jika ia telah mengubah sejarah, apakah itu berarti masa depan—dunianya sendiri—akan hilang?
Aku harus mencari tahu.
Ibu Kota yang Mencekam
Saat fajar menyingsing, mereka tiba di ibu kota.
Ayla terperangah melihat keindahan kota ini yang seharusnya telah menjadi reruntuhan dalam sejarah.
Menara batu menjulang tinggi, jembatan besar membentang di atas sungai yang berkilauan, dan jalanan penuh dengan warga yang menyaksikan kedatangan pasukan raja.
Namun, meski tampak megah, atmosfer kota terasa tegang.
Bendera berkibar setengah tiang. Para penjaga istana berdiri dengan ekspresi cemas.
Mereka tidak mengira raja akan kembali hidup-hidup.
Saat mereka memasuki gerbang istana, suara trompet menggema.
Di tangga utama, seorang pria tua dengan jubah megah berlari ke arah Aldebaran. Wajahnya dipenuhi ekspresi terkejut dan emosional.
“Yang Mulia… kau masih hidup?” suaranya bergetar.
Aldebaran turun dari kudanya dan menatapnya dengan dingin. “Kenapa kau terdengar kecewa, Perdana Menteri Althas?”
Ayla langsung merasakan ada sesuatu yang aneh.
Althas tersentak, lalu tertawa kecil. “Tentu saja tidak, Yang Mulia. Kami semua mengira kau telah gugur dalam pertempuran… Kami sudah bersiap untuk upacara pemakaman.”
Ayla merasakan bulu kuduknya meremang.
Mereka sudah bersiap untuk upacara pemakaman?
Itu berarti mereka sudah menerima kematian Aldebaran sebelum pertempuran bahkan benar-benar berakhir.
Dan itu bisa berarti…
Seseorang di istana memang menginginkan raja mati.
Tawanan di Istana
Aldebaran membawa Ayla ke ruang singgasana. Istana megah itu memiliki pilar emas dan kaca-kaca raksasa yang memantulkan cahaya matahari, tetapi Ayla merasakan udara di dalamnya dingin dan penuh ketegangan.
Ia berdiri di tengah ruangan, dikelilingi oleh para penjaga.
“Siapa kau sebenarnya?” Aldebaran bertanya tanpa basa-basi.
Ayla menelan ludah. Apa yang harus ia katakan?
“Aku… hanya seorang gadis desa,” jawabnya pelan.
Aldebaran menyipitkan mata. “Tidak mungkin. Kau muncul entah dari mana di tengah medan perang, dan kau bahkan tahu ada pembunuh di belakangku sebelum aku menyadarinya. Itu bukan hal yang bisa dilakukan seorang gadis desa biasa.”
Ayla terdiam.
“Apa kau mata-mata?” Aldebaran melangkah mendekat.
“Tidak!” Ayla langsung menjawab, suaranya penuh ketakutan. “Aku bukan mata-mata!”
“Kalau begitu, siapa kau?”
Ayla menggigit bibirnya.
Ia tidak bisa mengatakan yang sebenarnya. Siapa yang akan percaya bahwa ia datang dari masa depan?
Aldebaran menunggu, tetapi Ayla tidak memberikan jawaban.
Akhirnya, Aldebaran mendekat, begitu dekat hingga Ayla bisa mencium aroma darah dan logam dari baju perangnya.
“Baiklah,” katanya pelan. “Jika kau tidak mau bicara, maka kau akan tetap berada di bawah pengawasanku sampai aku tahu siapa kau sebenarnya.”
Ayla tidak bisa berkata apa-apa.
Ini buruk.
Ia telah terjebak di istana tanpa cara untuk kembali ke dunianya.
Rahasia yang Terkubur
Malam itu, Ayla dikurung di sebuah kamar mewah di dalam istana.
Jendela besarnya menghadap ke taman kerajaan, tempat air mancur berkilauan di bawah cahaya bulan. Tempat ini indah, tetapi terasa seperti sangkar emas.
Ayla berjalan mondar-mandir, pikirannya berputar-putar.
Aku harus mencari tahu lebih banyak tentang sejarah ini.
Jika Aldebaran seharusnya mati dalam sejarah, tetapi sekarang ia masih hidup, berarti ada sesuatu yang berubah.
Dan jika ada pengkhianat di istana, ia harus menemukan siapa orang itu sebelum semuanya terlambat.
Ayla menarik napas dalam.
Ia harus keluar dari kamar ini dan mencari tahu kebenaran.
Jika sejarah telah berubah, maka ia harus memastikan perubahan itu tidak membawa bencana.
Tetapi yang belum ia sadari adalah…
Seseorang di istana sudah mulai mengawasinya.
Dan seseorang itu tidak ingin Aldebaran tetap hidup.
Bab 4: Tawanan di Istana
Malam telah larut, tetapi Ayla masih terjaga.
Duduk di tepi ranjang empuk yang lebih nyaman daripada semua tempat tidur yang pernah ia tiduri seumur hidupnya, ia menatap ke luar jendela kamar yang tinggi. Bulan bersinar pucat di atas taman kerajaan, sementara angin malam membawa suara aliran air dari air mancur marmer di bawah sana.
Semua ini terasa seperti mimpi buruk yang nyata.
Ia masih belum bisa menerima kenyataan bahwa dirinya berada di masa lalu, di dunia yang seharusnya hanya tinggal kenangan.
Bagaimana aku bisa kembali?
Apakah mungkin? Atau takdir sudah menentukannya untuk tetap di sini selamanya?
Satu hal yang pasti—ia tidak boleh berdiam diri.
Ia harus mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi pada Raja Aldebaran dalam sejarah. Jika ia benar-benar telah mengubah masa depan, maka ia harus memastikan bahwa perubahan itu tidak membawa bencana.
Tetapi pertama-tama, ia harus keluar dari kamar ini.
Sang Raja yang Penuh Misteri
Pagi berikutnya, seorang pelayan datang membawakan sarapan—roti lembut, keju, dan semangkuk sup hangat.
Ayla mengamati gadis itu dengan cermat.
“Apakah kau tahu kenapa aku dikurung di sini?” tanyanya, mencoba terlihat santai.
Pelayan itu menunduk dengan gugup. “Hamba hanya menjalankan perintah, Nona.”
“Perintah dari siapa?”
Pelayan itu ragu-ragu sebelum akhirnya menjawab pelan, “Dari Yang Mulia Raja sendiri.”
Ayla mengepalkan tangannya. Tentu saja, Aldebaran masih mencurigainya. Ia harus mencari cara agar raja mempercayainya—atau setidaknya, memberinya lebih banyak kebebasan.
Namun, sebelum ia bisa berkata lebih banyak, suara langkah kaki berat terdengar dari luar pintu.
Pelayan buru-buru mundur, lalu berlutut saat Aldebaran sendiri masuk ke dalam kamar.
