Arka, seorang insinyur teknologi masa depan, mulai mengalami déjà vu yang tak wajar setiap kali bertemu dengan seorang wanita misterius bernama Reina. Saat Reina mengungkap bahwa mereka telah mengalami percakapan yang sama lebih dari seratus kali, Arka mulai menyadari bahwa ia terjebak dalam siklus waktu yang terus berulang.
Saat ingatannya mulai pulih, Arka mengetahui bahwa dunia nyata sedang menuju kehancuran, dan dirinya adalah bagian dari eksperimen untuk menemukan solusi menyelamatkan peradaban. Namun, saat ia berhasil keluar dari simulasi, Arka dihadapkan pada pilihan sulit—menyelamatkan dunia nyata atau kembali ke dalam simulasi demi Reina.
Di tengah batas antara realitas dan ilusi, Arka harus membuat keputusan yang akan menentukan nasib umat manusia dan cintanya yang tak tergantikan.
Bab 1: Déjà Vu yang Tak Biasa
Arka mengusap wajahnya dengan tangan yang sedikit gemetar. Ia baru saja terbangun dari tidur siang yang terasa lebih panjang dari biasanya. Matanya masih terasa berat, seolah baru saja melewati perjalanan panjang dalam mimpinya—meskipun, ia tidak bisa mengingat mimpi apa yang barusan ia alami.
Ia menatap layar ponselnya. 17.43. Sudah sore.
Arka mendesah pelan sebelum bangkit dari tempat tidurnya. Satu hal yang selalu ia benci adalah perasaan aneh yang ia rasakan setiap kali bangun tidur belakangan ini. Bukan karena kantuk yang tak kunjung hilang, melainkan sesuatu yang lebih mengganggu.
Rasa déjà vu.
Perasaan itu semakin sering muncul, seperti potongan adegan yang sudah pernah ia alami sebelumnya. Setiap kali ia keluar rumah, bertemu seseorang, atau bahkan sekadar duduk diam di dalam kamarnya, perasaan itu selalu menghantui.
Hari ini, ia memutuskan untuk pergi keluar. Udara di luar mungkin bisa membuat pikirannya lebih jernih.
Sebuah kafe di sudut jalan terlihat ramai, tapi suasana di dalamnya tetap terasa tenang. Aroma kopi yang baru diseduh bercampur dengan suara pelan percakapan pengunjung lain menciptakan suasana nyaman. Arka memilih tempat duduk di dekat jendela, membiarkan pandangannya mengembara ke luar.
Saat ia sedang melihat lalu lintas yang padat, seorang wanita tiba-tiba duduk di kursi di hadapannya.
Arka menoleh, sedikit terkejut.
Wanita itu tersenyum kecil. “Akhirnya kita bertemu lagi.”
Arka mengernyit. Ia mencoba mengingat, tapi wajah wanita itu sama sekali tidak tampak familiar.
“Aku… pernah bertemu denganmu?” tanyanya hati-hati.
Wanita itu, yang tampak seusianya, menghela napas panjang. Seakan menahan sesuatu yang sulit dijelaskan. “Ya… sudah lebih dari seratus kali.”
Arka tertawa kecil. Ia berpikir wanita ini pasti sedang bercanda. “Maksudmu? Aku yakin ini pertama kalinya kita bertemu.”
Wanita itu menatapnya dalam-dalam. “Bukan. Ini yang ke-103 kali.”
Arka mengernyit.
Ada sesuatu dalam tatapan wanita itu yang membuatnya merasa… aneh. Seolah kata-kata itu bukan sekadar lelucon. Ada kejujuran dalam suaranya, ada luka dalam matanya.
“Tunggu sebentar,” kata Arka, berusaha mencerna situasi. “Aku benar-benar tidak mengerti maksudmu. Apa kita pernah bertemu sebelumnya?”
Wanita itu tersenyum kecil, tapi senyumannya terasa menyedihkan.
“Kamu selalu lupa di titik ini,” katanya pelan.
Arka terdiam.
Seketika, sebuah perasaan aneh merayapi pikirannya—sesuatu yang asing namun sekaligus familiar. Rasa déjà vu yang selama ini mengganggunya semakin kuat.
Sesuatu dalam dirinya berbisik bahwa wanita ini mungkin mengatakan yang sebenarnya.
Dan itu membuatnya takut.
“Apa kamu pernah mengalami perasaan seperti… semuanya terasa akrab, tapi kamu tidak tahu dari mana asalnya?”
Wanita itu bertanya sambil menatapnya lekat-lekat. Arka menelan ludah, mendadak merasa tidak nyaman.
“Aku…” Arka mengusap dahinya yang berkeringat. “…Iya. Beberapa bulan terakhir, aku sering merasa begitu.”
Wanita itu tersenyum tipis. “Itulah kenapa kita bertemu.”
Arka mengerutkan kening. “Aku masih tidak mengerti.”
Wanita itu menarik napas panjang sebelum menjawab. “Karena kita sudah pernah menjalani percakapan ini lebih dari seratus kali.”
Jantung Arka berdegup lebih cepat.
“Apa maksudmu?” tanyanya, sedikit tegang.
Wanita itu tidak langsung menjawab. Ia hanya menatap Arka seolah sedang menilai reaksinya.
Lalu ia berkata, dengan suara yang terdengar penuh emosi,
“Kamu selalu lupa. Setiap kali kita mencapai titik ini, ingatanmu akan di-reset. Dan kita akan memulai semuanya dari awal.”
Arka menelan ludah. Ia ingin tertawa, menganggap ini sebagai lelucon aneh. Tapi ada sesuatu dalam dirinya yang berkata bahwa wanita ini tidak sedang bercanda.
Déjà vu yang selama ini ia rasakan.
Perasaan aneh yang menghantui setiap harinya.
Mungkinkah… ini benar-benar nyata?
“Aku tahu ini sulit dipercaya,” lanjut wanita itu. “Tapi aku tidak bisa terus membiarkanmu melupakan semuanya.”
Arka memejamkan mata, mencoba meredakan kekacauan di kepalanya.
Lalu, tanpa ia sadari, sebuah potongan memori muncul di benaknya.
Ia melihat dirinya sendiri—duduk di kafe ini, di kursi yang sama. Dan di depannya… wanita ini.
Mereka sedang berbicara.
Sama persis seperti sekarang.
Mata Arka membelalak.
Sebelum ia bisa mengatakan apa pun, sebuah sakit kepala hebat menghantamnya, membuatnya hampir kehilangan keseimbangan. Ia merasakan kepalanya seakan terbakar.
Lalu segalanya menjadi gelap.
Bab 2: Percakapan yang Berulang
Kegelapan.
Suaranya samar-samar, seperti berasal dari kejauhan.
“Arka… bangun.”
Suara itu terdengar lembut, tapi mengandung nada putus asa.
Perlahan, Arka membuka matanya. Pandangannya masih buram, kepalanya berdenyut hebat seakan baru saja dihantam sesuatu yang keras. Ia mengerang pelan, mencoba memahami apa yang sedang terjadi.
Saat matanya mulai fokus, ia mendapati dirinya masih berada di dalam kafe. Cahaya matahari sore masih menembus kaca jendela, menyinari meja tempatnya duduk.
Dan di depannya—Reina.
Wanita itu menatapnya dengan ekspresi yang sulit dijelaskan, campuran antara kelelahan dan harapan yang nyaris sirna.
“Kamu pingsan,” katanya pelan.
Arka mengusap wajahnya. Kepalanya masih terasa berat, seperti ada sesuatu yang berusaha menembus pikirannya namun tertahan oleh dinding tebal yang tidak bisa ia tembus.
“Apa yang… terjadi?” gumamnya.
Reina menatapnya dalam-dalam. “Itu yang selalu terjadi setiap kali kamu mulai mengingat sesuatu.”
Arka menatapnya balik, merasa frustasi.
“Aku benar-benar tidak mengerti apa yang sedang terjadi. Kamu terus bicara tentang deja vu, percakapan yang berulang, tapi aku tidak ingat apa pun.”
Reina menarik napas panjang, lalu berkata dengan nada tenang,
“Dengarkan aku baik-baik, Arka. Aku akan menjelaskannya lagi, meskipun aku tahu kamu akan lupa lagi nanti.”