Ayla menahan napas.
Pagi ini, sang raja mengenakan pakaian sederhana, berbeda dengan baju zirah berdarah yang ia pakai saat pertempuran. Rambut hitamnya yang panjang setengah terikat, memperlihatkan rahang kuat dan sorot mata tajamnya yang seakan bisa melihat ke dalam jiwanya.
Pelayan segera mundur dan menutup pintu, meninggalkan mereka berdua dalam keheningan yang menegangkan.
Aldebaran menyandarkan diri ke pilar dekat jendela, menatapnya dengan penuh ketertarikan.
“Aku sudah berpikir sepanjang malam,” katanya akhirnya. “Tentang siapa kau sebenarnya.”
Ayla mengangkat dagunya, berusaha menyembunyikan kegelisahannya. “Dan apa kesimpulanmu?”
Aldebaran menyipitkan mata. “Kau bukan mata-mata. Itu sudah jelas.”
Ayla sedikit terkejut mendengar itu. “Kenapa kau berpikir begitu?”
Aldebaran tersenyum kecil, tetapi bukan senyuman yang ramah. “Mata-mata tidak akan berteriak menyuruh raja berhati-hati di tengah pertempuran.”
Ayla menggigit bibirnya. Sial.
“Tapi itu justru membuatmu lebih mencurigakan,” lanjutnya. “Kau muncul entah dari mana, tahu sesuatu yang seharusnya tidak kau ketahui, dan aku bisa merasakan bahwa kau… bukan orang biasa.”
Ayla berusaha menjaga ekspresi wajahnya tetap tenang.
Jika ia mengatakan yang sebenarnya—bahwa ia berasal dari masa depan—maka raja mungkin akan menganggapnya gila.
Jadi, ia harus bermain aman.
“Aku hanya seorang gadis desa,” katanya pelan.
Aldebaran mengangkat alisnya. “Gadis desa macam apa yang berbicara sepertimu?”
Ayla terdiam.
Tentu saja ia tidak bisa berbicara seperti penduduk zaman ini. Cara bicaranya, pemikirannya—semuanya berbeda.
Aldebaran berdiri tegak dan berjalan mendekat, suaranya menjadi lebih rendah.
“Aku tidak tahu siapa kau, Ayla. Tapi aku tidak percaya pada kebetulan.”
Ayla menahan napas.
“Kau akan tetap berada di istana ini sampai aku tahu siapa kau sebenarnya,” lanjut Aldebaran. “Dan sampai saat itu, kau tidak diizinkan keluar dari kamar ini tanpa izin dariku.”
Ayla mengepalkan tangannya. “Jadi aku tahanan?”
Aldebaran tersenyum samar. “Aku lebih suka menyebutmu… tamu kehormatan.”
Ayla ingin berteriak.
Tapi sebelum ia bisa membalas, Aldebaran berbalik dan melangkah pergi.
Saat pintu menutup di belakangnya, Ayla menyadari sesuatu yang lebih buruk daripada menjadi tawanan.
Ia telah menarik perhatian Raja Aldebaran.
Dan itu mungkin akan menjadi masalah yang lebih besar dari sekadar mencari jalan pulang.
Intrik di Dalam Istana
Malam itu, Ayla tidak bisa tidur.
Ia tahu bahwa seseorang di istana menginginkan Aldebaran mati.
Jika sejarah seharusnya membuat raja gugur dalam pertempuran, tapi ia berhasil bertahan, mungkin si pengkhianat akan mencoba cara lain.
Dan jika Ayla ingin bertahan di dunia ini, ia harus menemukan siapa pengkhianat itu sebelum semuanya terlambat.
Pintu kamarnya terkunci. Tidak ada cara untuk keluar dengan mudah.
Namun, ketika ia mengintip ke luar jendela, ia melihat sesuatu yang menarik.
Seorang pria misterius berpakaian hitam berjalan diam-diam di taman istana, menuju ke arah sayap barat.
Jantung Ayla berdetak lebih cepat.
Siapa orang itu? Apa yang ia lakukan?
Ayla harus mencari tahu.
Dan itu berarti—ia harus keluar dari kamar ini malam ini juga.
Tanpa berpikir panjang, ia mulai mengikat seprai dan tirai sutra menjadi tali panjang.
Ia mungkin tidak tahu bagaimana cara kembali ke masa depan.
Tapi satu hal yang pasti—ia tidak akan hanya berdiam diri menunggu nasibnya ditentukan.
Dengan napas dalam, ia bersiap untuk turun dari jendela kamar dan memulai penyelidikannya sendiri.
Bab 5: Rahasia yang Terkubur
Angin malam menusuk kulit Ayla saat ia menuruni jendela menggunakan tali yang ia buat dari seprai dan tirai. Tangannya gemetar, tetapi ia terus turun dengan hati-hati.
Setelah beberapa menit yang terasa seperti selamanya, ia berhasil menginjak tanah tanpa suara. Ia segera merapat ke dinding batu istana, mengatur napasnya yang memburu.
Pria berpakaian hitam yang ia lihat tadi sudah hampir sampai di sayap barat istana. Ia berjalan cepat tetapi tanpa tergesa-gesa, seperti seseorang yang sudah terbiasa bergerak dalam bayangan.
Ayla mengikutinya diam-diam, merunduk di balik semak-semak dan patung batu yang berjajar di sepanjang taman.
Siapa pria itu? Apa yang ia lakukan di sini tengah malam?
Sayap barat istana tampak lebih sunyi daripada bagian lainnya. Tidak ada penjaga yang berpatroli, seolah tempat ini sengaja dibiarkan kosong.
Ayla menyaksikan pria itu berhenti di depan sebuah pintu tua yang tertutup rapat. Ia merogoh sesuatu dari balik jubahnya—sebuah kunci emas.
Pintu tua itu terbuka tanpa suara.
Ayla menahan napas dan menunggu hingga pria itu menghilang di dalam, lalu ia bergerak cepat sebelum pintu menutup sepenuhnya.
Ia menyelinap masuk ke dalam ruangan yang gelap dan lembap, menutup pintu di belakangnya tanpa suara.
Ruangan Rahasia di Bawah Istana
Udara di dalam terasa dingin dan berdebu. Ayla mengedarkan pandangannya, mencoba memahami di mana ia berada.
Ruangan itu dipenuhi rak-rak buku tua, gulungan perkamen, dan peti-peti kayu yang tampak telah berusia ratusan tahun.
Di sudut ruangan, pria berpakaian hitam menyalakan lentera kecil. Cahayanya redup, tetapi cukup untuk memperlihatkan wajahnya.
Ayla tercekat.
Perdana Menteri Althas.
Orang yang tadi menyambut Aldebaran di gerbang istana. Orang yang tampak kecewa saat raja kembali dalam keadaan hidup.