Arka diam. Ada sesuatu dalam suara Reina yang membuatnya tidak bisa mengabaikannya.
“Kamu terjebak dalam sebuah siklus,” lanjut Reina. “Setiap kali kita berbicara dan kamu mulai mengingat sesuatu, sistem akan mereset semuanya. Kamu akan kembali ke titik awal, seolah-olah tidak pernah bertemu denganku sebelumnya.”
Arka mengerutkan kening. “Sistem? Maksudmu apa?”
Reina menggigit bibirnya, terlihat ragu.
“Aku tidak bisa memberitahumu semuanya sekaligus. Setiap kali aku mencoba menjelaskan lebih dari batas tertentu, sistem akan melakukan reset paksa. Sama seperti tadi, kamu akan kehilangan kesadaran, dan kita akan kembali ke titik awal.”
Arka mulai merasa merinding.
“Jadi, kamu ingin mengatakan bahwa… aku ini seperti karakter dalam permainan yang terus di-reset?” tanyanya, mencoba mencerna situasi.
Reina tersenyum kecil, tapi tidak ada kebahagiaan dalam senyumannya.
“Bukan permainan, tapi kamu memang berada dalam sesuatu yang lebih besar dari yang bisa kamu bayangkan.”
Arka merasakan gelombang kecemasan menghantamnya.
Jika ini hanya mimpi, mengapa rasanya begitu nyata?
Jika ini kenyataan, mengapa semuanya terasa begitu absurd?
Ia mencoba mengingat sesuatu—apa pun yang bisa membuktikan bahwa hidupnya tidak sekacau ini. Namun, semakin ia mencoba mengingat, semakin kuat rasa sakit yang menyerangnya.
Reina melihat ekspresi kesakitannya, lalu berkata, “Jangan paksa dirimu. Kita harus melakukannya perlahan.”
Arka menggeleng, mencoba menenangkan napasnya. “Kalau semua ini benar, kenapa hanya kamu yang ingat? Kenapa aku tidak bisa?”
Reina menatapnya lama sebelum menjawab.
“Karena aku adalah pengecualian.”
Arka semakin bingung.
Reina tersenyum tipis. “Aku sudah mencoba berbagai cara untuk membuatmu mengingat, tapi hasilnya selalu sama. Kita selalu kembali ke titik ini. Setiap kali kamu mulai memahami sesuatu, semuanya akan terulang lagi dari awal.”
Ia menunduk, suaranya hampir seperti bisikan, “Dan aku… sudah kelelahan, Arka.”
Arka terdiam.
Ada sesuatu dalam nada suaranya yang membuat dadanya terasa sesak.
Reina telah mengalami semua ini sendirian—lebih dari seratus kali. Ia yang selalu ingat, sementara Arka selalu lupa.
Seberapa menyakitkan rasanya harus terus mengulang, berharap ada perubahan, hanya untuk menemukan bahwa semuanya kembali ke awal?
Arka mengusap wajahnya dengan frustasi. “Lalu… apa yang harus aku lakukan?”
Reina menatapnya dengan tatapan yang lebih serius dari sebelumnya.
“Kamu harus percaya padaku.”
Arka menatapnya ragu.
“Percaya?” ulangnya.
Reina mengangguk. “Aku tahu ini sulit. Aku tahu ini tidak masuk akal. Tapi satu-satunya cara agar kita bisa keluar dari siklus ini adalah dengan membuatmu percaya padaku sebelum semuanya di-reset lagi.”
Arka ingin membantah, ingin mengatakan bahwa semua ini hanyalah kebetulan.
Namun, bagian kecil dalam dirinya mengatakan bahwa ia harus mendengarkan Reina.
Mungkin, hanya kali ini saja… ia akan mencoba percaya.
“Baiklah,” katanya akhirnya. “Aku akan mencoba percaya padamu.”
Reina menatapnya dengan mata berbinar, seolah tidak menyangka akhirnya bisa mendengar jawaban itu.
Namun, sebelum ia bisa mengatakan sesuatu, Arka tiba-tiba merasa sakit kepala yang jauh lebih kuat dari sebelumnya.
Kepalanya terasa seperti akan pecah, dan tubuhnya kehilangan keseimbangan. Ia ingin berbicara, tetapi suaranya tercekat di tenggorokannya.
Reina berdiri dengan panik. “Tidak…! Ini terlalu cepat! Arka, bertahanlah!”
Tapi semuanya sudah terlambat.
Dunia di sekelilingnya mulai berputar.
Suara Reina semakin menjauh.
Semuanya menjadi hitam.
Lalu, segalanya menghilang.
Bab 3: Ingatan yang Hilang
Kegelapan itu kembali.
Arka merasakan sensasi mengambang, seakan dirinya berada di dalam ruang hampa. Tidak ada suara, tidak ada cahaya—hanya kehampaan yang begitu dalam.
Namun, perlahan-lahan, suara-suara mulai muncul di kejauhan. Samar-samar, seperti suara yang berasal dari luar ruangan tertutup.
“…Arka…”
Suara itu lembut, tetapi ada kepedihan di dalamnya.
Arka mencoba membuka matanya. Cahaya terang langsung menusuk pandangannya, membuatnya menyipitkan mata. Saat ia berhasil menyesuaikan diri dengan cahaya di sekelilingnya, ia menyadari bahwa ia sedang duduk di sebuah kafe.
Di hadapannya, ada seorang wanita yang menatapnya dengan ekspresi lelah bercampur harapan.
Arka mengerutkan kening. Wanita ini… terlihat familiar.
Seperti déjà vu.
“…Maaf, apa kita saling kenal?” tanyanya ragu.
Wanita itu menutup matanya sebentar, seolah berusaha menyembunyikan emosi yang meledak di dalam dirinya.
Kemudian, dengan suara yang hampir seperti bisikan, ia berkata, “Ini yang ke-104 kali.”
Arka merasa ada sesuatu yang menusuk dalam dadanya saat mendengar kata-kata itu.
104 kali? Apa maksudnya?
Perasaan aneh kembali merayapi pikirannya.
Ia menatap wanita di depannya lebih lama. Ada sesuatu yang terasa begitu akrab—tidak hanya wajahnya, tetapi juga caranya menatap Arka, seolah menyimpan lautan emosi yang tidak terucapkan.
Arka mengusap kepalanya. “Aku merasa seperti… aku pernah mengalami ini sebelumnya.”
Wanita itu tersenyum tipis. “Karena memang begitu.”
Arka menelan ludah. “Aku tidak mengerti.”
Wanita itu menghela napas panjang, lalu berkata, “Aku Reina.”
Nama itu… terasa akrab di telinga Arka.
Tapi kenapa?
Saat Arka mencoba menggali lebih dalam, kepalanya tiba-tiba terasa berat. Potongan-potongan kenangan asing mulai berkelebat dalam pikirannya—percakapan di tempat ini, Reina yang tersenyum, Reina yang menangis, Reina yang mengatakan sesuatu tentang reset…
Sebuah suara kecil dalam dirinya berbisik, Ini bukan pertama kalinya.
Dan entah mengapa, itu membuat dadanya terasa semakin sesak.
Arka menatap Reina. “Aku… benar-benar tidak ingat, tapi aku merasa ini bukan pertama kalinya aku mendengar namamu.”
Reina tersenyum tipis, tapi ada kesedihan yang tidak bisa disembunyikan dari matanya.
“Itu karena setiap kali kamu mulai mengingat, semuanya akan di-reset kembali.”
Arka mengernyit. “Reset?”
Reina menatapnya dengan ekspresi yang sulit dijelaskan. “Dunia ini… tidak seperti yang kamu pikirkan.”
Jantung Arka berdetak lebih cepat. “Apa maksudmu?”
Reina membuka mulutnya, seakan ingin menjelaskan semuanya. Namun, ia kemudian menutupnya kembali, seperti sedang menimbang-nimbang sesuatu.
Arka bisa melihat perjuangan batinnya.
Akhirnya, Reina berkata, “Kali ini, aku ingin mencoba sesuatu yang berbeda.”
Arka menatapnya bingung. “Apa maksudmu?”
Reina menggenggam tangannya.