Jadi benar. Dia salah satu pengkhianat.
Ayla berjongkok di balik salah satu rak buku, menahan napas agar tidak ketahuan.
Althas membuka salah satu peti kayu dan mengeluarkan sebuah gulungan perkamen tua.
Ia membukanya dengan hati-hati, lalu mulai membaca dalam suara pelan.
Ayla tidak bisa mendengar jelas, tetapi ada satu kalimat yang membuat jantungnya berhenti berdetak.
“Kutukan Sang Raja harus ditegakkan. Jika ia tetap hidup, bencana akan menimpa kerajaan ini.”
Kutukan Sang Raja?
Ayla menahan napasnya lebih kuat.
Ia merayap sedikit lebih dekat untuk melihat isi gulungan itu. Dari posisinya, ia bisa membaca beberapa kata yang tertulis di kertas kuno itu.
“Jika raja melampaui ajalnya, keseimbangan akan hancur.”
“Arwah yang ditakdirkan untuk mengambilnya akan mencari pengganti.”
“Pengantin yang datang dari dunia lain akan menjadi korban berikutnya.”
Ayla membelalakkan mata.
Pengantin yang datang dari dunia lain?
Itu… itu dirinya!
Jadi, ini bukan hanya tentang Aldebaran. Jika ia benar-benar telah mengubah takdir raja, maka sesuatu yang lain akan datang untuk menggantikannya.
Tetapi… apa?
“Aku harus memberitahu Aldebaran,” bisiknya dalam hati.
Namun, sebelum ia bisa bergerak, suara langkah kaki mendekat.
Ayla membeku.
Althas menutup gulungan itu dan menyimpannya kembali ke dalam peti. Ia memadamkan lentera kecilnya, lalu berbalik ke arah pintu.
Ayla menempel di rak buku, menahan napas sekuat mungkin saat pria itu berjalan melewatinya.
Jangan melihat ke sini. Jangan melihat ke sini.
Pintu kayu berderit pelan saat Althas melangkah keluar, menutupnya di belakangnya.
Ayla menunggu beberapa detik, memastikan ia benar-benar pergi sebelum akhirnya melepaskan napas panjang.
Ini buruk. Ini sangat buruk.
Ia sudah tahu ada pengkhianatan di istana. Tapi ternyata masalahnya jauh lebih besar dari itu.
Ada sebuah kutukan.
Dan ia mungkin telah membangunkan sesuatu yang tidak seharusnya bangun.
Rahasia dalam Sejarah
Ayla buru-buru membuka kembali peti kayu yang tadi dibuka Althas.
Tangannya gemetar saat ia menarik keluar gulungan perkamen dan membacanya dengan saksama.
“Dalam setiap siklus seratus tahun, sang raja harus mati agar arwah masa lalu tetap tenang. Jika tidak, arwah itu akan mencari pengganti—seseorang yang memiliki ikatan dengan masa depan.”
Mata Ayla melebar.
“Jika raja diselamatkan, pengantin yang dikirim untuknya akan menjadi korban berikutnya. Arwah akan menuntut jiwa yang tertukar.”
Jantungnya berdegup kencang.
Jadi, karena ia menyelamatkan Aldebaran… arwah itu akan menuntut nyawanya sebagai gantinya?
Ini bukan hanya tentang mengubah masa depan. Ia telah mengganggu keseimbangan yang sudah ditentukan.
“Jadi itu alasan aku bisa datang ke sini… bukan karena aku dikirim untuk menikahi arwah Aldebaran. Aku dikirim untuk menggantikannya.”
Jika ia tidak melakukan sesuatu, maka dirinya sendiri yang akan menjadi korban dari kutukan ini.
Dan lebih buruk lagi…
Mungkin ada sesuatu yang sedang datang untuk mengambilnya.
Bayangan di Kegelapan
Saat Ayla menutup kembali peti kayu itu dan bersiap untuk keluar, udara di ruangan itu tiba-tiba berubah.
Angin dingin berembus entah dari mana.
Lilin di sudut ruangan berkedip-kedip.
Dan suara aneh mulai terdengar—bisikan halus yang menggetarkan udara, seperti suara dari dunia lain.
“Pengantin…”
“Kau… adalah gantinya…”
Ayla menegang.
Sebuah bayangan bergerak di sudut ruangan.
Bukan manusia.
Bukan sesuatu yang berasal dari dunia ini.
Matanya membelalak saat ia menyadari apa yang telah ia bangunkan.
Dan sebelum ia bisa berlari, sesuatu menariknya ke dalam kegelapan.
Bab 6: Cinta dalam Bayangan Takdir
Ayla tidak bisa berteriak.
Dingin.
Tangannya mencakar udara kosong, tubuhnya terseret ke dalam bayangan pekat yang terasa lebih gelap dari malam. Seolah-olah ruangan rahasia di bawah istana telah berubah menjadi jurang tanpa dasar.
“Pengantin…”
Suara bisikan itu menggema, bukan dari satu suara, tetapi banyak.
Ratusan. Ribuan.
Seperti suara arwah yang terkunci dalam bayangan, menunggu sesuatu—menunggu dirinya.
Aku tidak boleh menyerah.
Dengan sekuat tenaga, Ayla meraih tepi rak kayu di dekatnya dan menarik dirinya keluar dari kegelapan. Tubuhnya jatuh ke lantai batu, terengah-engah.
Saat ia mendongak, ia melihatnya.
Sosok itu berdiri di ujung ruangan.
Bayangan berbentuk manusia, tinggi dan gagah, tetapi tidak memiliki wajah. Hanya dua mata merah membara yang menyala dalam kegelapan.
“Pengantin… Kau milikku…”
Darah Ayla membeku.
Kutukan itu nyata.
Arwah yang seharusnya mengambil nyawa Aldebaran sekarang mengincarnya.
“Tidak…” bisiknya, suara bergetar. “Aku bukan milikmu!”
Sosok bayangan itu bergerak maju, tetapi sebelum ia bisa menyentuh Ayla—
BRAK!
Pintu ruangan terbuka dengan kasar.
Aldebaran berdiri di sana, napasnya memburu, pedang di tangannya berkilauan diterpa cahaya lentera.
Matanya langsung menemukan Ayla yang terduduk di lantai.
“Ayla!”
Tanpa ragu, ia melangkah masuk dan mengayunkan pedangnya ke arah bayangan itu. Cahaya tajam dari bilah pedangnya membelah udara, tetapi senjatanya menembus bayangan itu seolah-olah tidak ada apa-apa di sana.
Bayangan itu berbisik lagi, tetapi kali ini, bukan kepada Ayla.
“Sang Raja… Kau seharusnya mati…”
Aldebaran mengerutkan dahi, tetapi sebelum ia bisa bereaksi, bayangan itu menghilang begitu saja.
Udara kembali normal.
Ruangan terasa sunyi.