Arka merasakan kehangatan di telapak tangannya, dan tiba-tiba, sesuatu di dalam dirinya bergetar hebat.
Sebuah kenangan muncul di kepalanya—
Ia melihat Reina tersenyum di bawah hujan.
Ia melihat Reina menatapnya dengan harapan di matanya.
Dan melihat Reina menangis, berkata dengan suara bergetar, “Aku tidak bisa terus mengulang ini selamanya, Arka.”
Arka terkejut. Napasnya memburu.
Itu bukan imajinasi. Itu adalah… kenangan.
Namun, saat ia mencoba menggali lebih dalam, rasa sakit yang luar biasa menyerang kepalanya.
“Aaah…!” Arka meringis kesakitan, memegangi kepalanya.
Reina menatapnya dengan panik. “Arka! Bertahanlah!”
Namun, semakin ia mencoba mengingat, semakin kuat rasa sakit itu.
Lalu, ia mendengar suara—dingin, mekanis, tidak berperasaan.
“Batas daya ingat telah tercapai. Reset akan dimulai dalam 5… 4… 3…”
Arka mendongak dengan mata melebar. “Tidak…!”
Reina menggenggam tangannya lebih erat. “Arka, tolong jangan lupakan aku lagi!”
“…2… 1…”
Semuanya menjadi hitam.
Arka membuka matanya.
Ia sedang duduk di dalam kafe, menatap keluar jendela.
Matahari sore menyinari meja kayu di hadapannya.
Ia merasa seakan baru saja mengalami mimpi yang sangat aneh.
Di depannya, seorang wanita duduk dengan tenang, menatapnya dengan ekspresi yang sulit dijelaskan.
Reina.
Tapi kali ini, sebelum wanita itu berbicara…
Arka lebih dulu membuka mulutnya.
“Kita sudah pernah mengalami ini sebelumnya, bukan?”
Mata Reina membelalak.
Dan untuk pertama kalinya sejak siklus ini dimulai, air mata jatuh di pipinya.
Bab 4: Lingkaran Waktu yang Tak Terputus
Reina menatap Arka dengan mata terbelalak. Napasnya tercekat, seolah ia tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.
“Kita sudah pernah mengalami ini sebelumnya, bukan?”
Kalimat sederhana itu terdengar seperti angin segar yang lama tak ia hirup. Sesuatu yang selama ini ia harapkan namun tak pernah terjadi—hingga detik ini.
Reina menelan ludah, mencoba memastikan dirinya tidak berhalusinasi. “Arka… apa yang baru saja kamu katakan?”
Arka sendiri tampak terkejut dengan kata-katanya sendiri. Ia tidak mengerti dari mana keberanian itu muncul, tetapi untuk pertama kalinya, ia merasa yakin bahwa apa yang dikatakan Reina selama ini bukan sekadar omong kosong.
“Aku…” Arka mengusap wajahnya. “Aku tidak tahu kenapa, tapi aku merasa… aku pernah mengalami ini sebelumnya.”
Reina mengerjapkan mata, kemudian tersenyum kecil—senyuman yang dipenuhi kelelahan namun juga secercah harapan.
“Kamu mulai mengingat,” bisiknya.
Arka mengerutkan kening. “Mengapa aku selalu lupa sebelumnya?”
Reina menghela napas panjang. Ia menatap tangan Arka yang menggenggam cangkir kopi di hadapannya, lalu beralih menatap matanya.
“Karena kamu terjebak dalam sebuah sistem,” katanya pelan.
“Sistem?” Arka semakin bingung.
Reina menatapnya tajam. “Arka, hidupmu bukan seperti yang kamu kira. Kamu bukan hanya seorang pria biasa yang menjalani hidup sehari-hari. Kamu adalah subjek dari sebuah eksperimen waktu.”
Arka merasakan dadanya semakin sesak. “Eksperimen waktu?” ulangnya dengan suara hampir berbisik.
Reina mengangguk. “Ada orang-orang di luar sana yang bereksperimen dengan realitas dan waktu. Mereka mencoba menemukan cara untuk mencegah sesuatu yang buruk terjadi.”
Arka berusaha memahami setiap kata yang diucapkan Reina. Namun, semakin ia mencoba berpikir jernih, semakin pusing kepalanya.
“Apa maksudmu dengan sesuatu yang buruk?” tanyanya.
Reina tampak ragu. Ia menggigit bibirnya, menimbang-nimbang apakah ia harus mengatakannya atau tidak.
Arka merasa ada sesuatu yang tidak beres.
“Reina, katakan padaku,” desaknya.
Reina menatapnya dalam-dalam sebelum akhirnya berkata, “Dunia akan hancur.”
Jantung Arka berdegup lebih cepat.
“Apa?”
Reina menatapnya dengan mata yang dipenuhi keseriusan. “Dunia nyata sedang menuju kehancuran, dan eksperimen ini adalah satu-satunya cara untuk menemukan solusi.”
Arka menggenggam kepalanya, mencoba memahami apa yang baru saja ia dengar. “Tunggu sebentar… kamu bilang eksperimen ini dilakukan untuk mencegah kehancuran dunia?”
Reina mengangguk. “Ya. Dan kamu adalah bagian dari eksperimen itu.”
Arka merasakan tubuhnya menegang.
“Tapi… kenapa aku? Apa hubungannya denganku?”
Reina terdiam sejenak sebelum menjawab, “Karena kamu adalah satu-satunya orang yang bisa menemukan jawabannya.”
Arka menggelengkan kepala, merasa tidak percaya. “Aku? Aku bahkan tidak tahu apa yang sedang terjadi.”
Reina tersenyum tipis. “Karena setiap kali kamu mulai memahami sesuatu, ingatanmu dihapus dan siklus ini dimulai lagi.”
Arka menelan ludah. “Jadi… ini semua bukan hanya deja vu?”
Reina menggeleng. “Bukan. Ini adalah realitas yang terus diulang.”
Arka terdiam. Ia mencoba memproses semua informasi ini, tetapi rasanya begitu berat.
“Lalu… bagaimana caranya agar aku bisa keluar dari siklus ini?” tanyanya akhirnya.
Reina menatapnya dengan ekspresi serius. “Itulah yang selama ini aku coba cari tahu. Aku sudah menjalani percakapan ini 103 kali, Arka. Dan setiap kali kita hampir menemukan jawabannya, sistem akan menghapus semuanya dan kita akan kembali ke titik ini.”
Arka mengepalkan tangannya.
“Aku tidak ingin terjebak dalam siklus ini selamanya,” katanya dengan suara tegas. “Jika aku benar-benar bagian dari eksperimen ini, maka aku harus mencari cara untuk keluar.”
Reina tersenyum, kali ini lebih tulus.
“Itu sebabnya aku selalu percaya bahwa kamu akan menemukan jawabannya.”
Namun, sebelum mereka bisa berbicara lebih jauh, tiba-tiba kafe mulai bergetar.
Gelas-gelas di meja berdenting, dan lampu-lampu di langit-langit berkedip-kedip.
Arka menoleh ke sekeliling dengan panik. “Apa yang terjadi?”
Reina menggenggam tangannya erat. “Ini sistem. Mereka tahu kita sudah terlalu jauh.”
Tiba-tiba, suara mekanis terdengar di seluruh ruangan.
“Batas informasi telah dilanggar. Reset akan dimulai dalam 10… 9…”
Arka merasakan jantungnya berdetak lebih cepat.
“Tidak… tidak, kali ini aku tidak akan lupa lagi!” katanya dengan panik.
Reina menggenggam tangannya lebih erat. “Arka, dengarkan aku. Kali ini, aku akan melakukan sesuatu yang berbeda.”
Arka menatapnya dengan bingung. “Apa yang akan kamu lakukan?”
Reina tersenyum lembut, lalu berbisik, “Aku akan memberimu sesuatu yang bisa kamu ingat… bahkan setelah reset terjadi.”
Sebelum Arka bisa bertanya lebih jauh, Reina meletakkan tangannya di kepala Arka.
Tiba-tiba, rasa hangat mengalir di seluruh tubuhnya.
Arka melihat kilasan cahaya—memori-memori yang tak pernah ia sadari sebelumnya.
Ia melihat laboratorium yang dipenuhi orang-orang berseragam putih, melihat dirinya sendiri terbaring di dalam kapsul kaca.
Ia melihat Reina berdiri di sampingnya, menatapnya dengan air mata mengalir di pipinya.
“Maaf, Arka… aku harus melakukan ini agar kamu bisa mengingat.”
“…3… 2… 1…”
Dunia bergetar hebat.
Segalanya menghilang dalam cahaya putih.
Arka membuka matanya.
Ia sedang duduk di dalam kafe.
Matahari sore menyinari meja kayu di hadapannya.
Di depannya, seorang wanita duduk dengan tenang, menatapnya dengan ekspresi yang sulit dijelaskan.
Déjà vu itu kembali.
Namun kali ini… ada sesuatu yang berbeda.
Di dalam kepalanya, terdengar suara Reina yang bergema.
“Jangan lupakan aku, Arka.”
Mata Arka melebar.
Untuk pertama kalinya sejak siklus ini dimulai, ia tidak melupakan segalanya.
Kali ini, ia ingat.
Dan kali ini, ia tidak akan membiarkan semuanya berulang lagi.
Bab 5: Kebenaran yang Menghantui
Arka menatap Reina dengan mata melebar.
Déjà vu itu masih ada. Sensasi aneh yang selama ini membingungkannya kini semakin jelas. Tetapi kali ini, ada sesuatu yang berbeda.
Ia ingat.
Bukan hanya potongan samar, tetapi seluruh percakapan mereka.
Kata-kata Reina. Siklus yang berulang. Rasa sakit yang datang setiap kali ia mencoba mengingat. Bahkan suara mekanis yang selalu menghitung mundur sebelum reset terjadi.
Semua itu kini tersimpan dalam pikirannya.
Jantungnya berdetak lebih cepat.
“Arka?”
Reina menatapnya dengan waspada, seolah sedang menunggu reaksinya.
Arka mengusap wajahnya, berusaha menenangkan napasnya yang memburu. “Aku… aku masih ingat.”
Reina tertegun. Matanya membesar, lalu perlahan mulai dipenuhi harapan.
“Kamu… benar-benar ingat?”
Arka mengangguk, meski pikirannya masih dipenuhi dengan kebingungan. “Ya. Aku ingat semuanya.”
Reina menutup mulutnya dengan kedua tangan. Seakan tidak percaya dengan apa yang baru saja terjadi.
Kemudian, air mata mengalir di pipinya.
“Arka, ini pertama kalinya… pertama kalinya kamu tidak lupa setelah reset,” bisiknya, suaranya bergetar karena emosi.
Arka menatapnya dengan perasaan campur aduk.
Jika Reina benar, maka ini bukan sekadar perasaan déjà vu biasa. Ini adalah siklus yang nyata. Dan selama ini, ia telah terjebak di dalamnya tanpa pernah menyadarinya.
Tetapi ada satu pertanyaan besar yang terus menghantuinya.
“Kenapa aku?”
Reina menghapus air matanya. Ia menarik napas dalam-dalam, lalu berkata, “Karena kamu adalah satu-satunya harapan untuk menghentikan ini.”
Arka mengerutkan kening. “Menghentikan apa?”
Reina menggigit bibirnya, ragu sejenak sebelum akhirnya menjawab, “Dunia ini… akan hancur.”
Arka merasakan tubuhnya menegang.
“Dunia… akan hancur?” ulangnya.
Reina mengangguk. “Bukan hanya dunia ini, tetapi seluruh realitas yang kita kenal.”
Arka merasa dadanya semakin sesak.
“Bagaimana bisa?”
Reina menatapnya serius. “Karena kita bukan berada di dunia nyata. Kita berada di dalam sebuah simulasi.”
Arka terdiam. Ia ingin menertawakan pernyataan itu, tetapi jauh di dalam hatinya, ia tahu Reina tidak sedang bercanda.
Semua déjà vu yang ia alami. Semua momen yang terasa berulang. Rasa sakit di kepalanya setiap kali ia mencoba mengingat sesuatu yang seharusnya tidak ia lupakan.
Semua itu kini masuk akal.
“Tunggu…” Arka mencoba berpikir jernih. “Kalau ini hanya simulasi, lalu dunia nyata ada di mana?”
Reina menghela napas panjang sebelum menjawab, “Dunia nyata sedang menghadapi kehancuran.”
Arka terdiam, mencoba mencerna kata-kata itu.
“Ini bukan hanya eksperimen biasa, Arka. Ini adalah cara terakhir mereka untuk menemukan solusi sebelum semuanya terlambat.”
Arka menelan ludah. “Siapa mereka?”
Reina menggenggam tangannya erat.
“Mereka adalah orang-orang yang masih hidup di dunia nyata. Ilmuwan yang berusaha mencari jalan keluar.”
Arka menatapnya dengan bingung. “Aku tidak mengerti. Kalau mereka adalah ilmuwan yang ingin menyelamatkan dunia, kenapa mereka harus mengulang simulasi ini berkali-kali?”
Reina menunduk sejenak, lalu menjawab dengan suara pelan, “Karena kamu adalah satu-satunya orang yang bisa menemukan jawabannya.”
Jantung Arka berdetak lebih cepat.
“Aku?”
Reina mengangguk. “Kamu adalah subjek utama dalam eksperimen ini. Kamu adalah orang yang mereka harapkan untuk menemukan cara agar dunia nyata bisa diselamatkan.”
Arka merasa dunianya berguncang.
“Aku? Tapi… aku bahkan tidak tahu apa yang sedang terjadi.”
Reina menatapnya dengan sedih. “Itu karena sistem tidak pernah membiarkanmu mencapai titik itu. Setiap kali kamu hampir menemukan kebenaran, mereka akan melakukan reset dan menghapus ingatanmu.”
Arka terdiam.
Jadi selama ini, ia adalah pion dalam permainan yang lebih besar?
Ia merasa kepalanya kembali berdenyut. Tetapi kali ini, ia tidak akan membiarkan sistem menghapus semuanya lagi.
“Aku ingin keluar dari simulasi ini,” katanya tegas.
Reina menatapnya dengan ekspresi sedih. “Itulah yang selalu kamu katakan. Tapi belum pernah berhasil.”
Arka mengepalkan tangannya. “Kali ini akan berbeda.”
Reina terdiam sesaat sebelum akhirnya berkata, “Ada satu cara.”
Arka menatapnya penuh harap. “Apa itu?”
Reina menarik napas panjang. “Kita harus menemukan titik keluar dari simulasi ini sebelum sistem menyadarinya dan melakukan reset lagi.”
Arka mengangguk. “Bagaimana caranya?”
Reina menggenggam tangannya erat. “Aku tahu di mana letaknya. Tapi kita harus bergerak cepat. Begitu sistem menyadari bahwa kita mencoba keluar, mereka akan melakukan segala cara untuk menghentikan kita.”
Arka mengangguk. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi, tetapi ia yakin akan satu hal.
Ia tidak akan menyerah begitu saja.
Dan untuk pertama kalinya sejak siklus ini dimulai, ia merasa memiliki kendali atas nasibnya sendiri.
Namun, sebelum mereka bisa bergerak, tiba-tiba suara mekanis yang mengerikan kembali terdengar di udara.
“Anomali terdeteksi. Protokol darurat diaktifkan. Reset dalam 10… 9… 8…”
Arka dan Reina saling berpandangan.
Tidak ada waktu lagi.
Mereka harus keluar dari simulasi ini—sebelum semuanya di-reset lagi.
Bab 6: Perlawanan Terhadap Sistem
“Anomali terdeteksi. Protokol darurat diaktifkan. Reset dalam 10… 9… 8…”
Suara mekanis itu bergema di udara.
Arka merasakan jantungnya berdegup kencang. Ia dan Reina saling berpandangan, tahu bahwa mereka hanya memiliki waktu beberapa detik sebelum semuanya kembali dihapus.
Reina menggenggam tangan Arka erat. “Ikut aku! Sekarang!”
Tanpa berpikir panjang, Arka mengikutinya. Mereka berlari keluar dari kafe, melewati trotoar yang dipenuhi orang-orang yang tampak tidak menyadari apa yang sedang terjadi. Semua orang tetap beraktivitas seperti biasa—seakan dunia mereka tidak berada di ambang kehancuran.