Ayla masih terengah-engah, tangannya gemetar.
Aldebaran berjalan cepat ke arahnya, berlutut di sampingnya.
“Kau baik-baik saja?”
Ayla menatapnya dengan mata yang masih dipenuhi ketakutan. “Aku…”
Ia tidak bisa berkata-kata.
Aldebaran menyentuh lengannya, menyadarkan Ayla dari keterkejutannya. Sentuhannya hangat—terasa begitu nyata di tengah semua ketidakjelasan yang baru saja ia alami.
“Kenapa kau ada di sini?” tanya Aldebaran, suaranya sedikit lebih lembut.
Ayla menggigit bibirnya.
Ia bisa saja berbohong. Bisa saja mengatakan bahwa ia hanya tersesat. Tapi setelah melihat makhluk mengerikan itu, ia tahu ini bukan saatnya untuk menyembunyikan kebenaran.
“Aku…” ia menarik napas dalam, mencoba menenangkan diri. “Aku menemukan sesuatu tentangmu.”
Mata Aldebaran menyipit.
Ayla mengangkat gulungan perkamen yang tadi ia ambil dari peti dan menyerahkannya pada raja.
Aldebaran mengambilnya, membuka gulungan itu, dan mulai membaca. Semakin ia membaca, wajahnya semakin tegang.
Ketika ia selesai, ia mendongak dan menatap Ayla dengan ekspresi yang sulit dijelaskan.
“Apa maksudnya ini?”
“Aku tidak tahu semuanya,” jawab Ayla jujur. “Tapi kutukan ini… aku yakin ada hubungannya dengan tradisi aneh di masaku. Setiap seratus tahun, seorang pengantin dipilih untuk menikah dengan arwahmu. Dan aku…” Ia menelan ludah. “Aku adalah pengantin yang terpilih.”
Aldebaran terdiam.
Bukan diam yang penuh amarah, tetapi diam yang penuh pemikiran.
Akhirnya, ia berkata, “Jadi kau benar-benar bukan dari dunia ini.”
Ayla mengangguk pelan. “Aku pikir aku hanya dikirim untuk menikah dengan arwahmu. Tapi ternyata aku dikirim ke masa lalu. Dan sekarang, karena aku menyelamatkanmu…”
Ia tidak perlu melanjutkan kalimatnya.
Aldebaran mengerti.
Makhluk yang tadi muncul bukanlah sekadar bayangan. Itu adalah sesuatu yang telah lama menunggu untuk mengambil nyawa raja.
Tapi karena Aldebaran masih hidup, maka ia mencari pengganti.
Dan pengganti itu adalah Ayla.
Cahaya di Tengah Kegelapan
Keheningan memenuhi ruangan.
Aldebaran masih menatap gulungan perkamen di tangannya. Ada banyak hal yang ingin ia tanyakan, tetapi di saat yang sama, ia percaya pada Ayla.
Ia percaya bukan karena bukti, tetapi karena matanya.
Di dalam mata gadis itu, ia melihat ketakutan yang nyata.
Dan yang lebih mengejutkan dari itu semua…
Ia menyadari bahwa ia tidak bisa membiarkan Ayla mati.
Ia baru mengenalnya beberapa hari, tetapi sejak gadis itu muncul di hadapannya, sesuatu dalam hidupnya berubah.
Seolah-olah ia memang ditakdirkan untuk bertemu dengannya.
Aldebaran menutup gulungan perkamen dan berkata, “Aku tidak akan membiarkan mereka mengambilmu.”
Ayla menatapnya, terkejut. “Apa?”
“Aku tidak tahu bagaimana caranya, tetapi aku akan melindungimu,” kata Aldebaran, matanya bersinar dengan keteguhan hati yang tak tergoyahkan.
“Aku adalah Raja Aldebaran,” lanjutnya. “Aku tidak akan membiarkan siapa pun, bahkan arwah dari dunia lain, merenggut sesuatu yang berharga dariku.”
Jantung Ayla berdegup kencang.
Sesuatu yang berharga?
Aldebaran berdiri, mengulurkan tangan padanya.
“Ayo, kita keluar dari sini sebelum seseorang menemukan kita.”
Ayla ragu sejenak, tetapi akhirnya ia menerima uluran tangan itu.
Hangat. Kuat. Nyata.
Saat ia berdiri, Aldebaran tidak langsung melepaskannya.
Sebaliknya, ia menatap Ayla lebih dalam, seolah ingin memastikan sesuatu.
“Kau bukan hanya pengantin dari dunia lain,” katanya pelan.
“Aku yakin kau dikirim ke sini bukan untuk mati.”
Ayla menahan napas. “Lalu… untuk apa?”
Aldebaran tersenyum kecil—senyuman pertama yang ia tunjukkan sejak Ayla bertemu dengannya.
“Kita akan mencari tahu bersama.”
Saat mereka berjalan keluar dari ruangan rahasia itu, Ayla tahu satu hal pasti.
Ia tidak lagi sendirian dalam menghadapi kutukan ini.
Dan meskipun takdir berusaha memisahkan mereka…
Mungkin, untuk pertama kalinya dalam sejarah, mereka akan melawannya bersama.
Bab 7: Sang Pengkhianat Terungkap
Langkah kaki mereka berdua bergema di sepanjang lorong batu istana yang sepi. Ayla masih bisa merasakan sisa dingin dari bayangan yang hampir menyeretnya ke dalam kegelapan.
Aldebaran berjalan di sampingnya, tatapannya tajam dan waspada. Sejak membaca gulungan perkamen itu, raja tidak mengatakan banyak, tetapi dari cara dia mengepalkan tangannya, Ayla tahu ia sedang berpikir keras.
Mereka tidak bisa berbicara di sini. Terlalu berbahaya.
Mereka harus kembali ke tempat yang lebih aman sebelum seseorang menemukan mereka.
Tetapi sebelum mereka bisa pergi lebih jauh—
“Yang Mulia!”
Sebuah suara berat menggema di sepanjang lorong, membuat Ayla dan Aldebaran sama-sama berhenti.
Jenderal Kael.
Pria itu berdiri di ujung lorong dengan pedang di tangannya. Posturnya tegap, wajahnya keras seperti batu, dan matanya memancarkan kewaspadaan.
“Apa yang terjadi di sini?” tanyanya, matanya menyipit saat melihat Aldebaran dan Ayla berdiri bersama di luar pintu ruangan rahasia. “Kenapa Yang Mulia berada di tempat ini… bersama gadis ini?”
Ayla menegang.
Jika Kael tahu mereka berada di sini, maka… apakah dia juga bagian dari pengkhianatan ini?
Tetapi Aldebaran tidak menunjukkan ketakutan sedikit pun. Ia hanya melangkah maju dan menatap Kael lurus-lurus.