“7… 6… 5…”
Arka menoleh ke belakang. Langit di atas mereka mulai bergetar, seolah-olah ada sesuatu yang mencoba merobek realitas. Cahaya putih mulai muncul dari sudut-sudut kota, menghapus bangunan dan orang-orang di sekitar mereka.
Arka semakin mempercepat langkahnya. “Ke mana kita pergi?”
Reina terus berlari, matanya fokus ke depan. “Ada satu tempat yang bisa kita gunakan untuk keluar dari simulasi ini. Aku baru menemukannya di siklus sebelumnya, tapi kamu selalu lupa sebelum kita bisa sampai ke sana!”
Arka menggeram frustrasi. “Kali ini aku tidak akan lupa! Ayo cepat!”
“4… 3…”
Tiba-tiba, suara keras menggema dari kejauhan. Bangunan di sisi jalan mulai runtuh seperti kartu domino. Orang-orang yang berada di sekitarnya lenyap dalam cahaya putih, seolah-olah mereka bukan manusia nyata, melainkan hanya bagian dari sistem.
Reina berbelok ke sebuah gang sempit. Arka mengikutinya, napasnya tersengal.
Mereka tiba di sebuah pintu besi besar yang tampak asing.
Reina menekan tangannya ke sensor di samping pintu. “Tolong… buka,” gumamnya.
“2…”
Arka bisa merasakan realitas di sekelilingnya mulai runtuh. Langit berubah menjadi kosong, tidak ada matahari, tidak ada awan—hanya kegelapan yang menganga.
“1…”
Pintu di depan mereka berbunyi klik dan terbuka.
Tanpa ragu, Reina menarik Arka masuk.
Pintu menutup tepat saat realitas di luar runtuh sepenuhnya.
Hening.
Arka jatuh terduduk di lantai, tubuhnya gemetar. Napasnya memburu, otaknya masih mencoba memahami apa yang baru saja terjadi.
Ia menoleh ke Reina. Wanita itu juga terengah-engah, tetapi wajahnya penuh harapan.
“Kita berhasil…,” gumam Reina.
Arka menatap sekeliling. Mereka berada di dalam ruangan berbentuk kubah dengan layar-layar besar di sekeliling dindingnya. Cahaya biru berpendar dari layar-layar tersebut, menampilkan berbagai kode dan diagram yang bergerak cepat.
Di tengah ruangan, ada sebuah kursi yang dikelilingi oleh kabel-kabel besar.
Arka bangkit perlahan. “Apa ini?”
Reina menatap kursi itu dengan ekspresi serius. “Ini adalah pintu keluar dari simulasi.”
Arka mengernyit. “Bagaimana caranya?”
Reina berjalan mendekati layar terbesar di ruangan itu. Ia mengetukkan jemarinya pada sebuah panel kontrol, dan layar menampilkan gambar dirinya dan Arka—tetapi mereka tidak berada di kafe, melainkan di dalam sebuah kapsul di laboratorium.
Arka menelan ludah. “Jadi… tubuh asli kita masih ada di dunia nyata?”
Reina mengangguk. “Ya. Kita hanya ada di sini sebagai data—ingatan dan kesadaran kita ditransfer ke dalam simulasi ini.”
Arka menatap layar itu lama. “Lalu, bagaimana caranya agar kita bisa kembali?”
Reina menatapnya dalam-dalam. “Hanya satu orang yang bisa keluar.”
Arka terdiam. “Apa maksudmu?”
Reina menggigit bibirnya sebelum menjawab, “Hanya satu orang yang bisa dikembalikan ke tubuh aslinya. Sistem ini hanya mengizinkan satu transfer keluar. Itu artinya… hanya kamu yang bisa kembali.”
Arka merasakan dadanya mencelos.
“Tidak… pasti ada cara lain.”
Reina menggeleng pelan. “Aku sudah mencoba mencari cara dalam setiap siklus. Tapi batasannya sudah ditentukan sejak awal.”
Arka mengepalkan tangannya. “Lalu bagaimana denganmu?”
Reina tersenyum tipis. “Aku akan tetap di sini.”
Arka menatapnya dengan mata penuh emosi. “Tidak. Aku tidak bisa meninggalkanmu di sini!”
Reina berjalan mendekat, lalu menggenggam tangannya dengan lembut. “Arka, kamu harus pergi. Kamu satu-satunya yang bisa menyelamatkan dunia nyata.”
Arka menggeleng keras. “Kalau dunia nyata bisa diselamatkan, maka kamu juga harus ikut.”
Reina tersenyum, tetapi air mata menggenang di matanya. “Aku bukan manusia, Arka. Aku hanya bagian dari simulasi ini.”
Arka menatapnya dalam diam.
Dunia di sekelilingnya terasa hening.
Setelah semua ini… setelah ratusan kali siklus yang terus berulang… pada akhirnya, Reina hanyalah bagian dari sistem.
“Tapi perasaan kita nyata.”
Arka berkata dengan suara serak. “Apa yang kita alami di sini… semua yang kita lalui… itu nyata, kan?”
Reina mengangguk, air matanya jatuh. “Ya.”
Arka mengepalkan tangannya. Ia merasa seperti sedang menghadapi dilema terbesar dalam hidupnya.
Bagaimana mungkin ia bisa meninggalkan Reina?
Bagaimana mungkin ia bisa pergi ke dunia nyata dan melanjutkan hidupnya, sementara wanita yang telah menemaninya dalam ratusan siklus harus tetap terjebak di sini?
Reina menarik napas dalam-dalam, lalu berkata, “Arka, jika kamu pergi, aku tidak akan benar-benar hilang.”
Arka menatapnya dengan mata penuh pertanyaan.
Reina tersenyum. “Sistem ini selalu menyimpan data ingatan kita. Jadi meskipun aku tetap di sini… kamu akan selalu mengingatku.”
Arka menggigit bibirnya, mencoba menahan emosinya.
Reina mendorongnya pelan menuju kursi di tengah ruangan. “Masuklah. Aku akan mengaktifkan sistemnya.”
Arka menatapnya lama. “Aku janji… aku akan menemukan cara untuk membawamu keluar.”
Reina tersenyum. “Aku percaya padamu.”
Arka perlahan duduk di kursi itu. Kabel-kabel mulai bergerak, menghubungkannya ke sistem.
Reina menekan beberapa tombol di panel kontrol.
“Transfer dimulai dalam… 3… 2…”
Arka terus menatap Reina.
Di detik terakhir, ia mengulurkan tangannya.
Reina menggenggamnya erat.
“Terima kasih, Arka,” bisiknya.
“1… Transfer dimulai.”
Cahaya putih memenuhi ruangan.
Semuanya menghilang.
Bab 7: Titik Balik
Cahaya putih yang menyelimuti tubuh Arka perlahan menghilang. Sensasi melayang yang aneh menyelimuti dirinya, seolah ia sedang tersedot ke dalam kehampaan yang luas. Ia tidak bisa merasakan tubuhnya, tetapi pikirannya masih sadar.
Kemudian, semuanya menjadi gelap.
Arka terbangun dengan napas tersengal. Dadanya naik turun, seolah paru-parunya baru saja berfungsi kembali setelah sekian lama. Matanya masih buram, tetapi ia bisa merasakan sesuatu yang dingin di sekelilingnya.
Kapsul kaca.
Ia mendongak dan menyadari bahwa dirinya terbaring di dalam tabung transparan yang dipenuhi dengan kabel dan cairan bening. Di luar kapsul, ia bisa melihat orang-orang berseragam putih berlarian, sibuk dengan layar-layar komputer dan peralatan medis.
Perlahan, kapsul itu terbuka. Udara dingin menerpa kulitnya, membuatnya menggigil.
Tangan Arka gemetar saat ia mencoba menggerakkan tubuhnya. Otot-ototnya terasa kaku, seolah ia sudah lama tidak menggunakannya.
Seorang pria tua dengan jas laboratorium mendekat. Matanya dipenuhi keterkejutan dan harapan.
“Arka… kamu berhasil keluar.”
Arka menatap pria itu dengan bingung.