“Aku yang seharusnya bertanya, Kael,” suaranya dalam dan penuh wibawa. “Kenapa tidak ada penjaga di area ini? Apa kau tahu ada sesuatu yang disembunyikan di dalam ruangan ini?”
Kael tampak ragu sesaat, tetapi dengan cepat ia kembali tenang.
“Perdana Menteri Althas memerintahkan untuk tidak menempatkan penjaga di sayap barat, Yang Mulia,” katanya tegas. “Ia bilang tempat ini tidak perlu diawasi karena hanya berisi dokumen lama.”
Aldebaran menyipitkan matanya.
Althas lagi.
Raja tampaknya sudah menghubungkan semuanya dalam pikirannya. Ayla hanya bisa diam, berusaha memahami arah pembicaraan mereka.
Tetapi sebelum ia bisa bertanya lebih lanjut—
Langkah kaki lain terdengar di ujung lorong.
Mereka semua menoleh.
Perdana Menteri Althas.
Pria tua itu berdiri dengan ekspresi tenang, tetapi ada sesuatu di balik matanya yang membuat Ayla merasa tidak nyaman.
“Aku tidak menyangka akan menemukan Yang Mulia di sini,” katanya, suaranya halus tetapi menusuk. “Dan gadis ini… sepertinya terlalu sering muncul di tempat yang tidak seharusnya.”
Ayla menggigit bibirnya.
Ia tahu.
Aldebaran tidak bergeming. “Althas, aku baru saja menemukan sesuatu yang menarik.”
Perdana menteri itu tersenyum tipis. “Begitukah?”
Aldebaran mengangkat gulungan perkamen yang masih ada di tangannya. “Apakah kau tahu apa ini?”
Tatapan Althas berubah tajam. Tetapi ia tetap tersenyum. “Tentu. Itu adalah bagian dari sejarah kerajaan ini.”
Aldebaran melangkah lebih dekat. “Atau lebih tepatnya, bagian dari kutukan yang kau coba sembunyikan dariku.”
Hening.
Mata Althas tetap tenang, tetapi ada kilatan bahaya di dalamnya.
Ayla merasa napasnya semakin berat. Ini buruk.
Aldebaran menatapnya dalam-dalam. “Jadi, beritahu aku, Althas. Apa peranmu dalam semua ini?”
Sisi Gelap Istana
Untuk pertama kalinya, Althas tertawa kecil.
“Sungguh menarik, Yang Mulia,” katanya dengan suara rendah. “Aku sudah mengatur segalanya begitu baik… tetapi kau masih hidup. Itu di luar perkiraanku.”
Ayla menegang.
Jadi benar. Althas memang ingin Aldebaran mati.
Kael segera mencabut pedangnya. “Kau berani mengkhianati rajamu?”
Althas tidak terkejut. Ia hanya menghela napas, seolah ini sudah diduganya sejak awal.
“Jangan salah paham, Jenderal,” katanya. “Aku tidak membenci raja. Aku hanya… memastikan keseimbangan tetap terjaga.”
Aldebaran mencengkeram gagang pedangnya. “Keseimbangan macam apa yang membuatmu merencanakan kematianku?”
Althas tersenyum kecil.
“Keseimbangan yang telah dijaga selama ratusan tahun.”
Ia melangkah mendekat, suaranya semakin pelan tetapi mengandung bahaya.
“Raja dalam setiap siklus seratus tahun memang harus mati, Yang Mulia. Bukan karena kebetulan. Bukan karena perang. Tetapi karena sudah ditakdirkan.”
Jantung Ayla mencelos.
“Karena jika kau tidak mati…” Althas melanjutkan, “maka dunia ini akan hancur.”
Pilihan yang Mustahil
Aldebaran tidak mengatakan apa pun.
Tetapi sorot matanya berubah.
Ayla bisa merasakan sesuatu dalam dirinya menegang.
“Jadi… aku seharusnya menerima kematianku begitu saja?” suara Aldebaran terdengar dingin.
Althas mengangguk, seolah itu hal yang wajar. “Bukan hanya kau. Setiap raja sebelum kau juga menerima takdir mereka dengan sukarela. Karena mereka tahu, jika mereka bertahan hidup… maka ada harga yang harus dibayar.”
Ia menoleh ke arah Ayla.
“Dan sekarang, kau telah menunda kematianmu. Dan kau tahu apa yang terjadi?”
Ayla menahan napas.
“Takdir menuntut penggantinya.”
Hatinya berhenti berdetak.
“Ayla…” suara Althas terdengar seperti racun. “Pengantin yang telah dipilih oleh dunia. Jika kau ingin tetap hidup, maka dia harus mati sebagai gantimu.”
Dunia terasa membeku.
Aldebaran menegang. Napasnya terdengar lebih berat.
Dan kemudian, ia bergerak.
Dalam sekejap, pedangnya melesat keluar dari sarungnya, mengarah langsung ke leher Althas.
Kael tersentak.
Ayla menahan napas.
Tetapi Althas tidak terlihat takut.
Ia hanya tersenyum, seperti seseorang yang tahu bahwa ia telah menang.
“Pilihan ada di tanganmu, Yang Mulia,” katanya pelan. “Kau bisa tetap hidup dan melihat kerajaan ini hancur perlahan… atau kau bisa mengorbankan gadis itu untuk menjaga keseimbangan.”
Mata Aldebaran membara.
“Tidak ada yang akan menyentuhnya.”
Althas hanya tersenyum lebih lebar.
“Lalu bersiaplah menghadapi apa yang akan datang…”
“Karena dunia tidak akan membiarkan keseimbangan terganggu begitu saja.”
Bab 8: Pilihan yang Menyakitkan
Aldebaran berdiri diam, pedangnya masih terhunus di leher Althas. Napasnya berat, matanya berkilat penuh amarah, tetapi tangannya tetap kokoh.
Ayla bisa melihat ketegangan di wajahnya. Ia tidak hanya marah—ia sedang menghadapi dilema yang luar biasa.
“Jika kau membunuhku sekarang,” Althas berbicara dengan nada tenang, “maka kau hanya akan mempercepat kehancuran kerajaan ini.”
Kael masih mencengkeram pedangnya, siap menyerang kapan saja. Tetapi tatapannya penuh kebingungan dan ketidakpercayaan.
“Mengapa kau melakukan ini, Althas?” tanya Kael, suaranya lebih lembut dari sebelumnya. “Kau telah mengabdi pada kerajaan selama puluhan tahun… mengapa sekarang kau mengkhianatinya?”
Althas tertawa kecil. “Aku tidak mengkhianati siapa pun. Aku hanya melindungi kerajaan ini dengan cara yang benar.”
Aldebaran mengepalkan rahangnya. “Dengan membiarkanku mati?”
Althas mengangguk. “Ya. Itu harga yang harus dibayar oleh seorang raja setiap seratus tahun.”
Ia menoleh ke Ayla, sorot matanya seperti belati dingin.
“Tetapi sekarang, kau telah menentang takdirmu, dan akibatnya… gadis ini harus menggantikanmu.”
Ayla merasakan gelombang ketakutan menjalar dalam tubuhnya.
Jadi benar. Jika Aldebaran tetap hidup, maka arwah yang seharusnya mengambil nyawanya akan menuntut pengorbanan lain.
Dan pengorbanan itu adalah dirinya.
Dunia yang Tidak Akan Diam
Aldebaran akhirnya menurunkan pedangnya, tetapi matanya masih menusuk ke arah Althas.
“Dan jika aku tidak mengorbankannya?” tanyanya dingin.
Althas menatapnya tanpa emosi. “Maka dunia ini akan kehilangan keseimbangannya. Semakin lama kau bertahan hidup, semakin besar kekacauan yang akan datang.”
Ayla menelan ludah.
Sesuatu bergetar di dalam dirinya.
Apakah ini alasan mengapa ia dikirim ke sini?
Bukan untuk menyelamatkan Aldebaran… tetapi untuk mati menggantikannya?
Aldebaran mengalihkan pandangannya ke arah Ayla.
Matanya yang keemasan, biasanya penuh dengan ketegasan, kini dipenuhi sesuatu yang lebih dalam—sesuatu yang lebih rapuh.
“Jika itu memang harga yang harus dibayar,” suara Althas semakin rendah, “maka kau harus memilih, Yang Mulia.”
Salah satu dari mereka harus mati.
Aldebaran atau Ayla.
Keheningan yang Mencekam
Tidak ada yang berbicara selama beberapa detik.
Lalu tiba-tiba—
BUMM!!
Gema suara mengerikan terdengar dari luar istana, diikuti oleh guncangan yang membuat lantai di bawah mereka bergetar.
Ayla tersentak. Apa yang terjadi?!
Kael bergerak lebih dulu, berlari ke arah jendela terdekat. Ia mengintip ke luar, lalu wajahnya berubah pucat.
“Yang Mulia…” suaranya bergetar. “Kita dalam bahaya.”
Aldebaran bergerak cepat mendekati jendela. Ayla ikut berlari, meskipun hatinya masih dipenuhi ketakutan.
Dan saat ia melihat apa yang terjadi di luar… darahnya membeku.
Langit berubah merah pekat.
Awan hitam menggulung, menyelimuti langit ibu kota dengan bayangan mencekam.
Dan di bawahnya, sesuatu yang tidak seharusnya ada mulai muncul.
Bayangan-bayangan raksasa bergerak di antara bangunan, menyapu kota seperti kabut hitam yang hidup.
Suara jeritan terdengar di kejauhan.
Orang-orang berlari ketakutan, mencoba melarikan diri dari sesuatu yang tidak bisa mereka lawan.
Makhluk itu telah datang.
Arwah yang seharusnya mengambil Aldebaran kini mengamuk di dunia ini, mencari pengorbanan yang belum mereka dapatkan.
Dan sekarang, mereka tidak hanya menginginkan Ayla—mereka akan menghancurkan segalanya.
Pilihan Seorang Raja
Aldebaran mengatupkan rahangnya, lalu menoleh ke Althas.
“Inikah yang kau maksud dengan menjaga keseimbangan?” suaranya bergetar oleh kemarahan. “Kau bilang kerajaan ini akan selamat jika aku mati, tapi lihatlah! Kau telah melepaskan monster-monster ini!”
Althas tetap tenang, tetapi Ayla melihat ada sesuatu dalam matanya—rasa takut.
“Mereka datang lebih cepat dari perkiraanku,” bisiknya. “Aku pikir masih ada waktu…”
Aldebaran menghunus pedangnya lagi.
“Tidak ada waktu. Aku tidak akan membiarkan mereka mengambil siapa pun!”
Kael berbalik dari jendela. “Yang Mulia, kita harus segera bergerak. Pasukan sedang berusaha menghalau makhluk itu, tetapi mereka bukan lawan yang bisa dikalahkan dengan pedang biasa.”
Aldebaran mengangguk.
Ia menoleh ke Ayla.
“Kau ikut denganku,” katanya tegas.
Ayla terkejut. “Apa? Tapi—”
“Aku tidak akan membiarkan mereka menyentuhmu,” Aldebaran memotongnya. “Aku tidak peduli dengan takdir atau keseimbangan. Aku hanya peduli bahwa kau tetap hidup.”
Jantung Ayla berdegup kencang.
Tidak. Ini tidak boleh terjadi.
Jika Aldebaran tetap hidup, dunia ini akan semakin hancur.
Jika ia ingin menyelamatkan dunia ini… maka ia harus mengorbankan dirinya sendiri.
Tetapi sebelum ia bisa mengatakan apa pun—
Aldebaran menarik tangannya.
“Mari kita lawan takdir ini bersama.”
Dan tanpa memberi Ayla kesempatan untuk menolak, ia membawanya pergi.
Ketika Takdir Dilanggar
Mereka berlari melewati koridor istana, menuju ke halaman utama tempat pasukan kerajaan sedang berusaha menahan makhluk-makhluk bayangan itu.
Ayla bisa melihat para prajurit bertarung dengan segala yang mereka miliki. Tetapi setiap kali pedang mereka menebas, makhluk itu hanya berubah menjadi kabut dan kembali menyatu.
Tidak ada yang bisa menghentikan mereka.
Sampai sesuatu terjadi.
Langit terbelah.
Di tengah kegelapan, cahaya muncul dari atas langit, membentuk lingkaran bercahaya di udara.
Ayla menatap ke atas, dan di dalam lingkaran itu, ia melihat sesuatu yang membuatnya terdiam.
Dirinya sendiri.
Tetapi bukan dirinya yang sekarang.
Itu adalah dirinya dari masa depan—seorang pengantin dalam pakaian putih, berdiri di altar, mengucapkan sumpahnya.
Sumpah yang telah membawanya ke masa lalu.
Dan saat Ayla menyadari apa yang terjadi, suara yang mengerikan bergema di langit.
“Keseimbangan telah rusak. Satu harus menghilang.”
Tiba-tiba, tubuh Ayla terasa ringan.
Udara di sekelilingnya berputar.
Dan sebelum ia bisa berkata apa pun—
Dunia di sekelilingnya mulai menghilang.
Bab 9: Mengubah Takdir
Ayla merasa tubuhnya melayang, tersedot ke dalam pusaran cahaya yang berputar di atas langit. Dunia di sekelilingnya mulai kabur, suara-suara prajurit, dentingan pedang, dan raungan makhluk bayangan terdengar jauh, seolah-olah ia telah terlepas dari realitas itu sendiri.
Aku sedang menghilang…
Tapi sebelum kegelapan bisa menelannya sepenuhnya—
Sebuah tangan meraih dirinya.
Hangat. Kokoh. Nyata.