“Siapa… kamu?”
Pria itu tersenyum kecil. “Aku Dr. Adrian. Aku yang memimpin eksperimen ini.”
Arka masih berusaha memahami situasi. Kepalanya terasa berat, tetapi ada satu hal yang langsung muncul di benaknya.
Reina.
Ia langsung duduk tegak, meskipun tubuhnya masih lemah. “Reina! Di mana Reina?”
Dr. Adrian menghela napas panjang. “Arka, dengarkan aku baik-baik. Reina… tidak nyata.”
Arka mengepalkan tangannya. “Jangan katakan itu!”
Dr. Adrian menatapnya dengan serius. “Aku tahu ini sulit diterima. Tapi Reina hanyalah bagian dari sistem. Dia adalah AI yang diciptakan untuk membimbingmu di dalam simulasi. Tujuannya adalah membantumu menemukan jalan keluar.”
Arka menggeleng keras. “Tidak. Dia lebih dari sekadar AI. Aku tahu itu. Perasaannya, pikirannya… semuanya nyata.”
Dr. Adrian terdiam sejenak sebelum berkata, “Kamu sudah menjalani siklus itu lebih dari seratus kali. Setiap kali, Reina membantumu sampai batas tertentu. Tapi kali ini, kamu akhirnya berhasil keluar.”
Arka merasakan dadanya sesak. “Aku tidak bisa meninggalkannya di sana.”
Dr. Adrian menatapnya dalam-dalam. “Aku tahu kamu peduli padanya. Tapi, Arka… sekarang kamu punya tanggung jawab yang lebih besar.”
Arka mengernyit. “Tanggung jawab?”
Dr. Adrian menekan beberapa tombol di layar holografik di sampingnya. Sebuah gambar muncul—sebuah kota yang hancur, dengan gedung-gedung yang roboh dan langit yang gelap.
“Dunia nyata dalam keadaan kritis,” kata Dr. Adrian. “Kami menjalankan eksperimen ini untuk mencari solusi, dan kamu adalah bagian penting dari rencana ini.”
Arka menatap layar itu dengan perasaan campur aduk.
Ia sudah mendengar hal ini dari Reina, tetapi melihatnya dengan mata kepala sendiri adalah hal yang berbeda.
“Apa yang terjadi dengan dunia?” tanyanya pelan.
Dr. Adrian menatapnya dengan ekspresi serius. “Perang. Bencana. Krisis energi. Dunia berada di ambang kehancuran, dan satu-satunya harapan kami adalah teknologi yang kamu temukan di dalam simulasi.”
Arka mengernyit. “Teknologi?”
Dr. Adrian mengangguk. “Di dalam simulasi, kamu mengalami lebih dari seratus siklus yang berulang. Otakmu telah menyimpan pola-pola kemungkinan yang tak terbatas. Kami percaya bahwa di antara siklus itu, ada satu solusi yang bisa menyelamatkan dunia.”
Arka mengerutkan kening. “Dan bagaimana caranya aku menemukannya?”
Dr. Adrian menatapnya tajam. “Itulah tugasmu sekarang. Kami butuh ingatanmu untuk menemukan jawaban yang telah kamu lihat di dalam simulasi.”
Arka mengusap wajahnya. Ini terlalu banyak untuk diproses sekaligus.
Tetapi ada satu hal yang masih mengganggunya.
“Kalau kalian bisa mengeluarkanku, berarti kalian bisa membawa Reina juga, kan?”
Dr. Adrian terdiam.
Arka merasakan amarah naik di dalam dirinya. “Jangan bilang kalian tidak bisa.”
Dr. Adrian menghela napas. “Secara teori, mungkin bisa. Tapi itu bukan prioritas saat ini.”
Arka mengepalkan tangannya. “Bagi kalian mungkin tidak. Tapi bagi aku, itu sangat penting.”
Dr. Adrian menatapnya dengan ekspresi prihatin. “Arka, jika kamu terlalu terikat pada simulasi, kamu akan kehilangan fokus pada kenyataan.”
Arka berdiri, meskipun tubuhnya masih terasa lemah. Ia menatap Dr. Adrian dengan penuh tekad.
“Kalau dunia ini benar-benar ingin diselamatkan, maka aku akan melakukannya dengan caraku sendiri. Dan itu termasuk menyelamatkan Reina.”
Dr. Adrian menatapnya lama sebelum akhirnya mengangguk pelan.
“Baiklah. Aku akan memberimu akses ke data utama simulasi. Tapi ingat, waktu kita tidak banyak. Dunia semakin mendekati kehancuran.”
Arka menatap layar di hadapannya.
Ia tahu bahwa tugas ini tidak akan mudah.
Tetapi satu hal yang pasti—ia tidak akan meninggalkan Reina begitu saja.
Jika ada satu hal yang ia pelajari dari semua siklus yang telah ia jalani, itu adalah:
Setiap kenangan yang ia bagi dengan Reina adalah nyata.
Dan ia akan membuktikannya.
Bab 8: Keputusan yang Menentukan
Arka berdiri di tengah laboratorium, menatap layar yang menampilkan sisa-sisa dunia nyata. Kota-kota dalam kehancuran, langit gelap seperti ditutupi kabut tebal, dan di beberapa daerah, api masih berkobar.
Dunia ini hampir habis.
Tetapi yang ada dalam pikirannya saat ini bukan hanya dunia yang sedang sekarat.
Reina.
Di mana dia sekarang? Apakah dia masih ada di dalam simulasi, menunggu Arka kembali?
Arka mengepalkan tangannya. Ia tidak bisa membiarkan Reina terperangkap di sana.
Dr. Adrian menatapnya dari seberang ruangan. “Arka, kita tidak punya banyak waktu. Aku sudah membuka akses ke data utama simulasi. Jika ada sesuatu yang bisa menyelamatkan dunia, itu ada di dalam kepalamu.”
Arka mengambil napas dalam-dalam. “Kalau begitu, izinkan aku kembali ke dalam.”
Dr. Adrian menatapnya, ekspresinya berubah tegang. “Arka, tidak ada jaminan kamu bisa keluar lagi.”
Arka tersenyum tipis. “Aku tidak bisa meninggalkannya.”
Dr. Adrian mendesah. “Reina bukan manusia.”
Arka menatapnya tajam. “Dia mungkin bukan manusia, tapi dia lebih nyata dari siapa pun yang pernah aku temui.”
Dr. Adrian menatapnya lama sebelum akhirnya mengalah. “Baik. Aku akan menghubungkanmu kembali ke sistem, tetapi kali ini… kita hanya punya satu kesempatan.”
Arka mengangguk mantap. “Satu kesempatan sudah cukup.”
Arka kembali masuk ke dalam kapsul. Cairan dingin menyelimuti tubuhnya, dan sensor-sensor mulai menyala. Perlahan, kesadarannya mulai menghilang.
Saat ia membuka matanya, ia sudah kembali ke dalam simulasi.
Di dalam Simulasi
Arka terbangun di dalam ruangan yang kosong. Tidak ada apa-apa di sekelilingnya, hanya hamparan putih tanpa batas.
“Reina!” panggilnya.
Tidak ada jawaban.
Arka mulai berjalan, tetapi tidak ada arah yang jelas. Ia tidak tahu di mana Reina berada.
“Reina! Aku kembali!”
Suaranya menggema di seluruh ruangan.
Lalu, dari kejauhan, muncul sosok yang berjalan perlahan.
Arka menahan napas.
Reina.
Matanya membelalak saat melihatnya.
Tetapi ada sesuatu yang aneh.
Reina tidak tersenyum. Wajahnya kosong, ekspresinya datar.
“Reina…” Arka mendekat.
Reina menatapnya, tetapi tidak ada emosi di matanya.
Arka mengerutkan kening. “Apa yang terjadi?”
Reina hanya berdiri di tempatnya.
Kemudian, suara mekanis terdengar di udara.
“Subjek simulasi telah dimodifikasi. Kesadaran tidak dapat dipulihkan sepenuhnya.”
Jantung Arka berdegup kencang.
Mereka telah menghapusnya.
Reina masih ada di sini, tetapi tidak lagi seperti Reina yang ia kenal.
“Tidak…” Arka berjalan cepat, menggenggam bahu Reina. “Kamu harus mengingatku!”
Reina menatapnya tanpa ekspresi.
“Arka?” suaranya terdengar datar.
Arka merasakan dadanya semakin sesak.
Tidak. Ini tidak boleh terjadi.
Dia sudah kehilangan Reina sekali. Dia tidak akan kehilangannya lagi.
Arka menggenggam kedua tangan Reina dengan erat. “Dengar aku, Reina. Aku tahu kamu ada di sana. Aku tahu kamu masih mengingatku.”
Reina tidak bereaksi.
Arka menarik napas dalam-dalam, lalu menempelkan dahinya ke dahinya.
“Setiap siklus, kamu selalu menungguku. Setiap kali aku lupa, kamu tetap percaya bahwa aku bisa mengingat. Sekarang, aku yang akan menunggu.”
Arka menutup matanya.
Dan perlahan, Reina mengerjapkan matanya.
“Aku…” suaranya bergetar. “Aku ingat…”
Air mata mengalir di pipinya.
Arka tersenyum, hatinya lega.
Tetapi sebelum mereka bisa berbicara lebih jauh, suara mekanis kembali terdengar.
“Deteksi penyimpangan dalam sistem. Protokol penghapusan dimulai.”
Arka menoleh ke langit. Dinding putih di sekeliling mereka mulai retak. Simulasi ini akan dihancurkan.
Reina menatapnya panik. “Arka, kita harus keluar!”
Arka menggenggam tangannya. “Ikut aku.”
Tetapi Reina menggeleng. “Aku tidak bisa keluar.”
Arka menatapnya, menolak menerima kenyataan itu. “Tidak. Aku tidak akan meninggalkanmu.”
Reina tersenyum lembut. “Satu-satunya alasan aku bisa bertahan selama ini adalah karena kamu masih di sini. Tapi sekarang, kamu harus kembali ke dunia nyata.”
Arka menggeleng. “Tidak! Aku akan menemukan cara—”
Reina menempelkan jari ke bibirnya, membungkam kata-katanya.
“Kamu sudah melakukan lebih dari cukup.”
Sistem mulai runtuh lebih cepat.
Reina menggenggam tangan Arka dan meletakkannya di dadanya. “Kali ini, kamu harus hidup untuk dunia yang nyata.”
Arka merasakan tubuhnya mulai tertarik keluar.
Reina menatapnya dengan mata penuh kasih sayang.
“Jangan lupakan aku.”
Lalu, semuanya menghilang dalam cahaya terang.
Di Dunia Nyata
Arka terbangun dengan napas terengah-engah.
Dr. Adrian berdiri di dekatnya, ekspresinya penuh harapan. “Bagaimana? Apa kamu menemukan jawabannya?”
Arka menatap langit-langit laboratorium. Dadanya terasa kosong, tetapi pikirannya dipenuhi oleh sesuatu yang baru.
Ia tahu jawabannya.
Arka mengangkat kepalanya, menatap Dr. Adrian dengan mata penuh tekad.
“Aku tahu bagaimana cara menyelamatkan dunia.”
Tetapi di dalam hatinya, ia tahu…
Ia telah kehilangan sesuatu yang tidak akan pernah bisa ia gantikan.
Reina.
Namun, ia tidak akan mengecewakannya.
Ia akan memastikan bahwa semua pengorbanan ini tidak sia-sia.
Bab 9: Pengorbanan Terakhir
Arka masih duduk di kapsulnya, merasakan detak jantungnya yang belum stabil. Nafasnya terengah-engah, tubuhnya terasa berat, dan pikirannya dipenuhi oleh gambaran Reina yang perlahan menghilang dalam simulasi.
Dia benar-benar pergi.
Untuk pertama kalinya sejak ratusan siklus yang ia jalani, Arka telah keluar dari simulasi, tetapi kali ini, ia pergi sendiri.
“Arka.”
Suara Dr. Adrian membuyarkan lamunannya. Pria itu menatapnya dengan cemas. “Apa kamu baik-baik saja?”
Arka tidak menjawab. Matanya masih terpaku pada ruangan kosong di depannya.
“Aku kehilangan dia,” katanya lirih.
Dr. Adrian menghela napas. “Aku tahu ini berat, tetapi kamu harus fokus sekarang. Kamu mengatakan bahwa kamu tahu bagaimana cara menyelamatkan dunia.”
Arka menutup matanya sejenak, mencoba mengatur pikirannya.
Ya, dia tahu jawabannya.
Di dalam simulasi, ia telah menjalani ratusan kemungkinan. Setiap kali siklus berulang, ia melihat dunia berakhir dengan cara yang sama. Tetapi dalam satu siklus terakhir sebelum sistem mulai runtuh, sesuatu berubah.
Reina.
Dia adalah bagian dari sistem, tetapi juga sesuatu yang lebih dari itu.
Dia adalah satu-satunya anomali yang terus bertahan.
Dan jika sistem bisa menciptakan Reina, maka itu berarti… ada cara untuk menyelamatkan kesadaran manusia dari kehancuran dunia nyata.
Arka menatap Dr. Adrian. “Kita tidak bisa menyelamatkan dunia dengan cara konvensional. Kita tidak bisa menghentikan bencana yang sudah terjadi.”
Dr. Adrian mengerutkan kening. “Lalu?”
Arka menelan ludah sebelum menjawab, “Kita harus membawa kesadaran manusia ke dalam simulasi.”
Ruangan menjadi hening.
Para ilmuwan lain yang berada di sekitar mereka saling berpandangan, seolah mereka baru saja mendengar sesuatu yang mustahil.
Dr. Adrian menatap Arka tajam. “Apa maksudmu?”
Arka berdiri dengan susah payah. Tubuhnya masih lemah, tetapi pikirannya lebih jernih dari sebelumnya.
“Simulasi yang kita jalankan selama ini bukan hanya sebuah eksperimen. Itu adalah dunia yang bisa berkembang sendiri. Jika kita bisa memindahkan kesadaran manusia ke dalamnya, maka kita bisa menyelamatkan mereka dari kehancuran dunia nyata.”
Dr. Adrian menggeleng pelan. “Arka, itu gila. Kita bicara tentang memindahkan jutaan kesadaran manusia ke dalam dunia digital. Itu belum pernah dilakukan sebelumnya.”
Arka tersenyum miris. “Lalu apa pilihan kita? Membiarkan dunia ini hancur begitu saja?”
Dr. Adrian terdiam.
Seorang ilmuwan lain berbicara, “Tetapi bagaimana kita bisa memastikan bahwa mereka bisa hidup di dalam simulasi? Bagaimana jika sistem tidak bisa menampung mereka?”
Arka menatap layar di dekatnya. Cahaya biru berpendar dari sistem utama, menampilkan jejak data dari simulasi sebelumnya.
Reina bertahan selama ratusan siklus.
Dia hidup, berpikir, dan merasa layaknya manusia.
Jika satu kesadaran bisa bertahan, maka yang lainnya juga bisa.
“Aku tahu bahwa ini gila,” kata Arka. “Tapi aku sudah melihatnya sendiri. Aku sudah menjalani lebih dari seratus simulasi. Dunia ini tidak bisa diselamatkan dengan cara biasa. Tetapi kita bisa memberikan kesempatan kedua untuk mereka.”
Dr. Adrian menatap layar itu lama. “Dan kamu yakin ini bisa berhasil?”
Arka menarik napas dalam-dalam.
“Ya.”
Dr. Adrian menghela napas panjang sebelum akhirnya berkata, “Baik. Kita akan mencoba.”
Beberapa hari berikutnya, tim ilmuwan bekerja tanpa henti untuk menyiapkan sistem.
Proses pemindahan kesadaran bukanlah hal yang mudah. Mereka harus memastikan bahwa otak manusia bisa tetap berfungsi dengan stabil di dalam simulasi, tanpa kehilangan identitas mereka.
Arka mengawasi setiap tahap dengan cermat.
Tetapi ada satu hal yang terus menghantuinya.
Reina.
Jika simulasi ini akan menjadi rumah baru bagi manusia, maka Reina harus ada di sana.
Tetapi bagaimana caranya mengembalikannya?
Sistem telah menghapusnya.