Aldebaran.
“Ayla!” suaranya bergema di antara kekacauan.
Ia menarik Ayla dengan sekuat tenaga, melawan arus yang mencoba merenggutnya dari dunia ini. Wajahnya penuh dengan tekad, mata keemasannya bersinar seperti api yang menolak padam.
“Tidak!” katanya tegas. “Aku tidak akan membiarkanmu pergi!”
Tapi pusaran itu semakin kuat. Cahaya di sekeliling mereka berubah menjadi bayangan yang mencengkram tubuh Ayla, menariknya ke dimensi lain.
“Ini takdir…” bisik suara yang bergema di udara. “Raja harus mati… atau pengantin harus menggantikannya…”
Aldebaran mengertakkan giginya.
“Kalau begitu, aku akan menghancurkan takdir itu sendiri!”
Ia menarik pedangnya dan menusukkannya ke pusat cahaya yang berputar di atas mereka.
CRAAK!!
Sesuatu pecah. Seperti kaca yang retak, pusaran itu mulai berubah bentuk, seolah-olah dunia ini sedang berusaha menyesuaikan ulang keseimbangannya.
Dan untuk pertama kalinya—langit berhenti bergetar.
Melawan Keputusan Dewa
Ayla jatuh ke pelukan Aldebaran saat pusaran itu lenyap. Ia masih terengah-engah, tubuhnya lemah karena hampir terhisap ke dalam kehampaan.
Tapi Aldebaran tidak melepaskannya.
Sebaliknya, ia memeluk Ayla erat-erat, menekan dahinya ke rambut gadis itu.
“Kau masih di sini…” bisiknya, lebih kepada dirinya sendiri.
Ayla menatapnya, hatinya masih berdegup kencang.
“Aldebaran…”
Tapi sebelum ia bisa mengatakan sesuatu, suara lain menggetarkan udara.
“Manusia… kau telah melanggar batasmu.”
Udara menjadi berat.
Di depan mereka, sebuah sosok muncul dari kegelapan.
Tidak berbentuk seperti makhluk yang ada di dunia ini—hanya kabut yang menyerupai siluet manusia dengan mata bercahaya putih.
“Takdir telah ditetapkan sejak awal. Jika raja tetap hidup, maka harus ada pengorbanan. Jika kau terus melawan… maka dunia ini akan runtuh.”
Aldebaran menegakkan tubuhnya, masih memegang pedangnya. “Aku tidak percaya pada takdir. Aku percaya pada pilihan.”
Bayangan itu bergerak mendekat.
“Pilihan?” suaranya terdengar seperti gemuruh ribuan jiwa. “Tidak ada yang bisa memilih nasibnya sendiri. Bahkan raja sepertimu pun tidak.”
Ayla menatap Aldebaran.
Ia tahu bahwa ini belum berakhir.
Jika mereka terus melawan, maka dunia ini akan terus dihantam oleh kekacauan.
Seseorang harus membuat keputusan.
Tapi apakah harus ada yang mati?
Tidak.
Harus ada cara lain.
Ayla menarik napas dalam dan melangkah maju.
“Jika dunia ini menuntut keseimbangan…” katanya pelan, “maka biarkan aku dan Aldebaran menemukan keseimbangan yang baru.”
Bayangan itu berhenti, seolah terkejut mendengar kata-katanya.
“Apa maksudmu?”
Ayla menoleh ke Aldebaran.
“Kita tidak harus memilih antara hidup atau mati. Kita bisa memilih untuk mengubah keseimbangan itu sendiri.”
Aldebaran terdiam sejenak, lalu tersenyum kecil. “Aku suka caramu berpikir.”
Ia menggenggam tangan Ayla dan menatap bayangan itu dengan mantap.
“Jika takdir ditentukan oleh dunia ini, maka kita akan membangun takdir kita sendiri.”
Bayangan itu menatap mereka.
Dan untuk pertama kalinya, ia tidak memiliki jawaban.
Karena tidak pernah ada yang menolak perintah takdir sebelumnya.
Dunia ini selalu berjalan dengan aturan yang sama selama berabad-abad. Tapi kini, ada dua manusia yang berani melawan dan menolak bermain dalam sistem yang sudah ditentukan.
Dan karena itu… dunia tidak tahu harus berbuat apa.
Cahaya di langit mulai berubah. Dari merah pekat menjadi keemasan, perlahan menghapus bayangan-bayangan hitam yang masih menyelimuti kota.
Dan kemudian—langit kembali seperti semula.
Sunyi.
Damai.
Seolah-olah tidak pernah terjadi kekacauan sebelumnya.
Ayla dan Aldebaran saling menatap, tidak percaya dengan apa yang baru saja mereka lakukan.
Mereka telah mengubah takdir itu sendiri.
Dunia yang Baru
Keesokan harinya, suasana di istana terasa berbeda.
Tidak ada lagi bayangan yang mengancam.
Tidak ada lagi suara-suara dari dunia lain.
Seakan-akan, seluruh kerajaan memulai awal yang baru.
Aldebaran berdiri di balkon istana, melihat kota yang kini lebih tenang. Ia masih hidup.
Dan lebih dari itu…
Ayla juga masih di sini.
Ia menoleh ke arah gadis itu, yang berdiri di sampingnya.
“Kau tidak menghilang,” katanya, seolah masih tidak percaya.
Ayla tersenyum kecil. “Aku rasa, dunia akhirnya menerima kenyataan bahwa kita memilih takdir kita sendiri.”
Aldebaran mengangguk, lalu menatapnya dengan ekspresi yang lebih lembut.
“Kau tahu…” katanya pelan, “Aku tidak bisa membayangkan dunia ini tanpamu.”
Ayla menoleh padanya, hatinya berdebar.
“Aku juga tidak bisa membayangkan hidupku tanpamu.”
Aldebaran menyentuh pipinya dengan lembut, lalu tanpa ragu lagi, ia menunduk dan mencium Ayla.
Ciuman itu hangat, penuh dengan rasa syukur, cinta, dan janji untuk masa depan.
Tidak ada lagi kutukan. Tidak ada lagi pengorbanan.
Hanya mereka berdua yang telah mengalahkan takdir bersama.
Dan untuk pertama kalinya dalam sejarah, pengantin untuk raja yang telah mati—justru menjadi alasan mengapa sang raja tetap hidup.
Bab 10: Pengantin yang Tidak Pernah Ada
Pagi di kerajaan Aldebran terasa berbeda. Matahari bersinar lembut, langit membentang luas tanpa bayangan kelam, dan angin yang berhembus membawa ketenangan yang sudah lama hilang.
Ayla berdiri di balkon istana, memandang ibu kota yang kini damai. Ia masih di sini.
Tidak ada lagi kutukan. Tidak ada lagi arwah yang mengejarnya. Dunia akhirnya menerima takdir baru yang telah mereka ciptakan.