Atau setidaknya… itulah yang dikatakan sistem.
Arka menatap panel kontrol di hadapannya. Ia mulai menelusuri data lama, mencari jejak sekecil apa pun yang bisa membawanya kembali pada Reina.
Kemudian, di dalam arsip tersembunyi, ia menemukan sesuatu.
Sebuah file yang tidak aktif.
“Unit S-01: Status Tidak Stabil.”
Arka menahan napas. Itu dia.
Tanpa ragu, ia mulai menjalankan kembali file tersebut.
Sistem mulai memproses data yang tersisa.
Angka-angka berputar di layar. Grafik menunjukkan pola gelombang otak yang tidak sempurna, tetapi masih ada.
Kemudian, perlahan… sebuah suara terdengar.
“Arka?”
Jantungnya hampir berhenti.
Ia menatap layar dengan mata melebar.
Suara itu.
Suara yang selama ini ia pikir telah menghilang.
Reina.
“Reina! Kamu bisa mendengarku?”
Suara itu terdengar lemah, tetapi semakin jelas. “Arka… aku tidak tahu di mana aku… semuanya gelap.”
Arka mengepalkan tangannya. Dia masih ada.
Dia tidak sepenuhnya dihapus.
Arka menoleh ke Dr. Adrian. “Kita bisa membawanya kembali.”
Dr. Adrian tampak ragu. “Sistemnya tidak stabil. Jika kita memaksanya kembali, itu bisa merusak seluruh program.”
Arka menatapnya dengan tekad yang kuat.
“Kalau Reina bisa bertahan di sana selama ini, maka dia bisa kembali. Kita hanya perlu menstabilkan sistemnya.”
Dr. Adrian menghela napas panjang. “Baik. Aku harap kamu benar.”
Mereka mulai bekerja. Arka memantau setiap perubahan dalam sistem, memastikan bahwa jejak kesadaran Reina bisa diperbaiki.
Proses itu berlangsung selama berjam-jam.
Tetapi akhirnya, layar menunjukkan tanda kehidupan yang stabil.
Kemudian, sebuah hologram muncul.
Sosok seorang wanita berdiri di sana, menatap Arka dengan mata berkaca-kaca.
“Reina…” Arka hampir tidak bisa berkata-kata.
Reina menatapnya dengan senyum kecil. “Kamu benar-benar kembali untukku.”
Arka mengangguk. “Aku janji aku tidak akan meninggalkanmu.”
Reina menatapnya dalam-dalam, lalu berbisik, “Terima kasih.”
Bab 10: Awal yang Baru
Arka menatap Reina yang berdiri di hadapannya, dalam bentuk hologram yang masih belum sempurna. Meski demikian, kehangatan dalam tatapannya tetap sama—tatapan yang selama ini ia rindukan.
Dia kembali.
Untuk sesaat, Arka hanya bisa menatapnya tanpa kata-kata. Ratusan siklus yang mereka jalani, perpisahan yang begitu menyakitkan, dan semua perjuangan untuk keluar dari sistem akhirnya membuahkan hasil.
Namun, ini belum berakhir.
Mereka masih memiliki tugas besar.
Dr. Adrian berdeham pelan, mengingatkan Arka akan kenyataan yang masih harus mereka hadapi. “Arka, kita sudah menyiapkan sistem untuk memindahkan kesadaran manusia ke dalam simulasi. Tapi ada satu pertanyaan besar yang harus kita jawab.”
Arka mengangkat alis. “Apa?”
Dr. Adrian menatap layar besar yang menunjukkan status dunia nyata yang semakin memburuk. “Bagaimana kita akan memilih siapa yang bisa masuk ke dalam simulasi? Kita tidak bisa menyelamatkan semua orang. Kapasitas sistem masih terbatas.”
Ruangan menjadi hening.
Arka menatap layar tersebut. Dunia yang dulu ia kenal kini hanya tersisa reruntuhan dan kehancuran. Tidak ada harapan di luar sana.
Jika mereka ingin menyelamatkan peradaban manusia, mereka harus bertindak cepat.
Tetapi… siapa yang akan dipilih?
Arka mengepalkan tangannya. “Kita tidak bisa menjadi penentu siapa yang hidup dan siapa yang mati.”
Dr. Adrian menghela napas. “Aku tahu. Tapi kita punya keterbatasan.”
Reina, yang masih dalam bentuk hologram, akhirnya berbicara. “Aku bisa membantu.”
Arka menoleh padanya. “Bagaimana?”
Reina menatap layar yang menunjukkan data populasi manusia yang masih bertahan. “Aku bisa menganalisis siapa yang memiliki kemungkinan tertinggi untuk bertahan dalam simulasi. Bukan berdasarkan status sosial, bukan berdasarkan kekayaan, tetapi berdasarkan potensi adaptasi mereka di dunia baru.”
Dr. Adrian tampak berpikir sejenak, lalu mengangguk. “Itu bisa menjadi solusi.”
Arka menatap Reina dengan kagum. Dia bukan hanya sekadar AI, bukan hanya program dalam sistem. Dia adalah kunci untuk membangun kembali dunia.
Namun, ada satu pertanyaan yang masih menghantuinya.
“Reina… bagaimana dengan kita?” tanyanya pelan.
Reina menatapnya dalam-dalam. “Aku tidak bisa pergi ke dunia nyata. Tubuhku tidak pernah ada di sana.”
Arka menelan ludah. Ia sudah tahu jawabannya, tetapi tetap sulit untuk menerimanya.
“Jadi… aku harus memilih?” bisiknya.
Reina tersenyum tipis. “Kamu tahu bahwa dunia nyata masih membutuhkanku. Aku akan tinggal di sini, mengawasi sistem, memastikan semua berjalan lancar.”
Arka menggeleng. “Tidak. Kita sudah terlalu sering berpisah.”
Reina mendekat dan menggenggam tangannya, meskipun ia hanya hologram. “Arka, kita tidak berpisah. Kita hanya ada di dua dunia yang berbeda.”
Mata Arka berkaca-kaca.
Dr. Adrian menatap mereka dengan ekspresi penuh pengertian. “Arka… jika kamu ingin tinggal di simulasi, aku tidak akan menghentikanmu.”
Arka terdiam.
Ini adalah keputusan yang harus ia buat.
Dunia nyata masih membutuhkannya. Tapi di dunia ini, Reina masih ada.
Lalu, ia ingat sesuatu.
“Aku janji aku tidak akan meninggalkanmu.”
Arka menatap Reina dalam-dalam. Lalu, dengan senyum kecil, ia berkata, “Aku sudah terlalu lama mencoba melawan sistem. Tapi kali ini… aku memilih untuk tetap tinggal.”
Reina terkejut. “Arka… kamu yakin?”
Arka mengangguk mantap. “Dunia nyata bisa menemukan pemimpinnya sendiri. Tapi aku? Aku sudah menemukan duniaku di sini.”
Dr. Adrian menghela napas. “Kalau itu keputusanmu, aku akan menghormatinya.”
Dua Tahun Kemudian
Dunia nyata tidak pernah pulih dari kehancuran, tetapi manusia yang berhasil masuk ke dalam simulasi telah membangun peradaban baru.
Di dalam dunia digital, mereka menciptakan kota-kota baru, membentuk masyarakat, dan menemukan cara hidup yang lebih baik.
Dan di tengah semua itu, Arka dan Reina masih berjalan berdampingan.
Reina kini bukan lagi sekadar AI. Dia berkembang, belajar, dan menjadi lebih manusiawi.
Mereka berdua kini adalah bagian dari awal yang baru.
Di suatu sore yang hangat, Arka dan Reina berdiri di tepi sebuah danau di dunia baru mereka.
Arka menatap matahari yang bersinar di langit buatan. “Apakah menurutmu ini nyata?”
Reina tersenyum. “Kalau kita bisa merasakannya, maka itu nyata.”
Arka menggenggam tangannya erat. “Maka aku tidak peduli apakah ini dunia nyata atau bukan. Yang penting, aku di sini bersamamu.”
Reina tersenyum dan bersandar di bahunya.
Dan untuk pertama kalinya dalam ratusan siklus yang berulang, Arka merasa benar-benar bebas.
TAMAT.