Tapi sesuatu terasa aneh.
Saat ia menatap kota, hatinya bergetar.
Ada sesuatu yang hilang.
Orang-orang di bawah sana menjalani hidup mereka seperti biasa. Tetapi ketika Ayla mengamati lebih dalam, ia menyadari sesuatu yang membuatnya membeku.
Tidak ada yang mengenalnya.
Tidak ada seorang pun yang menatap ke arahnya dengan rasa ingin tahu. Tidak ada bisikan tentang “gadis dari dunia lain” seperti yang dulu sering ia dengar.
Seolah-olah… Ayla tidak pernah ada dalam sejarah mereka.
Harga dari Takdir yang Baru
Aldebaran masuk ke balkon dan berdiri di sampingnya.
“Kau terlihat gelisah,” katanya, suaranya lembut.
Ayla menghela napas. “Aku merasa… seperti dunia ini telah melupakanku.”
Aldebaran menatapnya. “Apa maksudmu?”
Ayla menggigit bibirnya. “Aku tidak tahu. Tapi aku bisa merasakannya. Aku masih di sini, tapi aku tidak lagi menjadi bagian dari sejarah ini.”
Aldebaran terdiam sejenak, lalu akhirnya berkata, “Mungkin karena kita telah mengubah takdir.”
Ia menoleh ke arah langit. “Dulu, kau dikirim ke sini untuk menggantikanku dalam kematian. Tetapi karena kita memilih jalan lain, dunia harus menyesuaikan diri. Dan caranya adalah… dengan menghapus keberadaanmu dari sejarah.”
Ayla menelan ludah.
Jadi, itulah harga yang harus d
ibayar?
Ia selamat, tetapi ia bukan lagi bagian dari dunia ini.
Ia tidak memiliki masa lalu di sini. Tidak ada catatan tentangnya. Tidak ada tempat yang benar-benar menjadi miliknya.
Kenangan yang Memudar
Hari-hari berlalu.
Ayla masih tinggal di istana bersama Aldebaran, tetapi ia bisa merasakan sesuatu yang semakin jelas—ia perlahan mulai menghilang.
Orang-orang mulai melupakan namanya.
Bahkan para pelayan istana yang dulu sering berbicara dengannya kini menatapnya dengan bingung, seolah baru pertama kali melihatnya.
Bahkan Kael, yang selama ini melindunginya, mulai ragu ketika menyebut namanya.
Dan akhirnya, suatu pagi, Aldebaran sendiri mulai melupakan sesuatu tentangnya.
Saat mereka sarapan bersama, ia sempat terdiam sejenak, matanya berkabut.
“Kenapa aku merasa seperti… aku melupakan sesuatu?” gumamnya.
Ayla tersenyum pahit. “Itu karena aku seharusnya tidak ada di sini.”
Aldebaran menatapnya, dan untuk pertama kalinya sejak mereka bertemu, ia terlihat takut.
Tidak terhadap perang, tidak terhadap musuh, tetapi terhadap sesuatu yang tidak bisa ia lawan.
Terhadap kenyataan bahwa ia bisa kehilangan Ayla tanpa bisa mengingat bahwa ia pernah memilikinya.
Keputusan Terakhir
Malam itu, Ayla berdiri di depan cermin besar di dalam kamarnya.
Pantulannya tampak normal, tetapi ada sesuatu yang berbeda.
Ia merasa… hampa.
Lalu, suara Aldebaran terdengar dari balik pintu. “Ayla?”
Ia masuk, dan saat matanya bertemu dengan milik Ayla, hatinya mencelos.
Aldebaran tampak berbeda.
Bukan karena pakaiannya, bukan karena ekspresinya—tetapi karena tatapannya terhadapnya.
Dulu, ia selalu menatap Ayla dengan penuh kehangatan dan keteguhan hati. Tetapi kini, ada sedikit keraguan.
Seolah-olah… ia mulai lupa siapa Ayla sebenarnya.
Ayla menahan napas.
“Aldebaran…” suaranya hampir tidak terdengar.
Raja itu mengerutkan kening. “Kenapa aku merasa… ada sesuatu yang salah?”
Air mata menggenang di mata Ayla.
Ia tahu. Ia tahu bahwa waktunya hampir habis.
Jika ia tetap di sini, maka Aldebaran akan terus melupakannya, sampai akhirnya ia benar-benar tidak ada lagi di dalam ingatannya.
“Aldebaran,” katanya pelan. “Aku ingin kau berjanji sesuatu padaku.”
Aldebaran mengangguk. “Apa pun itu.”
Ayla tersenyum samar. “Jangan lupakan bahwa kau pernah menolak takdir. Jangan lupakan bahwa kau pernah memilih jalanmu sendiri.”
Aldebaran mengerutkan kening. “Tentu saja aku tidak akan melupakan itu.”
Tapi Ayla tahu—ia mungkin akan melupakan siapa yang berada di sisinya saat itu.
Ia menatap raja itu satu kali lagi, menghafal setiap detail wajahnya, suara napasnya, caranya menatapnya.
Lalu, perlahan, ia mundur.
Dan sebelum Aldebaran bisa menahannya—
Ayla menghilang.
Saat Aldebaran membuka matanya, ia masih berdiri di kamarnya.
Ia merasa seperti baru saja kehilangan sesuatu.
Seseorang.
Tetapi tidak ada siapa-siapa di ruangan itu.
Ia mencoba mengingat. Sesuatu di dalam hatinya berteriak bahwa ada seseorang yang seharusnya ada di sana.
Tetapi… ia tidak bisa mengingat siapa.
Ia menggenggam dadanya, mencoba memahami perasaan aneh ini.
Lalu, ia menatap ke luar jendela, ke langit yang tenang, ke dunia yang telah ia selamatkan.
Dan di dalam hatinya, meskipun ia tidak tahu dari mana perasaan ini berasal…
Ia merasa pernah mencintai seseorang yang tidak bisa ia ingat namanya.
Di suatu tempat, di luar batas waktu dan dunia, Ayla berdiri sendirian.
Ia tidak lagi berada di dunia Aldebaran. Ia tidak lagi berada di dunianya sendiri.
Tetapi meskipun ia telah dilupakan, ia masih mengingat.
Ia masih mengingat mata emas itu. Suara itu. Sentuhan hangat itu.
Dan ia tahu, bahkan jika dunia menghapusnya, hatinya tidak akan pernah melupakan Aldebaran.
Senyumnya mengembang perlahan.
“Selamat tinggal, Aldebaran…”
Lalu, ia melangkah ke dalam cahaya, menjadi bagian dari legenda yang tidak pernah tercatat dalam sejarah.
TAMAT.
Novel ini ditulis oleh Evi Fauzi, Penulis dari Novel Singkat. Baca juga novel romantis, petualangan dan fiksi ilmiah lainnya.